HUKUM ASURANSI MENURUT ISLAM
الأربعاء، ٢٠ مايو ٢٠٠٩
ASURANSI
ANTARA PELARANGAN DAN PEMBOLEHAN
Prof. Dr. Muhammad bin Ahmad bin Shalih al-Shalih
Guru Besar Pasca Sarjana dan anggota Lembaga Ilmu, Universitas Islam al-Imam Muhammad bin Saud,
Penerjemah:
Dr. H. Miftahul Huda, M. Ag
Cetakan I
1425 H – 2004 M
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji dan kebaikan hanya bagi Allah SWT. Kepada-Nya semata kita bertawakal dan memohon pertolongan, serta hanya kepada-Nya kita mengharap hidayah. Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada Rosul-Nya, al-Amin yang telah menunaikan amanat Tuhan-nya dengan menyampaikan perintah-Nya, sehingga tersebarlah risalah kepada umatnya. Amma ba’d:
Sesungguhnya Allah SWT telah memuliakan umat ini dengan ajaran Islam yang toleran. Dimaksudkan untuk menyempurnakan ajaran-ajran sebelumnya dan mengkompilasikan seluruh hukum samawi yang pernah ada sehingga dapat mewujudkan bagi manusia kehidupan yang humanis lagi makmur di dunia, dan memberikan kabar gembira perihal nikmat yang kekal di akherat kelak. Karennya, maka syariat ini telah menjamin manusia dengan bimbingan-Nya dari buaian hingga kematian, menetapkan baginya hukum-hukum yang mulia, dan menunjukkan jalan kebenaran baginya.
Dan Allah SWT telah mengutus rasul-Nya, Muhammad saw. dengan ajaran yang jelas dan tradisi yang benar, sesuai untuk setiap zaman dan tempat, di mana landasannya adalah kemudahan dan tujuan akhirnya adalah terwujudnya kemaslahatan manusia dan tegaknya keadilan antara mereka.
Sesungguhnya ajaran yang dibawa oleh Islam bukanlah sekadar perundang-undangan an sich, tetapi di balik itu terikat dengan sistem moral dalam rangka mensucikan diri dan mengendalikan hawa nafsu. Karenanya Islam mengharuskan interaksi antar manusia ditegakkan di atas nilai kejujuran dan tanggungjawab (amanah), melarang mereka berbuat tipudaya dan pengkhianatan, mengharamkan riba, monopoli, memakan harta orang lain secara batil, sebagaimana juga mengaharamkan perjanjian atas dasar ketidaktahuan dan penipuan.
Peranan fiqh di dalam Islam dimaksudkan untuk mengupas syariat Allah SWT tersebut. Menjelaskan pelbagai hukum perjanjian dan transaksi yang berlaku di antara manusia, apa yang disyariatkan darinya dan yang tidak, apa yang dibenarkan dan yang tidak. Semua itu sebagai petunjuk jalan manusia menuju kebaikan, perwujudan kemaslahatan mereka, batas hubungan antar individu dalam interaksi social mereka, pencegahan terjadinya kedhaliman, dan sebagai penjagaan dari segala permusuhan antara mereka.
Meningkatnya kebutuhan manusia di zaman modern, yang diawali oleh revolusi industri dan perkembangan ilmu ekonomi, telah memunculkan pelbagai bentuk kontrak (perjanjian, akad) baru yang belum pernah ada pada masa ulama-ulama fiqh dahulu. Di antara kontrak tersebut adalah ta`min atau asuransi.
Asuransi telah menjadi perkara riel dalam kehidupan kita saat ini. Faktor pendorongnya adalah kebutuhan akan rasa aman melalui fasilitas/sarana yang dijanjikan. Tentu tidak dapat dipungkiri bahwa rasa aman merupakan kebutuhan fisiologis (fitrawi) di mana manusia senantiasa berusaha untuk mendapatkannya.
Bersamaan dengan itu, tidak diragukan lagi bahwa kehidupan modern saat ini selain mendorong perkembangan sains dan pelbagai penemuan baru, juga telah menyisakan banyaknya marabahaya yang mengancam kehidupan manusia. Hal itu menjadikan rasa aman sebagai kebutuhan yang memiliki prioritas utama.
Maka asuransi menjadi salah satu tema penting yang berkaitan dengan kehidupan ekonomi individu atau masyarakat, di mana perkembangan sosial-ekonomi negar-negara maju telah membuatnya menjadi prioritas utama. Pemikiran ini kemudian beralih ke negara-negara di dunia Islam –sejak beberapa dekade yang lalu- namun belum ada satupun madzhab fiqh yang melarangnya. Padahal berbarengan dengan itu, banyak kajian fiqh telah mengarahkan penelitiannya pada topik ini dari pelbagai sisinya untuk menjelaskan hukum syar’inya, apakah diharamkan atau dibolehkan.
Hal itu dapat ditilik pada banyaknya komunitas ilmiah, seminar, dan lokakarya yang menjadikan asurasi sebagai bidang utama pembahasannya, akan tetapi para ulama fiqh masa kini belum menetapkan –hingga saat ini- suatu pendapat yang pasti mengenai masalah ini. Maka di antara mereka ada yang membolehkan asuransi dengan segala bentuk dan macamnya. Ada yang mengharamkannya secara mutlak. Dan ada pula yang membolehkan asuransi untuk jenis tertentu dan mengharamkan pada ragam yang lainnya. Semuanya memiliki pendapat dan dalil tersendiri.
Pada pembahasan yang berjudul: Asuransi antara Pelarangan dan Pembolehan ini kami berusaha dengan segala daya untuk menunjukkan pelbagai dalil mengenai permasalahan yang sedang popular dan aktual ini, pendapat-pendapat yang berkembang, diskusi-diskusi yang intens, dan percaturan intelektual di seputar penjelasan hukum syar’inya.
Di awal pembahasan ini, kami menganggap tepat dan bahkan bermanfaat, untuk mengkaji pengertian asuransi, sebagai sistem dan teori, dari sisi bahasa maupun istilah, dan penjelasan fungsi serta perannya di masyarakat. Lalu membedakan jenis dan ragamnya untuk menetapkan standard objektif yang tetap agar para pembaca dapat mengetahui hakikat setiap ragamnya dan memiliki gambaran cakupannya. Karena hukum atas sesuatu merupakan bagian dari gambarannya, sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama fiqh terdahulu.
Setelah itu, kita mengupas “kontrak asuransi” dengan definisinya dari sisi bahasa maupun istilahnya secara lebih dalam lagi hingga jelas hakikatnya, tersingkap gambarannya, terketahui dasar dan unsur-unsurnya, serta terjelentrekan rukun dan karakteristiknya. Dari itu, maka objek kajian ini menjadi siap untuk diteliti dan ditetapkan hukumnya dari perspektif syariat Islam. Suatu hukum yang berdiri di atas kebenaran, membumi karena berpijak pada realitas yang terjadi, dan bersumber pada dalil-dalil syariat.
Akhirnya, kepada Allah jualah kita berharap untuk diperlihatkan bahwa yang benar itu benar dan dianugerahi daya untuk mengikutinya, serta ditunjukkan bahwa yang batil itu batil dan dianugerahi kekuatan untuk berlepas darinya. Dan kami memohon kepada-Nya untuk menjauhkan kami dari kesesatan dalam bicara maupun tindakan, serta menjadikan karya ini sebagai buah keikhlasan semata-semata untuk-Nya yang Mahamulia… Sesungguhnya Dialah yang Mahamendengar lagi Mahapengabul setiap seruan.
Riyadh, 27/7/1424H - 24/9/2003M
Prof. Dr. Muhammad bin Ahmad Shlih al-Shalih
PRAKATA
Mayoritas peneliti membedakan sistem asuransi di satu sisi sebagai gagasan serta strategi dan di sisi yang lain sebagai tindakan hukum. Sebagai gagasan dan strategi, sistem asuransi berangkat dari suatu teori general yang diaplikasikan dalam aturan-aturan teknis. Dan sebagai tindakan hukum, merealisasikan hak dan kewajiban kedua pihak yang saling berakad sebagai praktik nyata dari sistem tersebut[1].
Untuk itu, kami mengedepankan pembahasan perihal sistem asuransi pada bagian pertama, lalu kontrak asuransi pada bagian kedua.
BAGIAN I
PENDAHULUAN
Pengertian Ta`min (Asuransi) secara Bahasa[2]
Kata “ta`min” di dalam bahasa Arab berasal dari kata al-`amn (ind: aman), verbal noun dari kata kerja “`amina”.
Disebutkan: `amina `amnan, wa `amanan, wa `imnan, wa `amanatan yang artinya tenang dan tidak takut. Sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi:
ثُمَّ أَنزَلَ عَلَيْكُم مِّن بَعْدِ الْغَمِّ أَمَنَةً نُّعَاسًا يَغْشَى طَآئِفَةً مِّنكُمْ
“Kemudian setelah kamu berduka-cita Allah menurunkan kepada kamu keamanan (berupa) kantuk yang meliputi segolongan daripada kamu”[3]
Jadi, kata `amn berarti ketenangan diri dan hilangnya rasa takut. Ungkapan “wa ammanahu ta`minan” (dan memberikan kepada seseorang jaminan rasa aman, pent.): jika menjadikannya dalam kondisi aman. Dan “`ista`manhu” berarti memohon kepadanya rasa aman.
Jika dikatakan: “laka al-`aman”, berarti saya telah menjamin Anda dalam kondisi aman. “`Amina al-Balad” bermakna penduduknya dalam ketenangan. “`Ammana ‘ala du’aihi”: mengucapkan “`amin” (setelah bacaan al-Fatihah, pent.). “`Ammana ‘ala al-Syai`”: membayar tabungan agar menerimanya kelak atau mendapatkan warisan harta sebesar yang disepakati, atau menerima ganti rugi dari harta yang hilang [4].
Dari itu, maka ta`min secara bahasa berarti memberi rasa aman, sebagaimana kata ta’lim bermakna memberi pengetahuan.
Kata “`amn” dan pelbagai kata bentukannya telah tersebar di banyak ayat al-Qur`an al-Karim yang digambarkan sebagai nikmat di dunia yang dimohonkan oleh para nabi dan rasul, sebagaimana tersurat dalam do’a nabi Ibrahim alaihissalam: ( رَبِّ اجْعَلْ هَـَذَا بَلَدًا آمِنًا) “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa”[5]. Rasa aman sebagaimana disebut di atas adalah nikmat di dunia, namun juga merupakan nikmat Allah di akhirat yang akan dianugerahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan ikhlas, sebagaimana termaktub dalam firman Allah SWT: ( إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي مَقَامٍ أَمِينٍ) “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam tempat yang aman”[6], dan juga firman-Nya SWT: (الَّذِينَ آمَنُواْ وَلَمْ يَلْبِسُواْ إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُوْلَـئِكَ لَهُمُ الأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ ) “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kelaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”[7]. Dan juga tersurat dalam ayat-ayat berikut ini:
1. Firman Allah Azza wa Jalla:
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِّلْعَالَمِينَ. فِيهِ آيَاتٌ بَيِّـنَاتٌ مَّقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَن دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ الله غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barang siapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”[8].
2. Firman Allah Jalla Sya`nuh:
وَكَيْفَ أَخَافُ مَا أَشْرَكْتُمْ وَلاَ تَخَافُونَ أَنَّكُمْ أَشْرَكْتُم بِاللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا فَأَيُّ الْفَرِيقَيْنِ أَحَقُّ بِالأَمْنِ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ. الَّذِينَ آمَنُواْ وَلَمْ يَلْبِسُواْ إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُوْلَـئِكَ لَهُمُ الأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ
“Bagaimana aku takut kepada sembahan-sembahan yang kamu persekutukan (dengan Allah), padahal kamu tidak takut mempersekutukan Allah dengan sembahan-sembahan yang Allah sendiri tidak menurunkan hujah kepadamu untuk mempersekutu-kan-Nya. Maka manakah di antara dua golongan itu yang lebih berhak mendapat keamanan (dari malapetaka), jika kamu mengetahui? Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kelaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”[9].
3. Firman Allah Subhanah:
وَضَرَبَ اللهُ مَثَلاً قَرْيَةً كَانَتْ آمِنَةً مُّطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِّن كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللهِ فَأَذَاقَهَا اللهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُواْ يَصْنَعُونَ.
“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk) nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat”[10].
4. Firman Allah Azza wa Jalla:
وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُم فِي الأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لاَ يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”[11].
5. Firman Allah Azza wa Jalla:
أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا جَعَلْنَا حَرَمًا آمِنًا وَيُتَخَطَّفُ النَّاسُ مِنْ حَوْلِهِمْ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَةِ اللهِ يَكْفُرُونَ
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, sedang manusia sekitarnya rampok-merampok. Maka mengapa (sesudah nyata kebenaran) mereka masih percaya kepada yang batil dan ingkar kepada nikmat Allah?”[12]
6. Firman Allah Subhanahu wa Ta’alah:
فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَذَا الْبَيْتِ. الَّذِي أَطْعَمَهُم مِّن جُوعٍ وَآمَنَهُم مِّنْ خَوْفٍ
“Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan”[13].
Rasulullah saw pun menjelaskan salah satu ciri dari sifat seorang mukmin adalah memberikan rasa aman kepada manusia, sebagainya sabdanya: (المؤمن من أمنه الناس على دمائهم وأموالهم وأعراضهم ), “Seorang mukmin adalah dia yang memberi jaminan rasa aman kepada manusia atas darah, harta dan kehormatannya”[14]
Pengertian Ta`min secara Istilah
Sebagian mereka mendefinisikan asuransi sebagai sistem kontrak yang dilaksanakan atas dasar pembayaran ganti rugi, di mana tujuannya adalah upaya tolong-menolong dengan memperbaiki kerusakan akibat terjadinya bahaya (musibah) oleh suatu institusi terpercaya yang menjalankan kontraknya secara teknis berdasarkan aturan-aturan statistik[15].
Sebagian lainnya memberi definisi yang senada, cuman menghilangkan kata “upaya tolong-menolong” sehingga definisinya menjadi seperti berikut ini: “Sistem asuransi adalah sistem kontrak yang dilaksanakan atas dasar pembayaran ganti rugi, di mana tujuannya adalah memperbaiki kerusakan akibat terjadinya bahaya (musibah) oleh suatu institusi terpercaya yang menjalankan kontraknya secara teknis berdasarkan aturan-aturan statistik”[16].
Sebagiannya lagi mendefinisikannya dengan proses kerja teknis yang dilaksanakan oleh suatu institusi terpercaya dengan mengumpulkan sebanyak-banyaknya kemungkinan terjadinya ancaman bahaya yang serupa lalu mempertanggungjawabkannya dengan cara subsidi silang sesuai dengan aturan statistik. Dari itu, tertanggung (nasabah) –saat terjadinya bahaya yang dimaksud- mendapatkan ganti rugi harta (uang) yang dibayarkan oleh penanggung (perusahaan asuransi) sesuai dengan perjanjian awal sebesar yang disepakati dalam akte asuransi[17].
Sebagian yang lain lagi mendefinisikan ta`min sebagai proses kerja teknis yang dimaksudkan agar seseorang -yang disebut dalam hal ini sebagai musta`min (tertanggung; nasabah; pemegang polis; pemohon jaminan rasa aman, pent.)- mendapatkan kemaslahatan dirinya, atau kemaslahatan orang lain (yang ditunjuk; pengguna) dengan cara seseorang -yang disebut sebagai mu`ammin (penanggung; lembaga asuransi, pent.)- membayarkan kepadanya (orang pertama) ganti rugi harta (duit) saat terjadinya bahaya yang dimaksudkan dalam kontrak, di mana mu`ammin dalam melaksanakan tanggungjawabnya terhadap sejumlah ancaman bahaya itu dengan teknik subsidi silang sesuai aturan statistik[18].
Disebutkan dalam suatu definisi, bahwa ta`min adalah:
“Kewajiban satu pihak (pertama) terhadap yang lain (pihak kedua) dengan memberi kompensasi yang dijanjikan, ketika terjadi peristiwa (musibah, kecelakaan: pentj.) yang jelas termaktub di dalam kontrak, sebagai konsekuensi dari sejumlah uang yang dibayarkan oleh pihak kedua secara berkala atau sejenisnya”[19].
Materi 747 Undang-undang Sipil Mesir mendefinisikan ta`min dengan: “Suatu kontrak (perjanjian) yang mengharuskan Mu`ammin (penanggung) untuk membayarkan sejumlah uang, atau penghasilan rutin, atau ganti rugi harta lainnya kepada Mu`amman (tertanggung) atau pengguna yang kemaslahatannya diasuransikan, saat terjadinya ancaman bahaya yang dijelaskan di dalam akta perjanjian, di mana pembayaran itu setara dengan jumlah angsuran atau bentuk pembayaran lainnya yang diberikan oleh tertanggung kepada penanggung”.
Dari sejumlah definisi di atas dapat diketahui, bahwa:
1. Asuransi termasuk kontrak ganti-rugi finansial antara dua pihak yang terlibat, yaitu penanggung (perusahaan jasa asuransi) dan tertanggung (pemegang polis atau nasabah).
2. Asuransi termasuk kontrak yang berdasar pada probabilitas (‘uqud ihtimaliyah) dalam interaksi kedua pihak.
3. Tujuan asuransi adalah menanggulangi pelbagai ancaman bahaya tertentu yang dampaknya ditakuti oleh sang tertanggung.
Kesimpulan
Dari paparan di atas, dapatlah diketahui bahwa kebanyakan definisi tidak membedakan antara “asuransi” sebagai suatu sistem atau teori dan “kontrak asuransi” sebagai instrumen perundang-undangan dalam mewujudkan tujuan sistem dan aplikasi dari suatu teori, kecuali definisi pertama dan kedua[20].
Mayoritas definisi –seperti yang kita lihat- menjelaskan sistem asuransi dan tujuannya. Bersamaan dengan itu menunjukkan kontrak asuransi, karakteristik dan rukun-rukunnya.
Dari itu, menurut hemat kami, definisi mengenai sistem asuransi yang paling valid adalah definisi kedua, yang menyebutkan bahwa: “Sistem asuransi adalah sistem kontrak yang dilaksanakan atas dasar pembayaran ganti rugi, di mana tujuannya adalah memperbaiki kerusakan akibat terjadinya bahaya (musibah) oleh suatu institusi terpercaya yang menjalankan kontraknya secara teknis berdasarkan aturan-aturan statistik”.
Definisi ini secara redaksionil sama dengan definisi pertama, cuman bedanya pada penghapusan kata “upaya tolong-menolong”, dan inilah yang membuat kami mengunggulkannya, karena asuransi komersial –yang sedang semarak saat ini- tujuan utamanya adalah mengambil keuntungan, sedang makna “tolong-menolong” memastikan adanya pembagian satu sisi dari si pemberi kuasa yang memiliki hak penuh dengan sebutan “kembalian”. Sebagaimana asuransi sosial (al-Ta`min al-Ta’awuni) membumikan nilai Islam sebagai upaya tolong-menolong dalam kebaikan yang diperintahkan oleh Islam untuk dipraktikkan, dengan firman-Nya SWT yang berbunyi: ( وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ), “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”[21].
BAB I
SEJARAH PERKEMBANGAN ASURANSI
Bisa dikatakan bahwa asuransi –dengan bentuknya saat ini- merupakan produk abad ketiga belas hijriyah (sembilan belas miladiyah) di mana pada masa itu aturan teknisnya pertama kali dilaksanakan, dan bentuknya disempurnakan. Sedang akarnya tumbuh dari sejarah negara-negara Barat.[22]
Asuransi pertama kali muncul dalam kaitannya dengan beberapa pekerjaan khusus yang berhubungan dengan transportasi laut. Setelah itu baru muncul pelbagai bentuk asuransi yang lain seperti asuransi kebakaran, asuransi jiwa, asuransi pertanggungjwaban hukum (liability insurance) dan lain-lain yang secara detail akan dipaparkan berikut ini:
1. Asuransi laut (marine insurance)
Sebagian dari mereka berpandangan bahwa ruang praktik asuransi ini telah berdiri di
Selain itu, asuransi laut dalam bentuknya yang sekarang telah dipraktikkan di kota Genoa, Pisa, dan Florence di Italia Selatan pada pertengahan pertama abad 14 masehi, dan penduduk di kota ini menyebutnya dengan istilah “Allombardin” [23].
Sedangkan di Inggris, di mana orang-orang Yahudi sedang kuat-kuatnya menguasi ekonomi, sebagian orang Allombardin berpindah ke Inggris dan bekerja –pada saat permulaan- secara berdampingan dengan orang-orang Yahudi dalam memutar roda perekonomian di sana, sampai terjadinya pengusiran Yahudi tahun 1390M, dan tinggallah Allombardin sendirian menguasai praktik perbankan, pinjam-meminjam, serta asuransi laut di kota London dan beberapa kota yang lain. Orang-orang Inggris banyak memanfaatkan full-skill mereka, karena peninggalan prestasi pada setiap bidang dimana mereka bekerja.
Pada tahun 1483M, mulailah banyak kebijakan prosedural yang kurang menguntungkan orang-orang Allombardin, sehingga semakin menyempitlah wilayah kegiatan bisnis mereka, akibatnya mereka kemudian meninggalkan Inggris dan berpindah ke beberapa daerah yang lain.
Realitas menunjukkan bahwa asuransi laut semakin menguatkan elemen-elemennya –secara praksis- pada abad ke ke-16, di mana peraturan pertama yang memperbaiki sistem asurasi –seperti sekarang ini- dibuat pada masa Ratu Elizabet tahun 1601M. Sedangkan Edward Lloyd telah berjasa besar dalam mengkonsolidasikan pelbagai elemen jenis asuransi ini selama beroperasinya “Cafe Lloyd” miliknya, yang di kemudian hari berubah bentuk menjadi yayasan Lloyd, suatu perusahaan asuransi terbesar di dunia.
Lloyd membuka café ini di London pada tahun 1666M. Di sinilah tempat berkumpulnya mereka yang memiliki perhatian pada urusan kelautan, mulai dari penjualan kapal, pengiriman barang sampai asuransi laut. Sampai kemudian pada tahun 1871M saat terbitnya peraturan yang menjadikannya sebagai lembaga beridentitas hukum, café ini berubah bentuk menjadi suatu yayasan yang memiliki tiga tujuan utama: memudahkan proses asuransi, melindungi kemaslahatan perdagangan laut, dan mengkompilasikan informasi kelautan.[24]
2. Asuransi Kebakaran
Pada tahun 1666M (1076H) terjadi kebakaran besar di
Di sini, kesempatan emas ada di depan pelaku bisnis, terutama kaum Allombardin yang telah berpindah dari Italia, dan menjadikan Inggris sebagai alternatif tinggal. Mereka tentunya tidak menyia-nyiakan peluang bisnis yang terpaksa lahir dari besarnya ketakutan masyarakat itu. Dengan berdasar dampak psikologis masyarakat yang diakibatkan kejadian tersebut, maka mereka menyeru pada jenis asuransi baru, yaitu “asuransi kebakaran”.
Selama abad 12 H (18 M) jenis asuransi in menyebar ke negara-negara Eropa dan Amerika, dan jadilah asuransi ini melindungi seluruh kekayaan real estate dan barang-barang yang bergerak (movable).[25]
3. Asuransi Jiwa
Sistem asuransi jiwa muncul terlambat di akhir abad ke 13 H (19 H) karena adanya serangan bertubi-tubi dari komunitas berbeda yang memandang di dalam jenis asuransi ini ada faktor gambling terhadap hidup manusia, sampai kemudian terbitlah keputusan Perancis yang melarang asuransi ini pada tahun 1092H (1681M)[26].
Asuransi jiwa telah dikenal –saat itu- sebagai bagian dari sistem asuransi laut, seperti asuransi atas hidup pelaut dan krunya dari kecelakaan laut ataupun pembajakan, tetapi asuransi ini hanya berlaku untuk waktu yang singkat, misalnya untuk sekali perjalanan saja. Pada periode kemudian para ahli matematika dalam studinya tentang harapan hidup manusia sampai pada upaya menetapkan tabel premi asuransi atas dasar umur dan kondisi kesehatan seseorang[27].
4. Asuransi Tanggungjawab Hukum (Liability Insurance)
Pada abad ke-13H (19M) terjadi perkembangan industri yang amat cepat akibat ditemukannya batubara sebagai bahan bakar. Penemuan ini juga diikuti dengan perkembangan peralatan mekanik sehingga menjadikan jumlah pabrik meningkat dan sarana transportasi semakin maju.
Bersamaan dengan itu meningkat pula, di satu sisi, jumlah ancaman dan kecelakaan, di sisi yang lain kebutuhan terhadap kondisi yang menjamin keamanan bagi sarana dan peralatan kerja. Hal ini mendorong para pemilik pekerjaan untuk mencari cara dalam mengasuransikan tanggungjawab hukum mereka yang tumbuh bersamaan dengan aktifitas peralatan di pabrik mereka.
Dari itu, muncullah gagasan tentang sistem asuransi tanggungjawab hukum (liability insurance), dan ragamnya berupa: asuransi dari resiko kecelakaan, asuransi dari kecelakaan kerja, asuransi dari kecelakaan transportasi dan sebagainya[28].
5. Asuransi Udara
Asuransi udara merupakan bentuk asuransi yang muncul paling belakangan terkait dengan masuknya pesawat terbang dalam bidang transportasi antar-negara.
Pasca perang dunia kedua, produksi pesawat terbang mengalami peningkatan yang pesat. Dari itu penggunaan transportasi udara semakin populer dalam bentuk yang lebih luas, baik untuk mengangkut orang maupun barang. Bersamaan dengan itu, semakin banyak pula kecelakaan pesawat yang terjadi, maka muncullah asuransi udara dalam rangka menanggulangi pelbagai resiko yang lahir dari kecelakaan-kecelakaan tersebut, baik untuk pesawatnya maupun yang diangkutnya, yakni penumpang atau barang. Sebagai tambahan, hal ini diharuskan oleh banyak pemerintah sebagai sistem asuransi wajib bagi pesawat terbang[29].
Penyebaran Asuransi
Hampir para ilmuan sosial-ekonomi bersepakat bahwa tiada sesuatu di masa sekarang yang memiliki dampak luar biasa bagi kehidupan manusia di negara-negara Barat selain asuransi. Perkembangan alat dan teknologi telah menggetarkan manusia sehingga membuat mereka ketakutan terhadap segala sesuatu di sekitarnya. Tiada suasana yang mampu menenangkan hidup sehingga mereka berupaya mengasuransikan segala sesuatu[30].
Dari itu, maka asuransi masuk dalam banyak bidang kehidupan yang membuat seseorang tidak perlu menunggu untuk terlibat di dalamnya, bahkan pada beberapa dekade akhir-akhir ini asuransi telah merasuki bidang-bidang yang membuat kita terheran-heran, misalnya asuransi suara seniman, asuransi kaki penari, atau asuransi kaki pemain bola[31].
Penyebaran asuransi dalam bentuknya saat ini dapat dirujuk pada beberapa sebab yang secara singkat kita paparkan sebagai berikut:
Pertama, dampak perkembangan ilmu dan teknologi modern pada kemajuan sarana transportasi yang cepat dan bermuatan besar dibarengi dengan banyaknya kecelakaan yang tidak pernah terjadi sebelum era mesin saat ini, seperti kecelakaan mobil, pesawat terbang, steamboat raksasa, kereta api, truk dan sebagainya yang mengancam manusia maupun propertinya.
Kedua, masuknya mesin dan energi di dalam sistem produksi membuat aliran barang ke seluruh dunia berjumlah sangat besar. Hal ini diikuti promosi barang dengan jangkauan seluas mungkin untuk kelanjutan pabrik dalam bekerja dan berproduksi, bersamaan dengan itu pertumbuhan ekonomi pun melejit. Resiko pergerakan dengan kapasitas dan kecepatan seperti ini di satu sisi, dan kenaikan nilai barang yang terangkut melalui sarana transportasi rakasasa di sisi yang lain menjadikan resiko yang mengancam pelaku ekonomi seringkali merugikan karena kemampuan finansialnya tidak bisa bergerak aktif.
Ketiga, transformasi ilmu dan teknik ekonomi tumbuh berkembang di dalam sanubari peradaban Barat yang materialistis-matematis, sehingga aktivitas perekonomian di dalamnya berjalan di atas perhitungan yang jelimet dan tindakan pencegahan terhadap setiap kejutan yang terjadi. Sungguh di dalam logika pelaku ekonomi, tiada sesuatu yang dibiarkan menggantung tanpa ada pertimbangan dan perkiraan baginya. Sebagaimana juga di dalam masyarakat Barat –di mana asuransi tumbuh dan berkembang- tidak ada wilayah untuk tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan seperti pengertian Islam, dan tiada pula dikenal sistem jaminan sosial sebagaimana di masyarakat Islam.
BAB II
FUNGSI ASURANSI
Pertama, menjaga keselamatan:
Mereka berpandangan bahwa asuransi memberikan pada diri seseorang keamanan dan ketenangan. Perasaan aman merupakan kebutuhan yang lazim bagi manusia zaman modern ini, karena penemuan-penemuan baru di bidang sains dan teknologi berdampak pada munculnya pelbagai resiko yang mengancam kehidupan mereka.
Sebagaimana juga bahwa perasaan khawatir dapat melemahkan kekuatan produksi seseorang yang mendorongnya pada keraguan dan kemandekan, sebaliknya asuransi dapat menjadikan seseorang menatap masa depannya dengan rasa percaya diri karena merasa terjaga dari pelbagai resiko yang mengancam jasad maupun hartanya.
Maka tiada ancaman yang tampak di permukaan kecuali asuransi telah menanggulanginya dengan menjaga nasabah dari kecelakaan dan kesialannya. Bahkan asuransi tanggungjawab hukum (liability insurance) telah berkembang dengan menjamin setiap resiko yang muncul dari sarana transportasi. Sedangkan untuk menjamin pentingnya kekayaan real estate dan kekayaan yang bergerak maka dipilihlah asuransi akibat kebakaran atau pencurian.
Dari contoh di atas, setiap individu menjadi leluasa untuk mendapatkan jaminan keselamatan dari asuransi yang dipilihnya. Maka rasa percaya diri di dalam dirinya menggantikan posisi kekhawatiran, dan produktifitas menggantikan kemandekan[33]. Keselamatan dari sudut pandang ini merupakan tujuan yang diupayakan oleh perusahaan asuransi, sehingga ada sebagian yang berpandangan bahwa proses ganti-rugi yang sebenarnya hanya ada pada asuransi komersial. Karena hal itu terdapat di antara premi yang dibayarkan oleh nasabah dan jaminan keselamatan yang diberikan oleh perusahaan asuransi kepadanya. Jaminan keselamatan ini merupakan keuntungan bagi perusahaan asuransi sesuai dengan kontrak jika tidak terjadi kecelakaan atas nasabah, tetapi jika terjadi kecelakaan maka proses ganti-rugi (pembayaran uang asuransi) merupakan kewajiban bagi perusahaan. Maka terjadinya kecelakaan atau tidak dilihat dari sisi perusahaan asuransi merupakan dua hal yang setara (sebanding) di dalam kontrak. inilah buah dari jaminan keselamatan dan ketenangan yang diberikannya sebagai hasil dari kontrak yang disepakati mengenai peneriman premi. Dan itulah proses ganti-rugi yang sebenarnya.
Kedua, Menambah kredit (cicilan):
Asuransi, bagi mereka, menyediakan fasilitas cicilan yang amat bermanfaat, atau dukungan kekuatan kapital yang membuat seseorang menikmati harta yang diperoleh untuk mempermudah pekerjaannya. Hal itu tampak dalam berbagai bentuk, yang contohnya akan kami sebutkan berikut ini:
1. Dalam asuransi jiwa, seorang nasabah dapat menggadaikan hasil asuransinya kepada orang lain, atau meminta pada perusahaan asuransi untuk memberikan hasil lebih awal sebagai pinjaman.
2. Peminjam yang menggadaikan real estatenya sebagai jaminan atas hutangnya dapat memperkuat jaminannya dengan mengasuransikan rumahnya dari kebakaran misalnya, sehingga kalau terjadi kebakaran atas real estate itu bergantilah hak pemberi pinjaman kepada hasil asuransi.
3. Kebanyakan yang berpiutang (pemberi pinjaman) bersandar pada asuransi hutang, baik melalui asuransi jaminan pembayaran hutang atau asuransi dari pemerasan, inilah yang disebut dengan asuransi pertahanan. Dengan asuransi jenis ini perusahaan menjanjikan nasabah untuk menanggung pembayaran seluruh hutangnya, atau sebagiannya, dalam kondisi memeras peminjamnya[34].
Ketiga, Tabungan dan penanaman modal:
Asuransi jiwa, dalam berbagai bentuknya, merupakan salah satu dari fasilitas untuk menabung, di mana nasabah dimungkinkan –dengan caranya- menabungkan cicilan asuransinya sedikit demi sedikit. Ketika sampai pada akhir masa asuransi, maka ia akan memiliki sejumlah uang yang tidak mungkin ia tabungkan selain melalui asuransi.
Dari sisi yang lain, sesungguhnya asuransi memberikan kontribusi yang besar bagi pertumbuhan perekonomian regional, membantu pembentukan modal, dimana menghisap, di pasar sirkulasi, uang dalam jumlah yang tidak terbatas, dan biasanya untuk menghancurkan, kemudian mengembalikannya lagi. Kadang modal terbentuk melalui cara ganti rugi bagi mereka yang tertimpa musibah atau melalui investasi seperti upaya jaga-jaga bagi perusahaan asuransi, di mana perusahaan-perusahaan itu melakukan investasi finansial yang besar di banyak proyek yang merealisasikan upaya pemulihan bagi ekonomi regional[35]. Ini ditambah lagi dengan pengadaan kesempatan kerja bisa mengurangi tingkat pengangguran.
Kesimpulan: sesungguhnya fungsi dasar asuransi –dalam pandangan pakar asuransi, pelaku hukum dan ekonomi- dimaksudkan untuk mewujudkan keselamatan dan ketenangan pada diri nasabah, menambah kesempatan untuk mengkredit, memperkokoh simpanan keuangan, mempermudah proses tabungan, dan menumbuhkan modal kerja yang memiliki manfaat bagi perkembangan perekonomian regional.
BAB III
RAGAM DAN JENIS ASURANSI
PRAKATA
Asuransi dilihat dari bentuknya dapat dikatagorikan menjadi dua bagian utama:
1. Asuransi mutualistik
2. Asuransi komersial dengan cicilan tetap.
Sedangkan dilihat dari objek sasarannya, asuransi dapat digolongkan menjadi dua bagian utama juga:
1. Asuransi kerugian, yang khusus berkenaan dengan kompensasi atas resiko yang terjadi pada keuangan nasabah akibat kecelakaan yang terjadi padanya. Asuransi ini memiliki 2 ragam: asuransi finansial, dan asuransi tanggungan (liability insurance).
2. Asuransi diri, yang khusus berkenaan dengan kompensasi terhadap diri nasabah atau kekayaannya atas bahaya yang menimpa keselamatannya. Asuransi ini juga memiliki 2 ragam: asuransi jiwa, dan asuransi kecelakaan fisik.
Demikianlah, para komentator hukum membagi asuransi menjadi beberapa ragam yang berbeda[36]. Tetapi barangkali yang paling utama dan mudah dari sisi aplikasi praksisnya adalah pengkatagorian yang bersandar pada jenis yang telah dilaksanakan oleh perusahaan-perusahaan asuransi di dalam kenyataannya.
Berdasar itu, maka asuransi dapat dikatagorikan menjadi tiga bagian utama:
1. Asuransi sosial, yang dilaksanakan oleh negara.
2. Asuransi mutualistik, yang dilaksanakan oleh unit-unit koperasi untuk pertukaran asuransi.
3. Asuransi dengan premi tetap (komersial), yang dipraktikkan oleh perusahaan asuransi.
Dan berikut ini kami akan memaparkan setiap ragam asuransi di atas secara lebih terperinci dalam pembahasan tersendiri.
SUB-BAB I
ASURANSI SOSIAL
Asuransi sosial merupakan salah satu sarana untuk mewujudkan keselamatan sosial bagi segolongan warga dalam sutau negara. Ini lebih mendekati sebagai hak mereka atas negaranya, di mana negara harus memberikan jaminan keselamatan kepada warganya di masa tua, ketika tidak mampu bekerja, dalam kondisi sakit, dan ketika menganggur. Ini merupakan bagian dari kesejahteraan sosial yang mesti dipenuhi sebagai hak warga negara. Selain itu, juga jaminan ketenangan atas anak-cucu yang masih balita apabila mereka meninggal dunia, di mana negara berkewajiban untuk mengasuhnya sebagai konsekuensi dari pemasukan finansial yang dibayarkan.
Pemerintah di beragam negara maju menanti adanya sistem khusus asuransi sosial bagi beberapa golongan warganya. Dimulai dari golongan pegawai negeri di birokrasi pemerintahan, dilanjutkan pada golongan pekerja di sektor ekonomi, pelayanan sosial, tentara dan sebagainya. Untuk menuju tujuan tersebut berbagai negara telah mengupayakan dengan menciptakan tenda besar yang memayungi berbagai asuransi sosial bagi warga negara tersebut.
Seringkali asurasi sosial bersifat wajib. Negara menciptakannya sebagai persyarikatan khusus yang dimaksudkan untuk melindungi pekerja, dan memberikan jaminan keselamatan atau jaminan masa depan bagi mereka.
Dari poin ini, kerajaan saudi arabiah telah menerbitkan aturan asuransi sosial melalui keputusan raja nomor: M/33 tertanggal 3/9/1421H, dan aturan pelaksanaannya berupa keputusan menteri tenaga kerja dan sosial nomor: 128/asuransi, tertanggal 25/10/1421H. Aturan ini mencakup berbagai resiko sosial yang akan kami jelaskan perinciannya pada topik tersendiri tentangnya di buku ini insyaAllah.
SUB-BAB II
ASURANSI MUTUALISTIK
Asuransi jenis ini berangkat dari suatu gagasan untuk membagikan hasil finansial yang terkumpul dari para anggota suatu komunitas kepada seorang anggota yang tertimpa kecelakaan tertentu dalam rangka meringankan bencana itu secara bersama-sama sebagai ganti daripada ia menanggungnya sendirian… Dari itu, dimungkinkan definisi asuransi ini adalah: kontrak asuransi bersama yang mewajibkan setiap anggota untuk membayar sejumlah uang dengan cara berpatungan sebagai kompensasi atas bahaya yang menimpa seseorang dari mereka ketika terjadi kecelakaan padanya[37].
Asuransi ini dilakukan oleh pelbagai komunitas sosial yang terdiri dari sejumlah anggota, dimana mereka sengaja berkumpul untuk menanggulangi bahaya yang mereka andaikan. Biasanya mereka itu adalah anggota satu organisasi, sesama teman di satu tempat kerja, atau penduduk satu kampung yang bersepakat untuk memberikan kompensasi atas resiko dari musibah yang menimpa salah satu dari mereka. Itulah nilai partisipasi yang dilakukan oleh setiap anggota perkumpulan, yaitu partisipasi yang senantiasa berubah, di mana pada awal partisipasinya setiap anggota membayar sejumlah uang dalam kadar tertentu, dan di akhir tahun akan dihitung nilai kompensasinya. Jika kadar uang yang dibayarkan oleh anggota belum memenuhi target yang disepakati maka ia wajib melengkapinya, namun jika lebih dari target maka sisa uang akan dikembalikan kepadanya.
Yang membuat asuransi mutualistik ini berbeda adalah bahwa anggota yang berpartisipasi di dalamnya menjadi penjamin sekaligus orang yang mendapatkan jaminan. Maka para anggota saling menjamin antar mereka. Dengan kata lain, mereka saling bergantian mendapatkan asuransi. Dari sinilah maka jenis asuransi ini dinamakan asuransi mutualistik (at-ta`min at-tabaduli).
Perkumpulan yang melaksanakan asuransi jenis ini terdiri dari beberapa orang anggota sebagai bendahara yang proaktif menanggulangi bahaya, di mana tidak memerlukan pendayagunaan prosesi kontrak asuransi. Semakin luasnya konteks bahaya dan tidak adanya upaya pemanfaatan prinsip-prinsip teknis asuransi menyebabkan munculnya apa yang disebut sebagai lembaga asuransi berbentuk mutualistik yang tidak lagi merekrut anggota dari komunitas tertentu, tetapi melayani siapa saja yang mau bertransaksi dengannya[38].
Dalam pandangan kami, munculnya lembaga-lembaga ini, dengan aktifitas asuransinya yang mutualistik namun sekaligus berupaya meraup keuntungan dari transaksinya bersama nasabah, menyebabkan adanya kedekatan yang luar biasa antara asuransi mutualistik dengan asuransi komersial yang berpremi tetap, dimana sifat “patungan” (yang menjadi karakteristiknya) menghilang dari kewajiban kedua pihak yang terlibat kontrak, dan berganti dengan sifat “kompensasi”.
SUB-BAB III
ASURANSI KOMERSIAL
Inilah asuransi yang dilaksanakan oleh perusahaan kontributif [39], suatu perusahaan yang dibangun dari modal para pemegang saham, dan sengaja dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan. Perusahaan asuransi ini bersifat independen, tidak terikat dengan nasabah. Para pemegang sahamlah penjaminnya, sedangkan para klien yang melaksanakan kontrak asuransi merupakan nasabahnya[40].
Asuransi komersial ini terbagi menjadi dua bagian utama: asuransi laut, dan asuransi darat[41].
Asuransi laut termasuk di dalamnya adalah asuransi darat dan asuransi udara.
Dan asuransi udara dapat juga dikatagorikan menjadi dua cabang, yaitu: asuransi diri (orang), dan asuransi dari bahaya. Yang pertama mencakup setiap asuransi yang berkaitan dengan diri nasabah di mana ia berhak atas hasil asuransi yang disepakati ketika terjadinya kecelakaan, seperti tertera dalam kontrak, yang mengancam eksistensi dan keselamatannya. Sedangkan yang kedua, berkenaan dengan resiko yang mengancam tanggungan keuangan nasabah, atau dengan kata lain disebut sebagai kompensasi dari kerugian.
Asuransi diri mencakup dua ragam:
1. Asuransi jiwa, di mana memiliki beberapa bentuk seperti: asuransi kematian, asuransi sisa hidup, dan asuransi yang menggabungkan dua sebelumnya. Pada yang pertama, nasabah berhak mendapatkan hasil asuransi ketika kematian datang menjemput ajalnya; pada yang kedua, nasabah tidak berhak mendapatkan hasil asuransi kecuali ia hidup pada masa tertentu; sedangkan pada asuransi yang ketiga, nasabah berhak memperoleh hasil asuransi apakah untuk dirinya sendiri ketika ia hidup pada masa tertentu, atau untuk orang yang ditunjuk (ahli waris) ketika si nasabah meninggal dunia sebelum masa tersebut.
2. Asuransi kecelakaan, termasuk di dalamnya asuransi dari sakit.
Sedangkan asuransi kerugian, meliputi dua ragam juga, yaitu:
1. Asuransi benda/barang, seperti: asuransi kebakaran, asuransi pencurian, dan asuransi hutang. Jadi bisa dikatakan, asuransi ini merupakan kompensasi bagi nasabah atas berbagai kerugian yang menimpa harta bendanya.
2. Asuransi tanggung-jawab (liability insurance), seperti: asuransi seseorang dari tanggungjawabnya atas kecelakaan mobil, atau dari tanggungjawab profesinya dan sebagainya. Di sini perusahaan asuransi berkewajiban mengembalikan kompensasi kepada nasabah karena bahaya yang menimpanya.
Dan berikut ini akan kami paparkan lebih detail lagi pembagian asuransi komersial dalam dua ragam.
RAGAM PERTAMA
ASURANSI LAUT
Asuransi laut, sebagaimana telah disingung sebelumnya, dianggap sebagai jenis asuransi yang paling tua. Tujuan dari asuransi ini adalah untuk menanggulangi resiko kecelakaan transportasi laut, baik terhadap kapal maupun barang bawaannya. Dan sungguh jarang sekali, saat ini, ketika kapal berlabuh atau mengangkut barang via transpotasi laut, pemilik kapal tidak melakukan kontrak asuransi dari resiko kecelakaan laut[42].
Asuransi laut bisa diartikan dengan: suatu kontrak dengan segala kewajibannya, di mana perusahaan asuransi menjanjikan sejumlah uang tertentu (premi) kepada nasabah sebagai kompensasi atas resiko terjadinya kecelakaan laut yang menimpanya. Tanggungjawab atas kecelakaan laut merupakan ciri khas yang membedakan asuransi ini dari jenis yang lain. Jadi posisi asuransinya di sini terletak pada terjadinya “kecelakaan laut”, dan termasuk di dalamnya adalah asuransi sungai dan juga asuransi udara.
Asuransi laut mencakup pelbagai jenis, yang paling urgen adalah:
1. Kontrak asuransi atas kapal, ialah suatu kontrak yang menjamin penanggulangan bahaya atas body kapal, dan bahaya yang berkaitan dengan kewajiban pemilik kapal. Seperti, asuransi atas biaya pengiriman atau pembayaran yang dilakukan pemilik kapal, dan asuransi atas kewajiban sipil yang muncul dari musibah tabrakan.
2. Kontrak asuransi atas barang, ialah suatu kontrak yang menjamin penanggulangan bahaya atas barang angkutan di bagasi kapal atau barang bawaan penumpang[43].
Sedangkan asuransi sungai bertujuan menanggulangi bahaya transportasi sungai baik yang menimpa kapal maupun barang bawaannya.
Begitu juga asuransi udara, dimaksudkan untuk menanggulangi bahaya transportasi di udara baik yang menimpa pesawat, penumpang maupun barang bawaannya[44]. Seperti yang telah kami tunjukkan di awal bahwa asuransi laut dianggap sebagai jenis asuransi yang muncul paling duluan, di mana Ibnu Abidin, ulama fiqh kontemporer dari madzhab hanafi, telah mengeluarkan fatwa untuknya yang pada zamannya dikenal dengan sebutan “sawkarah”.
RAGAM KEDUA
ASURANSI DARAT
Asuransi darat, sebagaimana yang telah kami tunjukkan sebelumnya, terkatagorikan menjadi dua bagian utama. Ukuran pengkatagorian ini terkait dengan tujuan dari hasil asuransi. Jika hasil asuransi ini dibayarkan ketika terjadi bahaya yang disepakati (jenis dan waktunya) terlepas dari bagaimana terjadinya bahaya tersebut, maka asuransi ini menjadi asuransi diri. Tetapi jika tujuan hasil asuransi ini sebagai kompensasi atas resiko keuangan yang masuk dalam tanggungan nasabah, maka asuransi ini menjadi asuransi dari bahaya, dan kontraknya adalah perjanjian kompensasi[45].
Dari sisi yang lain bisa disebut bahwa resiko yang dijelaskan dalam asuransi diri merupakan hal yang berkaitan erat dengan diri nasabah tidak dengan hartanya, sebaliknya resiko yang dijelaskan dalam asuransi bahaya merupakan hal yang berkaitan erat dengan harta nasabah, tidak dengan dirinya[46]. Dan berikut ini adalah penjelasan detailnya:
Pertama: Asuransi Diri
Ialah asuransi yang berkaitan dengan diri nasabah. Maksudnya adalah pembayaran sejumlah uang kepada seseorang jika terjadi bahaya tertentu yang mengancam hidup atau keselamatan fisiknya. Asuransi jenis ini –seperti telah dijelaskan di awal- tidak mengenal konsep kompensasi, di mana seorang nasabah mengambil hasil asuransi yang disepakati secara keseluruhan jika terjadi bahaya yang dijamin resikonya, tanpa melihat sejauh mana kadar resikonya, bahkan walaupun tidak terjadi kecelakaan atas dirinya[47]. Di sini nasabah berhak memperoleh hasil asuransi dari perusahaan asuransi dan juga kompensasi dari siapapun yang menyebabkan dirinya dalam bahaya, di mana perusahaan tidak bisa menggantikan posisinya dalam tuntutan kompensasi ini sebagaimana di dalam asuransi dari bahaya.
Asuransi diri ini selanjutnya mencakup dua jenis utama, yaitu:
1. Asuransi Jiwa
Pengertiannya adalah: “suatu kontrak di mana perusahaan berkewajiban- karena premi yang dibayarkan nasabah secara angsuran atau sekaligus- untuk memberikan sejumlah uang (hasil asuransi) kepada nasabah, atau orang yang ditunjuk, atau segolongan ahli warisnya pada saat si nasabah wafat atau pada sisa hidupnya di masa tertentu. Hasil asuransi itu apakah dalam bentuk kapital yang diberikan pada orang yang ditunjuk sekali bayar, atau berupa angsuran rutin selama hidup orang itu, semuanya tergantung pada kesepakatan kedua pihak di dalam perjanjian asuransi”[48].
Asuransi jenis ini memiliki dua bentuk, tergantung pada jangka waktu pembayaran hasil asuransi. Jika perusahaan berkeharusan membayar hasil asuransi kapanpun nasabah wafat selama masih berlakunya perjanjian asuransi, maka disebut sebagai asuransi seumur hidup (al-ta`min al-‘umri), dan jika perusahaan berkeharusan membayar hasil asuransi ketika nasabah wafat selama batas waktu yang ditentukan, maka disebut sebagai asuransi terbatas/sementara (al-ta`min al-muwaqqat), seperti asuransi jiwa bagi penumpang pesawat.
Selanjutnya, asuransi jiwa memiliki tiga kondisi penyebab: meninggal dunia, sisa hidup, dan menggabungkan keduanya. Untuk setiap kondisi penyebab tersebut akan kami jelaskan secara terperinci dalam topik tersendiri di buku ini insyaAllah…
2. Asuransi Kecelakaan
Pengertiannya adalah: “suatu kontrak di mana perusahaan berkewajiban- karena adanya premi – membayarkan hasil asuransi kepada nasabah ketika terjadi kecelakaan fisik yang menimpanya, atau memberikan kompensasi penggati biaya perawatan rumah sakit dan obat-obatan secara keseluruhan atau sebagiannya saja”[49].
Asuransi jenis ini bertujuan untuk memberikan rasa aman bagi seseorang dari resiko kecelakaan yang mengancam keselamatan fisiknya, juga dari kecelakaan yang menyebabkan kematian, kelainan bentuk, dan cacat keseluruhan atau sebagian, sementara atau seumur hidup”[50].
Resiko yang mendapatkan kompensasi di sini adalah “kecelakaan”, yaitu setiap kecelakaan fisik, tidak disengaja, terjdi karena faktor ekternal, dan tiba-tiba. Dari sini, dapat dipahami bahwa kecelakaan ini disyaratkan[51]:
a. Kecelakaan fisik, yang mengenai badan dengan secara langsung. Seperti luka, mutilasi, dan hilangnya nyawa, termsuk di dalamnya adalah apa saja yang mengancam akal pikirannya.
b. Tidak disengaja. Jika terjadinya kecelakaan disengaja oleh nasabah maka perusahaan asuransi tidak bertanggungjawab atas itu.
c. Karena sebab eksternal. Sebab kecelakaan haruslah bersifat di luar diri nasabah. Ini yang membedakannya dengan musibah sakit, karena sakit sebabnya adalah faktor internal dalam diri seseorang.
d. Secara mendadak (tiba-tiba). Maksudnya adalah bahwa sebab ekternal terjadi secara tiba-tiba. Tidak diharapkan, dan kejadiannya tidak memilih waktu.
e. Harus ada keterkaitan antara sebab eksternal yang mendadak dengan kecelakan fisik atau akal pikiran.
Asuransi Sakit[52]:
Pada asuransi ini perusahaan berkewajiban membayar sejumlah uang tertentu, baik kontan maupun angsuran, kepada nasabah ketika jatuh sakit, serta melunasi seluruh biaya perawatan rumah sakit dan obat-obatan sebagian atau seluruhya –sesuai dengan kesepakatan. Dalam beberapa kesempatan, seringkali perjanjian asuransi meliputi asuransi sakit dan asuransi kecelakaan sekaligus.
Dari itu, jelaslah bahwa asuransi sakit menyatukan antara asuransi diri dan asuransi kerugian. Dinisbatkan pada asuransi diri karena berkaitan dengan hasil asuransi yang harus dibayarkan perusahaan kepada nasabah ketika jatuh sakit, di mana hasil asuransi ini harus dibayarkan secara keseluruhan sesuai dengan ukuran penyebab sakit yang dideritanya, baik yang berkaitan langsung dengan sakitnya, atau dengan hilangnya pekerjaan (menjadi pengangguran) sebagai akibat darinya.
Sebagaimana juga dinisbatkan kepada asuransi kerugian karena berkaitan dengan ganti-rugi pelunasan seluruh biaya perawatan rumah sakit dan obat-obatan. Inilah kewajiban utama asuransi sakit.
Kedua: Asuransi Kerugian
Asuransi ini dimaksudkan untuk menanggulangi resiko yang berkaitan dengan keuangan nasabah, tidak dengan dirinya. Dan itu seperti asuransi kebakaran, asuransi pencurian, dan asuransi tanggungjawab.
Pada asuransi jenis ini perusahaan berkewajiban untuk membayarkan sejumlah uang sebagai ganti atas kerugian finasial yang diderita oleh nasabah ketika terjadinya kecelakaan yang dijelaskan dalam perjanjian.
Kompensasi di dalam asuransi ini tidak dibayarkan kecuali sesuai dengan besarnya kerugian yang ditanggung saat itu, dan tidak dimungkinkan bagi nasabah untuk menuntut ganti rugi lebih tinggi dari besarnya kerugian tersebut. Ini artinya bahwa kewajiban perusahaan memberikan ganti rugi kepada nasabah terbatas pada jenis musibah dan pada hasil asuransi yang disepakati dalam perjanjian.
Atau dengan kata lain, bahwa perusahaan asuransi membayar dengan jumlah yang paling sedikit dari dua alternatif: hasil asuransi yang mengcover kerugian akibat musibah yang terjadi, dan hasil asuransi yang telah terjelaskan di dalam perjanjian kontrak. Mana yang paling sedikit dari keduanya, itulah yang dibayarkan. Selain itu, nasabah juga tidak bisa menerima hasil asuransi dari perusahaan sekalian dengan ganti rugi dari orang lain yang menyebabkan kerugian. Justru di sini perusahaan menggantikan posisi nasabah dalam tuntutan ganti rugi dari orang lain yang menyebabkan kerugian.
Asuransi jenis ini terbagi menjadi dua katagori utama:
1. Asuransi sesuatu (benda):
Asuransi ini bertujuan untuk memberikan kompensasi kepada nasabah dari kerugian materi yang menimpa keuangannya. Hal itu bisa disebabkan karena musibah yang menimpa harta bendanya secara langsung, seperti kebakaran rumah, kecurian mobil, atau kerusakan ladang.
Di dalam asuransi ini hanya ada dua pihak, yaitu: penjamin (perusahaan asuransi) dan pemohon jaminan atau nasabah. Karena resiko yang ditanggung dala asuransi ini adalah yang berkaitan dengan harta nasabah, maka sebagian menyebutnya sebagai “asuransi properti”[53].
Posisi asuransi kadang menjadi sesuatu yang jelas dengan sendirinya, saat terjadi perjanjian, seperti asuransi atas rumah tertentu dari kebakaran, dan kadang dalam kondisi yang lain tidak ditentukan, tetapi saat terjadi bencana bisa ditentukan, misalnya asuransi atas barang-barang yang ada di toko tertentu, atau asuransi atas barang-barang yang ada di rumah tertentu. Bahkan asuransi sesuatu kadang meliputi penjaminan atas sejumlah uang, seperti asuransi pencurian, asuransi kehilangan uang, atau asuransi atas hilangnya keuntungan yang dialami oleh seorang pedagang akibat terbakarnya tempat dagangnya. Dan biasanya kadar tertinggi kompensasi uang telah ditentukan sebelumnya pada asuransi ini.
2. Asuransi pertanggungan jawab
Asuransi ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan kembalinya ganti-rugi kepada nsabah sebagai akibat dari tanggungjawabnya terhadap kecelakan tertentu yang menimpa orang lain. Resiko yang ditanggung di sini bukan bahaya yang langsung menimpa harta-benda, seperti yang terdapat dalam asuransi sesuatu, tetapi bahaya yang menjadikan nasabah bertanggungjawab atas terjadinya kecelakaan tertentu.
Jadi resiko yang ditanggung adalah munculnya hutang akibat pertanggungjawaban. Karenanya seringkali asuransi ini disebut juga dengan istilah “asuransi hutang”.
Di antara bentuk dari asuransi tanggungjawab yaitu: asuransi tanggungjawb atas kecelakaan mobil, asuransi tanggungjawab atas kebakaran yang menimpa mata pencaharian seorang pedagang, asuransi tanggungjawab atas transportasi dan sebagainya.
Di dalam asuransi ini disyaratkan ada tiga pihak yang terlibat: penjamin (perusahaan asuransi), pemohon jaminan (nasabah, pembayar premi), dan penderita (yang celaka) yaitu orang yang akan mendapatkan hasil asuransi. Di sini pihak ketiga (yang celaka) tidak bisa dianggap sebagai pemohon jaminan karena pihak kedua (nasabah) tidak memaksudkan kontrak asuransinya untuk kemaslahatan orang yang celaka ini, tetapi untuk kemaslahatan dirinya sendiri agar terhindar dari tuntutan ganti-rugi pihak ketiga tersebut.
Jadi resiko yang ditanggung dalam asuransi ini bukanlah bahaya yang menimpa pihak ketiga, tetapi resiko yang menimpa pihak kedua (pemohon jaminan, nasabah) atas tuntutan pihak ketiga (yang celaka). Dari itu, resiko yang ditanggung tidak terwujud lantaran bahaya yang terjadi atas pihak ketiga, tetapi karena tuntutan pihak ketiga pada pihak kedua.
Kompensasi (ganti rugi) dalam jenis asuransi ini biasanya tidak spesifik, karena asuransi ini tidak terlaksana sampai diketahui kadarnya. Oleh sebab itu nasabah menentukan hasil asuransi secara spesifik lalu menjamin pertanggungan jawabnya dalam batas-batasnya.
Dari penjelasan yang telah lalu, jelaslah perbedaan antara asuransi sesuatu dan asuransi pertanggungan jawab. Yang pertama merupakan asuransi atas apa yang dimiliki oleh nasabah, dan yang kedua atas hutang yang terjadi pada nasabah sebagai pertanggungan jawab dirinya terhadap kecelakaan orang lain. Sasaran asuransi yag pertama adalah harta-benda yang dimiliki oleh nasabah, sedangkan sasaran asuransi yang kedua adalah ganti-rugi yang muncul akibat tindakan membahayakan dari nasabah kepada orang lain.
BAGIAN II
PENDAHULUAN
Sebelumnya telah kami jelaskan tentang makna ta`min (asuransi) dari sisi bahasa dan istilah[54]. Tibalah saatnya pada bagian ini, secara singkat kami menjelaskan makna ‘aqd (kontrak, perjanjian) dari sisi bahasa dan istilah.
‘Aqd secara bahasa
Berarti tautan, ikatan, dan simpul, serta lawan dari uraian dan lepas[55]. Berasal dari kata ‘aqada-ya’qidu-‘aqdan (menyimpulkan, mengikatkan, mengokohkan, mengadakan perjanjian). “wa ’Aqd al-Bai’ wa al-`Ijarah: wujubuhuma” (melaksanakan ikatan penjualan dan penyewaan: kewajiban melaksanakan keduanya). “ ‘Aqd kull al-Syai`: `ibramuhu” (mengikat segala sesuatu: memintalnya). Dikatakan: “’Aqadtu al-Habl Fan’aqada” (aku mengikat tali, maka tali itu terpintal). Dan “‘Aqidah: Ma Yumsikuhu wa Yasudduhu wa Yusiquhu” (Aqidah berarti apa yang dipegangnya dengan kuat (janji, keyakinan), mengikat dan menguatkannya. Dari itu dikatakan: “aqadtu al-Bai’a ” (aku terikat janji penjualan), “wa ‘aqadtuhu ‘ala kadza” (aku menjanjikannya sesuatu), “wa `aqadtuhu ‘alaihi bima’na ‘aqadtuhu” (mengikatkannya atas sesuatu berarti menjanjikannya). Maka “al-Mu’aqadah: al-Mu’ahadah” (pengikatan: perjanjian)[56].
‘Aqd secara Istilah
`Aqd dalam istilah ahli hukum diartikan dengan: “kesepakatan dua kemauan atau lebih, berdasar tata tertib hukum dengan menetapkan suatu kewajiban, mengalihkan, merubah, atau mengakhirinya”. Kesepakatan dalam menetapkan kewajiban misalnya dalam perjanjian penjualan. Kesepakatan dalam mengalihkannya seperti dalam pemindahan hutang. Kesepakatan dalam merubahnya terjadi ketika kewajiban itu berkaitan dengan batas waktu. Sedangkan kesepakatan dalam mengakhirinya seperti yang terjadi dalam pelunasan dan pembebasan hutang. `Aqd dalam pengertian ini memiliki dua komponen, yaitu: `Aqd merupakan ekspresi dari kesepakatan dua kemauan atau lebih; dan kedua, kemauan-kemauan itu mesti bersepakat atas dasar aplikasi hukum tertentu.
Dalam istilah ulama-ulama fiqh, ‘Aqd memiliki banyak pengertian, di antaranya: “kesepakatan dua pihak yang menuntut keduanya untuk saling melaksanakan kewajiban yang telah ditetapkan, seperti akad jual beli dan akad pernikahan”[57]. Juga diartikan dengan “pertemuan dan kesepakatan dua kemauan dari dua orang yang saling mengikat janji untuk menetapkan kontrak tertentu, yang meliputi rasa senang dan restu dari keduanya”[58]. Selain itu juga diartikan dengan: “pengikatan ijab dan qabul atas dasar syariat, di mana dampaknya terlihat pada tempatnya”[59].
Majalah al-Ahkam al-‘Adliyah mendefinisikan ‘Aqd dengan “Ketetapan dan perjanjian dua pihak tentang suatu perkara yang mengungkapkan ikatan antara ijab dan qabul”[60].
Demikianlah pengertian ‘Aqd dari sisi bahasa dan istilah. Sedangkan definisi ‘Aqd al-Ta`min (kontrak/perjanjian asuransi) sebagian ulama mengartikannya dengan: “Ikatan kontrak antara dua pihak, dimana salah satunya berkewajiban untuk membayarkan kepada pihak kedua sejumlah uang sebagai kompensasi atas resiko kecelakaan yang dijelaskan di dalam perjanjian. Dan itu merupakan konsekwensi dari adanya angsuran yang dibayarkan oleh pihak kedua”[61].
Sebagian yang lain mengartikannya dengan: “Kesepakatan antara dua pihak: pertama, penjamin (perusahaan asuransi), dan kedua, pemohon jaminan (nasabah). Pihak kedua berkewajiban membayar sejumlah uang tertentu kepada pihak pertama, di mana pada akhir masanya pihak pertama berkewajiban membayarkan kompensasi yang disepakati kepada pihak kedua, atau kepada orang yang ditunjuk, ketika terjadi kecelakaan tertentu sesuai dengan prinsip-prinsip khusus”[62].
Lain dari itu, ada juga yang mengartikan ‘aqd al-ta`min dengan: “Suatu perjanjian di mana penjamin (perusahaan asuransi) telah membuat kriteria tertentu tentang beberapa resiko (bahaya) yang oleh kedua pihak dikhawatirkan terjadi, dan pemohon jaminan (nasabah) menghendaki agar ia tidak menanggungnya sendirian. Untuk itu dibuatlah angsuran partisipasi (premi asuransi) yang dibayarkan oleh pemohon jaminan rasa aman”[63].
Materi 747 Undang-undang Sipil Mesir mendefinisikan ‘aqd al-ta`min dengan: “Suatu kontrak (perjanjian) yang mengharuskan Mu`ammin (pemberi jaminan keamanan) untuk membayarkan sejumlah uang, atau penghasilan rutin, atau ganti rugi harta lainnya kepada Mu`amman (pemohon jaminan keamanan) atau pengguna yang kemaslahatannya diasuransikan, saat terjadinya ancaman bahaya yang dijelaskan di dalam akta perjanjian, di mana pembayaran itu setara dengan jumlah angsuran atau bentuk pembayaran lainnya yang diberikan oleh Mu`amman kepada Mu`ammin”.
Definisi senada juga disebut dalam Undang-undang Sipil Arab lainnya, seperti yang tertulis dalam materi 713 Undang-undang Sipil Suriah, materi 983 Undang-undang Sipil Iraq, materi 773 Undang-undang Sipil Kuwait, materi 920 Undang-undang Sipil Jordania.
Memilih yang Paling Kuat
Dari paparan beberapa definisi ‘aqd al-ta`min yang lalu, kami mendapatkan ada kemiripan makna –tentunya ada juga keberbedaan dalam beberapa kalimat- karena kebanyakan bersumber pada pengertian yang dibuat oleh perundang-undangan sipil Mesir dan perundang-undangan beberapa negara Arab lainnya yang juga mengambil dari Mesir.
Berdasar itu, maka kami mengutamakan definisi yang dibuat oleh Undang-undang sipil Mesir, di mana telah menampakkan elemen-elemen ‘aqd al-Ta`min, yaitu suatu perjanjian kontrak yang mengikat antara nasabah dan perusahaan. Di sini terkadang ada juga orang lain yang ditunjuk sebagai pengganti nasabah dalam memperoleh hasil asuransi. Orang ini disebut mustafid.
Definisi ini juga telah menampakkan bahwa asuransi terlaksana karena adanya suatu kecelakaan atau musibah yang dikhawatirkan terjadi dan nasabah berkeinginan untuk menghindari akibatnya. Karenanya ia berkewajiban membayar kepada perusahaan berupa premi (angsuran asuransi) atau dalam bentuk pembayaran finansial lainnya, sebagaimana juga perusahaan berkewajiban ketika terjadi kecelakaan untuk membayar hasil asuransi kepada nasabah atau orang yang ditunjuk sejumlah uang tertentu secara kontan atau berkala, atau dalam bentuk kompensasi finansial lainnya[64].
Dari pengertian di atas dapatlah kami simpulkan elemen-elemen kontrak asuransi dan karakteristik yang membedakan perjanjian ini. Elemen-elemen tersebut akan kami uraikan di bab pertama, sedang karakteristiknya di bab kedua.
BAB I
ELEMEN KONTRAK ASURANSI
Pendahuluan
Rukn (elemen, unsur, rukun) secara bahasa berarti “janib al-Syai` al-`Aqwa” (sisi terkuat dari sesuatu)[65].
Sedangkan secara istilah berarti apa yang ada di dalam penguat sesuatu. Sesuatu itu menjadi ada karena keberadaannya, dan sesuatu itu tiada karena ketiadaannya[66]. Dan sebagian orang mengatakan bahwa elemen sesuatu berarti bagian-bagian yang menyatukan sesuatu itu[67].
Elemen kontrak asuransi sebagaimana kesimpulan dari beberapa definisi yang telah kami jelaskan sebelumnya, yaitu:
1. Dua pihak yang terlibat kontrak (perusahaan asuransi dan nasabah)
2. Bahaya
3. Premi asuransi
4. Hasil asuransi
Kami akan menjelaskan beberapa elemen ini secara lebih detail dalam empat sub-bab di bawah ini:
SUB-BAB I
DUA PIHAK YANG TERLIBAT KONTRAK
Dua pihak yang terlibat kontrak asuransi yaitu: pertama, penjamin keamanan, yakni perusahaan asuransi atau lembaga asuransi mutualistik; dan kedua, pemohon jaminan keamanan, yakni siapapun yang melakukan perjanjian dengan perusahaan atau lembaga asuransi untuk memberikan keamanan pada dirinya atau orang lain dari dampak musibah tertentu sebagai konsekuensi dari premi yang ia bayarkan.
Perusahaan asuransi merupakan pihak yang mengambil beban kompensasi ketika pihak kedua menghadapi musibah. Biasanya perusahaan asuransi bersifat kontributif yang memiliki sarana administratif-teknis dan serba komputerized, di mana bertransaksi dengan nasabah melalui perantara.
Kadang juga pihak penjamin merupakan lembaga asuransi mutualistik, dimana para anggotanya mendata pelbagai resiko bahaya yang mereka hadapi, lalu berpatungan untuk menjadi kompensasi bagi anggotanya yang sedang mengalami musibah pada tahun tertentu. Sisi keberbedaan dari lembaga asuransi mutualistik ini adalah tidak profit oriented sebagaimana perusahaan asuransi kontributif[68].
Sedangkan pemohon jaminan keamanan merupakan pihak yang berkewajiban untuk membayar premi kepada pihak pertama. Letak kenikmatannya terletak pada perlindungan asuransi saat ia menghadapi resiko dari suatu musibah yang dikhawatirkan terjadi.
Pada realitasnya, nasabah biasanya, terutama pada asuransi kerugian, memiliki tiga sifat:
1. Sebagai pihak yang menjalin kontrak dengan perusahaan dan memiliki konsekwensi kewajiban dari kontrak asuransi tersebut, serta sebaliknya mendapatkan perlindungan asuransi dari perusahaan. Dengan sifat ini ia disebut sebagai pemohon asuransi atau nasabah.
2. Ia merupakan pihak yang terancam dengan resiko bahaya tertentu. Dengan sifat ini ia disebut sebagai orang yang mendapatkan jaminan asuransi
3. Ia merupakan pihak yang mendapatkan hasil asuransi dari perusahaan saat terjadinya musibah. Dengan sifat ini ia disebut sebagai pengguna jasa asuransi
Contoh: seseorang mengasuransikan rumahnya dari kebakaran. Orang ini telah melakukan kontrak dengan perusahaan asuransi maka dia menjadi pemohon asuransi (nasabah). Saat itu juga orang ini merasa terancam di rumahnya dari resiko kebakaran, maka dia menjadi tertanggung. Dan pada akhirnya dia memperoleh hasil dari perusahaan asuransi ketika rumahnya dilahap si jago merah, maka dia menjadi pengguna[69].
Jika biasanya ketiga sifat ini menyatu dalam diri tertanggung di asuransi kerugian, kadang tidak demikian pada asuransi yang lain, di mana sifa-sifat ini berada pada orang yang berbeda-beda, terutama pada asuransi diri.
Maka bisa saja “pemohon asuransi” dan yang “tertanggung” ada pada satu orang, tetapi “pengguna asuransi” ada pada orang lain. Yang demikian ini terjadi pada asuransi jiwa, ketika seseorang mengasuransikan jiwanya untuk kemaslahatan ahli warisnya.
Atau bisa saja “pemohon asuransi” dan “pengguna” ada pada seseorang, tetapi “tertanggung” pada orang lain. Ini biasanya terjadi kala seseorang mengasuransikan hutangnya, jika orang ini meninggal sebelum hutangnya terlunasi, maka si pemberi hutang memperoleh hasil dari perusahaan asuransi.
Bisa juga “tertanggung” dan “pengguna” ada pada seseorang, tetapi “pemohon asuransi” ada pada orang lain. Itu terjadi kala seseorang melakukan kontrak asuransi tanggungjawab terhadap kecelakaan mobilnya yang dikendarai oleh sopir. Di sini pemilik mobil adalah “pemohon asuransi” dan sopirnya adalah “tertanggung” dan “pengguna” sekaligus.
Terakhir, dimungkinkan tiga sifat ini terdapat pada tiga orang berbeda. “pemohon asuransi” bukanlah si “tertanggung” dan keduanya bukan pula si “pengguna”. Itu terjadi kala seseorang mengasuransikan jiwa orang lain untuk kemaslahatan orang lain lagi (orang ketiga)[70].
SUB-BAB II
BAHAYA[71]
Bahaya dianggap sebagai elemen yang terpenting di dalam asuransi, karena merupakan penyebab adanya kewajiban bagi setiap tertanggung dan penanggung. Tertanggung berkelaziman untuk membayar premi sebagai konsekuensi asuransi dirinya dari resiko bahaya yang terjadi, sedangkan penanggung (perusahaan asuransi) berkewajiban untuk membayarkan hasil asuransi sebagai jaminan rasa aman si tertanggung dari resiko bahaya tersebut. Maka bahaya merupakan sesuatu yang ada di belakang premi dan hasil asuransi sekaligus, juga merupakan ukuran untuk menimbang kadar keduanya.
Bahaya diartikan dengan: “setiap kecelakaan yang dimungkinan terjadi, dimana kejadiannya tidak akan berhenti pada kepentingan salah satu dari kedua pihak, khususnya kepentingan tertanggung”. Jadi bahaya merupakan situasi yang dimungkinkan (ketidaktentuan), jika benar terjadi (kecelakaan) maka datanglah bahaya sesungguhnya. Bahaya dalam hal ini berbeda denga resiko, karena resiko senantiasa ada dalam konteks bahaya dan selalu hadir dari adanya nilai-nilai kemungkinan (probabilitas) satu kejadian. Mungkin sesuai dengan ini adalah membuat ukuran untuk membedakan antara bahaya dengan kerugian. Ketika kemungkinan itu berada di dalam hasil kejadian, maka kita berada di dalam kondisi bahaya, dan kerugian menempati posisi bahaya.
Bahaya –sebagai salah satu elemen kontrak asuransi- harus memiliki beberapa persyaratan hukum, ketika ada satu syarat yang dinafikan maka batallah perjanjian asuransi. Selain itu juga memiliki beberapa persyratan teknis, tanpanya tidaklah mungkin nilai premi dan hasil asuransi bisa dihitung (dipastikan).
Berikut ini kami akan menjelaskan persyaratan itu dalam dua bahasan:
BAHASAN I
PERSYARATAN HUKUM YANG MESTI ADA
DI DALAM KONSEP BAHAYA
Haruslah ada dalam konsep bahaya –yang ditanggung- tiga persyaratan[72]:
1. Haruslah bersifat kemungkinan, atau belum bisa dipastikan kejadiaannya;
2. Kejadiannya tidak boleh atas kemauan salah satu dari kedua pihak;
3. Harus sesuai dengan undang-undang, atau tidak melanggar hukum yang disyariatkan, aturan dan etiket masyarakat umum.
Selanjutnya, kami akan menjelaskannya lebih detail lagi:
Pertama: bahaya tidak bisa dipastikan kejadiaannya
Inilah salah satu elemen kemungkinan di dalam kontrak asuransi, dan bahaya tidak bisa dipastikan kejadiannya dalam salah satu dari dua gambaran ini:
1. Kadang kejadian bahaya tidak dapat diprediksi, bisa terjadi bisa tidak. Asuransi kebakaran, pencurian dan tanggungjawab merupakan asuransi terhadap bahaya yang kadang terjadi dan kadang tidak.
2. Kadang kejadiannya bisa diprediksi tetapi tidak diketahui kapan waktuya. Seperti asuransi jiwa karena meninggal dunia. Kematian mungkin bisa diprediksi tetapi tidak dapat diketahui kapan waktunya.
Berdasar itu, jika bahayanya mustahil terjadi, maka keberadaan (posisi) asuransi juga mustahil, dan selanjutnya kontrak asuransi menjadi batal.
jika seseorang mengasuransikan rumahnya dari kebakaran, misalnya, atau mengasuransikan harta bendanya dari pencurian, lalu kemudian diketahui bahwa rumah itu –sebelum kontrak asuransi dibuat- telah rusak, atau harta bendanya telah tercuri, maka kontrak asuransi itu menjadi batal karena ketiadaan posisi asuransi, atau karena rusaknya sesuatu yang diasuransikan sebelum ikatan kontrak dibuat menyebabkan bahaya itu mustahil terjadi, maka hilanglah posisi asuransi.
Dari itu, bahaya tidak terjatuh pada hukum “kemungkinan”, jika -pada saat kontrak asuransi dibuat- telah positif terjadi, atau telah hilang. Pada dua situasi ini, bahaya tidak bisa masuk dalam hukum kemungkinan karena kejadiaanya, pada situasi pertama, telah positif terlaksana, dan pada situasi kedua, bahaya itu mustahil terjadi.
Contoh dari itu: jika seseorang mengasuransikan rumahnya dari kebakaran, sedangkan rumah itu –ketika kontrak asuransi dibuat- telah terbakar, maka bahaya yang ditanggungkan berarti telah positif terjadi, karenanya kontrak menjadi batal. Atau jika seseorang mengasuransikan jiwa orang lain dalam suatu perjalanan yang sulit dan berbahaya, dan ternyata –saat kontrak asuransi ditandatangani- orang yang diasuransikan itu telah kembali dari perjalanan dalam keadaan selamat, maka bahaya yang ditanggungkan berarti mustahil terjadi, karenanya kontrak asuransi menjadi batal.
Kedua: terjadinya bahaya tidak boleh karena kemauan salah satu dari dua pihak[73]:
Jika terjadinya bahaya karena kemauan salah satu dari dua pihak maka hukum “kemungkinan” menjadi hilang, selanjutnya keberadaan bahaya sebagai salah satu elemen asuransi terbatalkan. Jika pihak ini adalah penanggung (perusahaan) –dan ini secara praksis tidak terbayangkan- maka yang bisa dilakukannya adalah mencegah terjadinya kecelakaan agar tidak tidak ada bahaya yang menjadi sebab asuransi. Sedangkan kalau pihak ini adalah tertanggung (nasabah) –dan ini secara praksis bisa terjadi- maka di sini asuransi tidak memiliki makna apapun. Karena ia bisa mengasuransikan dirinya dari suatu bahaya yang ia bisa wujudkan atas kemauannya. Bisa saja ia membuat bahaya itu terjadi agar dapat menguasai hasil asuransi kapan saja ia mau.
Karenanya, harus ada faktor lain dalam proses terjadinya bahaya selain faktor kemauan nasabah, seperti faktor kebetulan, alami, dan faktor kemauan lain. Maka dibolehkan seseorang mengasuransikan dirinya dari bencana banjir, belalang dan kebakaran sebagaimana juga boleh mengasuransikan dirinya dari pencurian, pengusiran dan kecelakaan yang datang faktor lain.
Tetapi tidak dibolehkan seseorang untuk mengasuransikan diri dari perbuatannya yang disengaja, karena yang demikian itu berkaitan dengan kemauannya. Jika seseorang mengasuransikan jiwanya, maka ia tidak berhak mendapatkan hasil jika bunuh diri, karena ia menyengaja terjadinya bahaya yang ditanggung, yaitu kematian.
Ketiga, bahaya harus sesuai dengan syari’at: [74]
Disyaratkan bahwa bahaya yang ditanggung haruslah termasuk yang mubah (dibolehkan), atau berasal dari aktifitas nasabah yang tidak melanggar hukum syar’i, aturan atau etiket umum negara.
Berdasar itu, tidak dibolehkan asuransi dari bahaya yang muncul dari perdagangan yang dilarang, seperti minuman keras, narkoba dan senjata (saat terjadi perang). Juga tidak diperbolehkan untuk mengasuransikan rumah yang digunakan untuk praktik pelacuran dan perjudian, karena semua itu melanggar hukum syar’i.
Sebagaimana juga tidak diperbolehkan asuransi dari bahaya yang muncul dari perdagangan budak. Jika seorang pedagang mengasuransikan budaknya dari bahaya finansial yang menimpanya akibat dari perdagangan ini, maka kontrak asuransi ini menjadi batal karena melanggar aturan dan etiket umum.
Begitu juga tidak diperbolehkan asuransi denda finansial yang kemungkinannya bisa dihukumi sebagai tanggungjawab pidana, karena denda merupakan konsekuensi hukuman personal yang wajib dipenuhi. Dari itu mengasuransikannya adalah perbuatan yang melanggar aturan umum.
BAHASAN II
PERSYARATAN TEKNIS YANG MESTI ADA
DI DALAM KONSEP BAHAYA
Telah kami jelaskan sebelumnya tentang persyaratan hukum yang wajib ada dalam konsep bahaya, namun selain itu ada juga persyaratan lain, bersifat teknis, yang mesti ada dalam konsep bahaya sehingga dapat diaplikasikan dalam kontrak asuransi. Yaitu[75]:
1. Sering terjadi.
2. Berbeda-beda
3. Sejenis
Uraian detailnya adalah sebagaimana berikut:
Pertama, termasuk bahaya yang sering terjadi:
Maksudnya adalah bahwa bahaya yang ditanggungkan haruslah termasuk yang sering terjadi dalam kadar yang cukup di mana kaidah statistik dapat memastikan kemungkinan kejadiannya.
Dari itu, maka bahaya yang jarang terjadi tidak bisa dikalkulasi karena tingkat kemungkinan kejadiannya. Berbagai penomena yang terjadi dalam waktu berdekatan dan rasionil itulah contoh yang bisa dikalkulasi oleh kaidah statistik ini. Karennya tidak dibolehkan asuransi dari bahaya yang jarang terjadi.
Jadi bahaya yang disyaratkan hendaklah termasuk yang bisa dihitung tingkat kemungkinan terjadinya. Dan itu melalui data statistik yang bisa dijadikan dasar untuk menganalogikan kemungkinan terjadinya bahaya dengan ketetapan premi (angsuran asuransi) yang sesuai.
Kedua, termasuk bahaya yang berbeda-beda:
Disyaratkan bahaya di sini haruslah berbeda-beda, tidak boleh satu macam dan menimpa banyak orang atau sesuatu dalam satu waktu seketika.
Tidak berarti bahaya yang berbeda-beda ini tidak boleh menimpa banyak nasabah, tetapi tidak dalam satu waktu, sehingga menyebabkan penanggung (perusahaan asuransi) tidak bisa melaksanakan prosedur subsidi silang antar bahaya tersebut, karena subsidi-silang merupakan salah satu prinsip teknis dalam asuransi.
Atas dasar itu, perusahaan asuransi tidak akan melakukan penjaminan asuransi dari bencana alam seperti gempa bumi, letusan gunung berapi, banjir, bahaya perang, dan kerusuhan atau bahaya lainnya yang kejadiannya tidak terbatas, bahkan meliputi jumlah yang amat besar dalam satu waktu[76].
Ketiga, termasuk bahaya yang sejenis:
Artinya bahwa bahaya –yang ditanggungkan- haruslah dari satu hakikat, karena prosedur subsidi-silang tidak mungkin dilaksanakan antar bahaya yang saling berbeda hakikatnya. Sebagaimana juga tanpa kemiripan tidaklah bisa menentukan tingkat kemungkinan bahaya yang ditanggung.
Karena itu, jenis asuransi menjadi bermacam-macam sesuai jenis bahayanya: ada asuransi kebakaran, asuransi kecelakaan, asuransi kematian, juga asuransi tanggungjawab. Di dalam setiap jenis asuransi itu terdapat banyak anak ragamnya.
Pada asuransi kebakaran misalnya, tidaklah lazim menetapkan tingkat kemungkinan terjadinya kebakaran berdasarkan data yang mengambil sampel berupa gedung-gedung perumahan, perkantoran dan pabrik, karena tiadanya prinsip kemiripan antar sampel tersebut.
Karena itu, perusahaan asuransi -ketika mengumpulkan data- melakukan pemilahan sampel bahaya yang hendak ditanggungkan, lalu mengumpulkannya ke lebih dari satu kelompok agar terjadi kesejenisan, sehingga informasinya tepat dan dapat dijadikan sandaran[77].
SUB-BAB III
PREMI [78]
Premi adalah imbalan yang diterima oleh penanggung dari tertanggung untuk menanggulangi bahaya. Sama dengan harga dalam kontrak penjualan atau upah dalam kontrak penyewaan, dan merupakan harga dari jaminan keselamatan yang diperoleh oleh tertanggung[79]. Imbalan inilah yang menjadikan kontrak asuransi bagian dari kontrak ganti-rugi.
Premi merupakan elemen inti asuransi yang sama pentingnya dengan bahaya, dan mencerminkan kewajiban dasar bagi tertanggung dalam kontrak asuransi.
Sebagai tambahan, kewajiban tertanggung disebut “premi” jika bertransaksi dengan perusahaan asuransi, dan disebut “kontribusi” jika lembaga yang melaksanakan asuransi adalah lembaga mutualistik atau lembaga asuransi sosial.
Sebagai aplikasi praksis dari gagasan “saling menolong” yang dianggap bagian dari prinsip-prinsip teknis asuransi, maka cukuplah premi setahun untuk mengcover bahaya yang menimpa sebagaian tertanggung selama setahun.
Penanggung membuat penentuan premi sebagai bentuk perlindungan dari bahaya yang dialami oleh tertanggung setelah melakukan prosedur subsidi-silang antar premi dengan memanfaatkan kaidah-kaidah statistik. Dalam menentukan premi ini, penanggung bersandar pada beberapa faktor, yang paling penting adalah:
Pertama: faktor bahaya
Secara alamiah, nilai premi bergantung pada tingkat kemungkinan terjadinya bahaya yang dimaksud asuransi dan juga tingkat keseriusannya. Penelitian tentang kemungkinan ini tidak hanya dilakukan berdasar pengamatan terhadap kondisi tunggal saat terjadinya bahaya semata, tetapi pada pengamatan yang kontinu selama bertahun-tahun dan dipandu oleh para ahli bahaya tertentu, misalnya kebakaran, kemudian dikonsultasikan dengan cara statistik sampai tepat pergerakannya dan terekam kekuatannya. Berdasar itu, keserasian antara tingkat terjadinya kemungkinan bahaya denga penentuan nila premi bisa tepat.
Sebagaimana disebutkan juga perihal tingkat keseriusan bahaya dan kadar dampaknya, maka kerusakan penuh seperti kebakaran rumah tertangung secara total, atau meninggalnya tertanggung dalam asuransi jiwa menyebabkan ia berhak mendapatkan hasil asuransi secara penuh. Sedangkan kerusakan sebagian saja maka tertanggung tidak berhak mendapatkannya keseluruhan, tetapi sesuai dengan kadar kerugian yang dialami. Karenanya ukuran premi berkurang karena kewajiban penanggung menjadi lebih sedikit[80].
Kedua: Masa Asuransi
Penentuan premi juga bergantung pada masa asuransi, atau waktu tanggungan perusahaan asuransi terhadap bahaya. Hal itu karena kontrak asuransi merupakan bagian dari kontrak masa. Darinya, maka premi sudah selayaknya diukur dengan satuan masa tertentu, yaitu setahun. Kalau waktu kontrak lebih dari setahun maka bertambahlah premi dengan ukuran penambahan masa tersebut.
Kalau disepakati bahwa premi dibayarkan setiap bulan atau lebih, ini tidak berarti satuan masa yang diambil merupakan dasar untuk penentuan premi, yaitu sebulan atau lebih, tetapi tetap setahun penuh. Hal itu hanyalah sarana untuk membayar premi bukan untuk menentukannya[81].
Ketiga: Hasil Asuransi
Faktor lain yang dijadikan pedoman untuk menentukan premi adalah hasil asuransi, jika hasil asuransi bertambah maka bertambah pula premi yang harus dibayar. Seringkali bertambahnya premi mengikuti bertambahnya hasil asuransi dengan kalkulasi yang sesuai[82].
PERSYARATAN YANG HARUS ADA DI DALAM PREMI
Premi –sebagai salah satu dari elemen asuransi- diharuskan memiliki tiga syarat berikut[83]:
1. Harus cukup
2. Harus adil dan proporsional
3. Dalam penentuannya harus memelihara faktor kompetisi
Perincian setiap syarat itu sebagaimana berikut:
Pertama, Premi harus cukup
Termasuk syarat paling penting yang wajib ada di dalam premi adalah harus cukup untuk mengcover hal-hal berikut ini:
1. Hasil asuransi yang wajib dibayarkan ketika terjadi bahaya
2. Beragam operasional kantor yang memungkinkan penanggung melaksanakan proses aktivitas asuransi.
3. Keuntungan bagi penanggung –dalam asuransi komersial- yang dapat dibagi kepada para pemegang saham perusahaan asuransi.
Kedua, Premi harus adil dan proporsional
Maksudnya bahwa setiap tertanggung (nasabah) mesti membayar si penanggung sejumlah uang yang sesuai dengan ukuran bahayanya. Jika tingkat kemungkinan terjadinya bahaya, atau kadar kerugiannya yang akan ditanggung, besar maka premi yang wajib dihasilkan dari nasabah juga besar. Sebaliknya, jika tingkat kemungkinan terjadinya bahaya, atau kadar kerugiannya, kecil maka premi yang wajib dibayarkan oleh tertanggung juga kecil.
Realisasi persyaratan ini membutuhkan pembagian bahaya menjadi beberapa katagori yang serupa, sejenis dan sama dalam kadar kemungkinan terjadinya, keseriusan dan ukurannya.
Ketiga, dalam menentukan premi harus memelihara faktor kompetisi
Memelihara faktor persaingan dalam menetapkan premi lazim dilakukan, karena nasabah selalu mencari perusahaan yang memberikan kepadanya banyak keuntungan dan menuntut darinya sedikit mungkin premi. Maka tidaklah mungkin perusahaan asuransi akan berhasil kalau menuntut premi yang lebih tinggi dari premi umum yang ditawarkan oleh perusahaan lain.
Di sini bukan berarti bahwa kita berpaling dari syarat pertama (yakni cukupnya premi untuk mengcover bahaya) hanya sekadar untuk memenuhi syarat kompetisi, tetapi lazimnya premi tidak boleh lebih sedikit dari batas yang bisa mencukupi pebayaran kompensasi, opersional perusahaan, dan keuntungan bagi penanam saham.
Sebagai pertimbangan, karena syarat persaingan seringkali membuahkan kemenangan bagi asuransi, maka itu menjadi pertahanan tersendiri bagi banyaknya bahaya yang harus ditanggung. Kami menemukan banyak perusahaan asuransi yang membentuk persatuan antar mereka, di mana tujuan terpentingnya adalah menyamakan harga asuransi, dan tidak boleh ada dari mereka –anggota kesatuan- yang menurunkan harga di bawah standard yang disepakati.
SUB-BAB IV
HASIL ASURANSI
Kontrak asuransi memberikan kewajiban kepada dua pihak. Tertangung berkewajiban untuk membayar premi sedangkan penanggung berkewajiban untuk membayarkan hasil asuransi yang dijanjikan kepada tertanggung, atau pengguna, ketika terjadi bahaya seperti wafatnya tertanggung atau sisa hidupnya setelah masa yang ditentukan dalam asuransi jiwa, seperti juga terbakarnya rumah tertanggung dalam asuransi kebakaran, dan tuntutan korban kecelakaan pada tertanggung dalam asuransi tanggungjawab hukum.
Perlu diperhatikan, karena hasil asuransi merupakan kewajiban penanggung sebagai imbalan terhadap kewajiban tertanggung dalam membayar premi, maka di situ ada ikatan dan kesesuaian atar keduanya. Setiap ada kenaikan harga pada hasil asuransi maka naik pula nilai preminya. Sebaliknya jika turun harga hasilnya, turun pula preminya.
Hasil asuransi dianggap sebagai hutang dalam konsep tanggungjawab penanggung. Kadang menjadi hutang tambahan dengan waktu yang tidak terbatas, seperti di dalam asuransi jiwa saat si tertanggung wafat, karena kematian waktunya tidak bisa diprediksi. Juga menjadi hutang yang berimplikasi kemungkinan, seperti pada asuransi sesuatu dari kebakaran atau asuransi tanggungjawab hukum, karena bahaya di dalam situasi itu mereupakan perkara yang kejadiannya bersifat kemungkinan (bisa terjadi bisa tidak). Dari itu hasil asuransi mencerminkan hutang yang berkemungkinan mengikuti propabilitas bahaya.
Kewajiban ini mengejawantah dalam pembayaran sejumlah uang yang diberikan penanggung kepada tertanggung (atau pengguna) secara kontan sekaligus, atau berkala sepanjang hidup. Dan kadang dalam bentuk pengembalian finansial lainnya, seperti kewajiban perusahaan asuransi dengan mengembalikan bangunan real estate milik tertanggung yang ludes terbakar sebagai ganti dari kompensasi. Atau dalam bentuk perbaikan mobil tertanggung. Atau mengganti barang yang hilang ketika dalam proses pengiriman[84].
Penetapan kewajiban ini berbeda-beda tergantung proses asuransinya. Asuransi kerugian misalnya ditetapkan berdasar prinsip kompensasi, sedangkan pada asuransi diri ditetapkan sesuai apa yang disepakati di dalam akad asuransi. Berikut ini perincian lebih jelasnya:
Pertama, kewajiban penanggung dalam asuransi diri[85]:
Kewajiban penanggung di dalam asurnsi diri ditetapkan melalui hasil asurasni yang disepakati ketika kontrak dibuat. Itu karena asuransi diri tidak memiliki sifat ganti-rugi. Untuk itu dalam menetapkan hasil asuransi tidak harus menilik pada bentuk bahayanya atau kadarnya, tetapi jumlah tanggungan itulah yang menentukan sendiri kadar kewajiban penanggung. Karena tidak ada kaitan antara kewajiban ini dengan bahaya.
Dari itu, asuransi diri tidak bertujuan untuk mengganti bahaya, tetapi untuk meringankan bebannya, seperti dalam asuransi kematian atau kecelakaan, kompensasi asuransi –walaupun besar jumlahnya- tidak bisa mengganti bahaya yang menyebabkan tertanggung meninggal dunia. Dan kadang asuransi diri bertujuan untuk berjaga-jaga buat masa depan, seperti ketika disyaratkan membayar hasil asuransi kepada tertanggung sendiri jika ia tetap hidup saat selesainya masa perjanjian yang disepakati, atau pada asuransi mahar, di mana di situ tidak ada bahaya sedikitpun yang mengancam yang bisa dijadikan dasar untuk memberikan ganti rugi.
Akibat tidak adanya sifat ganti-rugi dalam hasil asuransi, maka bolehlah bagi tertanggung untuk menggabungkan antara hasil asuransi dan kompensasi miliknya sebelum ia bertanggungjawab atas bahaya, sebagaimana tertanggung dalam asuransi diri juga boleh mengadakan beberapa kontrak asuransi kerugian dirinya, dan di sini ia boleh menggabungkan hasil-hasil asuransi dengan kompensasi yang telah didapatnya sebelum ia bertanggungjawab atas bahaya.
Kedua, kewajiban penanggung dalam asuransi kerugian [86]:
Telah kami singgung sebelumnya bahwa kewajiban penanggung di dalam asuransi kerugian ditetapkan berdasar prinsip ganti-rugi. Karenanya asuransi kerugian termasuk kontrak ganti-rugi. Di sana ada beberapa elemen penetapan kewajiban penanggung dalam asuransi kerugian, yaitu:
1. Terjadinya bahaya
Inilah elemen dasar untuk menentukan kewajiban penanggung, di mana prinsipnya adalah tidak ada bahaya maka tidak ada kompensasi ganti rugi. Kadang terjadi kecelakaan tetapi tidak membahayakan tertanggung, maka ia tidak berhak menerima kompensasi.
Dalam situasi terjadinya bahaya, hak menerima ganti rugi ditetapkan berdasar jenis dan kadar bahayanya, karena bahayalah yang menentukan kadar kompensasinya. Jika bahayanya lebih kecil dari jumlah asuransi yang ditetapkan, maka tertanggung tidak berhak menerima kecuali ganti rugi yang setara dengan bahayanya saja. Artinya dia berhak mendapatkan yang paling kecil dari dua hal ini: hasil asuransi dan nilai kompensasi.
2. Jumlah yang dibayarkan
Inilah jumlah yang disepakati di dalam kontrak asuransi, di mana berdasar ini penetapan premi yang wajib dibayarkan menjadi sempurna. Seringkali jumlah yang dibayarkan sama dengan nilai barang yang diasuransikan. Sedangkan di dalam asuransi tanggungjawab hukum, kedua pihak menentukan batas tertinggi yang tidak dilampaui oleh tanggungjawab hukum si penanggung.
Berdasar itu, maka penanggung tidak berkewajiban kecuali di dalam batas bahaya yang terjadi. Akibatnya, jika nilai bahayanya lebih kecil dari hasil asuransi maka tertanggung tidak berhak kecuali atas nilai kompensasi dari bahaya saja. Jika terjadi dan nilai bahayanya melampaui hasil asuransi yang ditetapkan dalam kontrak maka penanggung tidak bisa dituntut kecuali jumlah akhir (hasil asuransi yang disepakati). Karena premi hanya sampai ke jumlah ini, maka yang orang mengalami bahaya tidak berhak lebihannya.
Di semua situasi penanggung tidak berkewajiban kecuali membayar yang paling sedikit dari dua nilai: hasil asuransi atau ukuran ganti rugi yang dialami tertanggung. Situasi di sini adalah bahwa penanggung mengambil posisi tertanggung dalam menuntut ganti rugi dari orang yang menyebabkan dirinya (tertanggung) celaka, di mana tertanggung tidak berhak mendapatkan kompensasi bahaya dari penanggung dan dari penyebab bahaya pada waktu bersamaan, karena tidak dua kompensasi untuk satu bahaya.
3. Nilai barang yang diasuransikan
Inilah elemen ketiga, di mana ketetapan kewajiban penanggung berakhir, dan tidak ada tempat baginya kecuali di dalam asuransi sesuatu, dan tidak pada asuransi tanggungjawab hukum. Pada asuransi sesutu, jika barang yang diasuransikan mengalami kerusakan total maka kewajiban penanggung menentukan nilai barang ini saat terjadinya kecelakaan, dan dalam batas-batas hasil asuransi. Dan itu dapat dicontohkan sebagaimana berikut:
1. Jika harga barang sama dengan hasil asuransi, maka tertanggung mendapatkan sejumlah uang, persis sama dengan bahaya yang terjadi.
2. Jika hasil asuransi lebih tinggi dari harga barang yang diasuransikan (gambaran ini disebut asuransi tambahan), dalam situasi ini tidak dibolehkan menambah jumlah kompensasi melebihi harga barang yang diasuransikan. Begitulah sifat ganti-rugi berlaku.
3. Jika hasil asuransi lebih sedikit dari harga barang –ketika terjadinya bahaya- maka dalam situasi ini tidak diperbolehkan menambah takaran hasil asuransi yang disepakati walaupun sebatas kadar bahayanya (gambaran ini disebut dengan asuransi kekurangan).
BAB II
KARAKTERISTIK KONTRAK ASURANSI
Setiap akad (kontrak) memiliki karakteristik yang membedakannya dengan kontrak lainnya. Begitu juga dengan kontrak asuransi, berbeda dari yang lain karena memiliki beberapa karakteristik, yaitu: kontrak persetujuan, mengandung kewajiban bagi kedua pihak, kontrak ganti rugi finansial, kontrak probabilitas, kontrak waktu, kontrak ketundukan (ketaatan aturan), dan kontrak niat baik. Penjelasan rincinya sebagaimana berikut[87]:
Pertama, kontrak asuransi adalah kontrak persetujuan
Kontrak asuransi dianggap sebagai kontrak persetujuan, di mana pada dasarnya dibuat atas kesepakatan antara ijab dan qabul. Tidak ada ketentuan khusus mengenai bentuknya, tetapi dalam pelaksanaannya harus mempertimbangkan segala hal yang terkait dengan interaksi beberapa pihak. Dari itu tulisan (hitam di atas putih) menjadi syarat untuk ketetapan dan tatalaksannya.
Jika sebagian hukum mewajibkan tulisan untuk menetapkan kontrak ini, di mana tidak terjadi kecuali dengan akte asuransi yang ditandatangani kedua pihak (penanggung dan tertanggung), tetapi itu tidak membuat kontrak asuransi ini keluar dari konteksnya sebagai akad persetujuan. Keberadaan tulisan hanyalah sebagai bukti ketetapan dalam interaksi dua pihak, tidak untuk mengadakannya.
Kedua, kontrak asuransi mengandung kewajiban bagi kedua pihak
Telah dijelaskan dalam definisi, bahwa kontrak asuransi mengandung kewajiban bagi kedua pihak[88]. Dua kewajiban utama yang timbal-balik di dalam kontrak ini adalah: kewajiban bagi tertanggung untuk membayar premi dan kewajiban penanggung untuk membayar hasil asuransi ketika terjadinya bahaya yang disepakati.
Bila dicermati, kewajiban tertanggung dalam membayar premi merupakan kewajiban yang pasti, biasanya dilaksanakan dalam waktu tertentu: bulanan, tiga bulanan atau tahunan dan sebagainya. Sedangkan kewajiban penanggung kadang di beberapa jenis asuransi tidak bisa dipastikan, karena merupakan kewajiban yang bersifat mungkin, tergantung dengan kejadian bahaya. Sedangkan bahaya –seperti yang telah dibahas- kejadiannya tidak bisa dipastikan.
Ketiga, kontrak asuransi termasuk kontrak kompensasi finansial
Setiap pihak mengambil imbalan yang diberikan oleh yang lain. Penanggung mengambil premi yang dibayarkan oleh tertanggung, dan pihak terakhir menerima hasil asuransi ketika terjadi bahaya yang diasuransikan.
Dan kadang tampak bahwa tertanggung tidak mendapatkan imbalan karena tidak terjadi bahaya yang diasuransikan, di mana penanggung tidak berkewajiban dengan sesuatu apapun, tetapi imbalan yang diperoleh oleh tertanggung sebagai akibat dari membayar premi, dalam situasi ini, adalah terwujudnya rasa aman dan tenang dalam diri tertanggung selama masa berlakunya kontrak. Kewajiban penanggung dengan membayar kompensasi ketika terjadi bahaya, dan kewajibannya menjaga dampak bahaya, ketika tidak terjadi bahaya, merupakan kewajiban tetap dan kuat dalam dua situasi.
Keempat, kontrak asuransi termasuk kontrak probabilitas[89]:
Kontrak probabilitas adalah kontrak di mana setiap pihak yang terlibat (penanggung dan tertanggung), saat membuat kontrak, tidak bisa mengetahui standard yang harus diberikan atau standard yang akan diperoleh. Karena hal itu ditetapkan di masa datang sebagai konsekuensi dari tidak bisanya suatu kejadian diprediksi, atau diketahui waktu kejadiannya.
Inilah yang terjadi dalam kontrak asuransi, di mana penanggung tidak mengetahui sejak awal berapa besaran premi yang akan diambilnya dari tertanggung karena bergantung kepada kejadian yang belum terjadi, yaitu bencana atau bahaya yang diasuransikan. Begitu juga tertanggung, tidak mengetahui sejak awal di beberapa jenis asuransi: apakah ia akan memperoleh kompensasi yang disyaratkan atau tidak? Jika terjadi bencana maka ia akan dapat, dan kalau tidak terjadi maka ia tidak memperoleh apapun.
“Sifat probabilitas kontrak asuransi ini dianggap sebagai karakter yang paling tampak. Probabilitas adalah mutiara asuransi. Karenanya jika sifat ini ditiadakan saat dibuat kontrak, maka kontrak itu batal. Begitu juga jika sifat ini hilang saat berjalannya kontrak, selesailah asuransi”[90].
Kelima, kontrak asuransi termasuk kontrak waktu
Hal itu karena dilaksanakan dalam waktu tertentu. Karenanya waktu merupakan unsur utama dalam akad ini, di mana penanggung memiliki kewajiban untuk masa tertentu atau bertanggungjawab atas bahaya yang diansuransikan selama masa kontrak berlalu. Sebagaimana juga tertanggung berkewajiban untuk membayar premi –berupa angsuran- selama masa kontrak. Tetapi kadang ada juga premi yang dibayarkan sekaligus dalam satu waktu, maka pembayaran kontan ini memelihara masa yang disepakati.
Sebagai akibat dari kontrak waktu ini dapat dijelaskan beberapa nilai berikut ini:[91]
1. Jika tertanggung tidak melaksanakan kewajibannya dalam membayar premi, dan bubarlah kontrak, maka pembubaran ini tidak memiliki efek balik –sebagaimana lazimnya dalam perjanjian dua pihak- tetapi kontrak itu berhenti begitu saja. Atas dasar itu, maka tertanggung tidak berhak untuk meminta kembali premi yang telah dibayarkan, karena itu merupakan imbalan bagi pihak lain dalam menjaganya dari ancaman bahaya selama waktu sebelum pembubaran, kecuali jika kedua pihak telah bersepakat lain sebelumnya.
2. Jika kewajiban salah satu pihak tidak mungkin dilaksanakan karena adanya kekuatan yang memaksa atau kejadian yang tiba-tiba, maka hal itu menyebabkan gugurnya kewajiban pihak lain di masa depan. Atas dasar itu, jika sesuatu yang diasuransikan rusak karena kejadian yang tidak ditanggungkan, maka bebaslah kedua pihak dari tanggungjawab dan berakhirlah masa asuransi. Selanjutnya dibuatlah kesepakatan baru antara keduanya perihal premi yang telah dibayarkan.
Keenam, kontrak asuransi termasuk kontrak ketundukan
Tiada yang menafikan bahwa kontrak asuransi merupakan kontrak ketundukan. Kontrak di mana satu dari kedua pihak, dilihat dari persyaratan akad, tidak memilikinya kecuali menerima seperti apa adanya atau menolaknya tanpa diskusi dan pertimbangan[92].
Itu karena perusahaan asuransi telah menetapkan persyaratan kontrak dengan sendirinya, bahkan pada pilihan yang berhubungan denganya, tanpa memberikan hak pada tertanggung untuk mendiskusikan persyaratan ini atau mempertimbangkannya. Tiada di depannya kecuali menerima atau menolaknya.
Ketundukan ini tidak bisa ditolak dengan perkataan bahwa seharusnya penanggung memberikan sejumlah alternatif atau pilihan jenis asuransi bagi tertanggung, karena hal itu tidak tampak sebagai pilihan, dari sisi tertanggung, yang sesuai dengan alternatif di mana syaratnya telah ditentukan oleh perusahaan asuransi, tanpa ia memiliki peran terkecilpun untuk ikut menentukan perinciannya.
Jadi, kontrak asuransi merupakan kontrak ketundukan dalam hal yang berhubungan dengan persyaratannya walaupun ketundukan ini tidak menghilangkan sifat kesepakatan (kerelaan) dalam pelaksanaannya. Akad ini berjalan dengan kesepakatan dua belah pihak (penanggung dan tertanggung), karenanya kesepakatan atau kerelaan merupakan salah satu dari karakteristiknya, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Ketujuh, kontrak asuransi termasuk kontrak itikad baik
Maksud dari itikad baik di sini bukan dalam arti yang sesungguhnya. Karena kalau seperti itu maka setiap kontrak dianggap sebagai kontrak itikad baik. Tetapi yang dimaksud dengan itikad baik di sini adalah peran yang dimainkan oleh itikad baik di dalam kontrak asuransi banyak berbeda dengan yang dimainkan di dalam kontrak lainnya. Dan itu seperti contoh berikut:
1. Seorang penanggung tidak bisa menentukan hakikat bahaya, tingkat keseriusannya, dan sifatnya kecuali berdasarkan keterangan yang ditunjukkan oleh tertanggung saat memohon asuransi. Karena itu diharapkan tertanggung berlaku jujur dan beritikad baik dalam mengajukan keterangannya, dan itu sebelum dibuatnya perjanjian.
2. Sebagaimana juga, itikad baik harus memainkan peran penting ketika kontrak asuransi berlangsung, di mana ia harus memperlakuan bahaya sebagaimana yang disepakati saat membuat kontrak. Ia harus mengendalikan diri untuk tidak berbuat curang dengan membesar-besarkan atau menambah-nambahi bahaya yang terjadi.
3. Tertanggung juga berkewajiban untuk memberitahukan kepada penanggung perkara apapun yang dihadapi yang sekiranya dapat menyebabkan naiknya tingkat kemungkinan terjadi bahaya atau tingkat keseriusannya.
4. Sebagaimana juga tertanggung berkewajiban untuk mencegah setiap yang bisa menyebabkan terjadinya bencana, maka ia mesti melakukan itu dengan sendirinya. Jika bencana itu tetap terjadi, maka ia tetap melakukan sesuatu sampai batas kemampuannya.
Dari itu, jelaslah bahwa prinsip itikad baik memiliki peran besar dalam bidang kontrak asuransi, tidak hanya ketika pelaksanaannya, sebagaimana yang berlaku juga pada kontrak-kontrak yang lain, tetapi juga ketika membuat dan di tengah proses berjalannya kontrak.[93]
[1] Nidham al-Ta`min: Haqiqtuh wa al-Ra`yu al-Syar’i fihi, Prof. Musthafa Ahmad al-Zarqa`, Mu`assasah al-Risalah,
[2] Lisan al-‘Arab li ibn Mandhur: bagian Hamzah- bab al-Nun; Mukhtar al-Shihah li al-Razi: bab al-Nun- bagian Hamzah, al-Qamus al-Muhith li al-Fairuz Abadi: item: `amina.
[5] QS. Al-Baqarah [2] ayat 126.
[8] QS. Ali Imran [3] ayat 96-97.
[10] QS. An-Nahl [16] ayat 112
[15] Nidham al-Ta`min…, Op.Cit., halaman 21.
[16] Nidham al-Ta`min wa Mawqif al-Syari’ah minhu, al-Syaikh Faishal Mawludi, Mu`assasah al-Rayyan, Beirut, Cetakan II, 1417H/1996M, halaman 12-13.
[17] Syarh al-Qanun al-Madani al-jadid fi al-Ta`min wa al-‘Uqud al-Shaghira, Dr. Muhammad Ali Arafat, cetakan II, 1950M, halaman 11.
[19] Al-Ta`min wa Ahkamuhu, Dr. Sulaiman bin Ibrahim bin Tsanyan, Dar al-‘Awashim al-Muttahidah, Beirut, cetakan I, 1414H, halaman 40.
[20] Pengertian pertama milik Prof. Musthafa Ahmad al-Zarqa`, sedang pengertian kedua milik Syaikh Faishal Mawludi.
[22] Al-Ta`min wa Ahkamuhu, al-Tsanyan… halaman 42.
[23] `Ushul al-Ta`min, Dr. Ramadlan Abu al-Saud, Dar al-Mathbu’at al-Jami’ah bi al-`Iskandariyah, cetakan II, 2000M, halaman 47-49.
[24] `Ushul al-Ta`min, Abu al-Saud, Ibid., halaman 50-51
[26] Ibid., halaman 45-46
[27] Al-Ta`min bain al-Halli wa al-Tahrim, Dr. Isa Abduh, cetakan I, 1398H/1978m, halaman 24. Juga `Ushul al-Ta`min, Abu al-Saud, halaman 52.
[30] Al-Ta`min wa `Ahkamuhu, al-Tsanyan, halaman 46
[31] Al-Ta`min bain al-Hilli wa al-Tahrim, Isa Abduh, halaman 25
[32] Lihat: ‘Aqd al-Ta`min wa Mada Masyru’iyatihi fi al-Fiqh al-`Islami, Dr. Abdullah Mabruk al-Najjar, Dar al-Nahdlah al-‘Arabiyah, cetakan I, 1415H/1993M, halaman 27 dan berikutnya; ‘Uqud al-Ta`min wa ‘Uqud Dliman al-`Istitsmar (Waqi’uha al-Hali wa Hukmuha al-Syar’i), Dr. Ahmad al-Sa’id Syarafuddin, cetakan tahun 1986M, halaman 32 dan berikutnya; Hukm al-Syari’ah al-Islamiyah fi ‘Uqud al-Ta`min, Dr. Husain Hamid Hassan, Dar al-I’tisham, cetakan I, 1396H/1976M, halaman 25 dan berikutnya; al-Ta`min fi al-Syari’ah wa al-Qanun, Dr. Syaukat Muhammad ‘Ilyan, Dar al-Syawaf, Riyadh, cetakan III, 1416H/1996M, halaman 25 dan setelahnya; Ushul al-Ta`min, Abu al-Sa’ud, Op.Cit., halaman 71 dan setelahnya; dan al-Ta`min bain al-Hilli wa al-Tahrim, Isa Abduh, Op.Cit., halaman 33 dan setelahnya.
[33] `Aham al-‘Uqud al-Madaniyah, Dr. Muhammad Ali Arafah, cetakan 1945M, halaman 310-317.
[34] Ibid., halaman 322.
[35] `Ushul al-Ta`min, Abu al-Saud, halaman 91,92
[36] Lihat: al-Wasith fi Syarh al-Qanun al-Madani, Dr. Abdur Razaq al-Sanhuri, cetakan II, 1990, jilid 2/7, halaman 1462 dan setelahnya; `Ushul al-Ta`min, halaman 93 dan setelahnya; ‘Aqd al-Ta`min wa Mada Masyru’iyatih fi al-Fiqh al-`Islami, halaman 71 dan setelahnya; ‘Uqud al-Ta`min wa `Uqud Dliman al-`Istitsmar, halaman 38 dan setelahnya.
[37] Al-Ta`min al-Ta’awuni al-Islami, Dr. Ahmad Salim Mulham, cetakan I, 1420H/2000M, halaman 58 dan 61.
[38] Al-Washit fi Syarh al-Qanun al-Madani, jilid 2/7, halaman 1394; ‘Uqud al-Ta`min wa ‘Uqud Dliman al-`Istitsmar, halaman 40; dan Hukm al-Syari’ah al-`Islamiyah fi ‘Uqud al-Ta`min, halaman 32.
[39] Materi pertama sistem perusahaan saudi yang diterbitkan dengan keputusan raja nomor: M/6 tertanngal 22/3/1385H, mendefinisikan perusahaan (syarikah) dengan: “suatu kontrak yang melibatkan dua orang atau lebih, dimana setiap mereka memberikan kontribusinya baik dengan uang maupun pekerjaan pada suatu proyek tertentu, yang bertujuan meraih keuntungan, untuk saling berbagi dari keuntungan atau kerugian yang berkembang dalam proyek tersebut”. Sedangkan Materi 48 dari dari sistem yang sama, mendefinisikan perusahaan kontributif (al-Syarikah al-Musahamah) dengan “suatu perusahaan di mana modalnya terbagi menjadi beberapa saham yang bernilai sama dan bisa diperjual-belikan –modalnya tidak lebih dari dua juta Real Saudi-, para pemegang saham tidak bisa menuntut keuntungan kecuali dalam kadar nilai saham yang ditanamkan dan jumlah mereka (para pendiri perusahaan tersebut) tidak kurang dari lima orang.
[40] Hukm al-Syari’ah al-Islamiyah fi ‘Uqud al-Ta`min, halaman 33.
[41] Lihat: al-Wasith fi Syarh al-Qanun al-Madani, jilid 2/7, halaman 1462 dan setelahnya; `Ushul al-Ta`min, halaman 93 dan setelahnya; ‘Aqd al-Ta`min wa Mada Masyru’iyatih fi al-Fiqh al-`Islami, halaman 77 dan setelahnya; al-Ta`min wa Ahkamuhu, halaman 71 dan setelahnya; ‘Uqud al-Ta`min wa `Uqud Dliman al-`Istitsmar, halaman 42 dan setelahnya; al-Ta`min al-Tijari wa al-Badil al-Islami, Dr. Gharib al-Jamal, Dar al-I’tisham, Kairo, halaman 62 dan setelahnya.
[42] Al-Qanun al-Bahri, Musthafa Kamal Thaha, cetakan tahun 1981M, halaman 438.
[44] ‘Aqd al-Ta`min wa Mada Masyru’iyatih fi al-Fiqh al-`Islami, al-Najjar, halaman 77 dan 78.
[45] ‘Uqud al-Ta`min wa `Uqud Dliman al-`Istitsmar, halaman 43.
[46] al-Wasith fi Syarh al-Qanun al-Madani, halaman 1733 dan 1734
[47] `Ushul al-Ta`min, halaman 182 dan 183.
[48] Ibid., halaman 183.
[49] al-Wasith fi Syarh al-Qanun al-Madani, halaman 1741
[50] ‘Aqd al-Ta`min wa Mada Masyru’iyatih fi al-Fiqh al-`Islami, al-Najjar, halaman 82.
[51] al-Wasith fi Syarh al-Qanun al-Madani, halaman 1744 dan setelahnya.
[52] al-Wasith fi Syarh al-Qanun al-Madani, halaman 1911 dan setelahnya; ‘Uqud al-Ta`min wa `Uqud Dliman al-`Istitsmar, halaman 43 dan setelahnya; al-Mu’amalat al-Ta`miniyah bain al-Fiqh al-Islami wa al-Qanun al-Wadl’i, halaman 67 dan setelahnya; dan `Ushul al-Ta`min, halaman 202 dan setelahnya.
[53] Al-Ta`min fi al-Syari’ah wa al-Qanun, Syaukat Alyan, halaman 35.
[54] Pada pendahuluan di bagian pertama dari buku ini.
[55] Firman Allah dalam QS. An-Nahl [16] ayat 92: ((وَلاَ تَكُونُواْ كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِن بَعْدِ قُوَّةٍ أَنكَاثًا َ )) artinya: “Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai Kembali..”
[56] Al-Qamus al-Muhith, item: ‘Aqada.
[57] Al-Qamus al-Fiqh, item: al-‘Aqd.
[58] Al-Ta’rifat li al-Jurjani, halaman 66.
[59] Al-Madkhal al-Fiqhi al-‘Am, Prof. Musthafa al-Zarqa`, jilid 1, halaman 256
[60] Materi 103 dari Majalah tersebut.
[62] Al-Ta`min al-Ta’awuni al-Islami, Dr. Ahmad Salim Mulham, halaman 13.
[64] Al-Wasith fi Syarh al-Qanun al-Madani, Jilid 2/7, halaman 1379.
[65] Lisan al-Arab, Ibn al-Mandzur, Bagian Ra` Bab al-Nun.
[68] Al-Wasith fi Syarh al-Qanun al-Madani, Jilid 2/7, halaman 1476
[69] Ibid., halaman 1482.
[70] Ibid., halaman 1485, 1486.
[71] Lihat: Al-Wasith fi Syarh al-Qanun al-Madani, Jilid 2/7, halaman 1540 dan setelahnya; ‘Aqd al-Ta`min wa Mada Masyru’iyatih fi al-Fiqh al-`Islami, halaman 33 dan setelahnya; `Ushul al-Ta`min, halaman 295 dan setelahnya; Syarh al-Qanun al-Madani al-Jadid fi al-Ta`min wa al-‘Uqud al-Shaghira, halaman 27.
[72] Al-Wasith fi Syarh al-Qanun al-Madani, Jilid 2/7, halaman 1541 dan setelahnya.
[73] Al-Wasith fi Syarh al-Qanun al-Madani, Jilid 2/7, halaman 1546; ‘Aqd al-Ta`min wa Mada Masyru’iyatih fi al-Fiqh al-`Islami, halaman 38 dan setelahnya; `Ushul al-Ta`min, halaman 315.
[74] Ibid.
[75] `Ushul al-Ta`min, halaman 326 dan setelahnya. ‘Aqd al-Ta`min wa Mada Masyru’iyatih fi al-Fiqh al-`Islami, halaman 46 dan setelahnya
[76] Al-Ta`min, Dr. ‘Abdul Mun’im al-Badrawi, halaman 76
[77] Ibid., halaman 76, 77.
[78] `Ushul al-Ta`min, halaman 336 dan setelahnya.
[79] Inilah pendapat yang dirujuk oleh Syeik Musthafa al-Zarqa`, di mana ia berpandangan bahwa kompensasi sesungguhnya dalam asuransi melalui beberapa premi. Sesungguhnya kompensasi itu antara premi yang dibayarkan oleh nasabah dan keselamatan yang didapatkannya dengan sekadar kontrak tanpa mengalami bahaya setelah itu. Dengan itu maka penyebab adanya kontrak asuransi menurutnya adalah keselamatan dan premi sekaligus. Dalam hal ini Dr. al-Shadiq al-Dlorir telah mendialogkannya di dalam karyanya, al-Gharar wa `Atsaruhu fi al-‘Uqud fi al-Fiqh al-Islami, Dar al-Jail, Beirut, halaman 651, di mana ia berkata: sesungguhnya persyaratan yang lebih pas di dalam hukum dan fiqh adalah bahwa sebab kontrak harus ada dan bersifat mungkin, kalo sebab terjadinya tidak ada maka kontrak itu batal. Yang jelas bahwa keselamatan di dalam kontrak asuransi tidak harus ada. Kayaknya Syeik al-Shadiq al-Dlorir dalam hal ini bisa dikritik bahwa keselamatan menjadi sebab bagi banyak kontrak seperti kontrak upeti dan perlindungan, di mana upeti yang dibayarkan oleh Ahl al-Kitab kepada negara Islam, sebagaimana juga pajak sepersepuluh (dari hasil bumi), merupakan imbalan bagi jaminan keselamatan jiwa dan properti mereka. Begitu juga upah yang diambil oleh scurity mereupakan imbalan keselamatan bagi penyewanya.
[80] ‘Aqd al-Ta`min wa Mada Masyru’iyatih fi al-Fiqh al-`Islami, halaman 50; ‘Uqud al-Ta`min wa ‘Uqud Dliman al-Istitsmar, Syarafuddin, halaman 49; dan `Ushul al-Ta`min, Abi al-Saud, halaman 339.
[82] Ibid.
[83] `Ushul al-Ta`min, Abi al-Saud, halaman 351, 352.
[84] Al-Wasith fi Syarh al-Qanun al-Madani, Jilid 2/7, halaman 1453, 1454; `Ushul al-Ta`min, Abi al-Saud, halaman 355, 356; ‘Aqd al-Ta`min wa Mada Masyru’iyatih fi al-Fiqh al-`Islami, an-Najjar, halaman 56, 57; dan
[85] Ibid.
[86] `Ushul al-Ta`min, Abi al-Saud, halaman 360-365.
[87] Al-Wasith fi Syarh al-Qanun al-Madani, Jilid 2/7, halaman 1440 dan sesudahnya; `Ushul al-Ta`min, halaman 393 dan setelahnya; ‘Aqd al-Ta`min wa Mada Masyru’iyatih fi al-Fiqh al-`Islami, halaman 23 dan setelahnya; at-Ta`min fi al-Syari’at wa al-Qanun, halaman 29 dan sesudahnya.
[88] Perkataan kami bukan berarti bahwa akad yang mewajibkan kedua pihak (mengandung kewajiban) adalah akad yang wajib, di mana salah satunya tidak boleh membubarkannya kecuali atas kesepakatan yang lain, karena pada hakikatnya merupakan akad yang tidak wajib. Di sana ada perbedaan antara akad yang mewajibkan dan akad yang wajib.
[89] Kontrak probabilitas dalam pemahaman undang-undang sama dengan knotrak penipuan dalam fiqh Islam karena keduanya mengandung unsur ketidakjelasan.
[90] `Ushul al-Ta`min, halaman 395.
[91] Ibid.
[92] ‘Aqd al-Ta`min wa Mada Masyru’iyatih fi al-Fiqh al-`Islami, halaman 25.
[93] Al-Wasith fi Syarh al-Qanun al-Madani, Jilid 2/7, halaman 1444; al-Ta`min, al-Badrawi, halaman 119; `Ushul al-Ta`min, halaman 400,401.
0 komentar:
إرسال تعليق