Photobucket

Bank data artikel 10

الأربعاء، ٤ جمادى الأولى ١٤٣٠ هـ

DISIPLIN KEILMUAN ISLAM TRADISIONAL: TASAWUF    (1/3)
            (Letak dan Peran Mistisisme dalam
               Penghayatan Keagamaan Islam)
                oleh Dr. Nurcholish Madjid
 
Dalam sebuah hadits, Rasulullah  s.a.w.  disebutkan  sebagai
bersabda  bahwa  masa  kenabian  (nubuwwah)  dan rahmat akan
disusul oleh masa kekhalifahan kenabian (Khilafat  nubuwwah)
dan  rahmat,  sesudah  itu  masa kerajaan (mulk) dan rahmat,
kemudian masa kerajaan (saja).1  Ibn  Taymiyyah  menjelaskan
bahwa masa "kenabian dan rahmat" itu ialah, tentu saja, masa
Nabi sendiri.  Sedangkan  masa  "kekhalifahan  kenabian  dan
rahmat"  berlangsung  selama  tiga puluh tahun sesudah wafat
Nabi s.a.w., yaitu sejak permulaan  kekhalifahan  Abu  Bakr,
disusul  Umar  ibn  al-Khathtab, kemudian Utsman ibn 'Affan,
dan  akhirnya  'Ali  ibn  Abi  Thalib.  Mereka  adalah  para
pengganti  (khalifah)  Nabi  yang kelak dikenal sebagai para
khalifah   yang   berpetunjuk   (al-khulafa    al-rasyidun).
Sedangkan  masa  para  khalifah  yang  empat itu adalah masa
"kerajaan dan rahmat."
 
Dari masa "kerajaan dan rahmat" itu, menurut Ibn  Taymiyyah,
yang  terbaik  ialah masa "Raja" Mu'awiyah ibn Abi Sufyan di
Damaskus. Ibn Taymiyyah mengatakan bahwa di antara raja-raja
tidak  ada  yang  menjalankan  kekuasaan  sebaik  Mu'awiyah.
Dialah sebaik-baik raja Islam, dan  tindakannya  lebih  baik
daripada tindakan para raja mana pun sesudahnya.2 
   
Pandangan  Ibn Taymiyyah itu khas paham Sunni, terutama dari
kalangan mazhab Hanbali. Malah, sesungguhnya, apa  pun  yang
terjadi  pada  Mu'awiyah akan dianggap Ibn Taymiyyah sebagai
tidak bisa dipersalahkan  begitu  saja,  karena  dia  adalah
seorang  Sahabat  Nabi.  Lebih  jauh,  Ibn  Taymiyyah  masih
mempunyai alasan untuk memuji anak Mu'awiyah,  yaitu  "Raja"
Yazid   (yang  oleh  kaum  Syi'ah  dituding  sebagai  paling
bertanggungjawab  atas   pembunuhan   amat   keji   terhadap
al-Husayn,  cucunda Nabi), karena, kata Ibn Taymiyyah, Yazid
adalah komandan tentara Islam  yang  pertama  memerangi  dan
mencoba  merebut  Konstantinopel,  sementara  sebuah  hadits
menyebutkan  adanya  sabda  Nabi:  "Tentara   pertama   yang
menyerbu  Konstantinopel  diampuni  (oleh  Allah akan segala
dosanya)."3 
   
Tetapi pandangan Ibn Taymiyyah itu berbeda dengan  yang  ada
pada banyak kelompok Islam yang lain, termasuk dari kalangan
kaum Sunni sendiri. Mereka ini berpendapat  bahwa  Mu'awiyah
tanpa  mengabaikan jasa-jasa yang telah diperbuatnya- adalah
orang  yang   pertama   bertanggung-jawab   merubah   sistem
kekhalifahan  yang  terbuka (pengangkatan pemimpin tertinggi
Islam me]alui pemilihan) menjadi  sistem  kekhalifahan  yang
tertutup  (pengangkatan  pemimpin  melalui  penunjukan  atau
wasiat berdasarkan pertalian darah). Ini memang bisa disebut
sistem  kerajaan  seperti  dimaksudkan  dalam hadits, tetapi
Mu'awiyah dan para penggantinya, begitu pula  para  penguasa
'Abbasiyah,  menyebut  diri  mereka  masing-masing  Khalifah
(dari Nabi), bukan raja. Namun tetap ada suatu  sistem  yang
adil  telah  diganti  dengan  sistem  yang kurang adil, jika
bukannya yang zalim.
 
Segi keadilan sistem kekhalifahan yang pertama  tidak  hanya
ada dalam mekanisme penggantiannya melalui pemilihan, tetapi
lebih-lebih lagi mereka itu dalam menjalankan kekuasaan  dan
pemerintahan.  Penyebutan  para  pengganti Nabi yang pertama
itu  sebagai  "berpetunjuk"  (al-rasyidun)  adalah  terutama
berkenaan dengan kualitas pemerintahan mereka itu.4 
   
Dalam  pandangan  banyak  orang  Muslim,  pemerintahan  masa
kekhalifahan yang pertama adalah suatu bentuk kesalehan  dan
rasa  keagamaan  yang mendalam, sedangkan para penguasa Bani
Umayyah hanya tertarik kepada kekuasaan  itu  sendiri  saja.
Kalaupun  tidak begitu tepat untuk masa Mu'awiyah (dan 'Umar
ibn 'Abd al'Aziz) -sebagaimana argumen untuk  Mu'awiyah  itu
telah  dikutip  dari  Ibn Taymiyyah di atas-penilaian serupa
itu jelas dianggap  berlaku  untuk  keseluruhan  rezim  Bani
Umayyah,  khususnya  sejak  kekuasaan  Marwan  ibn  al-Hakam
(60-62 H/644-655 M).  Apalagi  Marwan  ini  pernah  menjabat
sebagai  pembantu  utama  Khalifah  Utsman ibn 'Affan (22-35
H/644-656 M),  dan  diduga  keras  berada  dibalik  beberapa
kebijakan 'Utsman yang mengundang fitnah besar dalam sejarah
Islam  itu.  Karenanya,  sejak  saat  itu   tumbuh   oposisi
keagamaan  kepada  rezim  Damaskus,  tidak  saja  oleh musuh
tradisional kaum Umayyah yang terdiri dari  golongan  Syi'ah
dan  Khawarij,  tetapi  juga oleh golongan Sunnah, yang kaum
Umayyah ikut mendukung dan melindungi pertumbuhan awalnya.
 
Wujud oposisi keagamaan terhadap rezim Bani Umayyah itu yang
paling terkenal ialah yang dilakukan oleh seorang tokoh yang
amat saleh, yaitu Hasan dari Basrah (Hasan al-Bashri,  wafat
728   M).  Pada  masa  kekuasaan  Abd  al-Malik  ibn  Marwan
(memerintah 685-705 M), Hasan pernah  menulis  surat  kepada
Khalifah,   menuntut  agar  rakyat  diberi  kebebasan  untuk
melakukan apa  yang  mereka  anggap  baik,  sehingga  dengan
begitu  ada  tempat  bagi tanggung-jawab moral. Suratnya itu
bernada  menggugat  praktek-praktek  zalim  penguasa  Umawi.
Namun  Hasan  dibiarkan  bebas  oleh  pemerintah, disebabkan
wibawa kepribadiannya yang saleh dan pengaruhnya  yang  amat
besar kepada masyarakat luas.
 
TASAWUF SEBAGAI GERAKAN OPOSISI
 
Tidak dapat dibantah bahwa dari sekian banyak para nabi  dan
rasul,  Nabi Muhammad s.a.w. adalah yang paling sukses dalam
melaksanakan tugas. Ketika  beliau  wafat,  boleh  dikatakan
seluruh   Jazirah  Arabia  telah  menyatakan  tunduk  kepada
Madinah. Dan tidak lama setelah itu, di bawah pimpinan  para
khalifah,  daerah  kekuasaan politik Islam dengan amat cepat
meluas sehingga meliputi hampir seluruh  bagian  dunia  yang
saat   itu  merupakan  pusat  peradaban  manusia,  khususnya
kawasan inti yang terbentang dari Sungai Nil di barat sampai
Sungai Amudarya (Oxus) di timur.
 
Sukses  luar biasa di bidang militer dan politik itu membawa
berbagai akibat yang sangat luas. Salah satunya ialah  bahwa
sejak  dari  semula  terdapat perhatian yang amat besar pada
kaum Muslim, khususnya  para  penguasa,  pada  bidang-bidang
yang menyangkut masalah pengaturan masyarakat. Maka tidaklah
mengherankan bahwa dari berbagai segi  agama  Islam,  bagian
yang  paling awal memperoleh banyak penggarapan yang serius,
termasuk penyusunannya menjadi sistem yang  integral,  ialah
yang  berkenaan dengan hukum. Sedemikian rupa kuatnya posisi
segi hukum dari ajaran agama itu, sehingga  pemahaman  hukum
agama menjadi identik dengan pemahaman keseluruhan agama itu
sendiri,   yaitu   "fiqh"   (yang   makna   asalnya    ialah
"pemahaman"),  dan  jalan  hidup  berhukum  menjadi  identik
dengan ke seluruhan jalan hidup yang benar, yaitu "syari'ah"
(yang  makna  asalnya ialah "jalan"). Kata-kata ''syari'ah''
itu sebenarnya kurang lebih sama  maknanya  dengan  katakata
"sabil," "shirath," "minhaj," "mansak" ("manasik"), "maslak"
("suluk") dan "thariqah" yang juga digunakan dalam al-Quran.
 
Sudah tentu hal tersebut tidak seluruhnya salah. Dalam suatu
masyarakat  yang  sering  terancam  oleh  kekacauan   (Arab:
fawdla,  yakni,  chaos) karena fitnah-fitnah (dimulai dengan
pembunuhan 'Utsman), dan jika masyarakat itu meliputi daerah
kekuasaan  yang  sedemikian luas dan heterogennya, kepastian
hukum dan peraturan, serta ketertiban  dan  kemanan,  adalah
nilai-nilai  yang  jelas  amat  berharga. Maka kesalehan pun
banyak dinyatakan dalam ketaatan kepada ketentuan hukum, dan
perlawanan   kepada   penguasa,  khususnya  perlawanan  yang
bersifat   keagamaan   (pious   opposition),   juga   selalu
menyertakan tuntutan agar hukum ditegakkan.
 
Tetapi   kesalehan  yang  bertumpu  kepada  kesadaran  hukum
(betapapun  ia  tidak  bisa  diabaikan  sama  sekali  karena
mempunyai  prioritas yang amat tinggi) akan banyak berurusan
dengan  tingkah  laku  lahiriah  manusia  dan  hanya  secara
parsial  saja  berurusan  dengan  hal-hai  batiniah.  Dengan
kata-kata lain, orientasi  fiqh  dan  syari'ah  lebih  berat
mengarah    kepada    eksoterisisme,    dengan   kemungkinan
mengabaikan esoterisme yang lebih mendalam.
 
Maka demikian pula gerakan oposisi terhadap  praktek-praktek
regimenter  pemerintahan  kaum  Umawi  di Damaskus. Sebagian
bentuk oposisi itu terjadi karena dorongan  politik  semata,
seperti  gerakan  oposisi orang-orang Arab Irak, karena para
penguasa Damaskus lebih mendahulukan orang-orang Arab Syria.
Tetapi  sebagian  lagi,  justru yang lebih umum, oposisi itu
timbul karena pandangan bahwa kaum Umawi kurang  "relijius."
Tokoh  Hasan  dari  Basrah  yang  telah  disebutkan  di atas
mewakili kelompok gerakan oposisi jenis ini. Ketokohan Hasan
cukup  hebat,  sehingga  kelompok-kelompok  penentang  rezim
Umayyah banyak yang mengambil  ilham  dan  semangatnya  dari
Hasan,  yang  dianggap pendiri Mu'tazilah (Washil ibn 'Atha,
yang  dianggap  pendiri  Mu'tazilah,  asalnya  adalah  murid
Hasan),  begitu pula para 'ulama dengan orientasi Sunni, dan
orang-orang  Muslim   dengan   kecenderungan   hidup   zuhud
(asketik).  Mereka  yang  tersebut  terakhir  inilah,  sejak
munculnya di Basrah, yang disebut kaum Sufi  (Shufi),  konon
karena  pakaian  mereka  yang  terdiri dari bahan wol (Arab:
shuf) yang kasar  sebagai  lambang  kezuhudan  mereka.  Dari
kata-kata   shuf  itu  pula  terbentuk  kata-kata  tashawwuf
(tasawuf), yaitu, kurang lebih, ajaran kaum Sufi.
 
Dalam  perkembangannya  lebih  lanjut,  Tasawuf  tidak  lagi
bersifat  terutama sebagai gerakan oposisi politik. Meskipun
semangat  melawan  atau  mengimbangi  susunan  mapan   da]am
masyarakat  selalu merupakan ciri yang segera dapat dikenali
dari  tingkah  laku  kaum  Sufi,  tetapi  itu  terjadi  pada
dasarnya   karena  dinamika  perkembangan  gagasan  kesufian
sendiri, yaitu setelah secara  sadar  sepenuhnya  berkembang
menjadi mistisisme. Tingkat perkembangan ini dicapai sebagai
hasil pematangan  dan  pemuncakan  rasa  kesalehan  pribadi,
yaitu  perkembangan  ketika perhatian paling utama diberikan
kepada kesadaran yang bersifat masalah historis dan  politis
umat hanya secara minimal saja.
 
TARIK-MENARIK ANTARA SYARI'AH DAN THARIQAH
 
Perpisahan antara kedua orientasi keagamaan yang lahiri  dan
batini   itu   kemudian  mewujudkan  diri  dalam  divergensi
sistem-sistem penalaran  masing-masing  pihak  pendukungnya.
Maka   dalam   kedua-duanya   kemudian  tumbuh  cabang  ilmu
Keislaman yang berbeda satu dari  yang  lain,  bahkan  dalam
beberapa  hal  tidak jarang bertentangan. Seolah-olah hendak
berebut sumber legitimasi dari al-Qur'an,  maka  sebagaimana
orientasi   keagamaan   eksoteris   yang   bertumpu   kepada
masalah-masalah  kehukuman  itu  mengklaim   sebagai   paham
keagamaan   (fiqh)   dan   jalan  kebenaran  (syari'ah)  par
excellence,  orientasi  keagamaan  esoteris  yang   bertumpu
kepada  masalah  pengalaman dan kesadaran ruhani pribadi itu
juga mengklaim diri sebagai pengetahuan keagamaan (ma'rifah)
dan jalan menuju kebahagiaan (thariqah) par excellence.
 
 
DISIPLIN KEILMUAN ISLAM TRADISIONAL: TASAWUF    (2/3)
            (Letak dan Peran Mistisisme dalam
               Penghayatan Keagamaan Islam)
                oleh Dr. Nurcholish Madjid
 
Akibatnya, polemik dan kontroversi antara keduanya pun tidak
selamanya   bisa   dihindari.   Ibn   Taymiyyah,   misalnya,
melukiskan pertentangan antara orientasi eksoteris dari kaum
fiqh dengan orientasi esoteris dari kaum sufi sebagai serupa
dengan  pertentangan  antara  kaum  Yahudi dan kaum Kristen.
Dengan terlebih dahulu mengutip firman Allah  yang  artinya,
"Kaum  Yahudi  berkata,  'Orang-orang  Kristen itu tidak ada
apa-apanya,' dan kaum Kristen berkata,  'Orang-orang  Yahudi
itu tidak ada apa-apanya'"5 Ibn Taymiyyah mengatakan:
 
   "Anda dapatkan bahwa banyak dari kaum Fiqh, jika
   melihat kaum Sufi dan orang-orang yang beribadat
   (melulu), akan memandang mereka ini tidak ada
   apa-apanya, dan tidak mereka perhitungkan kecuali
   sebagai orang-orang bodoh dan sesat, sedangkan dalam
   tarekat mereka itu tidak berpegang kepada ilmu serta
   kebenaran sedikit pun. Dan Anda juga dapatkan banyak
   dari kaum Sufi serta orang-orang yang menempuh hidup
   sebagai faqir tidak menganggap apa-apa kepada Syari'ah
   dan ilmu (hukum); bahkan mereka menganggap bahwa orang
   yang berpegang kepada Syari'ah dan ilmu (hukum) itu
   terputus dari Allah, dan bahwa para penganutnya tidak
   memiliki apa-apa yang bermanfaat di sisi Allah."6 
          
Ibn Taymiyyah tidak bermaksud menyalahkan  salah  satu  dari
keduanya,  juga tidak hendak merendahkan sufi, sekalipun ia,
sebagai  seorang  penganut  mazhab  Hanbali,  sangat   berat
berpegang  kepada segi-segi eksoteris Islam seperti diwakili
dalam Syari'ah. Karena itu, Ibn Taymiyyah mengatakan,
 
   "Yang benar ialah bahwa apa pun yang berdasarkan Kitab
   dan Sunnah pada kedua belah pihak itu adalah benar. Dan
   apa pun yang bertentangan dengan Kitab Sunnah pada
   kedua belah pihak adalah batil."7 
 
Tetapi terhadap pernyataan  Ibn  Taymiyyah  ini,  penyunting
kitab Iqtidla memberi catatan demikian:
 
   "Ini dengan asumsi bahwa ajaran kesufian itu ada
   kebenaran. Jika tidak, maka sebenarnya ajaran kesufian
   itu pada dasarnya adalah ciptaan sesudah generasi
   utama, yang dalam masa generasi itu hidup sebaik-baik
   umat dan para imam kebenaran pada umat itu.
   Sesungguhnya Allah, dengan Kitab-Nya dan petunjuk
   Nabi-Nya s.a.w. telah membuat kaum beriman tidak
   memerlukan apa yang ada dalam ajaran kesufian, yang
   dianggap orang mampu melembutkan hati dan
   membersihkannya."8 
          
Dari   kutipan-kutipan   itu   dapat    didasarkan    betapa
persimpangan jalan antara "kaum kebatinann (ahl al-bawathin)
dan  "kaum  kezahiran"  (ahl  al-dhawahir)  dapat  meningkat
kepada  batas-batas yang cukup gawat. Tetapi benarkah memang
antara keduanya tidak terdapat titik pertemuan?
 
TASAWUF SEBAGAI OLAH RUHANI
 
Ketika Nabi muhammad s.a.w. disebut  sebagai  seorang  Rasul
yang  paling  berhasil  dalam mewujudkan misi sucinya, bukti
untuk mendukung penilaian itu ialah  hal-hal  yang  bersifat
sosial-politis,  khususnya  yang  dalam  bentuk keberhasilan
ekspansi-ekspansi militer. Dan  Nabi  Muhammad  s.a.w.  sama
dengan  beberapa  Nabi yang lain seperti Musa dan Dawud a.s.
adalah   seorang   "Nabi   Bersenjata"   (Armed    Prophet),
sebagaimana  dikatakan  oleh sarjana sosiologi terkenal, Max
Weber. Karena kenyataan itu, ada sementara ahli yang  hendak
mereduksikan  misi  Nabi Muhammad s.a.w. sebagai tidak lebih
daripada   suatu   gerakan    reformasi    sosial,    dengan
program-program  seperti  pengangkatan  martabat  kaum lemah
(khususnya  kaum  wanita  dan  budak),  penegakan  kekuasaan
hukum,  usaha  mewujudkan  keadilan  sosial,  tekanan kepada
persamaan umat manusia (egalitarisme), dan lain-lain.  Dalam
pandangan  serupa  itu,  Nabi  Muhammad  s.a.w.  tidak  bisa
disamakan dengan Nabi  'Isa  al-Masih,  karena  ajaran  Nabi
Muhammad   tidak   banyak  mengandung  kedalaman  keruhanian
pribadi. Tetapi Nabi Muhammad s.a.w. lebih mirip dengan Nabi
Musa  a.s.  dan  para  rasul  dari  kalangan anak turun Nabi
Ya'qub (Isra'il), yang mengajarkan tentang betapa pentingnya
berpegang kepada hukum-hukum Taurat (Talmudic Law).
 
Bahwa  Nabi  Muhammad  s.a.w  membawa  reformasi sosial yang
monumental kiranya sudah jelas. Al-Qur an sendiri mengaitkan
keimanan serta penerimaan seruan Nabi dengan usaha reformasi
dunia (ishlah al-ardl).  Tetapi  di  berbagai  tempat  dalam
al-Qur  an  juga  disebutkan bahwa tugas reformasi dunia itu
tidak hanya dipunyai oleh Nabi Muhammad, melainkan juga oleh
para  nabi  yang  lain.9  Dan  Nabi  Muhammad  memang  telah
melaksanakannya  dengan  sukses  luar  biasa.   Salah   satu
pengakuan  yang jujur dari pihak luar Islam atas sukses Nabi
dalam membawa reformasi dunia ini ialah yang diberikan  oleh
Michael  H. Hart. Dalam bukunya yang memuat urutan peringkat
seratus orang yang paling  berpengaruh  dalam  sejarah  umat
manusia,  Hart  menempatkan  Nabi  Muhammad  sebagai manusia
nomor satu yang paling berpengaruh. Ia menegaskan:
 
   "Jatuhnya pilihan saya kepada Nabi Muhammad dalam
   urutan pertama daftar Seratus Tokoh yang berpengaruh di
   dunia mungkin mengejutkan sementara pembaca dan mungkin
   jadi tanda tanya sebagian yang lain. Tapi saya
   berpegang kepada keyakinan saya, dialah Nabi Muhammad
   satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih
   sukses-sukses luar biasa ditilik dari ukuran agama
   maupun ruang lingkup duniawi."10 
 
Namun disamping itu al-Qur'an juga banyak menegaskan tentang
pentingnya  orientasi  keruhanian yang bersifat ke dalam dan
mengarah kepada pribadi. Justru sudah menjadi kesadaran para
sarjana  Islam  sejak dari masa-masa awal bahwa Islam adalah
agama pertengahan (wasath)  antara,  di  satu  pihak,  agama
Yahudi  yang  legalistik  dan  banyak  menekankan  orientasi
kemasyarakatan  dan,  di  pihak  lain,  agama  Kristen  yang
spiritualistik dan sangat memperhatikan kedalaman olah serta
pengalaman rohani serta membuat agama  itu  lembut.  Seperti
dikatakan  Ibn  Taymiyyah,  "Syari'ah Taurat didominasi oleh
ketegaran, dan Syari'ah Injil  didominasi  oleh  kelembutan;
sedangkan Syari'ah al-Qur an menengahi dan meliputi keduanya
itu."11 
 
Maka sebagai bentuk pertengahan dan sekaligus  antara  kedua
agama  pendahuluannya  itu,  Islam  mengandung ajaran-ajaran
hukum dengan orientasi kepada masalah-masalah  tingkah  laku
manusia secara lahiriah seperti pada agama Yahudi, tapi juga
mengandung ajaran-ajaran keruhanian  yang  mendalam  seperti
pada  agama Kristen. Bahkan sesungguhnya antara keduanya itu
tidak bisa dipisahkan, meskipun bisa dibedakan. Sebab ketika
orang  Muslim  dituntut  untuk  tunduk  kepada  suatu  hukum
tingkah laku  lahiriah,  ia  diharapkan,  malah  diharuskan,
menerimanya dengan ketulusan yang terbit dari lubuk hatinya.
Ia harus merasakan ketentuan hukum itu sebagai sesuatu  yang
berakar dalam komitmen spiritualnya. Kenyataan ini tercermin
dalam susunan kitab-kitab fiqh, yang selalu  dimulai  dengan
bab  pensucian  (thaharah)  lahir,  sebagai  awal  pensucian
batin.
 
Walaupun begitu, tetap ada kemungkinan orang mengenali  mana
yang   lebih   lahiriah,   dan   mana  pula  yang  batiniah.
Sebenarnya, sudah sejak  zaman  Rasulullah  s.a.w.  sendiri,
terdapat  kelompok  para  sahabat  Nabi  yang lebih tertarik
kepada   hal-hal   yang   bersifat   lebih   batiniah   itu.
Disebut-sebut,  misalnya,  kelompok  ahl  al-shuffah,  yaitu
sejumlah sahabat  yang  memilih  hidup  sebagai  faqir,  dan
sangat  setia kepada masjid. Tidak heran bahwa kelompok ini,
dalam  literatur  kesufian,  sering  diacu  sebagai  teladan
kehidupan saleh dikalangan para sahabat.
 
Al-Qur'an sendiri memuat berbagai firman yang merujuk kepada
pengalaman spritual Nabi. Misalnya, lukisan tentang dua kali
pengalaman  Nabi  bertemu  dan  berhadapan  dengan  Malaikat
Jibril dan  Allah.  Yang  pertama  ialah  pengalaman  beliau
ketika  menerima  wahyu  pertama  di gua Hira, di atas Bukit
Cahaya (Jabal Nur). Dan yang kedua ialah  pengalaman  beliau
dengan  perjalanan malam (isra ) dan naik ke langit (mi'raj)
yang terkenal itu.  Kedua  pengalaman  Nabi  itu  dilukiskan
dalam Kitab Suci demikian:
 
Demi bintang ketika sedang tenggelam. Sahabatmu sekalian itu
tidaklah sesat ataupun menyimpang. Dan ia  tidaklah  berucap
karena  menurut keinginan. Itu tidak lain adalah ajaran yang
diwahyukan.  Diajarkan  kepadanya  oleh  Jibril  yang   kuat
perkasa.  Yang  bijaksana,  dan  yang telah menampakkan diri
secara sempurna. Yaitu ketika ia berada di puncak cakrawala.
Kemudian  ia  pun mendekati, dan menghampiri. Hingga sejarak
kedua ujung busur panah, atau lebih dekat lagi.  Lalu  Tuhan
wahyukan  kepada  hamba-Nya wahyu yang dikehendaki. Tidaklah
jiwa (Nabi) mendustakan yang dilihatnya sendiri. Apakah kamu
semua  akan  membantahnya  tentang yang ia saksikan? Padahal
sungguh ia telah menyaksikan  pada  lain  kesempatan.  Yaitu
didekat  Pohon  Lotus, di alam penghabisan Di sebelahnya ada
Surga tempat  kediaman.  Ketika  Pohon  Lotus  itu  diliputi
cahaya tak terlukiskan. Penglihatan Nabi tidak bergoyah, dan
tidak  pula  salah  arah.  Sungguh  ia   telah   menyaksikan
tanda-tanda Tuhannya yang Agung tak terkira.12 
          
Bagi  kaum  Sufi,  pengalaman  Nabi  dalam  Isra-Mi'raj itu
adalah sebuah contoh puncak  pengalaman  ruhani.  Justru  ia
adalah  pengalaman ruhani yang tertinggi, yang bisa dipunyai
oleh seorang Nabi. Namun kaum Sufi berusaha untuk meniru dan
mengulanginya bagi diri mereka sendiri, dalam dimensi, skala
dan format yang sepadan dengan kemampuan mereka. Sebab  inti
pengalaman  itu  ialah  penghayatan  yang pekat akan situasi
diri yang sedang berada di hadapan Tuhan, dan  bagaimana  ia
"bertemu"  dengan  Dzat  Yang  Maha  Tinggi itu. "Pertemuan"
dengan Tuhan adalah dengan sendirinya juga merupakan  puncak
kebahagiaan,  yang  dilukiskan  dalam  sebuah hadits sebagai
"sesuatu yang tak pernah terlihat oleh mata,  tak  terdengar
oleh  telinga,  dan  tak terbetik dalam hati manusia." Sebab
dalam "pertemuan" itu, segala rahasia kebenaran "tersingkap"
(kasyf) untuk sang hamba, dan sang hamba pun lebur dan sirna
(fana  )  dalam  Kebenaran.  Maka  Ibn   'Arabi,   misalnya,
melukiskan  "metode" atau thariqah-nya sebagai perjalanan ke
arah penyingkapan Cahaya  Ilahi,  melalui  pengunduran  diri

(khalwah) dari kehidupan ramai.13

DISIPLIN KEILMUAN ISLAM TRADISIONAL: TASAWUF    (3/3)
            (Letak dan Peran Mistisisme dalam
               Penghayatan Keagamaan Islam)
                oleh Dr. Nurcholish Madjid
 
MASALAH KEABSAHAN TASAWUF
 
Membicarakan    keabsahan   Tasawuf   dapat   mengisyaratkan
pengambilan sikap penghakiman  (judgment)  dengan  implikasi
yang  serius,  karena  menyangkut masalah sampai dimana kita
bisa dan berhak  menilai  pengalaman  keruhanian  seseorang.
Telah  disinggung  bahwa  mistisisme atau pengalaman mistis,
tidak terkecuali yang ada pada kaum  Sufi,  selalu  mengarah
kedalam, dan dengan sendirinya bersifat pribadi. Oleh karena
itu pengalaman mistis hampir mustahil dikomunikasikan kepada
orang lain, dan selamanya akan lebih merupakan milik pribadi
si empunya sendiri. Oleh karena itu  sering  terjadi  adanya
tingkah  laku eksentrik dan "di luar garis," dan orang lain,
lebih-lebih sesama Sufi sendiri, akan  memandangnya,  dengan
penuh  pengertian,  jika  tidak  malah  kekaguman.  Berbagai
cerita tentang "wali" yang berkelakuan aneh, seperti  banyak
terdapat   di  berbagai  negeri  dan  daerah  Islam,  adalah
kelanjutan dari persepsi mistis ini.
 
Karena itu, bagi  mereka  yang  lebih  melihat  diri  mereka
sebagai  pemegang ajaran standar akan cepat mengutuk tingkah
laku aneh itu sebagai  tidak  lebih  daripada  keeksentrikan
yang  absurd  tanpa  makna,  jika  bukannya kesintingan atau
bahkan tarikan syetan yang sesat.
 
Kesesatan yang paling gawat, di mata ahl al-dhawahir,  ialah
yang  ada  dalam  kawasan  teori  dan  pandangan dasar, yang
mengarah  kepada  paham  "kesatuan   eksistensial"   (wahdat
al-wujud).  Selain  berbagai  tokoh yang sudah dikenal umum,
seperti  al-Hallaj  dan  Syekh  Siti  Jenar,  penganut   dan
pengembang pandangan itu yang paling kaya namun "liar" ialah
Ibn 'Arabi. Dalam  bukunya,  Fushush  al-Hikam,  Ibn  'Arabi
berdendang  dalam sebuah syair yang bernada "gurauan" dengan
Tuhan:
 
   Maka Ia (Tuhan)-pun memujiku, dan aku memuji-Nya,
     dan Ia menyembahku, dan aku pun menyembah-Nya.
   Dalam keadaan lahir aku menyetujui-Nya dan
     dalam keadaan hakiki aku menentang-Nya.
   Maka Ia pun mengenaliku namun aku tak mengenali-Nya
     lalu aku pun mengenali-Nya, maka aku pun menyaksikan-Nya
   Maka mana mungkin Ia tiada perlu,
     padahal aku menolong-Nya dan membahagiakan-Nya?
   Untuk inilah Kebenaran mewujudkan aku,
     sebab aku mengisi ilmu-Nya dan mewujudkan-Nya
   Begitulah, sabda telah datang kepada kita,
     dan telah dinyatakan dalam diriku segala maksudnya.14 
 
Ibn Arabi memang mengaku sebagai "kutub  para  wali"  (quthb
al-awliya), bahkan pemungkasnya. Ia dituding oleh para ulama
Syari'ah   sebagai   yang   paling   bertanggungjawab   atas
penyelewengan-penyelewengan   dalam  Islam,  khususnya  yang
terjadi di kalangan kaum Sufi. Namun bagi  para  pengikutnya
dia adalah al-syaikh al-akbar (guru yang agung).
 
Kesulitan  memahami  literatur kesufian, seperti karya-karya
Ibn Arabi ialah bahwa pengungkapan ide dan ajaran didalamnya
sering   menggunakan  kata  kiasan  (matsal)  dan  pelambang
(ramz). Karena itu ungkapan-ungkapan yang ada harus dipahami
dalam  kerangka  interpretasi  metaforis  atau tafsir batini
(ta'wil). Dan adalah ta'wil itu memang yang  menjadi  metode
pokok  mereka dalam memahami teks-teks suci, baik Kitab Suci
maupun Hadits Nabi.
 
Maka  meskipun  mereka  menggunakan  metode  ta'wil   mereka
sebenarnya  tetap  berpegang  kepada sumber-sumber suci itu.
Hanya saja,  sejalan  dengan  metode  mereka,  mereka  tidak
memahami    sumber-sumber   itu   menurut   bunyi   lahiriah
tekstualnya. Inilah pangkal kontroversi mereka  dengan  kaum
Syari'ah.  Maka  tidak  jarang kaum Syari'ah mengutuk mereka
sebagai sesat, seperti yang  dilakukan  oleh  Ibn  Taymiyyah
terhadap Ibn Arabi.
 
Tapi,  dalam  semangat  empatik,  mungkin  justru pengalaman
mistis kaum Sufi harus dipandang sebagai  bentuk  pengalaman
keagamaan  yang sejati. Seperti pengalaman Nabi dalam Mi'raj
yang  tak   terlukiskan,   sehingga   karenanya   juga   tak
terkomunikasikan,    pengalaman   mistis   kaum   Sufi   pun
sesungguhnya  berada   di   luar   kemampuan   rasio   untuk
menggambarkannya.  Kaum  Sufi  gemar  mengatakan bahwa untuk
bisa mengetahui apa hakikat pengalaman itu, seseorang  hanya
harus  mengalaminya sendiri. Mereka mempunyai perbendaharaan
yang kaya untuk melukiskan kenyataan  itu.  Misalnya,  tidak
mungkinlah  menjelaskan  rasa manisnya madu jika orang tidak
pernah mencicipinya sendiri.
 
Pengalaman mistis tertinggi  menghasilkan  situasi  kejiwaan
yang   disebut  ekstase.  Dalam  perbendaharaan  kaum  Sufi,
ekstase itu sering dilukiskan sebagai keadaan mabuk kepayang
oleh  minuman  kebenaran.  Kebenaran  (al-haqq)  digambarkan
sebagai minuman keras atau  khamar.  Bahkan  untuk  sebagian
mereka minuman yang memabukkan itu tidak lain ialah apa yang
mereka namakan "dlamir al-sya'n," yaitu kata-kata "an"  yang
berarti  "bahwa"  dalam kalimat syahadat pertama, Asyhadu an
la ilaha illa Llah" (Aku  bersaksi  bahwa  tidak  ada  Tuhan
selain   Allah).  Pelukisan  ini  untuk  menunjukkan  betapa
intensenya mereka menghayati Tauhid, sehingga  mereka  tidak
menyadari apa pun yang lain selain Dia Yang Maha Ada.
 
Karena  itu,  suatu  pengalaman  mistis  mungkin  akan hanya
sekali terjadi dalam hidup  seorang,  tanpa  bisa  diulangi.
Inilah diumpamakan dengan turunnya "malam kepastian" (laylat
al-qadar), yang dalam  al-Qur'an  disebutkan  sebagai  lebih
baik dari seribu bulan. Artinya, seorang yang mengalami satu
momen menentukan itu, ia akan terpengaruh  oleh  pesan  yang
dibawa  seumur  hidupnya,  yaitu  sekitar  seribu bulan atau
delapan puluh tahun. Karena itu  meskipun  suatu  pengalaman
mistis   sebagai   suatu   kejadian  hanya  bersifat  sesaat
(transitory),  namun  relevansinya  bagi  pembentukan   budi
pekerti  akan bersifat abadi. Sebab dalam pengamalan intense
sesaat itu orang berhasil  menangkap  suatu  kebenaran  yang
utuh.   Kesadaran  akan  kebenaran  yang  utuh  itulah  yang
menimbulkan rasa bahagia dan tenteram yang  mendalam,  suatu
euphoria  yang tak terlukiskan. Dan itulah kemabukan mistis.
Kemudian, suatu hal yang amat penting ialah  bahwa  euphoria
itu  sekaligus  disertai dengan kesadaran akan posisi, arti,
dan peran diri sendiri yang proporsional, yaitu "tahu  diri"
(ma'rifat  al-nafs)15  yang  tidak  lebih  daripada  seorang
makhluk yang harus tunduk-patuh  dan  pasrah  bulat  (islam)
kepada  Sang  Maha  Pencipta (al-Khaliq). Maka seorang Sufi,
karena kepuasannya akan pengetahuan tentang Kebenaran, tidak
banyak menuntut dalam hidup ini. Ia puas (qana'ah) dan lepas
dari harapan kepada sesama  makhluk.  Ia  bebas,  karena  ia
merasa  perlu (faqir) hanya kepada Allah yang dapat ia temui
di mana  saja  melalui  ibadat  dan  dzikir.  Ia  menghayati
kehadiran   Tuhan  dalam  hidupnya  melalui  apresiasi  akan
nama-nama  (kualitas-kualitas)  Tuhan  yang  indah  (al-asma
al-husna),  dan  dengan  apresiasi itu ia menemukan keutuhan
dan keseimbangan dirinya
 
Hidup  penuh  sikap  pasrah  itu  memang  bisa   mengesankan
kepasifan   dan   eskapisme.  Tapi  sebagai  dorongan  hidup
bermoral, pengalaman mistis kaum Sufi  sebetulnya  merupakan
suatu kedahsyatan. Karena itulah ajaran Tasawuf juga disebut
sebagai  ajaran  akhlak.  Dan  akhlak  yang  hendak   mereka
wujudkan  ialah yang merupakan "tiruan" akhlak Tuhan, sesuai
dengan sabda Nabi yang mereka  pegang  teguh,  "Berakhlaqlah
kamu semua dengan akhlaq Allah."
 
Catatan kaki:
-------------
    1 Hadits ini dikutip oleh Ibn Taymiyyah dalam kitabnya,
   Minhaj al Sunnah fi Naqdl kalam al-Syi'ah wa al-Qadariyyah,
   4 jilid, (Riyadl: Maktab al-Riyadl al-Hadits, tanpa tahun),
   jilid IV, h. 121.
    2 Ibid
    3 Sebuah hadits diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kita
   shahihnya, dari Abdullah ibn Umar, dikutip dan dijabarkan
   oleh Ibn Taymiyyah. (Ibid., jilid II, h. 329).
    4 Pandangan yang cukup umum di kalangan orang-orang Muslim
   ini menjadi dasar sarjana sosiologi terkenal,
   Robert N. Bellah, untuk membuat penilaian -sebagaimana dalam
   kesempatan lain telah dikemukakan- bahwa Islam mengajarkan
   sistem politik yang terbuka dan "moderen."
   Tetapi karena prasarana sosialnya pada bangsa Arab dan
   dunia saat itu belum siap, maka sistem kekhalifahan Islam
   itu tidak bertahan lama, dan diganti dengan sistem "kerajaan
   Bani Umayyah yang menurut Bellah tidak lain ialah penghidupan
   kembali sistem tribalisme Arab yang telah ada sebelum
   kedatangan Islam. Maka Bellah dapat memahami mengapa
   orang-orang Muslim moderen, dalam mencari acuan untuk
   cita-cita politik mereka, senantiasa merujuk kepada masa
   kekhalifahan pertama sebagai model. (Lihat Robert N. Bellah,
   Beyond Belief [New York: Harper & Row, 1976], hh. 150-51).
    5 Q., s. al-Baqarah/2:13.
    6 Ibn Taymiyyah, Iqtidla al-Shirath al-Mustaqim
   (Beirut: Dar al-Fikr, tanpa tahun), h. 10.
    7 Ibid.
    8 Ibid.
    9 Lihat, a.l., Q., s. al-A'raf/7:56 dan 85.
   10 Michael H. Hart, The 100, a Ranking of the Most Influential
   Persons in History, terjemah Indonesia oleh H. Mahbub Djunaidi,
   "Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah",
   (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), h. 27.
   11 Ibn Taymiyyah, Al-Jawab al-Shahih li Man Baddala Din al-Masih,
   4 jilid, (Beirut [?]: Mathabi' al-Majd al-Tijariyyah,
   tanpa tahun), jilid 3, h. 240.
   12 Q., s. al-Najm/53:1-18.
   13 Salah satu buku Muhy al-Din ibn Arabi berjudul,
   dalam bahasa Arab, Risalat al-Anwar fi ma Yumnah
   Shahib al-Khalwah min al-Asrar (Risalah Cahaya tentang
   Berbagai Rahasia yang dikaruniakan kepada orang yang
   melakukan pengunduran diri (khalwah), diterjemahkan ke
   dalam bahasa Inggris oleh Rabia Terri Harris, Journey to
   the Lord of Power (New York: Inner Traditions International,
   1981).
   14 Muhy al-Din ibn Arabi, Fushush al-Hikam, h. 83. Cf
   terjemahan Inggris oleh R.W.J. Austin, The Bezels of Wisdom
   (New York: Paulist Press, 1980), h. 95.
   15 Karena itu di kalangan kaum Sufi terkenal ungkapan dalam
   bahasa Arab, "Man arafa nafsahu fa qad 'arafa Rabbahu"
   (Barangsiapa tahu dirinya maka ia akan tahu Tuhannya).
   Karena pengetahuan tentang diri secara proporsional adalah

indikasi pengetahuan akan Kebenaran Yang Bulat.

Disiplin Ilmu Keislaman Tradisional: Fiqh (Tinjauan Dari Segi Makna Kesejarahan) (2/3)

Ushul al-Fiqh (I)

Hampir semasa dengan Abu Hanifah di Irak (Kufah), tampil pula Anas ibn Malik (715-795) di Hijaz (Madinah). Aliran pikiran Abu Hanifah (madzhab Hanafi) banyak menggunakan analogi (qiyas) dan pertimbangan kebaikan umum (istishlah) dan tumbuh dalam lingkungan pemerintah pusat, sama halnya dengan aliran pikiran al-Awza'i di Syria (Damaskus) sebelumnya. Berbeda dengan keduanya itu, aliran pikiran Anas ibn Malik (madzhab Maliki) terbentuk oleh suasana lingkungan Hijaz, khususnya Madinah, yang sangat memperhatikan tradisi (sunnah) Nabi dan para sahabatnya.

Anas ibn Malik mempunyai seorang murid, yaitu Muhammad ibn Idris al-Syafi'i (wafat 204 H [820 M]. Al-Syafi'i meneruskan tema aliran pikiran gurunya dan mengembangkannya dengan membangun teori yang ketat untuk menguji kebenaran sebuah laporan tentang sunnah, terutama tentang hadits yang diriwayatkan langsung dari Nabi. Tetapi al-Syafi'i juga menerima tema aliran pikiran Hanafi yang dipelajari dari al-Syaibani (wafat 186 H [805 M]), yaitu penggunaan analogi, dan mengembangkannya menjadi sebuah teori yang sistematika dan universal tentang metode memahami hukum.

Dengan demikian maka al-Syafi'i berjasa meletakkan dasar-dasar teoritis tentang dua hal, yaitu, pertama, Sunnah, khususnya yang dalam bentuk Hadits, sebagai sumber memahami hukum Islam setelah al-Qur'an, dan, kedua, analogi atau qiyas sebagai metode rasional memahami dan mengembangkan hukum itu. Sementara itu, konsensus atau ijma' yang ada dalam masyarakat, yang kebanyakan bersumber atau menjelma menjadi sejenis kebiasaan yang berlaku umum (al-'urf), juga diterima oleh al-Syafi'i, meskipun ia tidak pernah membangun teorinya yang tuntas. Dengan begitu pangkal tolak ilmu fiqh (ushul al-fiqh), berkat al-Syafi'i, ada empat, yaitu Kitab Suci, Sunnah Nabi, ijma' dan qiyas.

Hadits sebagai Sunnah

Kitab Suci al-Qur'an telah dibukukan dalam sebuah buku terjilid (mushhaf) sejak masa khalifah Abu Bakr (atas saran 'Umar) dan diseragamkan oleh 'Utsman untuk seluruh Dunia Islam berdasarkan mushhaf peninggalan pendahulunya itu. Dalam hal ini Hadits berbeda dari al-Qur'an, karena kodifikasinya yang metodologis (dengan otentifikasi menurut teori al-Syafi'i) baru dimulai sekitar setengah abad setelah al-Syafi'i sendiri. Pelopor kodifikasi metodologi itu ialah al-Bukhari (wafat 256 H [870 M]), kemudian disusul oleh Muslim (wafat 261 H [875 M]), Ibn Majah (wafat 273 H [886 M]), Abu Dawud (wafat 275 H [888 M]), al-Turmudzi (wafat 279 H [892 M]) dan, akhirnya, al-Nasa'i (wafat 308 H [916 M]). Mereka ini kemudian menghasilkan kodifikasi metodologis Hadits yang selanjutnya dianggap bahan referensi utama di bidang hadits, dan secara keseluruhannya dikenal sebagai al-Kutub al-Sittah (Buku yang Enam).

Masa yang cukup panjang, yang ditempuh oleh proses pembukuan hadits sehingga menghasilkan dokumentasi yang dianggap final itu --berbeda halnya dengan masalah al-Qur'an-- adalah disebabkan adanya semacam kontroversi mengenai pembukuan hadits ini hampir sejak dari masa Nabi sendiri. Al-Syaikh Muhammad al-Hudlari Bek dalam bukunya yang terkenal, Tarikh al-Tasyri al-Islami (Sejarah Penetapan Hukum Syari'at Islam) menyebutkan adanya delapan kasus tindakan menghambat pencatatan hadits, lima di antaranya dihubungkan dengan 'Umar, dan tiga lainnya dengan masing-masing Abu Bakr, 'Ali, dan 'Abdullah ibn Mas'ud, yang dihubungkan dengan Abu Bakr dituturkan demikian:

"Bahwa (abu Bakr) al-Shiddiq mengumpulkan orang banyak setelah wafat Nabi mereka, kemudian berkata, "Kamu semuanya menceritakan banyak hadits dari Rasulullah s.a.w. yang kamu perselisihkan. Padahal manusia sesudahmu lebih banyak lagi perselisihan mereka. Maka janganlah kamu sekalian menceritakan (hadits) sesuatu apa pun dari Rasulullah. Dan jika ada orang bertanya kepada kamu, maka katakanlah, 'Antara kami dan kamu ada Kitab Allah, karena itu halalkanlah yang dihalalkannya dan haramkanlah yang diharamkannya.'"[16]

Selain itu, al-Hudlari Bek juga menuturkan adanya lima kasus yang mendorong periwayatan hadits, tiga diantaranya dikaitkan dengan 'Umar dan dua lainnya masing-masing dengan Abu Bakr dan 'Utsman. Yang dikaitkan dengan Abu Bakr dituturkan demikian:

" ... Seorang wanita tua datang kepada Abu Bakr meminta keputusan mengenai waris. Maka dijawabnya, "Tidak kudapati sesuatu apa pun untukmu dalam Kitab Allah, dan tidak kuketahui bahwa Rasulullah s.a.w. menyebutkan sesuatu apa pun untukmu." Kemudian dia (Abu Bakr) bertanya kepada orang banyak, maka berdirilah al-Mughirah dan berkata, "Aku dengar Rasulullah s.a.w. memberinya seperenam." Lalu Abu Bakr bertanya, "Adakah seseorang bersamamu?" Maka Muhammad ibn Maslamah memberi kesaksian tentang hal yang serupa, kemudian Abu Bakr r.a. pun melaksanakannya.[17]

Sedangkan yang terkait dengan 'Umar dituturkan demikian:

" ... Diriwayatkan bahwa 'Umar berkata kepada Ubay, dan dia ini telah meriwayatkan sebuah hadits untuknya, "Engkau harus memberikan bukti atas yang kau katakan itu!" Kemudian Umar keluar, ternyata ada sekelompok orang dari golongan Anshar, maka disampaikanlah kepada mereka ini. Mereka menyahut,"Kami benar telah mendengar hal itu dari Rasulullah s.a.w." Maka kata 'Umar, "Adapun sesungguhnya aku tidaklah hendak menuduhmu, tetapi aku ingin menjadi mantap."[18]

Oleh karena itu sesungguhnya sejak masa amat dini pertumbuhan umat Islam telah ada catatan-catatan pribadi tentang hadits meskipun belum sistematis. Disebutkan bahwa Khalifah Abu Bakr sendiri mempunyai koleksi sekitar 400 hadits, dan 'Umar sendiri pernah terpikir untuk membuat rencana besar untuk mengumpulkan semua hadits, sekurang-kurangnya dalam hafalan, yang sering dia bacakan di Masjid Agung Kufah di masa kekhalifahannya. 'Abdullah ibn 'Amr ibn al-'Ash juga dilaporkan mengumpulkan banyak hadits atas persetujuan Rasulullah sendiri, dan dituliskan dalam sebuah buku yang diberi nama al-Shahifat al-Shadiqah. Buku ini sempat beredar selama dua abad, kemudian sebagiannya dihimpun dalam Musnad Ibn Hanbal.[19]

Sebelum adanya al-Kutub al-Sittah sebenarnya juga telah ada berbagai koleksi Hadits yang cukup sistematik, meskipun tanpa metode otentifikasi al-Syafi'i. Selain Musnad Ibn Hanbal yang telah disebutkan itu, yang paling terkenal dari banyak koleksi itu ialah al-Muwaththa' oleh Malik ibn Anas dari Madinah.

Tetapi memang harus diakui bahwa mengenai persoalan Hadits ini, disebabkan oleh masalah proses pembukuannya yang sedikit-banyak problematik itu, terdapat beberapa hal kontroversial sejak dari semula. Seorang tokoh pembaharu Islam di abad moderen dari Mesir, Rasyid Ridla, misalnya, menganut pandangan bahwa penulisan Hadits memang pada mulanya dibenarkan (oleh Nabi atau para khalifah pertama), tetapi kemudian dilarang.[20] Sebabnya ialah, menurut teori Rasyid Ridla, Nabi tidak memaksudkan Hadits-hadits itu sebagai sumber hukum yang abadi atau pun sebagai bagian dari agama.[21] Karena itu kemudian Nabi melarang menuliskan Hadits, yang larangan itu, menurut Rasyid Ridla ditaati oleh para sahabatnya, khususnya para khalifah empat yang pertama. Bahkan mereka ini katanya, dengan keras menentang penulisan itu. Para Tabi'un (orang-orang Muslim dari generasi sesudah para sahabat Nabi) tidak menemukan rekaman tertulis (shahifah) dari para sahabat, dan mereka itu mencatat Hadits hanya jika ada permintaan dari penguasa seperti khalifah.[22] Karena itu menurut Rasyid Ridla berbagai Hadits yang mengisyaratkan persetujuan atau apalagi anjuran menuliskan Hadits adalah lemah dan dikemukakan hanya untuk tujuan tertentu saja.[23] Teori Rasyid Ridla ini dibantah oleh Muhammad Musthafa al-A'dhami (M. M. Azmi) dengan data-data dan analisa yang lebih lengkap.[24] Tetapi Rasyid Ridla hanya salah satu dari banyak sarjana yang mempersoalkan kedudukan Hadits.[25]

Telah disebutkan bahwa al-Syafi'i adalah sarjana yang paling besar jasanya dalam meletakkan teori tentang kritik dan otentifikasi catatan Hadits. Jalan pikiran al-Syafi'i kemudian diikuti oleh para pemikir di bidang fiqh yang datang kemudian, khususnya Ahmad ibn Hanbal (wafat 234 H [855 M]). Sebagai pengembangan lebih lanjut teori al-Syafi'i, aliran pikiran Hanbali mempunyai ciri kuat sangat menekankan pentingnya Hadits yang dipilih secara seksama. Tetapi, tanpa menolak metode analogi atau qiyas, aliran Hanbali cenderung mengutamakan Hadits, biarpun lemah, atas analogi, biarpun kuat, Mazhab Hanbali mempunyai teori tersendiri tentang analogi. Sebagaimana dijabarkan oleh salah seorang tokohnya yang terbesar, Ibn Taimiyyah (wafat 728 H [1318 M7).[26]

Metode ijma' pun mengandung persoalan. Sekurang-kurangnya Ibn Taimiyyah berpendapat bahwa ijma' hanyalah yang terjadi di zaman salaf, yaitu zaman Nabi sendiri, para sahabat dan para tabi'un.[27]

Disiplin Ilmu Keislaman Tradisional: Fiqh (Tinjauan Dari Segi Makna Kesejarahan) (3/3)

Ushul al-Fiqh (II)

Istilah ushul al-fiqh, selain digunakan untuk menunjuk Kitab Suci, Sunnah Nabi, Ijma' dan Qiyas sebagai sumber-sumber pokok pemahaman hukum dalam Islam, juga digunakan untuk menunjuk kepada metode pemahaman hukum itu seperti dikembangkan oleh al-Syafi'i. Ushul al-fiqh dalam pengertian ini dapat dipandang sebagai sejenis filsafat hukum Islam karena sifatnya yang teoretis. Ia membentuk bagian dinamis dari keseluruhan ilmu fiqh, dan dibangun di atas dasar prinsip rasionalitas dan logika tertentu. Karena pentingnya ushul al-fiqh ini, maka di sini dikemukakan beberapa rumus terpenting berkenaan dengan hukum dalam Islam:Segala perkara tergantung kepada maksudnya.

  1. Segala perkara tergantung kepada maksudnya.
  2. Yang diketahui dengan pasti tidak dapat hilang dengan keraguan.
  3. Pada dasarnya sesuatu yang telah ada harus dianggap tetap ada.
  4. Pada dasarnya faktor aksidental adalah tidak ada.
  5. Sesuatu yang mapan dalam suatu zaman harus dinilai sebagai tetap ada kecuali jika ada petunjuk yang menyalahi prinsip itu.
  6. Kesulitan membolehkan keringanan.
  7. Segala sesuatu bisa menyempit, meluas, dan sebaliknya.
  8. Keadaan darurat membolehkan hal-hal terlarang.
  9. Keadaan darurat harus diukur menurut sekadarnya.
  10. Sesuatu yang dibolehkan karena suatu alasan menjadi batal jika alasan itu hilang.
  11. Jika dua keburukan dihadapi, maka harus dihindari yang lebih besar bahayanya dengan menempuh yang lebih kecil bahayanya.
  12. Menghindari keburukan lebih utama daripada mencari kebaikan.
  13. Pembuktian berdasar adat sama dengan pembuktian berdasar nas.
  14. Adat dapat dijadikan sumber hukum.
  15. Sesuatu yang tidak didapat semuanya, tidak boleh ditinggalkan semuanya.
  16. Ada-tidaknya hukum tergantung kepada illat (alasan)-nya.[28]

Penutup

Telah disebutkan pada bagian permulaan bahwa ilmu fiqh adalah cabang disiplin keilmuan tradisional Islam yang paling banyak mempengaruhi cara pandang orang-orang Muslim dan pemahaman mereka kepada agama mereka. Karena itu literatur dalam ilmu fiqh adalah yang paling kaya dan paling canggih.

Disebabkan oleh kuatnya orientasi fiqh itu maka masyarakat Islam dimana saja mempunyai ciri orientasi hukum yang amat kuat. Kesadaran akan hak dan kewajiban menjadi tulang punggung pendidikan Islam tradisional, dan itu pada urutannya tercermin dalam kuatnya kepastian hukum dan aturan di kalangan orang-orang Muslim. Disebutkan bahwa salah satu yang menarik pada agama Islam sehingga orang-orang Muslim dalam pergaulan sehari-hari (mu'amalat) sangat mementingkan kepastian hukum, sehingga terdapat keteraturan dan predictability. Ini khususnya penting di kalangan masyarakat perdagangan.[29]

Selanjutnya, beberapa unsur cita-cita pokok Islam berkenaan dengan kemasyarakatan juga lebih nampak pada ilmu fiqh. Prinsip persamaan manusia (egalitarianisme) tampil kuat sekali dalam ilmu fiqh, dalam bentuk penegasan atas persamaan setiap orang di hadapan hukum. Maka terkait dengan itu juga prinsip keadilan. Hal ini berbeda, misalnya, dengan ilmu tasawuf, khususnya yang berbentuk gerakan tarekat atau sufisme populer, yang sering memperkenalkan susunan sosial yang hirarkis, dengan otoritas keruhanian pimpinan yang menegaskan. Ilmu fiqh juga mempunyai kelebihan atas ilmu kalam, apalagi falsafah, dalam hal bahwa orientasi alamiahnya (praxis) sangat ditekankan. Sementara kalam dan falsafah sangat teoretis, malah spekulatif. Karena itu banyak gerakan reformasi sosial dalam Islam yang bertitik tolak dari doktrin-doktrin fiqh.

Tetapi, disebabkan oleh wataknya sendiri, ilmu fiqh menunjukkan kekurangan, yaitu titik beratnya yang terlalu banyak kepada segi-segi lahiriah. Di bidang keagamaan, eksoterisisme ini lebih-lebih merisaukan, sehingga muncul kritik-kritik, khususnya dari kaum Sufi. Tapi orientasi kedalaman (esoterisisme) kaum Sufi juga sering merisaukan, karena tidak jarang terjerembab ke dalam intuisisme pribadi yang sangat subyektif. Maka agaknya benarlah al-Ghazali yang hendak menyatukan itu semua dalam suatu disiplin ilmu keagamaan yang menyeluruh dan padu.

CATATAN

1 Dari empat disiplin ilmu keislaman tradisional itu masing-masing dapat diidentifikasikan sebagai berikut: ilmu fiqh merupakan disiplin dengan bidang garapan segi-segi eksoteris (lahiriah) agama, yaitu terutama aspek hukum dari amalan keagamaan. Para ahli fiqh juga disebut ahl al-dhawahir (kelompok eksoteris). Ilmu tasawuf memperhatikan segi-segi esoteris (kedalaman, kebatinan), dan para ahli tasawuf disebut ahl al-bawathin (kelompok esoteris). Ilmu kalam menggarap segi-segi rasional, namun tetap lebih mengutamakan wahyu, sedangkan falsafah menggarap segi-segi spekulatif dengan kecenderungan kuat kepada metode interprestasi metaforis kepada teks-teks suci. Dari keempatnya itu falsafah adalah yang paling kontroversial, disebabkan persandarannya kepada filsafat Yunani yang amat jauh. Namun ada bagian dari filsafat yang diterima hampir universal di kalangan orang-orang Muslim, yaitu logika formal (silogisme) Aristoteles, yang dalam peradaban Islam dikenal dengan ilmu mantiq (lengkapnya, 'ilm al-manthiq al-aristhi). Al-Ghazali pun, yang terkenal telah berusaha merubuhkan falsafah, menaruh kepercayaan besar kepada ilmu mantiq ini.

2 Seperti halnya dengan Nabi Musa a.s. dan beberapa Nabi yang lain, Nabi Muhammad dikenal dalam sosiologi agama sebagai "nabi bersenjata" (armed prophet). Tapi jauh melampaui "prestasi" Nabi Musa a.s., Nabi Muhammad s.a.w. berhasil merampungkan hal-hal yang berlipatganda lebih besar dari yang dirampungkan oleh Nabi Musa dan generasi berikutnya sampai Nabi Daud a.s. Ketika Rasulullah wafat, praktis seluruh Jazirah Arabia telah tunduk kepada Madinah, dan hanya selang beberapa tahun saja sesudah itu wilayah kekuasaan politik Islam meluas sampai meliputi daerah inti peradaban manusia saat itu.

3 Salah satu yang mendorong orang-orang Muslim itu keluar Jazirah Arabia dan mengadakan bcrbagai ekspedisi militer ialah karena berita-berita yang telah beredar saat-saat terakhir hidup Nabi bahwa orang-orang Byzantium yang telah merasa terancam oleh munculnya gerakan Islam itu telah menyiapkan pasukan yang sangat besar di perbatasan utara untuk menghancurkan masyarakat Islam. Bahkan sebelum wafatnya, Rasulullah s.a.w. telah sempat mengirim ekspedisi militer ke sana. Ekspedisi yang dikirim Nabi itu kemudian ditafsirkan sebagai semacam wasiat yang harus dilaksanakan, dan itulah permulaan sekalian ekspedisi dan ekspansi militer yang terjadi selanjutnya.

4 Kedudukan Nabi sebagai hakim pemutus perkara ini antara lain dikukuhkan dalam sebuah firman, Q., s. al-Nisa'/4:65, "Maka demi Tuhanmu, mereka tidaklah beriman sehingga mereka berhakim kepadamu berkenaan dengan hal-hal yang diperselisihkan antara mereka, kemudian mereka tidak menemui kekerabatan dalam diri mereka atas keputusan yang telah kau ambil, dan mereka pasrah sepenuh-penuhnya." Firman ini dan lain-lainnya juga sering menjadi acuan sebagai penegasan kewajiban mengikuti Nabi melalui Sunnah yang ditinggalkan beliau.

5 Ini bisa dipahami dari firman Allah, Q. s. Hud/11:88, yang menuturkan Nabi Syu'aib dalam pernyataannya kepada kaumnya; "Aku hanyalah menghendaki perbaikan (ishlah, reformasi) sedapatdapatku."

6 Hadits yang terkenal mengatakan, "Barangsiapa Allah menghendaki kebaikan baginya, maka ia dibuat paham (fiqh) dalam agama."

7 Q. s. al-Tawbah/9:122," Maka hendaknyalah pada setiap golongan dari mereka (orang-orang yang beriman) itu ada sekelompok orang yang tidak ikut (berperang) untuk mendalami agama (tafaqquh), dan untuk dapat memberi peringatan kepada kaumnya bila mereka itu telah kembali (dari perang) agar mereka semuanya waspada." Dan waspada dalam hal ini, seperti taqwa, mengandung arti menjunjung tinggi moralitas.

8 Sebuah Hadits yang terkenal bahwa Nabi Muhammad bersabda, "Aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan budi pekerti luhur."

9 Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Kuwait: Dar al-Bayan, 1388 H/ 1968 M), j. 1, h. 13.

10 Majallat al-Ahkam al-'Adliyyah (Beirut: Mathba'at Syiarku, 1388 H/1968 M, cetakan kelima), h. 15

11 Lihat catatan 1 di atas.

12 Di antara para khalifah Umawiyah yang terkenal sangat saleh ialah 'Umar ibn 'Abd al-'Aziz yang salah satu usahanya ialah mendamaikan pertikaian keagamaan antara kaum Sunni dan kaum Syi'i. Disebut-sebut bahwa yang sesungguhnya untuk pertama kali mendorong pembukuan Hadits, misalnya, adalah Khalifah ini, yang telah memerintahkan usaha itu kepada antara lain al-Zuhrf. Lihat M.M. Azami, Studies in Early Hadith Literature (Indianapolis: American Trust Publications, 1978), h. 18.

13 Ketidakpuasan umum kepada ketidakacuhan orang-orang Umawi dalam soal-soal keagamaan telah ikut mendorong meletus dan berhasilnya Revolusi Abbasiyah yang didukung oleh para agamawan itu. Meskipun dalam banyak hal, seperti sikap memihak kepada golongan Sunni, kaum Abbasiyah tak berbeda dari kaum Umawiyah, tapi yang tersebut terdahulu itu menunjukkan minat yang lebih besar kepada hal-hal khusus keagamaan. Ini menciptakan suasana yang baik untuk pengembangan ilmu-ilmu keagamaan, khususnya ilmu fiqh.

14 Mungkin karena rasa pertentangan yang laten kepada para pengikut 'Ali (kaum Syi'ah), kaum Umawiyah di Damaskus banyak menaruh simpati kepada 'Umar ibn al-Khaththab, dan mengaku bahwa dalam menjalankan beberapa segi pemerintahannya mereka meneruskan tradisi yang ditinggalkan oleh Khalifah Rasul yang kedua itu.

15 Kutipan dari Kitab al-Kharaj akan memberi gambaran yang jelas tentang nuktah ini:

"... Sesungguhnya Amir al-Mu'minin --semoga Allah Ta'ala meneguhkannya-- telah meminta kepadaku untuk menulis sebuah buku yang komprehensif dan meminta agar aku menjelaskan untuknya hal-hal yang ia tanyakan kepadaku dari perkara yang hendak ia amalkan, serta agar aku menafsirkan dan menjabarkannya. Maka benar-benar telah aku jelaskan hal itu semua dan kujabarkan.

Wahai Amir al-Mu'minin, sesungguhnya Allah --segala puji bagi-Nya-- telah meletakkan di atas suatu perkara yang besar pahalanya adalah sebesar-besar pahala, dan siksanya adalah sebesar-besar siksa. Allah telah meletakkan padamu urusan umat ini, maka engkau diwaktu pagi maupun petang membangun untuk orang banyak yang Allah telah menitipkan mereka itu kepadamu, mempercayakan mereka kepadamu, menguji kamu dengan mereka itu, dan menyerahkan kepadamu urusan mereka itu. Dan suatu bangunan tetap saja --jika didasarkan kepada selain taqwa-- akan dirusakkan Allah dari sendi-sendinya kemudian merobohkannya menimpa orang yang membangunnya sendiri dan orang lain yang membantunya. Maka janganlah sekali-sekali menyia-nyiakan urusan umat dan rakyat yang telah dibebankan Allah kepadamu ini, sebab kekuatan berbuat itu terjadi hanya seizin Allah ..." Abu Yusuf Ya'qub ibn Ibrahim, Kitab al-Kharaj (Kairo: al-Mathba'at al-Salafiyyah, 1382 H, h. 3).

16 Al-Syaikh Muhammad al-Hudlarf Bek, Tarikh al-Tasyri' al-Islami (Beirut: Dar al-Fikr, 1387 H/1967 mO, h. 90-91.

17 Ibid., h. 93.

18 Ibid., h. 93-94.

19 Majallat Kulliyyat al-Dirasat al-Islamiyyah (Baghdad: Mathb'at al Irsyad) NO. 2, 1388 H/1968 M, h. 119-120.

20 Azami, Early Hadith, h. 24, mengutip dari Rasyid Ridla, Review on Early Compilation, al-Manar, x, 767.

21 Azami, h. 24, mengutip Rasyid Ridla, 768.

22 Azami, h. 24, mengutip Rasyid Ridla, 768.

23 Azami, h. 24, mengutip Rasyid Ridla, 765-6.

24 Lihat Azami, h. 25, dan bab III untuk pembahasan ini.

25 Kritik terhadap pembukuan Hadits juga dilakukan oleh antara lain Chirargh 'Ali dari anak benua India, juga oleh para orientalis seperti Joseph Schacht yang banyak mengundang reaksi dari para sarjana Muslim disebabkan baik metodologi maupun kesimpulannya yang terlalu jauh.

26 Lihat antara lain Ibn Taimiyyah dan Ibn Qayyim al-Jawziyyah, al-Qiyas fi al-Syar' al-Islami (Kairo: Mathba'at al-Salafiyyah, 1346 H).

27 Lihat Ibn Taimiyyah, al-Muntaqa min Mintaj al-I'tidal (ringkasan. Ibn Taimiyyah, Minhaj al-Sunnah yang dibuat oleh al-Dzahabi) (Kairo: Mathb'at al-Salafiyyah, 1374 H), h. 66-7.

28 Lihat Majallat al-Ahkam al-'Adliyyah, h. 16-18.

29 Banyak buku tentang ushul al-fiqh ditulis para ahli, antara lain yang amat praktis oleh Abd al-Hamid Hakim, Mabadi' Awwaliyyah (Padang-Panjang). Juga bisa disebut karya yang lebih teoritis oleh 'Abd al-Wahhab al-Khallaf, 'Ilm Ushu al-Fiqh (Kuwait: al-Dar al-Kuwaitiyyah, 1388 H/1968 M). Tentu saja dari masa klasik ialah karya al-Syafi'i, al-Risalah (lih. terjemah Indonesianya).

Disiplin Keilmuan Tradisional Islam: Ilmu Kalam
(Sebuah Tinjauan Singkat Kritis Kesejarahan)
(2/2)

Plus-Minus Ilmu Kalam

Dalam perkembangan selanjutnya, Ilmu Kalam tidak lagi menjadi monopoli kaum Mu'tazilah. Adalah seorang sarjana dari kota Basrah di Irak, bernama Abu al-Hasan al-Asy'ari (260-324 H/873-935 M) yang terdidik dalam alam pikiran Mu'tazilah (dan kota Basrah memang pusat pemikiran Mu'tazili). Tetapi kemudian pada usia 40 tahun ia meninggalkan paham Mu'tazilinya, dan justru mempelopori suatu jenis Ilmu Kalam yang anti Mu'tazilah. Ilmu Kalam al-Asy'ar'i itu, yang juga sering disebut sebagai paham Asy'ariyyah, kemudian tumbuh dan berkembang untuk menjadi Ilmu Kalam yang paling berpengaruh dalam Islam sampai sekarang, karena dianggap paling sah menurut pandangan sebagian besar kaum Sunni. Kebanyakan mereka ini kemudian menegaskan bahwa "jalan keselamatan" hanya didapatkan seseorang yang dalam masalah Kalam menganut al-Asy'ari.

Seorang pemikir lain yang Ilmu Kalam-nya mendapat pengakuan sama dengan al-Asy'ari ialah Abu Manshur al-Maturidi (wafat di Samarkand pada 333 H/944 M). Meskipun terdapat sedikit perbedaan dengan al-Asy 'ari, khususnya berkenaan dengan teori tentang kebebasan manusia (al-Maturidi mengajarkan kebebasan manusia yang lebih besar daripada al-Asy'ari), al-Maturidi dianggap sebagai pahlawan paham Sunni, dan sistem Ilmu Kalamnya dipandang sebagai "jalan keselamatan", bersama dengan sistem al-Asy'ari. Sangat ilustratif tentang sikap ini adalah pernyataan Haji Muhammad Shalih ibn 'Umar Samarani (yang populer dengan sebutan Kiai Saleh Darat dari daerah dekat Semarang), dengan mengutip dan menafsirkan Sabda nabi dalam sebuah hadits yang amat terkenal tentang perpecahan umat Islam dan siapa dari mereka itu yang bakal selamat:

...Wus dadi prenca-prenca umat ingkang dihin-dihin ing atase pitung puluh loro pontho, lan mbesuk bakal pada prenca-prenca sira kabeh dadi pitting puluh telu pontho, setengah saking pitung puluh telu namung sewiji ingkang selamet, lan ingkang pitung puluh loro kabeh ing dalem neraka. Ana dene ingkang sewiji ingkang selamet iku, iya iku kelakuan ingkang wus den lakoni Gusti Rasulullah s.a.w., lan iya iku 'aqa'ide Ahl al-Sunnah wa 'l-Jama'ah Asy'ariyyah lan Maturidiyyah.[11]

(...Umat yang telah lalu telah terpecah-pecah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan kelak kamu semua akan terpecah-pecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, dari antara tujuh puluh tiga itu hanya satu yang selamat, sedangkan yang tujuh puluh dua semuanya dalam neraka. Adapun yang satu yang selamat itu ialah mereka yang berkelakuan seperti yang dilakukan junjungan Rasulullah s.a.w., yaitu 'aqa'id (pokok-pokok kepercayaan) Ahl al-Sunnah wa 'l-Jama'ah Asy'ariyyah dan M'aturidiyyah).

Kehormatan besar yang diterima al-Asy'ari ialah karena solusi yang ditawarkannya mengenai pertikaian klasik antara kaum "liberal" dari golongan Mu'tazilah dan kaum "konservatif" dari golongan Hadits (Ahl al-Hadits, seperti yang dipelopori oleh Ahmad ibn Hanbal dan sekalian imam mazhab Fiqh). Kesuksesan al-Asy'ari merupakan contoh klasik cara mengalahkan lawan dengan meminjam dan menggunakan senjata lawan. Dengan banyak meminjam metodologi pembahasan kaum Mu'tazilah, al-Asy'ari dinilai berhasil mempertahankan dan memperkuat paham Sunni di bidang Ketuhanan (di bidang Fiqh yang mencakup peribadatan dan hukum telah diselesaikan terutama oleh para imam mazhab yang empat, sedangkan di bidang tasawuf dan filsafat terutama oleh al-Ghazali, 450-505 H/1058-1111 M). Salah satu solusi yang diberikan oleh al-Asy'ari menyangkut salah satu kontroversi yang paling dini dalam pemikiran Islam, yaitu masalah manusia dan perbuatannya, apakah dia bebas menurut paham Qadariyyah atau terpaksa seperti dalam paham Jabariyyah. Dengan maksud menengahi antara keduanya, al-Asy'ari mengajukan gagasan dan teorinya sendiri, yang disebutnya teori Kasb (al-kasb, acquisition, perolehan). Menurut teori itu, perbuatan manusia tidaklah dilakukan dalam kebebasan dan juga tidak dalam keterpaksaan. Perbuatan manusia tetap dijadikan dan ditentukan Tuhan, yakni dalam keterlaksanaannya. Tetapi manusia tetap bertanggung-jawab atas perbuatannya itu, sebab ia telah melakukan kasb atau acquisition, dengan adanya keinginan, pilihan, atau keputusan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, dan bukan yang lain, meskipun ia sendiri tidak menguasai dan tidak bisa menentukan keterlaksanaan perbuatan tertentu yang diinginkan, dipilih dan diputus sendiri untuk dilakukan itu. Ini diungkapkan secara singkat dalam nadham Jawharat al-Tawhid demikian:

Wa indana li l abdi kasbun kullifa, wa lam yakun mu atstsiran fa 'l-tarifa.
Fa laysa majburan wa la 'khtiyara wa laysa kullan yaf'alu 'khtiyara

(Bagi kita Ahl al-Sunnah manusia terbebani oleh kasb dan ketahuilah bahwa ia tidak mempengaruhi tindakannya.
Jadi manusia bukanlah terpaksa dan bukan pula bebas, namun tidak seorang pun mampu berbuat sekehendaknya).

Terhadap rumus itu Kiai Saleh Darat memberi komentar tipikal paham Sunni (menurut Ilmu Kalam Asy'ari) sebagai berikut:

... Maka Jabariyyah lan Qadariyyah iku sasar karone.Maka ana madshab Ahl al-Sunnah iku tengah-tengah antarane Jabariyyah lan Qadariyyah, metu antarane telethong lan getih metu rupa labanan khalishan sa'ghan li al-syaribin.[12]

(... Maka Jabariyyah dan Qadariyyah itu kedua-duanya sesat. Kemudian adalah mazhab Ahl al-Sunnah berada di tengah antara Jabariyyah dan Qadariyyah, keluar dari antara kotoran dan darah susu yang murni, yang menyegarkan orang yang meminumnya).

Tetapi tak urung konsep kasb al-Asy'ari itu menjadi sasaran kritik lawan-lawannya. Dan lawan-lawan al-Asy'ari tidak hanya terdiri dari kaum Mu'tazilah dan Syi'ah (yang dalam Ilmu Kalam banyak mirip dengan kaum Mu'tazilah), tetapi juga muncul, dari kalangan Ahl al-Sunnah sendiri, khususnya kaum Hanbali. Dalam hal ini bisa dikemukakan, sebagai contoh, yaitu pandangan Ibn Taymiyyah (661-728 H/1263-1328 M), seorang tokoh paling terkemuka dari kalangan kaum Hanbali. Ibn Taymiyyah menilai bahwa dengan teori kasb-nya itu alAsy'ari bukannya menengahi antara kaum Jabari dan Qadari, melainkan lebih mendekati kaum Jabari, bahkan mengarah kepada dukungan terhadap Jahm ibn Shafwin, teoretikus Jabariyyah yang terkemuka. Dalam ungkapan yang menggambarkan pertikaian pendapat beberapa golongan di bidang ini, Ibn Taymiyyah yang nampak lebih cenderung kepada paham Qadariyyah (meskipun ia tentu akan mengingkari penilaian terhadap dirinya seperti itu) mengatakan demikian:

... Sesungguhnya para pengikut paham Asy'ari dan sebagian orang yang menganut paham Qadariyyah telah sependapat dengan al-Jahm ibn Shafwan dalam prinsip pendapatnya tentang Jabariyyah, meskipun mereka ini menentangnya secara verbal dan mengemukakan hal-hal yang tidak masuk akal... Begitu pula mereka itu berlebihan dalam menentang kaum Mu'tazilah dalam masalah-masalah Qadariyyah --sehingga kaum Mu'tazilah menuduh mereka ini pengikut Jabariyyah-- dan mereka (kaum Asy'ariyyah) itu mengingkari bahwa pembawaan dan kemampuan yang ada pada benda-benda bernyawa mempunyai dampak atau menjadi sebab adanya kejadiankejadian (tindakan-tindakan).[13]

Namun agaknya Ibn Taymiyyah menyadari sepenuhnya betapa rumit dan tidak sederhananya masalah ini. Maka sementara ia mengkritik konsep kasb alAsy'ari yang ia sebutkan dirumuskan sebagai "sesuatu perbuatan yang terwujud pada saat adanya kemampuan yang diciptakan (oleh Tuhan untuk seseorang) dan perbuatan itu dibarengi dengan kemampuan tersebut"[14] Ibn Taymiyyah mengangkat bahwa pendapatnya itu disetujui oleh banyak tokoh Sunni, termasuk Malik, Syafii dan Ibn Hanbal. Namun Ibn Taymiyyah juga mengatakan bahwa konsep kasb itu dikecam oleh ahli yang lain sebagai salah satu hal yang paling aneh dalam Ilmu Kalam.[15]

Ilmu Kalam, termasuk yang dikembangkan oleh al-Asy'ari, juga dikecam kaum Hanbali dari segi metodologinya. Persoalan yang juga menjadi bahan kontroversi dalam Ilmu Kalam khususnya dan pemahaman Islam umumnya ialah kedudukan penalaran rasional ('aql, akal) terhadap keterangan tekstual (naql, "salinan" atau "kutipan"), baik dari Kitab Suci maupun Sunnah Nabi. Kaum "liberal", seperti golongan Mut'azilah, cenderung mendahulukan akal, dan kaum "konservatif" khususnya kaum Hanbali, cenderung mendahulukan naql. Terkait dengan persoalan ini ialah masalah interprestasi (ta'wil), sebagaimana telah kita bahas.[16] Berkenaan dengan masalah ini, metode al-Asy'ari cenderung mendahulukan naql dengan membolehkan interprestasi dalam hal-hal yang memang tidak menyediakan jalan lain. Atau mengunci dengan ungkapan "bi la kayfa" (tanpa bagaimana) untuk pensifatan Tuhan yang bernada antropomorfis (tajsim) --menggambarkan Tuhan seperti manusia, misalnya, bertangan, wajah, dan lain-lain. Metode al-Asy'ari ini sangat dihargai, dan merupakan unsur kesuksesan sistemnya.

Tetapi bagian-bagian lain dari metodologi al-Asy'ari, juga epistemologinya, banyak dikecam oleh kaum Hanbali. Di mata mereka, seperti halnya dengan Ilmu Kalam kaum Mu'tazilah, Ilmu Kalam al-Asy'ari pun banyak menggunakan unsur-unsur filsafat Yunani, khususnya logika (manthiq) Aristoteles. Dalam penglihatan Ibn Taymiyyah, logika Aritoteles bertolak dari premis yang salah, yaitu premis tentang kulliyyat (universals) atau al-musytarak al-muthlaq (pengertian umum mutlak), yang bagi Ibn Taymiyyah tidak ada dalam kenyataan, hanya ada dalam pikiran manusia saja karena tidak lebih daripada hasil ta'aqqul (intelektualisasi).[17] Demikian pula konsep-konsep Aristoteles yang lain, seperti kategori-kategori yang sepuluh (esensi, kualitas, kuantitas, relasi, lokasi, waktu, situasi, posesi, aksi, dan pasi), juga konsep-konsep tentang genus, spesi, aksiden, properti, dan lain-lain, ditolak oleh Ibn Taymiyyah sebagai basil intelektualisasi yang tidak ada kenyataannya di dunia luas. Maka terkenal sekali ucapan Ibn Taymiyyah bahwa "hakikat ada di alam kenyataan (di luar), tidak dalam alam pikiran" (Al-haqiqah fi al-ayan, la fi al-adzhan).[18]

Epistemologi Ibn Taymiyyah tidak mengizinkan terlalu banyak intelektualisasi, termasuk interprestasi. Sebab baginya dasar ilmu pengetahuan manusia terutama ialah fithrah-nya: dengan fithrah itu manusia mengetahui tentang baik dan buruk, dan tentang benar dan salah.[19] Fithrah yang merupakan asal kejadian manusia, yang menjadi satu dengan dirinya melalui intuisi, hati kecil, hati nurani, dan lain-lain, diperkuat oleh agama, yang disebut Ibn Taymiyyah sebagai "fithrah yang diturunkan" (al-fithrah al-munazzalah). Maka metodologi kaum Kalam baginya adalah sesat.[20]

Yang amat menarik ialah bahwa epistemologi Ibn Taymiyyah Yang Hanbali berdasarkan fithrah itu paralel dengan epistemologi Abu Ja'far Muhammad ibn Ali ibn al-Husayn Babwayh al-Qummi (wafat 381 H), seorang "ahli Ilmu Kalam" terkemuka kalangan Syi'ah. Al-Qummi, dengan mengutip berbagai hadits, memperoleh penegasan bahwa pengetahuan tentang Tuhan diperoleh manusia melalui fitrah-nya, dan hanya dengan adanya fitrah itulah manusia mendapat manfaat dari bukti-bukti dan dalil-dalil.[21]

Maka sejalan dengan itu, Ibn Taymiyyah menegaskan, bahwa pangkal iman dan ilmu ialah ingat (dzikr) kepada Allah. "Ingat kepada Allah memberi iman, dan ia adalah pangkal iman .....pangkal ilmu.[22]

CATATAN

1 Ibn Taymiyyah, Minhaj al-Sunnah, jil. 4, h. 237.

2 Ibid, hh. 12-13.

3 Ibid, h. 110.

4 Ibid.

5 Ibid., jil. 1, hh. 344 dan 345.

6 Ibn Taymiyyah, Naqdl al-Manthiq, h. 185.

7 Minhaj, jil. 1, h. 344.

8 Karena dominannya isu Kalam atau Sabda Allah apakah qadim atau hadits sebagai pusat kontroversi itu maka ada kaum ahli yang mengatakan penalaran tentang segi ajaran Islam yang relevan itu disebut Ilmu Kalam, seolah-olah merupakan ilmu atau teori tentang Kalam Allah. Disamping itu, seperti Ibn Taymiyyah, mengatakan bahwa ilmu itu disebut Ilmu Kalam dan para ahlinya disebut kaum Mutakallim, sesuai dengan makna harfiah perkataan kalam dan mutakallim (pembicaraan, hampir mengarah kepada arti "orang yang banyak bicara"), ialah karena bertengkar sesama mereka dengan adu argumen melalui pembicaraan kosong, tidak substantif. (Lihat Ibn Taymiyyah, Naqdl al-Manthiq, hh. 205-206).

9 Berkenaan dengan kontroversi ini, seorang orientalis kenamaan, Wilfred Cantwell Smith dari Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Canada (tempat banyak ahli keislaman Indonesia dan Dunia belajar dan mengajar, termasuk, Prof. H.M. Rasydi), membandingkan paham orang Islam, khususnya aliran Sunni, dengan paham orang Kristen. Kata Smith, yang sebanding dengan al-Qur'an dalam Islam itu bukanlah Injil dalam Kristen, melainkan diri 'Isa al-masih atau Yesus Kristus. Sebab, sebagaimana orang-orang Muslim (aliran Sunni) memandang al-Qur'an itu qadiim seperti Dzat Ilahi, orang-orang Kristen memandang 'Isa sebagai penjelmaan Allah dalam sistem teologia Trinitas, yang juga qadim, sama dengan al-Qur'an. Jadi jika bagi agama Islam al-Qur'an itulah wahyu Allah (Inggris: revelation, pengungkapan diri), maka bagi agama Kristen 'Isa al-Masih itulah wahyu, menampakkan Tuhan. Sedangkan Injil bukanlah wahyu, melainkan catatan tentang kehidupan 'Isa al-Masih, sehingga tidak sama kedudukannya dengan al-Qur'an, tetapi bisa dibandingkan dengan Hadits. Maka sejalan dengan itu Nabi Muhammad tidaklah harus dibandingkan dengan 'Isa al-Masih (karena dia ini "Tuhan"), tetapi dengan Paulus (karena dia ini, sama dengan Nabi Muhammad, adalah "rasul"). (Lihat, W. C. Smith, Islam in Modern History [Princenton, N.J.: Princeton University Press, 19771, hh. 17-18 fn). Pandangan Islam tentang Isa al-Masih sudah sangat terkenal, dan tidak perlu dikemukakan di sini. Tetapi tentang Paulus, cukup menarik mengetahui bahwa sudah sejak awal sekali orang-orang Muslim terlibat dalam kontroversi dan polemik sekitar tokoh ini. Menurut Ibn Taymiyyah, misalnya, Paulus (Arab: Bawlush ibn Yusya') adalah scorang tokoh Yahudi yang berpura-pura masuk agama Nasrani dengan maksud merusak agama itu melalui pengembangan paham bahwa 'Isa al-Masih adalah Tuhan atau jelmaan Tuhan. Ibn Taymiyyah mengemukakan bahwa peranan Paulus dalam merusak agama Nasrani sama dengan peranan 'Abdullah ibn Saba' dalam tnerusak agama Islam. Serupa dengan Paulus, 'Abdullah ibn Saba', kata Ibn Taymiyyah, adalah seorang tokoh Yahudi dari Yaman yang menyelundup ke dalam Islam dengan tujuan merusak agama itu dari dalam, dengan mengembangkan paham yang salah dan serba melewati batas tentang Ali ibn Abi Thalib dan Anggota Keluarga Nabi (Ahl al-Bayt) sebagaimana kemudian dianut oleh kaum Rafidlah dan kaum Syi'ah pada umumnya. (Lihat, Minhaj, jil. 1, h. 8 dan jil. 4, h. 269). Kiranya kontroversi dan polemik serupa itu tidak perlu mengejutkan kita, karena telah merupakan bagian dari sejarah pertumbuhan pemikiran keagamaan itu sendiri.

10 Disini perlu kita tegaskan bahwa mihnah Khalifah al-Ma'mun itu, meskipun sangat buruk, tidak dapat disamakan dengan inquisition yang terjadi di Spanyol setelah reconquest. Karena mihnah itu dilancarkan dibawah semacam "liberalisme" Islam atau kebebasan berpikir yang menjadi paham Mu'tazilah, melawan mereka yang dianggap menghalangi "liberalisme" dan kebebasan itu, khususnya kaum "fundamentalis" (al-Hasywiyyun, sebuah sebutan ejekan, yang secara harfiah berarti kurang lebih "kaum sampah" karena malas berpikir dan menolak melakukan interprestasi terhadap ketentuan agama yang bagi mereka tidak masuk akal). Sedangkan inquisition di Spanyol kemudian Eropa pada umumnya secara total kebalikannya, yaitu atas nama paham agama yang fundamentalistik dan sempit melawan pikiran bebas yang menjadi paham para pengemban ilmu pengetahuan, termasuk para failasuf yang saat itu telah belajar banyak dari warisan pemikiran Islam.

11 Hajj Muhammad Shalih ibn 'Umar Samarani, Tarjamat Sabil al-Abid 'ala Jawharat al-Tawhid (sebuah terjemah dan uraian panjang lebar atas kitab Ilmu Kalam yang terkenal, Jawharat al-Tawhid, dalam bahasa Jawa huruf Pego, tanpa data penerbitan), hh. 27-28.

12 Ibid., hh. 149-151.

13 Minhaj, jil. 1, h. 172.

14 Ibid., h. 170.

15 Ibid.

16 Lihat kajian kita tentang "Interprestasi Metaforis" yang telah lalu.

17 Lihat Minhaj, jil. 1, hh. 235, 243, 254, 261, dan hh. 266. Juga Naqdl al-Manthiq, h. 25,164 dan 202.

18 Minhaj, jil. 1, hh. 243 dan 245.

19 Ibid., hh. 281 dan 291.

20 Naqdl al-Manthiq, hh. 38, 39, 171, 160-162, dan 172.

21 Abu Ja'far Muhammad ibn 'Ali ibn al-Husayn Babwayh al-Qummi, al-Tawhid (Qumm: Mu'assasat al-Nasyr al-Islami, 1398 H), hh. 22, 35, 82 dan 230.

22 Naqdl al-Manthiq, h. 34.

Kekuatan dan Kelemahan Paham Asyari Sebagai Doktrin Aqidah Islamiah (2/2)

Alur Argumen Kalam Asy'ari

Disamping menuturkan 'aqidah Ahl Al-Sunnah yang kemudian ia nyatakan sebagai ia ikuti sendiri itu, al-Asy'ari, seperti telah disinggung di depan, juga mengembangkan alur argumen logis dan dialektisnya sebagaimana ia pelajari dari para guru Mu'tazilah. Dan pengembangannya oleh al-Asy'ari, yang kemudian lebih dikembangkan lagi oleh para pengikutnya, terutama al-Ghazali, menjadi tumpuan kekuatan paham Asy'ari itu sebagai doktrin dalam 'aqidah Islamiah kaum Sunni. Praktis semua nuktah kepercayaan dalam Islam ia dukung dengan argumen-argumen logis dan dialektis, sebagian bahkan tidak lagi merupakan kelanjutan argumen yang telah ada sebelum dia sendiri, melainkan menjadi kontribusinya yang orisinal dalam pemikiran Keislaman.

Sebagaimana halnya dengan setiap pembahasan teologis, pusat argumentasi Kalam Asy'ari berada pada upayanya untuk membuktikan adanya Tuhan yang menciptakan seluruh jagad raya, dan bahwa jagad raya itu ada karena diciptakan Tuhan "dari ketiadaan" (min al-'adam, ex nihilo). Karena tidak mungkin memaparkan keseluruhan argumen Kalam itu, maka di sini dikutipkan penjelasan sarjana Muslim moderen, al-Alousi, tentang argumen Kalam berkenaan dengan penciptaan alam raya ini. Menurut al-Alousi, ada enam argumen yang digunakan para tokoh Ilmu Kalam untuk membuktikan tidak abadinya alam raya:

(1) Argumen dari sifat berlawanan benda-benda sederhana (basith): unsur-unsur dasar alam raya (tanah, air, dan lain-lain) dan sifat-sifat dasarnya (panas, dingin, berat, ringan dan lain-lain) semuanya saling berlawanan, namun kita dapati dalam kenyataan tergabung (murakkab); penggabungan itu memerlukan sebab, yaitu Pencipta.

(2) Argumen dari pengalaman: Penciptaan dari ketiadaan (al-ijad min al-'adam, creatio ex nihilo) tidaklah berbeda dari pengalaman kita, sebab, melalui perubahan, bentuk lama hilang dan bentuk baru muncul dari ketiadaan.

(3) Argumen dari adanya akhir untuk gerak, waktu, dan obyek-obyek temporal: gerak tidak mungkin berasal dari masa tak berpermulaan, sebab mustahil bagi gerak itu mundur dalam waktu secara tak terhingga (tasalsul, infinite, temporal regress), sebab bagian yang terhingga tidak mungkin ditambahkan satu sama lain untuk menghasilkan keseluruhan yang tak terhingga; karena itu jagad dan gerak tentu mempunyai permulaan. Atau lagi, gerak tidak mungkin ada dari awal tanpa permulaan (azal, eternity), sebab mustahil bagi gerak itu mundur dalam waktu secara tak terhingga, karena sesuatu yang tak terhingga tidak dapat dilintasi. Atau lagi, jika pada suatu titik waktu mana pun, deretan tak terhingga, telah berlangsung, maka pada titik tertentu sebelumnya hanya suatu deretan terhingga saja yang telah berlangsung; tetapi titik tertentu itu terpisah dari lainnya oleh suatu sisipan yang terhingga; oleh karena itu seluruh deretan waktu itu terhingga dan diciptakan.

(4) Argumen dari keterhinggaan jagad: karena jagad ini tersusun dari bagian-bagian yang terhingga, maka ia pun terhingga pula; segala sesuatu yang terhingga adalah sementara; oleh karena itu jagad adalah sementara, yakni, mempunyai suatu permulaan dan diciptakan.

(5) Argumen dari kemungkinan (imkan, contingency): jagad ini tidaklah (secara rasional) pasti terwujud; oleh karena itu harus terdapat faktor penentu (mukhashshish, murajjih) yang membuat jagad itu terwujud, yaitu Pencipta.

(6) Argumen dari kesementaraan (huduts, temporality): benda tidak mungkin lepas dari kejadian ('aradl, accident) yang bersifat sementara; apa pun yang tidak dapat terwujud kecuali dengan hal yang bersifat sementara tentu bersifat sementara pula; karena itu seluruh jagad raya adalah sementara (hadits) dan tentu telah terciptakan (muhdats).[4]

Sudah diisyaratkan di atas bahwa sebagian dari argumen itu diwarisi para pemikir Muslim dari falsafah Yunani. Beberapa failasuf Islam seperti Ibn Rusyd dan al-Suhrawardi memang menyebutkan nama Yahya al-Nahwi (Yahya si Ahli Tatabahasa, yaitu John Philoponus, meninggal sekitar tahun 580 M.), seorang pemikir Nasrani dari Iskandar, Mesir, telah merintis argumen "kalami" untuk adanya Tuhan dan terciptanya alam raya. Namun di tangan kaum Muslim, khususnya para penganut paham Asy'ari, dan lebih khusus lagi al-Ghazali pribadi, argumen itu berkembang seperti ringkasan al-Alousi di atas, dan menjadi salah satu segi kontribusi alam pikiran Islam yang paling orisinal kepada alam pikiran umat manusia.

Karena itu semua, maka Ilmu Kalam menjadi karakteristik pemikiran mendasar yang amat khas Islam, yang membuat pembahasan teologis dalam agama itu berbeda dari yang ada dalam agama lain mana pun, baik dari segi isi maupun metodologi. Sungguh sangat menarik bahwa dalam perkembangan teologis umat manusia, Ilmu Kalam seperti yang dipelopori oleh al-Asy'ari dan dikembangkan oleh al-Ghazali itu telah mempengaruhi banyak agama di dunia, khususnya yang bersentuhan langsung dengan Islam, yaitu Yahudi dan Kristen, sebegitu rupa. Sehingga banyak para pemikir Yahudi sendiri memandang bahwa agama Yahudi seperti yang ada sekarang ini adalah agama Yahudi yang dalam bidang teologi telah mengalami "pengislaman", seperti tercermin dalam pembahasan buku Austryn Wolfson, Repercussion of Kalam in Jewish Philosophy ("Pengaruh Kalam dalam Falsafah Yabudi").[5]

Dan William Craig mengisyaratkan bahwa berbagai polemik teologis dan filosofis dalam Yahudi dan Kristen adalah karena pengaruh, dan merupakan kelanjutan, dari polemik teologis dan filosofis dalam Islam. Seperti kita ketahui, dalam Islam terjadi polemik antara Kalam (ortodoks) dengan falsafah, diwakili oleh polemik posthumous antara al-Ghazali (Tahafut al-Falasifah, "Kerancuan para Failasuf') dan Ibn Rusyd (Tahafut al-Tahafut, "Kerancuannya Kerancuan"). Dalam Yahudi, polemik yang paralel juga telah terjadi, yaitu antara Saadia (pengaruh Kalam al-Ghazali) dengan Maimonides (pengaruh falsafah Ibn Rusyd), dan dalam Kristen polemik serupa ialah antara Bonaventure (pengaruh Kalam al-Ghazali) dan Thomas Aquinas (pengaruh falsafah Ibn Rusyd).[6]

Sekarang ini, di zaman Moderen, para pengikut paham Asy'ari boleh merasa lebih mantap dan berbesar hati, sebab, sepanjang pembahasan William Craig, seorang ahli filsafat moderen dari Berkeley, California, ilmu pengetahuan mutakhir, khususnya teori-teori tentang asal kejadian alam raya seperti teori ledakan besar dalam Astronomi moderen, sangat menunjang argumen-argumen Ilmu Kalam, khususnya dalam pandangan bahwa alam raya berpermulaan dalam suatu titik waktu di masa lampau, dan bahwa ia diciptakan dari tiada. Sebagai seorang failasuf non-religi, Craig tetap skeptis tentang apakah Tuhan itu mempunyai sifat-sifat seperti yang dibicarakan dalam Ilmu Kalam. Namun ia menyimpulkan pembahasannya dengan mengakui validitas argumen Kalam tentang adanya Tuhan:

Jadi telah disimpulkan tentang adanya suatu Khaliq yang personal bagi alam raya yang ada tanpa berubah dan lepas sebelum penciptaan dan dalam waktu sesudah penciptaan. Inilah inti pusat apa yang oleh kaum Ketuhanan dimaksudkan dengan "Tuhan". Kita tidak melangkah lebih jauh dari itu. Argumen kosmologis kalam membimbing kita kepada adanya Khaliq yang personal bagi alam raya, namun perkara apakah Khaliq ini Mahakuasa, baik, sempurna, dan seterusnya, kita tidak akan membahas.[7]

Meskipun skeptis tentang sifat-sifat Tuhan, namun, juga sebagai seorang failasuf non-religi, William Craig mengisyaratkan bahwa setelah terjadi kesimpulan mantap tentang adanya Tuhan, sepatutnya kita melihat apakah Tuhan itu "pernah" menyatakan Diri melalui wahyu-Nya seperti dikatakan dalam agama-agama, ataukah tidak. Jika jawabnya afirmatif, itu berarti landasan keabsahan bagi agama. Dan kalau negatif, maka barangkali Aristoteles benar bahwa Tuhan itu adalah penggerak yang tak tergerakkan, dan bahwa Dia tetap jauh dan lepas dari jagad raya yang telah diciptakanNya.[8]

Tentu saja para ahli Ilmu Kalam menolak konsep Aristoteles itu. Namun tetap bahwa kesimpulan failasuf moderen tersebut membuktikan segi paling tangguh dari paham Asy'ari sebagai doktrin 'aqidah Islamiah. Paham Asy'ari dengan deretan argumennya itu, seperti telah disebutkan, telah berjasa ikut memperkokoh konsep Ketuhanan dalam agama-agama besar, khususnya Islam sendiri, serta Yahudi dan Kristen. Dan jika Craig benar, paham Asy'ari juga akan berjasa ikut memperkokoh konsep Ketuhanan bagi manusia zaman mutakhir dengan ilmu-pengetahuan dan astronomi moderennya.

Masalah Perilaku Manusia

Tanpa kehilangan pandangan tentang segi-segi kuat di atas itu, pembicaraan tentang paham Asy'ari tidak mungkin lepas dari segi-segi lemahnya, baik dalam pandangan para pemikir Islam sendiri di luar kubu Kalam Asy'ari, maupun dari dalam pandangan para pemikir lainnya. Dalam batasan ruang dan waktu, kita akan hanya menyinggung satu segi saja yang paling relevan dan juga paling banyak dijadikan sasaran kritik, yaitu pandangan dalam sistem paham Asy'ari tentang perilaku manusia berkenaan dengan masalah sampai di mana manusia mampu menentukan sendiri kegiatannya dan sampai di mana ia tidak berdaya dalam masalah penentuan kegiatan itu berhadapan dengan qudrat dan iradat Tuhan.

Dari kutipan tentang paham Ahl Al-Sunnah yang dijabarkan al-Asy'ari di muka --dan yang ia dukung dan anut sepenuhnya-- dapat kita baca pandangan tentang perilaku manusia, termasuk tentang kebahagiaan dan kesengsaraannya, yang bernada sikap pasrah kepada nasib (fatalisme).

Sesungguhnya al-Asy'ari bukanlah seorang Jabari 'sehingga dapat disebut fatalis. Tetapi ia juga bukan seorang Qadari yang berpaham tentang kemampuan penuh manusia menentukan perbuatannya, seperti kaum Mu'tazilah dan Syi'ah. Al-Asy'ari ingin menengahi antara kedua paham yang bertentangan itu, sebagaimana dalam bidang metodologi ia telah menengahi antara kaum Hanbali yang sangat naqli (hanya berdasar teks-teks suci dengan pemahaman harfiah) dan kaum Mu'tazili yang sangat 'aqli (rasional).

Dalam usahanya menengahi antara jabariah dan qadariah itu, Abu Hasan al-Asy'ari tampil dengan konsep kasb (perolehan, acquisition) yang cukup rumit. Berikut ini tiga bait syair tentang pengertian kasb, dari kitab Jawharat al-Tawhid, salah satu buku teks dalam paham Asy'ari:

Wa 'indana li al-'abd-i kasb-un kullifa
Wa lam yakun mu'atstsir-an fa 'l-ta'rifa
Fa laysa majbur-an wa la ikhtiyar-an
Wa laysa kull-an yaf' al-u ikhtiyar-an
Fa in yutsibna fa bi mahdl-i al-fadl'l-i
Wa in yu'adzdzib fa bi mahdl-i al-'adl-i[9]

Artinya:

Bagi kita, hamba (manusia) dibebani kasb,
Namun kasb itu, ketahuilah, tidak akan berpengaruh
Maka manusia tidaklah terpaksa, dan tidak pula bebas,
Dan tidak pula masing-masing itu berbuat dengan kebebasan
Jika Dia (Allah) memberi pahala kita maka semata karena murah-Nya,
Dan jika Dia menyiksa kita maka semata karena adil-Nya

Jadi, jelasnya, manusia tetap dibebani kewajiban melakukan kasb melalui ikhtiarnya, namun hendaknya ia ketahui bahwa usaha itu tak akan berpengaruh apa-apa kepada kegiatannya. Karena kewajiban usaha atau kasb itu maka manusia bukanlah dalam keadaan tak berdaya seperti kata kaum Jabari, tapi karena usahanya toh tidak berpengaruh apa-apa kepada kegiatannya maka ia pun bukanlah makhluk bebas yang menentukan sendiri kegiatannya seperti kata kaum Qadari. Dan jika Allah memberi kita pahala (masuk surga), maka itu hanyalah karena kemurahan-Nya (bukan karena amal perbuatan kita), dan jika dia menyiksa kita (masuk neraka) maka itu hanyalah karena keadilan-Nya (juga bukan karena semata perbuatan kita).

Kutipan itu menggambarkan betapa sulitnya memahami konsep kasb dalam paham Asy'ari. Maka tidak heran konsep itu menjadi sasaran kritik tajam para pemikir lain, termasuk Ibn Taymiyyah yang menganggapnya sebagai salah satu keanehan atau absurditas Ilmu Kalam. Ibn Taymiyyah malah menggubah syair yang dapat dipandang sebagai tandingan konsep kasb:

Wa la makhraj-a li 'l-'abd-i 'amma qadla,
Walakinnahu mukhtar-u husn-in wa saw'at-i
|Fa laysa bi majbur-in 'adim-i 'l-iradat-i
Wa lakinnahu sya'a bi khalq-i 'l-iradat-i[10]

Artinya:

Tidak ada jalan keluar bagi manusia dari ketentuan-Nya,
Namun manusia tetap mampu memilih yang baik dan yang buruk
Jadi bukannya ia itu terpaksa tanpa kemauan, melainkan ia berkehendak dengan terciptanya kemauan (dalam dirinya)

Begitulah, Ibn Taymiyyah melihat bahwa dalam proses perkembangan paham Asy'ari, konsep kasb yang sulit itu telah menjerumuskan para pengikutnya kepada sikap yang lebih mengarah ke Jabariah, tidak ke jalan tengah yang dikehendakinya. Ibn Taymiyyah sendiri, karena menolak baik Qadariah maupun Jabariah, juga tampil dengan konsepnya jalan tengah, yaitu, sebagaimana ternyata dari syair tersebut, konsep bahwa Allah telah menciptakan dalam diri manusia kehendak (iradah), yang dengan iradah itu manusia mampu memilih jalan hidupnya, baik maupun buruk.

CATATAN

1 William Lane Craig, The Kalam Cosmological Argument (New York: Barnes & Noble, 1979), h. 4.

2 Abd al-Hasan 'Ali ibn Isma'il al-Asy'ari, Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin, edisi Muhammad Muhy-al-Din 'Abd-al Hamid 2 jilid (kairo: Maktabat al-Nahdlat al-Mishriyyah, 1969), jil, 1, hh. 345-50.

3 Ibid., h. 350.

4 Al-Alousi, sebagaimana dikutip dalam Craig, op. cit., hh. 7-8.

5 Diterbitkan oleh Harvard University Press, Cambridge, Mass., 1979.

6 Craig, op. cit., "Pengantar".

7 "We have thus concluded to a personal Creator of the universe who exists changelessly and independently prior to creation and in time subsequent to creation. This is a central core of what theists mean by "God". Further than this we shall not go. The Kalam cosmological argument leads us to a personal Creator of the universe, but as to whether this Creator ia omniscient, good, perfect, and so forth, we shall not inquire". (Ibid., h. 152).

8 Ibid., hh. 152-3.

9 Tarjamah Sabil al-'Abid 'ala Jawharat al-Tawhid (karangan Ibrahim al-Laqqani) oleh H. Muhammad Shalih ibn 'Umar Samarani, (tanpa data penerbitan), hh. 146, 149, 150 don 156.

10 Dikutip dalam 'Abd-al-Salam Hasyim Hafidh, al-Imam ibn Taymiyyah (Kairo: Musthafa al-Halabi, 1969), h. 15.

Falsafah Islam: Unsur-Unsur Hellenisme di Dalamnya (1/3)

Di antara empat disiplin keilmuan Islam tradisional: fiqh, kalam, tasawuf dan falsafah, yang disebutkan terakhir ini barangkali adalah yang paling sedikit dipahami, bisa juga berarti paling banyak disalahpahami, sekaligus juga yang paling kontroversial. Sejarah pemikiran Islam ditandai secara tajam antara lain oleh adanya polemik-polemik sekitar isi, subyek bahasan dan sikap keagamaan falsafah dan para failasuf. Karena itu pembahasan tentang falsafah dapat diharapkan menjadi pengungkapan secara padat dan mampat tentang peta dan perjalanan pemikiran Islam di antara sekalian mereka yang terlibat.

Sebelum yang lain-lain, di sini harus ditegaskan bahwa sumber dan pangkal tolak falsafah dalam Islam adalah ajaran Islam sendiri sebagaimana terdapat dalam al-Qur'an dan Sunnah. Para failasuf dalam lingkungan agama-agama yang lain, sebagaimana ditegaskan oleh R.T. Wallis, adalah orang-orang yang berjiwa keagamaan (religious), sekalipun berbagai titik pandangan keagamaan mereka cukup banyak berbeda, jika tidak justru berlawanan, dengan yang dipunyai oleh kalangan ortodoks.[1] Dan tidak mungkin menilai bahwa falsafah Islam adalah carbon copy pemikiran Yunani atau Hellenisme.[2]

Meskipun begitu, kenyataannya ialah bahwa kata Arab "falsafah" sendiri dipinjam dari kata Yunani yang sangat terkenal, "philosophia", yang berarti kecintaan kepada kebenaran (wisdom). Dengan sedikit perubahan, kata "falsafah" itu di-Indonesia-kan menjadi "filsafat" atau, akhir-akhir ini, juga "filosofi" (karena adanya pengaruh ucapan Inggris, "philosophy"). Dalam ungkapan Arabnya yang lebih "asli", cabang ilmu tradisional Islam ini disebut 'ulum al-hikmah atau secara singkat "alhikmah" (padanan kata Yunani "sophia"), yang artinya ialah "kebijaksanaan" atau, lebih tepat lagi, "kawicaksanaan" (Jawa) atau "wisdom" (Inggris). Maka "failasuf' (ambilan dari kata Yunani "philosophos", pelaku filsafat), disebut juga "al-hakim" (ahli hikmah atau orang bijaksana), dengan bentuk jamak "al-hukama".

Dari sepintas riwayat kata "filsafah" itu kiranya menjadi jelas bahwa disiplin ilmu keislaman ini, meskipun memiliki dasar yang kokoh dalam sumber-sumber ajaran Islam sendiri, banyak mengandung unsur-unsur dari luar, yaitu terutama Hellenisme atau dunia pemikiran Yunani.[3] Disinilah pangkal kontroversi yang ada sekitar falsafah: sampai di mana agama Islam mengizinkan adanya masukan dari luar, khususnya jika datang dari kalangan yang tidak saja bukan "ahl al-kitab" seperti Yahudi dan Kristen, tetapi malahan dari orang-orang Yunani kuna yang "pagan" atau musyrik (penyembah binatang). Sesungguhnya beberapa ulama ortodoks, seperti Ibn Taymiyyah dan Jalal al-Din al-Suyuthi (salah seorang pengarang tafsir Jalalayn), menunjuk kemusyrikan orang-orang Yunani itu sebagai salah satu alasan keberatan mereka terhadap falsafah. Tetapi sebelum membahas lebih jauh segi-segi polemis ini, lebih dahulu dibahas pertumbuhan falsafah dalam sejarah pemikiran Islam.

Pertumbuhan

Falsafah tumbuh sebagai hasil interaksi intelektual antara bangsa Arab Muslim dengan bangsa-bangsa sekitarnya. Khususnya interaksi mereka dengan bangsa-bangsa yang ada di sebelah utara Jazirah Arabia, yaitu bangsa-bangsa Syria, Mesir, dan Persia.

Interaksi itu berlangsung setelah adanya pembebasan-pembebasan (al-futuhat) atas daerah-daerah tersebut segera setelah wafat Nabi s.a.w., dibawah para khalifah. Daerah-daerah yang segera dibebaskan oleh orang-orang Muslim itu adalah daerah-daerah yang telah lama mengalami Hellenisasi. Lebih dari itu, kecuali Persia, daerah-daerah yang kemudian menjadi pusat-pusat peradaban Islam itu adalah daerah-daerah yang telah terlebih dahulu mengalami Kristenisasi. Bahkan sebenarnya daerah-daerah Islam sampai sekarang ini, sejak dari Irak di timur sampai ke Spanyol di barat, adalah praktis bekas daerah agama Kristen, termasuk heartlandnya, yaitu Palestina. Daerah-daerah itu, dibawah kekuasaan pemerintahan orang-orang Muslim, selanjutnya memang mengalami proses Islamisasi. Tetapi proses itu berjalan dalam jangka waktu yang panjang, selama berabad-abad, dan secara damai. Bahkan daerah-daerah Kristen itu tidak hanya mengalami proses Islamisasi, tetapi juga Arabisasi, disamping adanya daerah-daerah yang memang sejak jauh sebelum Islam secara asli merupakan daerah suku Arab tertentu seperti Libanon (keturunan suku Bani Ghassan Yang Kristen, satelit Romawi). Namun berkat politik keagamaan para penguasa Muslim berdasarkan konsep toleransi Islam, sampai sekarang masih banyak kantong-kantong minoritas Kristen dan Yahudi yang tetap bertahan dengan aman. Karena adanya konsep Islam tentang kontinuitas agama-agama (yaitu, bahwa agama Nabi Muhammad adalah kelanjutan agama para nabi sebelumnya, khususnya Nabi-nabi Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub atau Isra'il, Musa dan Isa-Yahudi dan Kristen),[4] orang-orang Muslim menyimpan rasa dekat atau afinitas tertentu kepada mereka itu. Dan rasa dekat itu ikut melahirkan adanya sikap-sikap toleran, simpatik dan akomodatif terhadap mereka dan pikiran-pikiran mereka. (Toleransi dan sikap akomodatif Islam ini ternyata kelak menimbulkan situasi ironis di zaman moderen, akibat adanya kolonialisme Barat, seperti adanya hubungan tidak mudah antara kaum Muslim dengan kaum Yahudi di Palestina, dengan kaum Maronite di Libanon, dan dengan kaum Koptik di .Mesir).

Toleransi dan keterbukaan orang-orang Islam dalam melihat kaum agama lain, khususnya Ahli Kitab tersebut mendasari adanya interaksi intelektual yang positif di kalangan mereka, dengan sedikit sekali kemasukan unsur prasangka yang berlebihan. Disamping itu, dan sebagaimana telah dikemukakan dalam pembahasan kita tentang Islam dan pengembangan ilmu pengetahuan yang lalu, kelebihan orang-orang Muslim Arab itu ialah kepercayaan kepada diri sendiri yang sedemikian mantap. Kemantapan itu kemudian memancar pada sikap-sikap mereka yang positif kepada bangsa-bangsa dan budaya-budaya lain, dengan kesediaan yang besar untuk menyerap dan mengadopsinya sebagai milik sendiri. Posisi psikologis yang menguntungkan itu berada tidak hanya dalam hubungannya dengan kaum Ahli Kitab yang memang dekat dengan orang-orang Muslim, tetapi juga dengan kelompok-kelompok keagamaan lain seperti kaum Majusi (orang-orang Persi pengikut ajaran Zoroaster) dan kaum Sabean dari Harran, di utara Mesopotamia. Sebab sekalipun ilmu pengetahuan Yunani merupakan bagian paling penting ilmu pengetahuan yang diserap orang-orang Muslim Arab, namun mereka ini juga dengan penuh kebebasan dan kepercayaan diri menyerap dari orang-orang Majusi dan Sabean tersebut tadi, bahkan juga dari orang-orang Hindu dan Cina. Karena futuhat, bangsa-bangsa non-Muslim itu berada dibawah kekuasaan politik orang-orang Arab Muslim. Tetapi biarpun orang-orang Arab itu memiliki keunggulan militer dan politik, mereka tetap menunjukkan sikap-sikap penuh penghargaan dan pengertian kepada bangsa-bangsa dan budaya-budaya (termasuk agama-agama) yang mereka kuasai. Hasilnya ialah, seperti dikatakan Halkin sebagai berikut (kutipan yang penting untuk memahami pembahasan):

...It is to the credit of the Arabs that although they were the victors militarily and politically, they did not regard the civilization of the vanquished lands with contempt. The riches of Syrian, Persian, and Hindu cultures were no sooner discovered than they were adapted into Arabic. Caliphs, governors, and others patronized scholars who did the work of translation, so that a vast body of non-Islamic learning became accessible in Arabic. During the ninth and tenth centuries, a steady flow of works on Greek medicine, physics, astronomy, mathematics, and philosophy, Persian belles-lettres, and Hindu mathematics and astronomy poured into Arabic.[5]

(...Adalah jasa orang-orang Arab bahwa sekalipun mereka itu para pemenang secara militer dan politik, mereka tidak memandang peradaban negeri-negeri yang mereka taklukkan dengan sikap menghina. Kekayaan budaya-budaya Syria, Persia, dan Hindu mereka salin ke bahasa Arab segera setelah diketemukan. Para khalifah, gubernur, dan tokoh-tokoh yang lain menyantuni para sarjana yang melakukan tugas penterjemahan, sehingga kumpulan ilmu bukan-Islam yang luas dapat diperoleh dalam bahasa Arab. Selama abad-abad kesembilan dan kesepuluh, karya-karya yang terus mengalir dalam ilmu-ilmu kedokteran, fisika, astronomi, matematika, dan filsafat dari Yunani, sastra dari Persia, serta matematika dan astronomi dari Hindu tercurah ke dalam bahasa Arab).

Interaksi intelektual orang-orang Muslim dengan dunia pemikiran Hellenik terutama terjadi antara lain di Iskandaria (Mesir), Damaskus, Antioch dan Ephesus (Syria), Harran (Mesopotamia) dan Jundisapur (Persia). Di tempat-tempat itulah lahir dorongan pertama untuk kegiatan penelitian dan penterjemahan karya-karya kefilsafatan dan ilmu pengetahuan Yunani kuna, yang kelak kemudian didukung dan disponsori oleh para penguasa Muslim.

Suatu hal yang patut sekali mendapat perhatian lebih besar di sini ialah suasana kebebasan intelektual di zaman klasik Islam itu. Interaksi positif antara orang-orang Arab Muslim dengan kalangan bukan-Muslim itu dapat terjadi hanya dalam suasana penuh kebebasan, toleransi dan keterbukaan. Sebab meskipun orang-orang Arab itu mempunyai ajaran agamanya yang sangat tegas dan gamblang, dengan penuh lapang dada membiarkan semua kegiatan intelektual di pusat-pusat yang ada sejak sebelum kedatangan dan pembebasan oleh mereka. Seperti dikatakan oleh C.A. Qadir:

"...the centers of learning led by the Christians continued to function unmolested even after they were subjugated by the Muslims. This indicates not only the intellectual freedom that prevailed under Muslim rule in those days, but also testifies to the Muslims' love of knowledge and the respect they paid to the scholars irrespective of their religion."[6]

(...pusat-pusat pengajaran yang dipimpin oleh orang-orang Kristen terus berfungsi tanpa terusik bahkan setelah mereka itu ditaklukkan oleh orang-orang Muslim. Ini menunjukkan tidak saja kebebasan intelektual yang terdapat di mana-mana di bawah pemerintahan Islam zaman itu, tetapi juga membuktikan kecintaan orang-orang Muslim kepada ilmu dan sikap hormat yang mereka berikan kepada para sarjana tanpa mempedulikan agama mereka).

Interaksi intelektual itu memperoleh wujudnya yang nyata semenjak masa dini sekali sejarah Islam. Disebut-sebut bahwa al-Harits ibn Qaladah, seorang Sahabat Nabi, sempat mempelajari ilmu kedokteran di Jundisapur, Persia, tempat berkumpulnya beberapa failasuf yang dikutuk gereja Kristen karena dituduh telah melakukan bid'ah. Disebut-sebut juga bahwa Khalid ibn Yazid (ibn Mu'awiyah) dan Ja'far al-Shadiq sempat mendalami alkemi (al-kimya) yang menjadi cikal-bakal ilmu kimia moderen.[7] Bahkan seorang khalifah Bani Umayyah, Marwan ibn al-Hakam (683-685 M), memerintahkan agar buku kedokteran oleh Harun, seorang dokter dari Iskandaria Mesir, diterjemahkan dari bahasa Suryani (Syriac) ke bahasa Arab.[8]

Harus diketahui bahwa dalam pembagian ilmu pengetahuan zaman itu, baik ilmu kedokteran maupun alkemi, sebagaimana juga metafisika, matematika, astronomi, bahkan musik dan puisi, dan seterusnya, termasuk falsafah. Sebab istilah falsafah itu, dalam pengertiannya yang luas, mencakup bidang-bidang yang sekarang bisa disebut sebagai "ilmu-pengetahuan umum", yakni, bukan "ilmu pengetahuan agama", yaitu dunia kognitif yang dasar perolehannya bukan wahyu tetapi akal, baik yang dari penalaran deduktif maupun yang dari penyimpangan empiris. Ini penting disadari, antara lain untuk dapat dengan tepat melihat segi-segi mana dari sistem falsafah itu yang kontroversial karena dipersoalkan oleh kalangan ortodoks. Umumnya mereka ini, seperi Ibn Taymiyyah dan lain-lain, menolak yang bersifat penalaran murni dan deduktif, dalam hal ini khususnya metafisika (al-falsafah al-ula), karena dalam banyak hal menyangkut bidang yang bagi mereka merupakan wewenang agama. Tetapi mereka membenarkan yang induktif dan empiris

Falsafah Islam: Unsur-Unsur Hellenisme di Dalamnya (2/3)

Neoplatonisme

Dari berbagai unsur pikiran Hellenik, Platonisme Baru (Neoplatonisme) adalah salah satu yang paling berpengaruh dalam sistem falsafah Islam. Neoplatonisme sendiri merupakan falsafah kaum musyrik (pagans), dan rekonsiliasinya dengan suatu agama wahyu menimbulkan masalah besar. Tapi sebagai ajaran yang berpangkal pada pemikiran Plotinus (205-270 M), sebetulnya Neoplatonisme mengandung unsur yang memberi kesan tentang ajaran Tauhid. Sebab Plotinus yang diperkirakan sebagai orang Mesir hulu yang mengalami Hellenisasi di kota Iskandaria itu mengajarkan konsep tentang "yang Esa" (the One) sebagai prinsip tertinggi atau sumber penyebab (sabab, cause). Lebih dari itu, Plotinus dapat disebut sebagai seorang mistikus, tidak. dalam arti "irrasionalis", "occultist" ataupun "guru ajaran esoterik", tetapi dalam artinya yang terbatas kepada seseorang yang mempercayai dirinya telah mengalami penyatuan dengan Tuhan atau "Kenyataan Mutlak."[9] Untuk memahami sedikit lebih lanjut ajaran Plotinus kita perlu memperhatikan beberapa unsur dalam ajaran-ajaran Plato, Aristoteles, Pythagoras (baru) dan kaum Stoic.

Plato membagi kenyataan kepada yang bersifat "akali" (ideas, intelligibles) dan yang bersifat "inderawi" (sensibles), dengan pengertian bahwa yang akali itulah yang sebenarnya ada (ousia), jadi juga yang abadi dan tak berubah. Termasuk diantara yang akali itu ialah konsep tentang "Yang Baik", yang berada di atas semuanya dan disebut sebagai berada di luar yang ada (beyond being, epekeina ousias). "Yang Baik" ini kemudian diidentifikasi sebagai "Yang Esa", yang tak terjangkau dan tak mungkin diketahui.

Selanjutnya, mengenai wujud inderawi, Plato menyebutkannya sebagai hasil kerja suatu "seniman ilahi" (divine artisan, demiurge) yang menggunakan wujud kosmos yang akali sebagai model karyanya. Disamping membentuk dunia fisik, demiurge juga membentuk jiwa kosmis dan jiwa atau ruh individu yang tidak akan mati. Jiwa kosmis dan jiwa individu yang immaterial dan substansial itu merupakan letak hakikatnya yang bersifat ada sejak semula (pre-existence) dan akan ada untuk selamanya (post-existence immortality), yang semuanya tunduk kepada hukum reinkarnasi.

Dari Aristoteles, unsur terpenting yang diambil Plotinus ialah doktrin tentang Akal (nous) yang lebih tinggi daripada semua jiwa. Aristoteles mengisyaratkan bahwa hanya Akal-lah yang tidak bakal mati (immortal), sedangkan wujud lainnya hanyalah "bentuk" luar, sehingga tidak mungkin mempunyai eksistensi terpisah. Aristoteles juga menerangkan bahwa "dewa tertinggi" (supreme deity) ialah Akal yang selalu merenung dan berpikir tentang dirinya. Kegiatan kognitif Akal itu berbeda dari kegiatan inderawi, karena obyeknya, yaitu wujud akali yang immaterial, adalah identik dengan tindakan Akal untuk menjangkau wujud itu.

Dualisme Plato di atas kemudian diusahakan penyatuannya oleh para penganut Pythagoras (baru), dan dirubahnya menjadi monisme dan berpuncak pada konsep tentang adanya Yang Esa dan serba maha (transenden). Ini melengkapi ajaran kaum Stoic yang di samping materialistik tapi juga immanenistik, yang mengajarkan tentang kemahaberadaan (omnipresence) Tuhan dalam alam raya.[10]

Kesemua unsur tersebut digabung dan diserasikan oleh Plotinus, dan menuntunnya kepada ajaran tentang tiga hypostase atau prinsip di atas materi, yaitu Yang Esa atau Yang Baik, Akal atau Intelek, dan Jiwa.[11]

Aristotelianisme

Telah dinyatakan bahwa Neoplatonisme cukup banyak mempengaruhi falsafah Islam. Tetapi sebenarnya Neoplatonisme yang sampai ke tangan orang-orang Muslim, berbeda dengan yang sampai ke Eropa sebelumnya, yang telah tercampur dengan unsur-unsur kuat Aristotelianisme. Bahkan sebetulnya para failasuf Muslim justru memandang Aristoteles sebagai "guru pertama" (al-mu'allim al-awwal), yang menunjukkan rasa hormat mereka yang amat besar, dan dengan begitu juga pengaruh Aristoteles kepada jalan pikiran para failasuf Muslim yang menonjol dalam falsafah Islam.

Neoplatonisme sendiri, sebagai gerakan, telah berhenti semenjak jatuhnya Iskandaria di tangan orang-orang Arab Muslim pada tahun 642.[12] Sebab sejak itu yang ada secara dominan ialah falsafah Islam, yang daerah pengaruhnya meliputi hampir seluruh bekas daerah Hellenisme.

Tetapi sebelum gerakan Neoplatonis itu mandeg, ia harus terlebih dahulu bergulat dan berhadapan dengan agama Kristen. Dan interaksinya dengan agama Kristen itu tidak mudah, dengan ciri pertentangan yang cukup nyata. Salah seorang tokohnya yang harus disebut di sini ialah pendeta Nestorius, patriark Konstantinopel, yang karena menganut Neoplatonisme dan melawan ajaran gereja terpaksa lari ke Syria dan akhirnya ke Jundisapur di Persia.[13]

Sebenarnya Neoplatonisme sebagai filsafat musyrik memang mendapat perlakuan yang berbeda-beda dari kalangan agama. Orang-orang Kristen zaman itu, dengan doktrin Trinitasnya, tidak mungkin luput dari memperhatikan betapa tiga hypostase Plotinus tidak sejalan, atau bertentangan dengan Trinitas Kristen. Polemik-polemik yang terjadi tentu telah mendapatkan jalannya ke penulisan. Maka orang-orang Muslim, melalui tulisan-tulisan dalam bahasa Suryani yang disalin ke Bahasa Arab, mewarisi versi neoplatonisme yang berbeda, yaitu Neo-platonisme dengan unsur kuat Aristotelianisme.[14] Menurut pelukisan F.E. Peters, mengutip kitab al-Fihrist oleh Ibn al-Nadim,

The Arab version of the arrival of the Aristotelian corpus in the Islamic world has to do with the discovery of manuseripts in a deserted house. Even if true, the story omits two very important details which may be supplied from the sequel: first, the manuseripts were certainly not written in Arabic; second, the Arabs discovered not only Aristotle but a whole series of commentators as well.[15]

(Versi Arab tentang datangnya karya-karya Aristoteles di dunia Islam ada kaitannya dengan diketemukannya naskah-naskah di suatu rumah kosong. Seandainya benarpun, kisah itu menghilangkan dua rinci penting yang bisa melengkapi jalan cerita: pertama, naskah-naskah itu pastilah tidak tertulis dalam Bahasa Arab; kedua, orang-orang Arab itu tidak hanya menemukan Aristoteles tetapi seluruh rangkaian para penafsir juga).

Ini berarti bahwa pikiran-pikiran Aristoteles yang sampai ke tangan orang-orang Muslim sudah tidak "asli" lagi, melainkan telah tercampur dengan tafsiran-tafsirannya. Karena itu, meskipun orang-orang Muslim sedemikian tinggi menghormati Aristoteles dan menamakannya "guru pertama", namun yang mereka ambil dari dia bukan hanya pikiran-pikiran dia sendiri saja, melainkan justru kebanyakan adalah pikiran, pemahaman, dan tafsiran orang lain terhadap ajaran Aristoteles. Singkatnya, memang bukan Aristoteles sendiri yang berpengaruh besar kepada falsafah dalam Islam, tetapi Aristotelianisme. Apalagi jika diingat bahwa orang-orang Muslim menerima pikiran Yunani itu lima ratus tahun setelah fase terakhir perkembangannya di Yunani sendiri, dan setelah dua ratus tahun pikiran itu digarap dan diolah oleh para pemikir Kristen Syria. Menurut Peters lebih lanjut, paham Kristen telah mencuci bersih tendensi "eksistensial" filsafat Yunani, sehingga ketika diwariskan kepada orang-orang Arab Muslim, filsafat itu menjadi lebih berorientasi pedagogik, bermetode skolastik, dan berkecenderungan logik dan metafisik. Khususnya logika Aristoteles (al-manthiq al-aristhi) sangat berpengaruh kepada pemikiran Islam melalui ilmu kalam. Karena banyak menggunakan penalaran logis menurut metodologi Aristoteles itu, maka ilmu kalam yang mulai tampak sekitar abad VIII dan menjadi menonjol pada abad IX itu disebut juga sebagai suatu versi teologi alamiah (natural theology, al-kalam al-thabi'i, sebagai bandingan al-kalam al-Qur'ani) di kalangan orang-orang Muslim.[16]

Falsafah Islam: Unsur-Unsur Hellenisme di Dalamnya (3/3)

Penutup

Sebagaimana telah diisyaratkan, orang-orang Muslim berkenalan dengan ajaran Aristoteles dalam bentuknya yang telah ditafsirkan dan diolah oleh orang-orang Syria, dan itu berarti masuknya unsur-unsur Neoplatonisme. Maka cukup menarik bahwa sementara orang-orang Muslim begitu sadar tentang Aristoteles dan apa yang mereka anggap sebagai ajaran-ajarannya, namun mereka tidak sadar, atau sedikit sekali mengetahui adanya unsur-unsur Neoplatonis didalamnya. Ini menyebabkan sulitnya membedakan antara kedua unsur Hellenisme yang paling berpengaruh kepada falsafah Islam itu, karena memang terkait satu sama lainnya.

Sekalipun begitu masih dapat dibenarkan melihat adanya pengaruh khas Neoplatonisme dalam dunia pemikiran Islam, seperti yang kelak muncul dengan jelas dalam berbagai paham Tasauf. Ibn Sina, misalnya, dapat dikatakan seorang Neoplatonis, disebabkan ajarannya tentang mistik perjalanan ruhani menuju Tuhan seperti yang dimuat dalam kitabnya, Isharat. Dan memang Neoplatonisme yang spiritualistik itu banyak mendapatkan jalan masuk ke dalam ajaran-ajaran Sufi. Yang paling menonjol ialah yang ada dalam ajaran sekelompok orang-orang Muslim yang menamakan diri mereka Ikhwan al-Shafa (secara longgar: Persaudaraan Suci).[17]

Demikian pula, kita sepenuhnya dapat berbicara tentang pengaruh besar Aristotelianisme, yaitu dari sudut kenyataan bahwa kaum Muslim banyak memanfaatkan metode berpikir logis menurut logika formal (silogisme) Aristoteles. Cukup sebagai bukti betapa jauhnya pengaruh ajaran Aristoteles ini ialah populernya ilmu mantiq di kalangan orang-orang Islam. Sampai sekarang masih ada dari kalangan 'ulama' kita yang menulis tentang mantiq, seperti K.H. Bishri Musthafa dari Rembang, dan ilmu mantiq masih diajarkan di beberapa pesantren. Memang telah tampil beberapa 'ulama' di masa lalu yang mencoba meruntuhkan ilmu mantiq (seperti Ibn Taymiyyah dengan kitabnya, Naqdl al-Manthiq dan al-Suyuthi dengan kitabnya, Shawn al-Mantiq wa al-Kalam 'an Fann al-Manthiq wa al-Kalam). Tetapi bahkan al-Ghazali pun, meski telah berusaha menghancurkan falsafah dari segi metafisikanya, adalah seorang pembela ilmu mantiq yang gigih, dengan kitab-kitabnya seperti Mi'yar al-Ilm dan Mihakk al-Nadhar. Bahkan kitabnya, al-Qisthas al-Mustaqim, dinilai dan dituduh Ibn Taymiyyah sebagai usaha pencampur-adukan tak sah ajaran Nabi dengan falsafah Aristoteles, karena uraian-uraian keagamaannya, dalam hal ini ilmu fiqh, yang menggunakan sistem ilmu mantiq.

Tetapi, seperti telah dikemukakan di atas, adalah mustahil melihat falsafah Islam sebagai carbon copy Hellenisme. Misalnya, meskipun terdapat variasi, tetapi semua pemikir Muslim berpandangan bahwa wahyu adalah sumber ilmu pengetahuan, dan, karena itu, mereka juga membangun berbagai teori tentang kenabian seperti yang dilakukan Ibn Sina dengan risalahnya yang terkenal, Itsbat al-Nubuwwat. Mereka juga mencurahkan banyak tenaga untuk membahas kehidupan sesudah mati, suatu hal yang tidak terdapat padanannya dalam Hellenisme, kecuali dengan sendirinya pada kaum Hellenis Kristen. Para failasuf Muslim juga membahas masalah baik dan buruk, pahala dan dosa, tanggungjawab pribadi di hadapan Allah, kebebasan dan keterpaksaan (determinisme), asal usul penciptaan, dan seterusnya, yang kesemuanya itu merupakan bagian integral dari ajaran Islam, dan sedikit sekali terdapat hal serupa dalam Hellenisme.[18]

Lebih lanjut, falsafah kemudian mempengaruhi ilmu kalam. Meski begitu, lagi-lagi, tidaklah benar memandang ilmu kalam sebagai jiplakan belaka dari falsafah. Justru dalam ilmu kalam orisinalitas kaum Muslim tampak nyata. Seperti dikatakan William Lane Craig,

... the kalam argument as a proof for God's existence originated in the minds of medieval Arabic theologians, who bequeathed to the West, where it became the center of hotly disputed controversy. Great minds on both sides were raged against each other: al-Ghazali versus Ibn Rushd, Saadia versus Maimonides, Bonaventure versus Aquinas. The central issue in this entire debate was whether the temporal series of past events could be actually infinite.[19]

(...argumen kalam sebagai bukti adanya Tuhan berasal dari dalam pikiran para teolog Arab zaman pertengahan, yang menyusup ke Barat, di mana ia menjadi pusat kontroversi yang diperdebatkan secara hangat. Pemikir-pemikir dari dua pihak berhadapan satu sama lain: al-Ghazali lawan Ibn Rusyd, Saadia lawan Musa ibn Maymun, Bonaventura lawan Aquinas. Persoalan pokok dalam seluruh debat itu ialah apakah rentetan zaman dari kejadian masa lampau itu dapat secara aktual tak terbatas).

Ilmu kalam adalah unik dalam pemikiran umat manusia. Ia merupakan sumbangan Islam dalam dunia kefilsafatan yang paling orisinil. Argumen-argumen yang dikembangkan dalam ilmu kalam menerobos dunia pemikiran Barat, sebagaimana banyak pikiran-pikiran Islam yang lain, meskipun hanya sedikit dari orang-orang Barat yang mengakuinya. Berkenaan dengan ini, Craig mengatakan lebih lanjut:

The Jewish thinkers fully participated in the intellectual life of the Muslim society, many of them writing in Arabic and translating Arabic works into Hebrew. And the Christians in turn read and translated works of these Jewish thinkers. The kalam argument for the beginning of the universe became a subject heated debate, being opposed by Aquinas, but adopted and supported by Bonaventure. The falsafa argument from necessary and possible being was widely used in various forms and eventually became the key Thomist argument for God's existence. Thus it was that the cosmological argument came to the Latinspeaking theologians of the West, who receive in our Western culture a credit for originality that they do not fully deserve, since they inherited these arguments from the Arabic theologians and philosophers, whom we tend unfortunately to neglect.[20]

(Para pemikir Yahudi berpartisipasi sepenuhnya dalam kehidupan intelektual masyarakat Muslim, banyak di antara mereka yang menulis dalam Bahasa Arab dan menterjemahkan karya-karya Arab ke dalam Bahasa Ibrani. Dan orang-orang Kristen kemudian membaca dan menterjemahkan karya-karya para pemikir Yahudi itu. Argumen kalam bagi permulaan adanya alam raya menjadi perdebatan yang panas, karena ditentang oleh Aquinas namun digunakan dan didukung oleh Bonaventure. Argumen falsafah dari wujud pasti (wajib) dan wujud mungkin (mumkin) banyak digunakan dalam berbagai bentuk dan akhirnya menjadi kunci argumen Thomis untuk adanya Tuhan. Begitulah, bahwa argumen kosmologis itu sampai ke para teolog berbahasa Latin, yang dalam budaya Barat kita mereka itu menerima pengakuan untuk orisinalitas, yang mereka sendiri tidak sepenuhnya berhak, karena mereka mewarisi argumen-argumen itu dari para teolog dan failasuf Arab, yang sayangnya cenderung kita lupakan).

Sebagaimana telah menjadi pokok pembicaraan buku William Craig yang dikutip itu, argumen-argumen kosmologis kalam ternyata kini banyak mendapatkan dukungan temuan-temuan ilmiah moderen. Teori big bang dari Chandrasekhar (pemenang hadiah Nobel), dan dikatakan dengan temuan-temuan astronomi moderen, begitu pula konsep waktu dari Newton dan Einstein, semuanya itu, menurut Craig, mendukung argumen kosmologi ilmu kalam tentang adanya Tuhan dan "personal", yang telah menciptakan alam raya ini:

We have thus concluded to a personal Creator of the universe who exists changelessly and independently prior to creation and in time subsequent to creation. This ia a central core of what theists mean by "God"...The kalam cosmological argument leads us to a personal Creator of the universe..."[21]

(Dengan begitu kita telah menyimpulkan adanya Khaliq yang personal bagi alam raya, yang ada tanpa berubah dan berdiri sendiri sebelum penciptaan alam dan dalam waktu sesudah penciptaan itu. Inilah inti pusat apa yang oleh kaum teist dimaksudkan dengan "Tuhan"...Argumen kosmologi kalam membimbing kita ke arah adanya Khaliq yang bersifat pribadi alam raya...)

Adakah membuktikan adanya Tuhan yang personal itu yang menjadi titik perhatian sentral falsafah dan kalam? Setelah membuktikan dengan dalil-dalil dan argumen-argumen yang mantap, para failasuf dan mutakallim beralih ke usaha memahami makna wujudnya Tuhan itu bagi manusia, kemudian dikembangkan menjadi dalil-dalil dan argumen-argumen untuk mendukung kebenaran agama. Seperti ditegaskan oleh Ibn Rusyd dalam Fashl al-Maqal, kegiatan berfalsafah adalah benar-benar pelaksanaan perintah Allah dalam Kitab Suci. Maka, kata Ibn Rusyd, falsafah dan agama atau syari'ah adalah dua saudara kandung, sehingga merupakan suatu kezaliman besar jika antara keduanya dipisahkan. Hanya memang, kata Ibn Rusyd lagi, terdapat halangan agama yang karena ketidak-tahuannya memusuhi falsafah, dan terhadap kalangan falsafah yang juga karena ketidak-tahuannya memusuhi syari'ah. Ibn Rusyd sendiri adalah seorang failasuf yang amat mendalami syari'ah.

CATATAN

1 R.T. Wallis, Neo Platonism (London: Gerlad Duckworth & Company Limited, 1972), h. 164.

2 C A. Qadir, Philosophy and Science in the Islamic World (London: Croom Helm, 1988). h. 28.

3 Istilah "Hellenisme" pertama kali diperkenalkan oleh ahli sejarah dari Jerman, J. G. Droysen. Ia menggunakan perkataan "Hellenismus" sebagai sebutan untuk masa yang dianggapnya sebagai periode peralihan antara Yunani kuna dan dunia Kristen. Droysen lupa akan peranan Roma dalam agama Kristen (dan membatasi seolah-olah hanya Yunani saja yang berperan). Namun ia diakui telah berhasil mengidentifikasi suatu kenyataan sejarah yang amat penting. Biasanya yang disebut zaman Hellenik yang merupakan peralihan itu ialah masa sejak tahun 323 sampai 30 S.M. atau dari saat kematian Iskandar Agung sampai penggabungan Mesir kedalam kekaisaran Romawi. Sebab dalam periode itu muncul banyak kerajaan di sekitar Laut Tengah, khususnya pesisir timur dan selatan seperti Syria dan Mesir, yang diperintah oleh bangsa Makedonia dari Yunani. Akibatnya, mereka ini membawa berbagai perubahan besar dalam banyak bidang di kawasan itu, antara lain bahasa (daerah-daerah itu didominasi Bahasa Yunani) dan pemikiran (ilmu pengetahuan Yunani, terutama filsafatnya, diserap oleh daerah-daerah itu melalui berbagai cara). (Lihat Britannica. s.v. "Hellenic Age").

4 "Sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada engkau (Muhammad) seperti yang telah Kami wahyukan kepada Nuh dan para nabi sesudahnya, dan seperti yang telah Kami wahyukan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan kelompok-kelompok (para nabi), serta kepada 'Isa Ayyub, Yunus, Harun dan Sulayman. Telah pula Kami berikan kepada Dawud (kitab) Zabur. Juga kepada para rasul yang telah Kami kisahkan mereka itu kepadamu (Muhammad) sebelumnya, dan para rasul yang tidak Kami kisahkan mereka itu kepadamu. Dan sungguh Allah telah berbicara (langsung) kepada Musa." (Q., s. al-Nisa /4:163-165).

5 Abraham S, Halkin, "The Judeo-Islamic Age, The Great Fusion" dalarn Leo W. Schwarz, ed., Great Ages & Ideas of the Jewish People (New York: The Modern Library, 1956), hh. 218-219.

6 Qadir, op. cit., h. 34.

7 Drs. Hasyim Asy'ari MA, Bahasa Arab dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan (makalah dalam seminar tentang Bahasa Arab, Fakultas Sastra, UGM, Yogyakarta, 15-16 Oktober 1988).

8 Qadir, op. cit., h. 34.

9 Wallis, op. cit., h. 3.

10 Paul Edwards, ed., The Encyclopedia of Philosophy, s.v. "Plotinus".

11 I.R. Netton, Muslim Neoplatonists (London: George Allen & Unwin, 1982), h. 34.

12 Edwards, loc. cit.

13 Qadir, op. cit., h. 32.

14 Netton, op. cit., h. 33.

15 F.E. Peters. Aristotle and the Arabs (New York: New York University Press, 1986), h. 7.

16 Ibid., h. xx-xxxi (Introduction).

17 Pembahasan tentang kelompok ini yang cukup lengkap ialah yang dilakukan Netton. op. cit.

18 Qadir, op. cit., h. 28.

19 William Craig, Kalam Cosmological Argument (London: The Macmillan Press Ltd, 1979), "preface".

20 Ibid., h. 18.

21 Ibid., h. 152.

0 komentar:

إرسال تعليق

Comment here

  © Blogger template The Professional Template II by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP