Photobucket

Bank data artikel 11

الأربعاء، ٤ جمادى الأولى ١٤٣٠ هـ

01. NABI MUHAMMAD (570 SM - 632 SM)
Michael H. Hart
 
Jatuhnya pilihan saya  kepada  Nabi  Muhammad  dalam  urutan
pertama  daftar  Seratus  Tokoh  yang  berpengaruh  di dunia
mungkin mengejutkan sementara pembaca dan mungkin jadi tanda
tanya sebagian yang lain. Tapi saya berpegang pada keyakinan
saya,  dialah  Nabi  Muhammad  satu-satunya  manusia   dalam
sejarah  yang  berhasil meraih sukses-sukses luar biasa baik
ditilik dari ukuran agama maupun ruang lingkup duniawi.
 
Berasal-usul dari keluarga  sederhana,  Muhammad  menegakkan
dan  menyebarkan  salah  satu  dari agama terbesar di dunia,
Agama Islam. Dan pada saat  yang  bersamaan  tampil  sebagai
seorang  pemimpin  tangguh,  tulen,  dan  efektif. Kini tiga
belas abad sesudah wafatnya, pengaruhnya  masih  tetap  kuat
dan mendalam serta berakar.
 
Sebagian besar dari orang-orang yang tercantum di dalam buku
ini merupakan makhluk beruntung karena lahir dan  dibesarkan
di  pusat-pusat  peradaban  manusia,  berkultur  tinggi  dan
tempat perputaran politik bangsa-bangsa. Muhammad lahir pada
tahun  570 M, di kota Mekkah, di bagian agak selatan Jazirah
Arabia, suatu tempat yang waktu itu  merupakan  daerah  yang
paling  terbelakang  di  dunia, jauh dari pusat perdagangan,
seni maupun ilmu pengetahuan. Menjadi  yatim-piatu  di  umur
enam  tahun, dibesarkan dalam situasi sekitar yang sederhana
dan  rendah  hati.  Sumber-sumber  Islam  menyebutkan  bahwa
Muhamnmad  seorang buta huruf. Keadaan ekonominya baru mulai
membaik di umur dua  puluh  lima  tahun  tatkala  dia  kawin
dengan  seorang janda berada. Bagaimanapun, sampai mendekati
umur  empat  puluh  tahun   nyaris   tak   tampak   petunjuk
keluarbiasaannya sebagai manusia.
 
Umumnya,  bangsa  Arab  saat  itu tak memeluk agama tertentu
kecuali penyembah berhala Di kota Mekkah ada sejumlah  kecil
pemeluk-pemeluk   Agama   Yahudi   dan  Nasrani,  dan  besar
kemungkinan  dari  merekalah  Muhammad  untuk  pertama  kali
mendengar  perihal  adanya  satu  Tuhan Yang Mahakuasa, yang
mengatur  seantero  alam.  Tatkala  dia  berusia  empatpuluh
tahun,   Muhammad  yakin  bahwa  Tuhan  Yang  Maha  Esa  ini
menyampaikan sesuatu kepadanya  dan  memilihnya  untuk  jadi
penyebar kepercayaan yang benar.
 
Selama  tiga  tahun  Muhammad  hanya menyebar agama terbatas
pada kawan-kawan dekat dan kerabatnya. Baru tatkala memasuki
tahun  613  dia  mulai  tampil  di  depan publik. Begitu dia
sedikit  demi  sedikit  punya  pengikut,   penguasa   Mekkah
memandangnya  sebagai  orang  berbahaya,  pembikin  onar. Di
tahun 622, cemas terhadap keselamatannya, Muhammad hijrah ke
Madinah,  kota di utara Mekkah berjarak 200 mil. Di kota itu
dia ditawari posisi kekuasaan politik yang cukup meyakinkan.
 
Peristiwa hijrah ini  merupakan  titik  balik  penting  bagi
kehidupan  Nabi.  Di  Mekkah  dia  susah memperoleh sejumlah
kecil pengikut, dan di Medinah pengikutnya  makin  bertambah
sehingga  dalam  tempo  cepat  dia dapat memperoleh pengaruh
yang   menjadikannya   seorang   pemegang   kekuasaan   yang
sesungguhnya. Pada tahun-tahun berikutnya sementara pengikut
Muhammad bertumbuhan  bagai  jamur,  serentetan  pertempuran
pecah  antara  Mektah  dan  Madinah. Peperangan ini berakhir
tahun 630 dengan kemenangan pada pihak Muhammad, kembali  ke
Mekkah   selaku  penakluk.  Sisa  dua  setengah  tahun  dari
hidupnya  dia  menyaksikan  kemajuan  luar-biasa  dalam  hal
cepatnya  suku-suku  Arab  memeluk  Agama Islam. Dan tatkala
Muhammad wafat  tahun  632,  dia  sudah  memastikan  dirinya
selaku  penguasa  efektif  seantero  Jazirah  Arabia  bagian
selatan.
 
Suku   Bedewi   punya    tradisi    turun-temurun    sebagai
prajurit-prajurit  yang  tangguh  dan  berani.  Tapi, jumlah
mereka tidaklah banyak dan senantiasa tergoda perpecahan dan
saling  melabrak  satu  sama lain. Itu sebabnya mereka tidak
bisa mengungguli tentara dari kerajaan-kerajaan  yang  mapan
di  daerah  pertanian  di  belahan  utara. Tapi, Muhammadlah
orang  pertama   dalam   sejarah,   berkat   dorongan   kuat
kepercayaan  kepada  keesaan  Tuhan, pasukan Arab yang kecil
itu   sanggup   melakukan   serentetan    penaklukan    yang
mencengangkan  dalam  sejarah  manusia. Di sebelah timurlaut
Arab berdiri Kekaisaran Persia Baru Sassanids yang luas.  Di
baratlaut  Arabia  berdiri  Byzantine atau Kekaisaran Romawi
Timur dengan Konstantinopel sebagai pusatnya.
 
Ditilik dari sudut jumlah dan ukuran, jelas Arab tidak bakal
mampu  menghadapinya.  Namun,  di medan pertempuran, pasukan
Arab yang membara  semangatnya  dengan  sapuan  kilat  dapat
menaklukkan  Mesopotamia,  Siria,  dan Palestina. Pada tahun
642 Mesir direbut dari genggaman Kekaisaran  Byzantine,  dan
sementara  itu  balatentara Persia dihajar dalam pertempuran
yang amat menentukan di Qadisiya tahun 637 dan  di  Nehavend
tahun 642.
 
Tapi,  penaklukan  besar-besaran --di bawah pimpinan sahabat
Nabi dan penggantinya Abu Bakr dan Umar ibn al-Khattab-- itu
tidak  menunjukkan  tanda-tanda  stop  sampai  di situ. Pada
tahun 711, pasukan Arab telah  menyapu  habis  Afrika  Utara
hingga  ke tepi Samudera Atlantik. Dari situ mereka membelok
ke utara  dan  menyeberangi  Selat  Gibraltar  dan  melabrak
kerajaan Visigothic di Spanyol.
 
Sepintas  lalu  orang  mesti  mengira  pasukan  Muslim  akan
membabat habis semua Nasrani Eropa.  Tapi  pada  tahun  732,
dalam  pertempuran  yang  masyhur dan dahsyat di Tours, satu
pasukan Muslimin yang telah maju ke  pusat  negeri  Perancis
pada   akhirnya  dipukul  oleh  orang-orang  Frank.  Biarpun
begitu,  hanya  dalam  tempo   secuwil   abad   pertempuran,
orang-orang Bedewi  ini -dijiwai  dengan  ucapan-ucapan Nabi
Muhammad- telah mendirikan sebuah empirium  membentang  dari
perbatasan  India  hingga  pasir  putih tepi pantai Samudera
Atlantik,  sebuah  empirium  terbesar  yang  pernah  dikenal
sejarah  manusia.  Dan di mana pun penaklukan dilakukan oleh
pasukan Muslim, selalu disusul dengan  berbondong-bondongnya
pemeluk masuk Agama Islam.
 
Ternyata,   tidak  semua  penaklukan  wilayah  itu  bersifat
permanen.  Orang-orang Persia, walaupun masih tetap penganut
setia  Agama  Islam,  merebut  kembali  kemerdekaannya  dari
tangan Arab. Dan  di  Spanyol,  sesudah  melalui  peperangan
tujuh  abad  lamanya akhirnya berhasil dikuasai kembali oleh
orang-orang Nasrani. Sementara itu,  Mesopotamia  dan  Mesir
dua  tempat  kelahiran  kebudayaan  purba,  tetap  berada di
tangan Arab seperti halnya  seantero  pantai  utara  Afrika.
Agama  Islam,  tentu  saja, menyebar terus dari satu abad ke
abad lain, jauh  melangkah  dari  daerah  taklukan.  Umumnya
jutaan  penganut  Islam  bertebaran  di Afrika, Asia Tengah,
lebih-lebih  Pakistan  dan   India   sebelah   utara   serta
Indonesia. Di Indonesia, Agama Islam yang baru itu merupakan
faktor pemersatu. Di anak benua India, nyaris  kebalikannya:
adanya   agama  baru  itu  menjadi  sebab  utama  terjadinya
perpecahan.
 
Apakah pengaruh Nabi Muhammad yang paling mendasar  terhadap
sejarah  ummat manusia? Seperti halnya lain-lain agama juga,
Islam punya  pengaruh  luar  biasa  besarnya  terhadap  para
penganutnya.  Itu  sebabnya  mengapa penyebar-penyebar agama
besar di dunia semua  dapat  tempat  dalam  buku  ini.  Jika
diukur dari jumlah, banyaknya pemeluk Agama Nasrani dua kali
lipat besarnya dari pemeluk Agama Islam,  dengan  sendirinya
timbul  tanda  tanya  apa  alasan  menempatkan  urutan  Nabi
Muhammad lebih tinggi dari Nabi Isa dalam  daftar.  Ada  dua
alasan  pokok  yang  jadi  pegangan  saya. Pertama, Muhammad
memainkan peranan  jauh  lebih  penting  dalam  pengembangan
Islam  ketimbang  peranan  Nabi  Isa terhadap Agama Nasrani.
Biarpun Nabi Isa bertanggung  jawab  terhadap  ajaran-ajaran
pokok moral dan etika Kristen (sampai batas tertentu berbeda
dengan Yudaisme), St. Paul merupakan  tokoh  penyebar  utama
teologi  Kristen,  tokoh  penyebarnya,  dan  penulis  bagian
terbesar dari Perjanjian Lama.
 
Sebaliknya Muhammad bukan saja  bertanggung  jawab  terhadap
teologi Islam tapi sekaligus juga terhadap pokok-pokok etika
dan  moralnya.  Tambahan  pula  dia  "pencatat"  Kitab  Suci
Al-Quran,  kumpulan  wahyu  kepada Muhammad yang diyakininya
berasal langsung dari Allah. Sebagian  terbesar  dari  wahyu
ini  disalin  dengan penuh kesungguhan selama Muhammad masih
hidup  dan  kemudian  dihimpun   dalam   bentuk   yang   tak
tergoyangkan  tak  lama  sesudah  dia wafat. Al-Quran dengan
demikian berkaitan erat dengan pandangan-pandangan  Muhammad
serta  ajaran-ajarannya  karena  dia  bersandar  pada  wahyu
Tuhan. Sebaliknya, tak ada satu  pun  kumpulan  yang  begitu
terperinci  dari ajaran-ajaran Isa yang masih dapat dijumpai
di masa sekarang. Karena Al-Quran bagi kaum Muslimin sedikit
banyak  sama  pentingnya  dengan  Injil  bagi  kaum Nasrani,
pengaruh Muhammad  dengan  perantaraan  Al-Quran  teramatlah
besarnya.  Kemungkinan  pengaruh  Muhammad dalam Islam lebih
besar dari pengaruh Isa dan St.  Paul  dalam  dunia  Kristen
digabung  jadi  satu.  Diukur  dari semata mata sudut agama,
tampaknya pengaruh Muhammad setara dengan Isa dalam  sejarah
kemanusiaan.
 
Lebih  jauh  dari  itu  (berbeda  dengan Isa) Muhammad bukan
semata pemimpin agama  tapi  juga  pemimpin  duniawi.  Fakta
menunjukkan,   selaku   kekuatan  pendorong  terhadap  gerak
penaklukan yang dilakukan bangsa Arab, pengaruh kepemimpinan
politiknya berada dalam posisi terdepan sepanjang waktu.
 
Dari pelbagai peristiwa sejarah, orang bisa saja berkata hal
itu bisa terjadi tanpa kepemimpinan  khusus  dari  seseorang
yang  mengepalai  mereka. Misalnya, koloni-koloni di Amerika
Selatan mungkin saja bisa membebaskan diri dari kolonialisme
Spanyol  walau  Simon Bolivar tak pernah ada di dunia. Tapi,
misal ini tidak berlaku pada gerak penaklukan yang dilakukan
bangsa  Arab.  Tak  ada kejadian serupa sebelum Muhammad dan
tak  ada  alasan  untuk  menyangkal  bahwa  penaklukan  bisa
terjadi  dan berhasil tanpa Muhammad. Satu-satunya kemiripan
dalam hal penaklukan dalam sejarah  manusia  di  abad  ke-13
yang   sebagian   terpokok   berkat  pengaruh  Jengis  Khan.
Penaklukan ini, walau lebih luas jangkauannya ketimbang  apa
yang   dilakukan  bangsa  Arab,  tidaklah  bisa  membuktikan
kemapanan, dan kini satu-satunya daerah yang  diduduki  oleh
bangsa Mongol hanyalah wilayah yang sama dengan sebelum masa
Jengis Khan
 
Ini jelas menunjukkan  beda  besar  dengan  penaklukan  yang
dilakukan  oleh  bangsa  Arab.  Membentang  dari Irak hingga
Maroko, terbentang rantai bangsa Arab  yang  bersatu,  bukan
semata  berkat  anutan  Agama  Islam  tapi juga dari jurusan
bahasa  Arabnya,  sejarah  dan  kebudayaan.  Posisi  sentral
Al-Quran  di  kalangan  kaum  Muslimin dan tertulisnya dalam
bahasa  Arab,  besar  kemungkinan  merupakan  sebab  mengapa
bahasa Arab tidak terpecah-pecah ke dalam dialek-dialek yang
berantarakan. Jika tidak, boleh jadi sudah akan  terjadi  di
abad  ke  l3. Perbedaan dan pembagian Arab ke dalam beberapa
negara  tentu  terjadi  -tentu  saja-  dan  nyatanya  memang
begitu,  tapi perpecahan yang bersifat sebagian-sebagian itu
jangan lantas membuat kita alpa bahwa persatuan mereka masih
berwujud. Tapi, baik Iran maupun Indonesia yang kedua-duanya
negeri berpenduduk Muslimin dan keduanya  penghasil  minyak,
tidak  ikut  bergabung dalam sikap embargo minyak pada musim
dingin  tahun  1973  -  1974.  Sebaliknya  bukanlah   barang
kebetulan  jika  semua negara Arab, semata-mata negara Arab,
yang mengambil langkah embargo minyak.
 
Jadi, dapatlah  kita  saksikan,  penaklukan  yang  dilakukan
bangsa  Arab  di  abad  ke-7 terus memainkan peranan penting
dalam sejarah ummat  manusia  hingga  saat  ini.  Dari  segi
inilah  saya  menilai  adanya  kombinasi  tak  terbandingkan
antara  segi  agama  dan  segi  duniawi  yang  melekat  pada
pengaruh  diri  Muhammad  sehingga  saya menganggap Muhammad
dalam arti pribadi adalah manusia  yang  paling  berpengaruh
dalam sejarah manusia.
 
---------------------------------------------------
Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah
Michael H. Hart, 1978
Terjemahan H. Mahbub Djunaidi, 1982
PT. Dunia Pustaka Jaya
Jln. Kramat II, No. 31A

Jakarta Pusat

Pertimbangan Kemaslahatan Dalam Menangkap Makna dan Semangat Ketentuan Keagamaan: Kasus Ijtihad 'Umar Ibn Al-Khattab (1/4)

Berkaitan erat dengan pokok pembahasan tentang reaktualisasi ajaran-ajaran agama yang dibawakan oleh Bapak Munawir Syadzali ialah persoalan pertimbangan kemaslahatan atau kepentingan umum dalam usaha menangkap makna dan semangat berbagai ketentuan keagamaan. Pertimbangan itu terlebih lagi berlaku berkenaan dengan ketentuan agama yang tercakup dalam pengertian istilah "syari'at" sebagai hal yang mengarah kepada sistem hukum dalam masyarakat.

Dalam teori-teori dan metode baku pemahaman agama, hal tersebut dituangkan dalam konsep-konsep tentang istihsan (mencari kebaikan), istislah (mencari kemaslahatan), dalam hal ini kebaikan atau kemaslahatan umum (al-maslahat al-'ammah, al-maslahat al-mursalah) disebut juga sebagai keperluan atas kepentingan umum (umum al-balwa).

Contoh klasik untuk tindakan mempertimbangkan kepentingan umum dalam menangkap makna semangat agama itu ialah yang dilakukan oleh Khalifah II, 'Umar ibn al-Khattab r.a., berkenaan dengan masalah tanah-tanah pertanian berserta garapan-garapannya yang baru dibebaskan oleh tentara Muslim di negeri Syam (Syria Raya, meliputi keseluruhan kawasan pantai timur Laut Tengah), Irak, Persia dan Mesir.

Pendirian 'Umar untuk mendahulukan pertimbangan tentang kepentingan umum yang menyeluruh, baik secara ruang (meliputi semua orang di semua tempat) maupun waktu (mencakup generasi sekarang dan masa datang) mula-mula mendapat tantangan hebat dari para sahabat Nabi, dipelopori antara lain oleh 'Abd al-Rahman ibn Awf dan Bilal (bekas muazin yang sangat disayangi Nabi). Mereka ini berpegang teguh kepada beberapa ketentuan (lahir) di beberapa tempat dalam al-Qur'an dan dalam Sunnah atau praktek Nabi pada peristiwa pembebasan Khaybar (sebuah kota oase beberapa ratus kilometer utara Madinah), dari sekelompok orang Yahudi yang berkhianat. Tetapi, sebaliknya, sejak dari semula para sahabat Nabi yang lain, termasuk tokoh-tokoh seperti 'Utsman ibn 'Affan dan 'Ali ibn Abi Talib (kedua-duanya kelak menjadi Khalifah, berturut-turut yang ketiga dan keempat), sepenuhnya menyetujui pendapat 'Umar dan sepenuhnya mendukung pelaksanaannya.

Pertikaian pendapat itu berlangsung panas selama berhari-hari di Madinah, sampai akhirnya dimenangkan oleh 'Umar dan kawan-kawan dengan argumen-argumen yang tepat, juga berdasarkan ketentuan-ketentuan Kitab Suci al-Qur' an.

Dalam banyak hal 'Umar memang dikenal sebagai tokoh yang sangat bijaksana dan kreatif, bahkan jenius, tetapi juga penuh kontroversi. Tidak semua orang setuju dengan 'Umar, dari dahulu sampai sekarang. Kaum Syi'ah, misalnya, menolak keras ketokohan 'Umar, khususnya kalangan ekstrim (al-ghulat) dari mereka. Yang moderat pun masih melihat pada 'Umar hal-hal yang "menyimpang" dari agama. Atau, seperti dikatakan oleh seorang tokoh 'ulama Syi'ah, Muhammad al-Husayn Al Kashif al-Ghita', banyak tindakan 'Umar, seperti dalam kasus ia melarang nikah mut'ah, adalah semata-mata tindakan sosial-politik, yang tidak ada sangkut pautnya dengan bukan keagamaan (madaniyyan la diniyyan).[1]

Untuk memperoleh gambaran yang hidup dan langsung tentang ijtihad 'Umar dan kemelut yang ditimbulkannya di Madinah selama berhari-hari itu, di bawah ini disajikan terjemahan dari dua penuturan oleh dua orang ahli. Tanpa membuat teori yang abstrak, dari kedua penuturan itu dapat kita tarik inspirasi untuk melihat dan memecahkan berbagai masalah kita sendiri sekarang, sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu, sama dengan tantangan yang dihadapi dan diselesaikan oleh 'Umar.

Yang pertama dari kedua penuturan itu berjudul Dari Celah Fiqh 'Umar di Bidang Ekonomi dan Keuangan, oleh: al-Ustadh al-Bahi al-Khuli,[2] sebagai berikut:

Berita-berita telah sampai kepada 'Umar r.a. dengan membawa kabar gembira tentang telah terbebaskannya Syam, Irak dan negeri Khusru (Persia), dan ia mendapati dirinya berhadapan dengan persoalan ekonomi yang rumit ... Harta benda musuh, yang terdiri dari emas, perak, kuda dan ternak telah jatuh sebagai harta rampasan perang (ghanimah) di tangan bala tentara yang menang dengan pertolongan Allah ... Dan tanah-tanah pertanian mereka pun termasuk dalam penguasaan tentara itu.

Berkenaan dengan harta (yang bergerak) maka 'Umar telah melaksanakan hukum Allah mengenainya. Dia ambil seperlimanya, dan membagi-bagikan empat perlima lainnya kepada masing-masing anggota tentara sebagai pelaksanaan firman Allah Ta'ala, "Dan ketahuilah olehmu sekalian bahwa apa pun yang kamu peroleh sebagai rampasan perang dari sesuatu (harta kekayaan) itu maka seperlimanya adalah untuk Allah dan untuk Rasul, kaum kerabat (dari Nabi), anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibn al-sabil (orang terlantar di perjalanan), jika kamu sekalian benar-benar beriman kepada Allah dan kepada apa yang telah Kami turunkan (al-Qur'an) atas hamba Kami (Muhammad) pada hari penentuan, yaitu hari ketika kedua golongan manusia (Muslim dan Musyrik) bertemu (dalam peperangan, yakni, Perang Badar). Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."[3]

Tetapi berkenaan dengan tanah-tanah pertanian itu, 'Umar berpendapat lain... Pendiriannya ialah bahwa tanah-tanah itu harus disita, dan tidak dibagi-bagikan, lalu dibiarkan seolah-olah tanah-tanah itu kepunyaan negara di tangan para pemilik (aslinya setempat) yang lama, kemudian mereka ini dikenakan pajak (kharaj), dan hasil pajak itu dibagi-bagikan kepada keseluruhan orang-orang Muslim setelah disisihkan daripada gaji tentara yang ditempatkan di pos-pos pertahanan (al-thughur, seperti Basrah dan Kufah di Irak) dan negeri-negeri yang terbebaskan.

Tetapi kebanyakan para sahabat menolak kecuali jika tanah-tanah itu dibagikan di antara mereka karena tanah-tanah itu adalah harta-kekayaan yang dikaruniakan Allah sebagai rampasan (fay') kepada mereka.

Adapun titik pandangan 'Umar ialah bahwa negeri-negeri yang dibebaskan itu memerlukan tentara pendudukan yang tinggal di sana, dan tentara itu tentulah memerlukan ongkos. Maka jika tanah-tanah pertanian itu habis dibagi-bagi, lalu bagaimana tentara pendudukan itu mendapatkan logistik mereka?' ... Demikian itu, ditambah lagi bahwa Allah tidak menghendaki harta kekayaan hanya berkisar atau menjadi sumber rejeki kaum kaya saja. Jika habis dibagi-bagi tanah-tanah pertanian yang luas di Syam, Mesir, Irak dan Persia kepada beberapa ribu sahabat, maka menumpuklah kekayaan di tangan mereka, dan tidak lagi tersisa sesuatu apa pun untuk mereka yang masuk Islam kelak kemudian hari sesudah itu. Sehingga terjadilah adanya kekayaan yang melimpah di satu pihak, dan kebutuhan (kemiskinan) yang mendesak di pihak lain ... Itulah keadaan yang hati nurani 'Umar tidak bisa menerimanya.

Tetapi dalil dari Kitab dan Sunnah berada di pihak mereka yang menentang pendapat 'Umar, yang terdiri dari mereka yang menghendaki kekayaan yang memang halal dan telah dikaruniakan Tuhan kepada mereka itu.

Mereka ini mengajukan argumen kepadanya bahwa harta kekayaan itu adalah fay' (jenis harta yang diperoleh dari peperangan), dan tanah rampasan serupa itu telah pernah dibagi-bagikan Rasul 'alayhi al-salam sebelumnya, dan beliau (Rasul) tidak pernah melakukan sesuatu seperti yang ingin dilakukan 'Umar. Terutama Bilal r.a. sangat keras terhadap 'Umar, dan mempelopori gerakan oposisi sehingga menyesakkan dada 'Umar dan menyusahkannya, sehingga karena susah dan sedihnya itu 'Umar mengangkat kedua tangannya kepada Tuhan dan berseru, "Oh Tuhan, lindungilah aku dari Bilal dan kawan-kawan." Akhirnya memang Tuhan melindunginya dari Bilal dan kawan-kawan dengan paham keagamaannya yang mendalam, yang meneranginya dengan suatu cahaya dari celah baris-baris dalam Kitab Suci, dan dengan argumen yang unggul, yang semua golongan tunduk kepada kekuatannya.

Begitulah 'Umar yang suatu saat berkata kepada sahabat-sahabatnya yang hadir bahwa Sa'd ibn Abi Waqqas menulis surat kepadanya dari Irak bahwa masyarakat (tentara Muslim) yang ada bersama dia telah memintanya untuk membagi-bagi harta rampasan di antara mereka dan tanah-tanah pertanian yang dikaruniakan Allah kepada mereka sebagai rampasan juga. (Kemudian terjadi dialog berikut):

Sekelompok dari mereka berkata: "Tulis surat kepadanya dan hendaknya ia membagi-bagikan tanah itu antara mereka."

'Umar: "Lalu bagaimana dengan orang-orang Muslim yang datang kemudian sesudah itu, yang akan mendapati tanah-tanah telah habis terbagi-bagikan, terwariskan dari orang-orang tua serta telah terkuasai?... Ini bukanlah pendapat yang benar."

'Abd al-Rahman ibn 'Awf: "Lalu apa pendapat yang benar?... Tanah-tanah itu tidak lain daripada sesuatu yang dikaruniakan Tuhan kepada mereka sebagai rampasan!" 'Umar: "Memang seperti yang kau katakan ... Tapi aku tidak melihatnya begitu ... Demi Tuhan, tiada lagi suatu negeri akan dibebaskan sesudahku melainkan mungkin akan menjadi beban atas orang-orang Muslim ... Jika tanah-tanah pertanian di Irak dan Syam dibagi-bagikan, maka dengan apa biaya pos-pos pertahanan ditutup, dan apa yang tersisa bagi anak turun dan para janda di negeri ini dan di tempat lain dari kalangan penduduk Syam dan Irak?"

Orang banyak: "Bagaimana mungkin sesuatu yang dikaruniakan Tuhan kepada kami sebagai harta rampasan dengan perantaraan pedang-pedang kami akan engkau serahkan kepada kaum yang belum ada dan belum bersaksi, serta kepada anak-cucu mereka turun-temurun yang belum ada?"

'Umar (dalam keadaan bingung dan termangu): "Ini adalah suatu pendapat."

Orang banyak: "Bermusyawarahlah"

Maka 'Umar pun bermusyawarah dengan kaum Muhajirin yang terkemuka, yang memiliki kepeloporan dan keperintisan yang mendalam dalam Islam:

'Abd al-Rahman ibn 'Awf: "Aku berpendapat hendaknya kau bagi-bagikan kepada mereka itu hak-hak mereka."

'Ali ibn Abi Talib: "Tapi pendapat yang benar ialah pendapatmu, wahai Amir al-Mu'minin!"

Al-Zubayr ibn al-'Awwam: "Tidak! Sebaliknya, apa yang dikaruniakan Tuhan kepada kita sebagai rampasan dengan pedang kita itu harus dibagi-bagi."

'Utsman ibn 'Affan: "Pendapat yang benar ialah yang dikemukakan 'Umar."

Bilal: "Tidak! Demi Tuhan, sebaliknya kita harus melaksanakan hukum Tuhan terhadap harta yang dikaruniakan sebagai rampasan kepada hamba-hambaNya yang beriman."

Talhah: "Aku berpendapat bahwa yang benar ialah yang dianut 'Umar."

Al-Zubayr: "Ke mana kalian, wahai kaum, hendak pergi dari Kitab Allah?"

'Abd Allah ibn 'Umar: "Teruskan, wahai Amir al-Mu'minin, dengan pendapatmu itu. Sebab aku harap bahwa di situ ada kebaikan bagi umat ini."

Bilal (berteriak dan marah): "Demi Tuhan, tidak berlaku di umat ini kecuali apa yang telah ditentukan Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya s.a.w."

'Umar (dalam keadaan sesak dada dan sedih): "Oh Tuhan, lindungilah aku dari Bilal dan kawan-kawan."

Pertimbangan Kemaslahatan Dalam Menangkap Makna dan Semangat Ketentuan Keagamaan: Kasus Ijtihad 'Umar Ibn Al-Khattab (2/4)

Pertengkaran itu memuncak selama tiga hari, dan kegaduhan orang banyak sekitar masalah itu pun menjadi-jadi. 'Umar berpikir untuk memperluas musyawarahnya keluar kalangan Muhajirin sehingga mencakup para pemuka Ansar (Ansar), dan dipanggillah oleh Umar sepuluh orang dari mereka, lima orang dari suku al-Aws dan lima orang dari suku al-Khazraj, kemudian ia berpidato di depan mereka dengan pernyataan yang indah dan bijaksana ini: ('Umar membaca hamdalah dan memuji Tuhan sesuai dengan yang patut bagi-Nya, kemudian berkata),

"Aku tidak bermaksud mengejutkan kalian kecuali hendaknya kalian menyertaiku dalam amanat mengenai urusan kalian yang dibebankan kepadaku. Sebab aku hanyalah salah seorang saja dari antara kalian ... Dan kalian hari ini hendaknya membuat keputusan dengan benar-siapa saja yang hendak berbeda pendapat denganku, silakan ia berbeda, dan siapa saja yang hendak bersepakat denganku, silakan ia bersepakat ... Aku tidaklah ingin kalian mengikuti begitu saja hal yang menjadi kecenderunganku ini ... Di tangan kalian ada Kitab Allah yang menyatakan kebenaran ... Dan demi Tuhan, kalau aku pernah menyatakan suatu perkara yang kuinginkan, aku tidak menginginkannya kecuali kebenaran."

Kaum Ansar: "Bicaralah, dan kami semua akan mendengarkan, wahai Amir al-Mu'minin."

'Umar: "Kalian telah mendengar pembicaraan mereka, kelompok yang menuduhku berbuat zalim berkenaan dengan hak-hak mereka. Aku benar-benar berlindung kepada Allah dari melakukan kezaliman ... Jika aku telah berbuat zalim kepada mereka berkenaan dengan sesuatu yang menjadi milik mereka dan aku memberikannya kepada orang lain, maka benar-benar telah celakalah diriku ... Tetapi aku melihat bahwa tidak ada lagi sesuatu (negeri) yang dibebaskan sesudah negeri Khusru (Persia), dan Allah pun telah merampas untuk kita harta kekayaan mereka dan tanah-tanah pertanian mereka. Maka aku bagi-bagikanlah semua kekayaan (yang bergerak) kepada mereka yang berhak, kemudian aku ambil seperlimanya, dan aku atur menurut aturan tertentu, dan aku sepenuhnya bertanggungjawab atas pengaturan itu ... Tetapi aku berpendapat untuk menguasai tanah-tanah pertanian dan aku kenakan pajak atas para penggarapnya, dan mereka berkewajiban membayar jizyah sebagai fay' untuk orang-orang Muslim, untuk tentara yang berperang serta anak turun mereka, dan untuk generasi yang datang kemudian ... Tahukah kalian pos-pos pertahanan itu? Di sana harus ada orang-orang yang tinggal menetap. Tahukah kalian, negeri-negeri besar seperti Syam, al-Jazirah (Lembah Mesopotamia), Kufah, Basrah dan Mesir? Semuanya itu harus diisi dengan tentara dan disediakan perbekalan untuk mereka. Dari mana mereka mendapat perbekalan itu jika semua tanah pertanian telah habis dibagi-bagi?"

Semua yang hadir: "Pendapat yang benar ialah pendapatmu. Alangkah baiknya apa yang kau katakan dan lihat itu. Jika pos-pos pertahanan dan kota-kota itu tidak diisi dengan personil-personil, serta disediakan bagi mereka perbekalan mereka, maka tentulah kaum kafir akan kembali ke kota-kota mereka."

Kemudian terlintas dalam benak 'Umar suatu cahaya seperti biasanya jika kebenaran datang ke lisan dan hatinya, lalu berkata:

"Sungguh telah kudapatkan argumen dalam Kitab Allah,

'Sesuatu apa pun yang dikaruniakan Allah sebagai harta rampasan untuk Rasul-Nya dari penduduk negeri-negeri (yang dibebaskan) adalah milik Allah, Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang terlantar dalam perjalanan, agar supaya tidak berkisar diantara orang-orang kaya saja dari kamu. Maka apa pun yang diberikan Rasul kepadamu sekalian hendaklah kamu ambil, dan apa pun yang Rasul melarangnya untuk kamu hendaklah kamu hentikan. Dan bertaqwalah kamu sekalian kepada Allah, sesungguhnya Allah itu keras dalam siksaan.'"

"Selanjutnya," kata 'Umar, "Allah berfirman,

'Dan bagi orang-orang miskin dari kalangan Muhajirin yang diusir dari rumah-rumah dan harta kekayaan mereka, guna mencari kemurahan Allah dan Ridla-Nya, serta membantu Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.'"

"Kemudian," kata 'Umar lagi, "Allah tidak rela sebelum Dia mengikutsertakan orang-orang lain dan berfirman,

'Dan mereka (kaum Ansar) yang telah bertempattinggal di negeri (Madinah) serta beriman sebelum (datang) mereka (kaum Muhajirin); mereka itu mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka, dan tidak mendapati dalam dada mereka keinginan terhadap apa yang diberikan kepada orang-orang yang berhijrah itu, bahkan mereka lebih mementingkan orang-orang yang berhijrah itu daripada diri mereka sendiri meskipun kesusahan ada pada mereka. Barangsiapa yang terhindar dari kekikiran dirinya sendiri, maka mereka itulah orang-orang yang bahagia.'"

"Firman ini," jelas 'Umar, adalah khusus tentang kaum Ansar. Kemudian Allah tidak rela sebelum menyertakan bersama mereka itu orang-orang lain (dari generasi mendatang), dan berfirman,

'Dan orang-orang yang muncul sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar) itu semuanya berdo'a: 'Oh Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dalam beriman, dan janganlah ditumbuhkan dalam hati kami perasaan dengki kepada sekalian mereka yang beriman itu. Oh Tuhan, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun dan Maha Penyayang.'"[4]

"Ayat ini," kata 'Umar, "secara umum berlaku untuk semua orang yang muncul sesudah mereka (kaum Muhajirin dan Ansar) itu, sehingga harta rampasan (fay') adalah untuk mereka semua. Maka bagaimana mungkin kita akan membagi-baginya untuk mereka (tentara yang berperang saja), dan kita tinggalkan mereka yang datang belakangan tanpa bagian? Kini menjadi jelas bagiku perkara yang sebenarnya." (Demikian 'Umar).

Para pembahas dapat menarik kesimpulan dari pendirian 'Umar itu tentang banyak hukum sosial dan ekonomi. Di situ kita dapat melihat 'Umar sangat cermat memperhatikan agar harta kekayaan tidak menumpuk hanya di tangan sekelompok orang-orang kaya saja. Sebab penyerahan pemilikan atas berpuluh-puluh juta hektar tanah pertanian di Irak, Syam, Persia dan Mesir kepada sekelompok tentara dan bawahannya akan membentuk sejumlah orang kaya yang pada mereka terdapat harta benda melimpah ruah, dengan peredarannya pun terpusat kepada mereka saja. Hal itu akan membawa dampak sosial dan moral yang akibatnya tidak terpuji.

Di dalamnya kita melihat 'Umar memandang harta sebagai hak semua orang dan menempuh kebijaksanaan yang memperhitungkan kemaslahatan generasi mendatang. Itu adalah pandangan yang cermat dan mendalam, yang dalam al-Qur'an diketemukan sandaran yang sangat kuat.

Di dalamnya juga terdapat tindakan sejenis nasionalisasi tanah-tanah pertanian atau yang mendekati itu, yaitu ketika ia mencegah sekelompok orang-orang Muslim sezamannya dari menguasai tanah-tanah yang dikaruniakan Tuhan sebagai harta rampasan (fay'), dan ia tidak bergeser dari pendapatnya untuk menjadikan tanah-tanah itu milik negara, yang dari hasil pajaknya ia membuat anggaran untuk tentara, dan dengan hasil itu pula ia menanggulangi kesulitan-kesulitan di masa depan.

Di dalamnya juga terdapat banyak hal yang lain, berupa pandangan-pandangan finansial dan ekonomi yang menunjukkan luasnya ufuk dan keluwesan pemikiran serta daya cakup Islam yang hanif (secara alami selalu mencari yang benar dan baik) terhadap masalah-masalah yang pelik ... Semoga Allah memberi kita petunjuk untuk menggali dari agama kita berbagai kekayaan, hal-hal mendasar dan hakiki.

Penuturan kedua berjudul "Bagaimana Para Sahabat Nabi Menggunakan Akal Mereka untuk Memahami al-Qur'an", oleh: Dr Ma'ruf al-Dawalibi:[5]

Barangkali dari antara banyak masalah ijtihad dan kejadian yang mucul di zaman para sahabat setelah wafat Nabi, yang paling menonjol ialah masalah pembagian tanah-tanah (pertanian) yang telah dibebaskan oleh tentara (Islam) melalui peperangan di Irak, Syam (Syria) dan Mesir.

Telah terdapat nas al-Qur'an yang menyebutk.an dengan jelas tanpa kesamaran sedikit pun di dalamnya bahwa seperlima harta rampasan (perang) harus dimasukkan ke bayt al-mal, dan harus diperlakukan sesuai dengan pengarahan yang ditentukan oleh ayat suci. Allah telah berfirman dalam Surah al-Anfal, "Dan ketahuilah olehmu sekalian bahwa apa pun yang kamu rampas (dalam perang) dari sesuatu (harta) maka seperlimanya adalah untuk Allah, Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang yang terlantar dalam perjalanan (ibn al-sabil)."[6]

Sedangkan yang empat perlima selebihnya maka dibagi sama antara mereka yang merampas (dalam perang) itu, sebagai pengamalan ketentuan yang bisa dipahami dari ayat suci tersebut dan praktek Nabi s.a.w. ketika beliau membagi (tanah pertanian) Khaybar kepada para tentara.

Maka, sebagai pengamalan al-Qur'an dan al-Sunnah, datanglah para perampas (harta rampasan perang) itu kepada 'Umar ibn al-Khaththab, dan meminta agar ia mengambil seperlima daripadanya untuk Allah dan orang-orang yang disebutkan dalam ayat (dimasukkan dalam bayt al-mal), kemudian membagi sisanya kepada mereka yang telah merampasnya dalam perang. (Kemudian terjadi dialog berikut):

Kata 'Umar: "Lalu bagaimana dengan orang-orang Muslim yang datang kemudian? Mereka mendapati tanah-tanah pertanian beserta garapannya telah habis terbagi-bagi, dan telah pula terwariskan turun-temurun dan terkuasai? Itu bukanlah pendapat (yang baik).

'Abd al-Rahman ibn 'Awf, menyanggah 'Umar: "Lalu apa pendapat (yang baik)? Tanah pertanian dan garapannya itu tidak lain adalah harta rampasan yang diberikan Allah kepada mereka!"

'Umar menjawab: "Itu tidak lain adalah katamu sendiri, dan aku tidak berpendapat begitu. Demi Tuhan, tidak akan ada lagi negeri yang dibebaskan sesudahku yang di situ terdapat kekayaan besar, bahkan mungkin akan menjadi beban atas orang-orang Muslim. Jika aku bagi-bagikan tanah-tanah di Irak beserta garapannya, tanah-tanah di Syam beserta garapannya, maka dengan apa pos-pos pertahanan akan dibiayai? Dan apa yang tersisa untuk anak cucu dan janda-janda di negeri itu dan ditempat lain dari kalangan penduduk Syam dan Irak?"

Pertimbangan Kemaslahatan Dalam Menangkap Makna dan Semangat Ketentuan Keagamaan: Kasus Ijtihad 'Umar Ibn Al-Khattab (3/4)

Orang pun banyak berkumpul sekitar 'Umar, dan mereka semua berseru; "Apakah engkau akan memberikan sesuatu yang oleh Allah diberikan untuk kami dengan perantaraan pedang-pedang kami kepada kaum yang belum ada dan belum bersaksi? Dan kepada anak-anak mereka itu serta cucu-cucu mereka yang belum ada?"

Namun 'Umar tak bergeming kecuali berkata: "Itulah pendapatku."

Mereka menyahut: "Bermusyawarahlah!"

Maka 'Umar pun bermusyawarah dengan kaum Muhajirin yang terkemuka, dan mereka ini berselisih pendapat. Adapun Abd al-Rahman ibn 'Awf, maka pendapatnya ialah agar diberikan kepada para tentara itu apa yang telah menjadi hak mereka. Sedangkan pendapat 'Utsman, 'Ali, Thalhah dan Ibn 'Umar sama dengan pendapat Umar.

Kemudian 'Umar memanggil sepuluh orang dari golongan Ansar, lima orang dari suku al-Aws dan lima orang dari suku al-Khazraj, terdiri dari para pembesar dan petinggi mereka. Setelah mereka berkumpul, 'Umar membaca hamdalah dan memuji Tuhan, kemudian berkata (penuturan al-Dawalibi ini tidak jauh berbeda dengan al-Khuli di atas):

"Aku tidak bermaksud mengejutkan kalian kecuali hendaknya kalian menyertaiku dalam amanatku dan dalam urusan kalian yang dibebankan kepadaku. Sebab aku hanyalah salah seorang saja dari kalian, dan kalian hari ini hendaknya membuat keputusan dengan benar: siapa saja yang hendak berbeda pendapat dengan aku, silakan ia berbeda, dan siapa saja yang hendak bersepakat dengan aku, silakan ia bersepakat. Aku tidaklah ingin kalian mengikuti begitu saja hal yang menjadi kecenderunganku ini. Di tangan kalian ada Kitab Allah yang menyatakan kebenaran. Dan demi Tuhan, kalau aku pernah menyatakan suatu perkara yang kuinginkan, aku tidak menginginkannya kecuali kebenaran."

Semuanya serentak berkata: "Bicaralah, dan kami semua akan mendengarkan, wahai Amir al-Mu'minin."

Dan mulailah 'Umar berbicara:

"Kalian telah mendengar pembicaraan mereka, kelompok yang menuduh aku berbuat zalim berkenaan dengan hak-hak mereka. Aku benar-benar berlindung kepada Allah dari melakukan kezaliman. Jika aku telah berbuat zalim kepada mereka berkenaan dengan sesuatu yang menjadi milik mereka dan aku berikan kepada orang lain, maka benar-benar telah celakalah diriku. Tetapi aku melihat bahwa tidak ada lagi sesuatu (negeri) yang dibebaskan sesudah negeri Khusru (Raja Persia), dan Allah pun telah merampas untuk kita harta kekayaan mereka dan tanah-tanah pertanian mereka, garapan-garapan mereka, maka aku bagi-bagikanlah semua kekayaan (yang bergerak) kepada mereka yang berhak, kemudian aku ambil seperlimanya, dan aku atur menurut aturan tertentu, dan aku sepenuhnya bertanggung jawab atas pengaturan itu. Tetapi aku berpendapat untuk menguasai tanah-tanah pertanian beserta garapan-garapannya, dan aku terapkan pajak atas para penggarap tanah-tanah itu, dan mereka berkewajiban membayar jizyah sebagai fay' untuk orangorang Muslim, baik yang berperang maupun anak turun mereka, dan untuk generasi yang kemudian. Tahukah kalian pos-pos pertahanan itu? Di sana harus ada orang-orang yang tinggal menetap. Tahukah kalian, kota-kota besar seperti (di) Syam, al-Jazirah (Mesopotamia), Kufah, Basrah dan Mesir? Semuanya itu memerlukan tentara untuk mempertahankan dan biaya besar untuk mereka. Dari mana mereka diberi biaya itu jika semua tanah pertanian dan garapannya telah habis dibagi-bagi?" Serentak semuanya menjawab: "Pendapat yang benar ialah pendapatmu. Alangkah baiknya apa yang kau katakan dan lihat itu. Jika pos-pos pertahanan dan kota-kota itu tidak diisi dengan personil-personil, serta disediakan bagi mereka kebutuhan-kebutuhan mereka, maka tentulah kaum kafir akan kembali ke kota-kota mereka." Kata Mu'adz kepada 'Umar: "Jika engkau sampai membagi-baginya, maka akan terjadilah kekayaan yang amat besar berada di tangan kelompok orang tertentu, kemudian mereka akan mati, lalu harta itu akan bergeser ke tangan satu orang, baik laki-laki atau pun perempuan, dan sesudah mereka itu muncul generasi yang benar-benar melihat adanya kebaikan pada Islam --yaitu mereka mendapati dalam Islam suatu keuntungan-- namun mereka tidak mendapatkan apa-apa. Karena itu carilah sesuatu yang menguntungkan baik generasi pertama maupun generasi akhir."

Sungguh menakjubkan pernyataan Mu'adz itu: Jika tanah-tanah pertanian itu dibagi habis, maka terjadilah kekayaan amat besar pada kelompok tertentu, dan kalau mereka ini semuanya telah tiada, kekayaan itu akan pindah ke tangan satu-dua orang, sehingga orang-orang (dari kalangan penduduk setempat) yang muncul sesudah itu dan memeluk Islam tidak lagi mendapatkan sesuatu apa pun! Alangkah cemerlang pernyataannya itu!

Dengan pernyataannya itu, Mu'adz seolah-olah hendak menentang banyak orang sebagaimana kaum sosialis sekarang menentang para tuan tanah agar jangan sampai tanah yang luas milik Tuhan itu jatuh ke tangan hanya satu-dua orang, baik pria maupun wanita, yang dengan pemilikan tanah itu orang tersebut memetik buah kerja keras sejumlah besar para pekerja petani untuk dinikmati sendiri tanpa disertai kalangan manusia lainnya.

Para sahabat Nabi itu terus melakukan pembicaraan sesama mereka selama beberapa hari. Mereka yang berpendapat harus dibagi-bagi, berargumentasi dengan praktek Nabi s.a.w. dalam membagi-bagikan tanah Khaybar di antara para tentara yang membebaskannya, dan dengan firman Allah, "Ketahuilah bahwa apa pun dari sesuatu (kekayaan) yang kamu rampas dalam peperangan maka seperlimanya adalah untuk Allah, Rasul, para kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang terlantar di perjalanan."[7] Karena ayat itu hanya mengemukakan ketentuan untuk menyisihkan seperlima saja dari kekuasaan para tentara pelaksana rampasan dalam perang dan menyerahkannya kepada bayt al-mal untuk digunakan bagi keperluan pihak-pihak yang berhak yang tersebutkan dalam ayat itu, sedangkan ayat itu tidak memberi ketentuan apa-apa tentang bagian yang empat perlima lagi, maka 'Abd al-Rahman ibn 'Awf berkata kepada 'Umar: "Tanah-tanah pertanian dan garapannya itu tidak lain ialah harta yang dirampaskan oleh Tuhan untuk mereka, yakni harta yang diberikan Tuhan kepada mereka dari musuh."

Sedangkan 'Umar, dalam menjawab 'Abd al-Rahman atas argumennya itu, menyatakan: "Itu tidak lain hanyalah pendapatmu, dan aku tidak berpendapat begitu. Demi Tuhan, tidak ada lagi sesudahku negeri yang dibebaskan yang di situ terdapat kekayaan yang besar, bahkan mungkin akan menjadi beban atas orang-orang Muslim. Maka jika aku bagi habis tanah Irak dan garapannya, juga tanah Syam dan garapannya, maka bagaimana membiayai pos-pos pertahanan? Dan apa yang tersisa untuk anak turun dan janda-janda di negeri itu dan di tempat lain dari kalangan penduduk Syam dan Irak?"

Pertimbangan Kemaslahatan Dalam Menangkap Makna dan Semangat Ketentuan Keagamaan: Kasus Ijtihad 'Umar Ibn Al-Khattab (4/4)

'Umar terus melakukan musyawarah dan pembahasan. Banyak orang berargumentasi untuk melakukan pembagian sesuai dengan pengertian lahir nas-nas, dan 'Umar berargumentasi untuk tidak melakukan pembagian demi kemaslahatan masyarakat Muslim sendiri. Seolah-olah 'Umar membedakan antara apa yang dilaksanakan Nabi s.a.w. di tanah-tanah pertanian Khaybar yang kecil pada permulaan Islam yang dituntut oleh kemaslahatan masyarakat Muslim saat itu tanpa menyimpang daripadanya, dan tanah-tanah pertanian lembah yang subur di Irak, Mesir dan Syam, yang seandainya diterapkan di sana apa yang dipraktekkan Rasulullah di tanah-tanah pertanian Khaybar itu maka tentu masyarakat Muslim akan kehilangan kemaslahatannya.

Orang banyak tetap saja pada pendirian mereka, sampai akhirnya 'Umar datang dan menyatakan: "Aku telah mendapatkan argumentasi terhadap mereka dengan bagian akhir dari ayat-ayat al-Hasyr."

Di situ Tuhan merinci mereka yang berhak atas harta rampasan perang dengan firman-Nya: "Sesuatu (harta kekayaan) yang diberikan Tuhan sebagai rampasan perang untuk Rasul-Nya dari penduduk negeri adalah milik Tuhan, Rasul, para kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibn al-sabil, agar supaya harta itu tidak berkisar di antara orang-orang kaya saja dari antara kamu..." Maksudnya supaya harta rampasan itu tidak berputar di kalangan para orang kaya saja tanpa ikut sertanya para fakir-miskin, sampai dengan firman Allah Ta'ala: "Bagi orang-orang miskin para Muhajirin yang diusir dari rumah-rumah dan harta benda mereka ..." terus ke firman-Nya, "Dan mereka yang telah menetap di negeri (Madinah) dan beriman sebelum (datang) mereka (Muhajirin) itu. . .," serta diakhiri dengan firman, "Dan mereka yang datang sesudah mereka itu ..."[8]

Kemudian kata 'Umar: "Aku tidak melihat ayat ini melainkan meliputi semua orang manusia sampai termasuk pula seorang penggembala kampung Kidd'." Lalu 'Umar berseru kepada orang banyak itu: "Apakah kalian menghendaki datangnya generasi belakangan tanpa mendapatkan sesuatu apa pun? Lalu apa yang tersisa untuk mereka sepeninggal kalian itu? Kalau tidak karena generasi kemudian itu, tidaklah ada suatu negeri yang dibebaskan melainkan pasti aku bagi-bagikan sebagaimana Rasulullah s.a.w. telah membagi-bagikan tanah Khaybar."[9]

Demikianlah 'Umar memutuskan untuk menyita tanah-tanah pertanian itu dan tidak membagi-bagikannya kepada tentara pembebas, dan membiarkan tanah-tanah itu tetap berada di kalangan para penduduk penggarap yang dari hasilnya mereka membayar pajak untuk dibelanjakan bagi kemaslahatan masyarakat Muslim pada umumnya, dan orang-orang Muslim pun kemudian bersepakat dengan 'Umar.

Jelas bahwa tindakan bijaksana dari 'Umar r.a. yang menyimpang dari tindakan Rasulullah s.a.w. bukanlah berarti peniadaan suatu Sunnah yang tetap yang dibawa oleh Nabi s.a.w., melainkan justru berpegang teguh kepada Sunnah itu dengan dalil-dalil berbagai nas yang lain mengikuti kemaslahatan umum. Jika Rasulullah membagi-bagi antara orang-orang Muslim harta rampasan perang yang terdiri dari tanah-tanah pertanian pada waktu itu tanpa menyisakan barang sesuatu untuk generasi yang datang kemudian, maka hal itu ialah karena masalah zaman menghendaki hal demikian sesuai dengan situasi yang ada, khususnya untuk menolong nasib orang-orang miskin Muhajirin dari Makkah yang diusir dari tempat-tempat kediaman dan harta kekayaan mereka. Dan jika 'Umar tidak membagi-bagikannya, maka hal itu pun karena kemaslahatan saat itu, sebagaimana ia sendiri telah menjelaskannya, menghendaki kebijaksanaan demikian itu. '

Itulah sebabnya al-Qadli Abu Yusuf berkata: ''Pendapat yang dianut 'Umar r.a. untuk tidak membagi tanah-tanah pertanian itu antara mereka yang membebaskannya, ketika Tuhan memberinya kearifan tentang apa yang disebutkan dalam Kitab Suci sebagai penjelasan pendapatnya itu, adalah suatu petunjuk dari Tuhan. Pada 'Umar dengan tindakan tersebut --yang di situ terdapat kebaikan pendapatnya-- berupa pengumpulan pajak dan pembagiannya di antara orang-orang Muslim, terkandung kebaikan umum bagi masyarakat mereka. Sebab jika seandainya pendapatan dan kekayaan (negeri) tidak diserahkan kepada manusia (secara umum), maka pos-pos pertahanan tidak lagi terpenuhi kebutuhannya, dan tentara tidak lagi mendapatkan perbekalan untuk melanjutkan perjuangan suci (jihad) mereka.

Demikianlah kedua penuturan tentang ijtihad 'Umar r.a.

Semoga kita dapat belajar dari kearifan tokoh dalam sejarah Islam yang amat menentukan itu, yang sering dikemukakan sebagai tauladan seorang pemimpin dan penguasa yang adil, demokratis dan terbuka.

CATATAN

1 Muhammad al-Husayn Al Kashif al-Ghitha, Ashl al-Shi'ah wa Ushuluha (Beirut: Mu'assasat al-A'lami, 1982), h. 101.

2 Al-Bahi al-Khuli, "Min fiqh 'Umar fi al-Iqtisad wa al-Mal", dalam majalah al-Muslimun (Damaskus), No. 4, Jumada al-Akhirah, 1373 H/Februari, 1954, hh. 55-59.

3 Q., s. al-Anfal/8:41.

4 Q., s. al-Hashr/59:7-10.

5 Ma'ruf al-Dawalibi, "Kayfa ista'mala al-sahaabah 'uqulahum fi fahm al-Qur'an", dalam majalah al-Muslimun (Damaskus), No. 7, Rabi' al-Thani 1375 H./Tashrin al-Thani (November) 1955, hh. 4347.

6 Lihat catatan 3.

7 Ibid.

8 Lihat catatan 4.

9 Diambil dari Kitab al-Huquq al Madaniyyah (Kitab Hak-hak Sipil) oleh al-Zarqa, halaman 76. Al-Zarqa telah menjabarkan ayat ghanimah (harta rampasan perang) dalam s. al-Anfal/8:41, "Dan ketahuilah olehmu sekalian bahwa apa pun dari sesuatu (harta kekayaan) yang kamu rampas dalam peperangan maka sesungguhnya seperlima daripadanya adalah untuk Allah dan untuk Rasul, para kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang dalam perjalanan." Kata al-Zarqa, "Sebenarnya ayat suci itu menentukan pembelanjaan seperlima dari harta rampasan itu untuk urusan umum, dan Sunnah menjelaskan tindakan Nabi tentang cara membagikan sisanya (yang empat perlima) kepada para anggota mereka yang merebut harta rampasan itu. Kemudian datang ayat fay' dalam Surah al-Hasyr/59:6-10, yang mengatakan, 'Apa pun yang diberikan Tuhan bahwa harta fay' kepada RasulNya ...' yang ayat itu memberi kejelasan bahwa harta fay' harus dimanfaatkan oleh orang-orang Muslim secara keseluruhan, baik yang sekarang maupun yang bakal datang, dan tidak hanya terbatas untuk para pejuang pembebas saja, melainkan semuanya harus ditempatkan di bawah bayt al-mal. Beda antara ghanimah dan fay' dalam istilah Shar'i ialah bahwa ghanimah harta yang dirampas dari musuh dengan kekuatan senjata, sedangkan fay' adalah harta yang ditinggalkan musuh karena ketakutan, atau yang mereka bayarkan karena terpaksa dan kalah, dan tidak diperoleh dari musuh itu dengan pengerahan kavaleri atau pun komando tentara dalam medan peperangan. Karena itu fay' meliputi pula pungutan-pungutan yang dibebankan kepada mereka seperti jiryah atas pribadi-pribadi dan pajak (kharaj) atas bumi. Telah terbukti dalam Sunnah ketika Nabi s.a.w. membebaskan Khaybar, yang dibebaskan dengan kekerasan, bukan dengan jalan damai, dan penduduk Yahudinya yang terperangi itu meninggalkannya atas dasar hukum pelarian diri, maka tanah-tanah pertanian mereka itu dianggap termasuk fay', dan Nabi mengambil separohnya --sebelum seperlimanya-- kemudian ditinggalkan untuk para pengawas dan penghuni setempat, kemudian beliau bagi-bagikan sisanya kepada para tentara pembebas." Kemudian al-Ustadh menuturkan kisah pembebasan Lembah Irak (Mesopotamia), dan menafsirkan pendirian 'Umar yang bijaksana dalam membedakan antara harta rampasan perang yang bergerak dan tanah-tanah pertanian, bahwa sesungguhnya ia justru berpegang kepada dalil-dalil nas dan menggabungkan semuanya, dan melaksanakan setiap dalil nas itu dengan meletakkan pada tempatnya yang dibimbing oleh pandangannya yang menyeluruh dan tepat, tidak seperti yang dikesankan oleh mereka dari zaman sekarang yang mengira dalam masalah ini 'Umar menyalahi nas-nas agama, dan menganggap sikap menyalahi itu menurut perkiraan mereka sebagai suatu kejeniusan dalam berijtihad. Dari yang kita kutip itu anda bisa melihat bahwa 'Umar menggunakan argumen-argumen dari nas al-Qur'an sendiri yang dengan nas-nas itu ia membungkam para penentangnya dan membuktikan keunggulan pemahamannya mengenai nas-nas itu. Menyertai pendapat 'Umar dalam pandangannya itu para pembesar sahabat yang mendalami pemahaman agama seperti 'Ali dan Mu'adh. (Al-Muslimun).

Tasawwur Islam sebagai Teras Pembinaan Falsafah Pengurusan.

(Dr Mohamed Zainy Othman-ISTAC)

(a) Takrif Tasawwur Islam

(a) Bukanlah pandangan atau renungan akal akan sejarah manusia, masyarakat dan percaturan politik dan budaya yang terangkum dalam ayat dalam bahasa Arab nazrat al-Islam lil-kawn

(b) Alam

Pemisahan antara Dunia dan Akhirat

Islam: Dunia jambatan Akhirat

(c) Haqiqat lwn waqi’ah

Haqiqat merangkumi segala hal

waqi’ah: apa yang berlaku

fakta: ada kejadian sesuatu pada haqiqatnya batil (eg. penyembahan berhala)

¨ Takrif sebenar: pandangan haqiqat dan kebenaran

pandangan Islam tentang kewujudan

2. Pandangan Islam tentang kewujudan.

¨ Pandangan yang merangkum alam shahadah (empirical) dan alam ghayb (transcendental)

¨ Pandangan kedua aspek ini bukan berlawanan tetapi saling bertaut/berganding

Pengalaman Barat – idealism lwn realism -- positivism

Pandangan falsafah: thesis-antithesis-synthesis, dialectal process

God-centered> god-world centered> world centered

2.1 Tradisi intelektual di Barat:

¨ Empiricism rationalism, realism, nominalism, pragmatism, positivism, logical positivism, criticism

¨ Pandangan sejarah: ancient/classical, medieval, modern, post-modern melalui era age of reason, enlightenment

¨ Pergolakan ide dan faham –ideology- yang mengutarakan pelbagai pandangan tentang haqiqat dan kebenaran yang secara langsung berkait dengan pandangan mereka tentang nilai.

¨ Pergolakan di atas nama kelainan, kelainan atas nama kepelbagaian individu, kepelbagaian individu kepada masyarakat; maka tiada yang tetap dan universal.

Perubahan atas nama pembaharuan, pembaharuan atas nama pembangunan.

2.2 Tradisi intelektual Islam:

7. Kaedah tawhid- menyatukan segala kaedah tanpa memberikan satu penekanan yang lebih dan berlawanan dengan yang lain > haqiqat

8. Pandangan sejarah Islam: tiada pecahan dan pemisahan kepada tiga era.

sebelum Islam > selepas Islam

9. Faham tentang nilai tidak berubah, malah Islam meletakkan batu asas kepada nilai yang universal -- nilai yang tidak berubah.

10. Pandangan haqiqat dan kebenaran tidak berubah kerana sumbernya yang muktamad – al-Quran.

11. Pandangan yang sah ini yang mantap merangkum faham kewujudan dan kehidupan dalam perspektif yang total dengan unsur-unsur yang kekal dan tidak berubah.

3. Unsur-unsur utama pandangan Islam tentang haqiqat dan kebenaran.

¨ Tuhan dan sifatNya

¨ Wahyu – Al-Qur’an

¨ Makhluqnya

¨ Manusia dan jiwa/dirinya

¨ Ilmu

¨ Agama

¨ Kebebasan

¨ Nilai dan Akhlaq

¨ Kebahagiaan.

Unsur-unsur penting dalam pandangan alam Islam atau tasawwur Islam.

1. Sifat tuhan: Hidup, Mengetahui, Mehendak dan Berkehendak; viz. Aristotle: Fa’il Awwal, Penggerak Utama, Menilik Dirinya

2. Wahyu (al-Quran); Barat: minda, sains, dan teknologi (teknologi maklumat)

3. Ciptaan Tuhan, dunya; jawhar,jisim dan tampar

4. Manusia, Dirinya

5. Ilmu: hadir makna dalam diri atau sampai diri kepada makna; makna adalah kedudukan sesuatu pada tempatnya dalam satu sistem; ilmu yang sebenar adalah ilmu yang mengenal had-had kebenarannya

6. Agama/Din: a. keadaan berhutang b. penyerahan diri c. kuasa menghukum d. fitrah

Agama/Din membawa natijah satu tamaddun, suatu madinah, masyarakat madani; hidup bermasyarakat, hukum hakam, peraturan, keadilan dan kewibawaan.

7. Kebebasan: kebebasan memilih: ikhitiyar; memilih yang baik berdasarkan pertimbangan aqal; pertimbangan yang berlandaskan nilai-nilai yang sesuai yang akan menatijahkan keadilan pada diri.

8. Nilai dan Sifat terlebih baik: nilai adalah natijah kepada hidup beragama; sifat terlebih baik dalam agama spt. sabar, shukur, tawakkal, taubat, redha, takut (khauf) dan harap (raja’). Sifat terbaik dari falsafah : hikmah, kesederhanaan, keberanian, keadilan.

9. Kebahagiaan: keadaan yang dicapai dengan berpegang kepada nilai dan mengamalkan sifat-sifat yang terbaik seperti di atas. Bersifat zahir dan batin. Tiga peringkat pada pandangan Islam: 1. Kejiwaan, sementara dan berubah-ubah 2. Kerohanian, kekal 3. Ru’yah Allah fi’l-Akhirah.

Peristiwa Penting dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu

Abad Peristiwa

1 H / 7 M 55/674:

Penempatan awal orang Islam telah dilaporkan dalam satu sumber orang China mengatakan ada orang Islam (Arab) di Timur Sumatra (San-Fu-Chi=Sriwijaya=Palembang)

2 H / 8 M Tiada laporan

3 H / 9 M al-Mas’udi melaporkan pada tahun 265/877 hampir 120,000 atau 200,000 orang Islam (Arab dan Farsi) yang menetap di Canton telah dibunuh kerana pemberontakan di selatan negeri China dikalangan petani pada zaman Maharaja Hi­-Tsung (265-267/878-889), dinasti Tang. Ramai dari orang Islam ini akhirnya lari ke Kedah (Kalah) mengakibatkan perpindahan pusat perdagangan dan Canton ke Kedah.

4 H Tiada laporan

5 H / 11 M Ada bukti menunjukkan wujudnya penempatan orang Islam didaerah Phan-rang, Kemboja pada 431/1039

Penemuan tulisan Leran di Gresik, Jawa bertarikh 475/1082 menandakan kehadiran orang Islam disana

6 H / 12 M 506/1112

Islam diperkenalan diutara Sumatra oleh Shaykh Abdullah Arif. Anak muridnya, Shaykh Burhan al-Din menyambung dawahnya hingga ke Priaman dan kepantai Barat daerah itu. Islam di utara sumatra diasaskan pada 601/1204 apabila Johan Shah dinobatkan sebagai sultan pertamanya.

7 H / 13 M Sharif Makkah mengutuskan Shaykh Ismail sebagai kepada da’wah keutara Sumatra (Hikayat Raja-Raja Pasai). Pasai yang terdiri dan Perlak dan Samudra telah diislamkan sejak 682/1282. Sultannya iaitu Sultan al-Malik al-Salih meninggal pada tahun 697/1297 atau 707/1307. Pada tahun 746-747/1345-1346 Ibn Batutah telah melawat Pasai dan mendapati Sultan al-Malik al-Zahir (cucu Sultan al-Malik al­-Salih) gemar akan perbincangan agama dan amat bersemangat dalam menyebarkan agama dengan menakluk jajahan baru.

8 H / 14 M Di Terengganu, batu bersurat yang bertarikh 702/1310 diketemui di Kuala Berang. Batu nesan bertarikh 710/1310 diketemu di Pulau Jolo, Sulu menandakan kehadiran orang Islam disana.

Pada akhir abad ini kerajaan Melaka telah diasaskan oleh Parameswara. Melaka kemudiannya memainkan peranan penting dalam perkembangan Islam dirantau ini. Menurut tarsila keluarga bangsawan Sulu, seorang penda’wah bernama Shaykh Awliya Karim al-Makhdum telah mengembangkan Islam dirantau ini yang kemudiannya dikenali sebagai Melaka. Beliau telah sampai ke Sulu pada 782/1380 dan menetap di Bwansa dekat Jolo. Usaha beliau kemudiannya disambung oleh Sayyid Abu Bakr yang telah berkahwin dengan anak Raja Bwansa, Sulu.

9 H / 15 M 812/1409

Sultan Melaka telah memeluk Islam dan membentuk satu jalinan rapat dengan Pasai dengan perkahwinan diantara Sultan Pasai dan anak Sultan Melaka Pasai dan Melaka menjadi pusat pengajian dan da’wah islamiah penting dirantau ini. Pada 819/1416 masharakat Aru, Samudra, Pedit datiLaiñbd yang kesemuanya dibawah jajahan Acheh telah memeluk Islam. Kuasa Islam terus berkembang keselatan daerah ini.

Sejak 803/1400 penda’wah Arab dan Farsi telah menyebarkan Islam di Jawa. Seorang sayyid iaitu Mawlana Malik Ibrahim meninggal di Gresik 822/1419

Raden Rahmat telah memainkan peranan penting dalam pengislaman Jawa sebagaimana telah diceritakan oleh Mawlana Jumada al-Kubra. Berpusat di Ampel (Surabaya) beliau dikenali dengan gelaran Sunan Ampel.Mawlana Ishaq di Pasai yang berketurunan sayyid telah diamanahkan oleh Sultan Pasai untuk mengislamkan Balambangan, ditimur Jawa. Sunan Giri (Raden Paku), anak kepada Sunan Ampel akhir menyambung usaha-usaha ayahnya dan menjadikan Ampel pusat pengajian dan penyebaran Islam. Seorang lagi anak Sunan Ampel juga bergelar wali dan dikenali sebagai Sunan Drajat Sidayu.

Raden Patah, gabenor Majapahit di Palembang memeluk Islam ditangan Raden Rahmat (Sunan Ampel). Beliau telah mendirikan masjid Demak yang sehingga kini masih berdiri teguh. Demak menjadi pusat penyebaran Islam di Jawa dan disinilah juga wayang telah dijadikan alat untuk menyebar dakwah Islamiah oleh Sunan Kalijaga.

Banjarmasin di Borneo diIslamkan oleh para pendakwah dan Jawa (Demak).

879/1474 Kedah telah diislamkan

880/1475 Sharif Muhammad Kabungsuan yang berkahwin dengan seorang ratu dari Melaka telah berhijrah ke Mindanao dan memulakan gerakan pengislaman disana.

10H / 16 M Seluruh Sumatra telah diislamkan.

Melaka jatuh ketangan Portugis.

Sultan Ali Mughayat Shah (m. 937/1530) menakluk beberapa jajahan diselatan dan timur pantai Acheh. Puteranya Sultan Ala’u’1-Din Ri’ayat Shah al-Qahhar (m. 976/1568) telah mendapat khidmat tentera dari Turki, Abisinia, Gujerat dan Malabar untuk menakluk Sumatra Tengah (kawasan Batak) pada tahun 944/1537.

Penda’wah Melayu dan Arab telah memulakan pengislaman Makasar. Salah seorang dari mereka ialah Khatib Tunggal yang berasal dan Minangkabau. Orang Makasar kemudiannya mengislamkan orang-orang Bugis yang berpengaruh dalam perniagaan disekitar New Guinea dan Singapore. Dari Sulawesi (Celebes) orang Makasar membawa Islam terus ke pulau Sumbawa, dan juga Lombok antara 947/1540 dan 957/1550.

Disekitar 1000/1591, seluruh jajahan pantai Borneo telah diislamkan oleh pendakwah Melayu dan Arab dari Palembang.

11 H / 17 M 1009/1600 Para penda’wah dari Jawa telah meningkatkan usaha mereka terus kedaerah ketimuran di Alam Melayu. Luzon dan daerah seperti Manila, Cebu, Oton diislamkan oleh penda’wah dari Brunei dan Acheh dan juga dan mindanao dan Sulu.

1047/1637 Nur al-Din al-Raniri sampai ke Acheh. Menjadi qadi kepada Sultan Iskandar Thani.

Terjemahan tafsir al-baydawi oleh abdul Rauf al-Sinkli (m. 1104/1693).

Pemerintahan Sultanah Taju’l-Alam Safiyyatu’l-Din Shah (1051-1086/1641-1675)

Belanda di Melaka

12 H/ 18M

13 H/ 19 M

14 H/ 20 M

KONSEPSI AL QUR’AN

TENTANG PENDIDIKAN GENDER

(ANALISIS PENDIDIKAN GENDER DI PONDOK PESANTREN)

A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan suatu sarana dalam rangka mengembangkan prilaku dan kepribadian anak didik. Dalam sistem pendidika nasional, pendidikan pada hekekatnya diarahkan untuk mencari added values melalui pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia atau kualitas manusia secara utuh - rohaniah dan jasmaniah -, dan juga harus secara terus menerus dikembangkan agar mampu melayani kebutuhan pembangunan dan ilmu pengetahuan dan teknologi, atau dengan kata lain agar mampu menghadapi tantangan zamannya. Karena sistem pendidikan nasional merupakan bagian dari pembangunan nasional, yang mana yang mana sistem pembangunan nasional harus dicari dan dikembangkan serta bersumber pada budaya nasional, maka sistem pendidikan nasional juga harus dilaksanakan bertolak dari kandungan nilai-nilai sosial budaya bangsa, terutama dari realitas kependidikan yang telah hidup membudaya dalam kehidupan bangsa Indonesia, agar tidak tercanut dari akarnya dan dengan demikian terdapat kesinambungan antara yang tradisional dan yang modern sebagai satu kesatuan yang berkelanjutan. Salah satu realitas kependidikan yang telah membudaya di kalangan sebagaian bangsa, terutama di kalangan sebagian besar umat Islam yang merupakan golongan mayoritas (major society), dari bangsa Indonesia ini, ialah pesantren.

Suatu lembaga pendidikan akan berhasil menyelenggarakan kegiatannya jika ia dapat mengintegrasikan dirinya ke dalam kehidupan masyarakat yang melingkarinya. Keberhasilan ini menunjukkan adanya kecocokan nilai antara lembaga pendidikan yang bersangkutan dan masyarakatnya, setidak-tidaknya tidak bertentangan. Lebih dari itu, suatu lembaga pendidikan akan diminati oleh anak-anak, orangtua, dan seluruh masyarakat apabila ia mampu memenuhi kebutuhan mereka akan kemampuan ilmu dan teknologi untuk menguasari suatu bidang kehidupan tertentu, dan kemampuan moral keagamaan dan moral sosial budaya untuk menempatkan diri mereka di tengah-tengah pergaulan bersama sebagai manusia terhormat. Dalam kaitan ini pesantren telah terbukti mampu hidup menyatu dengan masyarakat sekitarnya dalam bidang moral. Pesantren sering diidealkan sebagai komunitas ideal sakral.

Pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan Islam Indonesia yang bersifat tradisional untuk mendalami ilmu agama Islam, dan mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian, atau disebut tafaqquh fiddiin, dengan menekankan pentingnya moral dalam hidup bermasyarakat. Selain itu, menurut Mastuhu (89:55), pesantren merupakan suatu lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari. Pengertian “tradisional” menunjukkan bahwa lembaga ini telah hidup sejak ratusan tahun dan telah menjadi bagian yang mendalam dari sistem kehidupan sebagian besar umat Islam Indonesia, yang merupakan major society, dan telah mengalami perubahan dari masa ke masa sesua dengan perjalanan hidup umat, bukan “tradisional” dalam arti tetap tanpa mengalami perubahan.

Pesantren telah hidup sejak 300-400 tahun yang lampau, menjangkau hampir seluruh lapisan masyarakat muslim, dan dewasa ini diperkirakan menumpung lebih dari satu juta santri. Pesantren telah diakui sebagai lembaga pendidikan yang telah ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Para peneliti terdahulu sepakat bahwa pesantren adalah hasil rekayasa umat Islam Indonesia yang mengembangkannya dari sistem pendidikan Agama Jawa. Agama Jawa (abad ke- 8-9 M) merupakan perpaduan antara kepercayaan Animisme, Hiduisme, dan Budhisme. Di bawah pengaruh Islam, sistem pendidikan tersebut diambil alih dengan mengganti nilai ajarannya menjadi nilai ajaran Islam.

Menurut Dhofier (1982:8), sejak abad ke-15, Islam telah menggantikan Hinduisme, dan pada abad ke-16 dengan munculnya kerajaan Islam Demak, maka penduduk Jawa telah dapat di-Islam-kan. Model pendidikan agama Jawa di atas disebut dengan pawiyatan, berbentuk asrama dengan rumah guru yang disebut ki ajar di tengah-tengahnya. Ki ajar dan cantrik atau murid hidup berama dalam satu kampus. Hubugan antara mereka sangat erat bagaikan keluarga dalam rumah tangga, siang malam selama 24 jam. Pengajarannya meliputi ilmu-ilmu filsafat, alam, seni, sastra, dan sebagainya, dan diberikan secara terpadu dengan pendidikan agama dan moral.

Pemberian sistem pendidikan agama dan moral yang berkembang pada dunia pesantren pada dasarnya bersumber pada wahyu Allah SWT yang ter-ma’tub dalam kitab suci al-qur’an dan hadist-hadist nabawiyah. Al-qur’an merupakan wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT kepada nabi-Nya Muhammad saw. Al-qur’an yang secara harfiah berarti “bacaan sempurna” merupakan suatu nama yang telah dipilih oleh Allah yang sunguh tepat, karena tiada satu bacaan pun sejak manusia mengenal tulis-baca sekitar lima ribu tahun yang lalu dapat menandingi al-qur’an, yang merupakan bacaan sempurna lagi mulia itu.

Agama Islam yang segala ajarannya bersumber pada al-qur’an merupakan agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia, dan merupakan way of life yang menjamin kebahagiaan hidup pemeluknya di dunia dan diakhirat nanti. Ia mempunyai satu sendi esensial, yakni berfungsi memberi petunjuk ke jalan yang sebaik-baiknya. Allah berfirman: “Sesungguhnya al-qur’an ini memberi petunjuk menuju jalan yang sebaik-baiknya” (QS. 17:9).

Sebagai dikatakan di atas, bahwa al-qur’an merupakan petunjuk bagi umat Islam seluruh dunia, maka ajaran-ajaran yang ada di dalamnya pun bersifat universal, hal ini sangat penting, terutama pada masa-masa sekarang ini, dimana perkembangan ilmu pengetahuan demikian pesat dan meliputi seluruh aspek kehidupan. Bagi umat Islam, pengertian kita terhadap hubungan antara al-qur’an dan ilmu pengertahuan akan memberi pengaruh yang tidak kecil terhadap perkembangan agama dan sejarah perkembangan manusia pada generasi-generasi yang akan datang, termasuk di dalamnya memahami konsepsi-konsepsi yang telah dan tengah berkembang di dunia global.

Salah satu konsepsi yang tengah berkembang diantara konsepsi-konsepsi yang terkandung dalam al-qur’an adalah konsep pendidikan. Al-qur’an mengintroduksikan dirinya sebagai “pemberi petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus” (QS. 17:19). Petunjuk-petunjuknya bertujuan memberi kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia, baik secara pribagi maupun kelompok, dan karena itu ditemukan petunjuk-petunjuk bagi manusia dalam kedua bentuk tersebut. Rasulullah saw., yang dalam hal ini bertindak sebagai penerima al-qur’an, bertugas untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk tersebut, menyucikan dan mengajarkan manusia (QS. 67:2). Menyucikan dapat diindentikkan dengan mendidik, sedangkan mengajar tidak lain kecuali mengisi benak anak didik dengan pengetahuan yang berkaitan dengan alam metafisika serta fisika.

Tujuan yang ingin dicapai dengan pembacaan, penyucian, dan pengajaran tersebut adalah pengabdian kepada Allah SWT sejalan dengan tujuan penciptaan manusia yang ditegaskan dalam al-qur’an surat al-Dzariyat ayat 56: “Aku tidak menciptakan manusia dan jin kecuali untuk menjadikan tujuan akhir atau hasil segala aktivitasnya sebagai pengabdian kepada-Ku”.

Aktivitas yang disimpulkan di atas terkandung dalam surat al-Baqarah ayat 30: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Dan surad Hud ayat 61: “Dan Dia yang menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menugaskan kepadamu untuk memakmurkan”. Atas dasar ini, kita dapat berkata bahwa tujuan pendidikan al-qur’an adalah “membina manusia secara pribadi dan kelompok sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya”.

Melihat dari konsepsi al-qur’an tentang pendidikan, maka pendidikan dalam al-qur’an bersifat universal, dengan kata lain, bahwa pendidikan yang ada tidak dibatasi oleh suatu sifat-sifat lahiriyah manusia sebagai khalifah di muka bumi. Setiap hamba Allah SWT, mempunyai kesempatan yang sama, laki-laki maupun perempuan mempunyai hak yang sama dalam merasakan pendidikan, tanpa membedakan adanya perbedaan jenis kelamin atau yang biasa disebut dengan gender.

Isu gender akhir-akhir ini semakin ramai dibicarakan, walaupun gender itu sendiri tidak jarang diartikan secara keliru. Gender adalah suatu istilah yang relatif masih baru. Menurut Shorwalter (1989:2), wacana gender mulai ramai dibicarakan pada awal tahun 1977, ketika sekelompok feminis di London tidak lagi memakai isu-isu lama seperti patriarchal atau sexist, tetapi menggantinya dengan isu Gender (gender discourse). Sebelumnya istilah sex dan gender digunakan secara rancu.

Dimensi teologi gender masih belum banyak dibicarakan, padahal persepsi masyarakat terhadap gender banyak bersumber dari tradisi keagamaan. Ketimpangan peran sosial berdasarkan gender (gender inequality) dianggap sebagai divine creation, segalanya bersumber dari Tuhan. Berbeda dengan persepsi para feminis yang menganggap ketimpangan itu semata-mata sebagai konstruksi masyarakat (social construction).

Menurut penelitian para antropolog, masyarakat pra-primitif, yang biasa juga disebut dengan masyarakat liar (savage society) sekitar sejuta tahun lalu, menganut pola keibuan (maternal system). Perempuan lebih dominan dari pada laki-laki di dalam pembentukan suku dan ikatan kekeluargaan. Pada masa ini terjadi keadilan sosial dan kesetaraan gender.

Proses peralihan masyarakat dari matriarchal dan ke patriarchal family telah dijelaskan oleh beberapa teori. Satu di antara teori itu ialah teori Marxis yang dilanjutkan oleh Engels yang mengemukakan bahwa perkembangan masyarakat yang beralih dari collective production ke private property dan sistem exchange yang semakin berkembang, menyebabkan perempuan tergeser, karena fungsi reproduksi perempuan diperhadapkan dengan faktor produksi.

Ada suatu pendekatan lain yang menganggap agama, khususnya agama-agama Ibrahimiah (Abrahamic religions) sebagai salah satu faktor menancapnya faham patriarki di dalam masyarakat, karena agama-agama itu memberikan justifikasi terhadap faham patriarki. Lebih dari itu, agama Yahudi dan Kristen dianggap mentolerir faham misogyny, suatu faham yang menganggap perempuan sebagai sumber malapetaka, bermula ketika Adam jatuh dari sorga karena rayuan Hawa. Pendapat lain mengatakan bahwa peralihan masyarakat matriarki ke masyarakat patriarki erat kaitannya dengan proses peralihan The Mother God ke The Father God di dalam mitologi Yunani.

Kajian-kajian tentang gender memang tidak bisa dilepaskan dari kajian teologis. Hampir semua agama mempunyai perlakuan-perlakuan khusus terhadap kaum perempuan. Posisi perempuan di dalam beberapa agama dan kepercayaan ditempatkan sebagai the second sex, dan kalau agama mempersepsikan sesuatu biasanya dianggap sebagai "as it should be" (keadaan sebenarnya), bukannya "as it is" (apa adanya).

Ketimpangan peran sosial berdasarkan gender masih tetap dipertahankan dengan dalih doktrin agama. Agama dilibatkan untuk melestarikan kondisi di mana kaum perempuan tidak menganggap dirinya sejajar dengan laki-laki. Tidak mustahil di balik "kesadaran" teologis ini terjadi manipulasi antropologis bertujuan untuk memapankan struktur patriarki, yang secara umum merugikan kaum perempuan dan hanya menguntungkan kelas-kelas tertentu dalam masyarakat.

Pandangan di sekitar teologi gender berkisar pada tiga hal pokok: pertama, asal-usul kejadian laki-laki dan perempuan, kedua, fungsi keberadaan laki-laki dan perempuan, ketiga, persoalan perempuan dan dosa warisan. Ketiga hal ini memang dibahas secara panjang lebar dalam Kitab Suci beberapa agama. Mitos-mitos tentang asal-usul kejadian perempuan yang berkembang dalam sejarah umat manusia sejalan dengan apa yang tertera di dalam Kitab Suci tersebut. Mungkin itulah sebabnya kaum perempuan kebanyakan menerima kenyataan dirinya sebagai given dari Tuhan. Bahkan tidak sedikit dari mereka merasa happy jika mengabdi sepenuhnya tanpa reserve kepada suami.

Tidaklah heran jika para feminis --sebagaimana dapat dilihat dalam buku-buku yang bercorak feminis-- memulai pembahasan dan kajiannya dengan menyorot aspek-aspek teologi, seperti cerita tentang tulang rusuk, perempuan sebagai helper Adam, dan pelanggaran Hawa dihubungkan dengan dosa warisan (original sin).

Melihat dari apa yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dipahami bahwasanya pembahasan mengenai gender tidak bisa dipisahkan dengan pemahaman teologis, terutama Islam, yang bersumber dari wahyu Allah SWT dan hadist Nabawiyah, sehingga dalam hal ini penulis ingin mengadakan suatu penelitian tentang konsepsi-konsepsi al-Qur’an -- sebagai sumber ajaran Islam -- tentang pendidikan gender yang telah dilakukan di pondok-pondok pesantren, yang mana pondok merupakan lembaga pendidikan yang mengedepankan ajaran agama dan moral yang bersumber dari al-Qur’an.

Adapun judul dari penelitian yang dikemukakan oleh peneliti adalah: “KONSEPSI AL QUR’AN TENTANG PENDIDIKAN GENDER (ANALISIS PENDIDIKAN GENDER DI PONDOK PESANTREN)

B. Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang yang telah dikemukkan oleh peneliti di atas, penelitian ini sesungguhnya ingin memahami konsep-konsep al-qur’an tentang pendidikan gender yang diterapkan di pondok pesantren dan aplikasinya pada kehidupan sehari-hari di lingkungan pondok pesantren. Sebab sebagaimana diketahui bahwasanya penerapan gender di beberapa pondok pesantren terasa masih bias, hal ini dimungkinkan dampak dari buku-buku yang diajarkan di pondok pesantren, terutama di pondok pesantren yang bersifat “tradisional” (salafiyah).

Dari apa yang diungkapkan oleh peneliti, maka dapatlah dirumuskan permasalah di atas sebagai berikut:

1. Bagaimanakah konsep-konsep al-qur’an tentag pendidikan gender yang diberikan di pondok pesantren.

2. Bagaimanakah penerapan pendidikan gender yang telah diberikan terhadap kehidupan sehari-hari di lingkungan pondok pesantren.

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan diadakahnya penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui konsep-konsep al-qur’an tentang pendidikan gender yang diberikan di pondok pesantren.

2. Untuk mengetahui penerapan pendidikan gender yang diberikan terhadap kehidupan sehari-hari di lingkungan pondok.

D. Pentingnya Penelitian

Arti penting penelitian ini dapat ditinjau dari segi praktis dan teoritis. Dari segi praktis, temuan penelitian ini dapat memberikan informasi tentang gambaran umum penerapan gender di pondok pesantren. Adapun dari segi teoritik, penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui konsep-konsep al-qur’an tentang pendidikan gender yang diajarkan di pondok pesantren.

E. Landasan Teori

Bertolak dari uraian di atas, penelitian ini diberi judul: KONSEPSI AL QUR’AN TENTANG PENDIDIKAN GENDER (ANALISIS PENDIDIKAN GENDER DI PONDOK PESANTREN)”. Agar diperoleh kejelasan pengertian, berikut ini diuraikan argumentasi konseptualnya.

1. Konsep?

2. Al-Qur’an?

3. Pendidikan?

4. Gender?

5. Pondok Pesantren?

F. Metode Penelitian

G. Kerangka Penelitian

Sumbangan Peradaban Islam Terhadap Perkembangan Filsafat dan Ilmu Pengetahuan

Oleh:

Haeruddin

IKL/C.66.102.0061

E-mail: herdian2003@yahoo.com

Pendahuluan

Dalam suatu diskusi dengan topik hujan buatan, yang dihadiri oleh beberapa mahasiswa aktivis kampus, seorang peserta diskusi melontarkan pandangannya tentang hukum hujan buatan menurut syariat Islam. Dalam pandangan sang mahasiswa tadi, yang kebetulan jebolan pesantren kenamaan di Jawa, hujan buatan itu hukumnya haram, karena mendahului kehendak Tuhan, yang berkuasa menurunkan hujan.

Pada kesempatan lain, seorang kyai dalam suatu ceramah menyatakan bahwa mempelajari hukum positif seperti yang diajarkan di fakultas hukum di perguruan tinggi, haram hukumnya menurut ajaran Islam. Dalam pandangan sang kyai, hukum yang boleh dipelajari hanyalah hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.

Kedua ilustrasi diatas memberi kesan betapa masih kerdilnya pemahaman sebagian umat Islam, dari golongan terdidik sekalipun, terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang hingga kini. Bahkan seolah memberi kesan bahwa ada sebagian umat Islam yang masih anti ilmu pengetahuan dan teknologi, dan lebih menyenangi hidup konservatif seperti zaman dahulu. Walaupun kadang-kadang pandangan dan sikap mereka terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi tidak konsisten. Sebagai contoh ada beberapa kalangan yang tidak mau menggunakan sendok dan garpu pada saat makan, karena menurutnya hal itu tidak sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW. Namun anehnya, mereka kemana-mana tidak berjalan kaki atau naik unta, seperti pada Zaman Rasulullah, melainkan naik motor atau mobil, yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah.

Jika kita menoleh ke belakang menapaki alur perjalanan sejarah peradaban umat manusia, maka sikap konservatif ini pernah menghinggapi semua peradaban di dunia. Dari sejarah diketahui bahwa sikap seperti ini telah menimbulkan korban pada berbagai kalangan yang memiliki pandangan yang berbeda dengan keyakinan agama yang berkembang saat itu. Dalam Sejarah Kristen tercatat banyak ilmuwan menjadi korban, oleh karena memiliki pandangan yang berbeda dengan pihak gereja, sedang dalam Sejarah Islam pengajaran filsafat pernah dilarang dipelajari termasuk diajarkan di perguruan tinggi seperti perguruan tinggi kenamaan Al-Azhar yang ada di Kairo, Mesir.

Sejarah telah membuktikan bahwa adanya sikap konservatif terhadap pandangan-pandangan baru, telah menghantarkan peradaban ke dalam masa-masa kegelapan. Sejarah Islam telah mencatat bahwa masa keemas-an Islam (The Golden Age of Islam) terjadi pada masa pemerintahan Dinasti Abbas (Abbasiyah), yang sangat terbuka terhadap perkembangan berbagai pemikiran baru. Bersamaan dengan dilarangnya belajar-mengajar filsafat, umat Islam mengalami kemunduran, hingga terpuruk ke dalam belenggu penjajahan Negara-negara Barat.

Timbulnya kesadaran baru di kalangan umat Islam untuk keluar dari belenggu penjajahan, tidak lepas dari keberanian beberapa pembaharu dunia Islam seperti Jamaluddin al Afghani dan Muhammad Abduh, yang menganjurkan agar umat Islam kembali mempelajari filsafat dan membuka diri kepada munculnya ide-ide baru.

Berangkat dari uraian diatas, maka dalam tulisan berikut ini akan dipa-parkan bagaimana sumbangan peradaban Islam pada masa keemasannya dahulu terhadap perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan, dengan maksud untuk meluruskan pandangan bahwa Umat Islam itu seolah-olah anti ilmu pengetahuan dan teknologi.

Filsafat dan ilmu pengetahuan.

Istilah filsafat mulai dikenal pada zaman Yunani kuno, berasal dari kata philo yang berarti cinta dan sophia yang berarti kebenaran. Jadi orang yang mempelajari filsafat adalah orang yang cinta kebenaran. Untuk mencapai kebenaran seseorang harus mempunyai pengetahuan. Sese-orang yang mengetahui sesuatu, dapat dikatakan telah mencapai kebenaran tentang sesuatu tersebut menurut dirinya sendiri, meskipun apa yang dianggapnya benar itu belum tentu benar menurut orang lain.

Pengetahuan tidak sama dengan ilmu, karena ilmu adalah bagian dari pengetahuan. Seseorang yang mengetahui cara memainkan berbagai alat musik atau cara menggunakan berbagai alat untuk melukis, tidak dapat dikatakan memiliki ilmu bermain musik atau ilmu melukis. Oleh karena bermain musik dan melukis bukanlah ilmu melainkan seni. Demikian pula orang yang memiliki pengetahuan tentang adanya kebangkitan/kehidupan setelah kematian, tidak dapat dikatakan memiliki ilmu tentang kehidupan setelah kematian, oleh karena hal tersebut telah berada di luar batas pengalaman manusia dan hal demikian itu telah menjadi urusan agama.

Filsafat adalah dasar pijakan ilmu. Berbagai disiplin ilmu yang berkembang dewasa ini, pada mulanya adalah filsafat. Ilmu fisika berasal dari filsafat alam (natural philosophy) dan ilmu ekonomi pada mulanya bernama filsafat moral (moral philosophy). Durant (1933) mengibaratkan filsafat sebagai pasukan marinir yang bertugas merebut pantai, untuk mendaratkan pasukan infanteri. Pasukan infanteri adalah pengetahuan yang diantaranya adalah ilmu. Imulah yang membelah gunung dan merambah hutan, menyempurnakan kemenangan filsafat menjadi pengetahuan yang dapat diandalkan.

Dalam perkembangan filsafat menjadi ilmu, terdapat taraf peralihan. Dalam taraf peralihan ini ruang kajian filsafat menjadi lebih sempit dan sektoral. Pada masa transisi ini ilmu tidak mempermasalahkan lagi unsur etika secara keseluruhan, namun terbatas pada unsur-unsur praktis guna memenuhi hajat hidup manusia. Meskipun demikian secara konseptual, ilmu masih menyandarkan dirinya pada norma filsafat.

Pada tahap perkembangan lebih lanjut, ilmu menyatakan dirinya bebas dari filsafat dan berkembang berdasarkan penemuan ilmiah, sesuai dengan tabiat alam apa adanya. Pada tahap ini perkembangan ilmu tidak lagi berdasarkan metode normatif dan deduktif, tetapi menggunakan kombinasi dari metode deduktif dan induktif, yang dihubungkan oleh pengujian hipotesis, yang dikenal sebagai metode logico-hypothetico-verificative.

Auguste Comte (1798 – 1857) membagi perkembangan pengetahuan ke dalam 3 tahap, yaitu : tahap religius, metafisik dan positif. Pada tahap pertama postulat ilmiah menggunakan azas religi, sehingga ilmu merupakan penjabaran (deduksi) dari ajaran agama. Pada tahap kedua postulat ilmiah didasarkan pada azas metafisika, yaitu keraguan mengenai eksistenis obyek yang ditelaah. Pada tahap ketiga perkembangan ilmu, dilakukan pengujian positif terhadap semua yang digunakan dalam proses verifikasi yang obyektif.

Sumbangan Peradaban Islam Terhadap Perkembangan Filsafat dan Ilmu Pengetahuan

Terdapat 2 pendapat mengenai sumbangan peradaban Islam terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan, yang terus berkembang hingga saat ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa orang Eropah belajar filsafat dari filosof Yunani seperti Aristoteles, melalui kitab-kitab yang disalin oleh St. Agustine (354 – 430 M), yang kemudian diteruskan oleh Anicius Manlius Boethius (480 – 524 M) dan John Scotus. Pendapat kedua menyatakan bahwa orang Eropah belajar filsafat orang-orang Yunani dari buku-buku filasafat Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh filosof Islam seperti Al-Kindi dan Al-Farabi. Terhadap pendapat pertama Hoesin (1961) dengan tegas menolaknya, karena menurutnya salinan buku filsafat Aristoteles seperti Isagoge, Categories dan Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah Romawi bersamaan dengan eksekusi mati terhadap Boethius, yang dianggap telah menyebarkan ajaran yang dilarang oleh negara. Selanjutnya dikatakan bahwa seandainya kitab-kitab terjemahan Boethius menjadi sumber perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di Eropah,, maka John Salisbury, seorang guru besar filsafat di Universitas Paris, tidak akan menyalin kembali buku Organon karangan Aristoteles dari terjemahan-terjemahan berbahasa Arab, yang telah dikerjakan oleh filosof Islam.

Sebagaimana telah diketahui, orang yang pertama kali belajar dan mengajarkan filsafat dari orang-orang sophia atau sophists (500 – 400 SM) adalah Socrates (469 – 399 SM), kemudian diteruskan oleh Plato (427 – 457 SM). Setelah itu diteruskan oleh muridnya yang bernama Aristoteles (384 – 322 SM). Setelah zaman Aristoteles, sejarah tidak mencatat lagi generasi penerus hingga munculnya Al-Kindi pada tahun 801 M. Al-Kindi banyak belajar dari kitab-kitab filsafat karangan Plato dan Aristoteles. Oleh Raja Al-Makmun dan Raja Harun Al-Rasyid pada Zaman Abbasiyah, Al-Kindi diperintahkan untuk menyalin karya Plato dan Aristoteles tersebut ke dalam Bahasa Arab.

Sejarawan menempatkan Al-Kindi sebagai filosof Arab pertama yang mempelajari filsafat. Ibnu Al-Nadhim mendudukkan Al-Kindi sebagai salah satu orang termasyhur dalam filsafat alam (natural philosophy). Buku-buku Al-Kindi membahas mengenai berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti geometri, aritmatika, astronomi, musik, logika dan filsafat. Ibnu Abi Usai’bia menganggap Al-Kindi sebagai penterjemah terbaik kitab-kitab ilmu kedokteran dari Bahasa Yunani ke dalam Bahasa Arab. Disamping sebagai penterjemah, Al-Kindi menulis juga berbagai makalah. Ibnu Al-Nadhim memperkirakan ada 200 judul makalah yang ditulis Al-Kindi dan sebagian diantaranya tidak dapat dijumpai lagi, karena raib entah kemana. Nama Al-Kindi sangat masyhur di Eropah pada abad pertengahan. Bukunya yang telah disalin kedalam bahasa Latin di Eropah berjudul De Aspectibus berisi uraian tentang geometri dan ilmu optik, mengacu pada pendapat Euclides, Heron dan Ptolemeus. Salah satu orang yang sangat kagum pada berbagai tulisannya adalag filosof kenamaan Roger Bacon.

Beberapa kalangan beranggapan bahwa Al-Kindi bukanlah seorang filosof sejati. Dr. Ibrahim Madzkour, seorang sarjana filsafat lulusan Peran-cis yang berasal dari Mesir, beranggapan bahwa Al-Kindi lebih tepat dika-tegorikan sebagai seorang ilmuwan (terutama ilmu kedokteran, farmasi dan astronomi) daripada seorang filosof. Hanya saja karena Al-Kindi yang pertama kali menyalin kitab Plato dan Aristoteles kedalam Bahasa Arab, maka ia dianggap sebagai orang yang pertama kali memperkenalkan filsafat pada Dunia Islam dan kaum Muslimin.

Meskipun pada beberapa hal Al-Kindi sependapat dengan Aristoteles dan Plato, namun dalam hal-hal tertentu Al-Kindi memiliki pandangan tersendiri. Al-Kindi tidak sependapat dengan Aristoteles yang menyatakan bahwa waktu dan benda adalah kekal. Dan untuk membuktikan hal tersebut Al-Kindi telah menggunakan pendekatan matematika. Al-Kindi tidak sepaham pula dengan Plato dan Aristoteles yang menyatakan bahwa bentuk merupakan sebab dari wujud, serta pendapat Plato yang menyatakan bahwa cita bersifat membiakkan. Menurut Al-Kindi alam semesta ini merupakan sari dari sesuatu yang wujud (ada). Semesta alam ini merupakan kesatuan dari sesuatu yang berbilang, ia juga bukan merupakan sebab wujud.

Sepeninggal Al-Kindi, muncul filosof-filosof Islam kenamaan yang terus mengembangkan filsafat. Filosof-filosof itu diantaranya adalah : Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rushd, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Muhamad Iqbal.

Al-Farabi sangat berjasa dalam mengenalkan dan mengembangkan cara berpikir logis (logika) kepada dunia Islam. Berbagai karangan Aristoteles seperti Categories, Hermeneutics, First dan Second Analysis telah diterjemahkan Al-Farabi kedalam Bahasa Arab. Al-Farabi telah membicarakan berbagai sistem logika dan cara berpikir deduktif maupun induktif. Disamping itu beliau dianggap sebagai peletak dasar pertama ilmu musik dan menyempurnakan ilmu musik yang telah dikembangkan sebelumnya oleh Phytagoras. Oleh karena jasanya ini, maka Al-Farabi diberi gelar Guru Kedua, sedang gelar guru pertama diberikan kepada Aristoteles.

Kontribusi lain dari Al-Farabi yang dianggap cukup bernilai adalah usahanya mengklassifikasi ilmu pengetahuan. Al-Farabi telah memberikan definisi dan batasan setiap ilmu pengetahuan yang berkembang pada zamannya. Al-Farabi mengklassifikasi ilmu kedalam tujuh cabang yaitu : logika, percakapan, matematika, fisika, metafisika, politik dan ilmu fiqhi (hukum).

Ilmu percakapan dibagi lagi kedalam tujuh bagian yaitu : bahasa, gramatika, sintaksis, syair, menulis dan membaca. Bahasa dalam ilmu percakapan dibagi dalam : ilmu kalimat mufrad, preposisi, aturan penulisan yang benar, aturan membaca dengan benar dan aturan mengenai syair yang baik. Ilmu logika dibagi dalam 8 bagian, dimulai dengan kategori dan diakhiri dengan syair (puisi).

Matematika dibagi dalam tujuh bagian yaitu : aritmetika, geometri, astronomi, musik, hizab baqi (arte ponderum) dan mekanika.

Metafisika dibagi dalam dua bahasan, bahasan pertama mengenai pengetahuan tentang makhluk dan bahasan kedua mengenai filsafat ilmu.

Politik dikatakan sebagai bagian dari ilmu sipil dan menjurus pada etika dan politika. Perkataan politieia yang berasal dari bahasa Yunani diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab menjadi madani, yang berarti sipil dan berhubungan dengan tata cara mengurus suatu kota. Kata ini kemudian sangat populer digunakan untuk menyepadankan istilah masyarakat sipil menjadi masyarakat madani.

Ilmu agama dibagi dalam ilmu fiqh dan imu ketuhanan/kalam (teologi).

Buku Al-Farabi mengenai pembagian ilmu ini telah diterjemahkan kedalam Bahasa Latin untuk konsumsi Bangsa Eropah dengan judul De Divisione Philosophae. Karya lainnya yang telah diterjemahkan kedalam Bahasa Latin berjudul De Scientiis atau De Ortu Scientearum. Buku ini mengulas berbagai jenis ilmu seperti ilmu kimia, optik dan geologi.

Ibnu Sina dikenal di Barat dengan sebutan Avicienna. Selain sebagai seorang filosof, ia dikenal sebagai seorang dokter dan penyair. Ilmu pengetahuan yang ditulisnya banyak ditulis dalam bentuk syair. Bukunya yang termasyhur Canon, telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin oleh Gerard Cremona di Toledo. Buku ini kemudian menjadi buku teks (text book) dalam Ilmu Kedokteran yang diajarkan pada beberapa perguruan tinggi di Eropah, seperti Universitas Louvain dan Montpelier. Dalam kitab Canon, Ibnu Sina telah menekankan betapa pentingnya penelitian eksperimental untuk menentukan khasiat suatu obat. Ibnu Sina menyatakan bahwa daya sembuh suatu jenis obat sangat tergantung pada ketepatan dosis dan ketepatan waktu pemberian. Pemberian obat hendaknya disesuaikan dengan kekuatan penyakit.

Kitab lainnya berjudul Al-Shifa diterjemahkan oleh Ibnu Daud (di Barat dikenal dengan nama Avendauth-Ben Daud) di Toledo. Oleh karena Al-Shifa sangat tebal, maka bagian yang diterjemahkan oleh Ibnu Daud terbatas pada pendahuluan ilmu logika, fisika dan De Anima.

Ibnu Sina membagi filsafat atas bagian yang bersifat teoritis dan bagian yang bersifat praktis. Bagian yang bersifat teoritis meliputi : matematika, fisika dan metafisika, sedang bagian yang bersifat praktis meliputi : politik dan etika.

Dalam hal logika Ibnu Sina memiliki pandangan serupa dengan para filosof Islam lainnyanya seperti Al-Farabi, Al-Ghazali dan Ibnu Rushd, yang beranggapan bahwa logika adalah alat filsafat, sebagaimana di tuliskan dalam syairnya :

Perlulah manusia mempunyai alat

Pelindung akal dari yang palsu

Imu logika namanya alat

Alat pencapai semua ilmu

Berbeda dengan filosof-filosof Islam pendahulunya yang lahir dan besar di Timur, Ibnu Rushd dilahirkan di Barat (Spanyol). Filosof Islam lainnya yang lahir di barat adalah Ibnu Baja (Avempace) dan Ibnu Tufail (Abubacer).

Ibnu baja dan Ibnu Tufail merupakan pendukung rasionalisme Aris-toteles. Menurut Ibnu Tufail, manusia dapat mencapai kebenaran sejati dengan menggunakan petunjuk akal dan petunjuk wahyu. Pendapat ini dituangkan dengan baik dalam cerita Hayy-Ibnu Yakdzhan, yang menceritakan bagaimana Hayy yang tinggal pada suatu pulau terpencil sendirian tanpa manusia lain dapat menemukan kebenaran sejati melalui petunjuk akal, kemudian bertemu dengan Absal yang memperoleh kebenaran sejati dengan petunjuk wahyu. Akhirnya kedua orang ini bisa menjadi sahabat.

Ibnu Rushd yang lahir dan dibesarkan di Cordova, Spanyol meskipun seorang dokter dan telah mengarang Buku Ilmu Kedokteran berjudul Colliget, yang dianggap setara dengan kitab Canon karangan Ibnu Sina, lebih dikenal sebagai seorang filosof.

Ibnu Rushd telah menyusun 3 komentar mengenai Aristoteles, yaitu : komentar besar, komentar menengah dan komentar kecil. Ketiga komentar tersebut dapat dijumpai dalam tiga bahasa : Arab, Latin dan Yahudi. Dalam komentar besar, Ibnu Rushd menuliskan setiap kata dalam Stagirite karya Aristoteles dengan Bahasa Arab dan memberikan komentar pada bagian akhir. Dalam komentar menengah ia masih menyebut-nyebut Aritoteles sebagai Magister Digit, sedang pada komentar kecil filsafat yang diulas murni pandangan Ibnu Rushd.

Pandangan Ibnu Rushd yang menyatakan bahwa jalan filsafat merupakan jalan terbaik untuk mencapai kebenaran sejati dibanding jalan yang ditempuh oleh ahli agama, telah memancing kemarahan pemuka-pemuka agama, sehingga mereka meminta kepada khalifah yang memerintah di Spanyol untuk menyatakan Ibnu Rushd sebagai atheis. Sebenarnya apa yang dikemukakan oleh Ibnu Rushd sudah dikemukakan pula oleh Al-Kindi dalam bukunya Falsafah El-Ula (First Philosophy). Al-Kindi menyatakan bahwa kaum fakih tidak dapat menjelaskan kebenaran dengan sempurna, oleh karena pengetahuan mereka yang tipis dan kurang bernilai.

Pertentangan antara filosof yang diwakili oleh Ibnu Rushd dan kaum ulama yang diwakili oleh Al-Ghazali semakin memanas dengan terbitnya karangan Al-Ghazali yang berjudul Tahafut-El-Falasifah, yang kemudian digunakan pula oleh pihak gereja untuk menghambat berkembangnya pikiran bebas di Eropah pada Zaman Renaisance. Al-Ghazali berpendapat bahwa mempelajari filsafat dapat menyebabkan seseorang menjadi atheis. Untuk mencapai kebenaran sejati menurut Al-Ghazali hanya ada satu cara yaitu melalui tasawuf (mistisisme). Buku karangan Al-Ghazali ini kemudian ditanggapi oleh Ibnu Rushd dalam karyanya Tahafut-et-Tahafut (The Incohenrence of the Incoherence).

Kemenangan pandangan Al-Ghazali atas pandangan Ibnu Rushd telah menyebabkan dilarangnya pengajaran ilmu filsafat di berbagai perguruan-perguruan Islam. Hoesin (1961) menyatakan bahwa pelarangan penyebaran filsafat Ibnu Rushd merupakan titik awal keruntuhan peradaban Islam yang didukung oleh maraknya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini sejalan dengan pendapat Suriasumantri (2002) yang menyatakan bahwa perkembangan ilmu dalam peradaban Islam bermula dengan berkembangnya filsafat dan mengalami kemunduran dengan kematian filsafat.

Bersamaannya dengan mundurnya kebudayaan Islam, Eropah mengalami kebangkitan. Pada masa ini, buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan karangan dan terjemahan filosof Islam seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rushd diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin. Pada zaman itu Bahasa Latin menjadi bahasa kebudayaan bangsa-bangsa Eropah. Penterjemahan karya-karya kaum muslimin antara lain dilakukan di Toledo, ketika Raymund menjadi uskup Besar Kristen di Toledo pada Tahun 1130 – 1150 M. Hasil terjemahan dari Toledo ini menyebar sampai ke Italia. Dante menulis Divina Comedia setelah terinspirasi oleh hikayat Isra dan Mikraj Nabi Muhammad SAW. Universitas Paris menggunakan buku teks Organon karya Aristoteles yang disalin dari Bahasa Arab ke dalam Bahasa Latin oleh John Salisbury pada tahun 1182.

Seperti halnya yang dilakukan oleh pemuka agama Islam, berkembangnya filsafat ajaran Ibnu Rushd dianggap dapat membahayakan iman kristiani oleh para pemuka agama Kristen, sehingga sinode gereja mengeluarkan dekrit pada Tahun 1209, lalu disusul dengan putusan Papal Legate pada tahun 1215 yang melarang pengajaran dan penyebaran filsafat ajaran Ibnu Rushd.

Pada Tahun 1215 saat Frederick II menjadi Kaisar Sicilia, ajaran filsafat Islam mulai berkembang lagi. Pada Tahun 1214, Frederick mendirikan Universitas Naples, yang kemudian memiliki akademi yang bertugas menterjemahkan kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam Bahasa latin. Pada tahun 1217 Frederick II mengutus Michael Scot ke Toledo untuk mengumpulkan terjemahan-terjemahan filsafat berbahasa latin karangan kaum muslimin. Berkembangnya ajaran filsafat Ibnu Rushd di Eropah Barat tidak lepas dari hasil terjemahan Michael Scot. Banyak orientalis menyatakan bahwa Michael Scot telah berhasil menterjemahkan Komentar Ibnu Rushd dengan judul de coelo et de mundo dan bagian pertama dari Kitab Anima.

Pekerjaan yang dilakukan oleh Kaisar Frederick II untuk menterje-mahkan karya-karya filsafat Islam ke dalam Bahasa Latin, guna mendorong pengembangan ilmu pengetahuan di Eropah Barat, serupa dengan pekerjaan yang pernah dilakukan oleh Raja Al-Makmun dan Harun Al-Rashid dari Dinasti Abbasiyah, untuk mendorong pengembangan ilmu pengetahuan di Jazirah Arab

Setelah Kaisar Frederick II wafat, usahanya untuk mengembangkan pengetahuan diteruskan oleh putranya. Untuk tujuan ini putranya mengutus orang Jerman bernama Hermann untuk kembali ke Toledo pada tahun 1256. Hermann kemudian menterjemahkan Ichtisar Manthiq karangan Al-Farabi dan Ichtisar Syair karangan Ibnu Rushd. Pada pertengahan abad 13 hampir seluruh karya Ibnu Rushd telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin, termasuk kitab tahafut-et-tahafut, yang diterjemahkan oleh Colonymus pada Tahun 1328.

Pada pertengahan abad 12 kalangan gereja melakukan sensor terhadap karangan Ibnu Rushd, sehingga saat itu berkembang 2 paham yaitu paham pembela Ibnu Rushd (Averroisme) dan paham yang menentangnya. Kalangan yang menentang ajaran filsafat Ibnu Rushd ini antara lain pendeta Thomas Aquinas, Ernest Renan dan Roger Bacon. Mereka yang menentang Averroisme umumnya banyak menggunakan argumentasi yang dikemukakan oleh Al-Ghazali dalam kitabnya Tahafut-el-Falasifah. Dari hal ini dapat dikatakan bahwa apa yang diperdebatkan oleh kalangan filosof di Eropah Barat pada abad 12 dan 13, tidak lain adalah masalah yang diperdebatkan oleh filosof Islam.

Jalan Tengah : bagaimana seharusnya ?

Uraian diatas menunjukkan kepada kita betapa besar sumbangan peradaban Islam terhadap pengembangan filsafat dan ilmu pengetahuan, yang kita kenal sekarang. Meskipun sampai saat ini masih terdapat kecenderungan untuk menafikan pengaruh peradaban Islam terhadap perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan. Diantaranya sebagaimana ungkapan Rene Sedillot, yang menyatakan bahwa sumbangsih peradaban Islam terhadap peradaban umat manusia, hanyalah berupa pembakaran perpustakaan dan penebangan hutan tanpa sejengkal tanah pun ditanami.

Semangat mencari kebenaran yang dirintis oleh pemikir Yunani dan hampir padam oleh karena jatuhnya Imperium Romawi, hidup kembali dalam kebudayaan Islam. Wells (1951) menyatakan bahwa jika orang Yunani adalah Bapak Metode Ilmiah, maka kaum muslimin adalah Bapak Angkat Metode Ilmiah. Metode Ilmiah diperkenalkan ke dunia barat oleh Roger Bacon (1214 – 1294) dan selanjutnya dimantapkan sebagai paradigma ilmiah oleh Francis Bacon (1561 – 1626).

Semangat para filosof dan ilmuwan Islam untuk mengembangkan ilmu pengetahuan tidak lepas dari semangat ajaran Islam, yang menganjurkan para pemeluknya belajar segala hal, sampai ke Negeri Cina sekalipun, sebagaimana perintah Allah SWT dalam Al Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW.

Mengenai pertentangan yang terjadi antara kaum filosof dengan kaum tasawuf, mengenai alat yang digunakan dalam rangka mencari kebenaran sejati, yang terus berlanjut hingga saat ini, seharusnya dapat dihindari, bilamana kedua belah pihak menyadari bahwa Tuhan telah menganugerahi manusia dengan potensi akal (baca otak) dan hati/kalbu. Kedua potensi itu bisa dimiliki oleh seseorang dalam kadar yang seimbang, namun dapat pula salah satu potensi lebih berkembang daripada lainnya.

Orang yang sangat berkembang potensi akalnya, sangat senang menggunakan akalnya itu untuk memecahkan sesuatu. Orang demikian ini lebih senang melakukan olah rasio daripada olah rasa dalam pencarian kebenaran sejati dan sangat berbakat menjadi pemikir atau filosof.

Sementara itu orang yang sangat berkembang potensi hati atau kalbunya, sangat senang mengeksplorasi perasaannya untuk memecahkan suatu masalah. Orang demikian ini amat suka melakukan olah rasa daripada olah rasio, untuk menemukan kebenaran sejati dan sangat berbakat menjadi seniman atau ahli tasawuf.

Oleh karena itu seharusnya tidak perlu terjadi pertentangan antara ahli filsafat dan ahli tasawuf, karena keduanya adalah anugerah tuhan yang seharusnya diterima dengan penuh rasa syukur. Seharusnya filosof dan ahli tasawuf dapat hidup berdampingan dengan damai, dan saling melengkapi diantara keduanya, sebagaimana cerita Ibnu Tufail dalam Hayy-Ibnu Yakdzhan, yang telah diuraikan sebelumnya sebelumnya.

Daftar Pustaka

Durant, W. 1933. The story of philosophy. Simon and Schuster, New York.

Hoesin, O.A. 1961. Filsafat Islam. Penerbit Bulan Bintang, Djakarta.

Praja, J.S. 2002. Filsafat dan metodologi ilmu dalam Islam. Penerbit Teraju, Jakarta

Sarton, G. 1927. Introduction to the history of science. Baltimore

Suriasumantri, J.S. 2002. Filsafat ilmu, sebuah pengantar populer, cetakan ke-15. Pustaka Sinar harapan, Jakarta

Wells, H.G. 1951. The out line of history. Cassel and Company, London.

Lampiran 1. Perkembangan filsafat dunia (Hoesin, 1961)

Dimensi Filsafat dalam Wahyu
Oleh: Pradana Boy ZTF

POSISI wahyu dalam Islam sangatlah sentral. Berdasarkan kondisi historis maupun normatif, posisi wahyu itu demikian penting dalam mengarahkan, membimbing, dan meletakkan dasar relasi antara manusia dengan realitas transenden yang diyakininya. Wahyu pulalah yang mampu menjadi mediasi strategis bagi proses komunikasi ilahiyah antara manusia dengan Tuhannya.

Dalam tradisi filsafat Islam, wahyu bahkan bertindak sebagai sumber pengetahuan (Bakar, 1997). Pengetahuan manusia yang diperoleh melalui wahyu memiliki status yang spesifik, karena seorang penerima pengetahuan melalui wahyu adalah orang yang memiliki otoritas keagamaan tinggi yang sering diistilahkan dengan Nabi. Sementara manusia biasa menerima keberadaan wahyu sebagai rukun iman yang harus dipercayai secara taken for granted, para filosof berusaha untuk mendudukkan wahyu sebagai realitas keilmuan yang bisa dikaji secara teoretis. Atas dasar asumsi inilah, tulisan ini bermaksud mengkaji dimensi-dimensi filsafat dalam wahyu.

Dalam filsafat ilmu terdapat dua aliran yang sering dianggap sebagai cara yang dikotomik dalam memperoleh pengetahuan: rasionalisme di satu sisi, dan empirisisme di sisi yang lain. Aliran pertama lebih menekankan pada dominasi akal dalam memperoleh pengetahuan, sementara yang kedua lebih mengakui pengalaman sebagai sumber otentik pengetahuan (Bahm, 1990). Kedua aliran ini, dengan sendirinya, secara ekstrim tidak mengakui realitas lain di luar akal dan pengalaman atau fakta. Wahyu sebagai sebuah realitas di luar realitas itu, dengan demikian, tidak diakui sebagai sumber pengetahuan.

Islam sebagai sebuah agama yang menekankan keseimbangan, tidak memihak atau menolak salah satu aliran itu secara ekstrim. Bahkan, Islam menawarkan satu konsep epistemologi moderat yang sering disebut oleh Kuntowijoyo (1997) sebagai epistemologi relasional. Konsep ini, jelas Kunto, bermaksud menggabungkan akal, pengalaman dan wahyu dalam satu hubungan dialektik yang tidak pernah putus. Wahyu sebagai respon ilahiyah terhadap persoalan kemanusiaan, lahir dalam satu kondisi historitas tertentu (Zaid, 2001). Tesis ini juga dengan sangat optimis dipegang oleh Thaha Hussein yang membagi wahyu kepada dua dimensi: the first massage di satu sisi, dan the second massage, di sisi lain.

Semua penjelasan ini mengemukakan bahwa wahyu tidak berdiri sendiri dalam mengatasi persoalan kemanusiaan. Intervensi akal menjadi hal yang tidak bisa dihindari dalam menerjemahkan "kemauan" wahyu yang seringkali -atau bahkan selalu- turun dengan rumusan-rumusan bahasa langit. Intervensi akal kemanusiaan inilah yang menghubungkan wahyu dengan fakta dan realitas historis yang dihadapi. Peristiwa Tahkim yang mengakhiri peperangan kelompok Ali dan Mu'awiyah, yang kemudian diselewengkan oleh Muawiyah sebagai bentuk penyerahan kekuasaan oleh Ali kepadanya, menjadi satu bukti historis bahwa wahyu sangat terbuka terhadap interpretasi kemanusiaan, bahkan ketika interpretasi itu menyesatkan. Itulah al-Qur'an, kata Ali, yang hanya bisa bicara ketika manusia menafsirkannya.

Al-Farabi ketika menjelaskan tentang wahyu menuliskan bahwa ketika seorang Nabi menerima wahyu, setidaknya ada tiga jenis intelek yang dilibatkan: Pertama, intelek aktif, yakni satu entitas kosmik yang bertindak sebagai perantara transenden antara Tuhan dan manusia. Kedua, adalah intelek perolehan (al-'aql al-mustafad) yang diperoleh Nabi hanya jika jiwanya bersatu dengan intelek aktif. Dalam persenyawaan ini, tulis Osman Bakar, intelek perolehan menerima pengetahuan transenden dari intelek aktif. Ketiga, adalah intelek pasif (al-aql al-munfail) yang merupakan kondisi intelek penerimaan wahyu secara umum.

Wahyu yang diterima oleh para Nabi, menurut Abdul Kalam Azad, bukanlah sesuatu yang baru, melainkan pesan-pesan yang pernah diberikan kepada para Nabi pendahulunya. Muhammad, tulis Azad, tidak datang dengan pesan-pesan baru, melainkan dengan pesan-pesan yang sama seperti yang pernah diterima oleh Nabi Adam, Nuh, Ya'kub, Ismail, Yusuf, Sulaiman, Daud, Musa, Isa dan Nabi-nabi lain yang diutus di seantero dunia ini. Meskipun ada di antara Nabi-nabi itu yang disebutkan dalam al-Qur'an dan tidak, tetapi pesan yang mereka bawa adalah sama, yakni kepercayaan kepada Tuhan dan melakukan kebaikan (ma'ruf) serta menghindari kemungkaran (munkar) dan agama adalah jalan yang tepat untuk menuju semuanya.

Tesis Azad ini, mengingatkan kepada konsep kekekalan ide dalam filsafat. Bahwa konsep-konsep filosofis yang pernah digagas oleh Aristoteles misalnya, memberikan pengaruh yang cukup kuat dalam tradisi pemikiran umat Islam. Para filosof Muslim yang menganggap Aristoteles sebagai "guru pertama" (al-mu'allim al-awwal) menunjukkan pengaruhnya yang besar kepada jalan pikiran para filosof Muslim (Nurcholish, 2000: 226). Kuatnya pengaruh Aristoteles dalam tradisi pemikiran filosof muslim itu makin tegas ketika, Al-Farabi dikukuhkan sebagai "guru kedua" (al-mu'allim al-tsani) setelah Aristoteles.

Dengan demikian, wahyu sebagai guidance bagi umat beragama dalam kehidupannya harus selalu terbuka terhadap intervensi kemanusiaan dan penjelasan akal. Tradisi hermeneutika sebenarnya lahir untuk menjembatani manusia membongkar dimensi-dimensi filosofis yang terkandung dalam wahyu. Wahyu tidak tertutup bagi penjelasan-penjelasan filosofis yang memihak manusia, justru akan menjadi persoalan ketika penjelasan filosofis wahyu memenangkan kehendak Tuhan dengan mengabaikan kepentingan kemanusiaan.

Walaupun wahyu sering disepadankan dengan agama, dan akal disepandankan dengan filsafat, bukan berarti tidak ada kemungkinan untuk mempertemukannya. Dalam hal ini, al-Farabi bahkan meyakini bahwa agama adalah tiruan dari filsafat. Ketika seseorang memperoleh pengetahuan tentang wujud atau memetik pelajaran darinya, jika dia memahami sendiri gagasan-gagasan tentang wujud itu dengan inteleknya, dan pembenaran atas gagasan tersebut dilakukan dengan bantuan demonstrasi tertentu, maka ilmu yang tersusun dari pengetahuan-pengetahuan ini disebut dengan filsafat. Tetapi jika gagasan-gagasan itu diketahui dengan membayangkannya lewat kemiripan-kemiripan yang merupakan tiruan dari mereka, dan pembenaran atas apa yang dibayangkan atas mereka disebabkan oleh metode-metode persuasif, maka pengetahuan yang dihasilkannya
disebut dengan agama.

Tantangan menyelaraskan penafsiran wahyu dengan dinamika zaman yang makin mekanistis ini, jelas menuntut satu penelusuran serius terhadap dimensi-dimensi filosofis dalam wahyu. Penelusuran inilah yang akan mengantarkan umat Islam memandang adil terhadap wahyu: menjadikan wahyu sebagai pedoman kehidupan beragama, sekaligus sebagai sumber inspirasi pembangunan keilmuan dan peradaban Islam yang saat ini tengah dirindukan kembali kejayaannya. Wallahu a'lam bi al-Shawwab.[]

Pradana Boy ZTF. Dosen FAI UMM, Direktur Eksekutif Religion and Social Studies (RëSIST) Malang.

Kritik Hermeneutika Al-Quran

Fauzan Al-Anshari


Akhir-akhir ini kelompok Islam liberal rajin mengintroduksi berbagai artikel yang berisi dekonstruksi atas metode tafsir yang telah mapan dalam sejarah ilmu tafsir. Metode tafsir para Ulama Salaf (Ahlussunnah) dianggap klasik dan tidak kontemporer, sehingga banyak pesan ayat Al-Quran terpasung oleh penafsiran tekstual. Sementara konteks peradaban menuntut adanya berbagai penyesuaian signifikan.

Menurut Nasr Hamid Abu Zayd (Tekstualitas Al-Quran, 2000), Al-Quran sebagai sebuah teks pada dasarnya adalah produk budaya, sehingga tidak ada bedanya dengan buku-buku lain yang juga produk akal manusia. Bahkan Mohammed Arkoun menegaskan bahwa sebuah tradisi akan kering, mati, dan mandeg jika tidak dihidupkan secara terus-menerus melalui penafsiran ulang sejalan dengan dinamika sosial (Rethinking Islam, 1999). Penafsiran terhadap Al-Quran, menurutnya, banyak mengandung problem lantaran rentang waktu dan situasi yang sangat jauh berbeda antara dulu dan sekarang.

Dengan demikian upaya tafsir ulang, walau terhadap ayat-ayat muhkamat sekalipun, dianggap sebagai dinamisasi ayat-ayat Al-Quran dan prestasi akal yang brilyan. Alasan ini diperkuat dengan prasangka Gadamer yang mengatakan bahwa penafsiran Al-Quran selalu terikat dengan subjektivitas penafsir. Karena itu, menurutnya diperlukan metode hermeneutika (penafsiran) sebagai sebuah metode interpretasi dalam memahami pesan Al-Quran agar ketepatan pemahanan (subtilitas inttelegendi) dan ketepatan penjabaran (subtilitas ecsplicandi) dapat tercapai.

Sepintas beberapa alasan perlunya ilmu hermeneutika ala Islam liberal sebagaimana diuraikan secara singkat di atas mengandung kebenaran. Sayangnya, aliran islam liberal sendiri belum menguraikan metodologi hermeneutikanya secara komprehensif, misalnya bagaimana cara menafsirkan QS Al-Ahzab/33:59 yang mewajibkan setiap Muslimah mengenakan jilbab. Yang jelas, kelompok Islam liberal menganggap ayat ini sebagai belenggu yang mengekang hak-hak kaum perempuan. Karena itu, mereka menolak pewajiban jilbab terhadap Muslimah.

Dari sini saja sesungguhnya sangat jelas terlihat bahwa hermeneutika yang dimaksud oleh aliran Islam liberal adalah metode penafsiran yang tidak mau terikat dengan berbagai persyaratan dan metode yang telah menjadi kesepaktan para ulama terdahulu (Salaf). Mereka hendak menafsirkan Al-Quran menurut akal serta hawa nafsu semata. Mereka tidak peduli dengan perkataan Abu Bakar Ash-Shiddieq tentang bahaya menafsirkan Al-Quran dengan akal murni. Kata beliau, ''Langit mana yang akan menaungiku dan bumi mana yang akan kuinjak, andaikata aku menafsirkan Al-Quran dengan akalku?'' Artinya, para Ulama Salaf sepakat bahwa jika menafsirkan Al-Quran hanya dengan akal, walaupun tafsirnya mungkin benar, tetap sebuah kesalahan! Sebab itu, para Ulama Salaf menetapkan manhaj (metode) menafsirkan Al-Quran, yaitu:

Pertama, untuk menafsirkan sebuah ayat harus terlebih dulu dicari tafsirnya dengan ayat yang lain, misalnya tentang hari kiamat (al-qari'ah), apakah kiamat itu (mal-qari'ah), dan ayat seterusnya. Artinya, kita tidak boleh sembarangan menafsirkan hari kiamat sesuai dengan syahwat kita, misalnya dengan mengatakan bahwa kiamat adalah hari tamatnya semua keidupan dan tak ada lagi kehidupan setelahnya. Cara penafsiran ini disebut juga tafsir ayat bil ayat dan merupakan metode tertinggi tafsir Al-Quran.

Kedua, bila tidak ada ayat yang menafsirkan ayat tersebut, maka harus dicari sunnah (hadits) Nabi SAW karena ia merupakan penjelasan terhadap makna Al-Quran sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT: ''Dan ingatlah, ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): 'Hendaklah kamu (Muhammad) menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya', lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruk tukaran yang mereka terima.'' (QS 3:187).
Anehnya, banyak kalangan yang mengaku Islam tapi menolak hadits Nabi SAW dengan alasan kebenarannya tidak mutlak. Sungguh penolakan ini sangat berbahaya. Tanpa hadits Nabi SAW, kita tidak bisa melaksanakan shalat, puasa, haji dan sebagainya karena secara teknis tidak diterangkan dalam Al-Quran.

Ketiga, bila tidak juga ditemukan sunnah yang menerangkan ayat tersebut, maka langkah selanjutnya dicarikan perkataan dari sahabat, misalnya dari tim pencatat wahyu yang memang diakui Nabi SAW sebagai hablul ummah (penyambung ummat) yaitu Abdullah bin Abbas (Tafsir Ibn Abbas), juga sahabat yang lain seperti Abdullah bin Mas'ud dan lain-lain. Peran para sahabat tersebut tidak bisa diremehkan karena mereka mengetahui betul teks dan konteks ayat diturunkan. Belum lagi, mereka sebagai generasi pertama menghafal Alquran yang tsubut (percaya).

Mengingkari peran para sahabat sama saja memotong mata rantai tafsir Alquran.
Keempat, bila tidak ada perkataan sahabat mengenai tafsir sebuah ayat, maka kita melacaknya dari perkataan para tabi'in, seperti Hasan Basri, Ibnu Qatadah, Mujahid, dan lain-lain. Mereka adalah para pengikut sahabat yang setia sehingga kepercayaannya terjamin dan pantas diikuti oleh generasi kemudian.

Kelima, setelah perkataan generasi tabi'in pun tidak ada, baru dicarikan pendapat para imam, seperti Syafi'i, Maliki, Hanbali, Hanafi, dll. Terakhir, bila semua sandaran di atas juga tidak ditemukan, maka baru ayat tersebut ditafsirkan secara lughah (bahasa).

Jadi menafsirkan Alquran secara bahasa (leksikal) itu merupakan tingkat penafsiran terendah. Di luar itu, metode tafsir yang berlaku adalah tafsir bir-rakyi (dengan akal semata) atau dengan kata lain, menggunakan metode apa yang disebut hermeneutika.

Karena itu, tidak sembarang orang boleh menafsirkan Alquran, melainkan harus memenuhi beberapa syarat, misalnya, menurut Imam Thabari (Tafsir At-Thabari) ada tiga: a. orang itu mempunyai akidah yang sehat (benar); b. memahami perkataan para sahabat tentang tafsir Alquran, dan c. mengetahui perkembangan bahasa arab. Sedangkan Imam Suyuti berpendapat, syarat seorang penafsir Alquran setidak-tidaknya adalah: 1. Paham makna mufrodat lughah, 2. Ilmu nahwu, 3. ilmu Sorof, 4. I'rob, 5. Ma'ani, 6. Badi' 7. Nasikh Mansukh 8. Asbabunnuzul 9. Penafsiran para ulama terdahulu 10. Mengetahui mana-mana yang disepakati dan yang tidak, dan sebagainya.

Di sinilah Imam Adz-Dzahabi berpendapat bahwa menafsirkan Alquran tanpa menggunakan metode bil-ma'tsur seperti enam hal di atas termasuk dosa besar, bahkan bisa menyeret pelakunya kepada kekufuran. Pendapatnya ini didasarkan pada firman Allah SWT:

''Katakanlah: 'Rabb-ku hanya mengharamkan perbuatan keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak (asasi) manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui'.'' (QS. 7:33).

Hemat saya, pendapat ini sangat logis ketika harus menghadapi cara penafsiran Alquran yang ngawur dan ngelantur karena akan menyesatkan akidah umat Islam. Kontekstualisasi bukan berarti ayatnya yang diperas, melainkan konteks yang ada disesuaikan dengan pesan-pesan ayat tersebut. []


Fauzan Al-Anshari, Ketua Departemen Data & Informasi Majelis Mujahidin

Semiotika Alquran yang Membebaskan

Mu’adz D’Fahmi

Tafsir klasik konvensional seringkali dinilai hegemonik, mendominasi, anti-konteks, status-quois, mengkungkung kebebasan, dan bahkan menindas. Dengan tujuan untuk mencapai pemaknaan tunggal yang dianggap benar, para ulama menuntut model tafsir yang seragam. Akibatnya, tafsir menjadi asosial, ahumanis, terpusat pada teks, dan mengabaikan unsur-unsur di luar teks.

Saat ini, pergulatan dalam ranah kajian tafsir kontemporer menuntut adanya suatu model tafsir yang membebaskan. Tafsir yang tidak hanya didominasi oleh sebagian golongan tertentu, tetapi juga menampung aspirasi dan pendapat kelompok-kelompok yang selama ini tersubordinatkan. Ini dapat dilihat dari semakin maraknya kemunculan tafsir-tafsir yang menggunakan beragam pendekatan baru dengan bertujuan menggoyang kemapanan tafsir konvensional, seperti hermeneutika, pendekatan feminisme, teologi pembebasan, pendekatan sastra, pendekatan kontekstual, dan posmodernis.

Dengan pertimbangan bahwa al-Quran, yang terdiri dari rangkaian huruf-huruf arab serta tersusun dalam untaian kata-kata dan kalimat, merupakan media tempat carut- marutnya tanda-tanda, maka salah satu pendekatan yang agaknya menarik dan relevan digunakan sebagai metodologi tafsir adalah pendekatan semiotika yang mengkaji bagaimana cara kerja dan fungsi tanda-tanda dalam teks al-Quran.

Semiotika sebagai sebuah disiplin tentang tanda, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya, dapat digunakan untuk memahami tanda-tanda yang terdapat dalam al-Quran. Semiotika berbeda dengan hermeneutika—ilmu tentang kebenaran makna atau makna-makna tersembunyi di balik teks-teks yang secara literer tampak tidak memuaskan atau dianggap superfisial.

Pendekatan hermeneutika dalam tafsir al-Quran menuntut tiga fokus utama yang selalu dipertimbangkan, yaitu: dunia teks, pengarang, dan pembaca. Hermeneutika berbicara mengenai hampir semua hal yang berkaitan dengan ketiga hal tersebut. Sedangkan semiotika membahas sesuatu yang lebih spesifik. Jika hermeneutika memberikan fokus cukup luas yang mencakup teks, pembacaan, pemahaman, tujuan penulisan, konteks, situasi historis, dan kondisi psikologis pembaca maupun pengarang teks. Maka, semiotika mempersempit wilayah kajian tersebut dengan hanya memberikan fokus pembahasan hanya tentang tanda, fungsi, dan cara kerjanya

***

Tokoh utama peletak dasar semiotika modern adalah Ferdinand de Saussure (1857-1913), seorang pengajar linguistik umum di Universitas Jenewa pada 1906. Dalam kumpulan catatan-catatan kuliahnya, Cours de Linguistique Général (1916), Saussure memperkenalkan semiologi atau semiotika sebagai ilmu analisis tanda atau studi tentang bagaimana sistem penandaan berfungsi dan cara kerjanya

Pada perkembangan selanjutnya, semiologi ala Saussure melahirkan lingkaran intelektual yang sangat berpengaruh antara 1950-an sampai 1960-an. Mazhab tersebut disebut strukturalisme. Tesis utama strukturalis ialah bahwa alam dunia dapat dipahami selama kita mampu mengungkap adanya struktur yang menjamin keteraturan, atau pola sistematika benda, kejadian, kata-kata, dan fenomena.

Pendekatan strukturalisme melahirkan karya-karya tafsir yang tentu saja menuntut pemaknaan tunggal. Ayat-ayat al-Quran hanya dapat diungkap oleh satu macam arti. Alasannya adalah karena memang terdapat sistem yang mapan di balik tanda-tanda al-Quran. Hubungan antara teks di dunia nyata dengan maknanya di dunia ide adalah baku dan tidak dapat diganggu gugat. Teks al-Quran sebagai penanda telah dikaitkan dengan apa yang disebut Jacques Lacan sebagai points de capiton, kancing pengait. Tentu saja pertanyaan yang muncul kemudian adalah: siapakah yang mempunyai hak untuk menetapkan point de capiton tersebut? Dan siapa pula yang menegaskan kebakuan hubungan antara teks al-Quran dengan maknanya?

Semiotika post-strukturalis datang dengan konsep yang berkebalikan dari gagasan strukturalisme. Post-strukturalisme mengganggap petanda yang merupakan pusat dari struktur selalu bergeser terus-menerus. Dengan demikian, tak ada yang disebut dengan pusat dan tak ada asal usul yang pasti. Semuanya akan menuju ke suatu permainan petanda yang tak terbatas, karena penanda tidak mempunyai hubungan yang pasti dengan petanda. Hubungan penanda-petanda adalah arbriter. Menurut Roland Barthes, petanda selalu mempunyai banyak arti (plus de sens). Tak ada hubungan intern antara konsep yang ditunjukkan dengan bunyi yang menunjukkannya, sehingga tak ada petanda yang pasti bagi penanda. Penanda bersifat polisemi, bermakna ganda, dan petanda dapat bergeser terus menerus dari penandanya.

Jacques Derrida, seorang filosof aliran post-strukturalis, menyebutkan bahwa tak ada perbedaan eksistensial di antara berbagai jenis literatur yang berlainan. Semua naskah memiliki ambiguitas fundamental yang merupakan akibat dari sifat natural bahasa itu sendiri. Begitu juga dengan al-Quran. Derrida bersikukuh bahwa ada banyak cara untuk membaca dan memahami teks. Makna teks tidak lagi sama dengan apa yang dikehendaki oleh si pengarang. Yang tercatat dalam naskah bisa menimbulkan “multiple- understanding” (keragaman pemahaman) pada saat yang sama.

Keinginan Derrida adalah membebaskan naskah. Naskah harus dibebaskan dari usaha pemaknaan tunggal resmi yang mungkin dikonstruk oleh budaya hegemonik atau oleh struktur-struktur kelembagaan formal yang menegaskan bentuk-bentuk wacana diskursif. Untuk tujuan tersebut, Derrida memperkenalkan konsep “dekonstruksi” yang memiliki tugas membebaskan naskah, mengembangkan dan mengungkap ambiguitas terpendam, menunjukkan kontradiksi internal, dan mengidentifikasi kelemahannya. Hal ini adalah kondisi yang selalu mungkin (condition of possibilities) yang terdapat pada teks.

Condition of possibilities merupakan kata kunci untuk memahami naskah al-Quran. Pada dasarnya, apakah yang sebenarnya berlaku dalam tafsir? Adakah struktur dibalik teks atau tidak. Jika memang teks dibangun di atas seperangkat sistem yang teratur, mengapa kemudian lumrah terjadi keberagaman pemahaman. Bahkan para sahabat pun kerapkali berselisih paham mengenai persoalan-persoalan keagamaan, terutama tafsir al-Quran.

***

Berkaitan dengan condition of possibilities teks yang berpotensi menimbulkan multi-pemahaman, Umberto Eco menyarankan agar bahasa diperlakukan seperti ensiklopedia yang selalu dinamis, terbuka, dan memungkinkan masuknya entry-entry baru. Tidak seperti kamus yang mirip “pohon porphyri” (model definisi, terstruktur melalu genre, spesies, dan pembeda).

Eco menunjukkan adanya perbedaan antara struktur kamus dan struktur ensiklopedia. Dalam linguistik konvensional, bahasa merupakan sebuah sistem yang statis dan tertutup. Model kamus pada bahasa tidak mampu menangani, meminjam istilah Peirce, “semiosis tak terbatas”—hasil dari fakta bahwa tanda dalam bahasa terkait dengan tanda-tanda lain, dan suatu naskah selalu menawarkan kesempatan penafsiran yang tak terhingga banyaknya. Sebaliknya, ensiklopedia akan sesuai dengan suatu jaringan tanpa pusat yang darinya tidak terdapat jalan keluar, atau jalan ke suatu model tak berhingga yang memberi kesempatan bagi unsur-unsur baru.

Agar bisa berfungsi dengan baik sebagai jaringan kata-kata yang memberikan kesempatan munculnya makna-makna baru, maka bahasa harus menjadi sistem dinamis yang terbuka dan mirip dengan ensiklopedia.

Begitu pula dengan tafsir. Pemaknaan ayat-ayat al-Quran yang disusun seperti struktur kamus sudah pasti akan menghasilkan sebuah sistem yang eksklusif, bersifat hegemonik, dan status-quois. Maka, alangkah baiknya jika pemaknaan al-Quran dilandasi oleh semangat ensiklopedia yang terbuka, inklusif, dinamis, dan memberikan kesempatan bagi pembebasan, baik pembebasan bagi makna itu sendiri maupun bagi masyarakat yang merasakan dampak positifnya secara langsung.[]

Mu’adz D’Fahmi. Mahasiswa Tafsir-Hadits, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pemimpin Redaksi Buletin INSIGHT, IMM Cab. Ciputat

Al-Quran Antara Fakta dan Fiksi

Taufik Adnan Amal

Sejak pewahyuannya hingga kini, al-Quran telah mengarungi sejarah panjang selama empat belas abad lebih. Rincian perjalanan historis kitab suci ini, terutama pada tahapan awalnya, telah ditempa serta dijalin dengan sejumlah fiksi dan mitos yang belakangan diterima secara luas sebagai fakta sejarah. Beberapa di antaranya, yang dipandang penting serta dikenal luas, akan diungkap di sini, disertai latar belakang fabrikasi dan implikasinya.

Pengumpulan al-Quran. Gagasan paling populer tentang "pengumpulan" resmi al-Quran menegaskan bahwa aktivitas semacam itu pertama kali dilakukan pada masa kekhalifahan Abu Bakr berdasarkan otoritasnya. Sekalipun dipandang kebanyakan Muslim sebagai kebenaran sejarah, penelitian atas gagasan tersebut akan mengungkapkannya sebagai rekayasa belakangan.

Penelusuran terhadap berbagai riwayat pengumpulan al-Quran memperlihatkan tidak ada kesepakatan dalam tradisi Islam tentang figur pertama yang mengkodifikasikannya. Di dalam riwayat-riwayat terisolasi, muncul nama-nama lain -- seperti Ali ibn Abi Thalib, Umar ibn Khaththab, atau Salim ibn Ma'qil -- sebagai pengumpul pertama al-Quran dalam bentuk tertulis. Versi-versi alternatif ini tentunya bertabrakan dengan gagasan pengumpulan resmi Abu Bakr, dan karena itu, biasanya dipandang sebagai pengumpulan dalam bentuk hafalan, selain sebagiannya dinyatakan ahistoris.

Sehubungan dengan kodifikasi Abu Bakr, ada dua motif yang selalu ditekankan dalam latar belakang diambilnya langkah tersebut. Yang pertama adalah Nabi Muhammad belum mengumpulkan al-Quran ke dalam suatu mushaf tunggal hingga wafatnya. Motif kedua, yang berhubungan erat dengan motif pertama, adalah wafatnya sejumlah besar penghafal al-Quran (qurra') dalam pertempuran Yamamah telah menimbulkan kecemasan Umar ibn Khaththab bahwa banyak bmemang tidak meninggalkan kodeks al-Quran dalam bentuk lengkap. Kalau tidak demikian, tentunya tidagian al-Quran yang akan hilang.

Tentang motif pertama, dapat dipastikan bahwa Nabi ak akan timbul upaya pengumpulan setelah wafatnya. Namun, seperti diketahui dari berbagai sumber, terdapat upaya yang serius dan sadar di kalangan sahabat untuk memelihara wahyu-wahyu dalam bentuk tertulis, seraya berpatokan pada petunjuk Nabi tentang komposisi kandungannya. Jadi, wafatnya sejumlah penghafal al-Quran bukanlah alasan utama untuk mencemaskan hilangnya bagian-bagian al-Quran.

Rincian motif kedua juga telah dikritik sejumlah pengamat. Dalam berbagai laporan disebutkan sejumlah 70 penghafal al-Quran telah gugur pada pertempuran Yamamah -- riwayat lain bahkan mencatat 500 orang. Tetapi, ketika nama-nama penghafal al-Quran ditelusuri dalam daftar orang yang tewas -- seluruhnya sekitar 1200 orang, ternyata hanya ditemukan sejumlah kecil nama yang mungkin menghafal banyak bagian al-Quran. Dengan demikian, pengaitan motif pengumpulan al-Quran di masa Abu Bakr dengan gugurnya sejumlah besar qurra' dalam pertempuran Yamamah jelas merupakan fiksi.

Lebih jauh, laporan pengumpulan pertama Zayd ibn Tsabit di masa Abu Bakr memperlihatkan bahwa ia hampir secara eksklusif bergantung pada sumber-sumber tertulis -- perkamen, batu tulis, pelepah kurma, tulang-belulang, dan lainnya. Eksistensi sumber-sumber tertulis ini memang tidak meragukan. Karena itu, kesimpulan bahwa tewasnya penghafal al-Quran tidak mungkin menimbulkan kecemasan atau menjadi penyebab utama hilangnya bagian-bagian al-Quran jelas cukup beralasan.

Berbagai kesimpangsiuran, seperti ditunjukkan di atas, memperlihatkan bahwa teori dominan tentang pengumpulan pertama al-Quran di masa Abu Bakr adalah fiksi semata. Kesimpulan semacam ini juga dinyatakan marja-e-taqlid Syi'ah abad ke-20, Abu al-Qasim al-Musawi al-Khu'i, berdasarkan pijakan yang relatif sama -- yakni kontradiksi dalam berbagai versi pengumpulan al-Quran.

Karakter resmi kodifikasi Abu Bakr memang berseberangan dengan kenyataan sejarah. Mushaf ini, pada faktanya, tidak pernah memperoleh pengaruh luas di kalangan kaum Muslimin sampai muculnya kodifikasi utsmani. Sebaliknya, kumpulan al-Quran yang diupayakan secara individual oleh empat sahabat Nabi -- Ubay ibn Ka'b, Abdullah ibn Mas'ud, Abu Musa al-Asy'ari dan Miqdad ibn Aswad -- justru menjadi panutan generasi Muslim yang awal dan mengatasi popularitas mushaf resmi Abu Bakr, jika mushaf ini betul-betul eksis.

Mushaf empat sahabat Nabi yang berpengaruh itu masing-masing memiliki kararkteristik yang membedakan antara satu dengan lainnya -- mulai dari sekuensi dan jumlah surat sampai perbedaan teks dan bacaan. Belakangan, keragaman ini mulai menggangu kohesi sosio-politis ummat Islam, sehingga Khalifah Utsman mengambil kebijakan resmi unifikasi teks dan bacaan al-Quran.

Unifikasi Utsman dikabarkan mendapat tantangan sejumlah sahabat Nabi, misalnya Ibn Mas'ud dan Abu Musa al-Asy'ari. Tetapi, mekanisme ijma' dan kuatnya dukungan politik, akhirnya berhasil memeras keluar pandangan-pandangan berseberangan dan melegitimasi mushaf utsmani sebagai textus receptus.

Butir penting dalam laporan kodifikasi Utsman menyebutkan bahwa ia memerintahkan komisi yang dipimpin Zayd untuk menyalin al-Quran dalam dialek suku Quraisy, karena kitab itu diwahyukan dalam bahasa mereka. Penegasan penyalinan al-Quran dalam dialek Quraisy ini sebenarnya hanya suatu fiksi. Al-Quran sendiri (16:103; 26:195 cf. 12:2; 43:3; 20:113; 42:7; 41:2-3,44; 39:27-28; 13:37; 26:192-195; 46:12; 19:97; 14:4) menyatakan bahwa ia diwahyukan dalam "lisan Arab yang jelas." Penelitian terakhir tentang bahasa al-Quran menunjukkan bahwa ia kurang lebih identik dengan bahasa yang digunakan dalam syair-syair pra-Islam. Bahasa ini merupakan Hochsprache -- atau lingua franca, lazim disebut 'arabiyyah -- yang dipahami seluruh suku di jazirah Arab, serta merupakan satu kesatuan bahasa karena kesesuaiannya yang besar dalam leksikal dan gramatik. Lebih jauh, lingua franca itu bukan dialek suku atau suku-suku tertentu.

Sebagian sarjana Muslim cenderung berasumsi bahwa karena Nabi dan pengikut awalnya berasal dari suku Quraisy, mereka tentunya telah membaca al-Quran dalam dialek suku itu. Sarjana-sarjana ini selanjutnya beranggapan bahwa dialek suku Quraisy identik dengan bahasa syair. Tetapi, sejumlah informasi tentang dialek suku-suku Arab pada masa Nabi yang berhasil diselamatkan terlihat menyangkali keyakinan tersebut.

Gagasan yang berkembang luas dalam tradisi Islam mengaitkan unifikasi Utsman dengan kodifikasi Abu Bakr dan secara eksplisit mengungkapkan bahwa basis teks utsmani adalah teks Abu Bakr, yang ketika itu berada di tangan Hafshah, puteri Umar dan janda Nabi. Tetapi, upaya pengaitan ini lebih bersifat ilusif dan ahistoris, serta cenderung mengecilkan peran Utsman -- penguasa yang dipandang nepotis dan tidak cakap -- yang amat menentukan dalam hal ini.

Dari laporan lainnya disebutkan bahwa mushaf Hafshah berulang kali diminta oleh Marwan -- ketika menjabat Gubernur Madinah -- untuk dimusnahkan, yang baru berhasil dilakukan setelah wafatnya Hafshah. Alasan utama pemusnahan ini adalah kekuatiran tentang bacaan-bacaan "aneh" di dalamnya yang potensial menyebabkan perselisihan di kalangan kaum Muslimin.

Laporan ini memastikan bahwa naskah Hafshah tidak memadai sebagai basis utama kodifikasi Utsman. Namun, benang merah yang hendak ditarik di sini adalah keterkaitan mushaf Hafshah dengan pengumpulan di masa Abu Bakr. Dengan demikian, nama-nama khalifah sebelum Utsman -- Abu Bakr sebagai otoritas yang memerintahkan pengumpulan dan Umar sebagai penggagas intelektualnya -- memiliki saham dalam proses pengumpulan mushaf utsmani.

Stabilisasi Teks. Unifikasi teks dan bacaan al-Quran yang dilakukan Utsman terlihat belum mencapai hasil yang dihajatkan. Aksara primitif Arab (scriptio defectiva) yang digunakan ketika itu untuk menyalin al-Quran masih membuka peluang bagi pembacaan teks secara beragam. Selain ketiadaan tanda vokal, sejumlah konsonan berbeda dalam aksara ini dilambangkan dengan simbol-simbol yang sama.

Kekeliruan pembacaan (tashhif) al-Quran yang disalin dalam aksara semacam itu bisa dikurangi atau dihindari jika seseorang mempunyai tradisi hafalan yang kuat, atau paling tidak memiliki tingkat keakraban yang tinggi terhadap teks. Kalau tidak, sangat mungkin baginya terjebak dalam tashhif. Bahkan, terdapat kesan yang kuat bahwa scriptio defectiva turut berperan dalam memunculkan ragam bacaan (variae lectiones).

Asumsi terakhir ini, tentu saja, tidak dibenarkan dalam weltanschauung tradisional. Bagi ortodoksi Islam, variae lectiones -- khususnya kiraat mutawatir (kiraat tujuh) dan masyhur (kiraat sepuluh dan empat belas) -- merupakan bacaan-bacaan otentik al-Quran yang bersumber dari Nabi. Basis teori ini adalah sejumlah hadits yang menyatakan bahwa al-Quran diwahyukan dalam "tujuh huruf," yang merefleksikan varian-varian tersebut.

Menurut penjelasan tradisional, kekeliruan pembacaan al-Quranlah yang mendorong dilakukannya penyempurnaan terhadap rasm (ortografi) al-Quran atas prakarsa otoritas politik, seperti Ziyad ibn Samiyah dan al-Hajjaj ibn Yusuf. Langkah aktual penyempurnaannya -- penciptaan tanda-tanda vokal, titik-titik pembeda konsonan bersimbol sama, serta tanda-tanda ortografis lainnya -- dikabarkan dilakukan sejumlah pakar bahasa, seperti Abu al-Aswad al-Du'ali, Nashr ibn Ashim, Yahya ibn Ya'mur, dan al-Khalil ibn Ahmad.

Tetapi, versi tradisional tentang penyempurnaan aksara Arab itu, selain berkontradiksi antara satu dan lainnya, bertentangan dengan temuan paleografi atau manuskrip-manuskrip al-Quran yang awal. Dari berbagai temuan peleografi, diketahui bahwa titik-titik pembeda konsonan sebagiannya telah dikenal dan mungkin telah diintroduksi pada masa pra-Islam mengikuti model tulisan Suryani. Bahkan, dapat dipastikan bahwa titik-titik diakritis tersebut telah digunakan pada abad pertama Islam, sekalipun tidak tersebar luas.

Sementara tanda vokal berupa titik-titik diakritis -- kemungkinan diadopsi dari aksara Suryani -- juga tampaknya sangat tua, tetapi masa pengintroduksiannya ke dalam aksara Arab tidak dapat ditetapkan. Yang jelas, pada abad ke-2H, penggunaannya dalam penulisan mushaf belum mendapat justifikasi. Malik ibn Anas, misalnya, menuntut bahwa mushaf al-Quran harus bersih dari titik-titik vokal. Tanda-tanda vokal ini, lantaran kemiripannya dengan titik-titik pembeda konsonan, kemudian diganti dengan huruf alif, waw dan ya' -- untuk vokal a, u dan i -- serta akhirnya berkembang mencapai bentuk yang dikenal sekarang.

Jadi, dapat dipastikan bahwa scriptio plena tidak muncul dalam seketika, tetapi secara gradual melalui serangkaian perubahan yang bersifat eksperimental. Manuskrip-manuskrip al-Quran yang awal secara jelas menunjukkan penerapan berbagai macam metode untuk menghilangkan ketidaksempurnaan-ketidaksempurnaan naskah.

Tulisan al-Quran, setelah diintroduksinya scriptio plena, bisa dikatakan sebagai aksara "gado-gado," lantaran tarik-menarik dan kompromi antara kekuatan-kekuatan yang menghendaki penyempurnaan ortografi utsmani dan yang mempertahankan bentuk orisinalnya. Namun, pandangan dunia tradisional menegaskan bahwa penyimpangan terhadapnya -- diyakini bersifat dogmatis (tawqifi) dan disepakati (ijma') dua generasi pertama Islam -- merupakan dosa yang tidak terampuni.

Bagi rata-rata sarjana Muslim, "keistimewaan" rasm utsmani merupakan misteri ilahi dan karakter kemukjizatan al-Quran. Tetapi, pandangan ini lebih merupakan mitos ketimbang prasangka dogmatis. Manuskrip-manuskrip mushaf utsmani yang awal cenderung menyangkali karakter ilahiyah semacam itu. Dalam manuskrip-manuskrip ini, tidak terlihat adanya kesepakatan dan keseragaman dalam penyalinan teks al-Quran.

Sekalipun tidak ada keseragaman ortografis dalam salinan-salinan textus receptus yang awal, penyimpangan terhadap rasm utsmani selalu diupayakan dengan berbagai cara untuk diperas keluar. Dengan demikian, telah terjadi sakralisasi terhadap suatu bentuk tulisan yang lazimnya dipandang sebagai produk budaya manusia. Sakralisasi teks utsmani, setelah pencangkokan setengah hati scriptio plena, mengakibatkan muncul berbagai inkonsistensi penulisan di dalamnya. Demikian pula, lantaran kegigihan mempertahankan bentuk tradisionalnya, teks utsmani -- dalam sejumlah kasus -- terkadang mesti dibaca lain dari yang tertulis.

Inkonsistensi dan keruwetan dalam teks utsmani itu telah digugat sejak lama. Abu Bakr al-Baqillani, cendekiawan Muslim abad ke-5H, dan Izz al-Din Abd al-Salam, pakar hukum Damaskus abad ke-7H, misalnya, merupakan otoritas masa lalu yang secara tegas menolak karakter ilahiyah rasm utsmani. Sementara sejumlah sarjana Muslim modern menekankan kembali argumen-argumen al-Baqillani dan Abd al-Salam dalam rangka menjadikan sistem penulisan al-Quran akrab dengan masyarakat Muslim, terutama non-Arab.

Hasbi Ash-Shiddieqy, misalnya, menilai orang yang memandang rasm utsmani memiliki sanksi ilahi sebagai "orang yang bertahkim kepada perasaan." Abd al-Aziz Fahmi, mantan anggota Majma' al-Lugah al-'Arabiyyah, bahkan mengajukan proposal penggantian aksara Arab dengan aksara Latin menjelang pertengahan abad ke-20. Sekalipun menuai protes keras, usulan ini disambut dengan terbitnya naskah al-Quran dalam aksara Latin pada 1967 di Turki. Di Indonesia juga telah muncul penulisan surat-surat tertentu al-Quran -- yang menonjol adalah surat ya sin -- dalam bentuk transliterasi Latin, namun tetap disandingkan dengan teks Arab dan terjemahannya.

Unifikasi Bacaan. Penyempurnaan ortografi al-Quran mencapai bentuk finalnya menjelang penghujung abad ke-9, dan penggunaannya dalam penyalinan textus receptus telah membawa bentuk keseragaman teks dan bacaan yang lebih luas, dibandingkan yang bisa dicapai teks utsmani dalam aksara orisinalnya. Sekalipun telah muncul gerakan yang mengupayakan keseragaman bacaan al-Quran -- khususnya setelah promulgasi mushaf utsmani -- sebagai antipoda gerakan yang menghendaki keragamannya, tetapi dengan teks yang belum memadai, hasil yang dicapai gerakan itu sangat terbatas.

Eksistensi teks yang lebih memadai, pasca introduksi scriptio plena, telah mendorong munculnya gerakan yang lebih kuat ke arah unifikasi bacaan pada awal abad ke-10. Berbagai variae lectiones disaring dengan textus receptus sebagai batu uji, di samping kriteria-kriteria lain, seperti keselarasan dengan kaidah bahasa Arab dan tawatur -- prinsip transmisi suatu bacaan melalui mata rantai perawi yang independen dan otoritatif dalam skala sangat luas, sehingga menafikan kemungkinan terjadinya kekeliruan.

Hasilnya, dengan dukungan penuh otoritas politik Abasiyah -- dimotori para wazirnya, Ibn Muqla dan Ibn Isa -- ortodoksi Islam menyepakati eksistensi kiraat tujuh (al-qira'at al-sab'), yang dihimpun Ibn Mujahid, sebagai bacaan-bacaan otentik atau lectio vulgata bagi textus receptus.

Seperti preseden yang sudah-sudah, gagasan-gagasan berseberangan dengan kesepakatan tentang lectio vulgata mulai diperas keluar. Pada 934, Ibn Miqsam -- qari' dan pakar linguistik terkemuka -- dalam suatu persidangan resmi di hadapan otoritas politik dan agama, diancam serta dipaksa menarik pandangannya bahwa seorang Muslim berhak memilih bacaan dalam kerangka konsonantal apapun yang selaras dengan kaidah kebahasaan dan memiliki makna yang masuk akal, meski tidak seorang pun pernah membaca seperti itu. Pada tahun berikutnya, Ibn Syanabudz, guru Ibn Miqsam, dipersalahkan serta dipaksa menarik kembali pandangannya yang membolehkan kaum Muslimin menggunakan bacaan Ibn Mas'ud dan Ubay ibn Ka'b.

Dua kasus di atas memperlihatkan bahwa mulai saat itu variae lectiones di luar tradisi teks utsmani tidak lagi diakui keabsahannya. Demikian pula, upaya-upaya penyelarasan kiraat dengan bahasa berdasarkan nalar (irtijal) telah ditabukan. Padahal, di masa sebelumnya, Dlirar ibn Amr -- pendiri sekte heretik Dlarariyah pada permulaan abad ke-9 -- justru dipersalahkan karena menolak secara dogmatis mushaf Ibn Mas'ud dan Ubay ibn Ka'b. Sementara Isa ibn Umar al-Tsaqafi, pakar bahasa terkemuka pada abad ke-2H, pernah mempertegas keragaman bacaan dengan memperkenalkan ragam bacaan yang lebih selaras dengan cita rasa kebahasaan.

Kecenderungan kuat ke arah unifikasi semakin mengkristal pada masa selanjutnya, dengan ditutupnya gerbang ijtihad di sekitar abad ke-10. Seluruh masalah keagamaan yang esensial dinyatakan telah dibahas tuntas, dan sistem kiraat tujuh, dengan demikian, telah final.

Sekalipun sistem kiraat tujuh disepakati dalam teorinya sebagai bacaan-bacaan otentik al-Quran, dalam kenyataannya hanya dua dari empat belas versinya yang digunakan dewasa ini di dunia Islam. Versi pertama, "Warsy dari Nafi'," digunakan sejumlah kecil kaum Muslimin di barat dan barat laut Afrika, serta di Yaman, khususnya di kalangan sekte Zaidiyah. Sementara versi kedua, "Hafsh dari Ashim," digunakan mayoritas umat Islam, termasuk Indonesia.

Pencetakan al-Quran edisi standar Mesir pada 1923/1342H, yang disalin dengan bacaan Hafsh dari Ashim, semakin mempertegas langkah penyeragaman. Cetakan yang merupakan panutan dunia Islam ini telah menjadikan bacaan Hafsh dari Ashim semacam supremasi kanonik, dan dapat dibayangkan bahwa bacaan ini akan mengeliminasi eksistensi tertulis bacaan lainnya yang tersisa di masa-masa mendatang.

Namun, penunggalan teks dan bacaan al-Quran, selain berhasil membenamkan sebagian tradisi teks dan bacaan non-utsmani ke dalam limbo sejarah, juga telah mempersempit ruang gerak berbagai upaya untuk memikirkan kembali makna dan pesan al-Quran. Sebab, upaya-upaya tersebut hanya bisa bertumpu pada teks dan bacaan tunggal yang disepakati -- atau "Korpus Resmi Tertutup," dalam istilah Muhammed Arkoun.

Unifikasi bacaan al-Quran yang diupayakan Ibn Mujahid dan dipaksakan otoritas politik Abasiyah juga telah mengorbankan proses penyatuan bacaan yang tengah berjalan secara demokratis dan alami ketika itu. Proses ini berlangsung dalam dua etape: (i) unifikasi bacaan dalam suatu wilayah; dan (ii) unifikasi bacaan antara wilayah-wilayah. Kedua proses itu ditempuh melalui seleksi (ikhtiyar) yang berorientasi kepada prinsip mayoritas (ijma'). Tetapi, proses tersebut -- yang tengah berada di etape kedua -- terputus ketika gagasan tradisionalisme Ibn Mujahid yang kaku mendominasi dunia Islam.

Seandainya proses yang alami dan demokratis itu tidak terganggu, besar kemungkinannya suatu bacaan resmi untuk textus receptus bisa dicapai berdasarkan prinsip mayoritas, ketimbang menjadikan salah satu di antara bacaan-bacaan kanonik -- yang tidak satu pun bebas dari kritik -- sebagai bacaan standar atau semacam supremasi kanonik.

Perlunya Rekonstruksi. Uraian yang diterakan sejauh ini memperlihatkan eksisnya suatu jaringan fiksional yang telah ditenun di sepanjang perjalan historis al-Quran. Fiksi dan mitos semacam itu, selain merugikan perkembangan pemikiran Islam selama berabad-abad, juga telah menjadi tumpuan para orientalis dalam mendekonstruksi sejarah dan bahkan kandungan al-Quran.

Karena itu, kebutuhan ummat Islam saat ini adalah membongkar kembali jalinan fiksi dan mitos tersebut, seraya merekonstruksi perjalanan historis al-Quran yang bisa bertahan terhadap berbagai kritik sekaligus bisa berhadapan dengan berbagai prasangka Barat. Upaya semacam ini tentunya akan menyumbangkan perspektif-perspektif yang baru dan segar dalam studi-studi al-Quran.

***

Taufik Adnan Amal. Dosen Ulumul-Qur’an IAIN Alauddin Ujung Pandang dan Kontributor JIL.

llahu 'alam

GEREJA ORTHODOX SYRIA

versi BAMBANG NOORSENA

IV) Dipertahankannya hal-hal Perjanjian Lama yang seharusnya dibuang pada jaman Perjanjian Baru.

1) Gereja Orthodox Syria masih mempunyai imam, yang bernama Henney Sumali.

Dalam jaman Perjanjian Lama memang ada imam sebagai pengantara antara Allah dan manusia. Dan imam jaman Perjanjian Lama ini merupakan TYPE dari Yesus Kristus. Pada waktu Yesus sebagai ANTI-TYPEnya datang, mati dan bangkit, maka TYPE ini sudah tergenapi, dan karena itu tidak boleh terus diberlakukan. Ini disimbolkan dengan sobeknya tirai Bait Suci pada saat kematian Kristus (Mat 27:51). Jadi sejak kematian dan kebangkitan Yesus, Yesuslah satu-satunya Imam / pengantara kita (1Tim 2:5 Ibr 4:14).

1Tim 2:5 - "Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus".

Calvin: "they who have actually learned the office of Christ will be satisfied with having him alone, and that none will make mediators at their own pleasure but those who neither know God nor Christ" (= mereka yang betul-betul telah belajar tentang jabatan / tugas Kristus akan puas dengan mempunyai Dia saja, dan bahwa tidak ada orang yang akan membuat pengantara-pengantara sesuka mereka kecuali mereka yang tidak mengenal Allah maupun Kristus) - hal 60.

Kalau sekarang pada jaman Perjanjian Baru kita masih mempunyai imam, maka itu merupakan penghinaan terhadap ke-imam-an Yesus.

2) Masih adanya sunat / khitan.

Koran ‘Bangsa’, hari Rabu tanggal 24 Mei 2000: "Ajaran lain yang juga mirip dengan Islam adalah soal khitan. Penganut KOS juga khitan. Hanya saja khitan versi KOS bukanlah karena atas dasar syariah, melainkan terdorong tradisi, sebagaimana tradisi Yahudi yang mengkhitan bayi usia 8 hari. Tradisi khitan dalam KOS adalah mengkhitan anak laki-laki pada usia 12 seperti Nabi Ismail yang ketika sunat berusia 12 tahun. Khitan dalam pengertian KOS adalah baptisan atau taharat. Dalam makna religiusnya adalah pentahiran (pensucian) jasmani dan rahani" - hal 11, kolom 4-5.

Ada 2 hal yang perlu diperhatikan dari kutipan di atas:

a) Perhatikan bagian terakhir kutipan di atas. Kalau memang ada makna religiusnya, yaitu pentahiran / pensucian jasmani dan rohani, maka jelas bahwa itu bukan sekedar tradisi!

Bandingkan dengan ajaran Kitab Suci tentang sunat dalam Perjanjian Baru:

      • Gal 2:3-5 - "Tetapi kendatipun Titus, yang bersama-sama dengan aku, adalah seorang Yunani, namun ia tidak dipaksa untuk menyunatkan dirinya. Memang ada desakan dari saudara-saudara palsu yang menyusup masuk, yaitu mereka yang menyelundup ke dalam untuk menghadang kebebasan kita yang kita miliki di dalam Kristus Yesus, supaya dengan jalan itu mereka dapat memperhambakan kita. Tetapi sesaatpun kami tidak mau mundur dan tunduk kepada mereka, agar kebenaran Injil dapat tinggal tetap pada kamu".

      • Gal 5:2-6 - "Sesungguhnya, aku, Paulus, berkata kepadamu: jikalau kamu menyunatkan dirimu, Kristus sama sekali tidak akan berguna bagimu. Sekali lagi aku katakan kepada setiap orang yang menyunatkan dirinya, bahwa ia wajib melakukan seluruh hukum Taurat. Kamu lepas dari Kristus, jikalau kamu mengharapkan kebenaran oleh hukum Taurat; kamu hidup di luar kasih karunia. Sebab oleh Roh, dan karena iman, kita menantikan kebenaran yang kita harapkan. Sebab bagi orang-orang yang ada di dalam Kristus Yesus hal bersunat atau tidak bersunat tidak mempunyai sesuatu arti, hanya iman yang bekerja oleh kasih".

Dalam tafsirannya tentang bagian ini Calvin mengatakan:

o "The tendency of their whole doctrine is to blend the grace of Christ with the merit of works, which is impossible. Whoever wishes to have the half of Christ, loses the whole" (= Kecenderungan dari seluruh doktrin mereka adalah mencampurkan kasih karunia Kristus dengan jasa dari perbuatan baik, yang merupakan sesuatu yang mustahil. Siapapun yang ingin mendapatkan setengah dari Kristus, kehilangan seluruhnya) - hal 148.

o "the Divine appointment of circumcision was only for a time. After the coming of Christ, it ceased to be a Divine institution, because baptism had succeeded in its room" (= penetapan Ilahi tentang sunat hanya untuk sementara waktu. Setelah kedatangan Kristus, sunat berhenti menjadi hukum / sakramen Ilahi, karena baptisan telah menggantikan tempatnya) - hal 150.

      • Gal 6:15 - "Sebab bersunat atau tidak bersunat tidak ada artinya, tetapi menjadi ciptaan baru, itulah yang ada artinya".

      • Kis 15:1-2a - "Beberapa orang datang dari Yudea ke Antiokhia dan mengajarkan kepada saudara-saudara di situ: ‘Jikalau kamu tidak disunat menurut adat istiadat yang diwariskan oleh Musa, kamu tidak dapat diselamatkan.’ Tetapi Paulus dan Barnabas dengan keras melawan dan membantah pendapat mereka itu".
      • Ro 2:28-29 - "Sebab yang disebut Yahudi bukanlah orang yang lahiriah Yahudi, dan yang disebut sunat, bukanlah sunat yang dilangsungkan secara lahiriah. Tetapi orang Yahudi sejati ialah dia yang tidak nampak keyahudiannya dan sunat ialah sunat di dalam hati, secara rohani, bukan secara hurufiah. Maka pujian baginya datang bukan dari manusia, melainkan dari Allah".
      • Kol 2:11-12 - "Dalam Dia kamu telah disunat, bukan dengan sunat yang dilakukan oleh manusia, tetapi dengan sunat Kristus, yang terdiri dari penanggalan akan tubuh yang berdosa, karena dengan Dia kamu dikuburkan dalam baptisan, dan di dalam Dia kamu turut dibangkitkan juga oleh kepercayaanmu kepada kerja kuasa Allah, yang telah membangkitkan Dia dari orang mati".

Bandingkan dengan bagian kutipan di atas yang menyatakan bahwa Khitan dalam pengertian KOS adalah baptisan atau taharat’. Padahal dalam Kol 2:11-12 ini terlihat bahwa dalam Perjanjian Baru, baptisan seharusnya menggantikan sunat!

Tentang Kol 2:11 ini Calvin berkata: "He proves that the circumcision of Moses is not merely unnecessary, but is opposed to Christ, because it destroys the spiritual circumcision of Christ. For circumcision was given to the Fathers that it might be the figure of a thing that was absent: those, therefore, who retain that figure after Christ’s advent, deny the accomplishment of what it prefigures" (= Ia membuktikan bahwa sunat dari Musa bukan sekedar tidak perlu, tetapi bertentangan dengan Kristus, karena itu menghancurkan sunat rohani dari Kristus. Karena sunat diberikan kepada Bapa-bapa supaya sunat itu bisa menjadi gambaran dari hal yang absen pada saat itu: karena itu, mereka yang mempertahankan gambar itu setelah kedatangan Kristus, menyangkal pencapaian / penyelesaian dari apa yang digambarkan oleh sunat itu) - hal 184.

b) Hal yang lain yang perlu disoroti adalah: mengapa mereka sunat pada usia 12 tahun?

Dalam persoalan bilangan ‘12’ ini saya bertanya-tanya: Apakah korannya salah cetak? Karena menurut saya Ismael disunat pada usia 13 tahun, bukan 12 tahun. Ini bisa dilihat dengan membandingkan Kej 16:15-16 (Ismael lahir pada waktu Abraham berusia 86 tahun) dengan Kej 17:1,23 (waktu Ismael disunat Abraham berusia 99 tahun)].

Tetapi lebih penting lagi adalah pertanyaan: Mengapa mereka disunat pada usia 12 / 13 tahun seperti Ismael / orang Islam, bukan pada usia 8 hari seperti Ishak (Kej 21:4)? Bukankah usia 8 hari itu merupakan ketetapan Tuhan (Kej 17:12)? Kalau memang tidak mau peduli dengan ketetapan Tuhan tersebut, mengapa tidak sekalian menuruti sunatnya Abraham yang dilakukan pada usia 99 tahun (Kej 17:24)?

Bambang Noorsena berulang-ulang berkata bahwa kristen di Indonesia sudah diwesternisasikan. Tetapi kelihatannya dalam persoalan ini, dia yang mengalami peng-Arab-an / peng-Islam-an!

3) Adanya jam doa / solat 7 waktu (Catatan: adanya waktu sembahyang dalam Kis 3:1 ia pakai sebagai dasar), adanya penggunaan kiblat pada waktu doa.

a) Tentang jam doa.

Koran ‘Bangsa’, hari Rabu tanggal 24 Mei 2000: "Kalau dalam Islam shalat hanya lima waktu (Subuh, Dhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya’), tetapi KOS malah menyerukan umatnya untuk shalat tujuh kali (waktu). ... Rincian shalat itu sebagai berikut. Salat Subuh dilaksanakan sebagai penyambutan kebangkitan Isa Al Masih. Setelah shalat Subuh kemudian mereka shalat lagi pada sekitar jam 9 (dalam Islam disebut dhuha). Shalat ini dimaksudkan sebagai peringatan terhadap pengadilan Isa al-Masih. Jam 12 (dhuhur) penganut KOS shalat lagi. Shalat ini dimaksudkan sebagai peringatan terhadap penyaliban Isa, sedang shalat Ashar dimaksudkan sebagai peringatan terhadap waktu turunnya Isa dari Salib. Sedang shalat ghurub (dalam Islam shalat maghrib) dimaksudkan sebagai peringatan terhadap pemakaman Isa. Usai melaksanakan shalat ghurub penganut KOS kemudian shalat Isya. Setelah itu baru shalat lail (malam). ‘Isa sudah berpesan bahwa dia akan kembali di waktu malam seperti pencuri,’ kata Henney" - hal 1, kolom 1-3.

Bambang Noorsena bahkan mengatakan bahwa Kristen tidak punya jam doa karena sudah dimodernisir (oleh Barat). Dan dalam salah satu khotbahnya ia mengatakan bahwa Martin Luther masih mempunyai jam doa, tetapi hanya 2, yaitu pagi dan sore.

b) Tentang kiblat.

Koran ‘Bangsa’, hari Rabu tanggal 24 Mei 2000: "Berbeda dengan Islam yang jika shalat menghadap ka’bah yang dari Indonesia masuk kategori arah barat, penganut KOS malah menghadap ke arah timur, yaitu menghadap baitul Maqdis" - hal 1, kolom 3.

Saya tidak tahu apa Baitul Maqdis itu, dan waktu saya menanyakan kepada seorang Islam, ia menjawab bahwa itu adalah nama sebuah mesjid di Yerusalem.

Tanggapan saya:

a) Yoh 4:19-24 - "Kata perempuan itu kepadaNya: ‘Tuhan, nyata sekarang padaku, bahwa Engkau seorang nabi. Nenek moyang kami menyembah di atas gunung ini, tetapi kamu katakan, bahwa Yerusalemlah tempat orang menyembah.’ Kata Yesus kepadanya: ‘Percayalah kepadaKu, hai perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem. Kamu menyembah apa yang tidak kamu kenal, kami menyembah apa yang kami kenal, sebab keselamatan datang dari bangsa Yahudi. Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian. Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembahNya dalam roh dan kebenaran.’".

Perhatikan bahwa perempuan Samaria itu menanyakan tempat menyembah yang benar. Dengan kata lain, ia mempersoalkan ibadah yang bersifat lahiriah, yang memang merupakan ciri khas ibadah Perjanjian Lama. Tetapi Yesus mengatakan bahwa ‘saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang’ (artinya saat itu adalah masa transisi) bahwa tempat penyembahan tidak lagi dipersoalkan. Yang dipersoalkan adalah menyembah Allah dalam roh dan kebenaran. Dengan kata-kata ini Yesus membuang semua ibadah lahiriah, dan menekankan ibadah rohani. Yang dimaksud dengan ibadah lahiriah adalah:

      • kiblat. Sekalipun ini memang ada pada jaman Perjanjian Lama (bdk. Daniel 6:11 1Raja 8:44 2Taw 6:34), tetapi ini dihapuskan pada jaman Perjanjian Baru.

      • tempat doa yang ditetapkan.

      • posisi tubuh dalam doa.

      • jam doa.

b) Tidak ada yang bagian Kitab Suci yang mengajarkan bahwa kita harus berdoa untuk memperingati kebangkitan Yesus, penguburan Yesus dan sebagainya. Lebih-lebih untuk berdoa pada tengah malam karena Yesus berjanji akan datang seperti pencuri di waktu malam. Ini merupakan penafsiran yang menggelikan dari ayat itu, karena ayat itu tidak bisa diartikan bahwa Yesus akan datang keduakalinya pada malam hari / tengah malam. Ayat itu hanya berarti bahwa Yesus akan datang pada saat yang tidak terduga.

Mat 24:43-44 - "Tetapi ketahuilah ini: Jika tuan rumah tahu pada waktu mana pada malam hari pencuri akan datang, sudahlah pasti ia berjaga-jaga, dan tidak akan membiarkan rumahnya dibongkar. Sebab itu, hendaklah kamu juga siap sedia, karena Anak Manusia datang pada saat yang tidak kamu duga".

c) Dalam 1Tes 5:17 Paulus mengatakan Tetaplah berdoa’.

NIV: ‘pray continually’ (= berdoalah terus menerus).

NASB: ‘pray without ceasing’ (= berdoalah tanpa henti-hentinya).

Dengan kata-kata ini Paulus jelas menghapus jam doa, dan ini menunjukkan bahwa ‘tidak mempunyai jam doa’ bukannya merupakan kekristenan yang sudah diwesternisasikan, tetapi merupakan kekristenan yang alkitabiah!

Tentang Kis 3:1 yang menunjukkan masih adanya jam doa, perlu diketahui bahwa:

      • Jaman Kisah Rasul adalah masa transisi dari jaman Perjanjian Lama ke jaman Perjanjian Baru. Karena itu masih adanya jam doa dalam Kitab Kisah Para Rasul tidak bisa dijadikan dasar untuk terus memberlakukan jam doa.
      • Pada saat terjadinya Kis 3:1 itu, jelas bahwa 1Tes 5:17 belum ditulis.

d) Saya tidak yakin sama sekali bahwa Martin Luther mempunyai jam doa. Mungkin Bambang Noorsena mencampuradukkan jam doa dengan kebiasaan doa. Hampir setiap orang kristen mempunyai kebiasaan doa, atau pada pagi, atau pada malam, dan sebagainya. Dan saya percaya Martin Luther juga demikian. Ini sangat berbeda dengan orang yang mempunyai jam doa. Perbedaannya biasanya terletak dalam 2 hal:

      • kalau itu hanya merupakan kebiasaan berdoa, maka tidak akan jadi soal kalau saatnya digeser 15 menit atau bahkan 30 menit. Tetapi kalau itu jam doa, maka waktunya harus persis.
      • kalau itu hanya merupakan kebiasaan berdoa, maka isi dari doanya bisa berubah-ubah. Tetapi kalau itu jam doa, biasanya isi doanya selalu sama.

khitan menurut Injil


[ Follow Ups ] [ Post Followup ] [ Forum Diskusi ]


Posted by Athala (202.155.52.176) on September 24, 2002 at 09:57:20:

Kalau anda amati banyak sekali perintah didalam Injil yang tidak dilaksanakan oleh penganut Injil itu sendiri, antara lain perintah sunat seperti yang anda sebutkan, perintah mengenai makanan yang haram dan halal dimakan, dan yang terutama perintah menyembah Tuhan Yang Esa/satu tanpa ada kata trinitas. Namun perintah-perintah tersebut dijadikan bukan perintah oleh paus yang pertama, dengan mengatakan bahwa Yesus disalib untuk menghapus dosa-dosa manusia jadi logikanya mengapa takut untuk berbuat dosa jika dosa saja sudah ditebus..? namun timbul pertanyaan..siapakah paus itu..?? murid Yesus apa bukan..? Paus bukanlah termasuk murid Yesus dia hanya mendengar tentang Yesus melalui orang lain, dia merupakan seorang Yahudi, lalu apakah pantas seorang yang mengenal Yesus melalui orang lain mengubah hukum Taurat yang Yesus sendiri mengatakan "Janganlah kamu sangkakan Aku datang hendak merombak hukum Taurat atau kitab nabi-nabi....." (Injil - Kejadian 17: 14).

Dan menurut sejarah sebenarnya yang mendirikan agama kristen itu adalah Paus bukan Yesus. Yesus tidak pernah mengatakan Tuhan itu Trinitas , Yesus selalu mengatakan Tuhan itu SATU lalu Paus mengatakan trinitas, Yesus memerintahkan untuk bersunat tapi Paus mengatakan itu tidak boleh karena orang yang bersunat itu menyamai Tuhan (saya baca dibuletin kristen)dan hal-hal lainnya.
Dan sekarang timbul pertanyaan saya, siapakah yang akan anda taati Paus atau Yesus..?? bukankah didalam Injil dikatakan"seorang murid tidak akan menyamai gurunya"??? dan paus bukanlah Murid dari Yesus. Dan satu hal lagi walaupun Yesus tidak menikah, Yesus tidak pernah mengajarkan untuk hidup tidak menikah.

Athala

================================================
Salam Damai,
Terus terang saya tidak mengerti bagaimana bisa kita mengabaikan Perintah Tuhan,yang menurut injil ini sangat fatal sekali.

"Orang yang lahir di rumahmu dan orang yang engkau beli dengan uang (budakmu) harus disunat: maka dalam dagingmulah perjanjian-Ku itu menjadi perjanjian yang kekal." (Injil - Kejadian 17: 13).
"Orang yang tidak disunat, harus "dipotong" (dibunuh)." (Injil - Kejadian 17: 14).

Bagaimana ini? dalam kristen kita sama sekali seperti tidak mengenal khitan, apakah karena sedikitnya diantara kita yang mempelajari dan mengamalkan ijnjil? ataukah karena pastor2 kita yang tidak menyampaikan?

Salam Damai

Mengatasi Fimosis dengan Khitan

SEORANG ibu tidak tega memenuhi anjuran dokter untuk mengkhitan bayinya yang baru berusia enam bulan. Bayi itu selalu menangis menjelang kencing. Tampaknya ia bermasalah saat ingin mengeluarkan air seninya.

Berdasarkan pemeriksaan, ujung penis si bayi diketahui tersumbat oleh fimosis. Dalam tanya jawab yang lebih mendalam, ternyata sang ibu juga khawatir kalau anaknya menjadi kuntet alias terganggu pertumbuhannya.

Fimosis adalah keadaan di mana kulit penis (preputium) melekat pada bagian kepala penis (glans) dan mengakibatkan tersumbatnya lubang saluran air seni, sehingga bayi dan anak jadi kesulitan dan kesakitan saat kencing.

Sebenarnya yang berbahaya bukanlah fimosis itu sendiri, melainkan kemungkinan timbulnya infeksi pada saluran air seni (ureter) kiri dan kanan, kemudian ke ginjal. Infeksi ini memang dapat menjalar ke ginjal dan menimbulkan kerusakan pada ginjal.

Apabila preputium melekat pada glans penis, maka cairan smegma, yaitu cairan putih kental, yang biasanya mengumpul di antara kulit kulup dan kepala penis akan tertimbun di tempat itu, sehingga mudah sekali terjadi infeksi. Biasa- nya yang diserang adalah bagian ujung penis, sehingga disebut infeksi ujung penis atau balanitis. Sewaktu akan kencing, anak menjadi rewel dan yang terlihat adalah kulit kulup terbelit dan menggelembung.

Berbagai kondisi ini harus segera dikonsultasikan ke dokter. Dokter akan memeriksa ujung penis secara teliti dan bila memungkinkan akan berupaya melepas lengketan tersebut dan membersihkannya. Jika upaya ini belum berhasil, maka penderitanya terpaksa dikhitan.

SELAIN merupakan kewajiban agama, tujuan utama khitan menurut ilmu kesehatan adalah menjaga kesehatan alat kelamin laki-laki. Kulit kulup yang menutupi kepala penis seringkali mengeluarkan lendir. Lendir yang terkumpul di penis ini jika dibiarkan bisa memicu lekatnya kulit kulup.

Jika terjadi lekatan, alat kelamin akan terganggu. Selain fimosis, infeksi yang sering mengganggu alat kelamin anak laki-laki adalah infeksi rongga kulup atau balanitis.

Bisa saja ketika lengketan dilepas anak akan bebas dari gangguan. Namun, kadang-kadang lengketan terjadi lagi sehingga si anak mengalami kesulitan kencing kembali. Karena itu, untuk mencegah berbagai komplikasi sebaiknya memang dikhitan.

KAPAN saat paling baik untuk mengkhitankan anak, sebenarnya tergantung kebiasaan di dalam masyarakat. Banyak orangtua yang mengkhitankan anak bila si anak telah duduk di sekolah dasar, ada yang lebih suka ketika anak masih usia taman kanak-kanak, ada pula saat masih bayi.

Bagi bayi yang berusia di bawah satu bulan atau baru beberapa bulan, risiko khitan memang ada. Namun risiko ini lebih pada bila terdapat luka, misalnya luka bekas khitan yang tercemar popok bekas air kencing atau kotoran. Hal ini bisa diatasi dengan perawatan luka dan pengobatan yang baik.

Tentang kekhawatiran akan terjadi gangguan pertumbuhan, sehingga kelak si anak jadi kuntet, sama sekali tidak beralasan dan tidak berhubungan dengan khitan. Pertumbuhan anak diatur oleh hormon pertumbuhan yang diproduksi oleh kelenjar yang terletak jauh dari alat kelamin. Sedang tindakan khitan itu sendiri adalah memotong dan membuang sebagian ujung kulit preputium.

Apabila tidak terdapat gangguan, sebaiknya anak memang dikhitan setelah ia telah mampu mengurus dirinya sendiri, termasuk dalam hal kencing maupun buang air besar, serta sudah tidak mengompol lagi.

DR H ANIES MKK PKK Pakar Kedokteran Keluarga, pengelola sebuah klinik khitan.

Pertanyaan:

Khitanan

Assalamu alaikum,
Ana mau minta tolong sama Ustadz,karena anak ana sudah berusia 7 tahun dan rencananya dalam bulan ini akan dikhitan,
dan pertanyaan ana bagaimana tata cara menurut sunnah dalam khitanan?
Dan bagaimana hukumnya apabila diadakan acara seperti kebiasaan yang berlaku dimasyarakat saat ini yaitu mengundang tetangga untuk menghadiri acara itu?,apakah ini terkena dalil menyembelih bukan atas nama Alloh?.
Mohon jawaban secepatnya dari Ustadz.
Jazakallo khoir,
Wassalamu alaikum.

Batam, 08 September 2002

Jawaban: Alhamdulillah wassholatu wassalamu 'la rasulillah wa ba'du :

Sesungguhnya khitan itu adalah merupakan sunnah rasulullah,dan termasuk salah satu dari sepuluh fitrah atau sunnan para nabi.

Khitan artinya memotong kulit yang menutupi kepala penis . (lihat nailul author I/125). Adapun waktunya kata Syaukani dalam kitabnya nailul Author tidak mempunyai waktu tertentu, ia berkata : "Sesungguhnya masa melakukan khitan itu tidak dibatasi dengan waktu tertentu, pendapat ini adalah pendapat Jumhur ulama , dan tidak pula diwajibkan waktu kecil.

Menurut definisi di atas, maka tidak ada penambahan tertentu dalam pelaksanaan khitan itu melebihi dari sekadar memotong kulit yang menutup kepala penis. Tidak penah ada doa khusus, atau bacaan khusus untuk khitan, begitu juga tidak ada syarat tertentu saat pelaksanaan khitan, seperti membaca dua kalimat syahadat, yang berarti dengan khitan ini anak yang dikhitan telah sah islamnya. Perbuatan seperti ini tidak ada dalilnya sama sakali, apalagi bertentangan dengan hadits yang menyatakan setiap anak yang dilahirkan, terlahir dalam keadaan fitrah (islam).

Adapun walimah atau pesta karena khitan, syaikhul islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang hukum pesta penikahan, pesta kematian, pesta khitanan, dan pesta aqiqahan.

Beliau menjawab : Pesta pernikahan adalah sunnah, dan memenuhi undangannya adalah diperintahkan, pesta kematian adalah bid'ah, haram untuk melakukan dan memenuhi undangannya, pesta khitanan adalah boleh (mubah), barangsiapa yang ingin melakukkannya silahkan dan siapa yang ingin meninggalkannya silahkan. Begitu juga dengan pesta kelahiran, kecuali kalau seandainya telah disembelih aqiqahannya, maka sesungguhnya penyembelihan itu hukumnya sunnah. Wallahu 'alam.

Beliau juga berkata pada jawaban yang lain : adapun undangan pesta khitanan, maka hal itu tidak pernah dilakukan oleh para shahabat. Hukumnya mubah, kemudian sebagian ulama pengikut imam ahmad dan lainnya ada yang mengatakan hukumnya makruh. Sebagian mereka ada yang membolehkan, dan bahkan adalah yang menganjurkannya. (lihat Majmu' Fatawa juz 32/ hal : 207).

Sebenarnya tidak ada sunnahnya melakukan pesta khitanan, sebab tidak ada dalil yang menganjurkannya, bahkan hal itu tidak pernah dikenal pada zaman nabi atau para shahabat sebagaimana atsar Utsman bin Abi Al Waqash, Al Hasan berkata : Utsman bin Abi Al Waqash pernah diundang untuk menghadiri pesta khitanan, maka beliau enggan untuk memenuhinya, lalu ditanyakan kepada beliau, lantas beliau menjawab : Sesungguhnya kami tidak pernah mendatangi pesta khitanan di zaman rasulullah dan tidak pernah pula kami diundang. (H.R. Ahmad).

Imam Syaukani berkata dalam kitabnya Nailul Author juz 6 hal 196 : Atsar ini tercantum di musnad imam Ahmad dengan sanad yang tidak ada celaan padanya, hanya saja di sanadnya terdapat Ibnu Ishaq, beliau tsiqah, akan tetapi mudallis. Athobrani juga mengeluarkan atsar yang sama di kitabnya Al Kabir dengan sanad Ahmad. Dan beliau juga mengeluarkan atsar tersebut dengan sanad lain, di dalam sanad itu terdapat Hamzah Al 'Athor. Beliau ini ditsiqohi (dikuatkan) Ibnu Abi Hatim dan selainnya melemahkannya. Dari atsar ini telah diambil kesimpulan bahwa tidak disyariatkannya memenuhi undangan pesta khitanan."

Perkataan syeikhul islam Ibnu Taimaiyah, yang mengatakan boleh atau mubah, ini berdasarkan bahwa acara itu hanya semata makan-makan dalam rangka menampakkan rasa gembira, sehingga mengundang orang lain dalam kegembiraan itu. Acara itu bukan merupakan keharusan (wajib dilakukan) setiap khitanan.

Adapun apa yang terlihat di masyarakat kita, dengan mengadakan acara –acara tertentu dalam pesta khitanan, seperti musik, diarak beramai-ramai ke ziarah kuburan keluargannya, dimandikan dll, sehingga perbuatan itu merupakan unsur yang wajib dilakukan untuk setiap kali pelaksanaan khitan, bahkan kalau tidak melakukan hal itu khitannya tidak sah, atau kurang berkah dan lain-lain. Maka perbuatan itu termasuk bid'ah yang dimungkari, dan bukan hal seperti ini yang dikatakan oleh syaikul Islam.

Adapun sembelihan binatangnya, selagi acara itu masih dalam batas yang dibolehkan, maka sembelihan itu tidak termasuk penyembelihan karena selain Allah. Sembelihan itu sama dengan sembelihan aqiqahan, atau menyembeliah karena kedatangan tamu dll. Adapun penyembelihan yang dikatagorikan sebagai menyembelih karena selain Allah adalah dalam rangkat pengagungan dan pemujaan selain Allah. Wa

Fatwa-fatwa Kontemporer

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 
KHITAN WANITA
Dr. Yusuf Qardhawi
 
PERTANYAAN
 
Bagaimana  hukum  Islam  mengenai  khitan   bagi   anak-anak
perempuan?
 
JAWABAN
 
Masalah ini diperselisihkan oleh para ulama bahkan oleh para
dokter sendiri, dan terjadi perdebatan panjang mengenai  hal
ini di Mesir selama beberapa tahun.
 
Sebagian  dokter  ada  yang  menguatkan  dan  sebagian  lagi
menentangnya,  demikian  pula   dengan   ulama,   ada   yang
menguatkan  dan  ada  yang menentangnya. Barangkali pendapat
yang paling moderat, paling adil, paling rajih,  dan  paling
dekat  kepada  kenyataan  dalam  ma  salah  ini ialah khitan
ringan,  sebagaimana  disebutkan   dalam   beberapa   hadits
- meskipun tidak  sampai  ke derajat sahih - bahwa Nabi saw.
pernah menyuruh seorang perempuan yang berprofesi mengkhitan
wanita ini, sabdanya:
 
  "Sayatlah sedikit dan jangan kau sayat yang berlebihan,
  karena hal itu akan mencerahkan wajah dan menyenangkan
  suami."
 
Yang  dimaksud  dengan  isymam ialah taqlil (menyedikitkan),
dan yang dimaksud dengan laa tantahiki ialah laa tasta'shili
(jangan  kau  potong  sampai  pangkalnya).  Cara  pemotongan
seperti yang dianjurkan itu akan menyenangkan  suaminya  dan
mencerahkan  (menceriakan)  wajahnya, maka inilah barangkali
yang lebih cocok.
 
Mengenai masalah ini, keadaan di masing-masing negara  Islam
tidak sama. Artinya, ada yang melaksanakan khitan wanita dan
ada pula yang tidak. Namun  bagaimanapun,  bagi  orang  yang
memandang  bahwa  mengkhitan  wanita  itu  lebih  baik  bagi
anak-anaknya,  maka  hendaklah  ia  melakukannya,  dan  saya
menyepakati   pandangan   ini,  khususnya  pada  zaman  kita
sekarang ini. Akan hal orang yang tidak  melakukannya,  maka
tidaklah  ia  berdosa,  karena  khitan  itu tidak lebih dari
sekadar memuliakan wanita, sebagaimana kata para  ulama  dan
seperti yang disebutkan dalam beberapa atsar.
 
Adapun  khitan  bagi  laki-laki,  maka  itu  termasuk syi'ar
Islam, sehingga para ulama  menetapkan  bahwa  apabila  Imam
(kepala  negara  Islam)  mengetahui  warga  negaranya  tidak
berkhitan, maka wajiblah  ia  memeranginya  sehingga  mereka
kembali  kepada  aturan  yang  istimewa yang membedakan umat
Islam dari lainnya ini.
 
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388

ISBN 979-561-276-X

Indeks Islam | Indeks Qardhawi | Indeks Artikel | Tentang Pengarang


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team

Hukum Khitan untuk Wanita

Assalamu alaikum Wr. Wb.

Saya mohon penjelasan ttg hukumnya khitan bagi pria dan wanita. Terima kasih atas perhatiannya dan jawabannya sangat diharapkan.

Wassalamu'alaikum wr. wb.

saya

Jawaban:

Para fuqaha berbeda pendapat tentang hukum khitan. Imam Syafi’I berpendapat bahwa khitan wajib bagi laki-laki dan perempuan. Madzhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa khitan hukumnya sunnah bagi laki-laki dan perempuan. Dalil dari pendapat ini adalah hadits Rasulullah berikut ini: “Khitan sunat bagi laki-laki dan kemuliaan bagi perempuan.” (Hadits riwayat Ahmad dan Baihaqi).

Sedangkan Imam Hanbali berpendapat sebagaimana disebutkan Ibnu Qudamah, bahwa khitan wajib bagi laki-laki dan sunah bagi perempuan. Pendapat ini menjadi pendapat kebanyakan para ulama.


Ust. Iman Sulaiman Lc



Untuk Dicetak | Kirim ke Rekan

Lainnya

§ Mantra dengan Al Qur`an

§ Menangis dalam Sholat

§ Berjabat Tangan dengan Lain Jenis

§ Sholat dengan Memejamkan Mata Bolehkah?

§ Apa Arti Alif Laam Miim?

§ Tentang Islam Liberal

Shalat Berjama’ah di Rumah

KHITAN Dalam tinjauan syari'ah, psikologi dan medis
Edisi 18 / 18-Okt-2000
+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

Tradisi khitan juga dilaksanakan oleh pengikut Nabi Isa as.

Sebelum kaisar Harianus dan konstantin melarangnya. Bahkan dari

gulungan laut mati (Dead sea Scrolls) yang ditemukan pada 1947 oleh
seorang gembala Badui di gua Qumran, sekitar 10 mil sebelah Timur

Yerussalem didapati keterangan bahwa Yesus juga di khitan (M. Ataur Rahim:307).

Hal ini selaras dengan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim as yang menghitan
dirinya pada usia 80 tahun (HR. Bukhari). Setelah itu, beliau as mengumpulkan

putra dan pengikutnya untuk dikhitan. Perbuatan beliau ini diikuti karena

Muslimin diperintahkan untuk mengikuti millah Ibrahim.

Kembali kefitrah

Dalam hadist riwayat Bukhari Muslim, Abu Daud,Tirmidzi,
an-Nisa'I, Ibnu Majah dan Ahmad dikatakan bahwa Rasulillah saw.
Bersabda, "Ada lima yang termasuk fitrah, yaitu berkhitan,
mencukur rambut kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku,
dan mengunting kumis.

Abu Hurairah juga mengatakan Rasulullah saw bersabda,
"Barang siapa masuk Islam, hendaklah ia berkhitan walaupun
sudah dewasa."

Mahmud al-Khattab al-Subuki mengatakan, walau tidak
dijumpai dalil yang shahih tentang kewajiban berkhitan, yang
perlu diyakini khitan hukumnya sunnah. Dan sebagai rujukan
terkuat adalah sabda Rasulullah saw bahwa khitan termasuk di antara
lima macam fitrah . Fitrah berarti kesucian yang unsurnya
terdiri atas benar, baik dan indah. Fitrah merupakn dorongan
yang secara alami ada pada manusia. Barangkali, walau tidak
dianjurkan untuk melaksanakannya, manusia memang sudah dibekali
Allah swt. Fitrah itu hingga ia terdorong untuk melakukannya.

Khitan merupakan ajuran Rasul saw. Didalamnya terkandung
hikmah-hikmah tertentu yang mungkin masih belum terungkap nilai
manfaatnya secara menyeluruh dan utuh. Dengan demikian, berbagai
dugaan bisa saja muncul. Berbagai penelitian masih mungkin
untuk dilakukan.

Dalam hubungannya dengan kesempurnaan ibadah, terutama shalat,
urgensi khitan amat jelas. Shalat secara lahiriyah berhubungan
dengan kebersihan jasmani. Untuk menunaikan shalat disyari'atkan
agar tubuh dan pakaian yang dikenakan harus bersih dan suci baik
dari hadast. Ini berarti, sebelum berwudhu orang yang hendak
menunaikan shalat harus dalam keadaan besih diri. Bersih
kemaluannya saat bersuci buang air kecil dan bersih duburnya
saat bersuci dari buang air besar.

Air seni yang keluar, terasa lebih terjamin kebersihannya saat
bersuci, jika gulfah sudah tebuang (khitan). Tanpa adanya gulfah
pembersihan yang dilakukan dapat lebih merata. Dan secara praktis
dapat mudah dikejakan. Dengan demikian, berkhitan lebih
mempermudahkan dalam mebersihkan hadats kecil.
Sehubungan dengan kepentingan kewajiban shalat,
sebaiknya anak-anak sudah dikhitakan menjelang usia akil baligh.
Tapi kapan khitan itu dilakukan ? tidak di jumpai ketentuan yang
pasti. Al-hasan dan Al-Husein, cucu Rasulullah saw. Dikhitan pada
hari ketujuh dilahirkannya. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh
Baihaqi dibawah ini :"Rasulullah saw telah menyembelih aqiqah
untuk Hasan dan Husein seta mengkhitankan mereka pada hari ketujuh
dari kelahirannya."

Menurut pengikut Imam Ahmad Ibnu Hambal, khitan dianjurkan
sejak anak mencapai usia 7 tahun hinga usia akil baligh.
Namun, menurut Imam Maliki khitan sebaiknya dilaksanakan
antara usia 7 dan 10 tahun. Jika di usia akil baligh belum
sempat dikhitan, ia boleh mengkhitankan dirinya sendiri dan
jika tidak sanggup maka gugurlah keharusannya untuk berkhitan
(Al-Afifi:94)

Sedang menurut Al-Mawardi, waktu khitan terbagi dua. Pertama waktu
yang diwajibkan, yaitu setelah anak mencapai usia akil baligh.
Kedua waktu yang dianjurkan, yaitu sebelum anak mencapai usia
akil baligh (Al-Afifi:94)

Disini terlihat, selain khitan sebagai anjuran (sunnah) juga
kapan khitan itu dilaksanakan belum ada kesepakatan yang jelas.
Bahkan Asy-Syafi'I menekankan keutamaan mengkhitan anak saat masih
kecil (bayi). Dan pendapat yang shahih menurut Thaha Abdullah
Al-Afifi, dianjurkan mengkhitan bayi pada hari ketujuh dari
kelahirannya sesuai dengan hadits Rasulullah saw. Diatas.

Bagi umumnya masyarakat Indonesia, khitan mengandung makna
tertentu dalam kehidupan keluarga dan anak. Khitan bukan saja
dikaitkan dengan pendidikan anak dan hubungan sosial kemasyarakatan.
Khitan juga dikaitkan dengan pertimbangan tertentu seperti
umur anak, alokasi, waktu dan kesiapan anggaran biaya.
Ada semacam pandangan yang berkembang di tengah masyarakat Muslim
Indonesia bahwa anak yang sudah dikhitan , pertumbuhan badannya cepat.
Atau anak yang sudah mengaji Al-Qur'an adalah anak yang telah
dikhitan, sebab Al-Qur'an sebagai kitab suci hanya boleh dipelajari
oleh anak yang telah dikhitan. Karena itu, mereka biasanya mengkhitan
anak dikaitkan dengan usia sekolah. Dan umumnya anak-anak di usia
tersebut sudah disertakan mengaji Al-Qur'an serta mulai di biasakan
mengerjakan shalat. Sebab khitan dikaitkan pula dengan syah
tidaknya mengerjakan shalat. Tampaknya, teradisi seperti itu
mengandung sisi-sisi positif dalam pendidikan anak. Paling tidak
khitan terkesan memiliki nilai-nilai sakral, sehingga anak-anak
tertorong untuk dikhitan. Namun hal tersebut juga menyebabkan
tertundanya usia khitan anak.

Tradisi khitan umumnya indentik dengan perayaan. Akibatnya, ada
sebagian keluarga yang menunda khitanan anaknya karena biayanya
belum cukup, namun demikian, kini khitan tidak menuntut terlalu
banyak dana. Kenapa ? sebab pada hari hari raya Islam tertentu
biasanya juga dilkukan khitanan masal, yang merupakan bagian
dari ibadah sosial.

Ditinjau dari psikologis dan medis

Secara psikologis, khitan memiliki tujuan dan arti sendiri.
Yaitu peristiwa yang hanya berlaku sekali seumur hidup, nampak
akan terus menyertai pelakuknya sepanjang hayat.

Dalm buku Hayatunal Jinsiyah (Kehidupan biologos kita) Dr. Sabri
al-Qubbani mencoba mengngkat masalah khitan, beserta segala hal
disekitarnya. Dia mengatakan khitan merupakan peraturan kesehatan
yang faedahnya sangt besar. Yakni menghindarkan pelakunya dari
berbagai penyakit dan ganguan kesehatan lainnya.

Berikut ini adalah sedikit faedah-faedah khitan menurut al-Hawani :

Pertama : Dengan memotong Qulfah atau kulup seorang anak, ia akan
terbebas dari endapan yang mnegandung lemak, dan lendir-lendir yang
sangat kotor. Ini dapat menekan serendah mungkin terjadinya
peradangan pada kemaluan, dan proses pembusukan yang diakibatkan
oleh endapan lendir-lendir tersebut.

Kedua: Dengan terpotongnya Qulfah, batang kemaluan akan bebas
dari kekangan semasa terjadi ketegangan (ereksi)

Ketiga : Dengan khitan kemungkinan terserang penyakit kanker
sangat kecil. Realitas menunjukan penyakit kanker penis ternyata
banyak diderita oleh orang yang tidak di khitan. Dan jarang sekali
menimpa bangsa-bangsa yang syariat agamanya memerintahkan agar pemeluknya
berkhitan.

Keempat : Bila secepatnya mengkhitan sang anak, berarti kita telah
menghindarkan dari kebiasaan ngompol di tempat tidur. Penyebab utama
anak mengompol ditempat tidur pada malam hari karena qulfahnya terasa
gatal dan keruh (tergelitik).

Kelima : Dengan khitan anak terhinar dari bahaya melakukan onani. Apabila
qulfah masih ada, maka lendir-lendir yang tertumpuk dalam gulfah, ini
dapat merangsang syaraf-syaraf kemaluan dan mengelitik ujung kemaluan yang
merupakan daerah sensitif terhadap rangsangan (stimulus). Maka dia akan
sering menggaruknya. Bila hal ini terus berjalan sampai usia puber, maka
dia akan semakin sering mempermainkannya sehingga akhirnya kebiasaan itu
meningkat pada onani.

Keenam : Para dokter mengatakan secara tidak langsung khitan
berpengaruh pada daya tahan sek. Oleh sebagian lembaga ilmiah pernah
diadakan suatu sensus mengenai hal ini. Hasilnya menunjukan bahwa
orang yang berkhitan mempunyai kemampuan seks yang cukup lama
dibandingkan orang yang tidak dikhitan. Falh Gray juga menyatakan
berdasarkan penelitiannya, orang yang khitan memiliki ketahanan
lebih lama dibanding orang yang tidak dikhitan dalam melakukan
hubungan suami istri (al-Halwani :46)

Khitan bagi Perempuan

Khitan bagi anak laki-laki bukan masalah. Namun bagi perempuan, ini
membutuhkan uraian tersendiri. Pada bayi laki-laki khitan berarti
memotong sebagian kulit yang menutup bagian kepala alat kelamin.
Sedang bagi bayi perempuan, berkhitan adalah memotong sebagian kecil
dari semacam lapisan kulit yang menutup bagian yang peka rangsangan (klitoris).

Namun dalam kitab Tuhfathul'Aris wal'Arus halaman 235, Sayid
Muhammad Rayid Ridha mengungkapkan khitan dalam maknanya :
"Mengenai khitan anak perempuan, tidak ada satu hadistpun yang
bisa dijadikan pegangan, dan tidak ada satu sunahpun yang dapat diikuti.
Orang-orang yang berpendapat bahwa mengkhitan anak perempuan adalah sunnah,
pada dasarnya berpegang kepada riwayat yang diketengahkan
Imam /Ahmad dan Baihaqi, dari Sayadah Ibn Aus yaitu:'Khitan itu
disunnatkan bagi kaum laki-laki, dan merupakan kemuliaan bagi
kaum perempuan'. Hadits ini, diantara parawinya terdapat
Hajaj bin Arthah yang dikenal (menyamarkan rawi hadits). Maka
kedudukan hadits itu adalah makdzub (tidak dapat dipercaya)".

Dalam masalah yang sama,Syaikh Mahmud Syaltut berpendapat,
"Kami telah mengecualikan semua riwayat, masalah khitan wanita.
Pada hakikatnya, tidak ada satu dalilpun yang sah yang dapat
dijadikan pegangan untuk menunjukan kesunnatanya menurut
kaidah fiqh. Lebih-lebih dalil yang menunjukan wajibnya
khitan bagi perempuan, tidak ditemukan. Kesimpulan ini berdasar
pada kesepakatan ulama terdahulu, yang menyatakan bahwa didalam
masalah khitan bagi wanita tidak ada kabar pun yang dapat
dijadiakn sebagi pegangan. Demikian halnya dengan sunnah,
tidak ada yang dapat dijadikan panutan.

Hukum syara' mengenai khitan wanita tidak didasarkan pada
nash yang di nukil, tapi menurut kahidah syara' yang umum,
dan kaidah yang umum berpendapat bahwa sakit orang hidup
dengan sehat itu tidak dibenarkan, kecuali bila terdapat
kemashalatan buat orang yang bersangkutan, serta menghindari
bahaya sakit yang lebih parah. Syaikh Mahmud Syaltut
menyimpulkan bahwa khitan bagi perempuan tidak didukung oleh
dalil atau data yang membenarkan menyakiti anggota badan.
Baik secara syara, biologis maupun medis. Jadi,mengkhitan
anak perempuan adalah perbuatan mulia dan dianjurkan tapi
tidak diwajibkan dan tidak disunnahkan. Khitan bagi anak
perempuan lebih baik dilakukan jika masih dalam lingkup
kemashalatan, sedangkan bagi yang meninggalkannya tidak berdosa.

Hal diatas juga merupakan tangkisan terhadap upaya-upaya
perongrongan Islam, khususnya menyangkut fiqih perempuan,
yang dilancarkan kaum feminis seperti Fethima Mernissi (Maroko)
beserta pengikutnya yang mneyatakan bahwa Islam menyakiti perempuan.
Diantara 'metode menyakitinya adalah khitan bagi perempuan,
Tuduhan tersebut terbukti tidak benar. Islam tidak mewajibkan
bahkan tidak menyunahkan khitan bagi perempuan.
Maha Benar Allah atas segala Firman-Nya.

Ummu Naufal : Dari berbagai sumber


___________________________________________________________
SELAMAT
Pengurus Musholla An-Nahl PT Samsung Electronics Indonesia
Mengucapkan selamat dan turut berbahagia atas diserahkannya
32 anak pengungsi muslim Maluku oleh Tim anak MER-C kepada
16 orang tua asuh, Ahad, 1-Oktober-2000, di Jakarta.
Semoga Allah senantiasa memudahkan jalan mereka.
___________________________________________________________
BELASUNGKAWA
Turut berdukacita sedalam-dalamnya atas gugurnya puluhan
kaum muslimin Palestina di tangan senapan Yahudi Israel
Zionis, pada peristiwa perlawanan terhadap Israel di
Jerussalem, Tepi Barat, dan Jalur Gaza, sejak Kamis
28-Sep-2000.
"Dan janganlah kau katakan orang yang terbunuh di jalan
Allah itu mati. Mereka hidup, tapi kamu tidak mengerti"
(QS:Al-Baqoroh:154)
___________________________________________________________

++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
E-mail ini dikirimkan oleh :
Musholla An-Nahl PT Samsung Electronics Indonesia
Jika anda mempunyai teman yang ingin dikirimkan
kisah-kisah/ nasihat-nasihat islami setiap hari,
kirimkan e-mail addresnya ke :
musholla_annahl@samsung.com

Haramkah Merokok?

Edisi 19 / 19-Oktober-2000

___________________________________________

Merokok dapat meningkatkan daya konsentrasi, berpikir lebih
cerdas dan dapat menghilangkan beban pikiran, semisal stres.
Tentu saja ungkapan ini milik para perokok walau secara umum
mereka mengakui merokok dapat merusak kesehatan. Benarkah
demikian ? Kata para ahli, pendapat para perokok itu hanya
ilusi semata.

Memang merokok dapat meningkatkan daya konsentrasi. Ini dampak
dari dari reaksi nikotin dengan sel-sel otak. Nikotin yang
menembus dinding otak melalui aliran darah mengaktifkan zat-zat
kimia yang ada di dalam otak, termasuk adrenalin dan nonadrenalin.
Akibatnya suplay darah ke otak meningkat, sehingga kepala terasa
ringan dan tubuh terasa energik. Dalam waktu lebih kurang
30 menit, ketika nikotin yang diserap berkurang, energipun
mulai hilang.

Carbon monoksida (CO) yang terkandung dalam asap rokok juga
dapat mengalami suplai oksigen ke sel-sel tubuh dengan cara
mengikat hemoglobin. Setiap batang rokok memompakan sedikitnya
10 sampai 20 miligram karbon monoksida ke dalam paru-paru.
Akibatnya, setiap kali merokok orang kehilangan tiga sampai
sembilan persen dari jumlah oksigen yang ada didalam tubuhnya.
Bagi perokok berat kehilangan ini bisa mencapai 10 persen.
Dan ini justru dapat menyebabkan kelambatan reaksi dan
mengurangi kewaspadaan (Republika, 17/9/95).

Dampak negatif dari merokok dirasakan oleh hampir semua negara
di dunia. Studi WHO menunjukan kematian akibat merokok sekitar
30 juta orang setahun, 10 kali lebih tinggi dari angka kematian
akibat kecelakaan berlalulintas. Secara global angka ini terus
membengkak. Diperkirakan dalam waktu dekat, setiap tahun 10 juta
orang meninggal akibat merokok. Hal ini disebabkan persentase
remaja yang merokok dapat meningkat pesat dibandingkan dengan
40 tahun lalu (Republika, 29/10/96).

Amerika misalnya, setiap tahun kehilangan 400 ribu warganya
akibat merokok. Sementara di Japan, menurut hasil penelitian
pakar epidemiologi Universitas Oxford Richard Peto, tahun 1950,
dari keseluruhan orang meninggal di Japan, dua persen meninggal
dalam usia 35-69 tahun akibat merokok. Tahun ini berdasarkan
perhitungan rokok yang dikonsumsi diperkirakan 18 persen orang
Japan mati muda. Di As diduga lebih tinggi lagi, kira-kira 30 %
(Republika, 1995).

Dampak ekonomi yang ditimbulkan akibat rokok tak kalah buruknya,
terutama untuk pelayan kesehatan. Di USA, jumlah biaya kesehatan dan
kehilangan produktifitas akibat merokok mencapai USD 65 milyar dolar
atau sekitar RP 130 trilyun setahun. Iran menghabiskan sekitar
USD 1,23 milyar dolar untuk rokok dan dampaknya. Sementara Malaysia
yang berpenduduk 19 juta jiwa menghabiskan USD 750 juta dolar setiap
tahunnya. Di Indonesia angka ini tentu lebih besar lagi. Tak pelak,
keuntungan dari cukai rokok lebih kecil ketimbang biaya yang harus
dikeluarkan pemerintah untuk mengsubsidi penanganan kesehatan akibat
merokok (Republika, 19/10). Lantas, masihkah rokok merupakan sumber
pendapatan negara.

Penyadaran masyarakat akan bahaya merokok tidak gampang. Sebab selain
merokok dapat menimbulkan ketergantungan (kecanduan), upaya penyadaran
dengan gencaran iklan atau promosi kian meningkat setiap tahunnya.
Dan ironisnya, peningkatan angka terbesar terjadi pada kelompok usia muda
(remaja) dan masyarakat yang berpenghasilan dan berpendidikan rendah.

Wanita dan Rokok


Mengapa wanita merokok ? Fakta yang diungkapkan oleh Dr. Monica
McWeeney dari Medical Women's International Association, Amerika Serikat
menyatakan bahwa beberapa wanita merokok karena kebiasaan tersebut
dianggap sebagai salah satu cara untuk menekan berat badan, agar tetap
langsing. Selain itu juga diungkapkan bahwa banyak wanita yang merokok
karena ingin mngusir kecemasannya.

Kebiasaan merokok terbukti paling sedikit berhubungan dengan 35 jenis
penyakit dari berbagai organ manusia, seperti kangker mulut, esofagus,
farling, dan paru-paru. Merupakan pemicu penyakit seperti jantung dan
ginjal. Selain itu merubah warna pada gigi, pembusukan gusi, nafas
yang berbau bahkan dapat mempengaruhi suara.

Pada wanita gangguan kesehatan akibat merokok lebih luas lagi.
Fakta menyebutkan bahwa merokok mungkin dapat menurunkan kesuburan
pada wanita. Ini didasarkan pada sebuah penelitian yang dilakuakan
secara luas yang memperlihatkan bahwa 11% wanita perokok berat gagal
mengandung (hamil) wakaupun telah menghentikan kontrasepsi selama
lima tahun, sedangkan pada wanita yang tidak merokok hanya 5%.

Wanita perokok mempunyai resiko dua kali lebih tinggi untuk mengalami
kehamilan di luar rahim (extrauterine) dari pada wanita yang tidak
merokok. Dibandingkan dengan wanita yang tidak merokok, wanita perokok
mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk mengalami ganguan menstruasi
dan kanker leher lahir, serta dapat lebih cepat mengalami mati haid
(monopause) satu sampai dua tahun.

Senyawa nikotin yang terkandung dalam rokok, juga menyebabkan terjadinya
penurunan sirkulasi darah dan persediaan oksigen pada kulit yang dapat
mempercepat terjadinya keriput dan penuan dini pada kulit. Sebuah penelitian
juga membuktikan bahwa wanita yang menggunakan kontrasepsi pil hormon akan
mempunyai resiko yang lebih besar untuk terkena kardiovaskuler (penyakit
penyempitan pembuluh darah) bila merokok.

Bila kebiasaan merokok dilakukan pada saat ia hamil, terjadinya keguguran
merupakan resiko yang harus dihadapinya. Wanita hamil yang merokok akan
menyalurkan karbonmonoksida dan nikotine rokok ke aliran darah janin.
Ini menyebabkan persediaan oksigen dalam darah berkurang dan mempercepat
denyut jantung janin. Akibatnya, kemungkinan besar akan lahir bayi prematur
atau bayi dengan berat badan rendah, dan meningkatkan resiko bayi mengalami
sindom kematian mendadak (sudden infant death syndrome). (Majalah Ishlah : thn 1996)

Pandangan Syar'i

Para ulama memiliki pandangan berbeda tentang merokok, dari yang
mengharamkan hingga yang menghalalkan. Ulama yang nengharamkan rokok
beralasan bahwa merokok itu memabukkan (iskar) karena dapat menutup akal,
mengacaukan pikiran, menyesakkan nafas, atau hanya sebatas tidak ingat
(teler sesaat), Selain itu merokok juga dapat melemahkan tubuh.
Rasulullah saw melarang keras mengkonsumsi sesuatu yang memabukkan
dan melemahkan tubuh (HR. Ahmad dan Abu Dawud).

Merokok juga dapat menimbulkan mudharat, baik ditinjau dari aspek kesehatan
umum maupun pemborosan terhadap harta (tabdzir). Didalam ini sebagian besar
ulama tidak ada perbedaan tentang haramnya sesuatu yang membahayakan,
baik bahaya itu datang seketika maupun bertahap. Diantara ulama yang
mengharamkan merokok adalah Imam Hambali dan dari madzhab Maliki,
Ibrahim al-Laqqani (Yusuf Qardhawi, dalam fatwa-fatwa kontemporer, hal.825).

Ulama menganggap merokok itu makruh beralasan karena merokok itu berbahaya
(dharar), mengurangi harta, mengganggu orang lain, menyebabkan ketergantungan
dan mengurangi kesempurnaan ibadah (Ibid hal 826). Meskipun demikian, sesuatu
yang dimakruhkan, hakikatnya tidak disukai Allah-kata makruh berasal dari
karaha, yang berarti dibenci.

Sedangkan ulama yang menganggap merokok itu mubah (boleh) berpegang pada
kaidah ushul; asal segala sesuatu itu halal, sehingga ada dalil syar'i yang
mengharamkannya. Dan merokok menurut mereka tidak menimbulkan iskar
(memabukkan) atau takhdir (membuat badan loyo).(Majalah Ishlah : thn 1996).

Namun bila data dampak negatif dari merokok di atas dijadikan sandaran,
baik dari segi kesehatan (resiko kangker, paru-paru dan jantung koroner),
sosial (mengganggu dan menimbulkan penyakit kepada orang lain), dan ekonomi
(tabdzir), bagaimana kesimpulan anda sekarang ?.


Sudahkan anda berhenti merokok, lakukan sekarang, jangan menunda kebaikan.

Note admin Musholla_annahl@samsung.com :
" Ataukah anda termasuk yang berpendapat merokok atau tidak, mati-mati juga :-) "

Ummu Naufal, dari berbagai sumber.

ã 2003 Haeruddin Posted 3 April, 2003

Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702)

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

April 2003

Dosen :

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng

Dr Bambang Purwantara

PROBLEM METODOLOGIS DALAM KAJIAN ISLAM

MEMBANGUN PARADIGMA PENELITIAN

KEAGAMAAN YANG KOMPREHENSIF

Masdar Hilmy

Abstract: In depicting religious phenomena, there has been on-going debates bringing up the polarization of the dichotomy between textual and contextual approaches. Basically, the two approaches have methodological weaknesses, for each can not figure out the religion (Islam) comprehensively. The first, the textual approach, tends to view religious phenomena merely on the level of core element. On the other hand, the contextual approach can likely reduce the substantial element of religion, for it tends to view religion on the level of periphery. The weaknesses, thus, open new awareness of religious studies formed in the synthesis of the two approaches. As a result, there arise a textual-contextual approach. Methodologically speaking, this combined-approach enables us to obtain the holistic picture of the religion and to escape from its distorted-meaning.

Kata Kunci: pendekatan tekstual, kontekstual, fenomena agama, polarisasi dikotomis.

Pendahuluan

Kajian holistik dan komprehensif tentang Islam --termasuk di dalamnya dimensi historisitas dan normativitas-- merupakan bidang yang belum tersentuh secara maksimal oleh kalangan ilmuwan, baik Barat maupun Muslim. Kajian holistik dimaksud menunjuk adanya kombinasi ideal antara perspektif tekstual dan kontekstual. Jika pendekatan tekstual penting untuk mengkaji Islam normatif, pendekatan kontekstual urgen dalam rangka menafsirkan Islam normatif tersebut ke dalam wacana kesejarahannya (konteks ruang dan waktu).

Barat, yang selama ini dikenal dengan keunggulan metodologis dan kekritisannya, sejauh ini masih mengandalkan perspektif kontekstual dalam melihat fenomena Islam dengan segala atributnya. Perspektif tadi tidak jarang mengakibatkan terjadinya proses distorsi dan reduksi di kalangan mereka terhadap makna substantif Islam itu sendiri sehingga salah dalam mengambil kesimpulan tentang Islam. Generasi awal orientalis Barat yang sangat mengedepankan perspektif tersebut di antaranya Ignaz Goldziher, Arthur Jeffery, dan Richard Bell. Sementara itu, generasi mutakhir tampaknya sudah menyadari kelemahan mendasar tersebut dan berusaha menutupinya dengan tidak saja menampilkan wajah Islam secara lebih bersahabat dan humanis, melainkan juga terlibat langsung di dalam dinamika Islam sebagai pihak insider. Kalangan orientalis yang termasuk kategori ini adalah Wilfred Cantwell Smith, Frederick M. Denny, Richard C. Martin, dan masih banyak yang lainnya.

Timur, lebih spesifik lagi Muslim, sebagian besar masih melihat fenomena agamanya dari kacamata normatif-doktrinal sehingga tidak jarang melahirkan sikap apologetik (intellectual obstinacy) secara berlebihan. Sikap tersebut, pada taraf tertentu, sampai pada klaim kebenaran (truth claim) yang tidak beralasan. Kaum Muslim yang masih terjebak dalam kubangan perspektif sepihak (one-sided) ini pada umumnya menjustifikasi penafsirannya tentang Islam sebagai yang paling benar sembari menuding kelompok lain --lebih-lebih kalangan "kafir" orientalis--sesat. Sikap seperti ini bukan saja mengerdilkan makna Islam secara substansial, tetapi juga menampik realitas ideologis-historis bahwa Islam adalah agama yang inklusif dan kosmopolitan yeng tidak lepas dari dialektika kesejarahan.

Polarisasi dikotomis di atas jelas akan menimbulkan pemahaman parsial terhadap makna substantif Islam dan, pada gilirannya, melahirkan proses reduksi dan distorsi makna. Satu-satunya cara untuk mengatasi problem epistemologis ini adalah dengan menggabungkan kedua metode atau perspektif di atas dalam satu wacana yang komprehensif dan holistik. Tulisan ini berusaha mengupas urgensi penggabungan kedua metode kajian Islam tersebut dengan memunculkan istilah "tekstual-kontekstual." Pendekatan tekstual-kontekstual itu sendiri pada mulanya dipopulerkan oleh Frederick M. Denny melalui karya-karya kontemporernya tentang Islam, terutama kajian ritual. Signifikansi pendekatan tekstual-kontekstual ini, menurut Denny, terletak pada upaya yang seimbang antara pemahaman normatif-doktrinal di satu sisi, dan kontekstualisasi dengan unsur-unsur kesejarahan di sisi lain. Upaya pertama mengacu kepada teks-teks suci Islam, baik berupa wahyu --al-Qur’a>n dan H{adi>th-- maupun buku-buku klasik karangan para `ulama> terdahulu dan kontemporer, sedangkan upaya kedua bergerak pada konteks sosial, politik, dan kultural. Hanya melalui penggabungan tersebut, pemahaman komprehensif tentang Islam bisa dicapai.

Islam Sebagai Sebuah Sistem

Jika dikehendaki gambaran yang utuh, Islam harus dilihat dari kacamata yang utuh pula. Sebagai sebuah sistem, Islam tersusun dari dua elemen dasar yang membentuk sebuah entitas tunggal; masing-masing tidak bisa dipisah-pisah. Elemen tersebut adalah doktrin atau kredo yang bersifat dogmatik dan berperan sebagai elemen inti (core element) di satu sisi, dan peradaban yang bersifat historis dan kontekstual sebagai elemen permukaan (peripheral element) di sisi lain. Disebut elemen inti karena ia menjadi ruh substantif dari sebuah agama (Islam) yang tanpa kehadirannya agama tidak akan mempunyai arti apa-apa, sementara peradaban menempati posisi permukaan mengingat bentuknya yang secara fisik bisa diobservasi oleh kasat mata bila tampak ke wilayah permukaan. Kombinasi ini barangkali bisa dianalogkan dengan sebuah jasad hidup yang disemangati oleh eksistensi ruh yang bersemayam di dalamnya yang kondisinya bisa saja berubah sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu.

Sekalipun analogi ruh-jasad di atas mungkin saja tidak terlalu tepat sebagai alat untuk mengilustrasikan hubungan antara doktrin dan peradaban Islam, watak dasar agama –Islam-- sebagai sebuah sistem cukup terwakili oleh paradigma dialektis ini. Dari segi doktrinal, Islam membawa pesan-pesan transendental yang permanen dan tidak berubah-ubah, namun ketika pesan-pesan transendental tersebut sampai ke tangan umatnya, wajah Islam bisa beragam sejalan dengan beragamnya interpretasi akibat perbedaan persepsi. Perbedaan interpretasi beserta segala konsekuensinya itu belakangan membentuk peradaban Islam yang sangat heterogen dan dinamis, memenuhi konteks ruang dan waktu. Aspek yang terakhir ini menjadi faktor signifikan bagi proses pembentukan identitas Islam secara sosial, politik, dan kultural yang memiliki dialektika sejarah berbeda-beda, namun secara prinsipil memiliki semangat teologis yang sama.

Dengan demikian, Islam harus dilihat sebagai sebuah sistem dialektis yang meliputi aspek idealitas dan realitas; mencakup dimensi belief (creed) yang berupa tawh}i>d dan diimplementasikan ke dalam dimensi praxis yang meliputi ritual, budaya, dan tradisi keislaman lainnya. Sebagai pangkal dari seluruh rangkaian ibadah dalam Islam, tawh}i>d bukan saja menyangkut persoalan proposisi-proposisi teologis semata, melainkan juga sebuah implikasi logis yang bersifat kreatif, dinamis, dan menyejarah: pengakuan satu Tuhan yang direfleksikan dengan sikap pasrah dan pelayanan konkret (`iba>dah).

Sebagai konsekuensi lebih jauh dari pemahaman di atas, aspek idealitas Islam sering disebut sebagai, meminjam istilah Fazlur Rahman, "Islam normatif" atau, istilah Richard C. Martin, "Islam formal" yang ketentuannya tertuang secara eksplisit di dalam teks-teks Islam primer. Sementara itu, aspek praxis menyangkut dimensi kesejarahan umat Islam yang beraneka ragam sesuai dengan keragaman faktor eksternal yang melingkupinya. Aspek yang terakhir ini bersifat subyektif sebagai akibat dari akumulasi pengetahuan Muslim secara turun-temurun dan dialog akulturatif antara "Islam formal" dan budaya lokal Muslim tertentu.

Itulah sebabnya Islam tidak bisa dilihat dari satu sudut pandang saja seraya menafikan sudut pandang lainnya. Apabila Islam hanya dilihat dari satu sisi saja, akibat yang ditimbulkan mudah ditebak: reduksi dan distorsi makna. Adanya pihak "luar" yang selama ini menciptakan stereotipe negatif tentang Islam, hemat penulis, salah satunya disebabkan oleh faktor ini. Di dalam kelompok intern umat Islam sendiri, yang dalam sejarahnya selalu diwarnai oleh perang klaim kebenaran berkepanjangan, juga akrab dengan faktor one-sidedness ini. Sebagai akibatnya, gambaran Islam yang utuh –tanpa diwarnai oleh sikap apologetik dan truth claim-- rasanya akan sulit dicapai. Untuk mengatasi problem ini, sekali lagi, tidak lain adalah dengan kerangka pikir terpadu melalui pendekatan tekstual dan kontekstual sekaligus.

Pendekatan Tekstual

Disebut pendekatan tekstual karena ia menekankan signifikansi teks-teks sebagai sentra kajian Islam dengan merujuk kepada sumber-sumber suci (pristine sources) dalam Islam, terutama al-Qur’a>n dan H{adi>th. Pendekatan ini sangat penting ketika kita ingin melihat realitas Islam normatif yang tertulis, baik secara eksplisit maupun implisit, dalam kedua sumber suci di atas. Selain al-Qur’a>n dan H{adi>th, kajian tekstual juga tidak menafikan eksistensi teks-teks lainnya sebagaimana ditulis oleh para intelektual dan `ulama> besar Muslim terdahulu dan kontemporer.

Selain tawh}i>d sebagai pilar paling penting dalam Islam, `iba>dah mah}d}ah (dimensi vertikal) merupakan bagian dari Islam normatif yang ketentuan hukumnya sudah diatur secara jelas (qat}i>) dalam kedua teks suci Islam. `Iba>dah mah}d}ah tidak memerlukan ijtihad untuk mencari penafsiran lebih jauh; ia hanya perlu diamalkan oleh kaum Muslim. Dalam bahasa ritualnya, ia sering disebut sebagai arka>n al-Isla>m yang meliputi shaha>dah, s}ala>t, puasa, zakat dan ibadah haji bagi yang mampu. Bukan saja rukun Islam yang membentuk Islam normatif, kesalehan teologis lainnya yang tertuang dalam al-Qur’a>n dan H{adi>th juga sering menjadi rujukan utama ibadah dalam Islam dan, dengan begitu, bisa dilihat dengan menggunakan pendekatan pertama ini.

Dalam aplikasinya, pendekatan tekstual barangkali tidak menemui kendala yang cukup berarti ketika dipakai untuk melihat dimensi Islam normatif yang bersifat qat}i> sebagaimana tersebut di atas. Persoalan baru muncul ketika pendekatan ini dihadapkan pada realitas ibadah umat Islam yang tidak tertulis secara eksplisit, baik di dalam al-Qur’a>n maupun H{adi>th, namun kehadirannya diakui dan, bahkan, diamalkan oleh komunitas Muslim tertentu secara luas. Contoh yang paling nyata adalah adanya ritual tertentu dalam komunitas Muslim yang sudah mentradisi secara turun-temurun seperti slametan (tahlilan atau kenduren).

Cukup dilematis, memang, bagi pendekatan tekstual untuk sekadar menjustifikasi bahwa ritual-ritual tersebut merupakan bagian dari ajaran Islam atau tidak. Sebagai bagian dari diskursus akademis, tujuan mengkaji ritual-ritual populer dalam Islam memang bukan untuk membuktikan apakah mereka merupakan bagian dari ajaran Islam atau tidak. Diskursus semacam ini tentu saja sudah out of date untuk tetap dikedepankan dalam konteks analisis ilmiah-akademis dan, oleh karenanya, tidak perlu dipertahankan dalam tradisi intelektual. Sebaliknya, yang menjadi concern akademis di sini adalah bagaimana menempatkan ritual populer tersebut dalam kerangka proporsional yang tidak berbuntut klaim atau pembenaran sepihak.

Untuk menjawab persoalan di atas, barangkali ada baiknya menengok ancangan tentatif yang disusun oleh Mark R. Woodward dalam menjawab disparitas distingtif antara Islam normatif/formal dan Islam populer/lokal. Ancangan tersebut tersusun secara kronologis atas empat unsur dasar. Pertama, Islam universalis. Alasan mengapa Islam universalis menempati urutan tertinggi adalah karena di dalamnya tercakup ajaran-ajaran Islam yang secara qat}i> sudah digariskan di dalam al-Qur’a>n dan H{adi>th. Masuk ke dalam kategori ini adalah arka>n al-Isla>m, tawh}i>d dan kredo religius lainnya yang bersifat taken for granted. Terhadap kategori ini, umat Islam pada umumnya sepakat meyakininya sebagai ultimate truth yang tidak memerlukan ta’wi>l lebih jauh.

Kedua, Islam esensialis. Penggunaan terma "esensialis" ini pada mulanya dipinjam oleh Woodward dari Richard C. Martin untuk menunjuk modus praktik-praktik ritual yang sekalipun tidak dimandatkan secara eksplisit oleh teks-teks universalis (al-Qur’a>n dan H{adi>th), namun secara luas diamalkan oleh umat Islam atas dasar justifikasi substansial dari semangat kedua sumber suci tersebut. Masuk ke dalam kategori ini adalah upacara tahunan mawli>d al-nabi>, bacaan-bacaan dhikr yang diamalkan oleh h}alaqah-h}alaqah s}u>fi>, perayaan kaum Shi>ah di setiap bulan Muh}arram untuk memperingati kematian H{usayn, juga modus-modus ritual yang secara mentradisi dipraktikkan untuk memuliakan para wali>, ziarah ke tempat-tempat suci, serta tradisi kenduren/slametan/tahlilan yang tersebar luas di negara-negara Muslim seperti India, Malaysia, Bangladesh, Pakistan, dan Indonesia. Islam esensial, dengan begitu, merupakan kategori Islam yang sangat inklusif.

Ketiga, Received Islam. Secara harfiah, received Islam bisa diterjemahkan sebagai Islam --sebagaimana-- yang diterima atau dipahami. Secara jujur, Woodward tidak menghadirkan deskripsi yang memuaskan tentang kategori yang ketiga ini. Ia hanya menyebut bahwa received Islam menjadi jembatan antara kategori universalis dan esensialis dengan Islam lokal. Lebih jauh, ia menambahkan bahwa contoh konkret dari kategori ini adalah dominasi ajaran s}u>fi> yang mempengaruhi perkembangan Islam lokal di Jawa. Islam jenis ini bersifat dinamis; ia berubah seiring dengan perubahan pengetahuan atau penafsiran terhadap teks-teks esensialis.

Keempat, Islam lokal. Islam lokal bisa didefinisikan sebagai seperangkat teks tertulis, tradisi oral atau ritual yang kehadirannya tidak dikenal di daerah asal turunnya Islam (Saudi Arabia). Menurut Woodward, naskah-naskah atau tradisi mistik kejawen merupakan contoh paling jelas adanya Islam jenis ini serta merupakan implikasi logis sebagai hasil interaksi antara kebudayaan lokal dan received Islam. Signifikansi H{adi>th di Indonesia dan kenyataan bahwa sebagian elemen-elemen penting budaya Jawa berasal dari sumber-sumber historis pra-Islam merupakan bukti kuat adanya interaksi kebudayaan lokal dengan Islam universalis dan esensialis.

Dari ancangan yang diberikan oleh Woodward di atas ada kesan bahwa pendekatan tekstual terkesan tidak memiliki batasan yang jelas untuk membedakan mana yang disebut "Islami" dan mana yang tidak. Justru dari sini muncul kesan seolah-olah pendekatan ini bisa diaplikasikan di wilayah mana saja sepanjang masih dalam lingkup ritual Islam. Ketidakjelasan batasan mengenai Islam ini bisa jadi merupakan kelemahan pendekatan tekstual, dan bisa pula sebaliknya, keistimewaan. Disebut kelemahan karena pendekatan tadi tidak menawarkan jawaban yang pasti terhadap diskursus keislaman tertentu. Namun demikian, dalam tataran akademis, batasan definitif untuk menarik garis demarkasi antara mana yang Islami dan mana yang tidak bukan merupakan persoalan mendasar. Justru yang menjadi persoalan penting dalam konteks ini adalah bagaimana sebuah fenomena ritual dalam Islam –dari ritual formal sampai ritual lokal/populer-- bisa dipahami secara proporsional sehingga tidak memunculkan klaim teologis sepihak.

Pendekatan Kontekstual

Kehadiran pendekatan kontekstual penting untuk memahami Islam dalam kerangka konteksnya, baik ruang dan waktu. Pendekatan yang pertama kali dipopulerkan oleh D. Eickelman ini merupakan perangkat komplementer yang bisa menjelaskan motif-motif kesejarahan dalam –ritual-- Islam untuk memperkuat asumsi bahwa Islam merupakan entitas komprehensif yang melingkupi elemen normatif dan elemen praxis. Terutama dalam rangka memahami fenomena ritual lokal/populer dalam Islam, teori-teori sosio-kultural berikut menjadi bagian penting dari pendekatan kontekstual.

Pertama, Teori Fungsional. Teori yang dikembangkan oleh B. Malinowski ini mengasumsikan adanya hubungan dialektis antara agama dengan fungsinya yang diaplikasikan melalui ritual. Secara garis besar, fungsi dasar agama diarahkan kepada sesuatu yang supernatural atau, dalam bahasa Rudolf Otto, "Powerful Other." Partisipan yang terlibat dalam sebuah ritual bisa melihat kemanjuran agama sebagai sarana meningkatkan hubungan spiritualnya dengan Tuhan karena pada dasarnya manusia secara naluriah memiliki kebutuhan spiritual.

Dengan demikian, teori fungsional melihat setiap ritual dalam agama memiliki signifikansi teologis, baik dari dimensi psikologis maupun sosial. Aspek-aspek teologis dari sebuah ritual keagamaan seringkali bisa ditarik benang merahnya dari simbol-simbol religius sebagai bahasa maknawiah. Pemaknaan terhadap simbol-simbol keagamaan tersebut sangat bergantung kepada kualitas dan arah performa ritual serta keadaan internal partisipan hingga sebuah ritual bisa ditujukan untuk "memuaskan" Tuhan atau kebutuhan spiritualnya sendiri.

Dalam konteks sosiologis, sebuah ritual juga merupakan manifestasi dari apa yang disebut oleh Durkheim sebagai "alat memperkuat solidaritas sosial" melalui performa dan pengabdian. Tradisi slametan merupakan contoh paling konkret dari ritual jenis ini sebagai alat untuk memperkuat keseimbangan masyarakat (social equilibrium), yakni menciptakan situasi rukun –setidaknya-- di kalangan para partisipan. Kalangan fungsionalis yang mengakui asumsi ini adalah Clifford Geertz, James Peacock, Robert W. Hefner, Koentjaraningrat, dan masih banyak lagi.

Pendek kata, teori fungsional melihat fungsi ritual (agama) dalam konteks yang lebih luas, baik dalam konteks spiritual maupun esksistensi kemanusiaan. Ia bisa dipahami sebagai sebuah jawaban terhadap pertanyaan mengapa ritual (agama) itu ada atau diadakan. Jawaban tersebut tentu saja muncul karena umat Islam membutuhkannya sebagai perangkat untuk mendapatkan berkah suci dari Tuhan.

Kedua, Rite de Passage. Secara harfiah, teori yang dikembangkan oleh Arnold van Gennep ini bisa diartikan sebagai "ritual penahapan" yang menandai perpindahan status seseorang dari yang satu ke yang lain, baik perubahan status sosial maupun transformasi spiritual. Ritual jenis ini melibatkan perubahan, baik status eksternal maupun internal, rekonfirmasi sebuah kondisi sebagaimana yang diharapkan tetapi belum sempat dialami atau diartikulasikan dalam hidup seseorang.

Sejalan dengan perspektif rite de passage di atas, slametan bisa juga dipahami sebagai ritual yang menandai perpindahan status seseorang sepanjang hidupnya, mulai dari kelahiran, akikah, khitan, perkawinan, dan kematian. Setiap penahapan dalam hidup manusia menandai perubahan status sosial dari yang satu ke yang lain. Sebagai misal, ritual perkawinan menandai perubahan status sosial dari masa lajang menuju masa keluarga; ritual kematian menandai perpindahan status manusia dari alam dunia ke alam barzakh, dan seterusnya.

Ketiga, Teori Struktrual. Di mata kalangan strukturalis, terutama Claude Lévi-Strauss sebagai salah seorang pelopornya, ritual (agama) diasumsikan memiliki hubungan struktural dengan mitos-mitos lokal tertentu. Terlepas dari persoalan orisinalitas antara mitos dengan ritual, pendekatan ini melihat keduanya memiliki hubungan resiprokal; mitos eksis pada dataran konsepsi dan ritual pada dataran aksi –atau "homology," dalam bahasa Lévi-Strauss. Dengan demikian, strukturalisme melihat ritual sebagai bagian dari sebuah logical order dalam bangunan sistem kultural; ia mengikuti struktur formal dari sebuah sistem tertutup. Dalam konteks ini, teori model of ("model dari") dan model for ("model bagi") Geertz bisa diterapkan untuk lebih memperjelas perspektif teori ini. Jika Lévi-Strauss melihat mitos dan ritual bisa saling berganti posisi satu sama lain, Geertz melihat mitos sebagai wujud dari teori model of sebuah ritual dan ritual sendiri menjadi model for-nya mitos.

Tradisi slametan, lagi-lagi, menjadi sebuah fenomena menarik untuk memperkuat aplikasi teori ini yang mengasumsikan adanya hubungan struktural antara slametan itu sendiri dengan mitos-mitos lokal tertentu sehingga ia menjadi bagian integral dari kebudayaan Islam Jawa. Sebagaimana yang pernah diteliti oleh Woodward, tradisi ritual slametan terkait erat dengan mitos Majapahit-Demak sehubungan dengan memburuknya kondisi agrikultur di awal masa kerajaan Demak. Menurut hasil penelitian Woodward di wilayah Yogyakarta pada awal dekade 1980-an, tradisi slametan pernah dipraktikkan oleh masyarakat Jawa jauh sebelum Islam hadir di tanah Jawa, terutama pada masa Majapahit. Tradisi slametan itu muncul sebagai sarana ampuh untuk "meminta" kepada "sang Pencipta" agar hasil-hasil pertaniannya bisa melimpah dan tidak menemui kendala. Ketika Jawa dikuasai oleh kerajaan Demak, praktik slametan ini tidak dilanjutkan. Namun demikian, pemutusan tradisi slametan ini ternyata tidak memenuhi harapan masyarakat, bahkan fenomena kelaparan tidak mampu untuk dielakkan meski tradisi itu diputus. Atas perintah sultan, Sunan Kalijaga kemudian menghidupkan kembali tradisi slametan dengan mengganti formatnya dengan komponen-komponen yang lebih Islami serta dijadikan sarana efektif untuk mengajarkan Islam kepada khalayak ramai. Dari situlah kemudian slametan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan –Islam—Jawa dan menjadi media akulturasi antara Islam dengan budaya setempat.

Penutup

Dalam konteks diskursus keislaman, pendekatan tekstual merupakan pilihan prioritas yang kehadirannya tidak bisa ditawar-tawar lagi. Ia merupakan conditio sine quanon dalam rangka melihat wajah Islam dari sumber-sumber teks suci, terutama al-Qur’a>n dan H{adi>th. Kehadiran teks-teks yang ditulis oleh intelektual atau `ulama> kenamaan di bidang tertentu dalam Islam juga tak kalah pentingnya, terutama ketika ditemukan justifikasi dari kedua teks suci tersebut terhadap sebuah ritual.

Namun demikian, kehadiran kajian tekstual akan lebih berbobot bila klaim-klaimnya bisa ditopang oleh kajian-kajian kontekstual, bukan untuk mencari klaim sepihak, melainkan untuk menempatkannya secara proporsional dalam konteks akademis an-sich. Memang harus diakui, pendekatan yang disebut terakhir bukan merupakan produk murni umat Islam, tetapi bisa dipakai untuk melihat nuansa "lain" dari wajah Islam dengan tanpa mereduksi makna keislaman seorang Muslim. Pendekatan kontekstual diperlukan sekadar untuk memperkuat asumsi bahwa di dunia ini tidak hanya berlaku satu versi saja, melainkan banyak versi yang menggambarkan tentang Islam. Karena itu, sikap yang terjebak ke dalam kubangan truth claim apologetik bisa dihindarkan.

Hassan Hanafi:

Islam Adalah Protes, Oposisi, dan Revolusi

Oleh E. Kusnadiningrat*

Riwayat Hidup dan Kondisi Sosio-Kultural Mesir

Hassan hanafi adalah Guru Besar pada fakultas Filsafat Universitas Kairo. Ia lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, di dekat Benteng Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar. Kota ini merupakan tempat bertemunya para mahasiswa muslim dari seluruh dunia yang ingin belajar, terutama di Universitas Al-Azhar. Meskipun lingkungan sosialnya dapat dikatakan tidak terlalu mendukung, tradisi keilmuan berkembang di sana sejak lama. Secara historis dan kultural, kota Mesir memang telah dipengaruhi peradaban-peradaban besar sejak masa Fir’aun, Romawi, Bizantium, Arab, Mamluk dan Turki, bahkan sampai dengan Eropa moderen.[1] Hal ini menunjukkan bahwa Mesir, terutama kota Kairo, mempunyai arti penting bagi perkembangan awal tradisi keilmuan Hassan Hanafi

Masa kecil Hanafi berhadapan dengan kenyataan-kenyataan hi.dup di bawah penjajahan dan dominasi pengaruh bangsa asing. Kenyataan itu membangkitkan sikap patriotik dan nasionalismenya, sehingga tidak heran meskipun masih berusia 13 tahun ia telah mendaftarkan diri untuk menjadi sukarelawan perang melawan Israel pada tahun 1948. la ditolak oleh Pemuda Muslimin karena dianggap usianya masih terlalu muda. Di samping itu ia juga dianggap bukan berasal dari kelompok Pemuda Muslimin. Ia kecewa dan segera menyadari bahwa di Mesir saat itu telah terjadi problem persatuan dan perpecahan. .

Ketika masih duduk di bangku SMA, tepatnya pada tahun 1951, Hanafi menyaksikan sendiri bagaimana tentara Inggris membantai para syuhada di Terusan Suez. Bersama-sama dengan para mahasiswa ia mengabdikan diri untuk membantu gerakan revolusi yang telah dimulai pada akhir tahun 1940‑an hingga revolusi itu meletus pada tahun 1952. Atas saran anggota-anggota Pemuda Muslimin, pada tahun ini ini pula ia tertarik untuk memasuki organisasi Ikhwanul Muslimin. Akan tetapi, di tubuh Ikhwan‑pun terjadi perdebatan yang sama dengan apa yang terjadi di Pemuda Muslimin. Kemudian Hanaafi kembali disarankan oleh para anggota Ikhwanu untuk bergabung dalam organisasi Mesir Muda. Ternyata keadaan di dalam tubuh Mesir Muda sama dengan kedua organisasi sebelumnya. Hal ini mengakibatkan ketidakpuasan Hanafi atas cara ber­pikir kalangan muda Islam yang terkotak‑kotak. Kekecewaan ini menyebabkan ia memutuskan beralih konsentrasi untuk mendalami pemikiran-pemikiran keagamaan, revolusi, dan perubahan sosial. Ini juga yang menyebabkan ia lebih tertarik pada pemikiran-pemikiran Sayyid Qutb, seperti tentang prinsip-prinsip Keadilan Sosial dalam Islam.[2]

Sejak tahun 1952 sampai dengan 1956 Hanafi belajar di Universitas Cairo untuk mendalami bidang filsafat. Di dalam periode ini ia merasakan situasi yang paling buruk di Mesir. Pada tahun 1954 misalnya, terjadi pertentangan keras antara Ikhwan dengan gerakan revolusi. Hanafi berada pada pihak Muhammad Najib yang berhadapan dengan Nasser, karena baginya Najib memiliki komitmen dan visi keislaman yang jelas.

Kejadian‑kejadian yang ia alami pada masa ini, terutama yang ia hadapi di kampus, membuatnya bangkit menjadi seorang pemikir, pembaharu, dan reformis.[3] Keprihatinan yang muncul saat itu adalah mengapa umat Islam selalu dapat dikalahkan dan konflik internal terus terjadi.

Tahun‑tahun berikutnya, Hanafi berkesempatan untuk belajar di Universitas Sorborne; Perancis, pada tahun 1956 sampai 1966. Di sini ia memperoleh lingkungan yang kondusif untuk mencari jawaban atas persoalan‑persoalan mendasar yang sedang dihadapi oleh negerinya dan sekaligus merumuskan jawaban-jawabannya. Di Perancis inilah ia dilatih untuk ber­pikir secara metodologis melalui kuliah‑kuliah mau­pun bacaan‑bacaan atau karya-karya orientalis. Ia sempat belajar pada seorang reformis Katolik, Jean Gitton; tentang metodologi berpikir, pembaharuan, dan sejarah filsafat. Ia belajar fenomenologi dari Paul Ricouer, analisis kesadaran dari Husserl, dan bim­bingan penulisan tentang pembaharuan Ushul Fikih dari Profesor Masnion.[4]

Semangat Hanafi untuk mengembangkan tulisan­-tulisannya tentang pembaharuan pemikiran Islam se­makin tinggi sejak ia pulang dari Perancis pada tahun 1966. Akan tetapi, kekalahan Mesir dalam perang melawan Israel tahun 1967 telah mengubah niatnya itu. la kemudian ikut serta dengan rakyat berjuang dan membangun kembali semangat nasionalisme mereka. Pada sisi lain, untuk menunjang perjuangannya itu, Hanafi juga mulai memanfaatkan pengetahuan-pengetahuan akademis yang telah is peroleh dengan memanfaatkan media massa sebagai corong perjuangannya. Ia menulis banyak artikel untuk menangggapi masalah‑masalah aktual dan melacak faktor kelemahan umat Islam.[5]

Di waktu‑waktu luangnya, Hanafi mengajar di Universitas Kairo dan beberapa universitas di luar negeri. Ia sempat menjadi profesor tamu di Perancis (1969) dan Belgia (1970). Kemudian antara tahun 1971 sampai 1975 ia mengajar di Universitas Tem­ple, Amerika Serikat. Kepergiannya ke Amerika, sesungguh­nya berawal dari adanya keberatan pemerintah terhadap aktivitasnya di Mesir, sehingga ia diberikan dua pilihan apakah ia akan tetap meneruskan aktivitas­nya itu atau pergi ke Amerika Serikat. Pada kenyataannya, aktivitasnya yang baru di Amerika memberinya kesempatan untuk banyak menulis tentang dialog antaragama dengan revolusi. Baru setelah kembali dari Amerika ia mulai menulis tentang pembaru­an pemikiran Islam. la kemudian memulai penulisan buku Al‑Turats wa al-Tajdid. Karya ini, saat itu, belum sempat ia selesaikan karena ia dihadapkan pada gerakan anti‑pemerintah Anwar Sadat yang pro-Barat dan “berkolaborasi” dengan Israel. la terpaksa harus terlibat untuk membantu menjernihkan situasi melalui ulisan‑tulisannya yang berlangsung antara tahun 1976 hingga 1981. Tulisan­-tulisannya itulah yang kemudian tersusun menjadi bu­ku Al Din wa AI‑ Tsaurah. Sementara itu, dari tahun 1980 sampai 1983 ia menjadi profesor tamu di Univer­sitas Tokyo, tahun 1985 di Emirat Arab. Ia pun diminta untuk merancang berdirinya Universitas Fes ketika ia mengajar di sana pada tahun‑tahun 1983‑1984.[6]

Hanafi berkali‑kali mengunjungi negara‑negara Belanda, Swedia, Portugal, Spanyol, Perancis, Jepang, India, Indonesia, Sudan, Saudi Arabia dan sebagainya antara tahun 1980‑1987. Pengalaman pertemuannya dengan para pemikir besar di negara‑negara tersebut telah menambah wawasannya untuk semakin tajam memahami persoalan‑persoalan yang dihadapi oleh dunia Islam.

Maka, dari pengalaman hidup yang ia peroleh sejak masih remaja membuat ia memiliki perhatian yang begitu besar terhadap persoalan umat Islam. Karena itu, meskipun tidak secara sepenuhnya mengabdikan diri untuk sebuah pergerakan tertentu, ia pun banyak terlibat langsung dalam kegiatan‑kegiatan pergerakan-pergerakan yang ada di Mesir. Sedangkan pengalamannya dalam bidang akademis dan intelek­tual, baik secara formal maupun tidak, dan pertemuan­nya dengan para pemikir besar dunia semakin mempertajam analisis dan pemikirannya sehingga mendorong hasratnya untuk terus menulis dan mengembangkan pemikiran-pemikiran baru untuk membantu menyelesaikan persoalan‑persolan besar umat Islam.

Perkembangan Pemikiran dan Karya‑Karyanya

Untuk memudahkan uraian pada bagian ini, kita dapat mengklasifikasikan karya‑karya Hanafi dalam tiga periode seperti halnya yang dilakukan oleh beberapa penulis yang telah lebih dulu mengkaji pemikiran tokoh ini: Penode pertama berlangsung pada tahun‑tahun 1960‑an; periode kedua pada tahun‑tahun 1970‑an, dan periode ketiga dari tahun‑tahun 1980‑an sampai dengan 1990‑an.

Pada awal dasawarsa 1960‑an pemikiran Hanafi dipengaruhi oleh faham‑faham dominan yang ber­kembang di Mesir, yaitu nasionalistik‑sosialistik po­pulistik yang juga dirumuskan sebagai ideologi Pan Arabisme,[7] dan oleh situasi nasional yang kurang menguntungkan setelah kekalahan Mesir dalam perang melawan Israel pada tahun 1967. Pada awal dasawarsa ini pula (1956‑1966), sebagaimana telah dikemukakan, Hanafi sedang berada dalam masa-masa belajar di Perancis. Di Perancis inilah, Hanafi lebih banyak lagi menekuni bidang‑bidang filsafat dan ilmu sosial dalam kaitannya dengan hasrat dan usahanya untuk melakukan rekonstruksi pemikiran Islam.

Untuk tujuan rekonstruksi itu, selama berada di Perancis ia mengadakan penelitian tentang, terutama, metode interpretasi sebagai upaya pembaharuan bidang ushul fikih (teori hukum Islam, Islamic legal the­ory) dan tentang fenomenologi sebagai metode untuk memahami agama dalam konteks realitas kontempo­rer. Penelitian itu sekaligus merupakan upayanya un­tuk meraih gelar doktor pada Universitas Sorbonne (Perancis), dan ia berhasil menulis disertasi yang berjudul Essai sur la Methode d' Exegese (Esai tentang Metode Penafsiran). Karya setebal 900 halaman itu memperoleh penghargaan sebagai karya iliniah terbaik di Mesir pada tahun 1961. Dalam karyanya itu jelas Hanafi berupaya menghadapkan ilmu ushul fikih pada mazhab filsafat fenomenologi Edmund Husserl.[8]

Pada fase awal pemikirannya iru, tulisan‑tulisan Hanafi masih bersifat ilmiah murni. Baru pada akhir dasawarsa itu ia mulai berbicara tentang keharusan Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dan berdimensi pembebasan (taharrur, liberation).[9] Ia mensyaratkan fungsi pembebasan jika memang itu yang diinginkan Islam agar dapat membawa masyarakat pada kebebasan dan keadilan, khususnya keadilan sosial, sebagai ukuran utamanya. Struktur yang populistik adalah manifestasi kehidupannya dan kebulatan kerangka pemikiran sebagai resep utamanya.[10] Hanafi sampai pada kesimpulan bahwa Islam sebaiknya berfungsi orientatif bagi ideologi populistikyang ada.

Pada akhir periode ini, dan berlanjut hingga awal periode 1970‑an, Hanafi juga memberikan perhatian uta­manya untuk mencari penyebab kekalahan umat Islam dalam perang melawan Israel tahun 1967. Oleh karena itu, tulisan‑tulisannya lebih bersifat populis. Di awal peri­ode 1970‑an, ia banyak menulis artikel di berbagai media massa, seperti Al Katib, Al-Adab, Al‑Fikr al-Mu’ashir, dan Mimbar Al‑Islam. Pada tahun 1976, tulisan‑tulisan itu diterbitkan sebagai sebuah buku dengan judul Qadhaya Mu’ashirat fi Fikrina al-Mu’ashir. Buku ini memberikan deskripsi tentang realitas dunia Arab saat itu, analisis tentang tugas para pemikir dalam menanggapi pro­blema umat, dan tentang pentingnya pembaruan pemi­kiran Islam untuk menghidupkan kembafi khazanah tradisional Islam. Kemudian, pada tahun 1977, kembali ia menerbitkan Qadhaya Mu `ashirat fi al Fikr al-Gharib. Buku kedua ini mendiskusikan pemikiran para sarjana Barat untuk melihat bagaimana mereka memahami persoalan masyarakatnya dan kemudian mengadakan pembaruan. Beberapa pemikir Barat yang ia singgung itu antara lain Spinoza, Voltaire, Kant, Hegel, Unamuno, Karl Jaspers, Karl Marx, Marx Weber, Edmund Husserl, dan Herbert Marcuse.[11]

Kedua buku itu secara keseluruhan merangkum dua pokok pendekatan analisis yang berkaitan dengan sebab‑sebab kekalahan umat Islam; memahami posisi umat lslam sendiri yang lemah, dan memahami posisi Barat yang superior. Untuk yang pertama penekanan diberikan pada upaya pemberdayaan umat, terutama dari segi pola pikirnya, dan bagi yang kedua ia berusaha untuk menunjukkan bagaimana menekan superioritas Barat dalam segala aspek kehidupan. Kedua pendekatan inilah yang nantinya melahirkan dua pokok pemikiran baru yang tertuang dalam dua buah karyanya, yaitu Al-Turats wa al‑Tajdid (Tradisi dan Pembaruan), dan Al‑Istighrab (Oksidentalisme).

Pada periode ini, yaitu antara tahun‑tahun 1971-1975, Hanafi juga menganalisis sebab‑sebab ketegangan antara berbagai kelompok kepentingan di Mesir, terutama antara kekuatan Islam radikal dengan pe­merintah. Pada saat yang sama situasi politik Mesir mengalami ketidakstabilan yang ditandai dengan beberapa peristiwa penting yang berkaitan dengan sikap Anwar Sadat yang pro-Barat dan memberikan kelonggaran pada Israel, hingga ia terbunuh pada Oktober 1981. Keadaan itu membawa Hanafi pada pemikiran bahwa seorang ilmuan juga harus mempunyai tanggung jawab politik terhadap nasib bangsanya. Untuk itulah kemudian ia menulis Al‑Din wa al‑Tsaurah fi Mishr 1952‑1981. Karya ini terdiri dari 8 jilid yang merupakan himpunan berbagai artikel yang ditulis antara tahun 1976 sampai 1981 dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1987. Karya itu berisi pembicaraan dan analisis tentang kebudayaan nasional dan hubungannya dengan agama, hubungan antara agama dengan perkembangan nasioanlisme, tentang gagasan mengenai gerakan "Kiri Keagamaan" yang membahas gerakan-gerakan keagamaan kontemporer, fundamentalisme Islam, serta "Kiri Islam dan Integritas Nasional". Dalam analisisnya Hanafi menemukan bahwa salah satu penyebab utama konflik berkepanjangan di Mesir adalah tarik-menarik antara ideologi Islam dan Barat dan ideologi sosialisme. Ia juga memberikan bukti‑bukti penyebab muncul­nya berbagai tragedi politik dan, terakhir, menganali­sis penyebab munculnya radikalisme Islam.

Karya‑karya lain yang ia tulis pada periode ini adalah Religious Dialogue and Revolution dan Dirasat al-Islamiyyah. Buku pertama berisi pikiran-pikiran yang ditulisnya antara tahun 1972‑1976 ketika ia berada di Amerika Serikat, dan terbit pertama kali pada tahun 1977. Pada bagian pertama buku ini ia merekomendasikan metode hermeneutika sebagai metode dialog antara Is­lam, Kristen, dan Yahudi. Sedangkan bagian kedua secara khusus membicarakan hubungan antara aga­ma dengan revolusi, dan lagi-lagi ia menawarkan feno­menologi sebagai metode untuk menyikapi dan menafsirkan realitas umat Islam.[12]

Sementara itu Dirasat Islamiyyah, yang ditulis sejak tahun 1978 dan terbit tahun 1981, memuat deskripsi dan analisis pembaruan terhadap ilmu‑ilinu keislaman klasik, seperti ushul fikih, ilmu‑ilmu ushuluddin, dan filsafat. Dimulai dengan pendekatan historis untuk melihat perkembangannya, Hanafi berbicara tentang upaya rekonstruksi atas ilmu-ilmu tersebut untuk dise­suaikan dengari realitas kontemporer.

Periode selanjutnya, yaitu dasawarsa 1980‑an sampai dengan awal 1990‑an, dilatarbelakangi oleh kondisi politik yang relatif lebih stabil ketimbang masa‑masa sebelumnya. Dalam periode ini, Hanafi mulai menulis Al-Turats wa al‑Tajdid yang terbit pertama kali tahun 1980. Buku ini merupakan landasan teoretis yang memuat dasar‑dasar ide pembaharuan dan langkah-langkahnya. Kemudian, ia menulis Al- Yasar Al-lslamiy (Kiri Islam), sebuah tulisan yang lebih merupakan sebuah "manifesto politik" yang berbau ideologis, sebagaimana telah saya kemukakan secara singkat di atas.

Jika Kiri Islam baru merupakan pokok‑pokok pikiran yang belum memberikan rincian dari program pembaruannya, buku Min Al‑Aqidah ila Al‑Tsaurah (5 jilid), yang ditulisnya selama hampir sepuluh tahun dan baru terbit pada tahun 1988. Buku ini memuat uraian terperinci tentang pokok-pokok pembaruan yang ia canangkan dan termuat dalam kedua karyanya yang terdahulu. Oleh karena itu, bukan tanpa alasan jika buku ini dikatakan sebagai karya Hanafi yang paling monumental.

Satu bagian pokok bahasan yang sangat penting dari buku ini adalah gagasan rekonstruksi ilmu kalam. Pertama‑tama ia mencoba menjelaskan seluruh karya dan aliran ilmu kalam, baik dari sisi kemunculannya, aspek isi dan metodologi maupun perkembangannya. Lalu ia melakukan analisis untuk melihat kelebihan dan kekurangannya, terutama relevansinya dengan konteks modernitas. Salah satu kesimpulannya adalah bahwa pemikiran kalam klasik masih sangat teoretis, elitis dan statis secara konsepsional. Ia merekomendasikan sebuah teologi atau ilmu kalam yang antroposentris,[13] populis, dan transformatif.

Selanjutnya, pada tahun‑tahun 1985‑1987, Hanafi menulis banyak artikel yang ia presentasikan dalam berbagai seminar di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Perancis, Belanda, Timor Tengah, Jepang, termasuk Indonesia. Kumpulan tulisan itu kemudian disusun menjadi sebuah.buku yang berjudul Religion, Ideology, and Development yang terbit pada tahun 1993. Beberapa artikel lainnya juga tersusun menjadi buku dan diberi judul Islam in the Modern World (2 jilid). Selain berisi kajian‑kajian agama dan filsafat, dalam karya-karyanya yang terakhir pemikiran Hanafi juga berisi kajian‑kajian ilmu sosial, seperti ekonomi dan teknologi. Fokus pemikiran Hanafi pada karya karya terakhir ini lebih tertuju pada upaya untuk meletakkan posisi agama serta fungsinya dalam pembangunan di negara-negara dunia ketiga.

Pada perkembangan selanjutnya, Hanafi tidak lagi berbicara tentang ideologi tertentu melainkan tentang paradigma baru yang sesuai dengan ajaran Islam sendiri maupun kebutuhan hakiki kaum muslimin. Sublimasi pemikiran dalam diri Hanafi ini antara lain didorong oleh maraknya wacana nasionalisme-pragmatik Anwar Sadat yang menggeser popularitas paham sosialisme Nasser di Mesir pada dasawarsa 1970‑an. Paradigma baru ini ia kembangkan sejak paroh kedua dasawarsa 1980‑an hingga sekarang.[14]

Pandangan universalistik ini di satu sisi ditopang oleh upaya pengintegrasian wawasan keislaman dari kehidupan kaum muslimin ke dalam upaya penegakan martabat manusia melalui pencapaian otonomi individual bagi warga masyarakat; penegakan kedaulatan hukum, penghargaan pada HAM, dan penguatan (empowerment) bagi kekuatan massa rakyat jelata.[15]

Pada sisi lain, paradigma universalistik yang diinginkan Hanafi harus dimulai dari pengembangan epistemologi ilmu pengetahuan baru. Orang Islam, menurut Hanafi, tidak butuh hanya sekadar menerima dan mengambil alih paradigma ilmu pengetahuan modern Barat yang bertumpu pada materialisme, melainkan juga harus mengikis habis penolakan mereka terhadap peradaban ilmu pengetahuan Arab. Seleksi dan dialog konstruktif dengan peradaban Barat itu dibutuhkan untuk mengenal dunia Barat dengan setepat-tepatnya. Dan upaya pengenalan itu sebagai unit kajian ilmiah, berbentuk ajakan kepada ilmu-ilmu kebaratan (al-Istighrab, Oksidentalisme)[16] sebagai imbangan bagi ilmu-ilmu ketimuran (al-Istisyraq, Orientalisme). Oksidentalisme dimaksudkan untuk mengetahui peradaban Barat sebagaimana adanya, sehingga dari pendekatan ini akan muncul kemampuan mengembangkan kebijakan yang diperlukan kaum muslimin dalam ukuran jangka panjang.[17] Dengan pandangan ini Hassan Hanafi memberikan harapan Islam untuk menjadi mitra bagi peradaban-peradaban lain dalam penciptaan peradaban dunia baru dan universal.

Sekitar Pandangan Hassan Hanafi tentang Teologi Tradisional Islam

Di muka telah kita lihat, meskipun dalam beberapa hal menolak dan mengkritik Barat, Hanafi banyak menyerap dan mengonsentrasikan diri pada kajian pemikir Barat pra-modern dan modern. Oleh karena itu, Shimogaki mengkatagorikan Hanafi sebagai seorang modernis‑liberal, karena ide‑ide liberalisme Barat, demokrasi, rasionalisme dan pencerahan telah banyak mempengaruhinya.[18]

Pemikiran Hanafi sendiri, menurut Isaa J. Boulatta dalam Trends and lssues in Contemporary Arabs Thought bertumpu pada tiga landasan: I) tradisi atau sejarah Islam; 2) metode fenomenologi, dan; 3) analisis sosial Marxian.[19] Dengan demikian dapat dipahami bahwa gagasan semacam Kiri Islam dapat disebut sebagai pengetahuan yang terbentuk atas dasar watak sosial masyarakat (socially contructed) berkelas yang merupakan ciri khas tradisi Marxian.

Dalam gagasannya tentang rekonstruksi teologi tradsional, Hanafi menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual sistem kepercayaan (teologi) sesuai dengan perubahan konteks sosial‑poli­tik yang terjadi. Teologi tradisional, kata Hanafi, lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman sistem kepercayaan, yakni transendensi Tuhan, diserang oleh wakil-wakil dari sekte‑sekte dan budaya lama. Teolo­gi itu dimaksudkan untuk mempertahankan doktrin utama dan untuk memelihara kemurniannya. Dialektika berasal dari dialog dan mengandung pengertian saling menolak; hanya merupakan dialektika kata­-kata, bukan dialektika konsep‑konsep tentang sifat masyarakat atau tentang sejarah.

Sementara itu konteks sosio‑politik sekarang sudah berubah. Islam mengalami berbagai kekalahan di berbagai medan pertempuran sepanjang periode kolonisasi. Karena itu, lanjut Hanafi, kerangka konseptual lama masa‑masa permulaan, yang berasal dari kebudayaan klasik harus diubah menjadi kerangka konseptual baru, yang berasal dari kebudayaan modern.[20]

Teologi merupakan refleksi dari wahyu yang me­manfaatkan kosakata zamannya dan didorong oleh kebutuhan dan tujuan masyarakat; apakah kebutuhan dan tujuan itu merupakan keinginan obyektif atau semata-mata.manusiawi, atau barangkali hanya meru­pakan cita‑cita dan nilai atau pernyataan egoisme murni.[21] Dalam konteks ini, teologi merupakan basil proyeksi kebutuhan dan tujuan masyarakat manusia ke dalam teks-teks kitab suci. Ia.menegaskan, tidak ada arti‑arti yang betul‑betul berdiri sendiri untuk seti­ap ayat Kitab Suci. Sejarah teologi, kata Hanafi, ada­lah sejarah proyeksi keinginan manusia ke dalam Kitab Suci itu. Setiap ahli teologi atau. penafsir melihat dalam Kitab Suci itu sesuatu yang ingin mereka lihat. Ini menunjukkan bagaimana manusia menggantungkan kebutuhan dan tujuannya pada naskah‑naskah itu.[22]

Teologi dapat berperan sebagai suatu ideologi pembebasan bagi yang tertindas atau sebagai suatu pembenaran penjajahan oleh para penindas.[23] Teologi memberikan fungsi legitimatif bagi setiap perjuangan kepentingan dari masing‑masing lapisan masyarakat yang berbeda. Karena itu, Hanafi menyimpulkan bah­wa tidak ada kebenaran obyektif atau arti yang berdi­ri sendiri, terlepas dari keinginan manusiawi.[24] Kebe­naran teologi, dengan demikian, adalah kebenaran korelasional atau, dalam bahasa Hanafi, persesuaian antara arti naskah asli yang berdiri sendiri dengan kenyataan obyektif yang selalu berupa nilai‑nilai manusiawi yang universal. Sehingga suatu penafsiran bisa bersifat obyektif, bisa membaca kebenaran obyektif yang sama pada setiap ruang dan waktu.[25]

Hanafi menegaskan bahwa rekonstruksi teologi tidak harus membawa implikasi hilangnya tradisi‑tradisi lama. Rekonstruksi teologi untuk mengkonfrontasikan ancaman-ancaman baru yang datang ke dunia dengan menggunakan konsep yang terpelihara murni dalam sejarah. Tradisi yang terpelihara itu menentukan lebih banyak lagi pengaktifan untuk dituangkan dalam realitas duniawi yang sekarang. Dialektika harus dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan, bukan hanya terdiri atas konsep‑konsep dan argumen‑argumen antara individu‑individu, melainkan dialektika berbagai masyarakat dan bangsa di antara kepentingan‑kepentingan yang bertentangan.[26]

Rekonstruksi itu bertujuan untuk mendapatkan keberhasilan duniawi dengan memenuhi harapan-harapan dunia muslim terhadap kemendekaan, kebe­basan, kesamaan sosial, penyatuan kembali identitas, kemajuan dan mobilisasi massa.[27] Teologi baru itu ha­rus mengarahkan sasarannya pada manusia sebagai tujuan perkataan (kalam) dan sebagai analisis percakap­an. Karena itu pula harus tersusun secara kemanu­siaan.[28]

Asumsi dasar dari pandangan teologi semacam ini adalah bahwa Islam, dalam pandangan Hanafi, ada­lah protes, oposisi dan revolusi.[29] Baginya, Islam me­miliki makna ganda. Pertama, Islam sebagai ketunduk­an; yang diberlakukan oleh kekuatan politik kelas atas. Kedua, Islam sebagai revolusi, yang diberlakukan oleh mayoritas yang tidak berkuasa dan kelas orang miskin. Jika untuk mempertahankan status-quo suatu re­zim politik, Islam ditafsirkan sebagai tunduk. Sedang jika untuk memulai suatu perubahan sosial politik melawan status‑quo, maka harus menafsirkan Islam sebagai pergolakan.[30]­

Secara generik, istilah aslama adalah menyerahkan diri kepada Tuhan, bukan kepada apa pun yang lain. Pengertian ini secara langsung menyatakan sebuah tindakan ganda; Yaitu menolak segala kekuasaan yang tidak transendental dan menerima kekuasaan transendental.[31] Makna ganda dari kata kerja aslama dan kata benda Islam ini, menurut Hanafi, dengan sengaja disalahgunakan untuk mendorong Islam cenderung pada salah satu sisinya, yakni tunduk. Maka rekonstruksi teologi tradisional itu berarti pula untuk menunjukkan aspek lain dari Islam yang, menurutnya, sengaja disembunyikan, yakni penolakan, oposisi den pergolakan yang merupakan kebutuhan aktual masyarakat muslim.[32] Di dalam hal ini, karena selalu terkait dengan masyarakat, refleksi atas nilai‑nilai universal agama pun mengikuti bentuk dan struktur kemasyarakatan, struktur sosial dan kekuatan politik. (islamlib.com 1 september 2002)

TRADISI SYARAH dan HASYIYAH dalam ILMU FIQH: Stagnasi Pemikiran Ilmu Hukum Islam
Oleh : Nurcholish Madjid
Event Artikel : KKA-45 (Jakarta, Oktober 1990)
Diupdated pada: Kamis 29 Maret 2001

Mukaddimah

Sejauh ini kita telah membicarakan garis perkembanganpemikiran sistem hukum Islam yang kemudian dikenal dengan (Ilmu) Fiqh, sejak dari pertumbuhannya di masa para Sahabat, kemudian para Tabi'in dan pengikut mereka, dan akhirnya pertumbuhannya di masa para imam madzhab. Sampai dengan masa itu yang kita saksikan dalam sejarah perkembangan Fiqh ialah dinamika dan kreatifitas, yang senantiasa disertai dengan kegaduhan polemik dan kontroversi, namun dalam suasana saling menghargai dan tenggang rasa yang besar. Demikian itu seperti dilukiskan oleh K.H. Muhammad Hasyim Asy'aridari Tebuireng (yang dalam pebahasan yang lalu telah kita singgung, dan di sini kita kutip sepenuhnya):

Telah diketahui bahwa sesungguhnya telah terjadi perbedaan dalam furu' (makalah rincian) antara para Sahabat Rasulullah saw (semoga Allah meridlai mereka semua), namun tidak seorang pun dari mereka memusuhi yang lain, juga tidak seorang pun dari mereka yang menyakiti yang lain, dan tidak saling menisbatkan lainnya kepada kesalahan ataupun cacad. Demikian pula telah terjadi perbedaan dalam furu' antara Imam Abu Hanifah dan Imam Malik (semoga Allah meridlai keduanya) dalam banyak masalah yang jumlahnya mencapai sekitar empatbelas ribu dalam bab-bab ibadat dan mu'amalah, serta antara Imam al-Syafi'i dan gurunya, Imam Malik, (semoga Allah meridlai keduanya) dalam banyak masalah yang jumlahnya mencapai sekitar enam ribu, demikian pula antara Imam Ahmad ibn Hanbal dan gurunya, Imam al-Syafi'i, dalam banyak masalah, namun tidak seorang pun dari mereka yang menyakiti yang lain, tidak seorang pun dari mereka mencerca yang lain, tidak seorang pun dari mereka mendengki yang lain, dan tidak seorang pun dari mereka menisbatkan yang lain kepada kesalahan dan cacad. Sebaliknya mereka tetapi saling mencintai, saling mendukung untuk sesama saudara mereka, dan masing-masing berdoa untuk segala kebaikan mereka itu. 1.

K.H. Hasyim Asy'ari juga menyebut betapa terjadibanyak perbedaan pendapat antara para tokoh intern madzhab sendiri pada saat-saat permulaan perkembangannya, seperti antara Imam al-Rafi'i dan Imam al-Nawawi, juga antara Imam Ahmad ibn Hajar dan Imam al-Ramli dan para pengikut mereka, namun ''tidak seorang pun dari mereka memusuhi yang lain, tidak seorang pun dari mereka menyakiti yang lain, dan tidak seorang pun dari mereka menisbatkan yang lain kepada kesalahan dan cacad, bahkan sebaliknya mereka selalu saling mencintai, berpersaudaraan, dan saling menolong.'' 2.

Setelah masa-masa para imam madzhab lewat, yaitu mulai sekitar abad keempat Hijri, maka yang terjadi ialah pertumbuhan dan perkembangan madzhab itu sendiri. Jalan pikiran para imam itu menjadi titik tolak, tapi kemudian dikembangkan begitu rupa sehingga yang terwujud ialah sebuah aliran yang meluas dan mendalam dan cukup pada dirinya sendiri (self-sufficient). Maka dari titik tolak pemikiran Imam al-Syafi'i, misalnya, tumbuh dan berkembang pemikiran yang lebih meluas dan mendalam, yang serba berkecukupan. Karena itu yang ada bukanlah pemikiran Imam al- Syafi'i itu an sich, melainkan pemikiran yang meskipun tetapi berwatak ''kesyafi'ian'' namun dalam banyak hal Imam al-Syafi'i sendiri mungkin tidak lagi tersangkut paut. Inilah yang dimaksudkan dengan istilah ''madzhab'', yaitu suatu kesatuan peikiran yang tumbuh dan berkembang bertitik tolak dari produk intelektual satu orang, namun belum tentu orang tersebut sepenuhnya dapat dipandang sebagai ikut bertanggung jawab. Penilaian ini lebih- lebih beralasan, karena para tokoh pemikir yang menjadi pangkal pengembangan suatu madzhab semasa hidupnya sendiri sering mengisyaratkan keengganan untuk menjadi pusat pengikutan. Jadi sesungguhnya seorang pemikir seperti al-Syafi'i menjadi imam madzhab adalah secara post factum, yaitu setelah fakta perkemabngan pemikiran yang bertitik tolak dari dia itu telah menjadi kenyataan sebuah dia sendiri lama tiada.

Pertumbuhan madzhab itu dengan sendirinya terjadi melalui para pengikut tokoh yang kelak disebut ''imam madzhab'' tersebut. Mula-mula masih terdapat sisa-sisa kreatifitas dan keberanian intelektual yang menghasilkan karya-karya tersendiri dengan tingkat orisinalitas yang memadai, seperti yang banyak dilakukan oleh, misalnya, al-Za'farani, al-Karabisi, al-Rabi', al-Buwaythi, al-Muzni, dll. dari kalangan para penganut madzuhab Syafi'i. Demikian pula tokoh-tokoh dari madzhab-madzhab yang lain.

Tetapi masa itu segera diikuti oleh masa dengan tingkat kreatifitas dan orisinalitas intelektual yang lebih rendah. Inilah masa syarah (penjabaran) dan hasyiyah (penjabaran atas syarah). Ciri umum masyarakat Muslim saat itu ialah suasana traumatis terhadap perpecahan dan perselisihan, sehingga yang muncul sebagai dambaan atau obsesi utama masyarakat ialah ketenangan dan ketenteraman. Agaknya dambaan mereka tercapai, tetapi dengan ongkos yang amat mahal, yaitu stagnasi atau kemandekan. Sebab ketenangan dan ketenteraman itu mereka ''beli'' dengan menutup dan mengekang kreatifitas intelektual dan pejelajahan, atas nama doktrin taqlid dan tertutupnya ijtihad. Ketidakberanian mengambil risiko salah dalam penelitian dan penjelajahan itu kemudian dirasionalisasikan dengan argumen bahwa apa yang telah dihasilkan oleh para imam madzhab dan pendukung-pendukung mereka itu seolah-olah sudah ''final'', dan apapun produk pemikiran mereka harus diterima sebagai ebrlaku ''sekali dan untuk selamanya''. Ditambah dengan keadaan politik negeri-negeri Muslim yang telah mulai kehilangan ''elan vital''-nya (antara lain karena banyaknya serbuan-serbuan militer dari Asia Tengah seperti dari kalangan bangsa-bangsa Turki dan Mongol, maka dambaan kepada ketenangan dan ketenteraman menjadi semakin beralasan, yang kemudian lambat laun berkembang menjadi semacam etos di kalangan kamu Muslim di seluruh dunia. Karena orisinalitas pemikiran tidak berkembang lagi, maka yang terjadi ialah pengulangan dan penghafalan yang sudah ada. Dan karena pemikiran kritis juga terkekang, maka tercipta suasana bagi tumbuhnya mitos-mitos. Jadi tidak berlebihan jika masa itu sering ditunjuk sebagai permulaan kemunduran peradaban Islam, yang kemudian kelak berakhir dengan kekalahan mereka oleh ummat- ummat lain, khususnya oleh bangsa-bangsa Eropa.


Syarah dan Hasyiyah

Mulai saat itulah kurang lebih muncul ide tentang keharusan seorang Muslim diharuskan memilih salah satu dari madzhab-madzhab yang ada sebagai anutan. Logika keharusan ini ialah ide tentang taqlid, yang taqlid itu, sebagaimana telah disinggung, merupakan dinamik dambaan kepada ketenteraman. Dari beberapa sudut pandang tertentu, seperti dari sudut keprihatinan karena situasi politik yang tidak mantap, keharusan memilih suatu madzhab itu seperti dapat dibenarkan. Begitu pula larangan mencampur-adukkan lebih dari satu madzhab, yang kemudian dikenal sebagai talfiq, juga sangat dicela, karena dalam praktek serupa itu mudah sekali masuk unsur oportunisme dalam paham (seperti, misalnya, mengenai suatu hukum tertentu seseorang cenderung mencari yang mudah dan ringan dari berbagai madzhab, tanpa kesungguhan meneliti bagaimana pangkal sebenarnya hukum itu).

Keharusan memilih salah satu madzhab sekaligus larangan untuk mencampur lebih dari satu madzhab --betapapun tulusnya hal itu dilakukan-- secara tersirat mengandung doktrin bahwa suatu pemikiran madzhab adalah suatu kesatuan organik yang tidak boleh dipisah-pisah. Pemisahan itu akan menghasilkan inkonsistensi, dan yang terakhir ini tentu berakibat kepada masalah istiqamah atau keteguhan dan keikhlasan dalam beragama. Tetapi konsekwensi yang lebih jauh ialah --sebagaimana telah disinggung tadi-- hilangnya kreatifitas dan orisinalis intelektual, dan bersamaan dengan itu hilang pula kemampuan memberi responsi kepada keadaan masyarakat nyata (historis) yang senantiasa berkembang dan berubah.

Pada saat itulah sejauh mengenai kegiatan intelektual yang muncul ialah karya-karya syarah, yaitu karya tulis berupa kitab yang mengelaborasi karya lain yang lebih orisinal, yang dipandang sebagai matan (teks inti). Kegiatan pseudo-ilmiah serupa ini paling banyak terjadi dalam pemikiran judisial, tetapi sesungguhnya juga merambah ke berbagai cabang ilmu Keislaman yang lain, seperti, dan terutama, Ilmu Kalam.

Tetapi syarah bukanlah akhir perjalanan tradisi pseudo-ilmiah dalam masa kemandekan intelektual ini. Sebuah karya syarah membuka peluang kepada bentuk elaborasi lebih lanjut, sehingga merupakan ''elaborasi atas elaborasi'', yang biasanya disebut hasyiyah.

Untuk memperoleh gambaran apa yang dinamakan syarah dan hasyiyah itu, berikut ini adalah sebuah contoh kutipan dari matan kitab Taqrib, yaitu sebuah kitab Fiqh yang paling standar di pesantren- pesantren. Matan itu kemudian diberi syarah dalam kitab Fat'h al- Qarib, juga sangat standar di pesantren-pesantren, dan akhirnya diberi hasyiyah dalam kitab al-Bajuri, sebuah kitab yang boleh dipandang cukup tinggi:

Matan: Air yang boleh untuk menyucikan ada tujuh air: air langit, air laut, air sungai, air sumur, air sumber, air salju, dan air embun. 2.

Syarah: (Air yang boleh) artinya sah (untuk menyucikan ada tujuh: air langit) artinya yang terjun dari langit, yaitu hujan (air laut) artinya yang asin (air sungai) artinya yang tawar (air sumur, air sumber, air saljut dan air embun) dan tujuh air itu tercakup dalam ungkapan Anda ''Apa yang turun dari langit dan apa yang menyembul dari bumi dalam keadaan bagaimanapun adalah termasuk pokok penciptaan. 4.

Syarah ini kemudian diberi hasyiyah, yaitu penjabaran atau elaborasi lebih lanjut. Berikut ini adalah contoh hasyiyah-nya (tapi karena hasyiyah yang bersangkutan itu panjang sekali, maka demi kepraktisan kita akan mengutip hasyiyah yang menyangkut salah satu dari air yang tujuh itu, yaitu ''air sungai'' saja):

Hasyiyah: (Perkataannya dan air sungai) rangkaian dalam pengertian di, artinya air yang mengalir di sungai (nhr) dengan fat'hah ha' dan matinya dan yang pertama lebih fasih dan al di situ adalah untuk jenis maka ia mencakup Nil dan Furat dan sebagainya dan asalnya dari surga sebagaimana hal itu disebutkan dalam nas mengenainya sebab sesungguhnya diturunkan dari surga Nil Mesir dan Sihun sungai India dan Jihun sungai Balkh dan keduanya itu bukanlah Sihan dan Jiham menurut yang unggul berlainan dengan orang yang menyangka keduanya itu sinonim sebab Sihan adalah sungai Arnah dan Jihan adalah sungai al-Mashishah dan Dajlah dan Furat adalah dua sungai di Irak dari asal Sidrat al-Muntaha dan itulah makna firman Dia Yang Maha Tinggi ''Dan Kami turunkan dari langit air dengan takaran tertentu'' maka pada waktu keluarnya Ya'juj dan Ma'juj sungai-sungai itu diangkat dan itulah makna firman Dia Yang Maha Tinggi ''Dan sesungguhnya Kami tentulah berkuasa untuk menghilangkannya.'' 5.

Kutipan di atas itu sengaja dibuat dalam bentuk terjemahan harfiah tanpa memberi tanda-tanda baca sesuai konteks, menurut keadaan aslinya dalam kitab. Maksudnya ialah agar kita dapat merasakan kesulitan yang dihadapi oleh mereka yang membaca ''kitab gundul'', jika mereka tidak terlatih membaca dalam konteks. Dan keadaan menurut aslinya itu dapat memberi gambaran tentang ungkapan ''ilmiah'' masa kemunduran itu yang tidak dapat disebut mengangumkan, jauh di bawah ukuran masa kejayaan intelektual sebelumnya seperti diwakili oleh karya-karyaIbn Sina, al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Arabi, Ibn Taymiyyah, dll.

Bahkan dalam kutipan itu dapat dilihat munculnya beberapa dongeng dan mitologi, yang dirangkaikan dengan paham keagamaan, seperti bahwa sungai Nil berasal dari surga dan sungai Dajlah (Tigris) dan Furat (Eufrat) di Irak berasal dari Sidrat al-Muntaha! Juga ada mitos lain yang tercampur dengan pandangan keagamaan tertentu seperti cerita tentang datangnya Ya'juj dan Ma'juj (Gong dan Magong) yang tersebut dalam Kitab Suci al Quran, 6. yang pada saat itu akan diangkat sungai-sungai Nil, Furat dan Dajlah itu ke langit sebagai tafsir atas ayat suci al Quran pula. 7.


Kesimpulan :

Semangat obskurantisme atau kemasabodohan intelektual akibat berbagai faktor ekstern dalam proses-proses dan struktur-struktur politik masa itu sedemikian mencekam, sehingga mewarnai sikap intelektual sebagian besar kaum Muslim. Dan pandangan mereka ilmu pengetahuan telah ''habis'', dan yang tersisa ialah mencerna apa saja yang diwariskan dari generasi sebelumnya. Stagnasi ini tidak dirasakan oleh kaum Muslim, seolah-olah segala sesuatu terjadi secara wajar saja, sampai akhirnya mereka terhentak dan kalah oleh bangkitnya bangsa-bangsa yang selama ini mereka remehkan, yaitu bangsa-bangsa Eropa Barat, atau lebih persisnya, Barat Laut, bangsa-bangsa pelopor ummat manusia masuk Zaman Modern.

Banyak ahli yang mengatakan bahwa semua ini diawali karena Ummat Islam terkena penyakit puas diri (complacency), akibat dominasi mereka atas kehidupan di muka bumi selama berabad-abad (dalam perhitungan konservatif setidaknya selama delapan abad, yang berarti empat kali lebih panjang daripada masa dominasi Eropa Barat yang sudah berlangsung selama dua abad ini). Dan ketika mereka dikejutkan oleh datangnya tentara Perancis ke Mesir di bawah Napoleon yang dengan amat mudah mengalahkan mereka itu, keadaan sudah sangat terlambat, sehingga dorongan ke arah kebangkitan kembali yang muncul sejak itu sampai sekarang belum mencapai tujuan yang dimaksud.

Tetapi tentu saja Ummat Islam masih tetap mempunyai kesempatan yang baik. Berbagai gejala masa-masa terakhir ini, yang biasanya diletakkan dalam bracket ''kebangkitan Islam'', dapat diacu sebagai petunjuk adanya masa depan yang baik, setidaknya lebih baik daripada yang sekarang, apalagi daripada masa obskurantisme tersebut di atas itu. Sebuah adagium mungkin relevan dengan masalah ini yaitu yang berbunyi: ''Tidak akan menjadi baik ummat ini kecuali dengan sesuatu yang telah membuat baiknya ummat terdahulu.'' 8 Sementara banyak tafsiran yang berbeda-beda tentang apa ''yang membuat baik ummat terdahulu'', namun dari pembacaan kepada sejarah peradaban Islam, khususnya sejarah pemikirannya, jelas bahwa yang membuat baik mereka generasi Islam klasik itu ialah apa yang dalam ungkapan kontemporer dinamakan ''Etos Ilmiah''.

Berbeda dengan obskurantisme, etos ilmiah yang benar harus memandang bahwa ilmu tidak mempunyai batas (limit), melainkan ilmu hanya mempunyai perbatasan (frontier), yaitu ujung terakhir perkemabngan pemikiran ilmiah. Batas atau limit ilmu hanya ada pada Allah, karena itu tak terjangkau. Tetapi perbatasan atau frontier ilmu hanyalah produk kemampuan manusia sendiri yang tidak sempurna, karena itu harus selalu diusahakan untuk ditembus dengan keberanian intelektual serta kreativitas danorisinalitasnya. 9. Semuanya itu memerlukan suasana yang bersifat menopang atau kondusif. Dan suasana itu tidak lain, seperti dikemukakan K.H. Hasyim Asy'ari di atas, ialah toleransi dan saling menghargai dalam perbedaan.


Wallahu a'lam.


Catatan:

1. Muhammad Hasyim Asy'ari, al-Tibyan fi al-Nahy 'an Muqata'at al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan (Surabaya: Mathba'at Nahdlat al-'Ulama, tt.), h. 11. (Risalah ini ditulis pada 1360 H atau 1941 M).

2. Ibid., h. 12.

3. Abu Syuja' ahmad Ibn al-Husayn al-Ishfahani, al-Ghayah wa al-Taqrib, (Semarang: Pustaka al-'Alawiyyah, tt.), h. 2-3.

4. Muhammad ibn Qasim al-Ghazzi, Fat'h al-Qarib (Semarang: Maktabah wa Mathba'ah Usaha Keluarga, tt), h. 3.

5. Al-Syaykh Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyat al-Bajuri (Semarang: Maktabah wa Mathba'ah Usaha Keluarga, tt), h. 27.

6. Lihat Q., s. al-Kahf/18:94 (dalam cerita tentang Dzu al- Qarnayan)

7. Lihat Q., s. al-Mu'minun/23:18.

8. ''La tashluhu hadzihi al-Umah illa bi ma shaluha bihi awwaluha.''

9. Seperti halnya dengan Zaman Modern, etos ilmiah Zaman Klasik Islam memandang perbatasan ilmu harus selalu ditebus, sementera dalam zaman obskurantisme, etos ilmiah yang ada mengajarkan agar setiap bertemu dengan perbatasan hendaknya kembali ke semula, dan ini menghasilkan praktek menghafal. Batas atau limit ilmu hanya ada pada Allah swt, jadi tidak mungkin dicapai manusia, apalagi ditembus. ''Katakan, 'Kalau seandainya seluruh lautan ini tinta untuk Kalimat Tuhanku, maka lautan itu akan habis sebelum kalimat Tuhanku habis, meski kami datangkan tinta sebanyak itu pula.''' (Q., s. al- Kahf/18:109).

Sains, Islam, dan Revolusi Ilmiah

Sulfikar Amir

Tulisan ini memfokuskan diri pada isu sains dan Islam yang akhir-akhir ini banyak mendapat perhatian dari kalangan akademik dan masyarakat Islam di Indonesia. Isu ini menjadi hangat karena adanya keinginan, harapan, dan semangat akan bangkitnya peradaban Islam yang dimotivasi oleh romantisisme sejarah kejayaan peradaban Islam dalam bidang sains beberapa abad yang lampau. Studi mengenai sains dalam Islam sebenarnya sudah dibahas secara serius oleh beberapa sarjana, baik muslim maupun Barat. Secara garis besar, studi ini mencakup dua aspek, yakni historis dan epistemologis. Dalam tulisan ini saya akan mendiskusikan kedua aspek ini dan melajutkannya ke dalam konteks Indonesia.

Revolusi Ilmiah

Diskusi sains dan Islam ada baiknya dimulai dari satu peristiwa monumental yang menandai lahirnya sains modern, yakni Revolusi Ilmiah pada abad ke 17 di Eropa Barat yang menjadi “cikal bakal” munculnya sains moderns sebagai sistem pengetahuan “universal.” Dalam historiografi sains, salah satu pertanyaan besar yang selalu menjadi daya tarik adalah: Mengapa Revolusi Ilmiah tersebut tidak terjadi di peradaban Islam yang mengalami masa kejayaan berabad-abad sebelum bangsa Eropa membangun sistem pengetahuan mereka? Bukankan peradaban Islam itu sendiri sudah memiliki dasar-dasar yang kuat (tradisi filsafat dan ilmu pengetahuan) yang memungkinkan terjadinya Revolusi Ilmiah itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada dua hal yang perlu dipahami. Pertama adalah sejarah sosial sains di Eropa ketika terjadi Revolusi Ilmiah. Yang kedua adalah karakteristik internal sistem pengetahuan peradaban Islam yang tidak memungkinkan terjadinya Revolusi Ilmiah. Walaupun membandingkan kedua hal ini sedikit ambigius, komparasi singkat ini cukup bermanfaat untuk melihat bagaimana sains modern dan Islam kontemporer bertemu.

Ada beberapa tesis yang kita bisa ambil untuk memahami peristiwa Revolusi Ilmiah di Eropa. Pertama, Revolusi Ilmiah selalu dikaitkan dengan proses sekularisasi atau tercabutnya kekuasaan agama dalam sistem sosial politik yang memungkinakn sains lepas dari kungkungan institusi agama. Telah banyak diketahui bahwa pada abad 16 dan 17 ketika era Renaissannce, agama sebagai institusi yang sangat dominan dan hegemonik di Eropa kala itu mengalami perubahan radikal dalam posisinya sebagai pemegang otoritas penuh segala bentuk kebenaran. Tetapi lepasnya sains dari otoritas agama tidak menjadikannya independen. Dalam catatan Leonardo Olschki, terjadinya Revolusi Ilmiah tidak lepas dari proses transformasi pengetahuan ilmiah ke dalam bentuk utilitas teknis. Menurut Hessen keberhasilan sains moderen di abad 16 dan 17 didorong oleh runtuhnya sistem ekonomi feodal yang digantikan oleh sistem ekonomi kapitalisme. Secara spesifik, Hessen merujuk perkembangan ilmu fisika pada saat itu sebagai bentuk respon terhadap kebutuhan-kebutuhan teknis dalam industri dan peperangan. Dari catatan-catatan sejarah tentang Revolusi Ilmiah ini kita bisa memahami bahwa perkembangan sains moderen di Eropa tidak lepas dari berbagai bentuk kepentingan ekonomi dan politik. Bahkan, seperti yang dikatakan oleh oleh Sandra Harding, sains moderen telah menjadi kendaraan bagi praktek hegemoni dan pemenuhan ambisi-ambisi nasionalisme bangsa Eropa ketika melakukan penjajahan terhadap bangsa-bangsa lain.

Sekarang mari kita menengok ke sejarah yang lebih awal tentang peradaban Islam dan sistem pengetahuan yang dibangunnya. Catatan A.I. Sabra dapat kita jadikan salah satu pegangan untuk melihat kontribusi peradaban Islam dalam sains. Dalam pengamatannya, peradaban Islam memang mengimpor tradisi intelektual dari peradaban Yunani Klasik. Tetapi proses ini tidak dilakukan begitu saja secara pasif, melainkan dilakukan melalui proses appropriation atau penyesuaian dengan nilai-nilai Islam. Dengan demikian peradaban Islam mampu mengambil, mengolah, dan memproduksi suatu sistem pengetahuan yang baru, unik, dan terpadu yang tidak tidak pernah ada sebelumnya. Ada dua hal yang dicatat Sabra sebagai kontribusi signifikan peradaban Islam dalam sains. Pertama adalah dalam tingkat pemikiran ilmiah yang diilhami oleh kebutuhan dalam sistem kepercayaan Islam. Penentuan arah kiblat secara akurat adalah salah satu hasil dari konjungsi ini. Kedua dalam tingkat institusionalisasi sains. Sabra merujuk pada empat institusi penting bagi perkembamgan sains yang pertama kali muncul dalam peradaban Islam, yaitu rumah sakit, perpustakaan umum, sekolah tinggi, dan observatorium astronomi. Semua kemajuan yang dicapai ini dimungkinkan oleh dukungan dari penguasa pada waktu itu dalam bentuk pendanaan dan penghargaan terhadap tradisi ilmiah.

Lalu mengapa sains dalam peradaban Islam tidak berhasil mempertahankan kontinyuitasnya, gagal mencapai titik Revolusi Ilmiah, dan justru mengalami penurunan? Salah satu tesis yang menarik datang dari Aydin Sadili. Seperti dijelaskan di atas bahwa keunikan sains dalam Islam adalah masuknya unsur agama dalam sistem pengetahuan. Tetapi, menurut Sadili, disini jugalah penyebab kegagalan peradaban Islam mencapai Revolusi Ilmiah. Dalam asumsi Sadili, tradisi intelektual Yunani Klasik yang diwarisi oleh peradaban Islam baru dapat menghasilkan kemajuan ilmiah jika terjadi proses rekonsiliasi dengan kekuatan agama. Rekonsiliasi antara sains dan agama tersebut terjadi di peradaban Eropa, tetapi tidak terjadi di peradaban Islam. Dikotomi antara dua jenis pengetahuan, yakni pengetahuan keagamaan dan pengetahuan duniawi (awâil) adalah indikasi kuat. Permasalahan yang terjadi adalah adanya ketimpangan posisi antara pengetahuan agama dan pengetahuan duniawi di mana pengetahuan agama menempati posisi sosial politik yang lebih baik sementara status pengetahuan duniawi berada pada status pelengkap.

Selanjutnya, Sadili melihat bahwa salah satu permasalah krusial gagalnya sains Islam dalam mencapai tahap Revolusi Ilmiah adalah terpisahnya tradisi filsafat dengan tradisi pemikiran keagamaan. Karena sains dan filsafat berada dalam kelompok pengetahuan yang sama, yakni pengetahuan duniawi. Pemisahan ini pada akhirnya membatasi filsafat dan sains dalam mempertanyakan hal-hal di luar otoritasnya. Adanya keterbatasan ini berimplikasi pada berhentinya tradisi ilmiah di peradaban Islam sampai akhirnya semua tradisi ilmiah tersebut diimpor oleh bangsa Eropa beberapa abad kemudian.

Sains Moderen dan Islam

Keinginan atau obsesi akan bangkitnya kembali peradaban Islam secara jujur lahir dari bentuk romantisisme terhadap sejarah masa lampau. Walau begitu, keinginan itu tentunya sesuatu yang wajar. Bahkan menjadi kewajiban setiap muslim untuk dapat membangun suatu peradaban yang berlandaskan nilai-nilai Islam. Karena itu, catatan sejarah di atas akan membuat kita lebih bijak dalam melihat ke arah mana kita akan menuju. Satu hal yang jelas adalah sebuah peradaban baru dapat berdiri kokoh jika berhasil membangun suatu sistem pengetahuan yang mapan. Bangkitnya peradaban Islam akan sangat tergantung pada keberhasilan dalam bidang sains melalui prestasi institusional dan epistemologis menuju pada proses dekonstruksi epistemologi sains moderen yang memungkinkan nilai-nilai Islam terserap secara seimbang ke dalam sistem pengetahuan yang dibangun tanpa harus menjadikan sains sebagai alat legitimasi agama dan sebaliknya. Ini sejalan dengan gagasan islamisasi pengetahuan yang pernah dilontarkan oleh Ismail Raji Al-faruqi.

Mengapa masyarakat Islam perlu melakukan reformasi sains moderen? Bukankah sains moderen telah begitu banyak memberikan manfaat bagi manusia? Pernyataan ini mungkin benar jika kita melihat tanpa sikap kritis bagaimana sains moderen membuat kehidupan (sekelompok) manusia menjadi lebih sejahtera. Argumen yang masuk akal datang dari Sal Restivo yang mengungkap bagaimana sains moderen adalah sebuah masalah sosial karena lahir dari sistem masyarakat moderen yang cacat. Secara historispun kita bisa memahami bagaimana sains moderen lahir sebagai mesin eksploitasi sistem kapitalisme. Paul Feyerabend bahkan mengkritik sains moderen sebagai ancaman terhadap nilai-nilai demokrasi, kualitas hidup manusia, dan bahkan kelangsungan hidup bumi beserta isinya. Dalam kondisisi seperti ini, Islam semestinya dapat menjadi suatu alternatif dalam mengembangkan sains ke arah yang lebih bijak.

Walau begitu, islamisasi pengetahuan adalah sebuah proyek ambisius untuk tidak menyebutnya utopia. Proyek islamisasi pengetahuan yang sarat dengan nilai akan sangat sulit tercapai karena bertentangan dengan dogma sains moderen yang mengklaim dirinya sebagai “bebas” nilai sehingga bersifat netral dan universal. Klaim netralitas dan universalitas sains moderen itu sendiri pada dasarnya bermasalah. Netralitas justru menjadi tempat perlindungan bagi sains moderen dari kritik terhadap berbagai permasalahan sosial yang diproduksinya. Sementara universalitas tidak lebih dari sekedar alat hegemoni sains moderen terhadap sistem pengetahuan yang lain. Studi sosial dan kultural terhadap sains moderen yang dilakukan beberapa sarjana memberi cukup bukti bahwa sains dan pengetahuan yang dihasilkannya selalu bersifat kultural, terkonstruksi secara sosial, dan tidak pernah lepas dari kepentingan ekonomi dan politik. Inilah tantangan terbesar bagi saintis muslim dalam upaya membangun sistem pengetahuan yang islami.

Islam dan Sains di Indonesia

Kenyataan bahwa Indonesia adalah negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia selalu dikaitkan dengan harapan akan bangkitnya Islam di negara ini. Fakta kuantitatif ini sayangnya belum cukup bagi kita untuk bersikap optimis. Kendala besar bagi cita-cita tersebut ada pada dua sisi. Sisi pertama adalah masih lemahnya tradisi ilmiah di Indonesia. Walaupun Indonesia memiliki perguruan tinggi yang cukup berkualitas, kegiatan ilmiah yang sehat, khususnya dalam bidang sains, dalam menghasilkan pengetahuan yang orisinil masih jauh dari harapan. Kondisi ini menjadi lebih lemah lagi karena terpisahnya sains dan filsafat dalam wacana akademik. Masuknya sains dalam kategori ilmu eksakta sementara filsafat sebagai ilmu non-eksakta adalah indikasinya. Padahal kategori eksakta dan non-eksakta tersebut bersifat ilusif. Ini menyebabkan tidak terbentuknya suatu tradisi filsafat kritik sains yang mapan, dan sebaliknya, sains berjalan sendiri seolah-olah dia bersifat otonom.

Pada sisi kedua, merujuk pada tesis Nurcholish Majid, satu kenyataan bahwa masyarakat Islam di Indonesia tidak mewarisi tradisi intelektual peradaban Islam ketika masa keemasan. Islam muncul di Indonesia justru ketika tradisi intelektual Islam sedang mengalami penurunan di tempat asalnya sehingga tradisi intelektual tersebut tidak sempat terserap dalam sistem sosial dan kebudayaan. Disamping itu, salah satu syarat tumbuhnya tradisi intelektual adalah adanya sikap keterbukaan atau inklusivitas karena suatu sistem pengetahuan baru dapat terbentuk dengan baik jika berada dalam sistem sosial yang menghargai perbedaan dan keberagaman pemikiran. Hal ini menjadi isu penting mengingat masih kuatnya eksklusivitas di berbagai lapisan masyarakat Islam di Indonesia.

Sebagai penutup, apa yang diuraikan di atas adalah suatu bentuk kepedulian terhadap Islam dan sains di Indonesia yang patut mendapat perhatian publik secara terus menerus untuk membangkitan semangat dan tradisi kritik sains sekaligus kritik bagi masyarakat Islam di Indonesia. Dan karenanya studi relasi antar sains dan Islam seharusnya menjadi agenda penting, baik dalam tradisi filsafat Islam maupun dalam wacana sains di level teoritis maupun praksis.

Sulfikar Amir. Mahasiswa Program PhD, Department of Science and Technology Studies Rensselaer Polytechnic Institute, Amerika. amirs3@rpi.edu

Referensi

Al-Faruqi, Ismail R. (1982) Islamization of Knowledge: the Problem, Principles, and the Workplan, Islamabad : National Hijra Centenary Committee of Pakistan.

Cohen, H. Floris (1994). The Scientific Revolution: A Historiographical Inquiry, Chicago: The University of Chicago Press.

Harding, Sandar (1998) Is Science Multicultural?: Postcolonialisms, Feminisms, and Epistemologies, Bloomington: Indiana University Press.

Lenoir, Timothy (1997) Instituting Science: the Cultural Production of Scientific Disciplines Stanford: Stanford University Press.

Madjid, Nurcholish (1992) Islam: Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Penerbit Yayasan Paramadina

Restivo, Sal (1988) "Modern Science as a Social Problem," Social Problems, 35 (3): 206-225

0 komentar:

إرسال تعليق

Comment here

  © Blogger template The Professional Template II by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP