Photobucket

Interaksi Pendidikan Anak dalam Alqur’an

الخميس، ٢٠ ربيع الآخر ١٤٣٠ هـ

Interaksi Pendidikan Anak dalam Alqur’an

Category:Books
Genre: Childrens Books
Author:Dr. Miftahul Huda, M.Ag
Penerbit : UIN Malang Press
Cetakan : Maret 2008
Tebal: xi+378
Harga : Rp. 50.000
=============================================

Buku ini memfokuskan pada: 1) tujuan dan materi pendidikan, 2) karakter pendidik dan etika anak didik, 3) metode pendidikan yang mana semuanya digali dari al-Qur'an Obyek pembahasan mengarah pada kisah-kisah yang memuat interaksi pendidikan anak, yaitu Adam, Nuh, Ibrahim, Ya'qub, Ayarkha, Hannah, Luqman Hakim, Zakariya, dan Maryam Buku wajib untuk pendidik dan orang tua ini akan memberikan pencerahan yang luar biasa dalam mendidik anak dengan pemberdayaan spritual anak didik melalui akidah dan syariah serta pemberdayaan moralitas personal dan sosial dengan berdasarkan pada al-Qur?an

Pendidikan anak dalam al-Qur’a>n ini menekankan temuan pada model interaksi pendidikan Interaksi tersebut baik secara pasif maupun aktif, monolog (searah) maupun dialogis, yang mengandung unsur komunikasi pendidik terhadap anak didik Intinya, menganalisa interaksi pendidikan orang tua terhadap anaknya yang dilakukan Adam, Nu>h}, Ibara>hi>m, Ya’qu>b, H{annah, Luqma>n, Zakariya, Ayarkha dan Maryam Hasil temuan model interaksi ini menjelaskan bagaimana pola hubungan pendidikan antara orang tua dan anak, tujuan dan materinya serta sifat masing-masing pendidik dan anak didik dalam interaksi pendidikan tersebut

Tulisan ini mengungkap sebagian fenomena historis yang didiskripsikan al-Qur’a>n melalui pendekatan interaksi Keterbatasan penulis tidak memungkinkan untuk meneliti persoalan ini secara komprehensif dari berbagai dimensi pendidikan Interaksi yang pada awalnya merupakan wilayah otoritatif ilmu sosial kemudian ditari pada kontek interaksi pendidikan itupun masih belum semuanya dibahas Oleh karenanya, karena keterbatasan kesempatan dan keterbatasan dasar keahlian penulis yang hanya takhasus pada lingkup pendidikan, maka tulisan lebih lanjut dapat meneliti interaksi pendidikan anak dalam al-Qur’a>n dengan perspektif disiplin ilmu yang lebih fariatif Misalnya dengan perspektif komunikasi pendidikan anak-orang tua, budaya interaksi anak-orang tua dan sebagainya

Tulisan ini juga mengambil kontek mikro pendidikan dengan fokus anak Dalam konteks yang lebih luas, tulisan pendidikan dapat dikembangkan ke arah makro, baik formal maupun non formal Demikian halnya, dengan menggunakan sumber, perspektif dan pendekatan yang lain


Tulisan hanya memfokuskan pada pelaku sejarah yang melakukan interaksi pendidikan terhadap anak Eksplorasi tulisan lebih lanjut juga dapat diarahkan kepada tektualitas pada ayat lain ataupun hadith dan dokumentasi kitab klasik pendidikan Islam yang memiliki relevansi dengan pendidikan anak

PERSEMBAHAN

Kepada yang terhormat

Semua manusia yang ingin

Menghormati dengan

Memanusiakan dirinya


KATA PENGANTAR

Puji dan sukur kepada Allah atas segala rahmat dan kemudahan dalam penyelesaian buku yang berjudul “Model Interaksi Pendidikan Anak dalam al-Qur’a>n”. judul buku ini sangat berat, karena melalui perspektif interaksi -sebagai bagian ilmu sosial- diharapkan dapat menemukan model interaksi pendidikan anak yang terdapat dalam al-Qur’a>n.


Sebagaimana dimaklumi, suatu keniscayaan untuk mempersiapkan anak-anak sebagai generasi mendatang yang tangguh dalam keimanan dan luhur dalam peradaban। Hal ini mengokohkan idiologi pendidikan sebagai agen transformasi of knowledge menuju kehidupan yang berbudaya। Tidak ada kemajuan yang signifikan tanpa melalui jasa pendidikan. Relevansinya, landasan filosofis pendidikan anak yang digali dari sumber Islam –utamanya al-Qur’an- perlu dikemukakan.


Buku “Model interaksi pendidikan anak dalam al-Qur’a>n” ini memfokuskan pada tujuan dan materi pendidikan, karakter pendidik dan etika anak didik, dan metode pendidikan yang digali dari al-Qur’a>n। Obyek pembahasan mengarah pada kisah-kisah yang memuat interaksi pendidikan anak, yaitu Adam, Nu>h}, Ibra>hi>m, Ya’qu>b, Ayarkha, Hannah, Luqma>n H{aki>m, Zakariya, dan Maryam. Judul buku ini dilatarbelakangi oleh beberapa hal diantaranya: 1) persoalan konsep pendidikan anak dalam masyarakat muslim didominasi oleh pemikiran pakar pendidikan barat, 2) fakta akademik pendidikan tingkat dasar yang memprihatinkan, 3) fakta empirik “krisis pendidikan anak, dan 4) al-Qur’a>n memuat dasar-dasar interaksi pendidikan anak.


Kemasan buku ini mengarah kepada Library Research, menggunakan frame tafsir dengan pendekatan mawd}u>’i> (tematis permasalahan) dan tah}li>li> (analitik). Tafsir digunakan untuk menggali kandungan makna ayat secara komprehensif dengan adaptasi dari mawd}u>’i> dan tah}li>li. Generalisasi makna yang dihasilkan dari tafsir mawd}u>’i> dan tah}li>li> dianalisa dengan perspektif interaksi pendidikan anak. Stressing buku ini berupa konsep tujuan pendidikan anak dan materinya, karakter pendidik, etika anak didik, serta model interaksi pendidikannya।


Hasil ekplorasi buku ini menunjukkan bahwa: 1) Pendidikan anak dalam al-Qur’a>n bertujuan untuk pemberdayaan spiritual anak didik melalui pendidikan akidah dan syari’ah, serta pemberdayaan moralitas personal dan sosial melalui pendidikan akhlak. Untuk tujuan tersebut, maka materi pendidikan anak meliputi materi pendidikan prenatal dan postnatal. 2) Pendidik anak memiliki karakter dasar bijak, sabar, demokratis, memahami kejiwaan anak, dan intuitif (mendapat bimbingan ilahi)। Sifat anak didik digambarkan dengan assosiatif, patuh, komunikatif dan kritis sehingga mendukung keberhasilan pendidikan. 3) Model interaksi terdiri dari tiga model yaitu: assosiatif, disassosiatif dan disassosiatif-assosiatif (gabungan antara keduanya). Model assosiatif paling efektif dalam pencapaian tujuan pendidikan karena terjadi sinergi antara pendidik dan anak didik.


Dalam kerangka penyelesaian buku ini –yang pada mulanya adalah disertasi, penulis menyadari kontribusi berbagai pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu baik secara moril maupun materiil. Oleh karenanya, penulis menyampaikan apresiasi dan penghormatan sebesar-besarnya kepada yang terhormat: 1) Prof. DR. H. M. Ridlwan Nasir, MA, selaku Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya sekaligus sebagai advisor akademik selama menjadi peserta program S-3 di pascasarjana. 2) Prof. DR. H. Ahmad Zahro, MA, selaku Direktur PPS IAIN Sunan Ampel Surabaya atas bimbingan dan layanan akademik. 3) Prof. DR. H. Imam Bawani, MA selaku Promotor yang telah membimbing peneliti secara intensif khususnya dalam perspektif pendidikan anak. 4) Prof. DR. H. M. Roem Rowi, MA selaku Ko-Promotor yang telah membimbing peneliti khususnya dalam perspektif tafsir al-Qur’a>n. 5) Prof. DR. H. Imam Suprayogo selaku Rektor UIN Malang yang telah memberi kesempatan dan dukungan studi S-3 sampai selesai. 6) Prof. DR. H. Muhaimin, MA, Prof. DR. H. Imam Muchlas, MA, dan Prof. DR. Dimyati, MA selaku dosen pengampu Mata Kuliah Penunjang Disertasi. 7) UIN Malang Press yang telah membantu penerbitan naskah ini. Dan semua pihak yang telah membantu penulis.

Penulis berusaha semaksimal mungking demi kualitas buku ini. Namun jika ada keterbatasan dalam aspek sistematika, alur pemikiran, analisa dan pembahasan, ataupun lainnya, peneliti mengharapkan koreksi, saran dan kritik konstruktif dari para pembaca yang budiman. Pada akhirnya, semoga buku ini bermanfaat.

Malang, Maret 2008

Penulis,

Miftahul Huda


DAFTAR ISI

COVER..................................................................................................................... i

PERSEMBAHAN..................................................................................................... ii

KATA PENGANTAR.............................................................................................. iii

DAFTAR ISI............................................................................................................. vi

DAFTAR TABEL..................................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.................................................................................... 1

B. Telaah Pustaka.................................................................................... 16

BAB II... INTERAKSI PENDIDIKAN ANAK (Telaah Teoritik)

A. Interaksi Dalam Perspektif Sosial....................................................... 22

1. Ruang lingkup interaksi................................................................. 22

2. Unsur dasar dan media interaksi.................................................... 33

3. Bentuk dan ciri interaksi............................................................... 35

B. Interaksi dalam Perspektif Pendidikan Anak...................................... 36

1. Pengertian interaksi pendidikan.................................................... 36

2. Peran pendidik dalam interaksi pendidikan................................... 37

3. Komponen, ciri dan pola interaksi pendidikan.............................. 38

C. Interaksi Pendidikan Anak Dalam al-Qur’a>n...................................... 30

1. Telaah etimologi pendidikan anak dalam al-Qur’a>n...................... 30

2. Kawasan interaksi pendidikan anak dalam al-Qur’a>n................... 34

BAB III PENAFSIRAN AYAT-AYAT INTERAKSI PENDIDIKAN ANAK

A. Nabi Adam as, Qa>bil dan Ha>bil ........................................................ 40

B. Nabi Nu>h} as. dan Kan’a>n................................................................... 59

C. Nabi Ibra>hi>m as. dan Nabi Isma>’i>l as................................................. 72

D. Nabi Ya'ku>b as. dan Nabi Yu>suf as................................................... 83

E. Nabi Ya'ku>b as. dan Saudara-saudara Nabi Yu>suf as........................ 93

F. Ayarkha, Asiyah dan Nabi Musa as.................................................. 121

G. Luqma>n Haki>m dan Th}ara>n............................................................... 140

H. H{annah, Nabi Zakaria as. dan Maryam ............................................ 184

I. Nabi Zakaria as. dan Nabi Yahya as................................................. 196

J. Maryam dan Nabi I................................................................... 211

BAB IV MODEL INTERAKSI PENDIDIKAN ANAK DALAM AL-QUR’A

A. Tujuan Dan Materi Pendidikan......................................................... 223

B. Karakter Pendidik Dan Etika Anak Didik........................................ 231

C. Model Interaksi Pendidikan............................................................... 241

BAB V KESIMPULAN

A. Kesimpulan........................................................................................ 268

B. Implikasi Teoritik.............................................................................. 269

BAB VI PENUTUP……………………………………………………………277

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 279

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ........................................................................... 284

DAFTAR TABEL

TABEL 2. 1: TEORI INTERAKSI DALAM PERSPEKTIF SOSIAL.................. 26

TABEL 2. 2: TEORI INTERAKSI DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN....... 29

TABEL 4.1: MATERI DAN TUJUAN PENDIDIKAN ANAK DALAM AL-QUR’A<<<>N 280

TABEL 4.2: KARAKTER PENDIDIK DAN ETIKA ANAK DIDIK DALAM AL-QUR’A<<>N 293

TABEL 4.3: METODE PENDIDIKAN ANAK ANAK DALAM AL-QUR’A<>N........... 298

TABEL 4.4: TEMUAN MODEL INTERAKSI PENDIDIKAN ANAK DALAM AL-QUR’A>N 317

B A B VI

PENUTUP

Pendidikan anak dalam al-Qur’a>n ini menekankan temuan pada model interaksi pendidikan. Tulisan hanya memfokuskan pada pelaku sejarah yang melakukan interaksi pendidikan terhadap anak. Interaksi tersebut baik secara pasif maupun aktif, monolog (searah) maupun dialogis, yang mengandung unsur komunikasi pendidik terhadap anak didik. Intinya, menganalisa interaksi pendidikan orang tua terhadap anaknya yang dilakukan Adam, Nu>h}, Ibara>hi>m, Ya’qu>b, H{annah, Luqma>n, Zakariya, Ayarkha dan Maryam. Hasil temuan model interaksi ini menjelaskan bagaimana pola hubungan pendidikan antara orang tua dan anak, tujuan dan materinya serta sifat masing-masing pendidik dan anak didik dalam interaksi pendidikan tersebut.

Tulisan ini hanya mengungkap sebagian fenomena historis yang didiskripsikan al-Qur’a>n melalui pendekatan interaksi. Keterbatasan penulis tidak memungkinkan untuk meneliti persoalan ini secara komprehensif dari berbagai dimensi pendidikan. Interaksi yang pada awalnya merupakan wilayah otoritatif ilmu sosial kemudian ditari pada kontek interaksi pendidikan itupun masih belum semuanya dibahas. Oleh karenanya, karena keterbatasan kesempatan dan keterbatasan dasar keahlian penulis yang hanya takhasus pada lingkup pendidikan, maka tulisan lebih lanjut dapat meneliti interaksi pendidikan anak dalam al-Qur’a>n dengan perspektif disiplin ilmu yang lebih fariatif. Misalnya dengan perspektif komunikasi pendidikan anak-orang tua, budaya interaksi anak-orang tua dan sebagainya.

Tulisan ini juga hanya mengambil kontek mikro pendidikan dengan fokus anak. Dalam konteks yang lebih luas, tulisan pendidikan dapat dikembangkan ke arah makro, baik formal maupun non formal. Demikian halnya, dengan menggunakan sumber, perspektif dan pendekatan yang lain. Eksplorasi tulisan lebih lanjut juga dapat diarahkan kepada tektualitas pada ayat lain ataupun hadith dan dokumentasi kitab klasik pendidikan Islam yang memiliki relevansi dengan pendidikan anak.

Mempertimbangkan hasil tulisan model interaksi pendidikan anak dalam al-Qur’a>n ini, maka penulis menyarankan:

1. Seyogyanya para pengambil kebijakan dan pelaku pendidikan formal pada tingkat dasar, dan menengah meningkatkan pemahaman tentang konsep-konsep pendidikan anak khususnya aspek model interaksi, karena model interaksi menjelaskan bagaimana efektifitas pendidikan diajarkan pada anak didik.

2. Semestinya para orang tua dan pelaku pendidikan non formal mengembangkan interaksi pendidikan yang dialogis dan humanis dengan mempertimbangkan kejiwaan anak, sekaligus menghindari kekerasan dalam pendidikan.

3. Selayaknya -khususnya Fakultas Tarbiyah di lingkunganUIN, IAIN ataupun PTAIN lainya- mengembangkan program studi yang berkonsentrasi pada pendidikan anak semisal PGTK/ PGMI yang memberikan spesialisasi kajian pada pendidikan tingkat dasar.



selamat membaca dan memiliki...

Read More.. Read more...

Nalar Pendidikan Anak


Nalar Pendidikan anak


Category :

Books

Genre :

Childrens Books

Author :

Dr. Miftahul Huda, M. Ag

Penerbit :

Bayutara Media Jogjakarta 2008

Harga :

40.000




Tema buku ini dilatarbelakangi oleh: 1) persoalan epistemologi pendidikan anak dalam masyarakat muslim didominasi oleh pemikiran pakar pendidikan barat, 2) fakta akademik pendidikan tingkat dasar yang memprihatinkan, 3) fakta empirik “krisis pendidikan anak, dan 4) al-Qur’a>n memuat dasar-dasar filosofis dan praktis pendidikan anak.

Secara historis, al-Qur’an> diantara isinya mengabadikan berbagai fenomena kehidupan - termasuk di dalamnya adalah kehidupan manusia- untuk dijadikan ‘ibrah bagi kehidupan manusia itu sendiri. Fakta-fakta historis pendidikan keluarga banyak sekali dituangkan dalam rekaman ayat dalam berbagai surat di dalam al-Qur’a>n. Beberapa di antarnya memilki relefansi dengan proses pembentukan keilmuan pendidikan (baca epistemologi), semisal pendidikan yang dilakukan oleh Luqman al-Hakim, nabi Nuh as., nabi Ibrahim as., nabi Ya’qub as., dan Maryam. Tokoh-tokoh tersebut telah memainkan peran penting dalam interaksi pendidikan dalam lingkup keluarga, yakni pendidikan dilakukan terhadap anaknya.

Profil Luqman Hakim secara epistemologis menunjukkan bahwa keberhasilan pendidikan tertumpu kepada pendidik yang memiliki kompetensi hikmah. Hikmah tidak saja difahami sebagai pendidik yang bijaksana saja, tetapi juga ada kesesuaian antara kata hati nurani yang bersih dan prilaku yang benar. Kesatuan kata dan prilaku menggambarkan betapa pendidik merupakan figure ideal yang patut dicontoh pikirann, perkataan dan perbuatannya. Pendidikan tidak cukum hanya mengarah pada pemberdayaan kognitif saja, tetapi juga afektif dan psikomotor. Ketajaman dan kecerdasan berfikir anak didik menjadi pintu utama untuk melahirkan sikap dan prilaku yang benar. Dengan kata lain, tujuan utama pendidikan yaitu kebenaran sikap dan prilaku yang didasarkan atas cara logika dan cara berfikir yanag benar pula.

Profil nabi Nuh as. dalam nalar epistemology menunjukkan bahwa tidak ada keterkaitan langsung antara nasab dan nasib keilmuan anak. Secara geneologi, pendidikan tidak bisa dan tidak terbiasa untuk diwariskan melalu jalur keturunan secara berkelanjutan. Kelahiran boleh saja mengikat seseorang dalam tali persaudaraan hubungan darah, tetapi tidak dalam hubungan warisan keilmuan secara otomatis. Oleh karena itu setiap anak yang lahir pasti dalam keadaan fitrah, yakni kosong dari segala potensi bawaan. Bayi sikaya sama fitrah-nya dengan bayi simiskin, pun demikian pula antara bayi sialim dengan bayi sibodoh. Hal ini menjadikan idiologi pendidikan sebagai agent of change bagi peradaban manusia.

Nabi Ibrahim mengandaikan epistemologi pendidikan demokratis. Pendidikan hadir dalam proses interaksi yang humanis dan dialogis, sehingga terbebas dari tindak otoritatip sang pendidik. Anak didik dijadikan “mitra agency” dalam menentukan kebenaran sebuah prilaku. Signifikansinya, rumusan materi dan tujuan pendidikan tidak saja didasarkan pada interest pendidik untuk menggapainya, tetapi juga mempertimbangkan keinginan anak didik. Anak didik diberi porsi secara proporsional untuk terlibat mendesain kebenaran pendidikan. Hal inilah yang ditunjukkan dalam interaksi Ibrahaim as terhadap Ismail dalam proses penawaran risalah tuhan untuk tugas penyembelihan.

Epistemologi problem solving dalam pendidikan ditafsirkan dari narasi interaksi dalam keluarga nabi Ya’qub as. pendidikan hadir dalam upaya memecahkan permasalahn yang dihadapi oleh anak didik. Dalam hal ini mengandaikan bahwa hidup dipandang secara problematik yang memerlukan solusi bijak bagi anak manusia. Pada gilirannya bagaimana kontribusi pendidikan mampu mengatasi problematika kehidupan yang dihadapi oleh anak manusia dari setiap fase kehidupannya mulai dari sejak lahir, dewasa bahkan sampai tua. Hal ini menegaskan bahwa pendidikan mampu membangun prestasi individu peserta didik dalam memecahkan permasalah hidupnya, dan bukan sebaliknya menjadi beban bagi peserta didik karena memiliki kompetensi keilmuan yang tidak membantu dalam penyelesaian kehidupannya.

Pendidikan “kodrati” dinalar dari peristiwa kehidupan nabi Isa as. Isa as. diwaktu kecil mampu menghadirkan fakta kebenaran sebagai jawaban atas permasalahan yang dihadapi oleh ibunya Maryam. Ketika itu, Maryam profil wanita salehah itu dikejutkan dengan kehadiran malaikat yang membawa perintah Allah akan kelahiran Isa dari rahimnya tanpa proses manusiawi, yakni tanpa suami. Kelahiran Isa yang dijanjikan itulah jenyebabkan kekacauan dimasyarakat, sehingga kaumnya menuduh Maryam telah melakukan przinaan. Atas peristiwa itu, hinaan dan tekanan yang dihadapi Maryam dirasa di luar batas untuk menerimanya, pada akhirnya Isa menghadirkan kebenaran baru yang membuktikan bahwa ibunuya tidak melakkukan apa yang mereka tuduhkan. Di sinilah terlihat bahwa sumber pendidikan bukunlah otoritas subyektif, melainkan otoritas obyektif yang mampu menenghadirkan fakta kebenaran sejati. Bisa jadi akumulasi fakta subyektifitas pendidikan secara komunal menjustifikasi obyektifitas pendidikan.

Hasil ekplorasi tulisan ini menunjukkan beberapa poin berikut: 1) Kontruksi epistemologi pendidikan anak dipengaruhi oleh sosio-kultural. Pendidikan anak terjadi sebagai problem solving permasalahan yang dihadapi oleh anak didik dan atau pendidik dalam interaksinya dengan anak didik. 2) Materi pendidikan anak meliputi aspek akidah, syari’ah dan akhlak. 3) Tujuan pendidikan anak untuk penanaman spiritual dan pemberdayaan intelektual serta emosional. 4) Pendidik anak memiliki kompetensi dasar bijak, sabar, demokratis, psikolog, dan intuitif. 5) Sifat patuh, komunikatif dan kritis anak didik mendukung keberhasilan pendidikan. 6) Efektifitas interaksi pendidikan menggunakan metode dialogis dan komunikatif dengan mempertimbangkan emosional anak didik.



DAFTAR ISI

PERSEMBAHAN .................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ............................................................................................. ii

TRANSLITERASI.................................................................................................... xii

DAFTAR ISI............................................................................................................. xiii

DAFTAR TABEL..................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.................................................................................... 1

B. Teoritical Mapping Pendidikan Anak................................................ 15

BAB II... PERSPEKTIF EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN ANAK

A. Spektrum Epistemologi...................................................................... 31

1. Pengertian, Fungsi dan Tujuan...................................................... 31

2. Ragam Epistemologi dalam Keilmuan.......................................... 37

B. Epistemologi dan Pendidikan............................................................. 39

1. Dominasi Pendekatan Epistemologi Barat.................................... 39

2. Kawasan Epistemologi Pendidikan Islam..................................... 42

3. Metode Epistemologi Pendidikan Islam........................................ 45

C. Implikasi Filsafat Ilmu Dalam Pendidikan Islam................................ 46

1. Ontologi Pendidikan Islam............................................................ 50

2. Epistemologi Pendidikan Islam..................................................... 51

3. Aksiologi Pendidikan Islam........................................................... 58

D. Urgensi Pendidikan Anak................................................................... 59

1. Preodisasi Pendidikan Anak.......................................................... 60

2. Potensi Keagamaan Anak.............................................................. 63

3. Tipologi Filsafat Pendidikan Anak............................................... 65

4. Pendidikan Anak Dalam Al-Qur’a>n Dan Al-Hadith..................... 70

5. Pendidikan Anak Dalam Pandangan Ulama.................................. 74

E. Epistemologi Pendidikan Anak dalam Al-Qur’a>n.............................. 80

F. Cara Kerja Penelitian Epistemologi Pendidikan Anak Dalam Al-Qur’a>n 87

BAB III HISTORISITAS PENDIDIKAN ANAK DALAM AL-QUR’AN

A. Luqma>n H}aki>m dan anaknya ............................................................ 94

B. Nabi Nu>h} as. dan Kan’a>n................................................................... 144

C. Nabi Ibra>hi>m as dan Isma>’i>l as........................................................... 160

D. Nabi Ya'ku>b as dan Yu>suf as............................................................. 173

E. Maryam dan I............................................................................ 185

BAB IV NALAR EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN ANAK DALAM AL-QUR’AN

A. Tujuan dan materi pendidikan........................................................... 200

B. Metode pendidikan............................................................................ 204

C. Karakter pendidik dan Etika Anak Didik......................................... 206

D. Kontruksi Epistemologi Pendidikan Anak dalam Al-Qur’a>n........... 213

BAB V KESIMPULAN

A. Kesimpulan........................................................................................ 226

B. Implikasi Teoritik.............................................................................. 227

C. Keterbatasan Studi ............................................................................ 234

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 236

BIOGRAFI PENULIS ......................................................................................... 240

DAFTAR TABEL

TABEL 2. 1: RUANG LINGKUP EPISTEMOLOGI............................................ 33

TABEL 2. 2: POSISI EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN...................................... 34

TABEL 2. 3: PENGETAHUAN MANUSIA......................................................... 39

TABEL 2. 4: EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN BARAT: KELEBIHAN DAN KEKURANGAN 41

TABEL 2. 5: KAWASAN EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM.................. 44

TABEL 2. 6: METODE EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM ..................... 46

TABEL 2. 7: POSISI EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN DALAM AL-QUR’A>N ........... 46

TABEL 4. 1: MATERI DAN TUJUAN PENDIDIKAN ANAK DALAM AL-QUR’A<<<>N 203

TABEL 4. 2: METODE PENDIDIKAN................................................................. 206

TABEL 4. 3: INTERAKSI PENDIDIKAN........................................................... 207

TABEL 4. 4: KOMPETENSI PENDIDIK DAN ETIKA ANAK DIDIK............. 212

TABEL 4. 5: TEKTUALISASI KONTEK PENDIDIKAN................................... 216

TABEL 4. 6: KONTRUKSI EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN ANAK DALAM AL-QUR’A>N 225


selamat membaca dan memiliki..


Read More.. Read more...

MUTIARA HIKMAH LUQMAN HAKIM (PESAN-PESAN PENDIDIKAN ANAK)

MUTIARA HIKMAH LUQMAN HAKIM (PESAN-PESAN PENDIDIKAN ANAK)

Oleh: Miftahul Huda

Daftara Isi:

BAB I: PENDAHULUAN

1. Latar belakang masalah

2. Rumusan masalah

3. Tujuan dan kegunaan penelitian

4. Metodologi penelitian

5. Pembatasan masalah

6. Sistematika pembahasan

BAB II: KAJIAN TEORITIS TENTANG

PENDIDIKAN ANAK

1. Pendidikan dan permasalahannya

a. Arti pendidikan

1.a.1. Tinjauan bahasa

1.a.2. Tinjauan istilah

1.a.3. Ta’rif pendidikan Islam

b. Tujuan pendidikan

c. Guru

d. Murid

e. Alat pendidikan

f. Lingkungan pendidikan

2. Urgensi pendidikan anak

a. Fase pendidikan anak

b. Jiwa keagamaan anak

c. Kebutuhana anak pada pendidikan

d. Pendidikan anak Islami

BAB III: PESAN-PESAN PENDIDIKAN ANAK

(Studi tentang mutiara hikmah Luqmanul Hakim)

1. Seputar Luqmanul Hakim

1.a. Pendapat Mufassirin tentang Luqmanul Hakim

1.b. Kajian bahasa

1.c. Kajian istilah

1.d. Pekerjaannya

1.e. Sifat-sifatnya

1.f. Status kenabianya

1.g. Masa hidupnya

1.h. Makamnya

1.i. Nama anaknya

2. Diberi Hikmah

2.a. Makna hikmah

2.a. 1. Pengertian etimologi

2.a. 2. Pengertian istilah

2.b. Macamnya

2.b. 1. Hikmah teoritis dan praktis [dari sisi obyek]

2.b. 2.Hikmah mauhibah dan iktisabiyah [dari sisi pencapaian]

2.b. 3. Tanda-tandanya

2.b. 4. Hikmah Luqmanul Hakim

2.c. Faktor-faktornya

2.c. 1.faktor pendukung

2.c. 2.Faktor penghambat

2.d. Kata-kata mutiara hikmah Luqmanul Hakim

BAB IV: PEMBAHASAN MUTIARA HIKMAH

LUQMANUL HAKIM

1. Paparan kata-kata mutiara hikmah Lukmanul hakim

2. Analisa data

2.1. Cakupan isi/pesan pendidikan

2.2. Metode Pendidikan Luqmanul Hakim

2.3. Sifat pendidik

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Saran

LITERATUR

LAMPIRAN

SEMINAR PROPOSAL

LEMBAR KONSULTASI

BIODATA PENULIS


BAB I

PESAN-PESAN PENDIDIKAN ANAK

(Studi tentang mutiara hikmah Luqmanul Hakim)

1. Latar belakang masalah

Menyambut datangnya abat milenium baru, pada umumnya setiap orang juga memiliki harapan-harapan baru yang ingin dicapai. Disinilah kesempatan terbuka lebar untuk mengembangkan kemampuan, minat dan bakat dalam aspek apapun, terutama bidang Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Komunikasi (IPTEK). Suasana awal abat 21 ini akan menjadikan hidup semakin kompetitip, sehingga kreatifitas dan profesionalisme akan menghantarkan seseorang untuk dapat memperoleh peluang hidup yang membahagiakan.

Melihat besarnya peluang untuk mengembangkan segala potensi tersebut, terutama bidang IPTEK, maka pendidikan Islam sudah saatnya untuk dikembangkan dengan cara menggali, dan memeperbaharui konsep-konsep yang telah ada. Hal ini dilakukan dalam rangka mengikuti tuntutan perubahan zaman, agar pendidikan lebih solid ditengah gencarnya arus perubahan.

Memang kebenaran dogma agama Islam tidak bisa disangkal yang mengatakan bahwa selama manusia masih bernafas, maka disitu pulalah dituntut untuk terus

tholabul‘ilmi. Pernyataan ini dapat dipahami sebagai

modal dasar untuk mengembangkan diri, dengan prinsip menjadikan masa lalu sebagai wacana sejarah yang tidak boleh dilupakan, masa sekarang sebagai

kenyataan, dan masa yang akan datang sebagai harapan.

Realitas seperti diatas inilah yang ikut mendorong penulis untuk ingin mencermati lebih dalam tentang obyek tholabul ilmu pada aspek pendidikan anak.

Kenapa harus mengambil tema pendidikan anak? Karena diyakini sepenuhnya bahwa keberhasilan pendidikan anak merupakan landasan dasar bagi kemajuan suatu bangsa. Tidak ada yang lebih mempercepat suatu kemajuan bangsa tanpa diimbangi kesuksesan dalam menciptakan generasi penerus bangsa itu sendiri, melalui pendidikan kader-kader bangsanya. Sehingga sisisi lain dapat dikatakan pula bahwa tidak ada hambatan yang lebih besar dalam membangun bangsa melebihi kegagalan dalam pendidikan anak. Jadi anak merupakan generasi, modal dasar dan sekaligus aset bangsa yang patut diperhitungkan masa depannya. Perhatian yang diberikan menyangkut pendidikan dan sekaligus kesolehan akhlaknya. Hal ini seperti tertera dalam sebuah syair Syauky Beek sebagaimana dinukil Athiyah Al-Abrosy ini:[1]

وإنما الأمم الأخلاق ما بقيت Ì فإن هموا ذهبت أخلاقهم ذهبوا

Atas alasan tersebut, maka pendidikan anak dipandang penting untuk diperhatikan. Permasalahan yang ingin dimunculkan dalam tesis ini adalah terletak pada suatu pertanyaan mendasar, yaitu bagaimana mendidik anak secara ideal dan Islami tanpa mematikan daya kreatifitas dan potensi dasar mereka. Pada akhirnya dikandung maksud untuk mencapai keseimbangan pola fikir dan tingkah laku anak. Karena menurut teori pendidikan yang dikemukakan oleh Bloom, pada dasarnya pendidikan adalah perubahan tiga kemampuan pokok yang harus terjadi pada diri siswa, yaitu kemempuan kognitif (pengetahuan), afektif (keterampilan), dan psikomotor (sikap ).

Kalau kita cermati, taksonomi yang dikemukakan oleh Bloom ini tidak memuat aspek akhlak. Padahal keberadaan akhlak sangatlah penting dalam pergaulan hidup manusia diabat milinium ini. Karena disadari, kemajuan suatu bangsa tanpa diimbangi oleh budi pekerti yang luhur ( akhlakul karimah ), suatu saat akan menjadi bumerang bagi kehancuran bangsa itu sendiri.

Disatu sisi kemajuan informasi dan teknologi dalam dunia global ini memiliki ekses terhadap cara berfikir anak didik semakin kritis, rasional, bebas dan dinamis. Hal ini bisa terjadi karena mereka banyak tahu tentang pengetahuan yang diperoleh melalui segala informasi, baik cetak maupun elektronik. Pada saat itu pula, anak didik memiliki kecenderungan untuk mengaitkan fenomena - yang ada dalam suatu mata pelajaran misalnya dengan rasio.

Maka generalisasinya, agama akan lebih dapat diterima anak didik jika bersifat rasional, realistis dan aplikatip. Sementara itu, konsep-konep agama banyak yang bersifat dogma-dogma tanpa bukti realistis.

Bertolak dari uraian diatas, maka penulis ingin menelusuri lebih jauh filosofis pendidikan anak yang ideal dan islami , dengan pembahasan utama tentang pesan pesan pendidikan anak menurut Luqmanul Hakim.

Sebagai apersepsi awal, konsep pendidikan yang diterapkan oleh Luqmanul Hakim pada anaknya meliputi empat hal.

Pertama : pendidikan keimanan. Pendidikan inilah yang pertamakali dilakukannya terhadap anaknya (ayat 13 ). Hal ini bisa difahami bahwa Islam memandang pengetahuan ( kognitif dalam istilah Bloom) tentang ketuhanan sebagai dasar prilaku anak sebelum ia belajar disiplin ilmu lain. Aplikasinya, dalam bidang pendidikan akidah ini Luqman menanamkan pengetahuan bahwa Alloh sebagai Dzat Yang Maha Esa yang harus disembah oleh seluruh alam.

Untuk mencapai tujuan tersebut, maka tema sentral pendidikan keimanan meliputi rukun iman yang enam. Secara berurutan meliputi beriman kepada Alloh, malikat, kitab suci, rosul, hari akhir, qodo’ dan qodar.

Bidang keimanan memiliki cakupan tujuan yang penting. Misalnya ketika anak didik sudah dewasa, lalu menjadi pegawai atau bekerja pada suatu instansi, atau dalam bidang apapun, maka aspek keimanan dan ketakwaan akan mengendalikan setiap aktifitasnya. Dengan demikian ia akan dapat menjalankan amanat pekerjaannya dengan baik, jujur, dan bertanggung jawab, sehingga terhindar dari perbuatan dlolim dan praktek-praktek perbuatan kotor lainnya seperti korupsi dan sejenisnya.

Kedua : pendidikan syari’ah ( baca : ibadah ). Ruang lingkup syari’ah meliputi interaksi vertikal seorang hamba dengan Alloh yang direalisasikan melalui ibadah, dan interaksi horizontal yang dilakukan dengan sesama manusia (muamalah). Kenapa pendidikan ibadah baru dilakukan setelah pendidikan akidah? Karena secara filosofis, setelah anak dikenalkan keimanan dan sudah mengkristal menjadi karakternya, maka dia dituntut untuk membuktikan keimanannya itu dalam bentuk amaliyah kongkrit melalui ibadah. Jadi dengan iman yang kuat diharapkan anak mengerti bahwa kesempurnaan iman itu perlu dibuktikan dengan tindakan nyata yang berupa pengabdian melalui tatacara ibadah. Dalam hal ibadah ini Luqman mengajarakan sholat kepada anaknya. Kenapa mesti diajari sholat, tentunya karena sholat adalah tiang agama. Dan setelah rajin melakukan sholat, alalu diperintahkan untuk membiasakan dikap baik terhadap keluarga terdekat, yang dalam hal ini ayah dan ibu yang dijelaskan lebih lanjut dalam pendidikan akhlak.

Ketiga : pendidikan akhlak. Betapapun kuatnya iman dan dan takwa anak didik dalam arti rajin mengerjakan ibadah dilandasi dengan iman yang kuat, jika tidak diikuti dengan akhlak yang biak, maka pengabdiannya itu akan sia-sia belaka (kurang semprna ). Maka dalam bidang akhlak ini, pendidikan yang mula-mula dilakukan Luqman kepada anaknya adalah dengan memperkenalkan etika baik terhadap kedua orang tua.Prinsip berbakti ini dengan cara mel;akukan segala yang diperintahnya, dan menjauhi segala larangannya selama dalam batas kebaikan dan tidak melanggar syari’at islam. Juga dengan perkataan yang baik dan menjawab dengan arif / bijaksana jika perintahnya bertentangan dengan agama.

Keempat : Pendidikan sosial. Pendidikan sosial adalah tahapan akhir yang dilakukan Luqman terhadap anaknya. Setelah anak dikenalkan konsep akhlak kepada tuhannya melalui jalan ibadah, dan kepada kedua orang tuanya maka berikutnya diajarkan padanya akhlak dalam kontek kemasyarakatan. Pendidikan sosial ini mencakup etika pergaulan (bertemu), berbicara, berjalan dan lainnya. Ajaran inilah yang sebenarnya dalam konsep islam dikenal dengan Ikhsan.

Jadi ide pokok pendidikan Luqmanul Hakim kepada anaknya meliputi empat konsep tersebut, dimana dalam istlah lain secara filosofis telah memenuhi target untuk membentuk insan kamil yang terdiri dari kesempurnaan aqidah, syariah dan akhlak dan akhlak (Iman, Islam dan Ihsan ).

2. Rumusan masalah

Cerita Luqmanul Hakim yang ada dalam surat Luqman mungkin dapat dikaji dari berbagai sudut pandang. Namun disini penulis akan membahas kata mutiara hikmahnya dari sudut pandang pendidikan dengan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana syarat guru yang ideal, menurut pengajaran Luqmanul Hakim?

2. Bagaimana cakupan materi pesan-pesan pendidikan anak yang dilakukan oleh Luqmanul hakim?

3. Bagaimana metode pendidikan anak yang diterapkan Luqmanul Hakim?

3. Tujuan dan kegunaan penelitian

Penulisan tesis ini sesuai dengan rumusan masalah diatas, maka bertujuan untuk:

1. Mendiskripsikan mutiara hikmah pendidikan anak yang dilakukan oleh Luqmanul Hakim terhadap anaknya, lalu dianalisa cakupan meterinya.

2. Mendiskripsikan metode pendidikan yang efektif, yang disimpulkan dari mutiara hikmah Luqmanul hakim.

3. Mendiskripsikan sifat guru yang ideal yang disarikan dari kata mutiara hikmah Luqmanul hakim.

Sedangkan kegunaan penulisan tesis ini secara teoritis diharapkan dapat menambahkan sumbangan berfikir dalam khazanah pengetahuan yang sudah ada dalam bidang pendidikan, sehingga secara praktis pada akhirnya dapat dijadikan suatu rujukan yang patut diperhatikan.

4. Metodologi penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian diskriptif-kwalitatip. Maka penulis menggunakan metodologi pembahasan sebagi berikut:

a. Studi pustaka

Maksudnya adalah studi tentang fenomena realistis yang diperoleh melalui studi buku, penelitian, penerbitan dan dokumentasi lainnya.[2]

b. Metode Deskripsi ( descriptical method )

Yang dimaksud dengan metode ini adalah mendiskripsikan data realistis secara mendetail dan sesuai dengan kenyataannya secara kwalitatip ataupun kwantitatip.[3]

c. Metode deduksi ( deductive methode )

Metode deduksi berangkat dari pengetahuan yang sifatnya umum, dan bertitik tolak pada pengetahuan yang umum itu digunakan untuk menilai kejadian yang khusus.[4] Pengertian serupa dijelaskan oleh Muhammad Athiyah Al-abrosi.[5]

d. Metode Induksi ( inductive method )

Ialah berfikir dari fakta-fakta yang khusus, peristiwa-peristiwa yang kongkrit, kemudian dari fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa yang khusus kongkrit itu ditarik generalisasi-generalisasi yang mempunyai sifat umum.[6]

e. Metode komparasi ( comparative method )

Yaitu mencari hubungan dengan menggabungkan beberapa fakta sejenis dengan berdasarkan pada indikasi-indikasi yang sama ataupun berbeda.[7]

Adapun literatur pokok yang akan diteliti adalah kitab-kitab tafsir yang memuat kata-kata mutiara hikmah Lukamanul hakim.

5. Pembatasan masalah

Tesis ini berjudul PESAN-PESAN PENDIDIKAN ANAK (Studi tentang mutiara hikmah Luqmanul Hakim]. Untuk memperjelas judul dimaksud, maka penulis perlu membatasi masalah dengan mengacu pada definisi operasional seperti dikehendaki dibawah ini:

Pendidikan :proses mengubah sikap dan tatalaku seorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; juga berarti proses, perbuatan dan cara mendidik.[8]

Anak :manusia yang masih kecil [sekitar umur enam tahun ]. [9]

Luqman nama kongkrit [isim ma’rifah] yang berasal dari kata laqoma dengan tambahan alif dan nun seperti kata usman, dimana Luqman ini bisa berasal dari kata arab murrni ataupun non arab [ajam].[10] Atau sebuah nama yang ada dalam alquran QS. Luqman 12.

Jadi yang dikehendaki dengan judul tesis ini adalah pembahasan tentang pesan-pesan pendikan anak yang dilakukan oleh Luqmanul Hakim kepada anaknya, yang tertuang dalam kata-kata mutiara hikmahnya [bukan yang ada dalam alquran dalam surat Luqman 12-19.

6. Sistematika pembahasan

Organisasi penulisan

BAB I: PENDAHULUAN

7. Latar belakang masalah

8. Rumusan masalah

9. Tujuan dan kegunaan penelitian

10. Metodologi penelitian

11. Pembatasan masalah

12. Sistematika pembahasan

BAB II: KAJIAN TEORITIS TENTANG

PENDIDIKAN ANAK

1. Pendidikan dan permasalahannya

g. Arti pendidikan

1.a.1. Tinjauan bahasa

1.a.2. Tinjauan istilah

1.a.3. Ta’rif pendidikan Islam

h. Tujuan pendidikan

i. Guru

j. Murid

k. Alat pendidikan

l. Lingkungan pendidikan

3. Urgensi pendidikan anak

e. Fase pendidikan anak

f. Jiwa keagamaan anak

g. Kebutuhana anak pada pendidikan

h. Pendidikan anak Islami

BAB III: PESAN-PESAN PENDIDIKAN ANAK

(Studi tentang mutiara hikmah Luqmanul Hakim)

1. Seputar Luqmanul Hakim

1.a. Pendapat Mufassirin tentang Luqmanul Hakim

1.b. Kajian bahasa

1.c. Kajian istilah

1.d. Pekerjaannya

1.e. Sifat-sifatnya

1.f. Status kenabianya

1.g. Masa hidupnya

1.h. Makamnya

1.i. Nama anaknya

2. Diberi Hikmah

2.a. Makna hikmah

2.a. 1. Pengertian etimologi

2.a. 2. Pengertian istilah

2.b. Macamnya

2.b. 1. Hikmah teoritis dan praktis [dari sisi obyek]

2.b. 2.Hikmah mauhibah dan iktisabiyah [dari sisi pencapaian]

2.b. 3. Tanda-tandanya

2.b. 4. Hikmah Luqmanul Hakim

2.c. Faktor-faktornya

2.c. 1.faktor pendukung

2.c. 2.Faktor penghambat

2.d. Kata-kata mutiara hikmah Luqmanul Hakim

BAB IV: PEMBAHASAN MUTIARA HIKMAH

LUQMANUL HAKIM

3. Paparan kata-kata mutiara hikmah Lukmanul hakim

4. Analisa data

2.1. Cakupan isi/pesan pendidikan

a. Metode Pendidikan Luqmanul Hakim

b. Sifat pendidik

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Saran

LITERATUR

LAMPIRAN

SEMINAR PROPOSAL

LEMBAR KONSULTASI

BIODATA PENULIS


BAB II

KAJIAN TEORITIS TENTANG PENDIDIKAN

1. Pendidikan dan permasalahannya

Untuk membahas teori yang mendukung sempurnanya pembahasan tesis ini, maka dikemukakan pendalaman teori pendidikan meliputi pengertian dan faktor pendukung pendidikan yang mencakup tujuan, landasan, guru, murid dan alat/ lingkungan pendidikan.

1. a .Arti pendidikan

1.a.1 Tinjauan bahasa

Kata pendidikan [tarbiyah] menurut Abdurrohman Annahlawi memiliki tiga kata dasar, yaitu:

Pertama berasal dari رباـ يربوـ رباءـ وربوا أى زاد ونما yang berarti tambah dan berkembang. Penggunaan kata ini seperti dalam pengertian ayat berikut:

"وما أوتيتم من ربا ليربو فى أموال الناس فلا يربو عند الله" (الروم: 39)

Kedua berasal dari ربىـ يربى على وزن خفى ـ يخفى بمعنى نشأ وترعرع yang berarti tumbuh dan berkembang. Adapun arti kata ربى ـ يربى تربية وتربى الولد أى غذاه وجعله يربو وهذبه mendidik anak artinya memberi makanan, mengembangkan dan mendidiknya tingkah lakunya.Ketiga berasal dari kata رب ـ يرب على وزن مد-يمد بمعنى أصلحه وتولى أمره وساسه وقام عليه ورعاه berarti memperbaikinya, mengurusi dan membina.[11]

Kata tarbiyah menurut Miqdad Yaljan juga berarti bertambah, memberi makan, memelihara, menjaga dan tumbuh. Juga digunakan secara majazi dengan arti mendidik tingkah laku dan meninggikan pangkat. Makna lainnya yang senada adalah berkembang, memberi makan, meninggikan dan mengangkat posisi. Pengambilan kata tarbiyah ini juga dari kata رب dan bukan dari رباsehigga bisa dikatakan pula“ mendidik anak artinya memperhatikannya dengan baik, mengajari sampai bisa dan akhirnya menyapihnya. [12]

وجاءت كلمة التربية بمعنى الزيادة التغذية والرعاية والمحافظة والنشأة وتستعمل مجازا بمعنى التهذيب وعلو المنزلة. وأيضا بمعنى النشأة والتغذية وعلو الشأن والإرتفاع. وجاء إشتقاق هذه الكلمة من رب وليست من ربا فيقال "رب ولده والصبى يربه أى أحسن القيام عليه، وساسه حتى أدرك وفارق الطفولة.

Menurut Imam Alqurthubi, kata الرب bermakna tuan/ penguasa, diantara penggunaan makna ini seperti pada ayat “ ingatkan kami pada tuanmu” QS. Yusuf 42. Dan dalam sebuah hadist “tuan mengendalikan umatnya “ …sedangkan الرب adalah semakna dengan pembuat ketentraman, pengatur, pemaksa kehendak, penguasa, juga dikatakan bagi orang yang menekuni banyak buku. Kata الرب Juga nama sebagai nama agung bagi Alloh yang mengisyaratkan adanya hubungan yang erat, saling mengasihi, menyayangi dan ketergantungan antara penguasa dan yang dikuasai. Dan asal pengambilan kata الرب tersebut masih dipertentangkan oleh ulama, dikatakan pula diambil dari kata tarbiyah, jadi artinya Alloh sebagai pengatur dan pendidik makhluk.[13]

وقال القرطبى أن الرب بمعنى السيد، ومنه قوله تعالى" أذكرنى عند ربك (يوسف: 42)، وفى الحديث " أقلد الأمة ربتها أى سيدتها......والرب المصلح والمدبر والجابر والقائم ويقال لمن قام منهم بالكتب. والرب إسم الله الأعظم، لما يشعر به هذا الوصف من الصلة بين الرب والمربوب مع ما يتضمنه من العطف والرحمة والإفتقار فى كل حال. واختلف فى اشتقاقه فقيل أنه مشتقا من التربية فالله سبحانه وتعالى مدبر لخلقه ومربيهم.

Menurut Naquib Al-Atas, jika penggunaan kata رب sama dalam bentuk madli [seperti pada ayat al-Isra 34 "كما ربيانى صغيرا" ]dan mudlorinya [seprti pada ayat Assuara’ 18 "ألم نربك فينا وليدا" ], maka ini bermakna pendidikan, tanggung jawab, memberi makan, perkembangan dan pertumbuhan.[14]

Oleh sebab itu maka untuk mengungkapkan pendidikan ada beberapa kata yang sesuai diantaranya كلمة الإرشاد والتهذيب والسياسة والتأديب akan tetapi kebanyakan kata yang digunakan adalah kata ta’lim .التعليم[15]

1.a.2 Tinjauan istilah

Setelah memahami kata tarbiyah dari sisi bahasa, maka penulis menggali pengertian tarbiyah dari rumusan para ulama. Ddiantaranya yang dikemukakan oleh Al-Qodli Baidlowi yang dinulil oleh Miqdad yaljan sebagai berikut:[16]

"التربية هى تبليغ الشئ الىكماله شيئا فشيئا"

“ Pendidikan adalah usaha perlahan-lahan untuk mengembangakan sesuatu menuju kesempurnaannya”. Jadi kalau kita perhatikan ta’rif tersebut, maka pengertian pendidikan berlaku sangat umum.

Pengertian berikutnya diberikan oleh Ibnu Sina

"التربية هى العبادة وأعنى بالعبادة هى فعل الشيء الواحد مرارا كثيرا وزمانا طويلا فى أوقات متقاربة."

“ Pendidikan adalah ibadah, maksudnya adalah mengerjakan satu hal secara terus menerus dalam waktu yang terencana dan berdekatan”.

Definisi berikutnya dikemukakan oleh Muhammad Sayyid Sulthon, yaitu:

أن التربية هى تنمية حسنة وعقلية ووجدانية وروحية تقوم على أصول وقواعد علمية لتحقيق أقصى نمو للفرد نمكنه منه قدراته واستعدادته.

“ Upaya pengembangan secara baik aspek akal, emosi, dan kejiwaan yang didasarkan atas asas-asas ilmiyah untuk mencapai perkembangan kemampuan individu secara maksimal.[17]

1.a.3 Ta’rif Pendidikan Islam

Setelah penulis membahas tentang arti pendidikan secara bahasa dan istilah, maka berikutnya penulis ingin menjelaskan pengertian pendidikan islam, karena hal ini dipandang perlu untuk membedakan pendidikan islam dan atau non-islam, atau pendidikan agama dan atau umum.

Pengertian pendidikan islam diantaranya dirumuskan oleh Miqdad Yaljan sebagaimana berikut: [18]

وجاء تعريف التربية الإسلامية هى "مجموعة التصريفات العملية والقولية المأخوذ من نصوص القرآن الكريم والسنة النبوية أوالإجتهاد فى ضوئها والتى يمارسها إنسان بإرادته وتوجيه قدراته وتنظيم طاقته ليتمكن من ممارسة النشطات وتحقيق الغايات التى يحددها الإسلام.

Pendidikan islam yaitu sekumpulan usaha secara teoritis ataupun praktis yang diambil dari Alqur’an dan Alhadist dan ijtihad untuk mengembangkan kemampuan manusia menuju kesempurnaan seperti yang dikehendaki oleh islam itu sendri.[19]

Lebih lanjut Miqdad menjelaskan tujuan pendidikan islam tersebut sebagaimana berikut: mengembangkan dan membentuk manusia muslim yang sempurna dari segala aspeknya, baik dari sisi emosional, rasional, kepercayaan, spiritual, akhlak, kemauan yang dilandasi dengan nilai-nilai islam dengan cara pendidikan yang islami. Dengan kata lain yaitu mempersiapkan insan kamil dari berbagai aspek perkembangannya untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akherat, dengan didasarkan pada nilai-nilai dan cara pendidikan yang islami.[20]

Menurut Alghozali, ia menyeruupakan pendidikan seperti bercocok tanam, maka menurutnya pendidik seperti layaknya petani yang mengelola sawahnya. Maka ketika petani melihat batu atau tanaman yang membahayakan tanamannya, maka ia harus mencabutnya atau membuangnya. Petani juga harus mengairi tanamannya berkali-kali agar tumbuhannya berkembang dengan baik.[21]

Jadi pendidikan pada prinsipnya adalah menanamkan akhlak yang luhur pada jiwa anak didik, memberinya petunjuk, bimbingan sehingga menjadi karakter kejiwaannya, maka dari jiwa inilah akan memberikan kemanfaatan bagi masyarakatnya.[22]

1. b .Tujuan pendidikan

Berangkat dari pemahaman makna pendidikan yang diperoleh dari penjelasan diatas, maka pendidikan islam memiliki tujuan yang sangat universal dan mendalam. Karena pendidikan merupakan suatu proses, maka sudah selayaknya harus memiliki misi dan visi yang jelas.

Adapun tujuan pendidikan islam menurut Sayyid Sulthon sebagaimana berikut:[23]

1. Tujuan intelektual atau keilmuan .

Pendidikan islam diantaranya bertujuan untuk mengembangkan kemampuan intelektual dan memiliki daya nalar dan sikap kritis yang tinggi. Maka obyek berfikir ini meliputi alam raya dan menusia itu sendiri. Juga mampu menangkap fenomena ajaran alqur’an sampai pada tahap transendental serta mampu mencari sebab akibat fenomena yang ada dialam raya ini dengan berdasarkan pada pandangan agama.

Perkembangan intelektual agar dapat memahami kehidupan alam raya, manusia dalam hubungannya dengan penciptanya ini merupakan tujuan utama dalam pendidikan islam. Oleh sebab itu, maka ajaran islam selalu menganjurkan untuk berfikir, bahkan mewajibkan menggunakan fikiran untuk mencari ilmu. Tidak ada permasalahan yang ada ini tanpa melibatkan peranan fikiran dalam menyelesaikannya. Maka pemahaman yang didapat oleh proses berfikir itu merupakan tolak ukur untuk pertimbangan dalam mengambil atau menentukan hukum.

2. Tujuan moral.

Pendidikan islam dalam bidang etika bertujuan untuk menciptkan manusia yang memiliki akhlak yang luhur, akhirnya terciptalah masyarakat yang menjunjung nilai-nilai luhur kemanusiaan seperti yang diajarkan oleh islam, sehingga tercermin dalam prilaku yang adil, memahami persamaan sosial dan hak individu, menghargai kebebasan berpolitik, ekonomi, dan pemikiran atau keilmuan.

Dalam hal akhlak ini, rosul merupakan teladan yang luhur, dimana kesholehan akhlaknya sangat sempurna sebagaimana penjelasan alqur’an:

"وإنك لعلى خلق عظيم"

Dan sesungguhnya kamu [Muhammad] memiliki akhlak yang agung.

Juga diterangkan oleh nabi sendiri, bahwa misinya adalah untuk menyempurnakan akhlak.

"إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق"

Sesungguhnya aku [Muhammad] diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.

Sahabat Abu Bakar mengakui sendiri akan keagungan akhlak rosul.

وقال أبوبكر رضى الله عنه للرسول الله عليه الصلاة والسلام لقد طفت العرب، وسمعت قصهحاءهم،فما رأيت، وما سمعت مثلك أحدا. فمن أدبك؟ قال أدبنى ربى فاحسن تأديبى.

Abu Bakar berkata kepada rosul, sungguh aku telah malang melintang mengelilingi arab dan saya dengar sendiri kehebatannya, sejauh itu pula saya belum pernah melihat dan mendengarkan seorangpun yang seperti tuan, siapakah yang mengajari tuan akhlak yang luhur ini? Rosul menjawab; saya dididik akhlak langsung oleh tuhanku, maka aku menjadi sholeh.

3. Tujuan agamis.

Secara agamis, maka pendidikan islam memuat misi penegakan agama untuk mempersiapkan kader-kader muslim untuk siap mempertahankan dan sekaligus menyiarkan agama. Maka mereka juga dibekali kemampuan untuk menyerang musuh yang mengancam keberadaan agamanya. Dengan usaha inilah kelestarian agama islam akan tetap jaya.

Banyak sekali ayat alqur’an yang memotifasi umat untuk siap dalam menghadapi musuh. Misalnya ayat berikut:

"واعدوالهم ما استطعتم من قوة، ومن رباط الخيل ترهبون به عدوا الله وعدوكم"

( الانفال : 60 )

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang [yang dengan persiapan itu] kamu menggetarkan musuh alloh.

Ayat tersebut mengajarkan agar umat islam memiliki kisiapan yang mantap untuk membela tegaknya agama dari serangan musuh.

Ayat lain misalnya:

كنتم خير أمة أخرجت للناس تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر وتؤمون بالله

( ال عمران : 110 )

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk menusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada alloh.

Ayat ini menegaskan bahwa kemulyaan umat islam antara lain pada kinerja dakwah yang memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Maka dalam upaya dakwah itu tetunya menuntuk prinsip bijaksana. Hal ini seperti penjelasan ayat berikut:

"أدع إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتى هى أحسن"

( النحل: 125 )

Serulah [manusia] kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.

Maka kewajiban berdakwah dan berjihad untuk menegakkan agama itu menjadi barometer kesungguhan iman dan islam seseorang. Sehingga orang yang mati dan tidak pernah memiliki kepedulian berjuang untuk menegakkan isalam, maka masih belum sempurna imannya.

"من مات ولم يغز فى سبيل الله ولم ينمو الجهاد مات ميتة جاهلية" (الحديث الشريف)

Barang siapa mati belum berjung dijalan alloh, maka mati dalam keadaan jahiliyah.

Melihat berbagai penjelasan tersebut, maka pendidikan islam juga memiliki kepentingan untuk menyiapkan generasi mudanya untuk membela agamanya dan mendakwahkan.

4. Tujuan spiritual.

Mengembangkan karakter kejiwaan yang islami juga merupakan tujuan yang diidamkan oleh pendidikan islam. Karakter kejiwaan yang dimaksudkan misalnya memiliki sikap dan perhatian yang besar terhadap nasib agama. Juga mengutamakan kepentingan agama dari pada kepentingan individu. Hal seperti ini adalah refleksi dari ayat berikut:

"ويؤثرون على أنفسهم ولو كان بهم خصاصة"( الحشر:9 )

dan mereka mengutamakan [orang muhajirin] atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesulitan.

Sikap sukarela dalam berkorban demi kepentingan agama inilah yang harus ditanamkan melalui proses pendidikan islam.

"ويطعمون الطعام على حبه مسكينا ويتيما وأسيرا إنما نطعمكم لوجه الله لانريد منكم جزاء ولا شكورا" (الانسان: 8-9 )

Dan mereka memebrikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makan kepadamu hanyalah untuk mengharap keridhoan alloh, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula ucapan terima kasih.

Jadi secara ringkas tujuan spiritual atau intrinsik pendidikan islam adalah untuk menanamkan kepedulian jiwa terhadap agama islam, jiwa berkorban untuk agama, jihad terhadap nafsu jahat yang menguasai dirinya, dan lain-lain.

5. Tujuan jasmaniyah.

Secara jasmaniyah pendidian juga memperhatikan kesehatan lahiriyah. Tidak bisa dipungkiri bahwa jasmani manusia memiliki hak-hak manusiawi yang mendasar. Hal ini sebagaiman sabda nabi berikut:

"إن لبدنك عليك حقا" والمؤمن القوى خير من المؤمن الضعيف وفى كل خير"

“sesungguhnya badanmu memiliki hak” dan orang mu’min yang kuat lebih baik daripada orang mukmin yan lemah, dan pada segala sesuatu ada kebaikan”.

Untuk membina manusia yang sehat lahiriyah ini perlu dibentuk melalui pendidikan, misalnya melalui pendidikan kesehatan jasmani. Hal ini dikandung maksud agar perkembangan jasmaniyah mendapat perhatian yang semestinya. Dalam hal ini nabi menjelaskan:

"ما ملاء إبن أدم وعاء شرا من بطنه، فإن لامحالة فاعل فثلث لطعامه، وثلث لشرابه وثلث لهوائه".

Artinya: tidaklah patut bagi anak Adam melebihi daya tampung kemampuan perutnya, maka jika ia ingin memberlakukan perut dengan adil hendaklah mengisinya sepertiga bagian untuk makanan, sepertiganya lagi untuk minuman dan sepertiga sisanya untuk udara.

Sedangkan menurut Alghozali, tujuan penganjaran islam itu tidak lain adalah untuk menghidupkan syari’at /ajaran nabi Muhammad saw, mendidik akhlak mulia, dan menaklukkan nafsu amarah.[24]

Pada kitab yang sama Al-Ghozali juga memberikan pesan-pesan kepada anak didik agar menyeimbangkan antara keilmuan dan perbuatan sehingga terciptalah ilmu praktis dan amal yang logis. Maka ia berkata;

"أيها الولد العلم بلا عمل جنون والعمل بغير علم لايكون واعلم أن العلم الذى لايبعدك اليوم عن المعاصى ولا يحملك على الطاعة لن يبعدك غذا عن نارجهنم".

wahai para siswa, sesungguhnya ilmu tanpa amal itu bagaikan gila, dan amal tanpa ilmu itu tidak berguna, maka ketahuilah bahwa ilmu yang sekarang tidak dapat menjauhkanmu dari perbuatan maksiyat dan tidak mendorongmu untuk taat kepada alloh, maka tidak akan menyelamatkanmu dari api neraka besok dihari akhir.

Maka dari sini menurut analisa Zainuddin tujuan pokok pendidikan islam dalam setiap zaman menurut Al-Ghozali esensinya adalah kesempmurnaan akhlak dan kesetabilan jiwa.[25]

Pendapat Al-Ghozali tersebut juga didukung oleh Muhammad Athiyah Al-Abrosyi, yakni tujuan pendidikan isalam adalah untuk mencapai kesempurnaan akhlak mulia dan inilah merupakan inti tujuan pendidikan islam yang tertinggi.[26]

Dari sini jelaslah bahwa tujuan pendidikan yang dikehendaki oleh Ghozali mengacu pada pembentukan akhlak yang baik, jiwa yang bersih dan memiliki kepedulian yang tinggi untuk menegakkan agama islam.

Abdul Ghoni Abud juga menegaskan bahwa tujuan pendidikan islam adalah pertama; mempersiapkan kehidupan akherat. Kedua membekali individu dengan ilmu pengetahuan dan ketrampilan sehingga tercapailah kebahagiaan hidup di dunia. Sedangkan menurut Muhammad Quthub; pendidikakn tidak lain untuk mempersiapkan manusia yang sholeh.[27]

Mahmud Sayyid Sulthon melihat pendidikan sebagai upaya untuk menegakkan masyarakat islamli dengan akidah yang kuat, menjalankan syari’at islam dan berakhlak mulia. Dari sini maka terciptanya tatanan masyarakat yang islami merupakan tujuan utama pendidikan, sehingga upaya tersebut pada dasarnya membutuhkan penegakan syari’at islam dalam wujut kongkrit sehingga tercipta tatanan masyarakat yang berbudi luhur penuh kedamaian dalam naungan islam.[28]

Warna dan corak pendidikan sangat ditentukan oleh landasan dasar yang menjadi pijakan sebuah pendidikan. Maka pendidikan islam dengan karakteristiknya agama menjadikan dasar-dasar agama juga sebagai landasan / dasar pendidikannya.

Menurut Zakiyah Darojat bahwa pendidikan islam berlandaskan pada tiga hal berikut: Alqur’an, Assunah dan Ijtihad. [29]

Abdurrohman An-nahlawi sependapat bahwa alqur’an dan assunah sebagai asas pokok pendidikan islam.[30] Karena nyata sekali bahwa dimasa rosul dan sahabat pendidikan sangat tergantung dengan ajaran alqur’an. Terlebih ketika Aisyah menegaskan, sesungguhnya akhlak rosul itu adalah alqur’an. Hal ini seperti penjelasan ayat berikut:

وقال الذين كفروا لولا نزل عليه القرآن جملة واحدة كذلك لنثبت فيه فؤادك ورتلنه ترتيلا (الفرقان : 32) : وما ينطق عن الهوى إن هو إلاوحى يوحى (النجم : 3)

Berkatalah orang-orang yang kafir:” Mengapa Alqur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan kami membacakannya kelompok demi kelompok. [QS. Al-Furqon 32] dan tiadalah yang diyucapkan itu [Alqur’an] menurut kemauan hawa nafsunya.

Demikian pula, assunah juga sebagai asas pendidikan islam, karena ia menjelaskan alqur’an. Penjelasan ini diantaranya terdapat pada ayat berikut:

هو الذى بعث فى الأميين رسولا منهم يتلوا عليهم أيته ويزكيهم ويعلمهم الكتاب والحكمة (الجمعة : 2).

Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rosul diantara mereka , yang membacakan ayat-ayat-Nya jeoada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka kitan dan hikmah.

Dalam hal ini, Imam syafi’I menjelaskan bahwa assunah memiliki kedudukan yang tingi dalam melengkpi ajaran-ajaran alqur’an. Maka sekiranya rosul sendiri menegaskan: الا وإنى أوتيت الكتاب ومثله معه

Miqdad Yaljan dalam nukilan Djumransayah menyatakan bahwa asas pendidikan islam terdiri dari alqur’an dan sunnah yang diperluas dengan ijma, qiyas, masholihul mursalah, syadduddar’ah, urf dan istihsan. [31] Hal ini sejalan dengan pendapat Sa’id Ismail bahwa asas pendidikan islam meliputi Alqur’an, sunnah, qaul sahabat, masholihul mursalah, uruf, dan pemikiran islam.[32]

Mahmud Sayyid Sulthon menambahkan, jika demikian maka pendidikan islam ini sebenarnya ingin membentuk pemikiran seseorang secara islami. Pemikiran yang dibentuk ini meliputi bidang aqidah [kepercayaan] tentang alam dunia nyata dan alam akherat, tentang konsep manusia, beserta hubungan vertikalnya dengan tuhan dan hubungan horizontalnya dengan sesama manusia. Juga ingin menanamkan pemikiran islami tentang nilai-nilai sosial yang luhur, tentang politik, ekonomi, koperasi, dan lain-lain. Jadi pendidikan islam ingin membentuk manusia yang memiliki perkembangan optimal dalam aspek pemikiran, spiritual, jasmaniyah, kejiwaan, dan inilah diantara asas untuk membentuk masyarakat yang baik.

Lebih lanjut menurut Mahmud untuk membentuk masyarakat seperti digambarkan di atas dilakukan upaya-upaya yang berasaskan pada konsep berikut:

1. Kontrol pribadi dan sosial

Pendidikan Islam berprisip untuk menciptakan kebaikan dimulai dari kemampuan mengkontrol diri sendiri dulu. Lalu dengan demikian akan tercipta kontrol sosial. Islam berusaha membentuk pribadi muslim yang memiliki kesadaran untuk mengendalikan diri, sehingga mampu bertindak dengan benar cerminan akhlak yang mulia, dimana akhlak ini sendiri tentunya sejalan dengan kebenaran kata hati, perasaan dan akal.

2. Keseimbangan material dan spiritual

Tidak mungkin kebahagiaan didunia ini hanya didominasi oleh salah satu aspek materi atau agama saja. Oleh sebab itu membangun manusia yang seimbang material dan spiritualnya, dengan memiliki kemampuan nalar yang tinggi , berketrampilan, sehat jasmani roohani dan emosional yag stabil adalah tujuan yang harus diwujudkan.

3. Kemerdekaan, persaudaraan, persamaan dan keadilan

Dalam islam banyak nilai-nilai sosial yang harus perhatikan seperti hak dan kewajiban individu dalam memperoleh kemerdekaan, persaudaraan, persamaan, keadilan dan lain-lain. Inilah prinsip-prinsip yang harus disadari bersama.

4. Teoritis dan praktis

Syariat islam sebenarnya mencakup aspek teoritis dan praktis, dengan pandangan yang komprehensip terhadap manusia sebagai makhluk sosial yang berbudaya. Maka islam memandang manusia memiliki kemampuan dasar berfikir secara fitroh. Atas dasar ini, maka manusia harus mengembangkan daya fikirnya melalui belajar, merenung dan memperhatikan alam raya dengan cermat, bahkan dirinya sendiri.[33]

Athiyah Al-Abrosyi juga memberikan beberapa alternatip asas-asas pendidikan yang mungkin bisa diterapkan, diantaranya adalah:

1. Kemerdekaan [demkrasi] pendidikan.

2. Pendidikan etika merupakan sasaran utama.

3. Mempertimbangkan kemampuan dasar siswa.

4. Menggunakan metode pengajaran yang fariatip.

5. Memperhitungkan tabiat dan cita-cita siswa.

6. Lemah lembut dalam mendidik.

7. Menunjukkan beberapap referensi untuk memotifasi siswa belajar.[34]

1. c. Guru

Para pemikir islam telah banyak menulis tentang guru dan murid, baik menyangkut hak, kewajiban, etika ataupun sifat. Diantaranya adalah Annamri Al-Qurthubi dalam kitabnya Jami’ bayanil ‘ilmi wa fadlihi, dan Al-Ghozali dalam fatihatul ‘ulum dan ihya’ ulumuddin.

Maka disini penulis ingin memulai dengan membahas sifat-sifa pendidik dengan menukil pendapat Al-Abrosyi sebagai berikut:[35]

1. Zuhud dan mengajar karena Alloh.

Guru memiliki derajat yang tinggi dan terhormat, oleh sebab itu memiliki kewajiban yang setara dengan derajat tersebut. Guru yang zuhud, dalam mengajar tidak mengaharapkan upah duniawi, melainkan dalam menyebarkan ilmu hanya mengharapkan ridlo dan karena Alloh semata. Kondisi seperti ini telah berjalan lama dalam tradisi pendidikan islam khususnya di pesantren. Mereka para pengajar tidak menerima gaji. Akan tetapi sejalan dengan perubhan zaman, lembaga pendidikan memberikan gaji. Sebagian ulama zuhud ada yang memberikan reaksi dan kritik. Akan tetapi menurut kita, guru yang mengambil gaji tersebut sebenarnya tidak bertentangan dengan upaya mencari ridli Alloh dan mengkaburkan makna zuhudnya, karena sesungguhnya pengajar –meskipun ia zuhud dan berbudi luhur- masih memerlukan harata duniawi untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.

2. Kesucian guru.

Hendaklah guru suci lahiriyah dan batiniyah dengan menjauhi dosa-dosa dan sifat tercela yang melanggar syariat agama. Dalaml hal ini nabi mengingatkan:

"هلاك امتى رجلان عالم فاجر،وعابد جاهل، وخير الخيار خيار العلماء وشرالاشرار الجهلأ".

Artinya: bahwa rusaknnya umatku disebabkan oleh dua orang, yaitu orang alim yang fajir [pengecut] dan ahli ibadah yang jahil [bodoh], dan sebaik golongan adalah golongan ulama’, dan sejelek-jeleknya adalah kelompok jahil.

3. Ikhlas.

Ikhlas secara dasar hendaknya berbuat sesuai dengan komitmennya, dan berkata sesuai dengan perbuatan, dan tidak segan mengatakan tidak tahu jika memang benar tidak tahu. Guru yang sejati seharusnya selalu merasa perlu untuk menambah wawasan keilmuaannya, sehingga tidak malu menempatkan dirinya pada posisi menjadi siswa pada saat tertentu ketika ingin mencari kebenaran [belajar]. Guru menghargai waktu siswa, bersikap lemah lembut, dan bertanggung jawab terhadap prilaku dan perkataan guru itu sendiri.

4. Bijaksana

5. Berpenampilan tenang

Hendaklah tenang, menghindari perilaku rendah, tidak berlebihan, sopan dan tidak sombong.

6. Dewasa

Hendaknya dapat memberlakukan siswanya seperti anaknya sendiri. Maka seyogyanya untuk melakukan ini guru harus sudah menikah. Bahakan dianjurkan mendudukkan anak didik diatas anaknya sendiri, sehingga dengan demikian tercapailah keharmonisan belajar mengajar.

7. Memahami kejiwaan anak, cita-cita, dan pemikirannya.

8. Menguasai materi pelajaran.

Fahad Abdurrohman menjelaskan karakteristik guru yang perlu dicontoh dari nabi adalah empat sifar berikut.

1. Ikhlas.

Iklas dalam beramal merupakan dasar pokok.

2. Sidiq [jujur].

3. Amanah.

Kedua sifat ini adalah wajib ada pada guru, karena seandainya guru pernah berdusta pada siswanya meskipun hanaya sekali, akan meruntuhkan kepercayaan siswa pada guru yang bersangkutan.

4. Kasih sayang.

Kasih sayang salah satu unsur untuk menarik kedekatan siswa. Maka ketika merasa dikasihani, siswa merasa aman, sehingga siswa akan memperhatikan keterangan guru dengan baik. Dan sebaliknya jika kondisi seperti ini tidak tercipta, maka seakan murid merasa takut, dan enggan. Jadi kasih sayang dapat mendorong terciptanya kondisi belajar yang kondusip, tidak cepat marah dan menghukum terhadap kesalahan siswa, dan sebagainya.[36]

Alghozali menjelaskan adab-adab yang harus dilakukan guru sebagai berikut:

1. Sabar dalam mengahadapi siswa.

2. Bijaksana.

3. Duduk dengan tenag.

4. Meninggalkan sobong.

5. Tawadlu.

6. Tidak bergurau.

7. Kasih sayang.

8. Sabar membimbing yang bodoh.

9. Tidak mengusir siswa yang bodoh.

10. Menghindarkan perkataan “saya tidak tahu”/

11. Memperhatikan siswa yang bertanya.

12. Menerima alasan dari siswa.

13. Berpgangan pada kebenaran.

14. Melarang siswa dari ilmu yang membahayakan.

15. Melarang siswa tidak ihlas dalam berlajar.

16. Melarang siswa menutut ilmu fardlu kifayah sebelum ilmu fardlu ain.

17. Membekali diri guru dengan takwa agar diikuti oleh siswanya.[37]

Muhtar Yahya dalam kitabnya Fannuttarbiyah menjelaskan sifat-sifat guru sebagai berikut:

Pertama: sifat aqliyah meliputi:

a. kesiapan profesi.

b. Kesiapan seni.

c. Sehat akal.

d. Banyak akal.

e. Membuat kesiapan mengajar.

f. Banyak membuat perumpamaan.

g. Dapat memotifasi.

Kedua: Sifat Jasmaniyah

a. Sehat jasmani.

b. Bersih.

c. Suaranya merdu.

Ketiga: sifaf Khuluqiyah

a. Ramah.

b. Sabar.

c. Berkemauan keras.

d. Cekatan.

e. Pemberi motifasi.,

f. Menjaga harga diri.[38]

Al-Ghozali menjelaskan kewajiban-kewajiban guru sebagai berikut:

1. Kasih sayang terhadap anak didik dan memberlakukannya sebagai anaknya sendiri. Hal ini seperti sabda nabi: "إنما أنا لكم مثل الوالد لولده"

2. Tujuan mengajar bukan untuk mengejar gaji dan sanjungan, melainkan ikhlas karena alloh.

3. Selalu menasehati dan menunjuki siswa.

4. Menjauhi akhak tercela.

5. Menyadari perbedaan siswa.

6. Tidak menanamkan fanatisme ilmu.

7. Memimbing siswa yang bodoh dengan sabar.

8. Guru mengamalkan ilmunya.[39]

Atas tugas dan kewajibannya yang mulia ini, maka guru memiliki martabat yang tinggi disisi alloh dan dimata manusia. Alloh menjelaskan martabat ini dalam firmannya:

"يرفع الله الذين أمنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات" (المجادلة : 11)Hasan Abdul Ali dalam kitabnya juga menguraikan kewajiban-kewajinan guru seperti berikut:[40]

1. Guru hendaknya memiliki rasa belas kasihan terhadap siswa, dan tidak boleh berlaku kasar. Penampilan guru yang kasar menyebabkan kebencian siswa. Guru menempatkan siswa seperti anaknya sendiri sehingga siswa juga menganggapnya sebagaimana ayahnya sendiri. Dengan hubungan seperti ini menguatkan ikatan kasih sayang.

2. Mengingatkan siswa jika melanggar norma agama, misalnya melakukkan akhlak yang tercela. Hal ini dilakukan demi kebaikan siswa semata.

3. Tidak merendahkan ilmu lain dihadapan sisiwa, khususnya ilmu-ilmu yang belum mereka pelajari, atau bahkan melarangnya untuk mempelajarinya. Tetapi sebaliknya memberikan dorongan untuk mempelajarinya dan menjelaskan kegunaannya.

4. Mengajar sesuai dengan kemampuan daya fikir siswa. Tidak memberikan penjelasan sekaligus dengan detail, tetapi secara bertahap dan melihat pemahaman sisiwa.

5. Memperhatikan perbedaan kemepuan dan kesiapan siswa. Sisiwa yang lemah harus lebih diperhatikan. Siswa yang pandai boleh diberikan penjelasan sampai rinci, bahkan sampai pada masalah syubhat-khilafiyah.

6. Guru harus bisa dicontoh siswa, sehingga ia harus mengamalkan ilmunya dulu. Ilmu harus disertai amal, jika tidak ilmu akan tidak bermanfaat. Maka guru tidak boleh berkata bohong, sekali bohong manusia tidak akan mempercayainya. Dalam hal ini maka alloh menegaskan:

"أتأمرون الناس بالبر وتنسون أنفسكم وانتم تتلون الكتاب افلا تعقلون" (البقرة: 44)

Mengapa kamu suruh orang lain [mengerjakan] kebaikan, sedangkan kamu melupakan dirumu sendiri, padahal kamu membaca alkirab [taurat]? Maka tidakkah kamu berpikir.

7. Bersikap adil dalam menghadapi semua siswa, tidak membedakan antara siswa kaya dan miskin. Adil dalam memberikan pelayanan dan pengajaran.

8. Mengajar dengan sungguh-sungguh, dengan mencurahkan segala kemampuannya untuk memberikan pemahaman kepada siswa.

Penjelasan Hasan Abdul Ali ini mendukung dan bahkan hampir sama dengan pendapat Imam Al-Ghozali seperti uraian sebelumnya. Hal ini menunjukkan pentingnya guru bersikap seperti uraian diatas, agar mempercepat proses pemahaman siswa dan menjadikan ilmu yang bermanfaat.

Disisi lain menurut Hasan Abdul Ali istilah “guru” dalam sejarahnya memiliki ragam penggunaan yang berbeda, khususny pada abad keempat hijriyah. Penyebutan tersebut sebagaimana berikut:

1. Pengajar Kuttab, mereka ini adalah sebutan untuk pengajar di kuttab yang mengajarkan ilmu-ilmu ushul kepada anak didik seusia SD.

2. Muaddib, ialah sebutan pengajar untuk mendidik akhlak dan mereka lebih baik dari pada pengajar kuttab.

3. Ulama, mereka mendapat penghargaan yang tinggi dihadapan manusia dan lebih terhormat. Hasan Abdul Ali[41]

Pada kitab yang sama Hasan Abdul Ali juga menjelaskan tentang gelar-gelar atau laqob guru berdasarkan disiplin ilmunya , adalah sebagai berikut:

1. Muallim, adalah sebutan untuk guru secara umum yang sedikit lebih rendah derajat ilmiyahnya dan tidak menguasai banyak disipli ilmu atau sastra, tidak terlalu memiliki jabatan sosial.

2. Muaddib, adalah pengajar khusus yang pergi kerumah-rumah tertentu memberikan privat, dan sebutan ini lebih terhormat daripada Muallim.

3. Syaikh, menurut qolaqsyandi gelar syaikh ini adalah salah satu gelar kehormatan para ulama dan orang sholeh dimana asal terminologinya bermakna orang tua,penggunaan istlah tersebut masyhur pada abad 4H.

4. Mudarris, istilah ini muncul pada akhir abad IV H setelah banyak berdiri madarasah dan ini berarti istilah ini digunakan sesudah istilah syaikh tersebut.

5. Faqir, digunakan untuk gelar mujtahid dan bisa jadi untuk gelar fuqoha.

6. Ustadz, pada mulanya bahasa parsi ini digunakan utuk sebutan pekerja pabrik lalu digunakan secara khusus untuk menyebut orang yang memiliki profesi dalam bidang pengajaran.

7. Arrihlah, sebutan untuk Ulama besar yang terkenal ilmu dan pengajarannya sehingga para siswa dari berbagai penjuru berdatangan kepadanya. Menurut qolaqsyandi istilah rihlah merupakan gelar ulama besar dan ahli hadist, sedangkan secara bahasa berarti sesuatu yang dituju untuk diambil.

8. Al-imam, laqob untuk menutupi kemasyhuran profesi keilmuan yang dimiliki, misalnya Imam Muhammad bin Sannan seorang ahli hadis, Imam Qodli Abi Saib Alhamdi.

9. Al-khibroh, laqob pembesar ulama.

10. Al-Muhaqqiq, laqob ulama yang tajam penglihatan mata batin dan peka perasaannya.

11. All-mufiid, gelar ulama yang berarti memperoleh manfaat dari sesuatau yang belum ia miliki.

12. Al-qori, gelar guru alqur’an.

13. Al-mu’id, gelar dibawah mudarris [asisten] yaitu bertugas mengulang pelajaran mudaris kepada sisiwa setelah mudarris selesai menyampaikannya.

14. Al-mustamli, yaitu jika siswa dalam jumlah besar, lalu suaranya tidak terdengar, maka butuh seseorang yang mengulangi suara guru agar didengar [pendikte].[42]

Semua istilah dan sebutan nama-nama tersebut telah berlaku sejak abad IV H sampai saat sekarang. Dan sejalan perkembangan zaman istilah tersebut sepertinya masih mengalami perkembangan. Namun betapapun diakui bahwa pada abad IV H memiliki banyak kelebihan dimana ilmu pengetahuan dan peradaban islam mengalami kejayaan yang pesat. Atas dasar ini, maka istilah nama-nama tersebut muncul dengan pesat pula. Sedangkan penyebutan nama nama itu dilakukan oleh siswa-siswa sendiri dengan kesadarannnya tanpa ada permintaan khusus dari guru yang bersangkutan untuk melakukannya. Jadi istilah itu sangat dilandasi dengan fakta budaya dan kesadaran siswa untuk melakukannya.

Menurut Dalton yang dikutip oleh Athiyah Al-abrosyi guru memiliki sejumlah kewajiban sebagai berikut:

1) Menciptakan kondisi belaljar yang kondusif, sehinga terhindar dari ganguan belajar.

2) Memperhatikan kedatangan dan kepergian siswa serta keaktifannya dalam setiap aktifitas.

3) Menjaga ketertiban media pengajaran seperti kitab dan lain-lain pada tempat yang semestinya.

4) Memotifasi siswa untuk gemar meminjam buku dan membacanya, serta tertip dalam menaruhnya setelah membaca.

5) Memberikan laporan kepada wali murid tentang keaktifan siswa.[43]

1. d .Murid

Murid adalah komponen penting dalam pendidikan dimana ia adalah sebagaia sasaran pendidikan yang ingin diubah tingkah laku dan cara berfikirnya. Maka sebagai obyek didik yang ingin mencapai cita-cita luhur pendidikan hendaklah melakukan cara-cara yang memungkinkan untuk mempercepat dan mendukung tercapainya cita-cita tersebut.

Banyak sekali ayat maupun hadist yang menyeru menjadi salah satu kelompok yang mau mencari ilmu. Diantara ayat tersebut adalah sebagai berikut:

وما كان المؤمنون لينفروا كافة فلولا نفر من كل فرقة منهم طائفة ليتفقهوا في الدين ولينذروا قومهم اذا رجعوا اليهم لعلهم يرجعون. (سورة التوبة: 122)وما أرسانا قبلك الارجالا نوحى اليهم فسئلوا اهل الذكران كنتم لاتعلمون. (سورة الانيياء: 7) وقل رب زدنى علما. (سورة طه: 114)

Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuaya [ke medan perang]. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. Kami tiada mengutus rosul-rosul sebelum kamu [Muhammad], melainkan beberapa orang laki-laki yang kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.QS. [Al-Anbiya’: 7]. Dan katakanlah” wahai tuhan kami, tambahkanlah ilmu kepada kami”. [QS. Thoha: 114].

Adapun hadis nabi diantaranya sebagaimana berikut.

ا. من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين وانما العلم بالتعليم (رواه البخارى)

Barang siapa dikehendaki alloh baik, maka dipahamkan agama, dan ilmu itu hanya diperoleh melalui pengajaran [HR. Bukhori].

ب. من سلك طريقا يطلب به علم سهل الله له طريقا الى الجنة (رواه البخارى)

Barang siapa berjalan mencari ilmu, maka alloh memudahkan baginya jalan kesorga. [HR. Bukhori][44]

د. الدنيا ملعونة ملعون ما فيها الاذكر الله وماوالاه وعالما ومتعلما ( رواه الترمذى)

Dunia terlaknat, kecuali dzikrulloh, orang alim, dan orang belajar. [HR. Turmudzi]. [45]

Para sahabat memberi pernyataan secara pribadi tentang kekagumannya terhadap pencari ilmu dan urgensi ilmu. Misalnya pernyataan-pernyataan berikut:

واما الاثار فمنها ما قال ابن المبارك عجبت لمن يطلب العلم كيف تدعوه نفسه الى مكرمة، وقال ابو الدرداء لان اتعلم مسئلة احب الى من قيام ليلة، والعلم والمتعلم شريكان فى الخير وسائر الناس همج لاخير فيهم. وقال الشافعى طلب العلم أفضل من النافلة.

Ibnu Mubarak berkata; saya heran terhadap orang yang mencari ilmu, bagaimana bisa ia menundukkan nafsunya menuju kemuliaan. Abu Darda’ berkata; saya lebih suka belajar walaupun hanya satu masalah saja daripada sholat sunah malam, ilmu dan yang belajar [siswa] bersatu dalam kebaikan, manusia selainnya tidak ada kebaikan padanya. Imam Syafii berkata; belajar ilmu lebih utama daripada sholat sunat.[46]

Melihat beberapa dalil diatas, maka posisi menjadi murid dan guru adalah sangat diperintahkan. Karena mecari ilmu adalah sulit, maka mengenai pembahasan tentang murid ini, penulis ingin menjelaskan, adab, sifat dan kewajibannya agar lebih membantu tercapaiya cita-cita dalam belajar.

Menurut Al-Ghozali dalam kitabnya Ihya’, adab yang harus dilakukan murid adalah seperti berikut:[47]

1) Memulai dengan membersihkan jiwa dari segala aklaq madzmumah, karena mencari ilmu merupakan ibadah, maka perlu pembersihan hati dan mendekatkannya kepada alloh. Akhlaq madzmumah ini misalnya takabur, hasud, marah, bangga diri dan lain-lain.

2) Menghindarkan diri dari kesibukan duniawi, menjauh dari negara dan keluarganya agar tidak mengganggu.

3) Tidak sombong dengan ilmunya, tidak memerintah guru, tetapi mematuhi segala perintahnya.

4) Murid pemula diharapkan tidak mempelajari dulu tentang perbedaan-perbedaan pendapat baik dalam ilmu agama maupun umum.

5) Tidak meninggalkan mempelajari ilmu apapun yang baik, tetapi melihat berdasarkan kebutuhan dan manfaatnya [memprioritaskan yang penting].

6) Tidak mempelajari ilmu secara sekaligus, tetapi mengikuti pola secara runtut dan dimulai dari ilmu yang penting.

7) Mempelajari ilmu secara sistematis, karena ilmu itu saling berkesinanbungan sehingga satu pemahaman mendasari pemahaman lainnya.

8) Memahami faktor-faktor keberhasilan ilmu.

9) Maksud mempelajari ilmu hendaklah dalam jangka pendek untuk tujuan memperbaiki batiniyah, dan jangka panjang untuk taqarrub kepada alloh, meningkatkan derajat setingkat dengan malaikat. Dalam mancari ilmu tidak bermaksud untuk menjadi pemimpin, mencari harta dan pangkat, terlebih lagi untuk membodohi orang lain atau menyaingi temannya.

Muhammad Athiyah al-Abrosyi menjelaskan kewajiban-kewajiban murid sebagaimana berikut:

1) Membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, karena kegiatan belajar mengajar adalah termasuk ibadah, maka tidak sah tanpa kesucian jiwa, akhlakul karimah, dan menjauhi akhlak mazdmumah.

2) Niat mencari ilmu untuk memperbaiki tingkat spiritual,l mendekatkan kepada alloh, bukan untuk takabur, pamer dan memburu pangkat.

3) Tahan uji [sabar ] dalam mencari ilmu, bahkan sampai negeri seberang.

4) Tidak sering berganti guru tanpa seizinnya.

5) Menghormati guru, beramal atas yang diridloinya.

6) Tidak menyibukkan guru dengan berbagai pertanyaan sehingga sulit dalam menjawabnya, tidak berjalan didepannya, tidak menduduki tempat duduknya, tidak berbicara dihadapannya kecuali atas izinnya.

7) Tidak menggunjing kekurangan gurunya, menerima permintaan maaf guru, jika berbuat khilaf.

8) Sungguh-sungguh dalam belajar siang dan malam.

9) Menumbuhkan rasa persaudaraan diantara sesama teman belajar, sehingga merasa seperti satu keluarga.

10) Bila bertemu guru mendahului dengan ucapan salam, tidak banyak berbicara dihadapannya, tidak mengajukan pendapat guru lain yang bertentangan dengan pendapatnya, tidak bergurau ketika pelajaran.

11) Mengulangai pelajaran diwaktu sore sampai malam, karena waktu antara isya dan sahur adalah waktu yang berbarakah.

12) Mencari ilmu sepanjang hayat, tidak meremehkan sebagian ilmu.[48]

Menurut Hasan Abdul Ali ada beberapa laqob penyebutan murid yang pernah terjadi dalam sejarah. Laqob-laqob yang dimaksudkan adalah 1] Ghulam, ialah pencari ilmu terkadang disebut dengan istilah ini. 2] Mutaddib atau muatallim. 3] Tilmidz, istilah ini banyak dijumpai. 4] Faqih atau Mutafaqqih. 5] Tholib, istilah ini banyak digunakan.[49]

Sedangkan Alghozali -dalam kitabnya Almunqid minadholal- memiliki keistimewaan sendiri dalam menyatakan seorang yang mencari ilmu. Ia menyebut orang yang mencari ilmu dengan empat istialah berikut:

1) المتكلمون ialah mereka yang belajar ilmu logika.

2) الباطنية ialah mereka yang belajar ilmu takhosus [kebatinan] dari seorang guru imam yang maksum.

3) الصوفية ialah mereka yang belajar ilmu tasawwuf untuk mencapai kehadiran, musyahadah dan mukasyafah kepada alloh.

4) الفلاسفة ialah mereka yang mempelajari ilmu logika [mantik] dan silogisme.[50]

Alghozali dalam kitabnya Bidayatul Hidayah juga menjelaskan adab murid terhadap gurunya. Adab tersebut sebagaimana berikut:

1) Jika bertemu memualai dengan memberikan penghormatan ucapan salam.

2) Tidak banyak bicara dihadapannya.

3) Tidak berbicara kecualai apa yang ditanyakan gurunya.

4) Tidak mengajukan pertanyaan kecualai atas izinnya.

5) Tidak mengajukan pendapat orang lain yang berbeda dengannya, ketika guru sedang menjelaskan pelajaran.

6) Tidaklah patut murid menonjolkan pemikirannya yang berbeda dengan gurunya, sehingga terkesan murid menggurui [lebih tahu] dari gurunya

7) Tidak bergurau dengan teman sebangkunya.

8) Ketika pelajaran tidak boleh menoleh kekanan dan kekiri, tetapi harus duduk dengan tenang dan khusuk bagaikan sholat.

9) Tidak mengajukan pertanyaan pada guru ketika dalam keadaan bosan [sibuk].

10) Jika guru berdiri, maka siswa juga ikut berdiri untuk menghormatinya.

11) Tidak menirukan gaya guru dalam bertanya ataupun menjawab.

12) Tidak mengajukan pertanyaan dalam perjalanan guru, sehingga sampai dirumah.

13) Tidak berprasangka buruk terhadapa perbuatan guru yang kelihatannya tidak difahami oleh siswa, karena pada hakekatnya guru lebih tahu dengan rahasia apa yang ia lakukan.[51]

Melihat beberapa uraian tentang adab mencari ilmu tersebut, maka sepertinya faktor etika siswa lebih dominan untuk menopang keberhasilah belajar siswa. Terlebih lagi jika murid mau melaksanakan semua adab, etika dan kewajiban seperti yang digariskann diatas, maka hal ini akan lebih menjamin untuk memperoleh ilmu yang bermanfaat dan berbarakah. Dan kondisi seperti ini banyak dijumpai dikalangan pondok pesantren yang masih menggunakan sistem tradisional, dan sebaiknya sudah mulai meluntur dalam sistem pengajaran moderen ataupun perguruan tinggi.

Dalam hal etika belajar dan mengajar, nabi Muhammada saw banyak memberikan pesan-pesan berharga yang harus diupayakan oleh masing-masing pihak baik guru atau murid. Penulis mengambil pesan-pesan tersebut dari kitab Al-Jami’ Ashoghir diantaranya sebagai berikut:

ليس من امتى من لم يجل كبيرنا ويرحم صغيرنا ويعرف لعالمنا حقه (رواه احمد والطبرانى والحاكم عن عبادة بن الهامت)

Bukanlah golongan umatku orang yang tidak menghormati yang lebih tua, tidak mengasihi yang lebih muda, dan tidak mengetahui hak-hak guru. [ HR. Ahmad, Thobaroni, Hakim dari Ubadah bin Hamit]

تعلموا العلم وتعلموا للعلم السكينة والوقار وتو اضعوا لمن تعلموا منه (رواه الطبرانى انى عن ابى هريرة)

belajarlah, dan mengajarlah untuk menciptakan kedamaian dan ketentraman,serta bertawadlu’lah terhadap guru [ HR.. Thobaroni dari Abi Huraoiroh].

اللهم لايدركنى زمان لايتبع فيه العليم ولايستحيا فيه من الحليم قلوبهم قلوب الاعاجم والسنتهم السنة العرب (رواه الامام احمد عن سهل بن سعد الساعدى)

Ya alloh, janganlah kami dipertemukan masa dimana orang alim tiak lagi diikuti, dan orang bijak tidak lagi memiliki rasa malu, hatinya berkebangsaan Ajam tetapi lesannya berbahasa arab. [HR. Ahmad dari Sahal bin Sa’ad Assaidi] [52]

Dari beberapa hadist tersebut menurut Abdulloh Nashih Ulawan dapat disimpulkan hal berikut:

1) Murid seyogyanya bersikap tawadlu terhadap guru, tidak boleh berseberangan pendapat, tetapi seperti pasien dengan dokter yang selalu mendengarkan nasehatnya, maka perlu dikembangkan sikap musyawarah untuk mencapai kemajuan bersama. Telah banyak perkataan ulama untuk mendorong sikap tawadlu murid terhadap guru. Diantaranya adalah pernyataan Imam Syafii:

أهين لهم نفس فهم يكرمونها # ولن تكرم النفس التى لاتهينها

saya menghinakan nafsu saya, padahal mereka memanjakannya, padahal nafsu itu tidak akan mengajak kepada kemulyaan kecuali mampu menaklukkannya.

Pernyataan Ibnu Abbas kepada Zaid bin Tsabit Al Ansori:

"هكذا امرنا ان نفعل بعلمائنا"

Beginilah ulama kita memerintah untuk berbuat.

Pernyataan Ahmad bin Hambal kepada Kholaf bin Ahsar

"لااقعد الابين يديك أمرنا ان نتواضع لمن تتعلم منه"

Saya tidak akan duduk dihadapanmu kecuali ada perintah untuk berbuat tawadlu.dari guru.

Pernyataan Alghozali:

"لاينال العلم الابالتواضع والغاء السمع "

Tidak akan diperoleh ilmu kecuali dengan tawadlu dan sungguh-sungguh

2) Murid hendaklah mengagungkan dan mengakui kompetensi Guru sehinga hal ini dapat memantapkan siswa untuk memperoleh ilmu yang manfaat.

3) Murid hendaklah memahami hak-hak guru, dan tidak lupa akan kelasnya.

4) Murid sabar atas prilaku kurang baik guru dalam menghukum siswa dan tidak meninggalkannya. Sebaknya siswa harus meminta maaf atas kesalahannya.

5) Murid duduk dengan tenang dihadapan guru.

6) Murid tidak memasuki rumah, kelas atau tempat khususnya kecualai atas seizinnya, baik guru dalam keadaan sendirian maupun dengan orang lain.

7) Jika guru menjelaskan sesuatu dalil, syiir atau cerita dimana murid sudah mengetahuinya, maka murid hendaklah mendengarkan dengan baik.[53]

1. e .Alat /Lingkungan pendidikan

Alat/ media dan lingkungan pedidikan merupakan salah satu faktor yang memperngaruhi proses pendidikan, karena tidaklah dapat diingkari bahwa manusia banyak dipengaruhi dan sekaligus dibentuk oleh lingkungannya, baik lingkungan material ataupun spiritual.

Alat atau yang lebih dikenal dengan media pendidikan dalam pendidikan moderen ini sangatlah membantu pencapaian tujuan pendidikan yang telah dicanagkan. Lebih lanjut mengenai penejelasan media, kata ini berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium yang secara harfiyah berarti perantara atau pengantar. Bahwasannya media itu merupakan wahana penyalur pesan atau informasi belajar. Maka media merupakan wadah dari pesan yang oleh sumber atau penyalurnya ingin diteruskan kepada sasaran atau penerima pesan tersebut yang dalam hal ini adalah anak didik. Perlu diingat pula bahwa materi yang ingin disampaikan adalah pesan pembelajara, dan bahwa tujuan yang ingin dicapai adalah terjadinya proses pembelajaran.Bila karena satu dan lain hal media tersebut diatas tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai penyalur pesan yang diharapkan, maka ia tidak efektif dalam arti tidak mampu mengkomunikasikan isi pesan yang ingin disampaikan oleh sumber kepada sasaran yang ingin dicapainya.[54]

Oleh sebab itu -menurut Umar Suwito- dalam mendesain pesan untuk suatu media, harus diperhatikan ciri-ciri atau karakteristik dari sasaran atau penerima pesan [umur, latar belakang sosial budaya, pendidikan, cacat jasmaniyah dan sebagainya] serta kondisi belajar, yaitu yang menyangkut faktor-faktor yang dapat merangsang/ yang dapat mempengaruahi timbulnya kegiatan belajar mengajar.[55]

Sedangakn pengertian lingkungan pendidikan adalah mencakup segala sesuatu yang melingkupi manusia berupa lingkungan kongkrit seperti manusia, orang tua, rumah, teman, buku, sekolah dll, dan juga lingkungan maknawiyah [abstrak] seperti emosional, cita-cita, masalah, dll.[56]

Sutari Imam Barnadib mendefinisikan dengan segala sesuatu yang melingkupi anak didik jauh maupun dekat.[57]

Sujono mendefinisikannya dengan segala sesuatu yang mempengaruhi perkembangan anak, dan membagai lingkungan ini dalam dua bagian berikut:

1) Lingkungan manusiawi, terdiri dari keluarga dapergaulan sosial. Dirumah orang kedua orang tua bertanggung jawab atas pendidikan anak-anaknya. Lingkungan sosial terdiri dari teman-teman yang menjadi obyek langsung dalam interaksi sosial.

2) Lingkungan meterial, misalnya buku-buku pelajaran dan lain-lain.[58]

Kemungkinan terpengaruhnya manusia ini dimulai sejak dalam kandungan ibunya. Bayi dalam kandungan sangat peka dengan pengaruh kondisi kesehatan ibunya. Jika ibunya sehat selalu dalam masa mengandung, maka hampir bisa dipastikan anaknya kelak akan lahir dengan sehat dan normal. Untuk pengaruh kesehatan ibu hamil terhadap anaknya ini lebih lanjut akan dibahas dalam bab pendidikan anak secara islami.

Tentang pengaruh lingkungan pendidikan terhadap kesuksesan dan kegagalan pendidikan itu sendiri juga ditegaskan oleh Zuharini. Menurutnya lingkungan memiliki pengaruh posirtip dan negatip terhadap perkembangan anak didik dalam kehidupan sehari-hari. Pengaruh ini dialaimi baik dilingkungan keluarga ataupun di sekolah. Kedua lingkungan inilah yang akhirnya membentuk karakter kejiwaan anak dan agama anak didik.[59]

Jadi kesimpulannya bahwa lingkungan pendidikan dapat memberikan pengaruh positip dan negatip terhadap anak didik. Pengaruh tersebut positip jika memang lingkungan dapat membantu kemudahan dan kesuksesan dalam belajar, dan sebaliknya dapat berdampak negatip jika memang lingkungan itu menghambat, bahkan menghalangi pencapaian tujuan pendidikan. Lingkungan ini sendiri mencakup segala sesuatu yang dapat mempengaruhi cara berfikir dan tingkah laku siswa. Maka dari itu, diperlukan sekali kehadiran media pengajaran yang sesuai untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang kondusip dan merangsang imajinasi dan kreatifitas anak didik, sehingga memudahkan dalam pencapaian pendidikan secara efektip dan efisien.

2. Urgensi pendidikan anak

Berangkat dari judul “ Pesan-pesan pendidikan anak [studi tentang mutiara hikmah Luqmanul Hakim”, maka setelah membahas tentang permasalahan pendidikan, penulis akan lebih memfokuskan pembahasan teori yang berkaitan dengan pendidikan anak. Pembahasan pada sub bab ini meliputi: Fase pendidikan anak, Jiwa keagamaan anak, Kebutuhana anak pada pendidikan, dan Pendidikan anak Islami.

2. a. Fase pendidikan anak

2 Berbicara mengenai fase perkembangan pendidikan anak, maka mudahlah difahami bahwa pendidikan anak ini menurut kajian ilmu jiwa perkembangan islam dapat dimulai sejak dalam kandungan. Dengan alasan mendasar karena pada hakekatnya penbentukan manusia itu dimulai sejak dari janin dan ditiupkan padanya ruh [nyawa]. Hal inilah yang secara psikologis dapat diamati perekembangannya, meskipun secara hakiki baru sebagiannya saja yang dapat diketahui.

حيث قال تعالى "ويسئلونك عن الروح قل الروح من أمر ربى وما أو تيتم من العلم الاقليلا (سورة: الإسراء 85)

Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”.

Kata “anak” dalam ungkapan alquran disebutkan dengan istilah الاطفال dengan pengertian anak mulai lahir sampai usia baligh. Hal ini seperti tertera dalam ayat berikut:

واذا بلغ الاطفال منكم الحلم فليستاذنوا كما الستمأذن الذين من قبلكم( سورة النور: 59)

dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin.

Meskipun anak dalam kandungan masih abstrak, namun pendidikan itu sudah bisa dimulai dengan memiliki keterkaiatan pada ibu yang mengandungnya [pendidikan pre natal]. Sedangkan secara nyata, pendidikan islam tentang anak banyak diarahkan pada pendidikan post natal [setelah kelahiran]. Tepatnya dimuali sejak penamaan anak, dimana hal ini berdasarkan pada penjelasan hadis nabi:

روى اصحاب السنن عن سمية قال : قال رسول الله صلعم "كل غلام رهين بعقيقته تذبج عنه يوم سابعة ويسمى فيه ويحلق رأسه"

Diriwayatkan oleh pemilik kitab sunan dari Sumayyah, ia berkata; nabi bersabda, setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, sehingga disembelih untuknya aqiqah pada hari ketuju, diberi nama dan dicukur rambutnya.

وفى صحيح مسلم من حديث سليمان بن المغيرة عن ثابت عن أنس رضى الله عنه قال: قال رسول الله صلعم "ولدلى الليلة غلام فسميته بإسم أبى إبراهيم."

Dijelaskan dalam shohih muslim, hadis dari salman bin Mughiroh dari Tsabit, dari Anas ra berkata, nabi bersabda: pada suatu malam dilahirkan seorang bayi, lalu aku beri nama Abi Ibrohim.

Berdas pada penjelasan hadist tersebut, maka penamaan anak dapat dilakukan langsung setelah lahir sampai dengan tuju hari berikutnya.

Untuk melihat preodisasi pendidikan anak secara lebih jelas, maka penulis akan memaparkan pendapat psikolog -yang dinukil oleh Abu Bakar Ahmadi- meninjau preodisisasi tersebut melalui tiga pendekatan, yaitu pendekatan Biologis, Didaktis dan Psikologis.[60]

Preodisasi biologis

Menurut Aristoteles preodisasi perkembangan anak dari tinjauan biologis ini dibedakan dengan tiga fase, yaitu:

Pertama ; dimualai dari lahir sampai umur 7 tahun.

Fase ini biasanya untuk bermain.

Kedua; dimulai dari 7 tahun sampai 14 tahun.

Preode ini dikenal dengan masa pubertas, yaitu masa transisi dari kanak-kanak menuju dewasa, dan fungsi gender muali berperan..

Ketiga; dimulai dari 14 sampai 20. Masa ini disebut dengan masa remaja.

Preodisasi didaktis

Menurut Comenius, bahwa preodisasi perkembangan anak sesuai dengan jenjang pendidikan, yaitu didasarkan pada tiga fase:

Pertama; preode Scola Materna [mulai lahir, sampai usia 6 tahun]. Pada preode ini anak hidup dilingkungan rumah tangga, ia sudah mulai belajar berbicara, mengenali nama-nama dan berinteraksi dengan lingkungannya. Preode ini juga deikenal dengan istilah madrosatul umm [berguru pada sang ibu].

Kedua ; preode Scola Vernacula [mulai umur 6 sampai 12 tahun]. Preode ini juga dikenal dengan Lughotul umm [anak belajar disekolah dengan menggunakan bantuan bahasa ibu]

Ketiga; preode Scola Latina [mulia umur 12 sampai 18 tahun]. Usia ini mulai memasuki universitas atau akademik.

Preodisasi psikologis

Secara psikologis, menurut Kohstam dapat digolongkan sebagaimana berikut.

Pertama;preode vital [mulai lahir sampai umur 2 tahun].

Kedua;preode Esthetic [mulai umur 2 sampai 7.

Ketiga; preode Intelectual [mulai umur 7 sampai 13/14 tahun].

Keempat;preode Social [ mulai umur 13/14 sampai 20/21 tahun]

Kelima; preode maturasi [mulai usia 20/21 tahun sampai usia dewasa].

Pembagian versi lain menurut Elizabeth R. Hurlock yang dinukil oleh Soesilo Windradini sebagaimana berikut:

(a) Sebelum lahir [Pre Natal], yaitu mulai hamilan sampai lahir.

(b) 2 minggu setelah lahir [ Neo Natus].

(c) Masa bayi [mulai 2 minggu pertama sampai usia 2 tahun].

(d) Masa TK nol kecil [ antara usia 2-6 tahun].

(e) Masa TK nol besar / SD [antara usia 6-12 tahun].

(f) Usia pubertas [ antara usia 10/12 – 13/14 tahun]

(g) Remaja awal [usia 14 – 17 tahun].

(h) Remaja akhir [usia 17 – 21 tahun].

(i) Pemuda awal [usia 21 – 40 tahun].

(j) Pemuda pertengahan [usia 40 – 60 tahun].

(k) Tua [usia 60 – meninggal].[61]

Preodesasi anak atau manusia secara umum adalah seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Musthofa Zaidan, diman ia mengklasifikasikannya berdasarkan tinjauan kejiwaan dan pendidikan. Klasifikasi tersebut seperti berikut:[62]

(a) Preode sebelum lahir قبل الميلاد [mualai mengandung sampai lahir].

(b) Preode ayunan مرحلة المهد [setelah lahir sampai 2 minggu pertama dan ditambah usia menyusui sampai akhir 2 tahun].

(c) Preode kanak-kanak awal [usia 3 – 5 tahun] atau usia pra sekolah.

(d) Preode kanak-kanak pertengahan [usia 6 – 8 tahun].

(e) Preode kanak-kanak akhir [usia 9 – 12 tahun].

Selanjutnya ringkasan Preode ini dapat dilihat pada tabel berikut.

دور

سنى المهد

الطفولة المبكرة

الطفولة الوسطى

سنة

1 ـ 2

3 ـ 5

6 ـ 8

تعليم

بالمنزل

دار الحضانة

الصفوف الاولى

من المدرسة الابتدائية
دور

الطفولة المتأخرة

المراهقة المبكرة

المراهقة المتأخرة

سنة

9 ـ 12

13 ـ16

17 ـ 21

تعليم

الصفوف الاخيرةمن المدرسة الابتدائية

المدرسةالاعدادية

او الثانوية

المدرسة الثانوية

او العالية

دور

الشباب

الرجولة والامومة

الشيوخة

سنة

18 ـ 24

25 ـ 64

65 ـ 70

تعليم

الجامعة

المجتمع

المجتمع

2.b.Jiwa keagamaan anak

Diantara keistimewaan manusia yaitu firoh beragama yang hanya dikhususkan oleh alloh kepadanya. Fitroh beragama ini telah dibawanya sejak lahir kedunia. Hal ini berdasarkan penjelasan hadis berikut:

قال الرسول صلعم : ما من مولود الايولد على الفطرة فأبواه يهودانه او ينصرانه او يمجسانه (رواه مسلم)

Nabi bersabda: Tidaklah setiap bayi yang lahir kecuali dalam keadaan fitoh [suci], maka kedua orang tuanyalah yang dapat menyebabkan ia beragama yahudi, nasroni, atau majusi. [HR. Muslim].[63]

Menurut Zakiyah Darojat kondisi keagamaan anak berkembang sejalan dengan perkembangan kejiwaannya. Jiwa keagamaan ini semakin berkembang pesat dengan bertambahnya pengetahuan tentang agama.[64] Pada usia empat sampai lima tahun misalnya, anak dengan kemampuan bahasanya telah memulai bertanya tentang surga, neraka, bagiamana cara menuju kesana, dan juga tentang tuhan. Anak akan menerima semua jawaban yang diberikan tanpa membantahnya. Baru nanti ketika menginjak usia baligh ia mulai kritis, mencari jawaban secara rasional.[65]

Lalu bagaimana mengembangkan jiwa keagamaan anak tersebut? Menurut Ahmad Tafsir saran-saran berikut dapat membantunya:

(a) Kondisikan kehidupan dirumah tangga kita dengan kehidupan muslim, dalam segala hal. Contohnya ialah kehidupan yang sederhana, tidak iri kepada orang lain, jujur dan lainnya. Alkukan semua perintah alloh yang wajib dan sunah, yakni solat, puasa, dzikir, doa akan makan, sesudah makan, akan tidur, berpakaian, akan pergi, akan masuk rumah dan sebagainya. Usahakan agar anak-anak kita mengetahui hal itu dan usahakan agar ia juga melakukannya sekalipun belum memahami mengapa begitu.

(b) Sejak kecil anak-anak sering dibawa kemasji, ikut salat, ikut mengaji, sekalipun ia belum menjalankannya dengan benar. Suasana ini akan mempengarui jiwanya, masuk kedalam jiwa tanpa melalui proses berfikir.

(c) Adakan pepujian di dalam rumah, musholla atau masjid. Pepujian atas berbagai jenis ucapan, ada sholawan, doa dan ada yang berupa ayat alqur’an.l

(d) Pada saat libur sekolah anak kita masukkan kedalam pesantren kilatl. Pesantren kilat yang baik adalah yang diselenggarakan dengan model asli pesantren.

(e) Libatkan anak-anak dalam setiap acara keagamaan dikampung, sepeprti ramadlon, panitia zakat fitrah, panitia idul fitri dan idul qurban, dan sebagainya.[66]

Jadi anak dimungkinkan dapat mengenal islam pada mulanya melalui tanda/ media keislaman seperti masjid dan lainnya. Terkadang anak juga mempertanyakan kepada orang tuanya tentang ketuhanan, sehingga anak berikutnya membiasakan diri untuk mengikuti orang tuanya dalam beribadah. Menurut Zakiyah, Rasa keagamaan seperti ini sudah mulail tumbuh disaat anak berumur enam tahun.[67]

Tentang jiwa keagamaan anak ini –seperti kutipan zuhairini- menurut psikolog Sigmun Freud bahwa anak pada usia tiga tahun pertama sudah merasa akan adanya tuhan, sehingga dalam bentuk miniatur anak menganggap kedua orang tuanya sebagai tuhan. Anak beranggapan kedua orang tua adalah sumber keadilan, kasih sayang, kekuasaan dan pertolongan, bahkan pemberi segala kebutuhan. Tetapi setelah ia dewasa,dengan sendirinya ia mengetahui kekurangan orang tuanya, sehingga berubahlah orientasi ketuhanannya. Pada saat seperti itulah orang tua memiliki peran penting untuk membimbing dan memberikan pengetahuan tetang ketuhanan secara porposional. Yakni memahamkan bahwa tuhan yang sebenarnya adalah Alloh yang telah menciptakan semua manusia dan bukan orang tuanya seperti yang ia rasakan sebelumnya. Demikian juga pendapat Dorothy Wilson bahwa anak secara tabiat mengakui adanya tuhan, yaitu ketika ia bermain boneka,lalu ia rusak, maka ia akan berdoa pada tuhan. Rumke menegaskan bahwa anak membenarkan adanya tuhan dan hal ini akan berkembang pesat ketika ia sampai usia akan baligh.[68]

Perkembangan jiwa anak pada usia empat atau lima tahun ketika menginjak usia taman kanak-kanak, ia mulai gemar menghafal do’a-do’a pendek yang diajarkan oleh gurunya disekolahan atau keluarganya di rumah.[69]

Anak pada usia enam sampai sembilan tahun –menurut Arifin- sudah dapat mengerti sesungguhnya Alloh adalah tuhan pencipta alam raya, manusia, binatang, tumbuhan dan lain-lain. Pemahaman agama anak pada usia ini telah mulai menguat. Terbukti gemar melakukan ibadah meskipun atas perintah orang tuanya.[70] Ia suka berdoa, beramal sesuai dengan kehendak alloh dan orang tuanya, rajin pergi ketempat-tempat pendidikan [sekolahl] dengan teman-temannya. Suka menyanyi, khususnya nyanyian religi. Sedangkan pemahamannya tentang kematian juga mulai tumbuh,terlebih ketika ditinggal mati oleh keluarganya.[71] Anak mulai terbangun kepercayaan tentang adanya balasan amal, sehingga ia gemar beramal baik.

فمن يعمل مثقال ذرة خيرا يراه ومن يعمل مثقال ذرة شرا يره( الزلزلة:7-8)

Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrohpun, niscaya dia akan melihat [balasannya]. Dan baranga siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrohpun, niscaya dia akan melihat [balasan]nya pula.

Demikianlah pemahaman keagamaan anak terus berkembang, sampai dewasa.

2.c.Kebutuhan anak pada pendidikan

Usaha Pendidikan dilakukan atau diusahakan manusia berdasarkan keyakinan tertentu. Keyakinan ini didasarkan atas suatu pandangan, baik filosofis maupun teoritis [ilmiah]. Asas demikian merupakan titik tolak yang wajar. Artinya tiap orang akan melaksanakan suatu pekerjaan jika tujuan dan hasil pekerjaan itu mereka yakini dapat dicapai.

Keyakinan ini desebut para ahli sebagai hukum-hukum dasar atau teori-terI pendidikan. Dapat juga kita nyatakan sebagai teori klasik dalam pendidikan. Maka relevasnsinya dengan kebutuhan anak akan pendidikan ini dapat diketahui urgensinya dari uraian tentang teori-teori filsafat pendidikkan tentang terjadinya proses pendidikan.

Teori ini dapat dikelompokkan dedalam tiga macam, yaitu:

1. Teori empirisme.

Ajaran filsafat yang dipelopori oleh John Locke [1632-1704] ini mengajarkan bahwa perkembangan pribadi ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan, terutama pendiidikan. Ia berkesimpulan bahwa setiap individu lahir bagaikan kertas putih, dan lingkngan pendidikan itulah yang menulisi. Teori ini akhirnya terkenal dengan teori tabularasa dan teori empirisme. Bagi John Loke pengalaman yang berasal dari lingkungan itulah yang menentukan pribadi seseorang. Karena lingkungan itu relatip dapat diatur dan dikuasai manusia, maka teori ini bersifat optimis dengan tiap-tiap perkembangan pribadi anak.

2. Teori Natifisme.

Ajaran filsafat Natifisme yang dapat digolongkan dalam filsafat Idealisme ini berkesimpulan bahwa pekembangan anak hanya ditentukan oleh faktor hereditas atau faktor dalam keturunan yang bersifat kodrati. Tokoh aliran ini Arthur Schopenhauer (1788- 1860) menganggap faktor pembawaan yang bersifat kodrati dari kelahiran, yang tidak dapat diubah oleh pengaruh alam sekitar atau pendidikan itulah sebenarnya hakekat manusia. Potensi-potensi itulah yang menjadi ciri khas pribadi anak, bukan hasil pendidikan. Tanpa potensi-potensi heriditas yang baik, seseorang tidak mungkin mencapai taraf yang dikehendaki, meskipun dididik secara maksimal. Seorang anak yang potensi hereditasnya rendah, tidak mugnkin mencapai taraf pendidikan yang tinggi, meskipun dididik secara maksimal. Maka tergasnya pendidikan tidak dapat merubah manusia, karena potensi itu bersfat kodrati, sehingga aliran ini dianggap pesimistis,karena menerima kepribadian anak sebagaimana adanya, tanpa kepercayaan adanya nilai-nilai pendidikan yang dapat ditanamkan untuk merubah kepribadiannya.

3. Teori Konvergensi

Bagaimanapun kuatnya alasan kedua aliran pandangan diatas, namun kediuanya kurang realistis. Suatu kenyataan, bahwa potensi hereditas yang baik saja, tanpa pengaruh lingkungan pendidikan yang positif tidak akan membina kepribadian yang ideal. Sebaliknya, meskipun lingkungan pendidikan yang positif dan maksimal, tidak akan menghasilkan kepribadian yang ideal, tanpa potensi hereditas yang baik. Oleh karena itu, perkembangan pribadi sesungguhnya adalah hasil proses kerja sama antara kedua faktor, baik internal [potensi-hereditas] maupun faktor eksternal [lingkungan-pendidikan]. Tiap pribadi adalah hasil konvergensi faktor-faktor internal dan eksternal. Teori ini dikemukakan oleh William Stern [1871-1938] dan akhirnya dikenal sebagai tokoh aliran konvergensi.[72]

Dari uraian tersebut, maka jelaslah bahwa manusia walupun dilahirkan diumpamakan seperti kertas yang putih bersih atau lahir dengan pembawaan yaanag dapat berkembang sendiri, tapi perkemba- ngan itu tidak akan maju kalau tidak melalui proses tertentu, yaitu proses pendidikan.

Dalam sejarah tercatat sejumlah kisah anak-anak yang tidak memperoleh pendidikan. Contohnya: anak liar, Victor namanya yang tertangkap di distrik Averon, Perancis Selatan pada tahun 1799 dan Peter, ditemukan dekat Hanover pada tahun 1723. Serta dua gadis cilik Amala dan Kampala ditemukan di Kidnapur India pada tahun 1920 oleh Mr. Singh. Kedua anak tersebut diasuh oleh srigala, sehingga akibatnya segala gerak gerik dan tingkah lakunya menyerupai srigala. Dan dongengan Ibnu Thufail tentang Hay bin Yaqdzan yang hidup disebuah pulau dengan seekor rusa.[73]

Dari berbagai contoh diatas, sangat medukung kebenaran faktual ayat alquran tentang pendidikan yang merupakan lembaga utuk memanusiakan manusia. Tanpa pendidikan manusia hanya setingkat lebih tinggi dari hewan. Anak yang tidak memperole pendidikan sama sekali, tidak akan mungkin dapat hidup bermasyakat dengan baik. Maka pendidikan sebenarnya mengangkat derajat manusia ketaraf insaniyah yang sebenarnya, dan atas dasar inilah setiap anak perlu pendidikan.

Ide pendidikan, baik teori nativisme, empirisme dan konvergensi tidaklah bertentangan dengan ajaran islam. Dalam islam sendiri sudah ditegaskan dasar-dasar terebut. Diantaranya ayat berikut:

"فاقم وجهك للدين حنيفا فطرة الله التى فطر الناس عليها لاتبديل لخلق الله ذلك الدين القيم ولكن أكثر الناس لايعلمون (الروم 30)

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama [alloh]; [tetaplah atas] fitroh alloh yang telah menciptakan manusia menurut firtoh itu. Tidak ada perubahan pada fitroh alloh. [itulah]agama yang lurus ; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Hadist nabi:

كل مولود يولدعلىالفطرةوانماابواه يهودانه اوينصرانه اويمجسانه (رواه مسلم )[74]

Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan firtoh [ suci ], dan hanya kedua orang tuanyalah yang menyebabkan yahudi, nasroni, atau majusi [HR. Muslim]

Dari dua dasar ini mengandung pengertian, bahwa islam memiliki konsep pendidikan yang luhur dan universal. Yaitu setiap manusia dilahirkan dengan memiliki firtoh [kesucian/kemurnian] يولدعلىالفطرة, [yang dalam istilah John Lokce dikenal dengan “tabularasa”], dan akan dipengaruhi oleh lingkungan pendidikannya وانماابواه يهودانه.. [yang dalam Arthur Schopenhauer disebut Nativisme], sehingga keterpaduan dasar dan ajar inilah yang diyakini dapat dikembangakn melalui dunia pendidikan.

2.d. Pendidikan anak Islami

Berbicara tentang pendidikan islam, maka tidak bisa terlepas dengan konsep-konsep yang dikemukakan oleh qur’an dan Hadis sebagai titik tolak pembahasan, ditambah dengan penjelasan para ahli pendidikan terlebih dari kalangan muslim. Dan sebagaimana dikatakan oleh syair, bahwa anak merupakan titipan alloh. Maka relevansinya harus dipelihara dengan baik, karena pada suatu saat akan diminta kembali oleh alloh.

قال الشاعر: وما المال والأهلون الاودائع # ولابد يوما أن ترد الودائع

Berkata seorang penyair; tidaklah harta benda dan keluarga itu berharga, kecuali bagaikan hanya sebuah titipan, dan suatu saat pasti akan dikembalikan pada pemiliknya.

Melihat pada ayat-ayat qur’an berkaitan dengan pendidikan anak ini, maka ada dua macam pernyataan qur’an untuk mengistilahkan anak, yaitu: istilah الأولاد dan البنون .

Pertama ; istilah Al-aulaad, biasanya dikaitkan dengan konotasi makna yang pesimistis, sehingga memerlukan perhatian khusus dalam penjagaan, perhatian dan pendidikan. Ayat-ayat ini misalnya seperrti berikut:

1.فلا تعجبك أموالهم ولا أولادهم إنما يريد الله أن يعدبهم بها فى الحياة الدنيا وتزهق أنفسهم وهم كافرون (التوبة : 55)

Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Alloh menghendaki dengan[memberi] harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka daam kehidupan didunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir.

2.واعلموا أنما أموالكم وأولادكم فتنة وأن الله عنده أجرعظيم (الأنفال: 28)

Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakku itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi alloh-lah plahala yang besar.

3.وما أموالكم ولاأولادكم بالتى تقربكم عندنا زلفى الا من أمن وعمل صالحا فالنك لهم جزاء الضعف بما عملوا وهم فى الغرفات أمنون (السباء: 37)

Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukanlah anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabakan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa ditemmpat tempat yang tinggi [dalam syurga].

3. إعلموا أنما الحيوة الدنيا لعب ولهو وزينة وتفاخر بينكم وتكاثر فى الأموال والأولاد كمثل غيث أعجب الكفار نباته ثم يهيج فتراه مصفرا ثم يكون خطاما وفى الأخرة عذاب شديد....(الحديد: 20)

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antar kamu seta bergangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanamn itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian hancur. Dan di akherat [nanti] ada azab yang keras …………

Ayat-ayat tersebut sebagai titik tolak untuk mencurahkan tenaga dan fikiran dalam rangka memperbaiki anak melalui pendidikan, sehingga mereka dapat menjadi wasilah untuk memperdekat kepada alloh, bukan sebaliknya menjadi firnah [merepotkan ] khususnya bagi orang tua, dan umumnya bagi masyarakat.

Kedua; ayat-ayat dengan ungkapan Banuun yang mengandung arti / pemahaman optimis, sehingga, terkadang menimbulkan kebanggaan dan keterntraman khusus dalam hati. Diantaranya ialah ayat-ayat berikut ini:

المال والبنون زينة الحياة الدنيا والبقيت الصلحت خير عند ربك ثوابا وخير املا (الكهف : 46)

Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.

والذين يقولون ربنا هب لنا من ازواجنا وذريتنا قرة اعين واجعلنا للمتقين اماما (الفرقان : 74)

Dan orang-orang yang berkata:” Ya Tuhab kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati [kami], dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang tertakwa.

Jadi anak dapat menjadi impian yang menye- nangkan, manakala dididik dengan baik, dan sebaliknya akan menjadi mala petaka [fitnah] jika tidak didik. Inilah kemungkinan yang ditimbulkan, yaitu rasa optimis atau pesimistis. Hal ini juga membawa pada pemahaman, apalah artinya memelihara anak, jika tidak didik, anak didik berbuat jahat adalah kesalahan pendidik, dan jika anak-anak tidak mau belajar, hanya akan menyusahkan orang tua, nusa dan bangsa. Jelasnya anak, harus didik, karena pada hakekatnya manusia dilahirkan dengan firtoh dapat didik, dapat mendidik dan sekaligus dapat mendidik dan didik.

Adapun penjelasan hadis nabi mengenai pendidikan anak ini sangatlah banyak. Diantaranya adalah sebagai berikut:

1.كل مولود يولد على الفطرة وانما ابواه يهودانه او ينصرانه او يمجسانه (رواه مسلم )[75]

Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan firtoh [ suci ], dan hanya kedua orang tuanyalah yang menyebabkan yahudi, nasroni, atau majusi [HR. Muslim]

2. كل مولود يولد على الفطرة حتى يعرب عنه لسانه فابواه يهودانه أو ينصرانه او يمجسانه (رواه طبرانى)[76]

Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan firtoh [ suci ], sehingga ia fasih berbicara, dan hanya kedua orang tuanyalah yang menyebabkan yahudi, nasroni, atau majusi [HR. Muslim]

3. علموا الصيى الصلاة ابن سبع سنين واضربوه عليها ابن عشر (رواه احمد والترمذى والطبرانى والحاكمى عن سمرة)[77]

Ajarilah anak sholat ketika umur 7 tahun, dan pukulah jika meninggalkannya dalam umur 10 tahun. [HR. Ahmad, Turmudzi, Thobaroni, dan Hakim dari Stamiroh]

4. علموا أبناءكم السباحة والرمى والمرأة المغزل (رواه البيهقى عن ابن عمر)

Ajarilah anak-anakmu berenang, memanah… [HR.Bukhori dari Ibnu Umar]

5.علموا أبناءكم السباحة والرماية ونعم لهو المؤمنة فى بيتها المغزل واذا دعاك فاجب امك (رواه الديلمى عن بكر بن عبد الله بن الربيع الانصارى)

Ajarilah anak-anakmu berenang, memanah… [HR.Addaikami dari Bakar bin Abdulloh bin Ronbi al-Anshori]

6. علموا بنيكم الرمى فانه نكاية العدو (رواه الديلمى عن جابر)

7. مروا اولادكم بالصلاة وهم ابناء سبع سنين واضربوهم عليها وهم ابناء عشر سنين وفرقوا بينهم فى المضاجع واذا زوج أحدكم خادمه عبده او أجيره فلا ينظرالىمادون السرةوفوق الركبة(رواه احمد وابى داود والحاكم عن ابن عمر)[78]

8. حق الولد على الوالدان يعلمه الكتابة والسباحة والرماية وأن لايرزقه الاطيبا (رواه البيهقى عن ابى رافع)[79]

9. حق الولد على والده ان يحسن اسمه ويزوجه اذا ادرك ويعلمه الا طيبا (رواه الديلمى عن ابى رافع)

10. حق الولد على الوالدأن يحسن اسمه ويحسن ادبه (رواه البيهقى عن ابن عباس)

11. حق الولد على والده ان يحسن اسمه ويحسن موضعه ويحسن أدبه (زواه البيهقي عن عائشة)

Alghozali juga memberi penjelasan tentang posisi anak bagi orang tuanya, serta karakteristik kejiwaannya.

فقال الغزالى إن الصبى أمانة عند والديه وقلبه طاهرة جوهرة نفيسة ساذجة خالية عن كل نقش ومائل الىما يمال به اليه فان عود الخير نشاء عليه وسعد فى الدنيا والاخرة وشاركه فى ثوابه ابواه وكل معلم له ومؤدب واذا عود الشر واهمال البهائم وشقى وهلك وكان الوزر فى رقبة القيم عليه واوالى له.

Alghozali berkata; bahwa anak bagi kedua orang tuanya bagaikan titipan [amanat], anak tersebut hatinya suci bagaikan intan permata yang berharga, murni tidak ada lukisan apapun, dan memiliki ketergantangan terhadap apa yang diberlakukan padanya. Maka jika anak dibiasakan melakukan kebaikan, ia akan terbiasa dengan hal itu, sehingga memperoleh kebahagiaan didunia dan akherat, serta kedua orang tua dan gurunya juga memperoleh pahala atas prilaku baik anak tersebut. sebaliknya, jika anak diajari/ dibiasakan berbuat kejelekan, maka iapun akan terbiasa dengan hal itu, sehingga ia hidup sengsara dan celaka, maka dosanyapun juga ditanggung oleh orang tuanya.[80]Pernyataan Al-Gozali tersebut sesuai dengan aliran filsafat penidikan empirisme yang dikemukakan oleh John Lock dan dikenal dengan teori tabularasa. Ia mengajarkan bahwa perkembangan pribadi ditentukan oleh faktor linlgkungan, terutama pendidikan. Ia berkesimpulan bahwa tiap individu lahi sebagai kertas putih, dan lingkunganlah yang menyuli kertas putih itu. Pengalaman dari lingklungan itulah yang menentukan pribadi seseorang. Karena lingkungan itu relatif dapat diatur dan dikuasai manusia, maka teori ini bersifar optimis dengan tiap-tiap perkembangan pribadi.[81]Disinilah pentingnya lingkungan pendidikan, dimana akan mewarnai karakteristik anak didik. Pengaruh ini lebih terfokus pada lingkungan keluarga dan orang terdekat dengan anak.Pendidikan yang diutamakan bagi anak, pada mulanya adalah pendidikan tauhid. Hal ini sesuai dengan firtrah semua manusia yang dilahirkan dalam pengakuan monotheisme [beriman kepada alloh].

واذ أخذربك من بنى ادم من ظهورهم ذريتهم وأشهدهم على أنفسهم الست بربكم قالوا بلى شهدناأن تقولوا يوم القيامة إناكناعن هذاغفلين(الاعراف 172)

Dan [ingatlah], ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak adam dari sulbi mereka dan alloh mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka [seraya berfirman]: “ Bukankah Aku ini Tuhanmu/” Mereka menjawab:” Betul [Engkau Tuhan Kami], Kami menjadi saksi”. [Kami melakukan yang demikian itu] agar dihari kiamat kamu tidak mengatakan:” sesungguhnya kami [bani adam] adalah orang-orang yang lengah terhadap ini [keesaan Tuhan].

Menurut Al-Ghazali, cara untuk menanamkan keiman kedalam anak didik ialah dengan metode pengajaran yang dilakkukan secara sabar, dan kasih sayang, sehingga mencapai hasil iman yang kuat.[82]

Abdulloh Nashih Ulwan menjelaskan pendidikan anak dimulai setelah lahir didunia, yaitu secara berurutan seperti berikut:

a. Memberikan ucapan selamat.

Disunahkan bagi orang muslim untuk ikut bergembira dan mengucapkan selamat atas saudaranya yang melahirkan anak. Tersebut. Ucapan selamat itu seperti contoh berikut:

" بورك لك في الموهوب وشكرت الواهب ورزقت بره وبلغ اشد ".

b. Diadzani ditelingan kanan dan iqomah ditelinga kiri.

Hal ini berdasarkan hadist berikut:

روى البيهقى وابن السنى عن الحسن بن على عن النبى صلعم قال: من ولد له مولود فإن فى إذنه اليمنى وإقام فى إذنه اليسرى لم تضره أم الصبيان

Diriwayatkan oleh Albaihaki dan Ibnu Sini, dari Hasan bin Ali, dari nabi Muhammada Saw, beliau bersabda: barang siapa dilahirkan baginya anak, maka hendaklah diadzani ditelingan kanan dan diiqomahi ditelinga kiri, maka dengan demikian tidak akan terkena gangguan syetan [ummu syibyan].

Rahasia dari adzan dan iqomah ini menurut Ibnul Qoyyim yaitu supaya kalimat yang pertama didengarkan anak adalah kalimat yang baik mengajak kepada keimanan, mengakui keagungan tuhannya, dan syahadat. Ajaran memiliki pengaruh psikologis yang besar kepada jiwa anak ketika menjadi dewasa, meskipun pada saat itu dia belum merasakannya.

Manfaat lainnya, dapat menjauhkan dari gangguan syetan, sementara mengajak kepada jalan alloh yang merupakan firtoh manusia.[83]

c. Menyuapi dengan makan

Menyuapi ini bisa dilakukan dengan meletakkan makan ditangan, lalu memasukkan kemulut bayi, lalu menggerak-gerakkan kekanan kekiri agar membasahi seluruh mulutnya. Hal ini sebaiknya dilakukan dengan kurma, dan jika tidak ada bisa digunakan makanan lunak yang manis. Hal ini dilakukan berdasarkan hadis nabi:

عن أبى بردة عن أبى موسى رضى الله عنه قال: ولدلى غلام فأتيت به النبى صلعم فسماه إبراهيم وحنكه بتمرة ودعاله بالبركة ودفعه إلى.

Diceritakan dari Abi Burdah, dari Abi Musa ra berkata; dilahirkan anak bagiku, lalu saya bawa kepada nabi, kemudian beliau memberi nama Ibrohim, setelah itu menyuapi dengan kurma dan mendoakan dengan kebaikan, dan akhirnya memberikan lagi padaku.

d. Disunhkan mencukur rambut.

Mencukur rambut dapat dilakukan pada hari ketuju disertai pengeluaran sedekah perak seberat tambut yang dicukur tersebut yang dibagikan kepada fakir miskin.

Kaifiyah cukur rambut yang dilarang adalah mencukur secara “qoza’” sebagaimana dijelaskan oleh hadis.

وجاء النهى عنه صريحا فى الحديث الذى أخرجه البخارى ومسلم عن عبد

الله بن عمر رضى الله عنهما أنه قال: نهى رسول الله صلعم عن القزع" [84]

Pengertian Qoza’ adalah pertama; berarti cukur kuncung. Kedua;mencukur bagian yang tengah saja. Ketiga; mencukur yang pinggir dan meninggalkan yang tengah. Keempat; mencukur bagian depan dan meninggalkan bagian belakang.

Hikmahnya memotong rambut ini diantaranya adalah; menurut tinjauan kesehatan dapat menguatkan daya fikir, daya dengar dan daya penciuman. Secara sosial dapat membantu memperingan nafkah fakir miskin, yaitu dengan mengeluarkan sedekah kepadanya.

Masih menurut penjelasan Nashih Ulwan,[85] pendidikan anak yang harus dilakukan setelah ia lahir adalah:

1. Membuka perkataan pertama pada pendengaran anak dengan ucapan tauhid. Hal ini berdasarkan pada hadis riwayat Hakim dari Ibnu Abas ra, dari nabi beliau bersabda: “perdengarkalah pertama kali pada anakmu dengan bacaan tauhid [بلا إله إلا الله ].

روى الحاكم عن ابن عباس رضى الله عنهما عنى النبى صلعم أنه قال "إفتحو على صبيانكم أول كلمة بلا إله إلا الله"،

2. Mengenalkan dengan hukum halal dan haram, berdasarkan hadis Ibnu Jarir dan Ibnu Mundzir, dari Ibnu Abbas ra, sesungguhnya nabi bersada;”

أخرج ابن جرير وابن المنذر من حديث ابن عباس رضى الله عنهما أنه قال "إغسلوا بطاعة الله واتقوا معاصى الله ومروا أولادكم بأمتثال الأوامر واجتناب النواهى فذلك وقاية لهم ولكم من النار".

Diceritakan dari Ibnu Jarir dan Ibnu Mundzir, dari Ibnu Abbas ia berkata, sesungguhnya nabi bersabda “mandikanlah [anakmu] dengan ketaatan, dan takutlah untuk berbuat ma’siyat, dan perintahlah anakmu untuk mentaati perntah alloh dan menjauhi larangannya, itulah penjagaanmu dan anak-anakmu dari neraka.

3. Memerintah untuk menjalankan ibadah mulai umur tuju tahun, dan memukulnya jika ia meninggalkannya pada usia sepuluh tahun. Hal ini berdasarkan pada hadis:

روى الحاكم وأبو داود عن ابن عمرو بن العاص وضى الله عنهما عن رسول الله صلعم أنه قال "مروا أولادكم بالصلاة وهم أبناء سبع سنين واضربوهم عليها وهم ابناء عشر وفرقو بينهم فى الضاجع"

Hakim dan Abu Daud meriwayatkan, dari Ibnu Umar Bin Ash ra, nabi bersabda “ perintahlah anakmu melakukan sholat pada umur tuju tahun, dan pukullah jika meninggalkannya pada umur sepuluh tahun”.

4. Mengajarkan pada anak untuk mencintai nabi, ahlul baitnya dan cinta membaca alqur’an.hal ini berdasar pada hadis;

روى الطرانى عن على كرم الله وجهه أن النبى صلعم قال: أدبوا أولادكم على ثلاث خصال: حب نبيكم وحب ال ليته وتلاوة القرآن فإن حملة القرآن فى ظل عرش الله يوم لاظل إلا ظله مع أنبيائه وأصفيائه.

Atthobaroni meriwayatkan dari Ali karomallohu wajhah, sesungguhnya nabi bersabda” didiklah anakmu atas tiga perkara: mencintai nabi, ahlul bait, dan membaca alqur’an, karena orang yang hafal qur’an nanti akan mendapat perlindungan dari alloh dihari tidak ada perlindungan kecuali hanya perlindungan-Nya.



[1] Muhammad Athiyah Al-Abrosyi, Attarbiyah Al-islamiyah, Darulqaum, 1964, halaman 95

[2] Arif Furchan, Pengantar penelitian dalam pendidikan, Usaha Nasional, Surabaya, 1982, halalaman 79

[3] Muhammad Isa, Manahijul bahs al-ilmi, Darul fikr aroby, 1981, halaman 173

[4] Sutrisno Hadi, Metodologi Research I , UGM, 1983, halaman 42

[5] Muhammad Athiyah Al-Abrosyi, Ruuhutttarbiyah watta’liim, Daruihya’I alkutub al’arobiyah, halaman 277

[6] Sutrisno Hadi, Ibid

[7] Winarno Surahmat, Pengantar penelitian ilmiah dasar metode dan teknik, Tarsito, Bandung, Halaman 143

[8] Kamus besar bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pustaka, Perum penerbitan dan percetakan BP, cetakan ketujuh, halaman 232

[9] Ibid, halaman 35

[10] Al-Baidlowi,Anwaruttanziil waasrorutta’wiil, halaman 226

[11] Abdurrohman Annahlawi, Ushuluttarbiyah alislamiyah waasaalibiha filbait walmujtama’ , Darul Fikr, halaman 12

[12] Miqdad Yaljan, Jawanib attarbiyah alislamiyah alasasiyah, cetakan kedua, halaman 11

[13] Alqurthubi Ibnu Ahmad Al-Anshori, Tafsir Aljamiul Ahkam, Darusya’b, Kairo, Juz 1, halaman 11

[14] Menurut Naquib Al-Atas, Konsep pendidikan islam, Mizan, 1996, halaman 66

[15] Ibid., Halaman 21

[16] Ibid., Halaman 21

[17] Muhammad Sayyid Sulthon, Mafahim Tarbiyah Filislam, Darul Maarif, halaman 132

[18] Miqdad Yaljan, op. Cit., halaman 25

[19] Ibid, halaman 25

[20] Ibid, halaman 26

وقال مقداد يالجن أن التربية الإسلامية هى تنشئة وتكوين إنسان مسلم متكامل من جميع نواحيه المختلفة من الناحية الهحية والعقلية والإعتقادية والروحية والأخلاقية والإرادية والإبداعية فى جميع مراحل نموه فى ضؤ المبادئ والقيم التى أتى بها الإسلام وفى ضؤ أساليب وطرق التربية التى بينها. أو بتعريف منحتصر هى إعداد المسلم إعدادا كاملامن جميع النواحى فى جميع مراحل نموه للحياة الدنيا والأخرة فى ضؤ المبادئ والقيم وفى ضؤ أساليب وطرق التربية التى جاءبها الإسلام

[21] Alghozli, khulashotuttashonif, Petuk , Kediri, halaman 10

[22] Musthofa Algholayaiini, Idhotunnasyi’iin, Halaman 189

فإذا التربية هى غرس الأخلاق الفاضلةفى نفوس الناشئين وسقياه يماء الإرشاد والنصيحة حتى تصبح ملكة من ملكات النفس ثم تكون ثمراتها الفضيلة والخير وحب العمل لنفع الوطن.

[23] Muhammad Sayyid Sulthon, Mafahim Tarbiyah fil Islam, cetakan ke 2, Darul Ma’arif, hal. 90

[24] Al-Ghozali, Ayuhal walad, Petuk Kediri, halaman 6

[25] Zainuddin dkk, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, Bumi Aksara. 1991. hal. 44

[26] Abdul Ghoni Abud, Alfikruttarbawi Indal Ghozali, Darul Fikr Arobi, 1982, cetakan I, hal. 144

[27] Abdul Ghoni Abud, op. Cit., halaman 144

[28] Mahmud Sayyid Sulthon, op. Cit., halaman 42

[29] Zakiyah Darojat, Filsafat pendidikan Islam, halaman 17-21

[30] Abdurrahman Annahlawi, op. Cit., halaman 28

[31]Djumbransyah Indar.,Filsafat Pendidikan Islam, hal. 40

[32] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, 1980. hal. 189-235

[33] Mahmud Sayyid Sulthon, op. Cit., halaman 47-49

[34] M. Athiyah All-Abrosyi, Attarbiyah Al-Islamiyah wa falasifatuha, Halaman 26-29

[35]Ibid, Halaman 140-141

[36] Fahad Bin Abdurrohman bin Sulaiman, Qissoh Aqidah, Maktabah Taubah, cetakan pertama, 1994, halaman 12

[37] Al-Ghozali, Bidayatul Hidayah, halaman 88

[38] Muhtar Yahya, Fannuttarbiyah, halaman 56-58

[39] Al-Ghozali, Ihya’ ulumuddin, juz 1, halaman 69

[40] Hasan Abdul Ali, Op. Cit., halaman 172

[41] Ibid, halaman 174

[42]Ibid, halaman 144

[43] Muhammad Athiyah Al-Abrosyi, Al-ittijahad alhadistan fittarbiyah, halaman 223

[44] Muhamaad bin Ali Syafii Ashnwani, Muhtashor Ibnu Abi Jamroh lilbuhkori, Alhidayah, hal. 30

[45] Muhsin Mathor, Attarghib watarhib, Maktabah Hidayah, halaman 3

[46] Muhammad Asymuni Al-Jaruni, Op. Cit., halaman 8

[47] Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Juz I, halaman 62. Pendapat ini juga diualas oleh Athiyah

Al-Abrosyi dalam kitabnya Al-Ittijahat Alhadistah, halaman 151

الوظيفة الأولى: تفديم طهارة النفس عن رذائل الأخلاق ومذموم الأوصاف أذالعلم عبادة القلب وصلاة السرو قربة الباطن إلى اللهالوظيفة الثانية: أن يقلل علا ئقه من الإشتغال بالدنيا ويبعد عن الأهل والوطن فإن فان العلائق شاغلة وصارفة.والوظيفة الثالثة: أن لا يتكبر على العلم ولا يأمر على المعلم بل يلقى إليه زمام أمره بالكلية فى كل تفصيل.الوظيفة الرابعة: أن يحترز الخائض فى العلم فى مبدأ الأمر عن إصغاء إلى اختلاف الناس، سواء كان ماخاض فيه من علوم الدنيا أومن علوم الأخرة.الوظيفة الخامسة: أن لا يدع طالب العلم فنا من العلوم المحمودة ولا نوعا من أنواعه إلا وينظر فيه نظرا يطلع به على مقصده وغايته ثم إن ساعده العمر طلب التجر فيه والا اشتغل بالأهم منه واستوفاه وتطرف من البقية.الوظيفة السادسة: أن لا يخوض فى فن من فنون العلم دفعه بل يراعى الترتيب ويبتدئ بالأهم.لوظيفة السابعة: أن لايخوض فى فن حتى يستوفى الفن الذى قبله، فان العلوم مرتيبا وبعضها طريق الى بعض.الوظيغة الثامنة : ان يعرف السبب الذى به يدرك أشر العلوم. وهو نوعان : احدهما شرف الثمرة والثمرة والثانى وثاقة الدليل وقوته.الوظيفة التاسعة : ان يكون قصد المتعلم قى الحال تحلية باطنه وتجميله بالفضيلة، وفى المأل القرب من الله سبانه والترقى الى جوار املأ الأعلى من الملائكة والمقربين ولا يقصدبه الرئاسة والمال والجاه ومماراة السفهاء ومباهاة الاقران وان كان هذا مقصده طلب لامحالة الا قرب الى مقصوده وهو علم الاخرة.الوظيفة العاشرة :ان يعلم نسبة العلوم الى المقصد كيما يؤثر الرفيع القريب على البعيد والمهم على غيره.

[48] M. Athiyah Al-Abrosyi, Op. Cit., halaman 147-148

[49] Hasan Abdul Ali, Op. Cit., halaman 128

[50] Alghozali, Almunqid minadholal, halaman 15

. 1ـ المتكلمون: وهم يدعون أنهم أهل الرأى والنظر

2ـ الباطنية: وهم يزعمون أنهم أصحاب التعليم والخصوصون بالأقتباس من الأمام المعصوم.3ـ الصوفية: وهم يدعون أنهم خواص الحضرة وأهل المشاهدة والمكاشفة.4ـ الفلاسفة: وهم يزعمون أنهم أهل المنطق والبرهان.

[51] Alghozali, Bidayatul Hidayah, halaman 77

[52]Assayuthi Abdurrohman bin Kamal Jalaluddin ,Al-Jami’ Ashoghir, halaman 141, 61

[53] Abdulloh Nashih Ulwan, op.cit, halaman 409-415

[54] Umar Suwito, Teknologi Komunikasi Pendidikan, Yogyakarta. Bamedik. Hal 48

[55] Ibid, halaman 48

[56] F. Patty. MA. dkk., Pengantar Psikologi Umum, Usaha Nasional. Let. Ke. IV. 1982. hal. 52.

[57] Sutari Imam Barnadib, Penganatar Ilmu Pendidikan Sistematis, Andi Ofset. 1989. hal. 40

[58] Ag. Sujono, Pengantar Ilmu Pendidikan Umum, CV. Ilmu. Cet. II. 1980. hal. 88

[59] Zuhairini dkk, Metodologi Pendidikan Agama, Romadoni. Surabaya. Cet. I. 1993. hal. 40

[60] Abu Bakar Ahmadi, Psikologi Perkembangan, Rineka Cipta, 1991, hal. 36 - 43.

[61] Soesilo Windradini, Dra. MA, Psikologi Perkembangan (masa remaja), Usaha Nasional, hal. 21

[62] Muhammad Musthofa Zaidan, Marohilinnumu, Darul Alsyuruuq, halaman 101

[63] Muslim, Shohih Muslim, Darul Fikr, Beirut, Juz 2, halaman 458

[64] Zakiyah Darojat, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang.1976. hal 4

[65] Ibid, halaman 46

[66] Ahmad Tafsir, Ilmu pendidikan dalam perspektif Islam, Rosdakarya, Bandung, cet. Ke II, 1984, hal188

[67] Zakiyah Darojat, op.cit. halaman 4

[68] Zuhairini dkk., Metodologi Pendidikan Agama, hal.33-46

[69] Arifin, HM., Psikologi Dan Beberapa Aspek Kehidupan Rohaniyah Manusia, Bulan Bintang. 1981. hal. 59

[70] Ibid, halaman 60

[71] HM. Arifin, Pokok-pokok Pikiran Tentang BP Agama di Sekolah dan Luar Sekolah, CV. Bulan Bintang. 1981. hal. 57

[72] Tim Dosen FIP- IKIP Malang, Dasar-dasar Kependidikan, Usaha Nasional, Surabaya, cet. III, 1988, halaman 8-9

[73] Djummberansjah Indar, Ilmu Pendidikan Islam, IAIN Sunan Ampel Malang, 1990, halaman 35

[74] Muslim, Shohih Muslim, Darul Fikr, Beirut, Juz 2, halaman 458

[75] Muslim, Shohih Muslim, Darul Fikr, Beirut, Juz 2, halaman 458

[76] Jalaluddin Abdurrohman bin Abi Bakr Assyuyuthi, Al-Jami’ Ashoghir, Juz I , halaman 94

[77] Hadist no. 3-6, Ibid, Juz II, halaman 61-62

[78] Ibid, Juz II, halaman 155

[79] Hadist no. 8-11, Ibid, Juz I, halaman 149

[80] Al-Ghozali, Ihya’ Ulumuddin, Juz II, halaman 29

[81] Tim Dosen FIP- IKIP Malang, Ibid , halaman 8

[82] Fathiyah Hasan Sulaiman, Ibid, halaman 42

[83] Abdulloh Nashih Ulwan, Tarbiyatul aulad fiilislam, halaman 71

[84] والقزع الذى يشمله النهى أربعة أنواع :أحدهما : أن يحلق من رأسه مواضع من هنا وههنا. الثانى : أن يحلق وسطه ويترك جوانبه.الثالث : أن يحلق جوانبه ويترك وسطه.الرابع : أن يحلق مقدمه ويترك مؤخره

عبد الله علوان. تربية الأولاد فى الإسلام. ص: 71-78

[85] Abdulloh Nashih Ulwan, Op.cit, १५७









bersambung

Read More.. Read more...

My Famly

About This Blog

My Activity

Blog Archive

  © Blogger template The Professional Template II by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP