Photobucket

Poligami, perceraian dan budaya arab

الأربعاء، ٤ جمادى الأولى ١٤٣٠ هـ

Poligami, perceraian dan budaya arab

Oleh : Miftahul Huda


Word view ikatan pernikahan

Bila mendengar kata poligami serta merta kita terbayang pada profil keluarga yang mana terdiri dari satu kepala keluarga dengan beberapa istri mulai dari dua sampai empat. Gambaran kita itu tidak berhenti disitu, tetapi juga mengarah kepada kawasan tertentu yang mana fenomena poligami tersebut menjadi bagian dari praktek budaya setempat. Pada umumnya negara-negara islam setidaknya merupakan obyek kajian pada topik ini termasuk arab saudi yang secara kasuistik tulisan ini akan membawa pada studi kawasan tersebut.

Satu hal yang paradok disaat satu belahan dunia menerapkan poligami secara konsisten seperti di negara-negara islam, disisi lain ada yang memegang teguh prinsip monogami meskipun juga menerapkan syariat islam semisal indonesia, bahkan ada yang tidak mau monogami apalagi poligami seperti fenomena di negara-negara barat. Tiga hal ini menemukan jati dirinya dengan latar belakang budaya yang tentunya berbeda-beda.

Pertama: poligami diterapkan oleh negara islam sebagai bentuk penerapan dari ajaran agama yang juga didukung oleh budaya sebelum islam. Praktek kehidupan arab pra islam misalnya mendata berbagai macam jenis pernikahan seperti nikah mut’ah (nikah kontrak) yakni dalam waktu tertentu dengan imbalan materi tertentu, nikah muhallil (nikah perantara) yakni wanita yang sudah diceraikan oleh suaminya dengan ditalak tigakali, namun dia ingin menikahi lagi dengan menyuruh orang lain untuk menikahi dulu lalu menceraikannya. Ada lagi nikah shighor (tukar menukar), nikah perempuan satu dengan laki-laki bayak, nikah dengan saudarinya sendiri, bahkan menikahi istri ayahnya dan sebagainya.

Kedua: monogami di indonesia juga lebih dilatarbelakangi oleh faktor budaya kesukuan indonesia. Adanya ungkapan ”wanita tidak mau dimadu” disemangati oleh kebiasaan yang tumbuh dikalangan wanita jawa dan di indonesia pada umumnya. Secara tidak langsung menggambarkan pengakuan hak-hak wanita yang tidak saja diperlakukan sebagai obyek yang harus dikuasai dan di atur (seperti di dunia arab), tetapi sekaligus memberikan arti kesetaraan gender dalam arti luas terbatas. Dalam perspektif orang yang menerapkan poligami bisa saja memaknai hal tersebut sebagai ”keserakahan wanita” untuk menguasai seorang pria pasangannya.

Akar budaya seperti ini sampai kini masih dipertahankan meskipun telah disadarkan pula oleh doktrin agama tentang bolehnya poligami. Kesadaran beragama islam indonesia telah mengalami proses adaptasi dengan ”kearifan” budaya lokal. Inilah yang belakangan ditentang oleh aliran islam radikal dan fundamental yang ingin menerapkan islam secara holistik dimanapun berada. Sudah semestinya islam didakwahkan dengan penuh kearifan (hikmah/ wisdom) tanpa mengibarkan konfrontasi terhadap budaya lokal. Poligami ditegaskan dalam ranah kewajaran (mubah) bagi yang mampu berlaku adil dan bukan dalam ranah kewajiban agama tanpa harus menyalahkan satu sama lain yang tidak menerapkannya.

Ketiga: kehidupan free sex sebagaimana berlaku di sebagain dunia barat menafikan adanya monogami dan apalagi poligami. Mereka tidak mau terikat dengan aturan apapun termasuk agama. Kehidupan seksualnya diekploitasi secara bebas dan disalurkan kepada siapa saja dengan catatan saling menyukai. Bisa jadi kepada lawan jenis secara bebas, maupun sejenis seperti kaum homo dan lesbi, ataupun bisa kepada siapa saja yakni kaum hitero maupun biseksual. Ekpresi kebebasan itu temasuk dalam menentukan jati diri apakah memeliki ketertarikan pada jenis laki-laki atau perempuan, sehingga opereasi kelamin menjadi hal yang absah dan normal serta legal dalam payung undang-undang.

Pilihan budaya seperti di atas dibentuk oleh kemerdekaan berfikir dan berbuat yang diyakini dimiliki setiap manusia. Mereka mengusung semangat tersebut dalam realitas kehidupan. Kehidupan bagi mereka bebas untuk dilakukan dan dinikmati dengan cara mereka sendiri. Mereka tidak mau terikat dalam bingkai perkawinan yang serasa membelenggu dan membatasi ruang geraknya. Wajarlah kemudian kalau seperti di Australia pemerintah memberikan bonus kepada setiap pasangan yang mau melakukan pernikahan secara resmi, bahkan memberi santunan kepadanya atas bayi yang dilahirkan. Namun demikian belum menjadi tradisi yang mengakar, yakni masih banyak yang tidak menikah. Akibatnya mereka melakukan praktek sek bebas, dan memilih memelihara binatang untuk ekpresi kasih sayang. Selebihnya permasalahn yang muncul adalah maraknya panti jompo akibat tidak memiliki keluarga tempat bergantung karena enggan memiliki anak akibat tidak menikah.

Jelaslah bahwa faktor jumlah penduduk suatu bangsa ikut memmbentuk watak budaya berumahtangga. Pada negara yang jumlah penduduknya yang masih relatif rendah mendorong proses pernikahan sebagai bagian sakral dalam kehidupan yang harus dilalaui. Karena dengan menikah diharapkan dapat memberikan keturunan. Parahnya perkembangan selanjutnya mengarah kepada kebebasan tindakan dan perbuatan yang didukung dengan kemajuan teknologi. Dalam hal ini untuk sekedar mendapatkan keturunan tidak harus melalui bingkai perkawinan. Meskipun keabsahannya masih dalam perdebatan, namun telah menjadi fakta dan fenomena bank sperma bisa membantu mendapatkan keturunan secara unggul tanpa harus berkeluarga. Lain halnya dengan China misalnya justru terjadi pembatasan jumlah kelahiran karena problem kebanyakan penduduk.

Bagaimanapun juga konsep poligami dan monogami berangkat dari kerangka bahwa pernikahan adalah satu hal yang dibutuhkan untuk melestarikan kehidupan dengan benar menurut kaedah agama. Permasalahannya kemudian bagaimana penarapan poligami yang secara lebih khusus mengambil sampel kawasan saudi arabia menjadi bagian dari fenomena budaya dan agama. Setting budaya serta bagaimana realitas poligami itu dalam membentuk kemapanan budaya dalam kontek kekinian, inilah yang perlu dicermati.

Identifikasi masalah

Permasalahan anusah (perawan tua) dan perceraian menjadi fenomena sosial yang sangat memprihatinkan di arab. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh hasil penelitian dan data-data statistik yang dilakukan oleh berbagai lembaga sosial masyarakat (LSM) arab dan dunia islam pada umumnya menunjukkan bahwa telah terjadi keterlambatan menikah bagi perempuan sekaligus disisi lain telah banyak terjadi perceraian. Bagaimana kedua permasalahan ini akan dapat menemukan solusinya, apakah poligami merupakan salah satu pintu keluarnya?

Menurut syekh Mansur bin Abdullah al’akiq: diantara fenomena mengkhawatirkan pada era ini ini adalah banyaknya perceraian dan perawan tua yang hidup dirumah tanpa punya pasangan (suami) (Aljazirah: 6-3-2009). Menurutnya hal ini bertentangan dengan firman allah:


Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.AlQur’an: Annisa, 1

Dalam ayat tersebut menurutnya allah menegaskan bahwa kewalitas laki-laki dan perempuan terletak pada ketakwaan, takut (khasyyah) dan kekhawatiran akan allah (khouf), mereka tercipta dari tulang rusuk adam dan adam tercipta dari tanah (turab). Selanjutnya allah menjadikan rasa cinta (mawaddah) dan kasih (rahmah) melalui pernikahan. Tidak ada ketentraman hidup tanpa pernikahan.

Tetapi banyak dijumpai fenomena masyarakat yang berbalik dengan fakta tektual tersebut. Laki-laki sangat merana karena hidup sendirian tanpa istri, demikian perempuan merana sendirian hidup tanpa suami. Akibatnya banyak laki-laki membujang dan perempuan menjadi perawan tua yang tertahan dalam lingkungan keluarga. Hal ini menurut al-Ashmu’i karena perempuan dikendalikan oleh orangtuanya dalam masalah pernikahan sehingga mencapai usia tertentu. Senada dengan ini al-Jauhari menegaskan pula bahwa perempuan melajang dalam waktu yang lama tertahan dirumahnya sehingga menjadi perawan tua.

Akar permasalahan

Menurut syekh Akiq akar permasalahan yang menjadi penyebab terlambat menikah adalah sebagai berikut:

  1. Mahalnya mahar dan beban tanggungan pernikahan.

Tampaknya permasalahan ini menjadi faktor dominan para pemuda enggan menikah, sehingga akibatnya banak perempuan terlambat menikah dan menjadi perawan tua. Kenapa mahar dan tuntutan biaya pernikahan begitu mahal? Ini terjadi karena tradisi orang tua (wali nikah) memasang tarif yang mahal sekaligus sebagai prestasi dalam menghargai anak perempuannya. Mereka berkeyakinan pula jika laki-laki mampu menikahi anaknya dengan tarif yang sedemikian mahal, namun dikemudian hari menanggung beban hutang yang tinggi akibat pembiayaan tersebut didapat dari hutang, maka hal ini dianggap tidak mengikuti sunnah nabi. Nabi Muhammad saw bersabda:

زوكتكها بما معك من القرآن

Artinya: aku menikahkan wanita ini denganmu dengan mahar alquran.

  1. Cita-cita berpendidikan tinggi.

Fenomena berpendidikan tinggi ini memicu peningkatan lajang dan bujangan. Wanita yang berpendidikan tinggi menghabiskan waktunya untuk belajar. Semakin lama justru tidak banyak yang berani melamarnya. Tampaknya laki-laki akan berfikir dua kali ketika akan menikah dengan wanita karir berpendidikan tinggi, karena biasanya diperlukan kesetaraan pemikiran dan pendidikan. Terkadang wanita juga berfikir bahwa pendidikan tinggi dapat menjamin hidupnya lebih baik. Tetapi kenyataannya sangat memprihatinkan jika pada akhirnya calon laki-laki tidak ada yang melamarnya karena semakin pendidikan tinggi wanita semakin menaikkan prestisenya dimasyarakat.

Dengan demikian jelaslah bahwa berpendidikan tinggi bagi wanita justru menghalangi cepatnya pernikahan, karena faktanya sedikit laki-laki yang mencari perempuan yang memiliki pendidikan tinggi. Demikian halnya laki-laki yang berpendidikan tinggi biasanya menetapkan kreteria wanita yang berpendidikan tinggi dan ini tidak kunjung dijumpai sehingga semakin memperpanjang usia pernikahan yang tertunda. Pada intinya berpendidikan tinggi ternyanta menghambat pernikahan karena laki-laki maupun perempuan harus mencari pasangan yang setera dalam tingkan pendidikannya.

Padahal allah berfirman:


dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui. (Qs. Annur: 32).

Fakta dan data dilapangkan menunjukkan bahwa pernikahan mendorong terciptanya hati yang tentram, jiwa yang tenang dan fikiran jernih pada kedua pasangan. Adapun ketergantungan menikah hanya karena ingin mendapatkan pasangan yang berpendidikan tinggi, karir dan ideal akan memperlambat pernikahan. Banyak dijumpai misalnya wanita hanya akan menikah dengan laki-laki idaman terhebat pada saat itu, terkaya, cinta sejati dan sebagainya. Jika datang laki-laki yang melamar dan tidak sesuai kriteria tersebut cenderung berkata: tidak mau, dia bukan tipe idealku. Ataupun bahkan walinya berkata pula: jangan menikah dengan dia, dia miskin dan lemah semangat, pada akhirnya menolak lamarannya. Kondisi seperti ini berlangsung terus menerus, akibatnya tertundalah pernikahannya sampai tua.

Samahalnya perempuan, laki-laki juga memiliki problem tersendiri. Biasanya ia terlalu ideal dalam menentukan pasangan hidupnya. Padahal jarang sekali berkumpul dalam pribadi seorang semua kriteria ideal bagi perempuan sempurna. Pada akhirnya kembali bahwa kesempurnaan hanya milik allah.

Diriwayatkan dari Abi Hurairah Nabi Muhammad saw bersabda:

تنكح المرأة لأربع : لمالها ولحسبها ولجمالها ولدينها، فاظفربسذات الدين تربت يداك

Artinya: wanita dinikahi karena empat hal; kecantikannya, nasab, kecantikan dan agamanya, pilihlah kriteria agamanya niscaya kamu akan selamat.

  1. Adat istiadat yang bertentangan dengan islam.

Mahalnya pembiayaan nikah dalam negri arab memicu maraknya fenomena nikah diluar negri yang tidak sesuai dengan syariat agama islam. Akibatnya pada musim liburan meningkatlah wisata berlibur keluar negeri baik kenegara barat maupun ketimur termasuk Asia. Diantara tujuannya adalah mencari kesenangan, tidur di hotel, pergi kepuncak gunung, kepantai dan sebagainya dengan ditemani wanita ”penghibur”. Sungguh fenomena yang paradok ketika orang non arab datang ke arab biasanya untuk bekerja mencari nafkah bahkan banyak juga yang bertujuan untuk mencari ilmu sebagai pelajar atupun bahkan mengajar. Namun disisi lain mereka orang arab ad a y angpergi melancong ke negeri orang untuk bersenang-senang mencari kebebasan dan ”kepuasan”. Padahal allah menegaskan bahwa kemuliaan itu ada pada taqwa bukan pada identitas bangsa ataupun suku.


Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Alhujurat: 13).

Berdasarkan fakta dan fenomena permasalahan di atas, maka beberapa upaya jalan keluar yang dapat diupayakan untuk mengatasi keterlambatan menikah adalah diantaranya dengan penguatan dasar pemahaman agama islam. Genarasi muda mudi diberikan pendidikan akidah dan akhlak yang kuat. Diberdayakan peran keluarga dalam membentuk keluarga sakinah yang penuh cinta kasih. Membudayakan memberi mahar nikah yang terlalu tinggi, menikahkan dengan pasangan setara, mempermudah proses pernikahan dan menjauhi budaya interen arab yang tidak sesuai dengan tuntunan islam.

Problem perceraian

Studi kasus kontemporer atas permasalahan perceraian di Saudi arabia ini pernah dilakukan oleh Salman bin Muhammad Alumri. Penelitiannya menunjukkan bahwa 43% permasalahan talak di saudi terjadi karena tidak adanya harmonisasi antara pasangan (Aljazirah: 5-3-2009). Solusi atas permasalahan ini dalam peneletian tersebut merekomendasikan dengan kembali kepada syari’at islam dalam segala segi kehidupan. Islam memperbolehkan talak atas solusi permasalahan yang ada dengan prinsip mengambil resiko terkecil (akhaf aldhararain ).

Penelitian tersebut dilakukan atas sponsor organisasi hak asasi manusia dan atas partisipasi istansi terkait terdiri dari para pakar, pengacara dan wartawan. Perceraian di Arab Saudi diketahui meningkat selama tahun 2008 lalu. Jika pada tahun 2007 mencapai 1.500 kasus perbulan, pada tahun 2008 meningkat menjadi 1.980 kasus perbulan. Menurut data tersebut, tahun 2008 terdapat 24.428 kasus perceraian. Hal ini meningkat 5.663 kasus dari tahun sebelumnya yang mencapai 18.765 kasus. “Rata-rata perkawinan tahun 2008 mencapai 9.480 kasus dan perceraian mencapai 1.980 kasus setiap bulannya,” bunyi laporan tersebut. Yang unik, hanya 15.851 kasus perkawinan yang didafatarkan di kementerian tersebut, sementara 99.698 kasus perkawinan hanya dicatat di kantor pencatatan nikah setempat. Riyadh merupakan wilayah tertinggi angka perceraiannya, yaitu 7.085 kasus, kemudian disusul Mekah dengan 5.749 kasus.

Anugrah allah

Menurut syekh Abdul Aziz bin Muhammad Hamdan kemudahan mendapatkan jodoh dalam berkeluarga dan membina rumah tangga yang tentram dan sejah tera merupakan karunia dari allah yang sangat besar. Hal ini didasarkan pada ayat allah:

Istri dalam rumah tangga memiliki peran yang sangat penting. Setelah seharian kerja sang suami memerlukan tempat kembali, tempat beristirahat, tempat melepaskan kelelahan kerja, tempat menimbulkan semangat hidup; itulah kehidupan rumahtangga. Hanya saja apa yang digambarkan suami dapat menemui pasangan hidupnya berlaku yang ideal buat dirinya terkadang bertepuk sebelah tangan. Oleh karena itu menjadi kewajiban suami untuk mendidik istrinya sesuai dengan ajaran agama islam. Dalam hal ini ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim bahwasanya nabi bersabda:


إستوصوا بالنساء خيرا، فـإنهن خلقن من ضلغ، وأن أعوج شيء في الضلع أعلاه فإن ذهبت تقيمه كسرته، وإن تركته لم يزل أعوج، فاستوصوا بالنساء خيرا


Artinya: berpesanlah kepada wanita (istri) pesan yang baik, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, dan sesungguhnya paling rawan bengkok adalah tulang rusuk atas, jika kamu paksa untuk lurus maka dia akan patah, dan jika kamu biarkan saja maka selamanya akan bengkok, oleh kerenanya berpesanlah yang baik kepada wanita.

Menurut syekh Hamdani yang dapat mengancam keutuhan rumah tangga yaitu berlaku semaunya dan keras kepala. Akibatnya menggiring kepada pintu perceraian. Hampir bisa dipastikan kasus perceraian lebih banyak dari pada akad pernikahan. Pernyataan terakhir inilah yang tepat untuk menggambarkan relasi antara fenomena diperbolehkannya poligami dengan perceraian. Dengan kata lain karena ada poligami maka memiliki kemungkinan besar terjadinya perceraian, meskipun dalam kasus ini poligami juga muncul dalam kapasistas mengatasi problem perawan tua akibat mahalnya mahar dan kulturbudaya.


Read More.. Read more...

Bank data artikel 12

Mendidik Perempuan adalah Mendidik Bangsa

Oleh Ali Khomsan



SEJAK tahun 1975, tahun pertama konferensi dunia mengenai perempuan, di Meksiko, muncul kesadaran bahwa apa yang terjadi terhadap perempuan akan berdampak besar pada kesejahteraan umat manusia. Anggapan perempuan adalah pewaris pasif dari pertumbuhan dan pembangunan sosial semakin berkurang. Perempuan adalah pemain kunci yang akan menentukan nasib bangsa lewat anak-anak mereka.

Meskipun ada kemajuan, namun sebenarnya kemajuan tersebut tidak dirasakan sebagai hal yang signifikan terutama pada perempuan kelas bawah. Masih cukup banyak perempuan yang menganggur tidak punya pekerjaan meskipun ingin bekerja, atau bekerja di sektor informal yang penuh persaingan dan terkadang hasilnya kurang menjanjikan. Walaupun ada upaya menjamin persamaan di bidang ekonomi dan sosial, namun diskriminasi sebenarnya masih tetap berlangsung, dan kekerasan terhadap perempuan tetap berlanjut.

Di banyak tempat, anak perempuan memperoleh pendidikan, pangan, dan pelayanan kesehatan yang lebih sedikit dibandingkan anak laki-laki. Di beberapa negara sedang berkembang kira-kira seperenam bayi perempuan meninggal disebabkan karena kelalaian dan diskriminasi.

Sementara masalah perempuan dewasa yang sampai kini masih cukup menonjol di berbagai belahan dunia adalah tingginya angka kematian ibu karena komplikasi yang berhubungan dengan kehamilan. Praktik aborsi yang tidak aman telah membawa perempuan ke jurang kematian tanpa dapat dicegah. Hal lainnya adalah banyaknya perempuan yang tidak memiliki akses yang baik untuk memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi yang bermutu sehingga muncul kehamilan yang tidak direncanakan dan tidak diinginkan.

***

DI bidang pendidikan percepatan perempuan untuk melek huruf tidak secepat kaum pria. Hal ini akan berimplikasi serius mengingat kesehatan dan kematian anak lebih banyak dipengaruhi pendidikan ibu dibandingkan pendidikan ayah. Bukti-bukti menunjukkan, pendidikan yang dimiliki perempuan menyebabkan turunnya angka kematian bayi dan membaiknya status gizi anak.

Pola asih-asah (caring behavior) yang dimiliki seorang ibu merupakan faktor determinan yang sangat menentukan tumbuh kembang anak. Tumbuh kembang anak ini adalah ciri kualitas sumber daya keluarga. Di dalam mewujudkan pola asih-asah ini ada faktor eksternal yang turut berperan yakni status sosial ekonomi keluarga yang mencakup pendapatan, pendidikan, interaksi sosial, dan nilai-nilai dalam keluarga.

Untuk bisa mengembangkan caring behavior yang sehat maka prasyarat yang penting adalah pendidikan ibu, beban kerja ibu, serta ada tidaknya alternate caregivers (pengasuh). Ibu yang berpendidikan tinggi akan lebih giat mencari dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan memelihara anak. Mereka juga akan menaruh perhatian lebih besar pada konsep sehat yang harus dicapai seluruh anggota keluarganya.

Perempuan adalah aktor ekonomi yang berperan penting dalam mendukung keluarga sejahtera di berbagai negara. Peran mereka tidak hanya terbatas di sektor pertanian, tetapi juga di industri dan pelayanan/jasa. Pertumbuhan industri di suatu negara ditandai dengan partisipasi kaum perempuan, kebanyakan kaum buruh, untuk bekerja di sektor tersebut.

Ketersediaan pangan rumah tangga tidak lepas dari peran kaum perempuan. Sebuah studi mengungkapkan, di Afrika perempuan memberikan kontribusi 70-80 persen dalam penyediaan pangan keluarga, sementara di Asia 65 persen. Meskipun kenyataannya, perempuan sering mengalami ketidaksetaraan akses dibandingkan kaum pria seperti dalam hal pendidikan, penguasaan teknologi, dan akses terhadap informasi.

Keterlibatan perempuan di sektor ekonomi tidak selalu menjadi bagian dari statistik sehingga peran mereka menjadi tidak kelihatan. Hal ini terjadi karena penentu kebijakan di bidang pembangunan banyak didominasi pria. Mengabaikan peran perempuan di bidang sosial ekonomi dapat dianggap sebagai pemborosan pembangunan. Perempuan tidak mendapatkan input memadai, sehingga potensi kontribusi ekonomi mereka tidak dapat dimunculkan secara maksimal.

Alokasi waktu bekerja yang dicurahkan perempuan dari keluarga miskin umumnya lebih banyak daripada kaum pria, meskipun produktivitas kaum perempuan masih dianggap rendah. Seandainya mereka memperoleh perhatian sehingga kebijakan pembangunan bisa sedikit banyak terfokus pada kaum perempuan, maka peran ekonomi perempuan akan muncul secara lebih signifikan. Setiap dollar bantuan negara donor yang dialokasikan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja perempuan, meningkatkan produktivitas mereka, dan memperkuat partisipasi perempuan dalam penentuan pengambilan keputusan akan berdampak nyata dalam pembangunan negara.

Untuk itu negara perlu memperhatikan program yang bertujuan meningkatkan pendidikan kaum perempuan, peningkatan keterampilan, dan penguasaan teknologi. Perempuan juga harus diberdayakan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut produksi, reproduksi, dan distribusi. Bila kaum perempuan mempunyai posisi kuat untuk mendukung ekonomi rumah tangga, maka permasalahan khususnya menyangkut kerawanan pangan dan malnutrisi akan dapat diatasi dengan cepat.

***

BEBERAPA studi menunjukkan, kesejahteraan keluarga tidak melulu tergantung pada penghasilan yang diperoleh, tetapi juga sangat ditentukan oleh siapa yang mencari nafkah dan mengontrol pengeluaran rumah tangga. Kaum perempuan, dibandingkan pria, ternyata cenderung mengalokasikan uang untuk belanja pangan keluarganya. Sementara pendapatan yang berasal dari perempuan berkorelasi erat dengan semakin membaiknya derajat kesehatan dan status gizi anak. Karena itu kesetaraan jender, khususnya di bidang ekonomi dan pengambilan keputusan, akan berdampak besar pada kesejahteraan keluarga.

Ibarat pepatah mengatakan: mendidik seorang pria adalah mendidik satu orang, tetapi mendidik perempuan adalah mendidik bangsa.

* Dr Ir Ali Khomsan, dosen Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Faperta IPB.


Jurnal Universitas Paramadina Vol.1 No. 3, Mei 2002: 280-289

PENDIDIKAN UNTUK DEMOKRASI

Nurcholish Madjid

Disampaikan pada acara kuliah perdana tahun akademik 2001/2002 Universitas

Paramadina, 10

genda utama reformasi itu sampai sekarang masih belum terwujud secara memadai. Justru yang sekarang mulai terasa berkembangadalah maraknya sinisme sosial berkenaan dengan lambannya pelaksanaan

agenda utama reformasi itu. Warga masyarakat dan negara yang beritikad baik sungguh menguatirkan bahwa agenda itu akan hilang ditelan waktu.

Kita semua menghadapi bahaya kehilangan kesadaran akan pentingnya pelaksanaan pemberantasan KN. Jika hal itu terjadi, maka kita akan memasuki siklus baru kehidupan berbangsa dan bernegara yang akan

berakhir dengan krisis dahsyat dalam kurun waktu sekitar satu generasi mendatang. Korban yang bakal jatuh, juga tentang siapa dan golongan mana yang bakal jadi korban, tidak bisa dipastikan dari sekarang. Kehancuran negara yang diakibatkannya juga tidak dapat diduga. Tetapi dikuatirkan sekali bahwa korban dan kerusakan itu akan sangat besar dan meluas.

Begitu jauh kita telah mengalami dua siklus kehidupan berbangsa dan bernegara yang berakhir dengan krisis dahsyat. Siklus pertama adalah siklus pancaroba, selama dua dasawarsa sejak proklamasi, suatu siklus kehidupan kebangsaan dan kenegaraan kita yang penuh intrik politik dan pertentangan ideologi. Intrik dan pertentangan itu pada hakikatnya tidak lebih daripada perbenturan egoisme pribadi dan golongan dalam suasana gejolak percobaan pertama mewujudkan pikiran tentang negara merdeka.

Kita, generasi yang datang berikutnya, tentu tidak berhak sepenuhnyamenyesalkan, apalagi menyalahkan, para pelaku siklus pertama itu. Sebab, siklus itu merupakan periode formatif tingkat awal kehidupan kebangsaan dan kenegaraan kita. Walaupun begitu, dan sekalipun mungkin memang tidak terhindarkan, kita sungguh sedih dan prihatin bahwa pada tahun 1965, sebagai akhir siklus itu, telah terjadi krisis dahsyat. Krisis itu hampir-hampir memusnahkan seluruh perolehan perjuangan para pahlawan kemerdekaan bagi tegaknya sebuah negara kebangsaan modern Indonesia. Siklus kedua adalah siklus yang baru saja kita tinggalkan. Siklus itu punya ciri utama tekanan yang amat berat kepada satu sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu hampir-hampir hanya sisi pembangunan ekonomi semata. Berkenaan dengan hal ini pun mungkin kita tidak berhak sepenuhnya menyesalkan para pelakunya. Sebab semuanya itu beranjak dari keadaan ketika negara kita hampir bangkrut, dengan bahaya kelaparan

rakyat umum yang merajalela, dan sulitnya diperoleh sandang dan papan yang pantas. Tetapi kita tetap merasa sedih dan prihatin, bahwa siklus kedua itu telah mengakibatkan pembangunan bangsa yang tertunda (delayed nation building). Perlahan-lahan kita mulai meninggalkan cita-cita Negara kebangsaan modern (modern nation state), suatu negara yang didirikan demi kemaslahatan umum, kesejahteraan seluruh rakyat. Prasyarat utamanya yang mutlak harus dipenuhi, namun tidak dikembangkan dengan cukup kesungguhan, ialah ketegaran etis dan moral, baik pada tingkat pribadi maupun pada tingkat sosial. Akibat kelalaian itu terjadilah krisis dahsyat, dengan korban-korban yang urusannya sampai sekarang belum terselesaikan.

Tetapi krisis dahsyat itu menelorkan hikmah refomasi, yang agenda utamanya adalah pemberantasan tuntas kolusi, korupsi dan nepotisme.Telah dikemukakan di depan bahwa dalam masyarakat kita sekarang ini sedang tumbuh dan berkembang gejala sinisme sosial akibat harapan pemberantasan tuntas kolusi, korupsi, dan nepotisme yang belum sepenuhnya terwujudkan. Namun kita patut bersyukur bahwa semangat reformasi telah membuahkan berkah yang amat besar maknanya, yaitu kebebasan-kebebasan sipil, khususnya kebebasan menyatakan pendapat, September 2001kebebasan berkumpul dan kebebasan berserikat. Kekebasan-kebebasan sipil itu berlaku sebagai modal utama pelaksanaan cita-cita reformasi.

Dinamika kebebasan itu, di antara sekian banyak hikmahnya, adalah pertumbuhan alamiah mekanisme pengimbangan dan pengawasan dalam masyarakat. Sungguh hanya dalam suasana bebas tanpa tekanan dalam bentuk apapun itulah kebenaran akan berkesempatan lebih besar untuk muncul ke permukaan dan menjadi unggul, berkat kekuatan kebenaran itu sendiri. Sebaliknya, pengekangan kebebasan akan dengan sendirinya menimbulkan kerugian dan kerusakan bagi semua. Sebab yang muncul kepermukaan dan menjadi unggul adalah yang didukung atau dipaksakan pihak yang kuat, yang umumnya terjadi karena pertimbangan kepentingan sepihak semata, bukan pertimbangan kebenaran.

Menumbuhkan kebebasan demi kebenaran adalah suatu usaha jangka panjang yang memerlukan konsistensi dan ketaatan kepada prinsip-prinsip moral dan etika. Usaha itu tergolong jenis investasi modal manusia (human capital investment), yang biasanya baru terlihat buahnya setelah lewat satu generasi, sekitar duapuluh tahun. Oleh karena itu semakin dini investasi modal manusia itu dimulai, semakin cepat pula masyarakat akan memetik buahnya. Maka saat yang terbaik untuk memulai investasi modal manusia itu adalah duapuluh tahun yang lalu! Tetapi jika kita gagal memulainya duapuluh tahun yang lalu, maka saat yang terbaik memulai investasi modal manusia itu adalah sekarang ini, hari ini! Memenuhi

petunjuk Nabi s.a.w tentang pelaksanaan suatu kebaikan, semuanya itu harus dimulai dari diri kita sendiri. Ibda’ bi-nafs-i-ka, “Mulailah dari dirimu sendiri!” Karena itu, kita harus memulai pembangunan kembali bangsa dan negara sekarang juga! Oleh diri sendiri kita semua! Sebab, jika tidak sekarang, lalu kapan?! Jika bukan kita lalu siapa?! Menunda itu semua sampai besok dan menanti agar orang lain memulainya adalah sikap tidak bertanggung jawab, ciri pribadi dan generasi yang tidak berkomitmen, tidak

bercita -cita, tidak memiliki tujuan hidup luhur. Menunda dan menunggu orang lain dalam kebaikan adalah sikap egois, pertanda tidak adanya kesadaran sosial.

Dalam lingkungan pendidikan tingkat universitas, semuanya itu kita bangun di atas asas kebebasan akademik. Yaitu hak seorang pengajar untuk mengajar dan seorang pelajar atau mahasiswa untuk belajar, tanpa campur tangan atau kekangan yang tidak beralasan. Kebebasan akademik, bersama dengan kebebasan berbicara, kebebasan pers dan kebebasan beribadat, adalah sifat asasi masyarakat demokratis (academic freedom ranks with freedom of speech, freedom of the press, and freedom of worship as an essential characteristic of democratic society).

Kebebasan akademik adalah nilai kehidupan masyarakat yang bercirikan kemanusiaan bebas dan terpelihara harkat dan martabat kemanusiaan. Untuk pengajar, kebebasan akademik mempunyai tiga sisi.

Pertama adalah, sisi kebebasan untuk menempuh penelitian kesarjanaan menuju kepada kesimpulan yang jujur. Kemudian kebebasan untuk menyajikan kepada mahasiswanya temuan dan penilaiannya tentang bidang spesialisasinya. Pada akhirnya kebebasan menerbitkan hasil penelitian dan perenungannya sehingga rekan-rekannya dan masyarakat luas dapat memperoleh manfaat dari semuanya itu, dan supaya mereka juga dapat mengkritiknya. Untuk pelajar atau mahasiswa, kebebasan akademik meliputi hak untuk memperoleh pengajaran yang jujur, hak untuk membuat kesimpulan

sendiri berdasarkan penelitiannya, hak untuk mendengar dan mengemukakan pendapat, dan hak untuk secara wajar menyuarakan pilihannya tentang bidang studi yang ia minati. Kebebasan akademik yang didukung oleh segenap pengajar dan pelajar, dosen dan mahasiswa sebagai anggota masyarakat ilmiah (civitas academia) dalam lingkungan perguruan tinggi, melahirkan kemestian adanya suasana perguruan tinggi atau universitas yang juga bebas dan otonom, dengan hak sepenuhnya untuk mengurus dan mengatur dirinya sendiri.

Otonomi penuh perguruan tinggi mutlak diperlukan, sebagaiconditio sine qua non untuk dukungan institusional bagi kebebasan akademik yang diperlukan itu. Pembatasan yang bernilai positif bagi kebebasan akademik dan otonomi perguruan tinggi harus diserahkan sebagai semata-mata hasil

dinamika interaksi positif dan jujur wacana bebas dalam masyarakat luas, atas dasar kebebasan-kebebasan sipil yang sepenuhnya dijunjung tinggi bersama.

Pembatasan positif terhadap kebebasan akademik itu ada kalanya diperlukan demi kebaikan yang lebih umum dan lebih luas. Seorang anggota staf pengajar maupun seorang mahasiswa tidak dibenarkan mengharapkan suatu kebebasan tanpa batas. Hak untuk menggunakan kebebasan dengan sendirinya mengandung arti kewajiban untuk menggunakan kebebasan itu dengan rasa tanggung jawab. Terkenal sekali kalimat bijak Jaksa Oliver

Wendell Holmes dari Kejaksaan Agung Amerika Serikat, bahwa kebebasan berbicara tidak mengandung arti hak membunyikan tanda bahaya kebakaran palsu dalam sebuah gedung pertunjukkan (freedom of speech does not imply the right to raise a false alarm of fire in a theater). Karena itu seorang anggota staf pengajar tidak dibenarkan merasa berhak menyampaikan pandangannya begitu rupa sehingga menyesatkan mahasiswanya atau koleganya. Kebebasan yang digunakan tanpa tanggung jawab akan menjadi lisensi untuk mengganggu kebebasan orang lain (freedom used without responsibility becomes license to interfere with the freedom of other). Walaupun begitu, masih dimungkinkan mengenali perbedaan gradual dan nisbi kebebasan akademik atau ilmiah pada jenjang-jenjang tingkat pendidikan yang berbeda-beda. Disebabkan oleh usianya yang masih formatif dalam tahun-tahun umur lunak (tender age), para murid sekolah dasar, misalnya, memerlukan bimbingan seorang guru yang lebih terarah

dengan jelas, acapkali harus tegas, sehingga mengimplikasikan suatu bentuk pembatasan terhadap kebebasan si murid. Sebalikya, disebabkan oleh usianya yang lebih matang dan pengalaman engembangan dirinya yang lebih maju, mahasiswa berhak memperoleh otonomi dan kebebasan

akademik yang lebih besar dan luas. Kebebasan akademik dalam pengertian modern sekarang ini harus benar-benar dipelihara dan dilindungi dengan penuh kesungguhan, sebagai warisan berharga pengalaman umat manusia yang telah melewati masa panjang sejarah. Merupakan unsur asasi kehidupan masyarakat demokratis, kebebasan akademik telah dibuktikan di negara-negara maju sebagai batu sudut (corner stone) masyarakat yang sehat secara etis dan moral, dan kreatif dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban.

Hambatan kebebasan akademik untuk mengembangkan kesadaran tanggung jawab moral dan mendukung daya cipta dalam peradaban kemanusiaan itu justru secara ironis dan acapkali tanpa disadari datang dari dalam lingkungan masyarakat akademik sendiri. Yaitu akibat negatif tak tersengaja dari adanya pembidangan dan spesialisasi yang sempit, kaku dan parokial, masing-masing bidang merasa paling benar dan paling penting.

Sebagai kemestian menjawab tuntutan praktis kehidupan modern yang menghendaki keahlian di suatu bidang khusus, perguruan tinggi harus menyelenggarakan agenda pendidikan, pelatihan dan penelitian yang mendukung tumbuhnya keahlian khusus itu setinggi-tingginya, disertai pengaitannya dengan kesempatan kerja profesional lulusannya. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya tentang konsep pendidikan tinggi modern akhirnya disadari akibat buruk spesialisasi yang berlebihan (over specialization), yaitu menyempitnya wawasan kemanusiaan, mengerdilnya kepribadian, dan merosotnya daya kreatifitas. Dalam rangka itu orang pun ingat kembali Thomas Jefferson, penulis Deklarasi Kemerdekaan Amerika, pejuang gigih hak-hak manusia, Tokoh The Bill of Rights dari Amerika itu terkenal dengan pikirannya tentang kebebasan akademik ketika tahun 1819 Universitas Virginia didirikan. Ia bersumpah bahwa perguruan tinggi itu akan dibangun atas dasar “kebebasan akal-budi manusia yang tak mungkin terbatasi” (the illimitable freedom of the human mind).

Dengan istilah Inggris “mind”, yang di sini kita terjemahkan sebagai “akal-budi”, dimaksudkan sesuatu yang lebih tinggi daripada“akal” semata atau “rasio”, “reason”. Akal-budi itu (yang sesunguhnya dalam bahasa Arab cukup dengan kata-kata “aql” saja) mengacu kepada kapasitas kemanusiaan yang membuat manusia jauh mengungguli binatang, yaitu inteleknya.Dengan akal budi atau intelek itu manusia memiliki dalam dirinya kemampuan naluriah untuk meraih sejauh-jauhnya hikmah-kearifan yang lebih tinggi daripada sekedar ilmu pengetahuan. Akal-budi itulah yang dahulu dianugerahkan Tuhan kepada Adam, manusia sempurna dalam alam primordial, sehingga mampu menerima pengajaran dari Tuhan tentang

“nama-nama seluruhnya” (al-asmâ’ kullahâ), dan dengan begitu ia menyandang tugas suci sebagai Khalifah Tuhan di bumi. Dengan akal-budi anugerah Ilahi itu Adam meraih hikmah-kearifan yang lebih tinggi daripada sekedar kemampuan mengumpulkan data dan informasi melalui mata kepala (bashar) yang berhenti hanya pada rasio semata. Dengan akal-budi itu Adam menembus gejala-gejala lahiri keadaan sekelilingnya, dan melalui mata hati (bashîrah) ia mencapai hikmah-kearifan. Bersama isterinya, Adam diizinkan tinggal di Surga dengan anugerah kebebasan menikmati segala yang tersedia di sana menurut kehendak mereka. Walaupun begitu, Tuhan tetap mengikat Adam dan isterinya dengan suatu janji, demi keutuhan kebahagiaan mereka sendiri, bahwa mereka berdua tidak akan mendekati sebuah pohon terlarang, sebagai batas kebebasan mereka. Namun Adam sempat lupa akan janjinya dengan Tuhan itu, dan kelemahannya telah mendorongnya untuk mendekati dan memakan buah pohon terlarang. Akibat pelanggarannya terhadap batas kebebasan itu, Adam terusir dari Surga, dan kehilangan kesucian

kemanusiaan primordialnya yang penuh bahagia. Ia dan isterinya baru terbebaskan dari hidup nestapa terlunta-lunta di dunia, ketika ia bertobat dengan menjalankan Kalimât (ajaran-ajaran) Allah yang disampaikan kepadanya dan kemudian ditaatinya.

Kalimât itulah bentuk mula-mula susunan ajaran Tuhan yang disebut agama, religi (dari rélégaré, mengikat erat) atau dîn (ajaran kepatuhan, dari dâna-yadînu, tunduk patuh). Kalimâtitu, dan dengan begitu juga agama, adalah pengulangan dan penegasan kembali nuktah perjanjian primordial manusia dengan Tuhan, bahwa manusia akan tunduk-patuh kepada-Nya dengan mengakui dan bersaksi bahwa Dia adalah Rabb, Pangeran, the Lord, yang sebenarnya. Karena itu, dalam peristilahan Islam, kecenderungan suci manusia dalam hati nuraninya yang merupakan tempat tersimpannya keinsafan perjanjian primordial dengan Tuhan itu disebut al-fithrah al-jabalîyah(fitrah alamiah), dan agama adalah al-fithrah al-munazzalah (fitrah yang diturunkan, yakni, ajaran yang diwahyukan kepada umat manusia lewat para nabi dan rasul Tuhan).

Umat manusia adalah anak turun Adam (Bani Adam). Karena itu setiap orang menghadapi tantangan menemukan keutuhan primordialnya kembali dengan sedapat-dapatnya menerima dan menaati Kalimât dari Allah yang mewujud nyata dalam agama, satuan ajaran menempuh jalan hidup kebenaran. Setiap orang punya potensi sama untuk menemukan jalan hidup kebenaran itu, asalkan ia memiliki kesediaan keimanan, sebagai wujud kesetiaannya kepada perjanjian ruhani yang dibuatnya dengan Tuhan di zaman primordial. Kalimat yang membentuk satuan ajaran menempuh jalan hidup kebenaran itu bagi kebanyakan pikiran modern yang terkotak-kotak tampak seperti tidak bersangkutan dengan kebutuhan kehidupan praktis dan nyata sehari-hari. Tetapi sesungguhnya justru Kalimât itulah yang berkaitan dengan masalah kebahagiaan sebagai state of mind (sebutlah, pengalaman akal-budi), sejenis kebahagiaan surgawi yang tak terlukiskan, ineffable. Oleh karena itu, demi kebebasan yang akan tetap memelihara integritas kemanusiaan seperti keadaan primordialnya yang bahagia, dunia pendidikan modern mulai menyadari kembali pentingnya satuan-satuan ajaran kemanusiaan atau humaniora. Diantaranya adalah studi peradaban dan kebudayaan, khususnya studi falsafah dan keagamaan. Pendidikan klasik, sepe rti yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam Salaf, sebelum mengenal pembidangan khusus mengikuti jalur spesialisasi yang terlalu jauh sekarang ini, dilaksanakan dalam semangat“menuntut ilmu” sebagai kewajiban setiap pribadi, lelaki maupun perempuan.

Pendidikan klasik atau Salaf tidak diselenggarakan semata-mata atas pertimbangan sekedar melengkapi diri peserta. Belajar-mengajar dengan kecakapan itu merupakan tuntutan zaman yang tidak mungkin dihindari. Tetapi kini semakin disadari adanya keharusan untuk merajut kembali semuanya itu menjadi bagian dari kesatuan kemanusiaan yang utuh, dengan memperkenalkan kembali liberal arts dalam agenda pendidikan. Kecuali jika seorang mahasiswa atau penuntut ilmu dapat mengenyam bentuk pendidikan kemanusiaan Salaf itu, ia potensial akan kehilangan keinsafan tentang makna hidup yang lebih tinggi dan ia akan tergiring untuk mengisi agenda hidupnya hanya untuk memenuhi keperluan dan kepuasan fisik-materialnya semata, tak bedanya dengan hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Seperti diingatkan dalam Al-Qur’ an, Allah menyediakan lingkungan hidup sengsara abadi untuk “jin dan manusia yang punya kalbu namun tidak digunakan untuk memahami, punya mata namun tidak digunakan untuk melihat, dan punya telinga namun tidak digunakan untuk mendengar. Mereka itu seperti hewan ternak (al-an’ âm) bahkan lebih sesat lagi. Mereka adalah orang-orang yang lalai” (Q.S. al-Ar’ âf/7:179).

Sebaliknya, mereka yang sempat merasakan dan meresapi bentuk pendidikan kemanusiaan Salaf atau klasik, kemudian mau dan mampu mengamalkannya dalam kegiatan mereka sebagai anggota masyarakat yang membawa manfaat, mereka akan merasakan kebebasan dalam diri mereka dan dalam lingkungan sesama mereka, sekalipun dalam bentuk kebebasan nisbi. Dikarenakan adanya “kedaulatan kuantita” (the reign of quantity) segi kehidupan lahiri yang menjadi pertanda kebangkrutan zaman serba benda,

menurut Réné Guénon (Abd-u-Wâhid Yahyâ) - seorang pemikir Sufi dari Perancis - orang yang tidak sempat mengenali kembali kemanusiaannya tidak akan dapat merasakan kebebasan dalam dirinya, dan ia akan mengalami pertumbuhan kepribadian yang terfragmentasi, tidak utuh, tidak integral. Keadaan seperti itu tidak memungkinkan bagi yang bersangkutan mengalami kebahagiaan sejati yang merupakan pengalaman akal-budi (state of mind). Hidupnya terkuasai oleh golematau berhala benda hasil kerja tangannya sendiri. Maka batas terjauh yang dapat diperolehnya adalah kepuasan lahiri. Sebagaimana digambarkan dalam firman Tuhan terkutip di atas, ia akan hidup seperti hewan ternak (al-an’ âm) bahkan lebih sesat lagi.

Sebab, kepuasan lahiri itu akan selamanya disertai perasaan salah dan beban dosa yang menyiksa batin, dengan adanya gangguan bisikan suci hati nuraninya yang sebenarnya tidak mau terima dan menghendaki kebahagiaan yang lebih tinggi. Orang yang telah kehilangan integralitas dirinya itu akan kekurangan kemantapan diri, menjadi agresif, bertingkah laku anti sosial dan anti demokrasi. Maka pendidikan untuk demokrasi mencakup keseluruhan agenda pendidikan dalam semangat kebebasan demi peradaban, sebagai pemenuhan perjanjian primordial manusia dengan Tuhan. Yaitu dengan menjalani hidup penuh pasrah secara sukarela dan damai (islâm) kepada-Nya, sehingga tercapailah kedamaian sempurna (salâm) dan keutuhan kalbu, jiwa dan akal-budi (qalb’ un salîm).


Jurnal Universitas Paramadina Vol 1 No. 1, September 2001: 72-78

KEBANGKITAN PENDIDIKAN MORAL DAN ETIKA BISNIS

DI PERGURUAN TINGGI

Faisal Afiff

Tidurlah, pangeran kecilku, tidurlah. Domba-domba danburung-burung Kebun dan padang rumput dan burung-burung, tak bersuara lagi, Anak lebah pun tak mengumbang lagi. Rembulan dengan sinar keperakan, Mengintip dari luar jendela, Tidurlah dalam sinar keperakan; Tidurlah, pangeran kecilku, tidurlah, tidurlah, tidurlah. (“WIEGENLIED”, dari W.A. Mozart/F.W. Gotter; nyanyian Vienna Boys Choir; saduran Actors Unlimited Bandung). ara filosof sejak berabad-abad lalu menyatakan bahwa seorang

anak pada dasarnya adalah sebuah kertas putih yang bersih (tabularasa), dan apakah kelak di kemudian hari ia akan menjadi manusia berguna atau ngelantur sangat tergantung dari pendidikan yang akan

diperolehnya, baik itu pendidikan yang bersifat formal maupun non formal.

Para orang tua pun akan senantiasa berharap bahwa anak-anak mereka suatu saat nanti dapat menjadi orang yang baik dan bijak, bermoral dan bermartabat, seorang kesatria yang punya etika; sehingga melalui syair nyanyian lagu Wiegenlied yang sangat sendu dan penuh kasih sayang itu, diimajinasikanlah pengharapan tersebut dengan memanggil sang anak sebagai pangeran kecilku. Para pakar psikologi berkeyakinan bahwa penanaman (internalisasi) awal nilai-nilai kedisiplinan, moral dan etika yang dilakukan

pada masa balita (0-5 tahun) akan sangat berpengaruh terhadap pembentukan persepsi hati nurani (superego) seseorang tatkala ia beranjak dewasa. Superego tersebut tentunya akan berpengaruh adapsikodinamika individu tentang bagaimana kecenderungannya nanti sewaktu ia akan memaknai hal-hal yang berkaitan dengan pengetahuan, kehidupan dan etika (bisnis) yang diperolehnya saat di bangku kuliah maupun di lapangan pertarungan bisnis yang riil, dimana pemaknaan-pemaknaan seperti itu pada akhirnya akan menuntun lahirnya resultante model-model perilaku bisnis yang kelak akan imunculkannya, baik secara individual maupun berkelompok. Di Indonesia, renungan mengenai moral dan etika bisnis kini mulai bergaung kembali dipergunjingkan para dosen di Perguruan Tinggi, dengan munculnya wacana yang menganggap bahwa salah satu sumber krisis multi dimensional yang kini tengah kita hadapi sesungguhnya terjadi akibat merosotnya pelaksanaan prinsip-prinsip penegakan moral dan etika dalam tatanan sendi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan, khususnya yang menyangkut setting perilaku kalangan pebisnis maniak. Harus diakui secara jujur bahwa kelembagaan pendidikan tinggi sebagai institusi yang melahirkan intelektual-praktisi-profesional, dan sekaligus tenaga akademisi; secara langsung atau tidak langsung turut bertanggungjawab dalam proses terjadinya kemerosotan

tatanan moral dan etika bangsa dewasa ini. M e n g a p a ? Sumber daya manusia (SDM) yang dilahirkan melalui proses pendidikan tinggi di alam kemerdekaan yang sedianya diharapkan menjadi penyangga dan pembaharu terhadap tegaknya tatanan moral dan etika dalam membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,malahan terperosok di arus sesaat untuk ikut-ikutan tergelincir pada pola

perilaku pragmatisme ekonomi (bisnis) semata.

Berjalan seiring dengan warna zaman yang memang menonjolkan keangkuhan dan keyakinan pemikiran tentang paradigma muluk mengenai adanya mimpi perihal pertumbuhan ekonomi (bisnis) yang akan menetes ke bawah dengan sendirinya (trickle down effect) sebagai satu-satunya pilihan kita agar mampu lolos dari belitan kemiskinan. Akibatnya, moral (sosial/agama) dan etika tidak lagi dikembangkan sebagai way of life generasi saat itu (Orde Baru), namun lebih merupakan slogan dan retorika politik semata dalam

rangka merangkul maupun menyi ngkirkan lawan-lawan politik atau kemasan bagi ideologi politik yang tengah dianutnya. Munculnya perilaku fiksasi maupun regresi bangsa kita dalam proses perkembangan pemahaman moral (sosial/agama) dan etika seperti ini semakin terlihat dengan hadirnya ketidakmampuan insan Perguruan Tinggi dalam mengurai suatu sistem berfikir yang taat azas antara agama (yang dipenuhi kandungan pesan-pesan moralita dan etika) dengan ilmu pengetahuan (yang dipenuhi kandungan pesan-pesan menganalisis dan memecahkan beragam permasalahan kehidupan); berupa munculnya rakitan-rakitan sintesa pemikiran antara kaidah-kaidah moralita dan etika dengan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan, yang seringkali terasa rancu dan terlalu dipaksakan. Misalnya saja kita akan menjumpai fenomena menarik tatkala menyaksikan usaha-usaha penyampaian pesan keilmuan dan

pesan keagamaan, melalui model perilaku pergantian peran (role playing), dimana seorang dosen atau pendidik yang ilmuwan berperan sebagai ulama yang mencari pembenaran atas disiplin keilmuannya

melalui dalil-dalil keagamaan; sebaliknya, ada pula ulama yang menjadi ilmuwan yang mencoba menalarkan agama dengan dalil-dalil keilmuan untuk pembenaran agamanya sekaligus untuk mengubah citra tradisional ke citra modern dari status keulamaannya. Disamping itu, terdapat pula ilmuwan sekuler yang kurang peduli dengan kaidah moral dan etika dalam menyampaikan disiplin ilmu mereka; serta ada pula dosen agama yang kurang peduli dengan perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri.

Dari fenomena tersebut terlihat adanya nuansa kesenjangan antara pemahaman moral (sosial/ agama) dan etika dengan pemahaman disiplin ilmu pengetahuan yang ditekuninya. Kesenjangan lain berangkat

dari adanya perbedaan kultural antara asal muasal pengetahuan yang diajarkan yang sebagian besar bersetting Barat (yang tentunya memiliki kandungan moralita dan etika yang khas mereka dan bersifat individualis-globalis) yang bertolak belakang dengan nuansa sosial tempat pengajarannya yang bersetting Indonesia (ke-Timur-an) dengan kandungan moralita dan etika yang khas kita dimana oleh sementara

kalangan dianggap masih bersifat lokalis-komunalis. Kesenjangan-kesenjangan seperti ini nampaknya melahirkan berbagai kegagalan kita dalam menciptakan sistem, kurikulum dan metodologi pendidikan moral dan etika yang terintegrasi, konsisten dan terpadu dengan disiplin ilmu pengetahuan yang hendak diajarkan, yang mencakup hampir di setiap jenis dan strata pendidikan formal, khususnya di dunia Perguruan Tinggi, dimana sebahagian besar lulusannya akan terserap di sektor bisnis dan sebahagian lagi terserap di sektor publik. Dampak yang muncul kemudian hari adalah retaknya kepribadian (split of personality) kolektif dari para alumni hasil pendidikan tinggi ini yang memunculkan kecenderungan perilaku yang bercirikan inkonsistensi antar nilai baik pada tahapan ideal-self maupun real-self nya, berupa

lahirnya pola-pola kinerja bisnis yang egosentrik, manipulatif, monopolistik, kolutif, dan paranoid. Menyaksikan warna zaman yang seperti ini tentunya sangatlah menyedihkan dan menyakitkan. Semoga saja dengan bangkitnya semangat nasionalisme kita semua untuk kembali memikirkan program internalisasi nilai-nilai moralita dan etika yang sanggup menjadi bingkai persepsi bagi para pebisnis agar mampu memilah-milahkan mana perilaku bisnis yang benar dan salah, mana yang baik dan buruk, mana

yang sportif dan bertanggungjawab, mana yang curang dan serampangan. Menurut kajian penulis, untuk masa mendatang ini akan terdapat beberapa isu penting yang berkaitan erat dengan dimensi moralita dan

etika bisnis, seperti lingkungan hidup, keselamatan konsumen, kesehatan dan keselamatan pekerja, kerahasiaan informasi, dan kepentingan pemilik perusahaan; mendampingi beberapa isu moralita dan etika yang sudah menjadi klasik, seperti buruh anak-anak, diskriminasi gender, kesenjangan upah dan gaji, pengingkaran hak cuti, PHK, jaminan hari tua, danobjektifitas penilaian prestasi kerja. Bila demikian, mengapakah dimensi moralita dan etika bisnis ini semakin hari menjadi sedemikian pentingnya?

Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan di sini, antara lain: bahwa pada umumnya ada kelaziman masyarakat yang sudah maju untuk cenderung menuntut para pebisnisnya agar mampu bertindak etis; untuk menghindari kerugian kelompok kepentingan dalam masyarakat seperti pelanggan, perantara, pemasok, kreditor, pesaing, pemerintah dan public yang kesemuanya adalah merupakan pemerhati eksternal; untuk melindungi perusahaan dari perilaku pebisnis yang tidak etis, baik dari dalam maupun dari luar; untuk melindungi masyarakat yang akan bekerja di sektor bisnis dari ancaman lingkungan kerja yang tidak adil, produk yang berbahaya, pemalsuan laporan akuntansi, ventilasi yang tidak segar atau sumpeknya ruangan kerja; untuk memberikan kontribusi pada ketenangan, keamanan dan kenyamanan psikologis bagi para pebisnis agar mampu berkiprah melakukan tindakan bisnis yang konsisten sesuai

dengan norma-norma yang b erlaku . Selanjutnya kita pun akan dapat menyaksikan pula munculnya

beberapa kasus lain yang melahirkan problematik moralita dan etika bisnis, seperti adanya kepentingan pribadi yang berlawanan dengan kepentingan orang lain yang lahir dari mentalitas pebisnis yang egoistis;

hadirnya tekanan persaingan dalam meraih keuntungan yang melahirkan konflik perusahaan dengan pesaingnya yang disebabkan oleh mentalitas pebisnis yang kerdil; munculnya pertentangan antara tujuan perusahaan dengan nilai-nilai pribadi yang kemudian melahirkan pertentangan antara kepentingan bos dengan bawahannya akibat adanya mentalitas pebisnis yang otoriter; terjadinya tension lintas budaya yang diakibatkan oleh tidak sejalannya kepentingan bisnis dengan nilai-nilai tradisi dan budaya

setempat dikarenakan masih melekatnya mentalitas pebisnis yang etnosentris. Dari sisi yang lain, kasus-kasus problematik moralita dan etika bisnis dapat pula muncul sebagai akibat adanya praktik-praktik dan

perilaku bisnis yang ilegal yang meminta korban yang tiddi pihak konsumen; seperti misalnya kejahatan yang melibatkan para karyawan, kejahatan terhadap perusahaan lain, kejahatan terhadap negara, juga kejahatan terhadap para pemerhati maupun masyarakat umumnya.

Sekali lagi, menyaksikan betapa sedemikian parahnya standard norm moralita dan etika yang berlaku di kalangan pebisnis kita ini, yang sebahagian besar diantaranya pernah memperoleh kesempatan emas

menempuh jalur pendidikan tinggi; maka mudah-mudahan belumlah terlambat jika seluruh jajaran Perguruan Tinggi di Indonesia terinspirasikan untuk bangkit kembali menata kurikulum (silabus, komposisi dan muatan) yang dianggap lebih mampu mencetak insane akademis yang kecerdasan intelektualnya setara dengan kepekaan nuraninya. Sebagai bahan renungan bersama, 2 tahun lalu penulis pernah melakukan survei dengan tema “Relativisme Etika pada Mahasiswa” dengan responden 2000 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Bandung dan di Jakarta. Dari salah satu temuan survei, terungkap gambaran bahwa sebagian besar mahasiswa tersebut belum memiliki kemampuan dalam melakukan penalaran terhadap problematik moral dan etika pada tataran yang abstrak dan kompleks, berbeda jika mereka dihadapkan kepada problematik moral dan etika yang hanya memerlukan standar moral yang konkrit dan sederhana. Dengan meminjam pendekatan Kholberg, kategori kemampuan penalaran mereka kurang lebih berkisar di tingkat pra-konvensional dan konvensional. Menghadapi tantangan dan problematik moral dan etika di masa mendatang, kondisi ini tentu sangat memprihatinkan kita semua sebagai tenaga pendidik.

Tentunya kita sama sekali tidak berharap jika kelak di kemudian hari anak-anak kita seusai menempuh pendidikan tinggi malahan berubah menjadi “monster” yang berbisnis sambil menghisap darah masyarakatnya sendiri dengan penuh tawa dan canda, tanpa ada segenggam rasa dosa di lubuk hatinya … !ak kecil nilainya

DAFTAR PUSTAKA

Afiff, Faisal. 1999. Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Jakarta:

Universitas ParamadinaMulya.

Beekun, Rafik Issa. 1997. “Islamic Business Ethics”. The International Institute of

Islamic Thought, Human Development. Series No. 2.

Beauchamp, Tom L.; Norman E. Bowie. 1997. Ethical Theory and Business. 5 th ed.

New York: Prentice Hall.

Dahlan, M. Alwi. 1998. Memahami Globalisasi: tantangan Perguruan Tinggi Abad

21. Bogor: Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman

Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP-7) Pusat.

De Pelsmacker, P., & M. Jegers. 1997. Management voor een Levenskunstenaar.

Garant Leuven-Apeldoorn.

Frederick, William C., James E. Post, and Keith Davis. 1992. Business and

Society: corporate strategy, public policy, ethics. 2 nd ed. New York:

McGraw-Hill.

Halloran, Hary R, Lawrence S. Bole. 1997. “Toward a Viable Global Ethos”. World

Business Academy, Perspectives on Business and Global Change, Vol.

11, No. 1, March 1997.

Katanegara, Mulyadhi. 2000. “Filsafat Islam dan Isyu-isyu Kontemporer”. Materi

Kuliah Falsafah di Universitas ParamadinaMulya Tahun Akademik

1999/2000. Jakarta: Universitas ParamadinaMulya.

Keraf, Sonny. 1998. Etika Bisnis: tuntutan dan relevansinya. Jakarta: Kanisius.

Moller, Kim. 1997. “Social Responsibility as Corporate Strategy”. World Business

Academy, Perspectives on Business and Global Change, Vol. 11, No. 1,

March 1997.

Poedjawinata, I.R. 1982. Etika, Filsafat Tingkah Laku. Jakarta: Bina Aksara.

Porter, Lyman W. and McKibbin, Lawrence E. 1988. Management Education and

Development. New York: McGraw-Hill.

Suryasumantri, Jujun S. 1981. Ilmu dalam Perspektif: sebuah kumpulan karangan

tentang hakekat ilmu. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan LEKNAS-LIPI.

Wilson, Rodney. 1988. Bisnis Menurut Islam: teori dan praktik. Jakarta: PT.

Intermassa.


DARI TEODOLIT KE SATELIT:

REORIENTASI BIDANG PEMETAAN

Irawan Sumarto

Jurusan Teknik Geodesi, Institut Teknologi Bandung

Jl. Ganesha 10, Bandung 40132

e-mail : irawan@gd.itb.ac.id

ABSTRAK

Perkembangan teknologi di bidang pemetaan menyebabkan peran

informasi kebumian menjadi lebih ber"fungsi". Karakteristik peta yang

statis dan pasif telah berubah menjadi pusat basisdata spasial dari

informasi kebumian yang lebih dinamis dan aktif. Perubahan tersebut

menyebabkan pergeseran paradigma dalam bidang pendidikan survei dan

pemetaan. AFTA 2003 akan menyandarkan kemampuan seseorang

kepada sertifikasi kemampuan (kompetensi) yang dipunyainya. Disisi

lainya, desentralisasi sistem pemerintahan akan meningkatkan kebutuhan

masyarakat akan profesi Surveyor dan Pemeta.

I.

PENDAHULUAN

Perkembangan teknologi di bidang elektronika komputer sudah sangat meningkat pada

akhir millenium kedua yang lewat. Dampak dari perkembangan tersebut menyentuh

hampir ke segala sektor kehidupan, demikian juga halnya dengan disiplin bidang Surva

dan Pemetaan (Surta) yang merupakan bidang informasi kebumian. Akibat

perkembangan teknologi tersebut, Global Positioning System (GPS), Remote Sensing (RS)

dan Geographic Information System (GIS) atau teknologi "S3" (Murai, 1998) telah

mendominasi tahapan proses ekstraksi dan analisis informasi kebumian. Lebih jauh

lagi, aspek analisis basisdata spasial yang tercermin pada teknologi GIS akan lebih

berperan dibandingkan proses konvensional penyajian data. Karakteristik peta yang

pasif deskriptif akan lebih berkembang menjadi dinamis analisis sehingga menjadikan

fungsi peta lebih variatif. Sifat variatif tersebut mengakibatkan semakin luasnya bidang

aplikasi dari peta muka-bumi.

Dengan sendirinya peranan profesi Surta harus mengembangkan dirinya dengan

mencakup aspek analisi basisdata spasial. Demikian juga dengan pendidikan bidang

pemetaan harus menyesuaikan perkembangan tersebut dengan memodifikasi

kurikulum yang berjalan. Reorientasi bidang pendidikan Surta serta reposisi peran

profesi Surta harus dilakukan untuk mengantisipasi perkembangan teknologi,

pemberlakuan sistem pasar bebas dunia dan pemerintahan otonomi didaerah.

Sistem pendidikan di Indonesia, seperti yang telah diketahui, menganut jalur akademik

dan profesional. Dengan strata pendidikan yang berlainan. Disisi lain, jalur profesi

menuntut tingkat kemampuan (kompetensi) dari seseorang yang merupakan kombinasi

kedua jalur tersebut. Jalur profesi akan sangat berperan dengan diberlakukannya

pasar bebas Asia (AFTA) 2003. Jalur dan strata pendidikan mana yang diambil

tentunya terpulang pada masing-masing peminat serta pasar kerja yang diminatinya.

II. PERKEMBANGAN TEKNOLOGI

Perkembangan teknologi Geomatika dapat dikatakan dimotori oleh berkembangnya

teknologi S3. Briggs (1999) menjelaskan lebih lanjut pengertian dan cakupan tentang

huruf "S" dalam kata GIS, yaitu Sistem, Sains dan Studi. Sistem adalah teknologi

mengenai pengambilan dan pengelolaan data spasial yang identik dengan S3 dari Murai


JURNAL SURVEYING DAN GEODESI , Vol.X, No.3, September 2000 hal. 49

(1998) yaitu GPS, RS, dan GIS. Sains adalah pengertian menyeluruh mengenai konsep

penyajian spasial data dan Studi mencakup pengertian tentang hukum, sosial-budaya

dan etika yang berkaitan dengan implementasi dari Sains dan Sistem.

Perkembangan tersebut mulai menggeser teknologi konvensional dengan teodolit dan

beralih ke teknologi digital satelit (GPS dan RS). Pengukuran konvensional sudut dan

jarak dengan teodolit sudah mulai ditinggalkan dan digantikan dengan peralatan GPS

yang lebih mudah dioperasikan. Pengukuran detil situasi akan lebih mudah

dilaksanakan dengan citra satelit yang mempunyai resolusi sampai dibawah satu meter.

Pemetaan analog diatas media cetak sudah ditinggalkan dan beralih dalam media digital

komputer. Perkembangan tersebut akan mempercepat proses ekstraksi dan penyajian

informasi kebumian.

Salah satu dampaknya adalah berubahnya format peta dari visual analog menjadi

numerik digital, sehingga membuat peta menjadi lebih luwes dari segi pemeliharaan

dan pengelolaannya. Peta digital sebagai sarana untuk merepresentasikan informasi

kebumian akan lebih dikenal dengan istilah basisdata kebumian karena peta tersebut

menjadi lebih dinamis dan aktif. Oleh karenanya keberadaan dan peran peta yang

terhimpun dalam suatu managemen pengelolaan basisdata yang lebih dikenal dengan

Sistem Informasi Geografis (SIG) semakin terasa. Berbagai piranti lunak untuk

pengelolaan, penyimpanan dan manipulasi peta digital marak bermunculan.

Sayangnya, variasi struktur/format dat penyimpanan peta digital makin menambah

keruwetan masalah. Komunikasi antar berbagai sistem dan software tidak berlangsung

mudah seperti yang diharapkan.

Keluwesan peta digital menyebabkan ''fungsi peta'' menjadi lebih dinamis. Sifat statis

dan pasif yang dipresentasikan dalam bentuk peta dan diagram selama ini telah

berubah menjadi peran yang lebih aktif dengan pemodelan yang dinamis. Sifat

deskriptif dari peta akan menjadi lebih variatif. Fungsi peta akan mampu menjawab

pertanyaan "Apa-dimana" dan "Apa-disana" (Sumarto, 1999a).

III. PARADIGMA BARU BIDANG PEMETAAN

Beberapa jenis aplikasi dari informasi kebumian sering sekali tidak memerlukan

ketelitian geometrik yang ketat. Bahkan mereka para pemakai peta tidak memerlukan

seluruh tahapan pemetaan yang secara konvensional selalu ditaati oleh Surveyor

selama ini. Bagi mereka, kelengkapan informasi (completeness) semantik kebumian

lebih diutamakan keperluannya dibandingkan dengan tingkat ketelitian lokasinya.

Kenyataan tersebut bertolak belakang dengan kelaziman yang selama ini selalu

dibanggakan oleh seorang surveyor yaitu ketelitian geometrik selalu diutamakan

(Molenaar, 1999). Kecepatan perolehan informasi kebumian atau peta sekarang ini,

terutama dalam persiapan pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat ke

pemerintah kota/kabupaten, akan lebih diutamakan.

Dengan demikian disiplin Survei dan Pemetaan (Surveyor) harus introspeksi dan

mereposisikan dirinya kembali. Secara umum, pengertian bidang teknik Survei dan

Pemetaan pada saat ini adalah bidang keilmuan untuk menentukan bentuk, ukuran

dan posisi di bumi dan merepresentasikannya dalam bentuk peta. Wawasan

keilmuannya sudah harus meluas dengan mencakup pengelolaan basisdata kebumian

dari yang tadinya hanya Survei dan Pemetaan saja. Sehingga profesi Surta sudah harus

menambah pengertiannya dengan lebih mengkonsentrasikannya kearah bidang

penyajian, manipulasi, penyimpanan dan analisis informasi mengenai kebumian atau

Geo-Informatika (Geomatika).

Analisis informasi kebumian merupakan bidang yang multi-disiplin. Semua sektor

teknis bidang pemerintahan akan memerlukan informasi kebumian tersebut. Ahli


______________________________________________________________________________________

JURNAL SURVEYING DAN GEODESI , Vol.X, No.3, September 2000 hal.

50

pemetaan sebagai seorang Geographic Information Specialist yang mendalami seluruh

proses ekstraksi dan penyajian informais kebumian sudah seharusnya mengembangkan

dirinya menjadi GeoSpatial Information Manager dan memposisikan dirinya sebagai Data

Manager dari informasi kebumian. Hal ini merupakan suatu bidang kajian yang

wilayahnya lebih luas dan multi dimensional dibandingkan peran dan fungsi seorang

ahli Surta seperti halnya pada era sebelum berkembangnya teknologi elektronika. Para

ahli Surta harus membekali dirinya dengan bidang kajian baru yang terkait seperti

misalnya pemahaman mengenai spasial basisdata, teknologi komputer dan jaringannya

serta information technology (IT) serta aspek perencanaan wilayah dan kelautan.

IV. PERKEMBANGAN PASAR KERJA

Sampai saat ini belum ada data yang menginformasikan dengan pasti jumlah SDM

bidang Surta yang masing-masing bekerja di bidang industri jasa, birokrasi atau PNS

dan pendidikan, penelitian. Jumlah sarjana bidang Surta, misalnya Geodesi berkisar

2200 orang, Juru ukur tingkat D-1 berkisar pada angka 2000. Kesan yang tampak,

sebagian besar berada pada sektor pemerintah atau sebagai PNS, karena disektor

swasta hanya berkisar 300 orang (Sutarman, 2000). Kebutuhan tenaga pemetaan saat

ini masih mengharuskan SDM pelaksana pekerjaan tersebut mempunyai latar belakang

keilmuan dengan gelar yang sesuai dan dinyatakan oleh ijazah pendidikan akademik

yang dipunyainya.

Paradigma ini akan bergeser sejalan dengan diberlakukannya era perdagangan bebas

pada tahun 2003. Pada saat itu, tingkat kemampuan (kompetensi) seseorang akan lebih

diutamakan. Tingkat keilmuan yang dinyatakan dengan gelar akademik yang

disandangnya tidak akan berpengaruh apabila yang bersangkutan tidak mempunyai

tingkat kemampuan yang memadai sesuai dengan tugas yang diembannya. Penilaian

seseorang berdasarkan pada tingkat kemampuan ini akan lebih dikenal pada jalur

profesi.

Jalur profesi merupakan "komponen pelengkap" dari dua jalur terdahulu yaitu

akademik dan profesional. Jalur profesi lebih mengutamakan bekal kemampuan

seseorang dibandingkan dengan bekal keilmuan dari jalur akademik dan bekal keahlian

dari jalur profesional. Tingkat dan jenis kemampuan tersebut tentunya sangat dinamis

tergantung perkembangan pasar kerja dan jenis pekerjaan yang dilakukan dalam kurun

waktu tertentu. Pada jalur profesi, dukungan dan sumbang saran pemikiran para

praktisi yang tergabung dalam asosiasi profesi sangat dominan untuk bisa

memformulasikan tingkat kemampuan yang diharapkan sesuai dengan kebutuhan

praktis dilapangan dalam skala nasional dan internasional. Standarisasi tingkat

kemampuan dengan sertifikasi kemampuan yang bernuansa Internasional sudah harus

diterapkan secepatnya. Peningkatan kemampuan profesi melalui acara seperti:

"penyegaran", kursus singkat secara berkala dan berjenjang harus mulai diterapkan

untuk mengantisipasi perkembangan teknologi dan menyongsong diberlakukannya

pasar bebas tahun 2003. Departemen Pendidikan Nasional tidak mempunyai

kewenangan dalam mengatur bidang profesi ini, melainkan sepenuhnya kewenangan

asosiasi profesi terkait, seperti misalnya Dewan Geomatika Indonesia (DGI)

V. SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

Sistem pendidikan nasional sesuai dengan PP-60/1999, mengatur pendidikan untuk

jalur akademik dan jalur profesional. Jalur akademik adalah bidang pendidikan yang

memberikan bekal keilmuan dan ditempuh melalui jenjang pendidikan S-1, S-2 dan S-3.

Berbeda dengan jalur akademik, jalur profesional memberikan bekal keahlian yang

ditempuh melalui bidang kejuruan yaitu dimulai dari jenjang D-3, Sp-1 dan Sp-2.

Melihat tujuan pembekalan yang berbeda yaitu keilmuan dan keahlian, tentunya materi

dan bobot kurikulum yang diberikan pada masing-masing jalur pendidikan akan


______________________________________________________________________________________

JURNAL SURVEYING DAN GEODESI , Vol.X, No.3, September 2000 hal.

51

berbeda. Pada saat ini masih memungkinkan bagi seseorang untuk menempuh

pendidikan secara silang dengan berpindah jalur pendidikan. Kurikulum bidang

Geodesi pun harus menyesesuaikan diri dengan perubahan paradigma yang lebih

memperluas wawasannya dari seorang specialist menjadi seorang manager dari

informasi kebumian

Pemilihan "Jalur" yang sesuai untuk mensosialisasikan kajian mengenai SIG tentunya

harus disesuaikan dengan minat seseorang dan prioritas kepentingan mengenai

kebutuhan tenaga SDM. International Standard Organisation (ISO) seperti diuraikan

dalam Rais (1999) mengelompokan SDM-SIG dalam tiga jenjang utama yaitu dengan

sebutan manager, engineer/scientist dan technician. Oleh karenanya kerjasama antara

perguruan tinggi dan asosiasi profesi untuk mensosialisasikan kurikulum, kompetensi

serta kualifikasi harus lebih ditingkatkan lagi.

Desentralisasi sistem pemerintahan akan mendekonsentrasikan SDM dari pemerintah

pusat ke pemerintah daerah. Jumlah pemerintah kabupaten/kota di Indonesia saat ini

mencapai lebih dari 350 buah dengan jumlah desa yang mencapai sekitar 66.000 buah.

Belum semua daerah mempunyai peta topografi maupun peta tematik yang

mengvisualisasikan situasi daerah dan potensi sumberdaya alamnya dengan lengkap.

Jargon lama yang berfilosofis sentralistik "membangun daerah" sudah berubah menjadi

jargon baru yang bernuansa kedaerahan yaitu "daerah membangun". Konsekwensi

logis dari perubahan ini menyebabkan meningkatnya kesadaran akan pentingnya

informasi kebumian atau peta. Oleh karenanya jumlah kebutuhan akan profesi

Surveyor dan Pemeta (Geospatial information manager dan specialist/scientist) akan

meningkat dengan tajam dalam waktu 10 tahun kedepan. Dengan asumsi sepuluh

desa akan dikelola oleh seorang Surveyor dan seorang Pemeta, hal ini akan

membutuhkan sejumlah 13200 orang. Suatu jumlah yang cukup besar dan perlu

dipersiapkan dalam waktu dekat ini.

Prediksi kebutuhan SDM bidang ini masih belum dapat ditentukan secara akurat.

Bakosurtanal beserta beberapa instansi terkait sudah membentuk kelompok kerja yang

dinamakan SIGNAS (Sistem Informasi Geografi Nasional) yang intinya menuju kepada

terwujudnya suatu National Spasial Database Infrastructure (NSDI) yang terintegrasi

dengan baik. Rakornas mereka yang terakhir (SIGNAS, 2000) merekomendasikan suatu

inventarisasi dan identifikasi SDM serta pendidikan bidang SIG untuk mencapai

terwujudnya NSDI dikaitkan dengan pelaksanaan kebijaksanaan UU No. 22 tahun 1999

mengenai Otonomi Pemerintahan Daerah. Mengingat UU tersebut akan memberikan

wewenang pemetaan kepada masing-masing daerah sehingga tampaknya kebutuhan

akan ahli Geomatika masih cukup banyak.

Pendidikan formal bidang Geomatika sudah cukup banyak tersebar, walaupun sebagian

besar masih berlokasi di Pulau Jawa. Dengan diberlakukannya sistem pemerintahan

desentralisasi dimana otonomi berada di daerah tingkat II, kebutuhan akan ahli

Geomatika cukup besar mengingat peta topografi sebagai dasar perencanaan

pembangunan daerah belum seluruhnya tersedia. Beberapa perguruan tinggi

pemerintah seperti UI, IPB, ITB, UGM, dan ITS bahkan sudah mempunyai pendidikan

formal sampai dengan tingkat S-2 (Sumarto dkk, 1999b). Kurikulum pendidikan formal

di ITB sudah dimodifikasi sejak tahun 1993 untuk mengantisipasi perkembangan

teknologi pemetaan.

VI. PENUTUP

Luasnya fungsi dan manfaat dari informasi kebumian untuk segala sektor kehidupan,

menyebabkan kebutuhan terhadap informasi kebumian akan semakin meningkat.

Informasi kebumian akan menjadi suatu komoditi yang stragetis dan menjadi andalan.

Sektor swasta secara lambat dan pasti akan mengambil alih peran pemerintah dalam


______________________________________________________________________________________

JURNAL SURVEYING DAN GEODESI , Vol.X, No.3, September 2000 hal.

52

hal proses ekstraksi dan sebagai penguasa informasi kebumian. Komoditi informasi

kebumian akan menjadi milik swasta. Mereka menjadi penggerak dan penguasa

komoditi tersebut. Pemerintah hanya akan menjadi pemakai dan pengguna komoditi

tersebut (Briggs, 1999).

Secara ringkas beberapa masalah utama dapat disimpulkan sebagai berikut:

• Karakteristik peta digital tidak lagi statis, pasif dan deskriptif tetapi akan lebih

dinamis dan aktif dengan pemodelan yang variatif.

• Fungsi peta akan lebih menjadi pusat basisdata spasial dari informasi kebumian.

• Ahli Surta harus me-re-orientasikan dan me-re-posisikan dirinya menjadi

GeoSpasial Information Scientist yang berperan sebagai Data Manager dari informasi

kebumian.

• Informasi kebumian merupakan aset berharga dan komoditi strategis.

• Kurikulum pendidikan bidang Surta harus mengantisipasi kemajuan teknologi dan

standardisasi kompetensi yang bernuansa Internasional.

• Kurikulum pendidikan tinggi harus menyesuaikan dengan reorientasi dan reposisi

bidang Geodesi menjadi Geomatika.

• Asosiasi profesi harus lebih aktif untuk mensosialisasikan sertifikasi kompetensi

dengan standar Internasional.

• Kebutuhan SDM bidang Surta akan meningkat tajam dalam dekade awal ini.

DAFTAR PUSTAKA

Briggs, Ron, (1999), An Introduction To GIS, http://www.bruton.utdallas.edu

~briggs/poec 6381/.lecture,

Molenaar, Martien (1999), Challenges Are in the Semantic Domain, GIM International,

Vol. 13, No. 9.

Murai, Sunji (1998) Lecture Notes; Caravan Workshop on GIS, RS and GPS data

Utilization, Bandung 16-22 Agustus.

Rais, Jacub. (1999). "Pengembangan Sumberdaya Manusia Geomatika". Prosiding Rakor

SIGNAS IV, Jakarta 8-9 Maret 1999.

SIGNAS, (2000), Kesimpulan Rakornas SIG V, Jakarta 23 Pebruari 2000.

Sumarto, Irawan (1999a), Reposisi Geodesi menuju Paradigma baru Dalam Proses

Pengolahan Informasi Kebumian, Makalah Disampaikan pada Panel Diskusi

Teknologi dan Pemanfaatan Inderaja untuk Pengelolaan Lingkungan, Lapan,

Pekayon, September.

Sumarto, I, Dimyati, M; Hartono, Dewanti, R (1999b), Geomatics Education and Training

in Indonesia, Makalah disampaikan pada Asia-Pasific Surveyor Congress, Perth

Australia, November 1999.

------------, (1999), Peraturan Pemerintah R.I No 60 tahun 1999 Tentang Pendidikan

Tinggi, Dirjen DikTi, DepDikBud.


WU no.41 TH V MARET 1998 Pendidikan masa kini menghasilkan sikap kontras yang berbahaya

Pendidikan masa kini menghasilkan

sikap kontras yang berbahaya

oleh : Sugata Pikatan

(pemerhati pendidikan)

Dalam masyarakat kita dewasa ini disadari langsung atau tidak telah berkembang

suatu sikap yang amat berbahaya dalam perjalanan berbangsa dan bernegara. Orang den-gan

mudahnya menyergah dengan kalimat : "Ah itu kan hanya teori, prakteknya kan tidak

demikian". Padahal tidakkah teori disusun berdasarkan praktek eksperimental? Penga-matan

serupa sampai pula pada pelecehan terhadap hukum, aturan, yang secara sinis di-anggap

tidak applicable dalam kenyataannya. Padahal bukankah hukum dibuat untuk dit-erapkan

dalam keseharian hidup kita? "Keanehan" ini bahkan merasuki dunia rohani dan

moralitas, yakni sikap munafik, hipokritik, pura-pura tak bersalah, sudah menjamur di

berbagai lapisan masyarakat kita.

Adakah sesuatu yang keliru dari hasil pengamatan ini? Jika kita mau peduli se-jenak,

akan kita temui hal yang lebih mengejutkan lagi, yakni bahwa pendidikan kita

masa kini ikut memberikan kontribusi yang tidak kecil terhadap menguatnya sikap seperti

itu. Mari kita diskusikan hal ini secara lebih rinci.

Konflik

Sudah sering kita dengar bahwa siswa-siswa SD tidak bebas lagi memberi jawa-ban

yang berbeda dengan buku kunci yang dipegang gurunya. Pengertian berbekal pada

pengamatan serta merta digantikan oleh hafalan yang berdasarkan "petunjuk" guru.

Murid yang kritispun akhirnya jadi korban.

Sebenarnya adalah hal yang wajar dalam proses belajar, jika seseorang memper-tanyakan

apakah itu adalah satu-satunya jawaban yang benar. Menciptakan konflik antara

apa yang didengar dan diajarkan di sekolah dengan pengalamannya sendiri di "luaran"

merupakan kunci keberhasilan pembelajaran itu sendiri. Dari konflik ini si murid akan

belajar menyimpulkan, mengaitkan apa yang dianggap "teoritik" dengan kenyataan di

"luaran". Jika proses semacam ini terus berlanjut maka dia akan memperoleh pemahaman

yang lebih lengkap dan bermanfaat, dan dapatlah kemudian dikatakan bahwa dia betul-betul

sudah belajar.

Sayangnya proses yang memunculkan konflik ini pada umumnya terpaksa harus

mati sebelum berkembang. Siswa tidak memiliki kebebasan berpikir, tidak sempat ber-latih

melihat hubungan antara pelajaran dengan kenyataan. Mereka diteror oleh kemung-kinan

jatuhnya nilai rapor jika meneruskan konflik ini dalam alam pikiran mereka, maka

lebih "baik" dan "aman" jika kemudian mereka mengambil sikap netral. Lain teori, lain

praktek. Keberanian untuk konflik lenyap sudah.

Kontras

Dalam ujian kita turuti saja ajaran guru, walaupun mungkin kita tahu di "luaran"

tidak seperti itu. Sikap ini dapat menerima sekaligus hal-hal yang kontras sekalipun, toh

masing-masing bisa digunakan pada waktu dan tempat yang berbeda. Jelaslah bahwa di

sini telah terjadi pengkhianatan dalam filosofi pembelajaran, dimana "kebenaran" hakiki

sedang dicari dan dibangun. WU no.41 TH V MARET 1998 Pendidikan masa kini menghasilkan sikap kontras yang berbahaya

Lain di sekolah, lain di rumah. Lain di kantor, lain di luaran. Lain di tempat

ibadah, lain di tempat kerja. Budaya kontras sudah jadi kebiasaan, orang menjadi tidak

peka lagi dengan ketaksesuaian, inkonsistensi, dan manipulasi terhadap kebenaran.

Omongan yang tidak cocok dengan tindakan pun kemudian menjadi "dapat dimaklumi".

Bahaya

Bayangkan bila masyarakat kita dipenuhi oleh karakter kontras seperti ini, terma-suk

generasi muda penerus bangsa. Jelaslah bahwa orang yang menganut faham kontras

ini sulit berpikir jernih, karena tidak tahu mana salah mana benar karena keduanya dapat

diterima oleh "akal sehat" mereka. Akhirnya dapat ditebak, bahwa yang benar kemudian

jatuh pada dirinya sendiri.

Dalam situasi seperti itu metode keilmuan yang berpijak pada kebenaran hakiki

akan rontok luluh lantak. Orang jadi sulit mengambil kesimpulan secara sistematik. In-telektual

menjadi barang langka atau punah. Kalau sudah begitu bagaimana kita bisa

mengharap kemajuan? Sungguh berbahaya.

Kampus kita

Pertanyaan yang menggoda, dapatkah kampus kita menjadi agen perubahan yang

mengikis karakter kontras tersebut? Tentu saja, jika kita memang bertekad melakukan-nya,

minimal di lingkungan kampus kita sendiri. Tidak usah muluk-muluk, mulailah den-gan

menghabisi faham kontras dalam bidang akademik. Coba simak contoh-contoh peri-laku

berikut.

Dosen :

- suka gembar-gembor kemajuan iptek, globalisasi, tapi buku acuan masih tahun 70-an,

soal latihan dan ujian ya itu-itu saja.

- suka bicara tentang riset, tapi jarang baca jurnal, enggan melakukan penelitian kecuali

sedang butuh untuk pengumpulan kum.

Mahasiswa :

- suka menuntut kualitas siap pakai, tapi inginnya kuliah santai plus ujiannya mudah, ni-lai

murah, enggan praktikum, plagiat, skripsi diborongkan orang lain.

- suka menuntut hal-hal terapan, tapi mungkinkah itu tanpa melalui fase permodelan jika

tak ingin sama dengan kualitas kursus yang mencetak tukang?

Memang tidak semua dosen dan mahasiswa seperti itu. Selanjutnya terserah pada diri

masing-masing, tergantung apakah anda sekarang sedang dihinggapi sikap kontras ini

atau tidak.


Jurnal pendidikan dan kebudayaan no 25 sep 2000

REFORMASI SISTEM PENDIDIKAN
MENUJU INDONESIA BARU

Oleh :

Azril Azahari *)


*) Dr. Azril Azahari adalah Asisten Direktur Program Pascasarjana Universitas Trisakti

Abstrak: Kebijakan pendidikan, termasuk pendidikan tinggi, diharapkan dapat mengantisipasi keadaan persaingan global yang semakin ketat. Berbagai tantangan yang perlu dihadapi muncul secara kompleks karena pendidikan adalah suatu investasi jangka panjang. Pendidikan tidak mampu menghasilkan dan berdampak seketika (quick yielding/instant). Oleh karena itu, perlu suatu antisipasi masa depan, dan industrialisasi pendidikan tinggi di Indonesia mendapat tempat dan menjadi momentum guna menghadapi era globalisasi. Industrialisasi dalam pendidikan tinggi dapat bermakna suatu proses mengubah dan mengembangkan pendidikan tinggi ke dalam suatu industri. Industrialisasi pendidikan tinggi telah terlaksana dan jauh berkembang di negara industri. Hal itu ditunjukkan antara lain dengan berkembangnya perguruan tinggi swasta sebagai suatu private corporation in perpetuity, memperhatikan kebutuhan pasar kerja (market-driven), diversifikasi sumber pendapatan, maupun managerial philosophy of private corporations. Industrialisasi pendidikan tinggi di Indonesia yang disarankan adalah:

internasionalisasi pendidikan tinggi, pendidikan berdasarkan kebutuhan pasar kerja, pendidikan terpadu, komersialisasi riset, keterampilan terjual, dan program kekhasan.

Kata kunci: era globalisasi, industrialisasi pendidikan tinggi, kebutuhan pasar kerja, diversifikasi sumber pendapatan.

1. Pendahuluan

Untuk menghadapi abad ke-21 dituntut suatu perubahan regulasi yang semula monopoli (monopoly) menjadi persaingan bebas (free competition). Demikian pula, terjadi perubahan pasar, yang pada awalnya berorientasi pada produk (product oriented) beralih pada orientasi pasar (market driven), serta dari proteksi (protection) berpindah menjadi pasar bebas (free market). Untuk itu, perlu antisipasi untuk mendayagunakan waktu yang tersisa ini dengan memperkuat kemampuan bersaing di berbagai bidang terutama di bidang tenaga kerja atau sumber daya manusia baik melalui peningkatan peranan maupun kualitas sumber daya manusia terutama melalui pendidikan.

Untuk mengantisipasi keadaan ini, sudah saatnya dunia pendidikan khususnya pendidikan tinggi mempunyai suatu visi khususnya visi 2020. Apakah kita telah mempunyai visi 2020 tersebut? Tentunya visi 2020 itu harus mengacu pada visi 2020 pembangunan secara keseluruhan. Apakah untuk menghadapi tahun 2020 tersebut kebijakan diarahkan untuk membangun Indonesia menjadi negara industri dengan meninjau dan menyusun kembali (reform) sektor pendidikan?

Kebijakan dalam pendidikan termasuk pendidikan tinggi diharapkan dapat mengantisipasi persaingan global yang semakin ketat, dengan tidak mengabaikan strategi pengembangan pendidikan terpadu dan dilandasi visi pendidikan tinggi yang mampu melihat keberlakuannya untuk masa yang jauh ke depan.

2. Tantangan

Pendidikan adalah suatu investasi jangka panjang. Pendidikan tidak mampu menghasilkan dan berdampak seketika (quick yielding/instant). Untuk itu, kita harus memperhatikan lebih dahulu bagaimana keadaan sumber daya manusianya. Penduduk usia kerja (BPS,1996) yang tidak bersekolah 9,2 persen dan SD ke bawah mempunyai porsi yang terbesar yaitu 69,4 persen, sedangkan diploma hanya mencapai 1,3 persen dan universitas 1,2 persen. Keadaan ini tidak jauh berbeda dengan penduduk usia kerja yang bekerja. Penduduk dewasa yang buta aksara (1990) sekitar 16 persen, sedangkan di beberapa negara Asia seperti Korea Selatan, Thailand, Filipina, Sri Lanka dan Singapura sangat rendah berkisar antara 2 hingga 12 persen. Demikian pula kesempatan belajar di SLTP, SM, dan PT masih tertinggal dari negara lain. Angka partisipasi SLTP, SM dan PT yang kita capai saat ini adalah sama dengan yang telah dicapai oleh Malaysia, Korea Selatan, Singapura, dan Thailand pada 15-20 tahun yang lalu. Menurut UNDP, pada tahun 1994 Human Development Index (HDI) yaitu gabungan antara angka melek huruf, angka harapan hidup, dan pendapatan per kapita penduduk adalah sebesar 0,586 (peringkat 105). Nilai tersebut telah membaik pada tahun 1996 yaitu 0,641 (peringkat 102), namun masih tetap lebih rendah dari Thailand (52), Malaysia (53), dan Filipina (95). Pada tahun 1997 dengan nilai HDI 0,668 Indonesia berada pada peringkat 99. Pada tahun 1993 pembiayaan pendidikan hanya mencapai sekitar 3,5 persen dari GDP, sedangkan rata-rata di negara berkembang sekitar 3,7 persen dan di negara ASEAN 4,3 persen dari GDP. Anggaran Pendidikan Singapura tahun 1995 telah mencapai $ 4 billion, sedangkan Indonesia dengan jumlah penduduk 200 juta lebih tahun 1997/1998 sekitar Rp.3.503,6 milyar (termasuk BLN). Pemerintah Singapura (1995) telah memberikan subsidi kepada setiap mahasiswa untuk tingkat junior college sebesar $ 6.300, tingkat politeknik sebesar $ 7.800 dan universitas sebesar $ 17.200. Indonesia mengalokasikan biaya penelitian sekitar 0,25 persen dari GDP, sedangkan di negara industri baru telah mencapai rata-rata 1,6 persen dari GDP. Demikian pula dari keadaan tenaga kerja (BPS, 1993) tergambarkan bahwa untuk distribusi pekerja laki-laki adalah 33,47 persen (sektor formal) dan 66,53 persen (sektor informal), distribusi buruh/karyawan laki-laki yang berpenghasilan di bawah Rp.200.000,- sebanyak 90,85 persen, tingkat pengangguran terbuka 2,58 persen menjadi 4,9 persen (1996) dan tingkat setengah pengangguran 38,66 persen menjadi 41,5 persen (1996). Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) yaitu perbandingan antara angkatan kerja dengan penduduk usia kerja sejak 1992 bergerak tidak jauh hingga 58,3 persen (1996).

Pendidikan di Indonesia, selama 20 tahun sejak tahun 1968 telah mengalami kemajuan. Kemajuan ini terlihat dengan adanya perubahan suatu indikasi kuantitatif yang disebut angka partisipasi pendidikan yaitu rasio antara jumlah siswa terhadap jumlah penduduk usia sekolah untuk jenjang pendidikan yang bersangkutan. Namun, peningkatan angka partisipasi pendidikan untuk jenjang pendidikan tinggi masih lebih rendah bila dibandingkan dengan negara Philippina, Thailand, Singapura, Malaysia, atau Korea. (Lihat Tabel 1).

Selanjutnya, Arsyad (1990:8-9) mengungkapkan bahwa angkatan kerja yang berpendidikan tamat SD dan lebih rendah, menurun persentasenya dari 88,25 persen dalam tahun 1980 menjadi 78,43 persen pada tahun 1988. Bersamaan dengan ini angkatan kerja yang berpendidikan SLTP dan SLTA meningkat dari 10,92 persen dalam tahun 1980 menjadi 19,71 persen pada tahun 1988. Perkembangan angkatan kerja berpendidikan tinggi nampaknya lebih cepat yaitu dari 0,81 persen pada tahun 1980 menjadi 1,86 persen pada tahun 1988, atau meningkat lebih dari dua kali dalam kurun waktu delapan tahun. Namun demikian, tingkat pendidikan angkatan kerja Indonesia masih rendah, yaitu lebih dari 78 persen berpendidikan tamat SD dan lebih rendah (hampir 16 persen di antaranya atau hampir 12 juta tidak pernah sekolah, dan 27 persen atau lebih dari 20 juta tidak tamat SD pada tahun 1988). Selain itu, angkatan kerja berpendidikan menengah dan tinggi yang mencari kerja meningkat.

Tabel 1
Angka Partisipasi Jenjang Pendidikan Tinggi

Negara

1976/1977

1978/1979

1980/1981

1982/1983

1983/1984

Indonesia

--

2,6

--

4

5,3

Philippina

24

27

25

29

38

Thailand

5

13

20

22

20

Singapura

9

8

11

11

--

Malaysia

3

3

5

--

6

Korea

11

14

18

24

26

Sumber : Balitbang Depdikbud, 1990 (Arsyad, 1990)

Dalam upaya pengembangan sumber daya manusia, peranan pendidikan cukup menonjol. Dari pengalaman beberapa negara menunjukkan bahwa dalam menuju perubahan struktural, dengan meningkatnya pembangunan ekonomi telah terjadi proporsi tenaga kerja di bawah pendidikan dasar yang semakin mengecil, sedangkan proporsi tenaga kerja berpendidikan menengah dan tinggi semakin meningkat. Berbeda dengan negara lain yang mengalami tinggal landas, proporsi yang berpendidikan dasar dan menengah di Korea pada pertengahan tahun 70-an cukup besar yaitu 19 persen tidak berpendidikan, 43 persen berpendidikan dasar, 31 persen berpendidikan menengah dan 7 persen berpendidikan tinggi (Macharany, 1990). Selanjutnya, Yudo Swasono dan Boediono (dalam Macharany, 1990) mengungkapkan bahwa struktur tenaga kerja Indonesia pada tahun 1985 adalah 53 persen tidak berpendidikan, 34 persen berpendidikan dasar, 11 persen berpendidikan menengah dan 2 persen berpendidikan tinggi. Bila kita ingin mencapai tinggal landas seperti Korea, diperkirakan struktur tenaga kerja menurut pendidikan dalam tiga skenario pertumbuhan GDP per kapita, yaitu rendah 6 persen, sedang 7 persen, dan tinggi 8 persen pada tahun 2019.

Tabel 2
Struktur Tenaga Kerja menurut Pendidikan
dalam Tiga Skenario Pertumbuhan GDP per Kapita

Tingkat Pendidikan

Skenario

Pertumbuhan

GDP perkapita

Rendah
(6%)

Sedang
(7%)

Tinggi
(8%)

1. Tidak berpendidikan (%)

15

11

8

2. Berpendidikan dasar (%)

50

52

52

3. Berpendidikan Menengah (%)

30

32

34

4. Berpendidikan Tinggi (%)

5

5

6

Jumlah (%)

100

100

100

Catatan : Pendapatan per kapita dipilih sebagai variabel yang menjelaskan struktur pendidikan tenaga kerja.

Jika dibandingkan dengan kenyataan yang ada, dengan skenario rendah dengan pendapatan per kapita 6 persen, maka untuk mendapatkan keadaan yang sama di Korea pada awal tinggal landas, Indonesia perlu melakukan upaya khusus. Upaya khusus tersebut di antaranya dengan menekan tenaga kerja yang tidak terdidik serta meningkatkan proporsi yang berpendidikan menengah ke atas.

Ada beberapa pokok pikiran yang perlu kita pertimbangkan, yang berasal dari Dewan Persaingan Dunia (World Competitive’s Council) dan beberapa ahli filsafat. MerEka membahas pendidikan mulai dari teknologi sampai dengan seni sastra, dari teknologi tinggi sampai dengan arkeologi. Yang layak dikembangkan sebagai kompetensi dasar pada tiap-tiap jenjang pendidikan, yaitu:

1. kemampuan membaca;

2. kompetensi menulis;

3. kompetensi mendengar, hal ini sulit dilaksanakan karena seringkali orang hanya mendengar suaranya sendiri;

4. menutur, ini adalah satu kata dalam pendidikan mulai dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi yang seringkali agak rancu sekarang ini, sebagian sebagai dampak dari radio swasta;

5. menghitung;

6. mengamati atau melakukan observasi;

7. membayangkan, ini adalah visualisasi daya cipta dalam bidang sastra dan kebudayaan, dan

8. menghayati atau empathy pada orang-orang yang kurang beruntung.

3. Ke mana Arah Manajemen Pendidikan Tinggi Kita?

Industrialisasi dalam pendidikan tinggi dapat bermakna suatu proses mengubah dan mengembangkan pendidikan tinggi ke dalam suatu industri. Industrialisasi pendidikan tinggi telah terlaksana dan jauh berkembang di negara industri. Hal itu ditunjukkan antara lain dengan berkembangnya perguruan tinggi swasta sebagai suatu private corporation in perpetuity, memperhatikan kebutuhan pasar kerja (market-driven), diversifikasi sumber pendapatan, maupun managerial philosophy of private corporations.

Dengan berkembangnya era globalisasi tidak bisa dipungkiri akan munculnya berbagai Multi-National Enterprise (MNE), dan hal itu akan merambah pula pada Multi-National Higher Education Enterprise (MNHEE).

Untuk menghadapi antisipasi berbagai "isu" yang muncul dalam menghadapi abad ke-21 mendatang, sudah pada tempatnya kita mulai memperkirakan beberapa indikator sebagai berikut.

(1) Internasionalisasi Pendidikan Tinggi

Kita tidak bisa menghambat perkembangan dan kemajuan ilmu dan teknologi di negara lain, maupun sebaliknya. Kita bisa memanfaatkan sumber daya ini menjadi suatu pusat perkembangan yang bersifat wilayah untuk pengembangan pendidikan tinggi (Making Indonesia a regional center of higher education?), sebelum didahului oleh negara lain.

Beberapa waktu yang lalu, banyak peserta didik perguruan tinggi negara jiran seperti Malaysia berdatangan ke Indonesia untuk menimba ilmunya di berbagai perguruan tinggi seperti di UI, IPB, dan UGM. Namun, dalam waktu yang tidak terlalu lama, keadaan telah berbalik, karena kini banyak orang Indonesia yang berdatangan ke negara lain untuk belajar. Diperkirakan mahasiswa kita yang belajar ke luar negeri telah mencapai 50.000 orang (sekitar 2 persen dari jumlah mahasiswa seluruhnya), yang telah mengeluarkan devisa sekitar Rp 2.300 milyar. Kalau gejala ini dibiarkan, yang akan mendapatkan manfaatnya tentu negara tetangga kita. Betapa gencarnya promosi yang dilakukan oleh perguruan tinggi Australia, Singapura, maupun Malaysia untuk menjaring calon mahasiswanya. Kita dapat memanfaatkan kondisi ini untuk memperkuat pendidikan tinggi dengan melakukan kerja sama dengan perguruan tinggi yang terkenal, sehingga segmen pasar yang sangat strategis ini masih dapat dikendalikan? Kenapa kita tidak menerima investasi/partisipasi negara lain dalam pendidikan tinggi sehingga membentuk suatu a new partnership? Peraturan kita telah membolehkan pihak asing menyelenggarakan pendidikan tinggi di wilayah Republik Indonesia dengan kerja sama dengan lembaga pendidikan tinggi yang ada di Indonesia.

(2) Pendidikan Berdasarkan Kebutuhan Pasar Kerja (Market-Driven Education)

Sebagai salah satu wujud kebijakan keterkaitan dan kesepadanan (link and match), dunia pendidikan perlu mengubah orientasi dengan lebih memperhatikan kebutuhan pasar kerja (market driven). Pendidikan hendaknya terkait dengan kebutuhan tenaga kerja nasional secara menyeluruh. Dengan demikian, dapat diharapkan berkurangnya angka pengangguran intelek yang berasal dari lulusan perguruan tinggi. Dengan memperhatikan pada kebutuhan pasar kerja, maka profil lulusan akan berubah dengan perspektif baru yaitu lulusan yang berkualitas untuk bekerja, bukan hanya sekedar lulusan yang terampil. Untuk itu, pendidikan tinggi harus berorientasi pada pemecahan masalah (ilmiah, teknologi, sosio-kultural, dll.)

(3) Pendidikan Terpadu (Unified System)

Pendidikan Formal dan Nonformal. Kegiatan pendidikan formal dan nonformal perlu direncanakan secara terintegrasi sehingga mampu saling mendukung. Kegiatan pendidikan perlu dipraktikkan secara nyata melalui kegiatan apprenticeship training baik yang dilakukan pada unit bisnis/industri yang dirancang khusus oleh perguruan tinggi dalam bentuk reality based education seperti suatu teaching hospital atau bekerja sama dengan pihak bisnis/industri lain dalam bentuk cooperative academic education. Keterpaduan Riset - Pengajaran - Business/Pelayanan. Pengertian Tridharma Perguruan Tinggi harus diterjemahkan dan dilaksanakan secara utuh. Hasil riset di samping untuk aplikasi dari ilmu yang diajarkan serta pemecahan masalah di dunia bisnis/industri, juga harus merupakan bahan untuk memperkaya penjelasan yang disampaikan dan diajarkan dalam proses belajar-mengajar maupun untuk membuat bahan publikasi yang bisa dimanfaatkan oleh berbagai pihak. Untuk itu, perlu dikembangkan konsep reality based education (teaching hospital). yang dikelola secara langsung oleh perguruan tinggi yang bersangkutan. Kegiatan riset, pengajaran dan pelayanan/bisnis dilakukan secara terintegrasi dalam suatu kesatuan.

(4) Komersialisasi Riset

Sampai saat ini, perguruan tinggi masih banyak bergelimang pada penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran. Sudah saatnya perguruan tinggi mempunyai arah baru dan penekanan pada university research di samping sebagai research university. Perguruan tinggi perlu memikirkan sistem insentif, balas jasa (reward) dan infrastruktur yang lebih baik. Demikian pula perguruan tinggi dapat membentuk unit usaha, terutama untuk menempuh resiko dengan memulai komersialisasi produk riset. Dengan demikian, perguruan tinggi harus mampu memanfaatkan sumber daya yang ada guna kepentingan masyarakat, perguruan tinggi harus mampu memilih dan menawarkan riset apa saja yang bisa dijual kepada masyarakat (saleable research).

(5) Keterampilan Terjual (Saleable Skill)

Kerja sama Perguruan Tinggi dengan dunia bisnis/industri perlu ditingkatkan terutama dalam menawarkan jenis pelatihan dan konsultasi yang sangat diperlukan oleh dunia bisnis/industri (saleable skill). Perguruan tinggi perlu menghimpun sumber daya yang dimilikinya guna ditawarkan kepada masyarakat, seperti berbagai jenis konsultasi, mendirikan Business Incubator Center (BIC), pelatihan dsb.

(6) Program Kekhasan/Spesifik

Untuk bisa memacu dan memasuki abad persaingan yang semakin ketat maka perlu diberikan suatu bentuk otonomi perguruan tinggi. Apakah pola tunggal pembinaan perguruan tinggi saat kini masih relevan? Sudah saatnya untuk bisa menangkap peluang yang ada, setiap perguruan tinggi perlu mengembangkan arah kekhasan perguruan tingginya. Tentunya pemilihan dan penentuan kekhasan dari perguruan tinggi tersebut harus berdasarkan pada sumber daya yang dimilikinya dan arah pengembangannya.

4. Kesimpulan

Industrialisasi pendidikan tinggi di Indonesia sudah saatnya mendapat tempat dan menjadi momentum untuk menghadapi era globalisasi. Jangan sampai kita terlambat mengantisipasinya. Hal itu akan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih mantap.

Pustaka Acuan

Agriculture Manpower Development Centre (1998). "Monitoring Tenaga Kerja Pertanian. Ciawi-Bogor.

Arsyad, Sitanala (1990). Tinjauan Kritis Tentang Kebijaksanaan dan Peranan Pendidikan Dalam Peningkatan Kualitas Dan Pengembangan Sumberdaya Manusia.

Azahari, Azril (1991). Pendidikan dan Latihan Pertanian : Suatu upaya peningkatan Kualitas dan Pengembangan Sumberdaya Manusia.

Azahari, Azril (1998). Pendidikan Tinggi untuk Antisipasi Tahun 2020 : Di Persimpangan Jalan. Jakarta.

Biro Pusat Statistik (1994). "Indeks Pembangunan Manusia Perbandingan Antar Propinsi 1990 - 1993.

Biro Pusat Statistik (1997). "Ringkasan Laporan Pembangunan Manusia Indonesia 1996".

Gilley, J.W. and S.A.Eggland (1996). "Principle of Human Resources Development". New York: Addison Wesley.

Hasil Lokakarya Perumusan Kebijakan Pengembangan Sumberdaya Manusia. Redecon (1991).

Macharany, A.A (1990). Tinjauan Antisiapatif Tentang Bagaimana Ikhtiar Ke Depan Peningkatan Kualitas Dan Pengembangan Sumberdaya Manusia.

Mat, Johari (1997). Globalization, Higher Education and the Role of the Private Sector : Malaysia’s Response Toward 2020. Malaysia.

Sumodiningrat, Gunawan. 1996. "Perencanaan Pembangunan dalam Penanggulangan Kemiskinan. Prisma Nomor Khusus 25 tahun.

Syarif Hidayat dan Boediono. 1996. "Pembangunan Sumberdaya Manusia; Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun". Prisma Nomor Khusus.

Thomas, John W (1997). Globalization : Policy Choices and Policy Options for Developing Countries. The Harvard Institute for International Development, Harvard University.

UNDP. 1997. "Human Development Report". Oxford University Press. Widodo, Y.B. dan Daliyo. "Laporan Pengembangan Manusia Nusa Tenggara Barat 1980-1995. Jakarta: PPT-LIPI World Development Bank. 1997. "World Development Indicator 1997".


PELAKSANAAN PROGRAM PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN ANAK SEKOLAH
KEPADA SISWA SEKOLAH DASAR DI KABUPATEN KENDARI *)

Oleh

A n w a r **)


*) Hasil Penelitian Dibiayai Oleh Proyek ADB 1998/1999
**) Dosen FKIP Universitas Haluoleo Kendari

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tanggapan masyarakat, tenaga kependidikan, dan siswa terhadap pelaksanaan Program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMTAS). Data dikumpulkan dengan sampling. Dari populasi seluruh SD yang mendapatkan PMTAS di Kabupaten Kendari, 3 kecamatan dengan masing-masing 2 sekolah dipilih. Respondennya adalah seluruh siswa kelas V dan VI, guru, kepala sekolah, penjaga sekolah, dan orang tua. Analisis data dilakukan dengan cara deskripsi kuantitif dan kualitatif. Temuan penelitian menunjukkan: (1) pengelolaan program PMTAS berjalan baik, meskipun di sekolah tertentu terjadi pergantian pengelola dari pengurus PKK ke guru-guru sekolah karena pertimbangan kontrol terhadap standar gizi; (2) daftar menu yang disiapkan oleh Tim Medis sering sulit memperoleh bahan bakunya di lingkungan masyarakat setempat, siklus perputaran menu tidak berjalan secara proporsional, dan masih adanya menu yang dihidangkan yang tidak sesuai dengan standar gizi dan kesehatan; dan (3) program PMTAS disambut baik oleh masyarakat, tenaga kependidikan dan siswa, karena dapat meningkatkan motivasi belajar siswa.

Kata kunci: Program Pemberian makanan anak sekolah, deskripsi kuantitatif dan kualitatif, standar gizi dan kesehatan, motivasi belajar siswa.

1. Latar Belakang

Salah satu masalah pembangunan nasional adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia. Masalah ini dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti gizi makanan, sikap masyarakat terhadap pendidikan, dan sistem pendidikan termasuk sarana dan prasarana pendidikan yang dirasakan masih kurang khususnya di daerah pedesaan. Masalah tersebut telah menjadi perhatian bangsa dengan adanya upaya pengembangan sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu, dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa (GBHN, 1999).

Penegasan tersebut menempatkan pendidikan sebagai salah satu komponen yang strategis dalam pembangunan nasional. Meskipun demikian, pendidikan tidak luput dari berbagai masalah seperti keterbatasan pemahaman masyarakat akan arti pentingnya pendidikan bagi anaknya, masalah kesehatan, dan gizi keluarga yang dapat berpengaruh terhadap intelegensi dan prestasi belajar siswa. Untuk itu, pemerintah memandang perlu adanya langkah operasional untuk mendukung upaya pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas. Salah satu langkah operasional dimaksud ialah Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMTAS) kepada siswa sekolah dasar pada desa-desa tertinggal termasuk di Kabupaten Kendari.

Khusus untuk Sulawesi Tenggara PMTAS tersebar di 460 desa dari 809 desa yang ada, dan melibatkan 905 Sekolah Dasar, 133.140 siswa, dan 5.947 guru. Sedangkan untuk Kabupaten Kendari, PMTAS tersebar pada 166 desa diantara 214 desa yang ada, melibatkan 243 Sekolah Dasar, 31.932 siswa, dan 1.536 guru (Dikdasgu, 1997). Tetapi nampaknya setiap saat perlu diadakan evaluasi untuk penyempurnaan dalam berbagai mekanisme kerjanya. Selama ini ditemukan keluhan dari masyarakat pelaksana program tentang kegiatan yang cukup merepotkan sehingga menu yang disajikan sering tidak sesuai dengan standar gizi, kesehatan dan selera siswa, akhirnya makanan itu tidak dapat dikonsumsi oleh siswa. Demikian pula keluhan pihak sekolah yang menyatakan bahwa pelaksanaannya sering mengganggu proses belajar-mengajar. Kesemuanya itu merupakan kendala yang harus diidentifikasi untuk diupayakan pemecahannya.

Apakah permasalahan di atas juga ditemukan di Kabupaten Kendari? Untuk itu perlu ditelusuri beberapa metra dari program PMTAS seperti bagaimana tanggapan masyarakat sebagai pelaksana program (PKK setempat) maupun sebagai orang tua siswa, tanggapan sekolah (Guru/tenaga kependidikan) terhadap pelaksanaan program pemberian makanan tambahan anak sekolah, mekanisme kerjanya maupun dampaknya terhadap hasil belajar siswa, dan tanggapan siswa sendiri terhadap menu makanan dan proses pelayanannya.

Permasalahan utama penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut: (1) Bagaimana tanggapan masyarakat terhadap pelaksanaan pemberian makanan tambahan kepada siswa Sekolah Dasar? (2) Bagaimana tanggapan tenaga kependidikan terhadap pelaksnaan pemberian makanan tambahan kepada siswa Sekolah Dasar? (3) Bagaimana tanggapan siswa terhadap pelaksanaan pemberian makanan tambahan kepada siswa Sekolah Dasar?

2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (a) tanggapan masyarakat terhadap pelaksanaan pemberian makanan tambahan kepada siswa sekolah dasar, (b) tanggapan tenaga kependidikan terhadap pelaksanaan pemberian makanan tambahan kepada siswa sekolah dasar dalam kaitan proses belajar mengajar di sekolah, dan (c) tanggapan siswa terhadap pelaksanaan pemberian makanan tambahan kepada siswa sekolah dasar dalam kaitan dengan menu makanan dan motivasi belajar.

3. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat, baik secara teoritis maupun praktis. Manfaat teoritis meliputi: (1) dapat menambah khasanah pengetahuan tentang partisipasi masyarakat dalam bidang pendidikan, (2) dapat menjadi bahan perbandingan dalam rangka penelitian dan pengembangan lebih lanjut bagi pengkaji pendidikan dan pengembangan masyarakat.

Dari segi praktis, penelitian ini diharapkan menjadi dasar atau masukan bagi masyarakat, dan tenaga kependidikan dalam kaitannya dengan upaya perbaikan gizi, kesehatan, dan pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan tuntutan pembangunan dan dunia kerja.

4. Tinjauan Pustaka

Pembinaan anak usia sekolah dilaksanakan melalui peningkatan mutu gizi, pembinaan perilaku kehidupan beragama dan perilaku terpuji; penanaman rasa cinta tanah air, disiplin dan kemandirian, pertumbuhan minat baca, menulis berhitung dan belajar; peningkatan daya cipta, daya analisis, prakarsa daya kreasi, penumbuhan kesadaran akan hidup sehat dan hidup bermasyarakat serta peningkatan kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungannya (GBHN, 1998).

Dalam penelitian Mariana (1993) ditemukan adanya hubungan antara tingkat pengetahuan ibu tentang makanan dengan pola asuh makanan anak, dan tingkat pengetahuan ibu dengan praktek pemberian makanan anak, serta praktek pemberian makan dengan kesulitan makan anak.

Munculnya gejala kekurangan gairah belajar di kalangan siswa disebabkan kurangnya pemahaman masyarakat tentang kesehatan dan gizi atau mereka masih banyak berpegang pada tradisi yang salah, seperti ditemukan dari hasil penelitian Myrnawati (1993) yang mengajukkan 12 variabel yang dapat mempengaruhi status gizi anak usia sekolah dasar, yaitu: (1) pendidikan ibu, (2) pekerjaan ibu, (3) pengetahuan ibu, (4) sikap ibu, (5) perilaku ibu, (6) status ekonomi, (7) persepsi ibu tentang sikap ayah, (8) kebudayaan, (9) persepsi ibu tentang kesehatan anak, (10) pengetahuan anak, (11) sikap anak, dan (12) perilaku anak.

Lebih lanjut ditemukan Myrnawati (1993) bahwa ada kebudayaan yang salah dalam pembinaan anak yaitu satu dari lima rumah tangga di desa masih memprioritaskan pemberian makanan untuk orang tuanya, sisanya baru diberikan kepada anaknya. Budaya lain yang salah ditemukan adalah (1) lebih 25 persen menyatakan bahwa anak-anak tidak boleh makan ikan, (2) 50 persen menyatakan bahwa air rebus daging tidak boleh diberikan kepada anak, (3) 75 persen menyatakan anak-anak tidak boleh makan parutan kelapa, (4) 77,4 persen menyatakan colostrum (asi yang keluar pertama kali) tidak boleh diberikan kepada bayi, (5) 58,5 persen menyatakan ibu yang menyusui tidak boleh makan ikan, (6) 61 persen menyatakan ibu yang menyusui tidak boleh makan sayuran bersantan, (7) 50 persen menyatakan sakit panas tidak boleh disuntik, (8) 41,4 persen menyatakan anak yang sakit mencret tidak boleh diberikan makanan sebelum mencretnya berhenti.

Dewasa ini masih banyak anggota masyarakat yang kekurangan gizi; padahal, seperti dikemukakan Sudjianto (1995), kekurangan iodium (zat gizi) baik anak maupun dewasa akan menyebabkan mentalnya rendah, tidak bergairah, sulit dididik dan sulit dimotivasi yang semuanya mengakibtkan prestasi belajar dan produktivitas kerja yang rendah.

Selanjutnya, juga ditemukan adanya kebiasaan jajan yang salah bagi anak sekolah, yaitu 65 persen anak sekolah di desa memiliki kebiasaan jajan, di kota hanya 51,5 persen. Untuk mencari jalan pemecahan kebiasaan seperti ini, maka suatu uji coba yang pernah dilakukan oleh Puslitbang Gizi Bogor yaitu: melalui program makanan sekolah yang dikelola oleh pengasuh warung sekolah yang dilakukan pada dua desa di Yogyakarta. Hasilnya menunjukkan bahwa layanan makanan jajan melalui kantin sekolah yang dikelola baik dapat digunakan sebagai pendekatan dalam memotivasi dan memperbaiki kesadaran gizi masyarakat. Untuk itu jajan yang disediakan di kantin sekolah hendaknya makanan yang cukup mengandung kalori, aman, sehat dan murah dengan melibatkan guru, orang tua, dan kader PKK setempat (Myrnawati, 1993).

Anak di desa (85 persen) berprilaku tidak benar, sedangkan anak-anak di kota (59,3 persen) berperilaku tidak benar. Anak-anak di desa (95,9 persen) jarang makan daging, di kota hanya 63,4 persen; 90 persen anak di desa jarang minum susu, di kota sebesar 88 persen, kedua indikator terakhir erat kaitannya bagi masyarakat desa karena status ekonominya rendah yaitu sebesar 80 persen, sedangkan di kota dipengaruhi oleh perilaku ibu yang kurang dan tidak benar yaitu 64,1 persen (Myrnawati, 1993).

Berdasarkan data BPS Sulawesi Tenggara (1995), rata-rata konsumsi protein sehari untuk bahan makanan telur dan susu pada tahun 1993 bagi masyarakat Sulawesi Tenggara adalah sebagai berikut. Di kota rata-rata konsumsi telur sebanyak 1,16, dan susu 0,98; sedangkan, di desa rata-rata konsumsi telur sebanyak 0,40 dan susu sebanyak 0,17. Sedangkan untuk keseluruhan desa dan kota rata-rata konsumsi telur sebanyak 0,54 dan susu 0,34.

Kondisi masyarakat Sulawesi Tenggara masih sangat memprihatinkan. BPS (1994) mengungkapkan bahwa dari 809 desa yang ada di Sulteng terdapat 327 desa yang masih dalam kategori miskin; sedangkan data mutakhir Pemda Sulawesi Tenggara menunjukkan 460 desa yang masih miskin atau desa tertinggal (Dikdasgu, 1997).

Untuk itulah Pemda Sultra menyambut baik pencanangan program IDT yang memiliki sasaran meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi penduduk miskin melalui upaya meningkatkan kualitas SDM, peningatan kemampuan permodalan, pengembangan usaha, dan pemantapan kelembagaan usaha bersama mereka. Program IDT dimaksudkan untuk menanggulangi situasi dan kondisi yang menyebabkan timbulnya kemiskinan (Departemen Penerangan, 1993).

Pembinaan anak secara dini merupakan langkah untuk mencegah kenakalan remaja. Penanganan anak nakal harus melibatkan berbagai pihak baik sekolah maupun masyarakat sekitar dengan menciptakan suasana lingkungan yang positif, penuh kekeluargaan dan kasih sayang, perhatian, pengawasan dan bimbingan. Hanya dengan intervensi secara menyeluruh anak-anak ini dapat dikendalikan (Sunardi, 1995).

Ada perbedaan pola pengasuhan yang diberikan kepada anak. Ayah cenderung mengasuh anaknya mengikuti perkembangan zaman dengan menggunakan cara-cara baru seperti dalam membangunkan anak dengan menggunakan musik, menyediakan media seperti buku-buku bacaan, bercerita menjelang tidur, jadwal tidur yang telah dicanangkan tetapi fleksibel, dsb. Pengasuhan yang dilakukan oleh seorang bibi cenderung lebih demokratis dan lebih modern. Sedangkan pengasuhan yang dilakukan oleh seorang nenek cenderung lebih tradisional dan memanjakan anak (Aritonang, 1994).

Menyimak beberapa pernyataan tersebut di atas, semakin jelas pentingnya penanganan anak sedinimungkin mulai dari pemberian makanan bergizi, masalah kesehatan anak, dan pendidikannya baik di sekolah maupun di luar sekolah dan pada akhirnya dapat berpengaruh terhadap aktivitas dan produktifitas kerja mereka.

5. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan kajian desriptif dengan populasi seluruh SD yang mendapatkan program pemberian makanan tambahan anak sekolah di Kabupaten Kendari yang berlokasi di 15 Kecamatan dan 166 Desa 243 SD. Cara menentukan sampel dilakukan sebagai berikut. Dari 15 Kecamatan ditetapkan 3 kecamatan dan setiap kecamatan dipilih 2 sekolah, serta dari masing-masing sekolah ditetapkan dua kelas yaitu kelas V dan VI. Respondennya adalah seluruh siswa dan orang tuanya, kepala sekolah, seluruh guru, dan penjaga di kelas V dan VI tersebut. Responden juga secara purposive diambil dari masyarakat sekitar, seperti Kepala Desa, Pengurus LKMD, Pengurus PKK, Bangdes Kecamatan.

Data dikumpulkan melalui angket yang akan diisi langsung oleh responden, wawancara, dan pengamatan non-partisipatif terhadap pelaksanaan program di sekolah.

Untuk data angket dianalisis secara kuantitaif diawali dengan mengkode dan melakukan tabulasi untuk selanjutnya dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan persentase untuk mengetahui tanggapan masyarakat, orang tua, tenaga kependidikan, dan siswa sendiri. Sedangkan untuk data hasil wawancara dan pengamatan dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan analisis domain, dan taksonomi.

6. Deskripsi Hasil Penelitian

6.1 Tanggapan Masyarakat Terhadap Pelaksanaan PMTAS Kepada Siswa Sekolah Dasar

Masyarakat yang menjadi responden penelitian ini terdiri atas berbagai latar belakang mata pencaharian, yaitu: (1) petani sebanyak 44,03 persen (2) nelayan 28,81 persen (3) wiraswasta 4,94 persen, dan (4) pegawai negeri sipil 22,22 persen. Tingkjat pendidikan responden meliputi: tamat SD ke bawah sebanyak 56,38 persen, SLTP 18,93 persen, SLTA 19,34 persen, PGSLP/D1/D2 2,47 persen, sarjana muda/D3 1,23 persen, dan sarjana 1,65 persen.

Pengelolaan makanan tambahan dalam hal ini adalah yang membuat atau menyediakan makanan yang dapat dilakukan oleh beberapa pihak, seperti: pengurus PKK, guru, pengurus PKK yang bekerja sama dengan guru, pengurus PKK yang bekerja sama dengan masyarakat sekitarnya, dalam hal ini termasuk anggota masyarakat yang menjual kue, karena sering terjadi pengelola program ini hanya membeli kue dari anggota masyarakat. Jenis-jenis makanan yang diberikan disesuaikan dengan rekomendasi dinas kesehatan diantaranya adalah onde-onde ubi, onde-onde beras, sanggara bandang, bubur kacang ijo, barongko, lapis pisang, lapis ubi, lapis beras ketan, wajek, doko-doko beras, doko-doko ubi, barongko, danggo, taripang, dan tahu isi. Dalam pelaksanaan di lapangan ternyata ada menu di luar daftar yang dikeluarkan oleh Tim Medis seperti korket, lemper, nasi kuning, telur puyuh, pisang goreng, buras, bolu, sari mukka, naga sari, cucur, tarajju. Pemberian menu dilakukan secara bergantian, hanya saja frekuensi perputaran jenis menu tidak seimbang, di mana ada menu yang frekuensinya lebih banyak dari pada menu yang lainnya. Bahkan ditemukan pula menu yang memiliki kadar gizi tinggi frekuensinya lebih sedikit dibandingkan dengan menu yang kadar gizinya lebih sedikit. Kenyataan ini terjadi karena umumnya menu yang kadar gizinya tinggi, harganya juga lebih mahal, sementara itu pengelola juga masih memperhitungkan untung-ruginya. Masih ditemukan juga menu yang disajikan kepada siswa tidak dipersiapkan khusus, tetapi dibeli di pasaran sehingga tidak dapat dijamin kesehatan dan kadar gizinya.

Pelaksanaan pengelolaan makanan, menurut tanggapan masyarakat, sama sekali tidak menyulitkan, bahkan dianggap menyenangkan khususnya bagi mereka yang ikut dalam pengelolaan karena dapat meraih keuntungan material melalui penjualan kue. Demikian pula tanggapan mereka tentang sikap anak-anaknya pada hari pelaksanan pemberian makan di sekolah, sebagian besar anak tidak lagi membawa uang jajan dan makin rajin ke sekolah.

Data yang ada menunjukkan bahwa 74,49 persen responden menyatakan bahwa makanan yang disajikan sudah sesuai dengan standar gizi, meskipun 23,45 persen responden menyatakan masih belum sesuai dan 2,06 persen menyatakan selalu tidak sesuai. Data tersebut menunjukkan pula bahwa ada sekolah tertentu yang sering memberikan menu tidak sesuai dengan standar gizi, bahkan ada yang menyajikan menu yang sama sekali di luar dari daftar menu yang dikeluarkan oleh Tim Medis Kecamatan dan berkadar gizi rendah.

Fenomena tersebut diperkuat dengan 32,10 persen responden menyatakan keluhan, 16,87 persen menyatakan makanan basi, dan 15,23 persen responden menyatakan menu tidak sesuai. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya kontrol dari tim medis seperti yang dinyatakan oleh 37,86 persen responden.

Meskipun telah didapati adanya kelemahan, tetapi program ini mendapat sambutan baik dari masyarakat, terbukti bahwa 65,02 persen responden menyatakan kegiatan ini berhasil meningkatkan motivasi belajar atau siswa semakin rajin ke sekolah, khususnya pada hari makan di sekolah.

Tanggapan masyarakat tentang kuantitas dana pengelolaan dinyatakan oleh 72,43 persen responden cukup, bahkan 13,99 persen menyatakan lebih dari cukup. Ini disebabkan karena umumnya mereka ini tidak terlibat langsung dalam pengelolaan kegiatan, sedangkan yang menyatakan kurang 13,58 persen yaitu mereka yang terlibat dalam kegiatan sehingga mengetahui kuantitas dana apalagi jika harus meningkatkan mutu gizi makanan.

Keterlibatan masyarakat dalam kegiatan ini, hanya 16,05 persen reponden menyatakan pernah terlibat dalam bentuk (1) menyiapkan makanan, (2) menjaga kebersihan, (3) mencicipi makanan sebelum dikonsumsi oleh siswa. Pada umumnya anggota masyarakat yang terlibat dalam kegiatan ini adalah pengurus PKK, LKMD, guru, dan tokoh masyarakat yang masuk sebagai responden karena mereka juga orang tua siswa yang menjadi responden.

Berdasarkan hasil angket dan wawancara menunjukkan bahwa para orang tua siswa mengajukan berbagai saran dalam rangka perbaikan pengelolaan program ini, antara lain (1) program ini selayaknya dilanjutkan terus pada tahun-tahun yang akan datang, (2) perlu dijaga kebersihan dan perlu makanan diperiksa tim medis secara terjadwal untuk setiap jenis makanan, (3) menu diusahakan harus selalu sesuai standar gizi dan berpedoman pada daftar menu yang telah dikeluarkan oleh Tim Medis, (4) dilaksanakan rutin tiga kali seminggu, (5) perlu ditambah dana program sehingga gizinya dapat ditingkatkan, (6) sebaiknya ketua PKK desa tidak menangani sendiri penyediaan makanan, tetapi lebih banyak melibatkan guru dan masyarakat, dan (7) pemerintah daerah dan pihak Depdiknas dan Dinkes sebaiknya selalu turun lapangan untuk memantau pelaksanaan program ini.

6.2 Tanggapan Tenaga Kependidikan Terhadap Pelaksanaan PMTAS Kepada Siswa Sekolah Dasar

Tanggapan tenaga kependidikan terhadap pengelolaan makanan tambahan menunjukkan bahwa umumnya makanan disediakan oleh pengurus PKK/masyarakat (37,79 persen), menyusul PKK/guru (33,33 persen), dan (24,44 persen). Dominannya pengelolaan oleh pengurus PKK sudah sesuai dengan aturan yang ada. Akan tetapi berdasarkan hasil wawancara diperoleh informasi bahwa pengelolaan mereka sering tidak sesuai dengan daftar menu yang ada dan standar gizi tidak terpenuhi, oleh sebab itu beberapa sekolah mengubah pengelolaan tersebut menjadi ditangani oleh pengurus PKK bersama dengan dewan guru atau diambil alih sepenuhnya oleh dewan guru dengan pertimbangan menjaga kontrol gizi dan kesehatan makanan serta kesinambungan siklus makanan. Kenyataan tersebut diperkuat dengan data yang menunjukkan 64,44 persen responden menyatakan bahwa makanan sering tidak sesuai standar gizi yang ditetapkan. Hal ini terbukti dengan seringnya ada keluhan siswa, dengan jenis keluhan seperti: makanan basi (15,56 persen), menu tidak sesuai dengan standar (48,89 persen).

Tenaga kependidikan yang terlibat dalam program ini cukup besar. Sebanyak 73,33 persen responden tenaga kependidikan menyatakan terlibat dalam pengelolaan program. Menurut pengakuan mereka, keterlibatan pengelolaan program tidak mengganggu kegiatan belajar-mengajar. Kegiatan penyajian makanan dilakukan pada saat jam istirahat sehingga tidak mengganggu. Bahkan sebelum siswa menyantap makanan para guru memberikan pendidikan berupa petunjuk bagaimana menjaga kebersihan makanan, membersihkan peralatan makanan, dan cara makan yang baik.

Keterlibatan tenaga kependidikan dalam pengelolaan makanan ini diantaranya: (1) Menyiapkan makanan, (2) menjaga kebersihan, (3) memantau pelaksanaannya di kelas, (4) membagikan makanan, dan (5) memberikan bimbingan kepada siswa tentang cara makan yang baik. Dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan makanan kepada siswa, maka para tenaga kependidikan (66,7 persen) telah mengambil prakarsa untuk mengajukan saran kepada pengelola makanan untuk memperbaiki pelayanan.

Program ini menurut tenaga kependidikan (91,11 persen) dapat meningkatkan motivasi belajar siswa, baik kerajinan hadir di sekolah maupun keaktifan belajar. Khususnya anak dari keluarga petani/nelayan, sebelum adanya program ini siswa sering tidak hadir karena membantu orang tuanya bekerja, tetapi setelah adanya program ini mereka semakin rajin dan semakin aktif belajar baik di sekolah mapun di rumah terbukti mereka semakin rajin mengerjakan pekerjaan rumahnya.

Dana pengelolaan sudah mulai dirasakan kekurangannya, khsusnya jika kualitas menu harus ditingkatkan. Sedangkan upaya pengelola untuk meningkatkan mutu pelayanan cukup tinggi terbukti bahwa 35,55 persen responden tenaga kependidikan menyatakan pernah dimintai saran. Jenis saran yang diajukan tenaga kependidikan dalam rangka perbaikan program adalah (1) perlu dilanjutkan program, (2) perlu dijaga kebersihan makanan termasuk kadar kedaluarsa sehingga tidak basi sebelum dikonsumsi siswa, (3) menu harus sesuai standar gizi, sehingga tidak keluar dari daftar menu yang telah dibuat tim medis, dan (4) sebaiknya dilaksanakan rutin tiga kali seminggu, dan untuk memperlancar program ini perlu penambahan dana program sehingga mutu gizi makanan dapat ditingkatkan, karena pada dasarnya kegiatan ini cukup memberi motivasi belajar kepada siswa sekaligus dapat menghemat pengeluaran orang tua untuk jajan anaknya.

3. Tanggapan Siswa Terhadap Pelaksanaan PMTAS pada Siswa Sekolah Dasar

Respon siswa terhadap cita-rasa makanan menunjukkan 55,96 persen menyatakan enak, hanya 44,44 persen menyatakan biasa-biasa saja, dan tidak ada sama sekali responden yang menyatakan tidak enak. Tentang pelaksanaan pemberian makanan, umumnya responden menyatakan rutin tiga kali setiap minggu. Sedangkan tentang pergantian menu, 89,30 persen responden menyatakan dilaksanakan secara bergantian.

Mengenai kebersihan makanan, 86,83 persen responden menyatakan makanan yang dihidangkan bersih/sehat, 1,24 persen menyatakan tidak bersih, dan 11,93 persen menyatakan sering dihidangkan makanan yang sudah basi. Meskipun demikian mereka sepakat bahwa tidak pernah terjadi keracunan akibat mengkonsumsi makanan tambahan. Pada bagian lain mereka menyatakan pernah tidak mengkonsumsi makanan yang dihidangkan yaitu sebanyak 47,74 persen dengan alasan basi atau tidak sesuai dengan selera siswa.

Dampak pemberian makanan terhadap kesehatan siswa yaitu 63,79 persen responden menyatakan kesehatannya meningkat, 36,21 persen menyatakan biasa-biasa saja dan tidak ada yang menyatakan kesehatannya terganggu karena akibat mengkonsumsi makanan tambahan.

Dalam kaitannya dengan kegiatan belajar-mengajar, 94,65 persen responden menyatakan bahwa program ini tidak mengganggu dan hanya 5,35 persen yang menyatakan program ini mengganggu kegiatan belajar-mengajar. Data tersebut didukung oleh data lain bahwa 64,20 persen responden menyatakan bahwa program ini meningkat prestasi belajarnya, 35,80 persen menyatakan biasa-biasa saja, dan tidak ada yang menurun prestasinya akibat mengkonsumsi makanan tambahan.

Seperti halnya dengan tenaga kependidikan dan masyarakat, maka siswapun mengajukan saran diantaranya: perlunya dilanjutkan program ini dengan penambahan dana sehingga bisa ditingkatkan kualitas gizi makanan termasuk pemberian susu, kesehatan makanan perlu dijaga sehingga tidak basi sebelum dikonsumsi, bahan dihindari pemakaian sari manis dan harus sesuai dengan daftar menu yang telah ditetapkan tim medis, dan perlu setiap saat diperiksa oleh tim medis, demikian pula pembagian makanan sebaiknya pada jam istirahat sehingga tidak mengganggu kegiatan belajar-mengajar. Pada umunya siswa sependapat dengan orang tua bahwa dengan program ini terjadi penghematan dari orang tua, karena pada hari pemberian makanan tambahan, umumnya siswa tidak membawa uang jajan dan mereka umumnya berusaha untuk hadir di sekolah pada hari tersebut sehingga kegiatan ini meningkatkan motivasi siswa untuk rajin ke sekolah atau rajin belajar.

7. Diskusi

Pengelolaan makanan tambahan umumnya ditangani oleh pengurus PKK Desa bekerja sama dengan guru-guru sekolah yang bersangkutan. Pengelolaan seperti ini sesuai dengan petunjuk pelaksanaannya, tetapi masih dijumpai kelemahan pada sekolah tertentu yaitu sering terjadinya penurunan menu atau tidak sesuai dengan standar menu dan keluar dari daftar menu yang ada, sehingga ada sekolah tertentu menempuh kebijakan dengan mengambil alih penanganan yang sebelumnya di tangani oleh pengurus PKK, kemudian ditangani langsung oleh sekolah dalam hal ini dipercayakan kepada guru-guru sekolah yang bersangkutan.

Di beberapa sekolah juga ditemukan adanya pengelola tidak menyajikan makanan secara rutin 3 x (tiga kali) seminggu, dan dari daftar menu makanan yang dibuat Tim Medis ada yang sulit diperoleh bahan bakunya dari daerah setempat. Bahkan suatu contoh kasus di daerah yang makanan pokok penduduknya sagu, tetapi tidak ada daftar menu makanan yang bahan bakunya dari sagu.

Jika pelaksanaan kegiatan dilakukan secara bergilir dalam tiga kali seminggu, maka akan ada kurang lebih 12 jenis menu makanan yang terdaftar disajikan secara bergantian meskipun frekuensinya sering tidak seimbang. Adanya menu tertentu disajikan beberapa kali, sementara menu lainnya hanya disajikan satu kali. Kelemahan lainnya adalah ditemukan adanya keluhan siswa berupa makanan basi, sehingga siswa tidak dapat mengkonsumsi makanan tersebut, namun dalam penelitian ini tidak ditemukan adanya kasus keracunan makanan, meskipun demikian perlu diantisipasi dengan menetapkan bahwa jadwal pemeriksaan makanan setiap bulan untuk setiap jenis menu secara bergilir.

Para siswa menyambut baik program ini, terbukti tingginya persentase yang menyatakan makanan yang disajikan enak (55,56 persen) dan 44,44 persen menyatakan biasa-biasa saja, dan sama sekali tidak ada yang menyatakan makanan yang disajikan tidak enak.

Kebiasaan jajan anak di desa lebih khusus lagi di desa-desa nelayan (penelitian ini dilaksanakan diantaranya pada dua sekolah dasar yang terletak di desa nelayan) cukup tinggi karena didukung oleh kebiasaan orang tua yang tidak dapat mempersiapkan jajan anaknya karena kesibukannya megurus kehidupan rumah tangganya di luar rumah, sehingga makanan anak tidak mendapat perhatian khsus.

Program PMTAS ini dilaksanakan dalam susana kegiatan belajar-mengajar di kelas atau hari/jam sekolah, tetapi responden sepakat bahwa kegiatan pemberian makanan tambahan ini sama sekali tidak menggannggu kegiatan belajar mengajar di sekolah, bahkan dapat meningkatkan motivasi belajar siswa, dan dapat meningkatkan kesehatan siswa, yang pada akhirnya dapat meningkatkan prestasi belajarnya.

Dari sudut ekonomi, baik orang tua maupun siswa sependapat bahwa dengan program ini dapat menghemat pengeluaran orang tua, karena pada hari makan di sekolah umumnya siswa tidak lagi membawa uang jajan ke sekolah. Dengan demikian program ini dapat mendidik anak dan orang tua untuk bersikap hemat, sedangkan guru dapat berperan langsung dalam mendidik siswanya tentang cara makan yang baik dan cara memelihara kesehatan makanan.

8. Simpulan

a. Program PMTAS menurut tanggapan masyarakat (sampel penelitian) dapat mendidik anak untuk hidup sehat dan hemat, serta dapat meningkatkan motivasi/kerajinan siswa ke sekolah dan belajar di rumah.

b. Pengadaan makanan umunya dilakukan oleh pengurus PKK dan pada beberapa sekolah ditangani langsung oleh guru untuk menjaga standar gizi, kesehatan dan kesinambungan siklus perputaran menu, karena sering ditemukan menu yang tidak dapat dikonsumsi oleh siswa, tetapi tidak ditemukan kasus keracunan. Demikian pula daftar menu yang diturunkan Tim Medis sering kurang memperhatikan makanan pokok dan bahan baku di daerah setempat.

c. Program PMTAS ini disambut baik oleh masyarakat, tenaga kependidikan dan siswa, karena pelaksanaannya pada jam istirahat sehingga tidak mengganggu kegiatan belajar-mengajar di sekolah, bahkan dapat meningkatkan motivasi belajar siswa, meningkatkan kesehatan dan pada akhirnya dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.

9. Saran

a. Perlu dijadwalkan pemeriksaan makanan setiap bulan untuk setiap jenis makanan oleh Tim Medis untuk menjaga kesehatan makanan dan perlu dipertimbangkan menu yang bahan bakunya mudah diperoleh di daerah setempat dengan tidak mengurangi mutu gizinya, dan setiap makanan harus diperiksa terlebih dahulu oleh guru sebelum dibagikan kepada siswa.

b. Perlu peningkatan kualitas menu makanan termasuk minum susu dalam seminggu, mengingat masyarakat desa jarang minum susu. Untuk itu perlu penambahan dana program sehingga pengelola dapat meningkatkan kualitas pelayanannya.

c. Kepada pihak Depdikbud, Dinas Kesehatan dan Pemda Kabupaten hendaknya melakukan pemantauan secara langsung di lapangan secara berkala untuk mengantisipasi adanya kelemahan dalam pelaksanaan program ini.

Pustaka Acuan

Aritonang, Rohana. 1994. Pola Pengasuhan Anak Balitas Pekerja Wanita Kasus pada Keluarga Pekerja Wanita Pabrik Rokok Bentoel yang Bertempat Tinggal di Dukuh Klayatan Kotamadya Malang. Malang: Tesis S2 PPS IKIP Malang.

BKKBN. 1994. Daftar Nama-Nama 327 Desa Tertinggal (IDT) Menurut Kabupaten/Kecamatan di Propinsi Sulawesi Tenggara Versi Bappenas. Kendari: Kanwil BKKBN Sultra.

BKKBN. 1994. Daftar Nama-Nama 409 Desa Tertinggal (IDT) Menurut Pemda Tk.I Sulawesi Tenggara. Kendari: Kanwil BKKBN Sultra.

Biro Pusat Statistik. 1995. Pengeluaran untuk Konsumsi Kalori dan Protein Sulawesi Tenggara 1990-1993. Kendari: Pewakilan BPS Sultra.

Departemen Perenangan. 1993. Panduang Inpres Desa Tertinggal. Kendari: Proyek Operasi Penerangan Kanwil Deppen Sultra.

Dikdasgu Kanwil Dikbud. 1987. Data Sekolah, Siswa, dan Guru SD Sasaran Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah di Propinsi Sulawesi Tenggara. Kendari: Kanwil Dikbud.

Hidayah, N., dkk. 1994. "Gejala Prilaku Agresif Anak, Kaitannya dengan Pola Sikap Orang Tua". Dalam Abstrak Hasil Penelitian IKIP Malang. Edisi 13. Hal. 57-58.

Ketetapan MPR RI No.IV. 1999. Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara 1999-2004. Jakarta: Republik Indonesia.

Keputusan Mendikbud Nomor 061/U/1993 tentang Kurikulum Pendidikan Dasar. Jakarta: Depdikbud.

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar. Jakarta: Depdikbud.

Mariana, R., dkk. 1993. "Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Makanan, Pola Asuh Makanan dan Praktek Pemberian Makan dalam Hubungannya dengan Kesulitan Makan Anak Balita". Dalam Abstrak Hasil Penelitian IKIP Malang. Edisi 12. Hal. 87.

Myrnawati. 1993. "Status Gizi Murid Sekolah Dasar di Dalam Kota dan di 3 Kecamatan Dati II Magetan". Dalam Jurnal Kedokteran YASRI. Vol.1 No.2. Hal. 13-27.

Spradley, J.P. 1980. Participant Observation. New York: Holt, Reneihart and Winston.

Soenaryo, Sitti Fatimah. 1992. Belajar Untuk Hidup: Studi Multi-Situs Sistem, Pembelajaran Asli Masyarakat Baran. Malang: Tesis S2 PPS IKIP Malang.

Sudjana, 1992. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.

Sudjianto, Totok. 1995. "Penanggulangan GAKI Sebagai Upaya Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia". Dalam Kesehatan Masyarakat Indonesia. No.5 Tahun XXIII. Hal. 27-45.

Sunardi. 1995. "Sekilas Tentang Kenakalan Remaja". Dalam Jurnal Rehabilitasi dan Remediasi. No. 12 Tahun 4. Hal. 21-27.


Manajemen Sekolah Berbasis
Perubahan Kurikulum

Oleh

Burhanuddin Tola*)

Abstrak: Perubahan kurikulum melalui manajemen berbasis sekolah didasarkan pada konsep pengembangan efektivitas sekolah dengan berpedoman pada fungsi-fungsi sekolah yang ditetapkan oleh pengambil kebijakan di sekolah. Apabila perubahan kurikulum dibatasi pada tingkat sekolah, kurikulum dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian kegiatan dan konten pada level individu siswa, level program, atau level sekolah sebagai bahan panduan guru untuk melakukan tugas mengajar dan siswa untuk melakukan tugas belajar. Ada tiga pendekatan untuk melakukan perubahan kurikulum di sekolah, yaitu: (1) perubahan kurikulum simplistik, (2) pengembangan kompetensi guru, dan (3) perubahan kurikulum dinamis. Dalam melaksanakan setiap dari ketiga pendekatan tersebut beberapa faktor harus diperhatikan, diantaranya perubahan alamiah atau kondisi, faktor atau penyebab perubahan, cara memaksimumkan efektivitas, inisiatif perubahan, aturan guru, dan kerangka waktu pelaksanaan.

Kata Kunci: manajemen berbasis sekolah, perubahan kurikulum simplistik, pengembangan kompetensi guru, perubahan kurikulum dinamis


*) Dr. Burhanuddin Tola adalah Kepala Bidang Pengembangan Kemampuan Teknis dan Pelayanan Pengujian, Pusat Pengujian Balitbang Diknas.

1. Pendahuluan

Pengembangan dan perubahan kurikulum adalah suatu kegiatan yang amat penting dalam memperbaiki proses pendidikan. Pengelola, praktisi, dan peneliti pendidikan diharuskan untuk melakukan kegiatan-kegiatan pengembangan dan perbaikan program-program efektivitas sekolah secara seksama. Yang dimaksud efektivitas sekolah di sini adalah pengembangan konsep fungsi-fungsi sekolah yang ditetapkan sebagai kapasitas sekolah untuk memaksimumkan pencapaian pelaksanaan fungsi-fungsi sekolah sehingga sekolah mampu menampilkan kinerjanya apabila diberikan sejumlah masukan.

Dalam perspektif model masukan (input) dan keluaran (output) pendidikan, efektifitas sekolah sering diasumsikan sebagai suatu kombinasi atau perbandingan antara apa yang telah dihasilkan sekolah (school output) dan apa yang telah dimasukkan ke dalam sekolah (school input). Berdasarkan perspektif ini, Lockheed (1988) mengatakan jika masukan sekolah dan proses sekolah (jumlah buku teks, organisasi kelas, strategi mengajar, profesional pelatihan guru, dsb) ditetapkan sebagai non-monetary input, maka perbandingan antara fungsi keluaran sekolah dan non-monetary input sekolah dapat disebut sebagai efektivitas sekolah. Hal ini berbeda dengan efisiensi sekolah, yaitu jika masukan sekolah ditetapkan sebagai monetary input (biaya buku, gaji guru/pengelola, biaya per siswa, dsb.), maka perbandingan antara fungsi keluaran sekolah dan monetary input sekolah dapat disebut sebagai efisiensi sekolah.

Perubahan lingkungan pendidikan dapat dilihat dari perubahan berbagai macam kebutuhan siswa, harapan masyarakat yang tinggi dan tuntutan kebijakan pendidikan yang sangat kuat terhadap perubahan pendidikan, tidak hanya pada tingkat nasional, melainkan juga pada tingkat sekolah. Berbagai usaha telah dilakukan oleh lembaga, kelompok, atau individu dalam melakukan perubahan kurikulum baik pada tingkat nasional maupun sekolah. Namun, perubahan tersebut belum memberikan hasil maksimal terhadap perubahan keluaran pendidikan. Perubahan kurikulum sebagai suatu bentuk perubahan yang direncanakan di sekolah dapat memberikan perlawanan, dan kemudian penerapannya dapat dipengaruhi oleh perbedaan faktor-faktor organisasi (Cheng dan Ng, 1991a).

Walaupun terdapat beberapa penelitian tentang evaluasi kurikulum, namun hasil penelitian tersebut sangat sedikit yang memberi petunjuk pada praktisi dan peneliti pendidikan dalam menerapkan dan mengatur perubahan kurikulum. Karena kurangnya kontribusi hasil penelitian, penerapan perubahan kurikulum pada konteks organisasi sekolah tidak dapat mempengaruhi faktor multilevel terhadap efektivitas sekolah. Tanpa suatu model teori yang menghubungkan antara faktor organisasi sekolah dan perubahan kurikulum, sangat sukar memahami dinamika dan efektivitas perubahan sekolah.

Terdapat dua konsep mekanisme manajemen berbasis sekolah (MMBS) untuk memahami dan mengatur perubahan kurikulum. Pertama, mengklarifikasi bagaimana konsep-konsep kurikulum, efektivitas kurikulum dan perubahan kurikulum pada perbedaan level, dan kedua, menggambarkan bagaimana MMBS dapat berkontribusi pada manajemen dan efektivitas pengembangan dan perubahan kurikulum.

2. Konsep Efektivitas Kurikulum

Penafsiran konsep kurikulum bagi peneliti dan praktisi pendidikan dapat berbeda satu sama lain. Secara umum, konsep kurikulum dapat didefinisikan sebagai suatu spesifik rangkaian pengetahuan, keterampilan dan kegiatan untuk disampaikan kepada siswa. Penafsiran lain, konsep kurikulum dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian kegiatan yang direncanakan sebagai panduan guru untuk mengajar dan siswa untuk belajar. Dalam penerapannya, penafsiran ini dapat ditetapkan lebih lanjut dalam tiga level apakah (1) sebagai kurikulum nasional pada level nasional, (2) sebagai kurikulum sekolah pada level sekolah, dan (3) sebagai kurikulum mata pelajaran pada level mata pelajaran. Apabila konsep ini dibatasi pada level sekolah, maka kurikulum dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian kegiatan dan konten pada level individu siswa, level program, atau level sekolah untuk memandu guru melakukan tugas mengajar dan siswa melakukan tugas belajar. Diskusi tentang perubahan kurikulum melalui manajemen berbasis sekolah hanya membahas pada level sekolah.

Untuk memperluas wawasan pemikiran, perubahan dan pengembangan kurikulum bertujuan untuk memaksimumkan efektivitas mengajar dan belajar melalui perubahan konten yang direncanakan, kegiatan dan rencana perbaikan proses pendidikan. Jika cara berpikir ini diterima, diskusi perubahan kurikulum dapat dihubungkan dengan konsep efektivitas kurikulum. Konsep ini mengundang kritik karena sulit diketahui efektivitas kurikulum bagi guru mengajar dan bagi siswa belajar. Kritik selanjutnya, apakah faktor lain mampu mengkontribusi efektivitas kurikulum. Konsepsi tentang efektivitas kurikulum dapat dilihat pada Gambar 1 struktur efektivitas kurikulum (Cheng, 1986a).

Gambar 1. Struktur Efektivitas Kurikulum

Berdasarkan struktur ini, suatu kurikulum dikatakan efektif jika dapat berinteraksi secara tepat dengan kompetensi guru. Interaksi ini mampu memfasilitasi kinerja guru, membantu siswa dalam mengukur pengalaman belajar yang sesuai dengan kebutuhannya, dan memproduksi outcome pendidikan yang diharapkan. Karakteristik awal kurikulum seperti tujuan nasional, tujuan sekolah, manajemen sekolah, isi mata pelajaran, sumber dan teknologi pendidikan dapat dijadikan dasar sebagai kurikulum sekolah. Struktur tersebut menyarankan bahwa evaluasi efektivitas kurikulum dapat meliputi kriteria proses dan outcomes seperti kinerja guru, hasil dan pengalaman belajar siswa. Variabel yang dapat dimanipulasi, diubah atau dikembangkan oleh peneliti dapat memperbaiki kinerja guru dan outcomes sekolah serta pengalaman belajar siswa adalah variabel yang erat hubungannya dengan efektivitas kurikulum dan kompetensi guru.

3. Pendekatan Perubahan Kurikulum

Pengembangan konsep efektivitas kurikulum, dapat dikategorikan menjadi tiga macam pendekatan untuk memaksimumkan efektivitas mengajar dan belajar di sekolah melalui perubahan kurikulum sebagai berikut.

Pendekatan Perubahan Kurikulum Simplistik. Kurikulum dapat dikembangkan atau diubah secara simplistik pada level individu siswa, program, atau level sekolah. Perubahan ini dapat disesuaikan dengan kondisi level tersebut dengan berpedoman pada kompetensi guru dan karakteristik siswa sebagai dasar untuk mencapai tujuan sekolah. Pendekatan ini berasumsi bahwa guru adalah pasif, kompetensi guru adalah statis, dan perubahan kurikulum dapat direncanakan dan diterapkan secara efektif oleh pengelola sekolah atau tenaga ahli dari luar sekolah.

Pendekatan Pengembangan Kompetensi Guru. Kompetensi guru dapat dikembangkan sesuai dengan tuntutan kurikulum. Pendekatan ini berasumsi bahwa perubahan kurikulum dibebankan oleh pengelola pendidikan atau tenaga ahli dari luar. Kompetensi guru dapat dikembangkan secara mudah untuk memuaskan semua kebutuhan dan kurikulum sekolah.

Pendekatan Perubahan Kurikulum Dinamis. Kedua pendekatan kurikulum (simplistik dan kompetensi guru) dapat dikembangkan dan diubah secara aktif dan dinamis dengan memaksimumkan efektivitas pelaksanaan kurikulum melalui fasilitas pengajaran dan pembelajaran. Pendekatan ini berasumsi bahwa: efektivitas kurikulum adalah suatu konsep dinamis yang melibatkan siklus keberlanjutan dan proses perubahan kurikulum dan kompetensi guru; kurikulum dapat dikembangkan dan diubah secara efektif ketika guru (yang menerapkan) selalu dilibatkan dalam proses; kompetensi guru dapat dikembangkan tidak hanya untuk memuaskan pada tuntutan kurikulum yang ada atau kurikulum yang diubah melainkan juga untuk mengembangkan kurikulum yang lebih tepat untuk menyesuaikan karakteristik siswa, tujuan sekolah, dan kondisi sekolah; dan perubahan efektivitas kurikulum dapat dilibatkan tidak hanya pengelola pendidikan atau tenaga ahli dari luar tetapi juga guru-guru untuk membantu dalam menyusun perencanaan kurikulum dan pembuatan keputusan.

Perbandingan antara ketiga pedekatan tersebut dapat dilihat Tabel 1. Pendekatan pertama dan kedua menerapkan program jangka pendek. Keduanya memiliki perspektif secara mekanik yang dapat membantu dan menerapkan perubahan kurikulum. Kedua pendekatan ini menghindari dinamika alamiah dari perubahan kurikulum dan pengembangan guru serta pentingnya aturan kegiatan guru, keterlibatan dan komitmen perencanaan kurikulum dan pengembangan profesi guru. Karena menghindari dinamika alamiah, perubahan kurikulum melalui dua pendekatan ini tidak dapat membawa efektivitas jangka panjang untuk pengajaran dan pembelajaran. Bahkan, jika ini tidak dilakukan, akan menimbulkan frustrasi guru melalui perlawanan dan protes (Cheng and Ng., 1991a). Pendekatan ketiga betul-betul bersifat aktif, dinamis dan alamiah sesuai dengan tuntutan kompetensi dan partisipasi guru dalam keterlibatan perencanaan kurikulum, serta bertujuan jangka panjang, berlanjut, dan bersiklus.

Tabel 1
Perbandingan Antara Pendekatan-pendekatan Simplistik, Kompetensi Guru,
dan Dinamika dalam Perubahan Kurikulum

Jenis Pendekatan

Pendekatan Perubahan Kurikulum Simplistik

Pendekatan Pengemb. Kompetensi Guru

Pendekatan Perubahan Kurikulum Dinamika

Perubahan alamiah

· Perubahan satu arah

· Perubahan satu arah

· Perubahan dua arah dan dinamis

Fokus perubahan

· Kurikulum

· Kompetensi guru

· Kurikulum dan kompetensi guru

Cara memaksimum-
kann efektifitas

· Kurikulum mengadaptasi guru dan siswa

· Adaptasi guru dengan perubahan kurikulum

· Kurikulum dan guru dapat dikembangkan

Penginisiatif perubahan

· Perubahan direncanakan oleh pengelola atau ahli dari luar

· Perubahan dilakukan oleh pengelola dan ahli dari luar

· Partisipasi guru dalam perubahan perencanaan

Aturan guru

· Penerapannya pasif

· Penerapannya pasif

· Penerapannya aktif dan berencana

Kerangka waktu

· Jangka pendek

· Jangka pendek

· Jangka panjang, berlanjut, dan siklus

Pendekatan perubahan kurikulum perlu menggunakan suatu perspektif jangka panjang. Perspektif ini memerlukan konsistensi konsep strategi manajemen sekolah dengan analisis multilevel di sekolah dan menekankan pengembangan staf pada level individu, kelompok dan sekolah. Aturan dan partisipasi guru diasumsikan betul-betul amat penting dalam perencanaan dan perubahan kurikulum. Pendekatan ini mencari bentuk yang lebih meyakinkan untuk mempengaruhi pengajaran dan pembelajaran melalui perubahan dan pengembangan kurikulum dan kompetensi guru.

Pendekatan dinamis lebih memiliki kekuatan dalam perubahan konsepsi pengembangan kurikulum. Seperti yang telah disebutkan di atas, perubahan kurikulum dan pengembangan kompetensi guru, yang tercakup dalam pendekaan dinamis, adalah amat penting untuk pengembangan efektivitas pengajaran dan pembelajaran di sekolah. Pertanyaannya adalah bagaimana inisiatif sekolah untuk mempertahankan efektivitas pencapaian pengajaran dan pembelajaran yang telah dirancang sesuai dengan tujuan-tujuan sekolah? Bagaimana pelaksanaan MMBS mampu mengkontribusi pendekatan perubahan kurikulum?

Bila menggunakan konsep dinamis kurikulum, semua bentuk perubahan kurikulum yang terjadi dalam suatu kontek organisasi meliputi antara lain faktor guru, norma kelompok, struktur organisasi, budaya sekolah, pemberian insentif/gaji, dan kepemimpinan. Pertanyaannya adalah bagaimana hubungan antara perubahan kurikulum dan pengembangan guru apabila terdapat faktor-faktor organisasi? Hal ini telah dijelaskan sebelumnya, MMBS dapat berinisiatif dan menyokong suatu proses berlanjut untuk pengembangan sekolah yang meliputi perubahan kurikulum dan pengembangan kompetensi guru. Didasarkan pada konsep manajemen pada level individu, kelompok dan sekolah, kontribusi MMBS terhadap perubahan kurikulum dapat dilihat pada Gambar 2 dan dapat dijelaskan sebagai berikut.

Gambar 2. Model Organisasi Perubahan Kurikulum

Perubahan kurikulum dan pengembangan kompetensi guru terjadi dalam tiga level kontek organisasi sekolah yang meliputi level individu, level kelompok/program, dan level sekolah. Perubahan kurikulum dan pengembangan kompetensi guru merupakan pengembangan mutual yaitu dikembangkan satu sama lain dan diperkuat oleh setiap tiga level konten organisasi sekolah dalam waktu jangka panjang. Perubahan kurikulum dan pengembangan kompetensi guru pada level individu dipengaruhi oleh hirarki level kelompok atau program dan level sekolah secara menyeluruh. Efektivitas perubahan kurikulum pada level kelas atau individu (yaitu: pengaruh pada pengajaran dan pembelajaran) ditetapkan secara langsung oleh interaksi antara perubahan kurikulum dan kompetensi guru dan karakteristik siswa dan kelas; dan juga dipengaruhi secara langsung oleh perubahan kurikulum dan pengembangan guru pada level kelompok/program dan pada level sekolah secara menyeluruh. Berdasarkan prinsip kesesuaian MMBS, efektivitas perubahan kurikulum dapat dipengaruhi oleh dua bentuk kesesuaian: (1) kesesuaian antara perubahan kurikulum dan pengembangan kompetensi guru dan (2) kesesuaian antara level. Kedua kesesuaian ini membentuk suatu matrik kesesuaian seperti ditunjukkan pada Tabel 2. Kesesuaian ditetapkan dalam konsep (kognitif) konsistensi dalam tujuan, objektif, nilai, dan asumsi (tentang perubahan, pengembangan, manajemen, pengajaran, dan pembelajaran) dan konsistensi dalam operasional (tentang koordinasi, perluasan yang baik, kesesuaian refleksi kekuatan iklim sekolah, yaitu kekuatan tukar menukar nilai, kepercayaan, dan asumsi di antara anggota (Schein 1992) dan dipercaya untuk menetapkan efektivitas sekolah (Beare, et.al., 1989; Cheng, 1993h). Kesesuaian di antara level dan antara level merupakan perubahan dan pengembangan efektivitas perubahan kurikulum untuk pengajaran dan pembelajaran di sekolah.

Tabel 2
Matrik Kesesuaian

baharudintola-tab2.jpg (15812 bytes)

4. Perbedaan Karakteristik

Perbedaan karakteristik perubahan kurikulum dan pengembangan kompetensi guru adalah suatu perbedaan level yang dibentuk oleh variasi dari faktor-faktor organsisasi, pada level individu, program, dan sekolah. Perubahan kurikulum pada level individu sering dilakukan dengan individu kurikulum, basis kelas/basis kemampuan, dan reviu serta evaluasi kurikulum. Pengembangan kompetensi guru sering dilakukan dengan individu melalui evaluasi formatik atau supervisi klinik guru (Bollington, Hopkins dan West, 1990; Cheng, 1993d; Valentine, 1992).

Fokus perubahan kurikulum pada level program adalah program instruksional yang menunjukkan suatu rangkaian unit kurikulum seperti kurikulum berbasis mata pelajaran atau kurikulum berbasis format untuk beberapa tujuan program spesifik. Misalnya, program pendidikan sains meliputi unit kurikulum seperti biologi, fisika, dan kimia. Secara umum, banyak program pengajaran dan program nonpengajaran diterapkan dalam suatu sekolah. Mekanisme perubahan kurikulum pada level ini dapat disusun dengan program perencanaan, struktur, kebijakan, dan reviu/evaluasi (Cheng, 1993d). Secara khusus, perencanaan pengajaran sebagai komponen kritis adalah suatu proses dari arahan program pengembangan dan objektifitas kurikulum, pengembangan kegiatan dan konten pengajaran dan pembelajaran, sumber dan fasilitas pengajaran organisasi dan perancangan prosedur implementasi. Pengembangan kompetensi guru pada level kelompok meliputi kelompok, tim berbasis atau program tim pengembang (Dyer, 1987; Maeroff, 1993). Mekanisme pengembangan terdiri dari hubungan kelompok, kepemimpinan, norma dan refleksi dan belajar. Untuk membangun suatu program secara khusus diperlukan pengembangan tim/kelompok.

Secara keseluruhan sekolah, perubahan dan pengembangan kurikulum pada level sekolah dapat diarahkan melalui strategi manajemen sekolah atau perencanaan pengembangan sekolah dengan menekankan pada analisis internal sekolah dan lingkungan eksternal dan perspektif jangka panjang (Hagreaves dan Hopkins, 1991). Komponen penting yang dapat mengkontribusi perubahan kurikulum meliputi perencanaan kolaborasi, perencanaan sekolah (termasuk misi sekolah, tujuan, kebijakan, dan strategi), struktur sekolah dan evaluasi/reviu sekolah. Pengembangan guru pada level ini adalah pengembangan guru secara menyeluruh. Kontribusi komponen terhadap pengembangan guru dapat meliputi manajemen sumber daya manusia, manajemen program pengembangan staf, manajemen partisipasi, budaya organisasi, interaksi sosial, kepemimpinan dan organisasi belajar.

Perubahan kurikulum pengembangan kompetensi guru berfokus pada dua perbedaan aspek dari efektivitas persekolahan. Pertama, aspek struktur dan perencanaan dan kedua aspek manusia. Kedua aspek ini dapat didasarkan pada MMBS. Mekanisme ini meliputi manajemen strategi pada level sekolah dan manajemen praktis pada level kelompok dan individu. Manajemen strategi adalah suatu proses yang dapat menggunakan sekolah sebagai suatu kesatuan hubungan yang tepat untuk lingkungannya, memperbaiki kinerja sekolah, mencapai tujuan sekolah dan memenuhi syarat misi sekolah. Manajemen praktis lebih menekankan pada pendekatan kelompok atau individu perorangan. Manajemen persekolahan meliputi kesesuaian komponen seperti analisis lingkungan, perencanaan dan struktur, ketetapan pengarahan guru/staf, dan konstruksi monitoring dan evaluasi. Komponen ini merupakan suatu siklus proses belajar yang mengkontribusi pada pengembangan kurikulum berlanjut dan pengembangan staf pada level individu, program/kelompok dan sekolah.

Manajemen pada level kelompok dan level individu juga merupakan suatu siklus proses belajar yang memberi dukungan pada siklus perubahan kurikulum dan pengembangan staf pada dua level ini. Gambar 3 memperlihatkan sebuah contoh proses siklus pada level program yang meliputi program analisis, perencanaan, implementasi serta monitoring dan evaluasi. Proses siklus memberikan suatu mekanisme untuk mengubah dan mengembangkan kurikulum pada level program.

baharudintola-gbr3.GIF (5863 bytes)

Gambar 3
Contoh Proses Siklus pada Level Program

Lama setiap proses siklus pengembangan kurikulum dapat berbeda dari satu tahun sampai tiga tahun sesuai dengan perbedaan antara level, program, dan individu. Secara strategi, proses siklus pada level sekolah mengarah pada level program dan individu, dan level program dapat mengarah pada level individu. Proses siklus ini memberi kesempatan pada perbaikan berlanjut, pengembangan kurikulum dan kompetensi guru.

Kesesuaian antara perubahan kurikulum dan pengembangan guru dan kesesuaian antara level tentang konsistensi konsep dan operasional pelaksanaan merupakan hal yang amat penting untuk meyakinkan efektivitas perubahan kurikulum. Kesesuaian sering diyakini melalui pengembangan misi sekolah, tujuan dan kebijakan sekolah, dan tukar pikiran/informasi di antara nilai-nilai sekolah, kepercayaan dan asumsi di antara anggota sekolah. Oleh karena itu, pengembangan budaya sekolah tentang efektifitas persekolahan perlu ditekankan (Beare, et.al., 1990b; Cheng, 1993h, Schein, 1992).

5. Kepemimpinan dan Partisipasi

Penggunaan MMBS sebagai ukuran efektivitas manajemen sekolah terhadap perubahan kurikulum, tingkat dan strategi kepemimpinan merupakan hal yang amat penting dan diperlukan dalam pengelolaan pendidikan baik di tingkat pusat, wilayah, kabupaten maupun di tingkat sekolah. Secara khusus, kepemimpinan adalah tanggungjawab bagi pemimpin untuk memfasilitasi kegiatan pengajaran dan pembelajaran, serta mengkordinasi pelaksanaan kurikulum antara level individu, program dan sekolah. Untuk meyakinkan kesesuaian penentuan misi dan tujuan sekolah, manajemen program pengajaran dan pembelajaran dapat mempromosikan suatu iklim mengajar dan belajar yang positif dan kondusif bagi sekolah. Dengan demikian, kepemimpian sekolah amat penting dan tidak boleh diabaikan dalam pengelolaan sekolah secara menyeluruh (Hallinger and Murphy, 1987).

Kesuksesan perubahan kurikulum melibatkan transformasi perilaku guru, skill, motivasi, konsep dan percaya tentang manajemen pengajaran dan pembelajaran. Oleh sebab itu, transformasi kepemimpinan adalah suatu komponen amat penting untuk memproses perubahan kurikulum dan pengembangan kompetensi guru. Kepemimpinan pengajaran dan pembelajaran serta kepemimpinan transformasional telah dijadikan suatu konsep perubahan dari tingkat dan strategi kepemimpinan.

Partisipasi dan kepemimpinan guru ditentukan oleh efektivitas persekolahan dan perubahan pendidikan (Conley and Bacharch, 1990; Lieberman, 1988; Mortimore, 1993). Dalam perencanaan dan manajemen perubahan kurikulum pada level individu, program atau sekolah, partisipasi guru (dan juga partisipasi orang tua, siswa atau alumni) merupakan kontribusi yang cukup besar bagi perubahan kurikulum: (1) memberi informasi pentingnya sumber daya manusia bagi partisipan tentang pengalaman, pengetahuan dan keterampilan untuk menyusun perencanaan lebih baik dan menerapkan perubahan kurikulum; (2) menghasilkan kualitas keputusan yang tinggi dan perencanaan perubahan kurikulum yang baik dengan melibatkan perbedaan perspektif dan keahlian; (3) mempromosikan tanggungjawab yang lebih besar, akuntabilitas, komitmen dan dukungan kuat untuk menerapkan dan menghasilkan perubahan kurikulum; (4) berpartisipasi dalam manajemen perubahan kurikulum dan memberi suatu format tentang arti pengembangan atau pembangunan budaya; (5) berpartisipasi dalam manajemen perubahan kurikulum dan memberi kesempatan bagi individu dan kelompok untuk memperkaya pengalaman dan mengharapkan pengembangan profesional; (6) berpartisipasi dalam perencanaan dan pembuatan keputusan pada perubahan kurikulum, memberi informasi yang lebih banyak, mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk mengatasi perlawanan secara teknis dan psikologis tentang perubahan pelaksanaan ketidakefektifan pada setiap perbedaan level; dan (7) berpartisipasi dalam perencanaan untuk membantu meyakinkan kesesuaian antara perubahan kurikulum dan pengembangan kompetensi guru diantara level secara efektif.

Berdasarkan analisis di atas, MMBS mampu memberi suatu kerangka komprehensif untuk melakukan manajemen perubahan kurikulum. Pelaksanaan kurikulum dalam manajemen berbasis sekolah dapat memberi informasi praktis sebagai bahan renungan, perbandingan dan diskusi bagi pengelola, peraktisi dan peneliti pendidikan.

6. Kesimpulan

Manajemen sekolah berbasis perubahan kurikulum adalah suatu wacana pemikiran yang berlandaskan pada konsep pengembangan efektivitas sekolah. Melalui manajemen seperti ini, pengembangan efektivitas sekolah dapat dilakukan dengan tujuan untuk mengklasifikasi bagaimana konsep-konsep kurikulum, efektivitas kurikulum, dan perubahan kurikulum pada level individu siswa, level program, dan atau level sekolah. Oleh sebab itu, jika manajemen berbasis sekolah, pengembangan efektivitas sekolah, dan perubahan kurikulum merupakan hubungan yang cukup kuat dalam melakukan kontribusi perubahan kurikulum, maka hubungan tersebut akan menjadi hubungan struktur efektivitas kurikulum.

Melalui pengembangan struktur efektivitas kurikulum, perubahan kurikulum dapat dikategorikan ke dalam tiga macam pendekatan: (1) pendekatan perubahan kurikulum simplistik; (2) pendekatan pengembangan kompetensi guru; dan (3) pendekatan perubahan kurikulum dinamis. Untuk mencapai ketiga pendekatan ini, berbagai jenis kendala yang perlu dilakukan, diantaranya perubahan alamiah atau kondisi, faktor atau penyebab perubahan, cara memaksimumkan efektivitas, inisiatif perubahan, aturan guru dan kerangka waktu pelaksanaan. Namun demikian, kesuksesan perubahan kurikulum amat penting untuk melakukan transformasi perilaku guru, skill, motivasi, konsep dan percaya pada manajemen pengajaran dan pembelajaran yang dia akan lakukan. Oleh sebab itu, perencanaan manajemen perubahan kurikulum di level sekolah, partisipasi atau keterlibatan guru, orang tua atau masyarakat, siswa, dan alumni amat penting kontribusinya dalam melakukan pengembangan efektivitas sekolah.

Pustaka Acuan

Beare, H. et.al. 1989. Creating an Excellent School. London, Routledge & Kegan Paul.

Bollington, R., Hopkins, D. and West, M. 1990. An Introduction to Teacher Appraisal. London, Cassel.

Cheng, Y.C. 1986a. A framework of curriculum effectiveenss. Educational Journal, 13, 2, pp. 49-55.

Cheng, Y.C. 1993d. Planning and Structuring for Development and Effectiveness. Hong Kong, The Chinese University of Hong Kong.

Cheng, Y.C. 1993h. Profiles of organisational culture and effective schools. School Effcetiveness and School Improvement. An International Journal of Research, Policy and Practice, 4, 2, pp. 85-110.

Cheng, Y.C. and Ng. K.H. 1991a. School organisational change: Theory, strategy, and technology. Educational Journal, 19, 2, pp. 133-44.

Conley, S. and Bacharach, S. 1990. From school-site management to participatory school-site management. Phi Delta Kappan, 71, 7, pp. 539-44.

Dyer, W.G. 1987. Team Builidng: Issues and Alternatives (2nd ed). Addison Wesley, MA.

Hallinger, P. and Murphy, J.F. 1987. Assessing and developing principal in structural leadership. Educational Leadership, 45, 1, pp. 54-61.

Hagreaves, D.L. and Hopkins, D. 1991. The Empowered School. London, Cassel.

Lieberman, A. (Ed.). 1988. Building a Professional Culture in Schools. New York, Teacher College Press, Columbia University.

Lockheed, M.E. 1988. The mesurement of educational efficiency and effectiveness. Paper presented at the annual meeting of AERA, New Orleans.

Maeroff, G.I. 1993. Team Building for School Change. New York, Teacher Colleges Press, Columbia University.

Mortimore, P. 1993. School effectiveness and the management of effective learning and teaching. Paper presented at the International Congress for School Effectiveness and Improvement, Sweden; Norrkoping.

Schein, E.H. 1992. Organisational Culture and Leadership (2nd ed). San Francisco, CA ; Jossey-Bass.

Valentine, J.W. 1992. Principles and Practices for Effective Teacher Evaluation. Boston, MA; Allyn & Bacon.


Jurnal pendidikan dan kebudayaan n026 des 2000

PENDEKATAN-PENDEKATAN PENDIDIKAN NILAI DAN IMPLEMENTASI
DALAM PENDIDIKAN BUDI PEKERTI

* DR. T. Rmali Zakaria adalah Kepala Bidang Pengembangan Pengelolaan dan Tenaga Kependidikan pada Pusat Inovasi, spesialisasi dalam bidang pendidikan nilai.

Abstraksi

Banyak pakar telah mengembangkan berbagai pendekatan Pendidikan Nilai. Di antara berbagai pendekatan yang ada dan banyak digunakan, dapat diringkas menjadi lima macam pendekatan, yaitu: pendekatan penanaman nilai, pendekatan perkembangan kognitif, pendekatan analisis nilai, pendekatan klarifikasi nilai, dan pendekatan pembelajaran berbuat. Dalam pelaksanaan Pendidikan Budi Pekerti lebih tepat digunakan Pendekatan Campuran, dengan penekanan pada Pendekatan Penanaman Nilai, karena esensi dari tujuan antara Pendidikan Budi Pekerti dan Pendekatan Penanaman Nilai adalah sama, yakni menanamkan nilai-nilai sosial tertentu dalam diri siswa. Berbagai metoda pendidikan dan pengajaran yang digunakan dalam berbagai pendekatan lain dapat digunakan juga dalam proses pendidikan dan pengajaran Pendidikan Budi Pekerti. Hal ini penting, untuk memberi variasi kepada proses pendidikan dan pengajarannya, sehingga lebih menarik dan tidak membosankan.

1. Pendahuluan

Pendidikan budi pekerti memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari Pendidikan Budi Pekerti dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.

Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan Pendidikan Budi Pekerti pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian masal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, seperti Jakarta, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian siswa melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan budi pekerti.

Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan pendidikan budi pekerti pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri siswa. Bagaimanakah karakteristik dari berbagai pendekatan nilai yang berkembang saat ini? Pertanyaan selanjutnya, pendekatan apakah yang paling tepat diimplementasikan dalam pelaksanaan pendidikan budi perkerti di Indonesia? Uraian dalam naskah ini bertumpu pada dua persoalan pokok tersebut.

2. Pendekatan-pendekatan dalam pendidikan nilai

Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan moral. Menurut Hersh, et. al. (1980), di antara berbagai teori yang berkembang, ada enam teori yang banyak digunakan; yaitu: pendekatan pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan klarifikasi nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan perilaku sosial. Berbeda dengan klasifikasi tersebut, Elias (1989) mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang menjadi tiga, yakni: pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku. Klasifikasi ini menurut Rest (1992) didasarkan pada tiga unsur moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi, yakni: perilaku, kognisi, dan afeksi.

Uraian tentang pendekatan-pendekatan pendidikan nilai dalam pembahasan berikut akan didasarkan pada pendekatan-pendekatan seperti yang telah dikaji dan dirumuskan tipologinya dengan jelas oleh Superka, et. al. (1976). Ketika menyelesaikan pendidikan tingkat doktor dalam bidang pendidikan menengah di University of California, Berkeley tahun 1973, Superka telah melakukan kajian dan merumuskan tipologi dari berbagai pendekatan pendidikan nilai yang berkembang dan digunakan dalam dunia pendidikan. Dalam kajian tersebut dibahas delapan pendekatan pendidikan nilai berdasarkan kepada berbagai literatur dalam bidang psikologi, sosiologi, filosofi, dan pendidikan yang berhubungan dengan nilai. Namun, selanjutnya berdasarkan kepada hasil pembahasan dengan para pendidik dan alasan-alasan praktis dalam penggunaaannya di lapangan, pendekatan-pendekatan tersebut telah diringkas menjadi lima (Superka, et. al. 1976). Lima pendekatan tersebut adalah: (1) Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach), (2) Pendekatan perkembangan moral kognitif (cognitive moral development approach), (3) Pendekatan analisis nilai (values analysis approach), (4) Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach), dan (5) Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach).

Klasifikasi dan tipologi dari masing-masing pendekatan tersebut telah divalidasikan juga dengan dua cara. Pertama, ringkasan dari tipologi itu telah dikirimkan kepada sepuluh pakar dalam bidang ini. Enam di antara mereka telah memberikan tanggapannya. Empat di antaranya menyatakan bahwa tipologi itu sangat bermanfaat, dan dapat dibedakan dengan jelas antara yang satu dengan yang lain. Dua orang pakar menyatakan meragukan kemanfaatannya.

Validasi kedua dilakukan dalam suatu aplikasi yang lebih konkrit, dengan melibatkan lebih banyak pakar. Dalam dua konferensi yang diselenggarakan pada bulan Oktober 1974, 64 orang pakar pendidikan telah diminta untuk menganalisis lebih dari 200 bahan pelajaran pendidikan sosial tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah. Selanjutnya mereka diminta untuk mengklasifikasikannya ke dalam pendekatan-pendekatan tersebut, sesuai dengan tipologi yang telah dirumuskan. Untuk setiap bahan pelajaran telah dilakukan dua kali analisis secara bebas (independent). Hasil analisis tersebut membuktikan bahwa sistem klasifikasi tersebut bermanfaat dan memiliki tingkat reliabilitas yang tinggi (Superka, et. al. 1976).

Uraian lebih lanjut dalam pembahasan ini akan didasarkan pada lima pendekatan tersebut. Kelima pendekatan ini, selain telah dikaji dan dirumuskan tipologinya dengan jelas oleh Superka, juga dipandang sesuai dan bermanfaat dalam pelaksanaan Pendidikan Budi Pekerti di Indonesia.

2.1 Pendekatan penanaman nilai

Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Menurut Superka et al. (1976), tujuan pendidikan nilai menurut pendekatan ini adalah: Pertama, diterimanya nilai-nilai sosial tertentu oleh siswa; Kedua, berubahnya nilai-nilai siswa yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial yang diinginkan.

Metoda yang digunakan dalam proses pembelajaran menurut pendekatan ini antara lain: keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi, permainan peranan, dan lain-lain.

Pendekatan ini sebenarnya merupakan pendekatan tradisional. Banyak kritik dalam berbagai literatur barat yang ditujukan kepada pendekatan ini. Pendekatan ini dipandang indoktrinatif, tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan demokrasi (Banks, 1985; Windmiller, 1976). Pendekatan ini dinilai mengabaikan hak anak untuk memilih nilainya sendiri secara bebas. Menurut Raths et al. (1978) kehidupan manusia berbeda karena perbedaan waktu dan tempat. Kita tidak dapat meramalkan nilai yang sesuai untuk generasi yang akan datang. Menurut beliau, setiap generasi mempunyai hak untuk menentukan nilainya sendiri. Oleh karena itu, yang perlu diajarkan kepada generasi muda bukannya nilai, melainkan proses, supaya mereka dapat menemukan nilai-nilai mereka sendiri, sesuai dengan tempat dan zamannya.

Pendekatan penanaman nilai mungkin tidak sesuai dengan alam pendidikan Barat yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan individu. Namun demikian, seperti dijelaskan oleh Superka, et. al. (1976) disadari atau tidak disadari pendekatan ini digunakan secara meluas dalam berbagai masyarakat, terutamanya dalam penanaman nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya. Para penganut agama memiliki kecenderungan yang kuat untuk menggunakan pendekatan ini dalam pelaksanaan program-program pendidikan agama. Bagi penganut-penganutnya, agama merupakan ajaran yang memuat nilai-nilai ideal yang bersifat global dan kebenarannya bersifat mutlak. Nilai-nilai itu harus diterima dan dipercayai. Oleh karena itu, proses pendidikannya harus bertitik tolak dari ajaran atau nilai-nilai tersebut. Seperti dipahami bahwa dalam banyak hal batas-batas kebenaran dalam ajaran agama sudah jelas, pasti, dan harus diimani. Ajaran agama tentang berbagai aspek kehidupan harus diajarkan, diterima, dan diyakini kebenarannya oleh pemeluk-pemeluknya. Keimanan merupakan dasar penting dalam pendidikan agama.

2. Pendekatan perkembangan kognitif

Pendekatan ini dikatakan pendekatan perkembangan kognitif karena karakteristiknya memberikan penekanan pada aspek kognitif dan perkembangannya. Pendekatan ini mendorong siswa untuk berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan moral. Perkembangan moral menurut pendekatan ini dilihat sebagai perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan moral, dari suatu tingkat yang lebih rendah menuju suatu tingkat yang lebih tinggi (Elias, 1989).

Tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan ini ada dua hal yang utama. Pertama, membantu siswa dalam membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi. Kedua, mendorong siswa untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan posisinya dalam suatu masalah moral (Superka, et. al., 1976; Banks, 1985).

Proses pengajaran nilai menurut pendekatan ini didasarkan pada dilemma moral, dengan menggunakan metoda diskusi kelompok. Diskusi itu dilaksanakan dengan memberi perhatian kepada tiga kondisi penting. Pertama, mendorong siswa menuju tingkat pertimbangan moral yang lebih tinggi. Kedua, adanya dilemma, baik dilemma hipotetikal maupun dilemma faktual berhubungan dengan nilai dalam kehidupan seharian. Ketiga, suasana yang dapat mendukung bagi berlangsungnya diskusi dengan baik (Superka, et. al. 1976; Banks, 1985). Proses diskusi dimulai dengan penyajian cerita yang mengandung dilemma. Dalam diskusi tersebut, siswa didorong untuk menentukan posisi apa yang sepatutnya dilakukan oleh orang yang terlibat, apa alasan-alasannya. Siswa diminta mendiskusikan tentang alasan-alasan itu dengan teman-temannya.

Pendekatan perkembangan kognitif pertama kali dikemukakan oleh Dewey (Kohlberg 1971, 1977). Selanjutkan dikembangkan lagi oleh Peaget dan Kohlberg (Freankel, 1977; Hersh, et. al. 1980). Dewey membagi perkembangan moral anak menjadi tiga tahap (level) sebagai berikut: (1) Tahap "premoral" atau "preconventional". Dalam tahap ini tingkah laku seseorang didorong oleh desakan yang bersifat fisikal atau sosial; (2) Tahap "conventional". Dalam tahap ini seseorang mulai menerima nilai dengan sedikit kritis, berdasarkan kepada kriteria kelompoknya. (3) Tahap "autonomous". Dalam tahap ini seseorang berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan akal pikiran dan pertimbangan dirinya sendiri, tidak sepenuhnya menerima kriteria kelompoknya.

Piaget berusaha mendefinisikan tingkat perkembangan moral pada anak-anak melalui pengamatan dan wawancara (Windmiller, 1976). Dari hasil pengamatan terhadap anak-anak ketika bermain, dan jawaban mereka atas pertanyaan mengapa mereka patuh kepada peraturan, Piaget sampai pada suatu kesimpulan bahwa perkembangan kemampuan kognitif pada anak-anak mempengaruhi pertimbangan moral mereka.

Kohlberg (1977) juga mengembangkan teorinya berdasarkan kepada asumsi-asumsi umum tentang teori perkembangan kognitif dari Dewey dan Piaget di atas. Seperti dijelaskan oleh Elias (1989), Kohlberg mendefinisikan kembali dan mengembangkan teorinya menjadi lebih rinci. Tingkat-tingkat perkembangan moral menurut Kohlberg dimulai dari konsekuensi yang sederhana, yang berupa pengaruh kurang menyenangkan dari luar ke atas tingkah laku, sampai kepada penghayatan dan kesadaran tentang nilai-nilai kemanusian universal. Lebih tinggi tingkat berpikir adalah lebih baik, dan otonomi lebih baik daripada heteronomi. Tahap-tahap perkembangan moral diperinci sebagai berikut:

Tahapan "preconventional":

Tingkat 1: moralitas heteronomus. Dalam tingkat perkembangan ini moralitas dari sesuatu perbuatan ditentukan oleh ciri-ciri dan akibat yang bersifat fisik.

Tingkat 2: moralitas individu dan timbal balik. Seseorang mulai sadar dengan tujuan dan keperluan orang lain. Seseorang berusaha untuk memenuhi kepentingan sendiri dengan memperhatikan juga kepentingan orang lain.

Tahapan "conventional":

Tingkat 3: moralitas harapan saling antara individu. Kriteria baik atau buruknya suatu perbuatan dalam tingkat ini ditentukan oleh norma bersama dan hubungan saling mempercayai.

Tingkat 4: moralitas sistem sosial dan kata hati. Sesuatu perbuatan dinilai baik jika disetujui oleh yang berkuasa dan sesuai dengan peraturan yang menjamin ketertiban dalam masyarakat.

Tahapan "posconventional":

Tingkat 4,5: tingkat transisi. Seseorang belum sampai pada tingkat "posconventional" yang sebenarnya. Pada tingkat ini kriteria benar atau salah bersifat personal dan subjektif, dan tidak memiliki prinsip yang jelas dalam mengambil suatu keputusan moral. Tingkat 5: moralitas kesejahteraan sosial dan hak-hak manusia. Kriteria moralitas dari sesuatu perbuatan adalah yang dapat menjamin hak-hak individu serta sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam suatu masyarakat.

Tingkat 6: moralitas yang didasarkan pada prinsip-prinsip moral yang umum. Ukuran benar atau salah ditentukan oleh pilihan sendiri berdasarkan prinsip-prinsip moral yang logis, konsisten, dan bersifat universal.

Asumsi-asumsi yang digunakan Kohlberg (1971,1977) dalam mengembangkan teorinya sebagai berikut: (a) Bahwa kunci untuk dapat memahami tingkah laku moral seseorang adalah dengan memahami filsafat moralnya, yakni dengan memahami alasan-alasan yang melatar belakangi perbuatannya, (b) Tingkat perkembangan tersusun sebagai suatu keseluruhan cara berpikir. Setiap orang akan konsisten dalam tingkat pertimbangan moralnya, (c) Konsep tingkat perkembangan moral menyatakan rangkaian urutan perkembangan yang bersifat universal, dalam berbagai kondisi kebudayaan.

Sesuai dengan asumsi-asumsi tersebut, konsep perkembangan moral menurut teori Kohlberg memiliki empat ciri utama. Pertama, tingkat perkembangan itu terjadi dalam rangkaian yang sama pada semua orang. Seseorang tidak pernah melompati suatu tingkat. Perkembangannya selalu ke arah tingkat yang lebih tinggi. Kedua, tingkat perkembangan itu selalu tersusun berurutan secara bertingkat. Dengan demikian, seseorang yang membuat pertimbangan moral pada tingkat yang lebih tinggi, dengan mudah dapat memahami pertimbangan moral tingkat yang lebih rendah. Ketiga, tingkat perkembangan itu terstruktur sebagai suatu keseluruhan. Artinya, seseorang konsisten pada tahapan pertimbangan moralnya. Keempat, tingkat perkembangan ini memberi penekanan pada struktur pertimbangan moral, bukan pada isi pertimbangannya.

Pendekatan perkembangan kognitif mudah digunakan dalam proses pendidikan di sekolah, karena pendekatan ini memberikan penekanan pada aspek perkembangan kemampuan berpikir. Oleh karena pendekatan ini memberikan perhatian sepenuhnya kepada isu moral dan penyelesaian masalah yang berhubungan dengan pertentangan nilai tertentu dalam masyarakat, penggunaan pendekatan ini menjadi menarik. Penggunaannya dapat menghidupkan suasana kelas. Teori Kohlberg dinilai paling konsisten dengan teori ilmiah, peka untuk membedakan kemampuan dalam membuat pertimbangan moral, mendukung perkembangan moral, dan melebihi berbagai teori lain yang berdasarkan kepada hasil penelitian empiris.

Pendekatan ini juga memiliki kelemahan-kelemahan. Salah satu kelemahannya seperti dikemukakan oleh Hersh, et. al. (1980), pendekatan ini menampilkan bias budaya barat. Antara lain sangat menjunjung tinggi kebebasan pribadi yang berdasarkan filsafat liberal. Dalam proses pendidikan dan pengajaran, pendekatan ini juga tidak mementingkan kriteria benar salah untuk suatu perbuatan. Yang dipentingkan adalah alasan yang dikemukakan atau pertimbangan moralnya.

Teori Kohlberg juga dikritik mengandung bias sex, karena dilemma yang dikemukakannya dan orientasi penilaian pada keadilan dan hak lebih tepat bagi kaum pria. Berdasarkan kepada hasil uji empiris, kaum wanita cenderung mendapat skor lebih rendah dari kaum pria (Power, 1994). Dalam pelaksanaan program-programnya, teori ini juga memberi penekanan pada proses dan struktur pertimbangan moral, mengabaikan nilai dan isi pertimbangnnya. Berhubungan dengan hal ini, menurut Ryan dan Lickona (1987), pendidikan moral dengan penekanan kepada proses semata dan mengabaikan isi, tidak akan mencapai sepenuhnya apa yang diharapkan. Dari sisi lain, pengakuan Kohlberg bahwa teorinya berdasarkan kepada prinsip-prinsip moral yang bersifat universal dibantah juga oleh Liebert (1992). Menurut Liebert, berbagai kajian dalam bidang antropologi tidak mendukung pandangan tentang adanya prinsip-prinsip moral yang universal seperti yang dikemukakan Kohlberg. Realita yang ditemukan adalah berbagai norma, standard, dan nilai-nilai moral yang dipengaruhi oleh budaya masyarakat pendukungnya.

Walaupun pendekatan ini mengandung kelemahan-kelemahan dalam segi-segi tertentu, namun seperti dijelaskan juga oleh Ryan dan Lickona (1987), teori ini juga telah memberi sumbangan berharga bagi perkembangan pendidikan moral.

2.3 Pendekatan analisis nilai

Pendekatan analisis nilai (values analysis approach) memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan siswa untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial. Jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif, salah satu perbedaan penting antara keduanya bahwa pendekatan analisis nilai lebih menekankan pada pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai sosial. Adapun pendekatan perkembangan kognitif memberi penekanan pada dilemma moral yang bersifat perseorangan.

Ada dua tujuan utama pendidikan moral menurut pendekatan ini. Pertama, membantu siswa untuk menggunakan kemampuan berpikir logis dan penemuan ilmiah dalam menganalisis masalah-masalah sosial, yang berhubungan dengan nilai moral tertentu. Kedua, membantu siswa untuk menggunakan proses berpikir rasional dan analitik, dalam menghubung-hubungkan dan merumuskan konsep tentang nilai-nilai mereka. Selanjutnya, metoda-metoda pengajaran yang sering digunakan adalah: pembelajaran secara individu atau kolompok tentang masalah-masalah sosial yang memuat nilai moral, penyelidikan kepustakaan, penyelidikan lapangan, dan diskusi kelas berdasarkan kepada pemikiran rasional (Superka, et. al. 1976).

Ada enam langkah analisis nilai yang penting dan perlu diperhatikan dalam proses pendidikan nilai menurut pendekatan ini (Hersh, et. al., 1980; Elias, 1989). Enam langkah tersebut menjadi dasar dan sejajar dengan enam tugas penyelesaian masalah berhubungan dengan nilai. Enam langkah dan tugas tersebut sebagai berikut:

Langkah analisis nilai:

Tugas penyelesaian masalah:

1. Mengidentifikasi dan menjelaskan nilai yang terkait

1. Mengurangi perbedaan penafsiran tentang nilai yang terkait

2. Mengumpulkan fakta yang berhubungan.

2. Mengurangi perbedaan dalam fakta yang berhubungan

3. Menguji kebenaran fakta yang berkaitan.

3. Mengurangi perbedaan kebenaran tentang fakta yang berkaitan.

4. Menjelaskan kaitan antara fakta yang bersangkutan

4. Mengurangi perbedaan tentang kaitan antara fakta yang bersangkutan.

5. Merumuskan keputusan moral sementara.

5. Mengurangi perbedaan dalam rumusan keputusan sementara.

6. Menguji prinsip moral yang digunakan dalam pengambilan keputusan.

6. Mengurangi perbedaan dalam pengujian prinsip moral yang diterima.

Penganjur pendekatan ini adalah suatu kelompok pakar pendidikan, filosuf, dan pakar psikologi, termasuk di dalamnya: Jerrold Commbs, Milton Mieux, dan James Chadwick (Elias, 1989; Hersh, 1980). Kekuatan pendekatan ini, antara lain mudah diaplikasikan dalam ruang kelas, karena penekanannya pada pengembangan kemampuan kognitif. Selain itu, seperti terlihat dalam rumusan prosedur analisis nilai dan penyelesaian masalah di atas, pendekatan ini menawarkan langkah-langkah yang sistematis dalam pelaksanaan proses pembelajaran moral.

Kelemahannya, berdasarkan kepada: prosedur analisis nilai yang ditawarkan serta tujuan dan metoda pengajaran yang digunakan, seperti yang dijelaskan oleh Superka, et. al. (1976), pendekatan ini sangat menekankan aspek kognitif, dan sebaliknya mengabaikan aspek afektif serta perilaku. Dari perspektif yang lain, seperti yang dijelaskan oleh Ryan dan Lickona (1987), pendekatan ini sama dengan pendekatan perkembangan kognitif dan pendekatan klarifikasi nilai, sangat berat memberi penekanan pada proses, kurang mementingkan isi nilai.

2.3 Pendekatan klarifikasi nilai

Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach) memberi penekanan pada usaha membantu siswa dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri.

Tujuan pendidikan nilai menurut pendekatan ini ada tiga. Pertama, membantu siswa untuk menyadari dan mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri serta nilai-nilai orang lain; Kedua, membantu siswa, supaya mereka mampu berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan orang lain, berhubungan dengan nilai-nilainya sendiri; Kedua, membantu siswa, supaya mereka mampu menggunakan secara bersama-sama kemampuan berpikir rasional dan kesadaran emosional, untuk memahami perasaan, nilai-nilai, dan pola tingkah laku mereka sendiri (Superka, et. al. 1976).

Dalam proses pengajarannya, pendekatan ini menggunakan metoda: dialog, menulis, diskusi dalam kelompok besar atau kecil, dan lain-lain (Raths, et. Al., 1978).

Pendekatan ini antara lain dikembangkan oleh Raths, Harmin, dan Simon (Shaver, 1976). Mereka telah menulis sebuah buku, yang pertama-tama membahas tentang pendekatan ini secara terperici, dengan judul Values and teaching: working with values in the classroom. Edisi pertama buku tersebut diterbitkan pada tahun 1966 oleh penerbit Charles E. Merrill. Istilah values clarification pertama kali digunakan oleh Louis Raths pada tahun 1950an, ketika beliau mengajar di New York University.

Pendekatan ini memberi penekanan pada nilai yang sesungguhnya dimiliki oleh seseorang. Bagi penganut pendekatan ini, nilai bersifat subjektif, ditentukan oleh seseorang berdasarkan kepada berbagai latar belakang pengalamannya sendiri, tidak ditentukan oleh faktor luar, seperti agama, masyarakat, dan sebagainya. Oleh karena itu, bagi penganut pendekatan ini isi nilai tidak terlalu penting. Hal yang sangat dipentingkan dalam program pendidikan adalah mengembangkan keterampilan siswa dalam melakukan proses menilai. Sejalan dengan pandangan tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh Elias (1989), bahwa bagi penganut pendekatan ini, guru bukan sebagai pengajar nilai, melainkan sebagai role model dan pendorong. Peranan guru adalah mendorong siswa dengan pertanyaan-pertanyaan yang relevan untuk mengembangkan keterampilan siswa dalam melakukan proses menilai.

Ada tiga proses klarifikasi nilai menurut pendekatan ini. Dalam tiga proses tersebut terdapat tujuh subproses sebagai berikut:

Pertama, memilih :

1). dengan bebas

2). dari berbagai alternatif

3). setelah mengadakan pertimbangan tentang berbagai akibatnya,

Kedua, menghargai:

4). merasa bahagia atau gembira dengan pilihannya,

5). mau mengakui pilihannya itu di depan umum,

Ketiga, bertindak:

6). berbuat sesuatu sesuai dengan pilihannya,

7). diulang-ulang sebagai suatu pola tingkah laku dalam hidup (Raths, et. al., 1978).

Untuk mengembangkan keterampilan siswa dalam melakukan proses menilai tersebut, Raths, et. al. (1978) telah merumuskan juga empat pedoman sebagai kunci penting sebagai berikut: (1) Tumpuan perhatian diberikan pada kehidupan. Yang dimaksudkan adalah berusaha untuk mengarahkan tumpuan perhatian orang pada berbagai aspek kehidupan mereka sendiri, supaya mereka dapat mengidentifikasi hal-hal yang mereka nilai; (2) Penerimaan sesuai dengan apa adanya. Yang dimaksudkan, ketika kita memberi perhatian pada klarifikasi nilai, kita perlu menerima posisi orang lain tanpa pertimbangan, sesuai dengan apa adanya; (3) Stimulus untuk bertindak lebih lanjut. Artinya, kita perlu lebih banyak berbuat sebagai refleksi nilai, dari pada sekedar menerima; (4) Pengembangan kemampuan perseorangan. Artinya, dengan pendekatan ini bukan hanya mengembangkan keterampilan klarifikasi nilai, tetapi juga mendapat tuntunan untuk berpikir dan berbuat lebih lanjut.

Kekuatan pendekatan ini terutama memberikan penghargaan yang tinggi kepada siswa sebagai individu yang mempunyai hak untuk memilih, menghargai, dan bertindak berdasarkan kepada nilainya sendiri (Banks, 1985). Metoda pengajarannya juga sangat fleksibel, selama dipandang sesuai dengan rumusan proses menilai dan empat garis panduan yang ditentukan, seperti telah dijelaskan di atas

Sama halnya dengan pendekatan perkembangan kognitif, pendekatan ini juga mengandung kelemahan menampilkan bias budaya barat. Dalam pendekatan ini, kriteria benar salah sangat relatif, karena sangat mementingkan nilai perseorangan. Seperti dikemukakan oleh Banks (1985), pendidikan nilai menurut pendekatan ini tidak memiliki suatu tujuan tertentu berkaitan dengan nilai. Sebab, bagi penganut pendekatan ini, menentukan sejumlah nilai untuk siswa adalah tidak wajar dan tidak etis.

2.5 Pendekatan pembelajaran berbuat

Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) memberi penekanan pada usaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok.

Superka, et. al. (1976) menyimpulkan ada dua tujuan utama pendidikan moral berdasarkan kepada pendekatan ini. Pertama, memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan moral, baik secara perseorangan mahupun secara bersama-sama, berdasarkan nilai-nilai mereka sendiri; Kedua, mendorong siswa untuk melihat diri mereka sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dalam pergaulan dengan sesama, yang tidak memiliki kebebasan sepenuhnya, melainkan sebagai warga dari suatu masyarakat, yang harus mengambil bagian dalam suatu proses demokrasi.

Metoda-metoda pengajaran yang digunakan dalam pendekatan analisis nilai dan klarifikasi nilai digunakan juga dalam pendekatan ini. Metoda-metoda lain yang digunakan juga adalah projek-projek tertentu untuk dilakukan di sekolah atau dalam masyarakat, dan praktek keterampilan dalam berorganisasi atau berhubungan antara sesama (Superka, et. al., 1976).

Menurut Elias (1989), Hersh, et. al., (1980) dan Superka, et. al. (1976), pendekatan pembelajaran berbuat diprakarsai oleh Newmann, dengan memberikan perhatian mendalam pada usaha melibatkan siswa sekolah menengah atas dalam melakukan perubahan-perubahan sosial. Menurut Elias (1989), walaupun pendekatan ini berusaha juga untuk meningkatkan keterampilan "moral reasoning" dan dimensi afektif, namun tujuan yang paling penting adalah memberikan pengajaran kepada siswa, supaya mereka berkemampuan untuk mempengaruhi kebijakan umum sebagai warga dalam suatu masyarakat yang demokratis. Penganjur pendekatan ini memandang bahwa kelemahan dari berbagai pendekatan lain adalah menghasilkan warga negara yang pasif. Menurut mereka, melalui program-program pendidikan moral sepatutnya menghasilkan warga negara yang aktif, yakni warga negara yang memiliki kompetensi yang diperlukan dalam lingkungan hidupnya (environmental competence) sebagai berikut: (1) kompetensi fisik (physical competence), yang dapat memberikan nilai tertentu terhadap suatu obyek. Misalnya: melukis suatu sesuatu membangun sebuah rumah, dan sebagainya; (2) kompetensi hubungan antarpribadi (interpersonal competence), yang dapat meberi pengaruh kepada orang-orang melalui hubungan antara sesama. Misalnya: saling memperhatikan, persahabatan, dan hubungan ekonomi, dan lain-lain; (3) kompetensi kewarganegaraan (civic competence), yang dapat memberi pengaruh kepada urusan-urusan masyarakat umum. Misalnya: proses pemilihan umum dengan memberi bantuan kepada seseorang calon atau partai peserta untuk memperoleh kemenangan, atau melalui kelompok peminat tertentu, mampu mempengaruhi perubahan kebijaksanaan umum.

Di antara ketiga kompetensi tersebut, kompetensi yang ketiga (civic competence) merupakan kompetensi yang paling penting bagi Newman (Hersh, et. al., 1980). Kompetensi ini ingin dikembangkan melalui program-program pendidikan moral. Kekuatan pendekatan ini terutama pada program-program yang disediakan dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan demokrasi. Kesempatan seperti ini, menurut Hersh, et. al. (1980) kurang mendapat perhatian dalam berbagai pendekatan lain.

Kelemahan pendekatan ini menurut Elias (1989) sukar dijalankan. Menurut beliau, sebahagian dari program-program yang dikembangkan oleh Newmann dapat digunakan, namun secara keseluruhannya sukar dilaksanakan.

3. Implementasi dalam Pendidikan Budi Pekerti

Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) adalah pendekatan yang paling tepat digunakan dalam pelaksanaan Pendidikan Budi Pekerti di Indonesia. Walaupun pendekatan ini dikritik sebagai pendekatan indoktrinatif oleh penganut filsafat liberal, seperti telah diuraikan di atas, namun berdasarkan kepada nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia dan falsafah Pancasila, pendekatan ini dipandang paling sesuai. Alasan-alasan untuk mendukung pandangan ini antara lain sebagai berikut.

1. Tujuan Pendidikan Budi Pekerti adalah penanaman nilai-nilai tertentu dalam diri siswa. Pengajarannya bertitik tolak dari nilai-nilai sosial tertentu, yakni nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia lainnya, yang tumbuh dan berkembangan dalam masyarakat Indonesia.

2. Menurut nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia dan pandangan hidup Pancasila, manusia memiliki berbagai hak dan kewajiban dalam hidupnya. Setiap hak senantiasa disertai dengan kewajiban, misalnya: hak sebagai pembeli, disertai kewajiban sebagai pembeli terhadap penjual; hak sebagai anak, disertai dengan kewajiban sebagai anak terhadap orang tua; hak sebagai pegawai negeri, disertai kewajiban sebagai pegawai negeri terhadap masyarakat dan negara; dan sebagainya. Dalam rangka Pendidikan Budi Pekerti, siswa perlu diperkenalkan dengan hak dan kewajibannya, supaya menyadari dan dapat melaksanakan hak dan kewajiban tersebut dengan sebaik-baiknya.

3. Selanjutnya, menurut konsep Pancasila, hakikat manusia adalah makhluk Tuhan Yang Maha Esa, makhluk sosial, dan makhluk individu. Sehubungan dengan hakikatnya itu, manusia memiliki hak dan kewajiban asasi, sebagai hak dan kewajiban dasar yang melekat eksistensi kemanusiaannya itu. Hak dan kewajiban asasi tersebut juga dihargai secara berimbang. Dalam rangka Pendidikan Budi Pekerti, siswa juga perlu diperkenalkan dengan hak dan kewajiban asasinya sebagai manusia.

4. Dalam pengajaran Budi Pekerti di Indonesia, faktor isi atau nilai merupakan hal yang amat penting. Dalam hal ini berbeda dengan pendidikan moral dalam masyarakat liberal, yang hanya mementingkan proses atau keterampilan dalam membuat pertimbangan moral. Pengajaran nilai menurut pandangan tersebut adalah suatu indoktrinasi, yang harus dijauhi. Anak harus diberikan kebebasan untuk memilih dan menentukan nilainya sendiri. Pandangan ini berbeda dengan falsafah Pancasila dan budaya luhur bangsa Indonesia, yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Misalnya, berzina, berjudi, adalah perhuatan tercela, yang harus dihindari; orang tua harus dihormati, dan sebagainya. Nilai-nilai ini harus diajarkan kepada anak, sebagai pedoman tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, dalam pengajaran Budi Pekerti faktor isi nilai dan proses, keduanya sama-sama dipentingkan.

Berbagai metode pengajaran yang digunakan dalam pendekatan-pendekatan lain dapat digunakan juga dalam pengajaran Pendidikan Budi Pekerti. Implementasinya sebagai berikut: (1) Metode yang digunakan dalam Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif. Misalnya mengangkat dan mendiskusikan kasus atau masalah Budi Pekerti dalam masyarakat yang mengandung dilemma, untuk didiskusikan dalam kelas. Penggunaan metoda ini akan dapat menghidupkan suasana kelas. Namun berbeda dengan Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif di mana yang memberi kebebasan penuh kepada siswa untuk berpikir dan sampai pada kesimpulan yang sesuai dengan tingkat perkembangan moral reasoning masing-masing, dalam pengajaran Pendidikan Budi Pekerti siswa diarahkan sampai pada kesimpulan akhir yang sama, sesuai dengan nilai-nilai sosial tertentu, yang bersumber dari Pancasila dan budaya luhur bangsa Indonesia; (2) Metoda pengajaran yang digunakan Pendekatan Analisis Nilai, khususnya prosedur analisis nilai dan penyelesaian masalah yang ditawarkan, bermanfaat jua untuk diaplikasikan sebagai salah satu strategi dalam proses pengajaran Pendidikan Budi Pekerti. Seperti telah dijelaskan, dalam mata pelajaran ini, aspek perkembangan kognitif merupakan aspek yang dipentingkan juga, yakni untuk mendukung dan menjadi dasar bagi pengembangan sikap dan tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang ingin ditanamkan. Hal ini sejalan dengan penegasan Haydon (1995) bahwa pengetahuan dan pemahaman konsep adalah penting dalam pendidikan moral, untuk membentuk sikap moral yang lebih stabil dalam diri seseorang; (3) Metoda pengajaran yang digunakan dalam Pendekatan Klarifikasi Nilai, dengan memperhatikan faktor keadaan serta bahan pelajarannya yang relevan, dapat diaplikasikan juga dalam pengajaran Pendidikan Budi Pekerti. Namun demikian, seperti dijelaskan oleh Prayitno (1994), penggunaannya perlu hati-hati, supaya tidak membuka kesempatan bagi siswa, untuk memilih nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai masyarakatnya, terutama nilai-nilai Agama dan nilai-nilai Pancasila yang ingin dibudayakan dan ditanamkan dalam diri mereka; (4) Metoda pengajaran yang digunakan dalam Pendekatan Pembelajaran Berbuat bermanfaat juga untuk diaplikasikan dalam pengajaran "Pendidikan Pancasila" di Indonesia, khususnya pada peringkat sekolah lanjutan tingkat atas. Para siswa pada peringkat ini lebih tepat untuk melakukan tugas-tugas di luar ruang kelas, yang dikembangkan untuk meningkatkan kompetensi yang berhubungan dengan lingkungan, seperti yang dituntut oleh pendekatan ini. Namun demikian, mengingat kelemahan-kelemahan pendekatan ini, seperti dikemukakan di atas, penggunaan metoda dan strategi pengajaran berdasarkan kepada pendekatan ini dapat digunakan dalam batas-batas yang memungkinkan. Untuk ini perlu dirumuskan program-program yang sederhana dan memungkinkan untuk dilaksanakan pada masing-masing sekolah.

4. Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan

Berdasar uraian di atas, dapat disimpulkan berbagai hal berikut: (1) Berbagai pendekatan pendidikan nilai yang berkembang mempunyai aspek penekanan yang berbeda, serta mempunyai kekuatan dan kelemahan yang relatif berbeda pula. Pada umumnya, pendekatan-pendekataan yang berkembang lebih banyak memberikan penekanan kepada proses dan kurang mementingkan aspek isi nilai; (2) Pendekatan yang digunakan dalam pelaksanaan Pendidikan Budi Pekerti lebih tepat disebut sebagai Pendekatan Eklektik, yakni pendekatan campuran dengan penekanan pada Pendekatan Penanaman Nilai, karena keduanya memiliki esensi tujuan yang sama, yakni menanamkan nilai-nilai sosial tertentu dalam diri siswa; (3) Berbagai metoda pendidikan dan pengajaran yang digunakan oleh berbagai pendekatan pendidikan nilai yang berkembang dapat digunakan juga dalam pelaksanaan Pendidikan Budi Pekerti. Hal ini penting, untuk memberikan variasi kepada proses pendidikan dan pengajarannya, sehingga lebih menarik dan tidak membosankan.

B. Saran

Berdasar uraian di atas, dapat disimpulkan berbagai hal berikut: (1) Pelaksanaan program-program Pendidikan Budi Pekerti perlu disertai dengan keteladanan guru, orang tua, dan orang dewasa pada umumnya. Selain dari pada itu, perlu disertai pula dengan upaya-upaya untuk mewujudkan lingkungan sosial yang kondusif bagi para siswa, baik dalam keluarga, di sekolah, dan dalam masyarakat. Dengan demikian, pelaksanaan program-program Pendidikan Budi Pekerti akan lebih berkesan dalam rangka membentuk kepribadian siswa; (2) Penyusunan program-program Pendidikan Budi Pekerti dan pengimple-mentasiannya perlu memberikan penekanan yang berimbang kepada aspek isi nilai dan proses pengajarannya. Selain daripada itu, perlu memberikan penekaanan yang berimbang pula kepada perkembangan rasional, emosional, serta tingkah laku, dan perbuatan. Hal ini penting, dalam rangka membentuk dan mengembangkan kepribadian siswa seutuhnya; (3) Faktor agama perlu mendapat perhatian yang baik dalam penyusunan program-program Pendidikan Budi Pekerti dan dalam pengimplementasiannya, karena agama dapat menjadikan nilai-nilai budi pekerti memiliki akar yang kuat dalam diri siswa, yakni iman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, guru perlu menjadi teladan, dan harus mampu mendorong siswa untuk menjadi insan yang beriman dan bertaqwa, sesuai dengan agama yang dianutnya masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA

Banks, J.A. 1985. Teaching strategies for the social studies. New York: Longman.

Elias, J. L. 1989. Moral education: secular and religious. Florida: Robert E. Krieger Publishing Co., Inc.

Fraenkel, J.R. 1977. How to teach about values: an analytic approach. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Fraenkel, J.R. 1980. Helping students think and value: strategies for teaching the social studies. Second Edition. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Hersh, R.H., Miller, J.P. & Fielding, G.D. 1980. Model of moral education: an appraisal. New York: Longman, Inc.

Kohlberg, L. 1971. Stages of moral development as a basis of moral education. Dlm. Beck, C.M., Crittenden, B.S. & Sullivan, E.V.(pnyt.). Moral education: interdisciplinary approaches: 23-92. New York: Newman Press.

Kohlberg, L. 1977. The cognitive-developmental approach to moral education. Dlm. Rogrs, D. Issues in adolescent psychology: 283-299. New Jersey: Printice Hall, Inc.

Lictona, T. 1987. Character development in the family. Dlm. Ryan, K. & McLean, G.F. Character development in schools and beyond: 253-273. New York: Praeger.

Liebert, R.M. 1992. Apa yang berkembang dalam perkembangan moral?. Dlm. Kurtines, W.M. & Gerwitz, J.L. (pnyt.). Moralitas, perilaku moral, dan perkembangan moral:287-313. Terj. Soelaeman, M.I. & Dahlan, M.D. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Power, F.C. 1994. Moral development. Dlm. Ramachandran, V.C. (pnyt.). Encyclopedia of human behavior: 203-212. San Diego: Academic Press.

Prayitno. 1984. Budi pekerti dan pendidikan. Kertas kerja seminar pendidikan budi pekerti, anjuran Pusat Kurikulum dan Sarana Pendidikan, Balitbang Dikbud, 2-3 Ogos 1994.

Raths, L.E., Harmin, M. & Simon, S.B. 1978. Values and teaching: working with values in the classroom. Second Edition. Columbus: Charles E. Merrill Publishing Company.

Rest, J.R. 1992 Komponen-komponen utama moralitas. Dlm. Kurtines, W.M. & Gerwitz, J.L. (pnyt.). Moralitas, perilaku moral, dan perkembangan moral:37-60. Terj. Soelaeman, M.I. & Dahlan, M.D. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Shaver, J.P. & Strong, W. 1982. Facing value decisions: rationale-building for teachers. Second Edition. New York: Teacher College, Columbia University.

Superka, D.P. 1973. A typology of valuing theories and values education approaches. Doctor of Education Dissertation. University of California, Berkeley.

Superka, D.P., Ahrens, C., Hedstrom, J.E., Ford, L.J. & Johnson, P.L. 1976. Values education sourcebook. Colorado: Social Science Education Consortium, Inc.

Windmiller, M. 1976. Moral development. Dlm. Adams. J.F. (pnyt.). Understanding adolescence: current developments in adolescent psychology: 176-198. Boston: Allyn and Bacon, Inc.


Sebuah Tinjauan Teoritis Tentang Inovasi Pendidikan di Indonesia

Oleh: Idris HM. Noor


Abstraksi

Inovasi pendidikan menjadi topik yang selalu hangat dibicarakan dari masa ke masa. Isu ini selalu juga muncul tatkala orang membicarakan tentang hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan. Dalam inovasi pendidikan, secara umum dapat diberikan dua buah model inovasi yang baru yaitu: Pertama "top-down model" yaitu inovasi pendidikan yang diciptakan oleh pihak tertentu sebagai pimpinan/atasan yang diterapkan kepada bawahan; seperti halnya inovasi pendidikan yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasinal selama ini. Kedua "bottom-up model" yaitu model ionovasi yang bersumber dan hasil ciptaan dari bawah dan dilaksanakan sebagai upaya untuk meningkatkan penyelenggaraan dan mutu pendidikan.

Disamping kedua model yang umum tersebut di atas, ada hal lain yang muncul tatkala membicarakan inovasi pendidikan yaitu: a). kendala-kendala, termasuk resistensi dari pihak pelaksana inovasi seperti guru, siswa, masyarakat dan sebagainya, b). faktor-faktor seperti guru, siswa, kurikulum, fasilitas dan dana c). lingkup sosial masyarakat.

1. Pendahuluan

Berbicara mengenai inovasi (pembaharuan) mengingatkan kita pada istilah invention dan discovery. Invention adalah penemuan sesuatu yang benar-benar baru artinya hasil karya manuasia. Discovery adalah penemuan sesuatu (benda yang sebenarnya telah ada sebelumnya. Dengan demikian, inovasi dapat diartikan usaha menemukan benda yang baru dengan jalan melakukan kegiatan (usaha) invention dan discovery. Dalam kaitan ini Ibrahim (1989) mengatakan bahwa inovasi adalah penemuan yang dapat berupa sesuatu ide, barang, kejadian, metode yang diamati sebagai sesuatu hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang (masyarakat). Inovasi dapat berupa hasil dari invention atau discovery. Inovasi dilakukan dengan tujuan tertentu atau untuk memecahkan masalah ((Subandiyah 1992:80)

Proses dan tahapan perubahan itu ada kaitannya dengan masalah pengembangan (development), penyebaran (diffusion), diseminasi (dissemination), perencanaan (planning), adopsi (adoption), penerapan (implementation) dan evaluasi (evaluation) (Subandiyah 1992:77)

2. Perubahan dan Inovasi Pendidikan

Pelaksanaaan inovasi pendidikan seperti inovasi kurikulum tidak dapat dipisahkan dari inovator dan pelaksana inovasi itu sendiri. Inovasi pendidikan seperti yang dilakukan di Depdiknas yang disponsori oleh lembaga-lembaga asing cenderung merupakan "Top-Down Inovation". Inovasi ini sengaja diciptakan oleh atasan sebagai usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan atau pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, ataupun sebagai usaha untuk meningkatkan efisiensi dan sebaginya. Inovasi seperti ini dilakukan dan diterapkan kepada bawahan dengan cara mengajak, menganjurkan dan bahkan memaksakan apa yang menurut pencipta itu baik untuk kepentingan bawahannya. Dan bawahan tidak punya otoritas untuk menolak pelaksanaannya.

Banyak contoh inovasi yang dilakukan oleh Depdiknas selama beberpa dekade terakhir ini, seperti Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), Guru Pamong, Sekolah Persiapan Pembangunan, Guru Pamong, Sekolah kecil, Sistem Pengajaran Modul, Sistem Belajar jarak jauh dan lain-lain. Namun inovasi yang diciptakan oleh Depdiknas bekerjasama dengan lembaga-lembaga asing seperti British Council. USAID dan lain-lain banyak yang tidak bertahan lama dan hilang, tenggelam begitu saja. Model inovasi yang demikian hanya berjalan dengan baik pada waktu berstatus sebagai proyek. Tidak sedikit model inovasi seperti itu, pada saat diperkenalkan atau bahkan selama pelaksanaannya banyak mendapat penolakan (resistance) bukan hanya dari pelaksana inovasi itu sendiri (di sekolah), tapi juga para pemerhati dan administrator di Kanwil dan Kandep. Model inovasi seperti yang diuraikan di atas, lazimnya disebut dengan model 'Top-Down Innovation". Model itu kebalikan dari model inovasi yang diciptakan berdasrkan ide, pikiran, kreasi, dan inisiatif dari sekolah, guru atau masyarakat yang umumnya disebut model "Bottom-Up Innovation"

Ada inovasi yang juga dilakukan oleh guru-guru, yang disebut dengan "Bottom-Up Innovation". Model yang kedua ini jarang dilakukan di Indonesia selama ini karena sitem pendidikan yang sentralistis.

Pembahasan tentang model inovasi seperti model "Top-Down" dan "Bottom-Up" telah banyak dilakukan oleh para peneliti dan para ahli pendidikan. Sudah banyak pembahasan tentang inovasi pendidikan yang dilakukan misalnya perubahan kurikulum dan proses belajar mengajar. White (1988: 136-156) misalnya menguraikan beberapa aspek yang bekaitan dengan inovasi seperti tahapan-tahapan dalam inovasi, karakteristik inovasi, manajemen inovasi dan sistem pendekatannya.

Kennedy (1987:163) juga membicarakan tentang strategi inovasi yang dikutip dari Chin dan Benne (1970) menyarankan tiga jenis strategi inovasi, yaitu: Power Coercive (strategi pemaksaan), Rational Empirical (empirik rasional), dan Normative-Re-Educative (Pendidikan yang berulang secara normatif).

Strategi inovasi yang pertama adalah strategi pemaksaaan berdasarkan kekuasaan merupakan suatu pola inovasi yang sangat bertentangan dengan kaidah-kaidah inovasi itu sendiri. Strategi ini cenderung memaksakan kehendak, ide dan pikiran sepihak tanpa menghiraukan kondisi dan keadaan serta situasi yang sebenarnya dimana inovasi itu akan dilaksanakan. Kekuasaan memegang peranan yang sangat kuat pengaruhnya dalam menerapkan ide-ide baru dan perubahan sesuai dengan kehendak dan pikiran-pikiran dari pencipta inovasinya. Pihak pelaksana yang sebenarnya merupakan obyek utama dari inovasi itu sendiri sama sekali tidak dilibatkan baik dalam proses perencanaan maupun pelaksanaannya. Para inovator hanya menganggap pelaksana sebagai obyek semata dan bukan sebagai subyek yang juga harus diperhatikan dan dilibatkan secara aktif dalam proses perencanaan dan pengimplementasiannya.

Strategi inovasi yang kedua adalah empirik Rasional. Asumsi dasar dalam strategi ini adalah bahwa manusia mampu menggunakan pikiran logisnya atau akalnya sehingga mereka akan bertindak secara rasional. Dalam kaitan dengan ini inovator bertugas mendemonstrasikan inovasinya dengan menggunakan metode yang terbaik valid untuk memberikan manfaat bagi penggunanya. Di samping itu, startegi ini didasarkan atas pandangan yang optimistik seperti apa yang dikatakan oleh Bennis, Benne, dan Chin yang dikutip dari Cece Wijaya dkk (1991).

Di sekolah, para guru menciptakan strategi atau metode mengajar yang menurutnya sesuai dengan akal yang sehat, berkaitan dengan situasi dan kondisi bukan berdasarkan pengalaman guru tersebut. Di berbagai bidang, para pencipta inovasi melakukan perubahan dan inovasi untuk bidang yang ditekuninya berdasarkan pemikiran, ide, dan pengalaman dalam bidangnya itu, yang telah digeluti berbualan-bulan bahkan bertahun-tahun. Inovasi yang demikian memberi dampak yang lebih baik dari pada model inovasi yang pertama. Hal ini disebabkan oleh kesesuaian dengan kondisi nyata di tempat pelaksanaan inovasi tersebut.

Jenis strategi inovasi yang ketiga adalah normatif re-edukatif (pendidikan yang berulang) adalah suatu strategi inovasi yang didasarkan pada pemikiran para ahli pendidikan seperti Sigmund Freud, John Dewey, Kurt Lewis dan beberapa pakar lainnya (Cece Wijaya (1991), yang menekankan bagaimana klien memahami permasalahan pembaharuan seperti perubahan sikap, skill, dan nilai-nilai yang berhubungan dengan manusia.

Dalam pendidikan, sebuah strategi bila menekankan pada pemahaman pelaksana dan penerima inovasi, maka pelaksanaan inovasi dapat dilakukan berulang kali. Misalnya dalam pelaksanaan perbaikan sistem belajar mengajar di sekolah, para guru sebagai pelaksana inovasi berulang kali melaksanakan perubahan-perubahan itu sesuai dengan kaidah-kaidah pendidikan. Kecenderungan pelaksanaan model yang demikian agaknya lebih menekankan pada proses mendidik dibandingkan dengan hasil dari perubahan itu sendiri. Pendidikan yang dilaksanakan lebih mendapat porsi yang dominan sesuai dengan tujuan menurut pikiran dan rasionalitas yang dilakukan berkali-kali agar semua tujuan yang sesuai dengan pikiran dan kehendak pencipta dan pelaksananya dapat tercapai. Para ahli mengungkapkan berbagai persepsi, pengertian, interpretasi tentang inovasi seperti Kennedy (1987), White (1987), Kouraogo (1987) memberikan berbagai macan definisi tentang inovasi yang berbeda-beda. Dalam hal ini, penulis mengutip definisi inovasi yang dikatakan oleh White (1987:211) yang berbunyi: "Inovation ……more than change, although all innovations involve change." ( inovasi itu … lebih dari sekedar perubahan, walaupun semua inovasi melibatkan perubahan).

Untuk mengetahui dengan jelas perbedaan antara inovasi dengan perubahan, mari kita lihat definisi yang diungkapkan oleh Nichols (1983:4).

"Change refers to " continuous reapraisal and improvement of existing practice which can be regarded as part of the normal activity ….. while innovation refers to …. Idea, subject or practice as new by an individual or individuals, which is intended to bring about improvement in relation to desired objectives, which is fundamental in nature and which is planned and deliberate."

Nichols menekankan perbedaan antara perubahan (change) dan inovasi (innovation) sebagaimana dikatakannya di atas, bahwa perubahan mengacu kepada kelangsungan penilaian, penafsiran dan pengharapan kembali dalam perbaikan pelaksanaan pendidikan yang ada yang diangap sebagai bagian aktivitas yang biasa. Sedangkan inovasi menurutnya adalah mengacu kepada ide, obyek atau praktek sesuatu yang baru oleh seseorang atau sekelompok orang yang bermaksud untuk memperbaiki tujuan yang diharapkan.

Setelah membahas definisi inovasi dan perbedaan antara inovasi dan perubahan, maka berikut ini akan diuraikan tentang kendala yang mempengaruhi pelaksanaan inovasi pendidikan.

3. Kendala-kendala Dalam Inovasi Pendidikan

Kendala-kendala yang mempengaruhi keberhasilan usaha inovasi pendidikan seperti inovasi kurikulum antara lain adalah (1) perkiraan yang tidak tepat terhadap inovasi (2). konflik dan motivasi yang kurang sehat (3). lemahnya berbagai faktor penunjang sehingga mengakibatkan tidak berkembangnya inovasi yang dihasilkan (4). keuangan (finacial) yang tidak terpenuhi (5). penolakan dari sekelompok tertentu atas hasil inovasi (6) kurang adanya hubungan sosial dan publikasi (Subandiyah 1992:81). Untuk menghindari masalah-masalah tersebut di atas, dan agar mau berubah terutama sikap dan perilaku terhadap perubahan pendidikan yang sedang dan akan dikembangkan, sehinga perubahan dan pembaharuan itu diharapkan dapat berhasil dengan baik, maka guru, administrator, orang tua siswa, dan masyarakat umumnya harus dilibatkan

4. Penolakan (Resistance)

Setelah memperhatikan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan suatu inovasi pendidikan, misalnya penolakan para guru tentang adanya perubahan kurikulum dan metode belajar-mengajar, maka perlu kiranya masalah tersebut dibahas. Namun sebelumnya, pengertian tentang resisten itu perlu dijelaskan lebih dahulu. Menurut definisi dalam "Cambridge International English Dictionary of English" bahwa Resistance is to fight against (something or someone) to not be changed by or refuse to accept (something).

Bertdasarkan definisi tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penolakan (resistance) itu adalah melawan sesuatu atau seseorang untuk tidak berubah atau diubah atau tidak mau menerima hal tersebut.

Ada beberapa hal mengapa inovasi sering ditolak atau tidak dapat diterima oleh para pelaksana inovasi di lapangan atau di sekolah sebagai berikut:

1. Sekolah atau guru tidak dilibatkan dalam proses perencanaan, penciptaan dan bahkan pelaksanaan inovasi tersebut, sehingga ide baru atau inovasi tersebut dianggap oleh guru atau sekolah bukan miliknya, dan merupakan kepunyaan orang lain yang tidak perlu dilaksanakan, karena tidak sesuai dengan keinginan atau kondisi sekolah mereka.

2. Guru ingin mempertahankan sistem atau metode yang mereka lakukan saat sekarang, karena sistem atau metode tersebut sudah mereka laksanakan bertahun-tahun dan tidak ingin diubah. Disamping itu sistem yang mereka miliki dianggap oleh mereka memberikan rasa aman atau kepuasan serta sudah baik sesuai dengan pikiran mereka. Hal senada diungkapkan pula Day dkk (1987) dimana guru tetap mempertahankan sistem yang ada.

3. Inovasi yang baru yang dibuat oleh orang lain terutama dari pusat (khususnya Depdiknas) belum sepenuhnya melihat kebutuhan dan kondisi yang dialami oleh guru dan siswa. Hal ini juga diungkapkan oleh Munro (1987:36) yang mengatakan bahwa "mismatch between teacher's intention and practice is important barrier to the success of the innovatory program".

4. Inovasi yang diperkenalkan dan dilaksanakan yang berasal dari pusat merupakan kecenderungan sebuah proyek dimana segala sesuatunya ditentukan oleh pencipta inovasi dari pusat. Inovasi ini bisa terhenti kalau proyek itu selesai atau kalau finasial dan keuangannya sudah tidak ada lagi. Dengan demikian pihak sekolah atau guru hanya terpaksa melakukan perubahan sesuai dengan kehendak para inovator di pusat dan tidak punya wewenang untuk merubahnya.

5. Kekuatan dan kekuasaan pusat yang sangat besar sehingga dapat menekan sekolah atau guru melaksanakan keinginan pusat, yang belum tentu sesuai dengan kemauan mereka dan situasi sekolah mereka.

Untuk mengatasi masalah dan kendala seperti diuraikan di atas, maka berikut ini beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menerapkan inovasi baru.

5. Faktor-Faktor yang Perlu Diperhatikan Dalam Inovasi

Untuk menghindari penolakan seperti yang disebutkan di atas, faktor-faktor utama yang perlu diperhatikan dalam inovasi pendidikan adalah guru, siswa, kurikulum dan fasilitas, dan program/tujuan,

1. Guru

Guru sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan merupakan pihak yang sangat berpengaruh dalam proses belajar mengajar. Kepiawaian dan kewibawaan guru sangat menentukan kelangsungan proses belajar mengajar di kelas maupun efeknya di luar kelas. Guru harus pandai membawa siswanya kepada tujuan yang hendak dicapai.

Ada beberapa hal yang dapat membentuk kewibawaan guru antara lain adalah penguasaan materi yang diajarkan, metode mengajar yang sesuai dengan situasi dan kondisi siswa, hubungan antar individu, baik dengan siswa maupun antar sesama guru dan unsur lain yang terlibat dalam proses pendidikan seperti adminstrator, misalnya kepala sekolah dan tata usaha serta masyarakat sekitarnya, pengalaman dan keterampilan guru itu sendiri.

Dengan demikian, maka dalam pembaharuan pendidikan, keterlibatan guru mulai dari perencanaan inovasi pendidikan sampai dengan pelaksanaan dan evaluasinya memainkan peran yang sangat besar bagi keberhasilan suatu inovasi pendidikan. Tanpa melibatkan mereka, maka sangat mungkin mereka akan menolak inovasi yang diperkenalkan kepada mereka. Hal ini seperti diuraikan sebelumnya, karena mereka menganggap inovasi yang tidak melibatkan mereka adalah bukan miliknya yang harus dilaksanakan, tetapi sebaliknya mereka menganggap akan mengganggu ketenangan dan kelancaran tugas mereka. Oleh karena itu, dalam suatu inovasi pendidikan, gurulah yang utama dan pertama terlibat karena guru mempunyai peran yang luas sebagai pendidik, sebagai orang tua, sebagai teman, sebagai dokter, sebagi motivator dan lain sebagainya. (Wright 1987)

2. Siswa

Sebagai obyek utama dalam pendidikan terutama dalam proses belajar mengajar, siswa memegang peran yang sangat dominan. Dalam proses belajar mengajar, siswa dapat menentukan keberhasilan belajar melalui penggunaan intelegensia, daya motorik, pengalaman, kemauan dan komitmen yang timbul dalam diri mereka tanpa ada paksaan. Hal ini bisa terjadi apabila siswa juga dilibatkan dalam proses inovasi pendidikan, walaupun hanya dengan mengenalkan kepada mereka tujuan dari pada perubahan itu mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan, sehingga apa yang mereka lakukan merupakan tanggung jawab bersama yang harus dilaksanakan dengan konsekwen. Peran siswa dalam inovasi pendidikan tidak kalah pentingnya dengan peran unsur-unsur lainnya, karena siswa bisa sebagai penerima pelajaran, pemberi materi pelajaran pada sesama temannya, petunjuk, dan bahkan sebagai guru. Oleh karena itu, dalam memperkenalkan inovasi pendidikan sampai dengan penerapannya, siswa perlu diajak atau dilibatkan sehingga mereka tidak saja menerima dan melaksanakan inovasi tersebut, tetapi juga mengurangi resistensi seperti yang diuraikan sebelumnya.

3. Kurikulum

Kurikulum pendidikan, lebih sempit lagi kurikulum sekolah meliputi program pengajaran dan perangkatnya merupakan pedoman dalam pelaksanaan pendidikan dan pengajaran di sekolah. Oleh karena itu kurikulum sekolah dianggap sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam proses belajar mengajar di sekolah, sehingga dalam pelaksanaan inovasi pendidikan, kurikulum memegang peranan yang sama dengan unsur-unsur lain dalam pendidikan. Tanpa adanya kurikulum dan tanpa mengikuti program-program yang ada di dalamya, maka inovasi pendidikan tidak akan berjalan sesuai dengan tujuan inovasi itu sendiri. Oleh karena itu, dalam pembahruan pendidikan, perubahan itu hendaknya sesuai dengan perubahan kurikulum atau perubahan kurikulum diikuti dengan pembaharuan pendidikan dan tidak mustahil perubahan dari kedua-duanya akan berjalan searah.

4. Fasilitas

Fasilitas, termasuk sarana dan prasarana pendidikan, tidak bisa diabaikan dalam dalam proses pendidikan khususnya dalam proses belajar mengajar. Dalam pembahruan pendidikan, tentu saja fasilitas merupakan hal yang ikut mempengaruhi kelangsungan inovasi yang akan diterapkan. Tanpa adanya fasilitas, maka pelaksanaan inovasi pendidikan akan bisa dipastikan tidak akan berjalan dengan baik. Fasilitas, terutama fasilitas belajar mengajar merupakan hal yang esensial dalam mengadakan perubahan dan pembahruan pendidikan. Oleh karena itu, jika dalam menerapkan suatu inovasi pendidikan, fasilitas perlu diperhatikan. Misalnya ketersediaan gedung sekolah, bangku, meja dan sebagainya.

5. Lingkup Sosial Masyarakat.

Dalam menerapakan inovasi pendidikan, ada hal yang tidak secara langsung terlibat dalam perubahan tersebut tapi bisa membawa dampak, baik positif maupun negatif, dalam pelaklsanaan pembahruan pendidikan. Masyarakat secara tidak langsung atau tidak langsung, sengaja maupun tidak, terlibat dalam pendidikan. Sebab, apa yang ingin dilakukan dalam pendidikan sebenarnya mengubah masyarakat menjadi lebih baik terutama masyarakat di mana peserta didik itu berasal. Tanpa melibatkan masyarakat sekitarnya, inovasi pendidikan tentu akan terganggu, bahkan bisa merusak apabila mereka tidak diberitahu atau dilibatkan. Keterlibatan masyarakat dalam inovasi pendidikan sebaliknya akan membantu inovator dan pelaksana inovasi dalam melaksanakan inovasi pendidikan.

Kata Kunci: inovasi, perubahan, penolakan, kurikulum, siswa, guru, fasilitas, inovator, pelaksana, masyarakat, sekolah, keterlibatan, top-down-bottom-up, sosial, program, pendidikan

6. Kesimpulan

Inovasi pendidikan sebagai usaha perubahan pendidikan tidak bisa berdiri sendiri, tapi harus melibatakan semua unsur yang terkait di dalamnya, seperti inovator, penyelenggara inovasi seperti guru dan siswa. Disamping itu, keberhasilan inovasi pendidikan tidak saja ditentukan oleh satu atau dua faktor saja, tapi juga oleh masyarakat serta kelengkapan fasilitas. Inovasi pendidikan yang berupa top-down model tidak selamanya bisa berhasil dengan baik. Hal ini disebabkan oleh banyak hal antara lain adalah penolakan para pelaksana seperti guru yang tidak dilibatkan secara penuh baik dalam perencananaan maupun pelaksanaannya. Sementara itu inovasi yang lebih berupa bottom-up model dianggap sebagai suatu inovasi yang langgeng dan tidak mudah berhenti karena para pelaksana dan pencipta sama-sama terlibat mulai dari perencanaan sampai pada pelaksanaan. Oleh karena itu mereka masing-masing bertanggung jawab terhadap keberhasilan suatu inovasi yang mereka ciptakan.

Daftar Pustaka

Cece Wijaya, Djaja Jajuri, A. Tabrani Rusyam (1991) Upaya Pembaharuan dalam Bidang Pendidikan dan Pengajaran. Penerbit PT. Remaja Rosdakarya- Bandung 1991.

Day, C.P. Whitaker, and D. Wren (1987) Appraisal and Professional Development in the Primary Schools, Philadelphia : Open University Press.

Kennedy, C. (1987) Innovation for Change: teacher development and innovation. ELT Journal 41/3

Kouraogo, P. (1987) Curriculum Renewal and INSET in Difficult circumstance. ELT Journal 41/3

Munro. R.G. (1977) Innovation Success or Failure?. Bristol: J.W. Arrowss Smith Cambride English Dictionary

Nicholls, R. (1983) Managing Educational Innovation. London. George, Allen and Unwin.

Subandijah (1992) Pengembangan dan Inovasi Kurikulum. PT Raja Grafindo Persada-Yogyakarta

White, R.V. (1988) The ELT Curriculum: Design, Innovation and Management. Oxford: Blackwell.

White, R.V. (1987) Managing Innovation. ELT. Journal 41/3

Wright, T. (1987) Roles of Teachers and Learners. Oxford: Oxford University Press.

Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan
Terbit enam kali setahun (2 bulan)
pada bulan Januari, Maret, Mei, Juli, September, November.
ISSN 0215 - 2673

Penanggung Jawab
Boediono

Penyunting Ahli
Arief Sukadi Sadiman; M. Djamil Ibrahim; Suharto;
Suheru Muljoatmodjo; Jahja Umar; Wahyudi Ruwiyanto;
Umberto Sihombing; Haryono DS

Ketua PenyuntingAbbas Gozali

Wakil Ketua PenyuntingJohanes Tukidja

Pelaksana Tata UsahaSekarsih; Puji Astuti; Sardjono; Bandiyah

Penyunting PelaksanaSafrudin Ismi Chamidi; Hari Setiadi; Siskandar;
Subijanto; Ida Kintamani Dewi;
Noor Suparyanti; Herry Widyastono

PenerbitBadan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional

Izin Terbit
SK MENPEN NO. 1045/SK/Ditjen
PPG/STT/1986 Tgl. 7 Agustus 1986
dan SK MENPEN NO.:88/Ditjen PPG/K/1995
Tgl. 30 Mei 1995

"Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan" semula bernama Jurnal Ilmiah Kajian Pendidikan dan Kebudayaan dan diterbitkan sejak no. 001 tahun I bulan November 1995, Jurnal ini telah diakreditasi berdasarkan SK Dirjen Dikti Depdikbud RI, No. III Dikti/Kep/1998 sebagai Jurnal Ilmiah Nasional.

Alamat Penyunting dan Tata Usaha
Sekretariat Balitbang Diknas
Jl. Jend. Sudirman, Senayan
Kotak Pos 4104, Jakarta 12041
Telepon : (021) 5731665, pes. 130, 131
Fax : (021) 5721244 - 45
Homepage:
http://www.pdk.go.id
E-mail: krenbang@pdk.go.id

Distribusi
Bagian Publikasi,
Sekretariat Balitbang Depdiknas

Read More.. Read more...

  © Blogger template The Professional Template II by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP