Photobucket

Bank data Artikel 2

الأربعاء، ٢٦ ربيع الآخر ١٤٣٠ هـ

PhD Candidate: Oleh Muhammad Dahlan

The Role of the Indonesian State Institute for Islamic Studies in the Redistribution of Muslim Authority: IAIN under the New Order

Research Proposal

Hubungan antara dunia pendidikan dan dinamika masyarakat selalu menarik untuk diperhatikan. Di satu sisi, karena pendidikan adalah bagian dari kehidupan, ia dituntut mampu mengikuti perkembangan di dalamnya. Di sisi lain, karena misi yang diembannya, pendidikan tidak akan larut dalam pengaruh dunia sekitarnya.

Adanya tarik-menarik antara dua kekuatan di atas cenderung dilupakan, manakala kita berbicara tentang pendidikan dan dinamika perkembangan zaman. Terhadap persoalan pendidikan kita hanya mengartikannya secara sempit. Padahal tanpa memperhatikan faktor-faktor makro —seperti kekuatan ekonomi dan politik— yang berkembang, masalah mendasar dalam proses pendidikan tidak akan tersentuh.Error! Reference source not found.

Dalam studi ini “ketegangan” hubungan antara dunia pendidikan, di satu sisi, dan perkembangan yang terjadi di sekitarnya, di sisi lain, akan dijelaskan. Selanjutnya, dua persoalan tersebut akan dibingkai dalam format pemerintahan Orde Baru. Bingkai ini sengaja dipilih karena dua alasan. Pertama, karena suatu asumsi bahwa pemerintahan Orde Baru berusaha memperbaiki tatanan yang terbangun sebelumnya.Error! Reference source not found. Karena itu studi ini sekaligus dimaksudkan sebagai upaya untuk melakukan verifikasi atas asumsi tersebut. Kedua, agar lebih terfokus, maka wilayah perhatian (area of concern) studi ini dititikberatkan pada rancang bangun IAIN masa Orde Baru.

A. Kecenderungan Pendidikan yang Berkembang Ketidakmampuan dunia pendidikan untuk mengontrol dirinya dari desakan kekuatan-kekuatan besar di sekitarnya, menyebabkan pendidikan bagaikan “ritus”. Situasi ini merupakan kecenderungan umum yang dialami dunia berkembang. Ia menghadapi suasana dilematis, karena dihadapkan pada dua hal yang (tampaknya) bertentangan.Error! Reference source not found. Di satu sisi, ia dituntut bisa memenuhi kebutuhan pragmatis. Di sisi lain, pelbagai tuntutan dikumandangkan agar pendidikan juga memperhatikan peningkatan proses pembudayaan dan pencerdasan bangsa.

Pilihan negara-negara berkembang untuk mengikuti jejak modernisasi yang ditempuh negara-negara maju membuat dirinya mengalami ekses-ekses modernitas. Peradaban modern yang sangat mengagungkan rasionalitas instrumentalError! Reference source not found. —suatu rasio yang “sudah jatuh” posisinya menjadi sekadar sebagai alat (dan bisa diperalat) untuk mendukung (sekaligus melestarikan) sistem yang ada, serta enggan memikirkan kemungkinan lain (kurang memberi kesempatan pada ruang pengandaian dan spekulasi), sebab otonominya sudah (di)hilang(kan)—semakin membenarkan adanya proses “homonisasi”, suatu aktivitas yang berkonotasi impersonal, berciri massal, dan inhuman.

Melalui dan dalam proses “homonisasi” manusia lebih merupakan obyek dan bukan subyek, manusia lebih menjadi sekadar alat dan bukan pengguna alat, dan ada proses penyisihan terhadap insan-insan manusia yang karena keterbatasan inteligensi, kemampuan ekonomis, dan kerentanan kondisi psiko-sosialnya, lantas harus tergilas oleh kompetisi dari arena utama yang berjiwa dan bersemangat survival for the fittest dalam kehidupan.Error! Reference source not found.

Dunia pendidikan sulit menampik tuduhan keterlibatannya dalam keadaan tersebut. Sebagai bagian dari kehidupan, yang secara sadar atau pun tidak, mengikuti modernisasi negara-negara maju, pendidikan juga ikut memberikan andil lestarinya ekses-ekses modernitas.

B. IAIN: Ketegangan antara Negara dan Masyarakat

Dalam konteks komunitas Muslim, intervensi negara terhadap pendirian institusi pendidikan Islam sulit terbantahkan. Contoh yang bisa diungkap di sini, misalnya, pembentukan Sekolah Guru Agama Islam (SGAI) dan Sekolah Guru Hakim Agama Islam (SGHAI), yang dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan guru-guru agama dan hakim-hakim agama.Error! Reference source not found. Sementara pada saat yang sama kita tahu, ada banyak lembaga pendidikan Islam yang sudah mapan, seperti pesantren-pesantren di Jawa, Adabiah School, Dinijah School, dan sebagainya.

Hal yang menimpa sekolah-sekolah Islam di atas, juga terjadi pada kasus pendirian lembaga pendidikan tinggi Islam. Dalam konteks studi ini, adanya pengaruh negara dalam pembentukan IAIN sulit terbantahkan. Bahkan sejak awal berdirinya “bayang-bayang negara” sudah menyatu di dalamnya,Error! Reference source not found. embrionya terlihat dalam pembentukan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di Yogyakarta, dan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta. Dalam perkembangannya kemudian, bentuk dan isi pelayanan pendidikan yang diberikan IAIN sangat kental oleh “warna negara”.

Beberapa kasus yang bisa disebut untuk membenarkan asumsi dan argumentasi tersebut adalah adanya “buka-tutup-buka” beberapa jurusan dan program studi yang ada di IAIN.Error! Reference source not found. Ini misalnya diperlihatkan dalam pembukaan dan penutupan serta pembukaan kembali jurusan-jurusan umum —atau sering disebut dengan program studi Mafikibb (Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, dan Bahasa Inggris— di Fakultas Tarbiyah.

Ketegangan antara kepentingan negara dan masyarakat dalam konteks keberadaan IAIN, bisa dijelaskan, antara lain, dengan mengibaratkan IAIN sebagai “panggung”. Di sebuah panggung hiburan, misalnya, kita bisa menyaksikan bahwa para pemain di dalamnya harus memainkan peran yang tidak dimainkan dalam kehidupan sehari-harinya. Apa yang dilakukan seorang pemain di atas panggung bukanlah cermin dari dirinya sendiri, yang diperlihatkan dalam spontanitas perilaku sehari-harinya. Di atas panggung ia hanyalah subyek penderita karena tuntutan skenario yang sudah dibuat oleh sutradara. Dengan demikian, eksistensi seseorang yang sebenarnya akan segera terlihat begitu ia turun dari panggung.Error! Reference source not found.

Mengibaratkan IAIN sebagai panggung pendidikan yang kental dengan aura hegemoni negara, merupakan persoalan menarik yang akan ditelaah lebih lanjut dalam studi saya ini. Dengan mengibaratkan IAIN sebagai panggung, sebagaimana kita memahami keberadaan panggung-panggung hiburan, studi ini akan memperlihatkan persoalan lebih jauh berkenaan dengan harapan negara terhadap IAIN, dan tututan masyarakat Islam kepadanya.

Harapan negara terhadap IAIN, misalnya, bisa dilihat dalam tujuan pendiriannya, yang dalam istilah teknis pendidikan lazim disebut dengan tujuan instruksional khusus (TIK) dan tujuan instruksional umum (TIU). Sementara tututan komunitas Muslim Indonesia kepada IAIN, untuk menyebut sebagiannya saja, mengangkat derajat kaum santri yang berlatar belakang budaya pedesaan dan strata sosial ekonomi menengah ke bawah.

Ketegangan di tubuh IAIN, dalam konteks yang lebih jauh, sebenarnya tidak hanya berkisar pada hubungan antara negara dan masyarakat, tetapi juga menyangkut banyak hal. Dalam konteks perkembangan IAIN masa Orde Baru, Hendro Prasetyo dan Komaruddin Hidayat menjelaskan hal tersebut dengan mengatakan adanya kegamangan komunitas IAIN vis-à-vis modernitas.Error! Reference source not found. Sementara Johan Hendrik Meuleman, dengan nada yang agak sama, menyatakan bahwa dilihat dari pelbagai sudut pandang IAIN berada di persimpangan jalan (crossroads).Error! Reference source not found.

Dalam konteks yang lebih jauh, tarik-menarik antarpelbagai kepentingan di IAIN diperlihatkan dengan adanya “banyak penyimpangan” area of concern dan area of expertise para mahasiswa dan alumninya.Error! Reference source not found. Sekali lagi, dengan mengibaratkan sebagai suatu panggung, peran yang dimainkan para mahasiswa di dalamnya, dan juga para alumni setelah menamatkan studinya, menunjukkan adanya pemisahan antara “dunia panggung” dan “dunia di luar panggung”.

Adanya demarkasi antara “dunia panggung” dan “dunia di luar panggung” dalam perjalanan sejarah IAIN masa Orde Baru, dalam banyak hal, merupakan hasil dari proses perjalanan panjang Muslim terpelajar dalam pergulatan identitas dan intelektual. Dengan demikian, kenyataan adanya tarik-menarik antarpelbagai kepentingan di tubuh IAIN tidak selalu berarti negatif, sebagaimana tersirat dalam dua pandangan —yang diformulasikan oleh Komaruddin Hidayat, Hendro Prasetyo, dan Johan Meuleman— di atas, tetapi hal itu mestinya justru harus dipupuk sebagai alternatif untuk memperkaya pelayanan pendidikan di IAIN.Error! Reference source not found. Karena itu, berbeda dengan dua pandangan yang telah dikutip di atas, pendapat terakhir tersebut tampaknya lebih apresiatif terhadap kenyataan yang berlangsung di IAIN belakangan. Itulah posisi yang dipilih Nurcholish Madjid, ketika ia mengatakan:

“Pendidikan itu kan yang penting dilihat bukan intended consequences-nya seperti orang belajar ke ITB menjadi insinyur—melainkan, yang lebih penting adalah unintended consequences-nya: menjadi terpelajar. Kalau menjadi terpelajar, orang itu bisa menjadi apa saja. Gejala IAIN menjadi apa itu sama saja dengan fenomena orang-orang IPB yang banyak menjadi bankir. Itulah yang namanya disebut unintended consequences. Hal ini bisa menjadi semakin besar, bila aspek tradisi intelektualnya tersentuh. Pada mula-mulanya kan orang-orang pergi ke IAIN ingin menjadi modin. Tapi, lama-kelamaan, karena aspek intelektualnya tersentuh lalu mereka bisa menjadi apa saja. Itu pentingnya menjadi terpelajar.”Error! Reference source not found.

Berpijak pada pernyataan Nurcholish, secara sederhana kita bisa mengatakan bahwa apa yang dimaksud dengan “dunia panggung” adalah intended consequences, sementara “dunia di luar panggung” adalah unintended consequences; yang pertama diperlihatkan dalam orientasi menjadi modin, sementara yang kedua merupakan proyek S1 menjadi terpelajar. “Dunia panggung” dalam istilah teknis pendidikan sering disebut sebagai tujuan instruksional khusus (TIK) yang sifatnya monolitik dan tertutup, yang dalam institusi Fakultas Tarbiyah, misalnya, hanya terpaku untuk menghasilkan calon guru. Adapun “dunia di luar panggung” lebih membuka banyak kemungkinan untuk menjadi apa saja.

Kebenaran pernyataan di atas —khususnya berkaitan dengan eksistensi Fakultas Tarbiyah di IAIN— mendapatkan legitimasi historisnya, manakala diletakkan dalam konteks berdirinya sekolah-sekolah Islam unggulan pada akhir 80-an dan awal 90-an, seperti sekolah-sekolah yang bernaung dalam payung al-Azhar, sekolah al-Izhar, SMU Insan Cendekia, SMU (Plus) Muthahari, SMU Madania, dan SMU Dwi Warna.Error! Reference source not found. Dalam banyak hal, para pendiri dan pengelola sekolah-sekolah Islam unggulan tersebut hampir tidak percaya dengan kompetensi yang dimiliki lulusan Tarbiyah, bahkan juga terhadap IKIP sekalipun.Error! Reference source not found. Untuk bidang studi agama, mereka cenderung lebih percaya pada lulusan fakultas ushuluddin, untuk bahasa mereka lebih percaya pada fakultas sastra, dan untuk bidang Mafikibb mereka memilih lulusan ITB atau IPB. Jika menggunakan pakem-pakem negera, lulusan yang diterima oleh sekolah-sekolah Islam unggulan tersebut tidak diorientasikan menjadi guru. Kenyataan ini membuktikan bahwa kemampuan Tarbiyah untuk menghasilkan lulusan yang berkompetensi di bidangnya sangat diragukan.

Dalam konteks studi yang akan saya ambil, “dunia panggung” lebih dipahami sebagai cermin dari hegemoni negara, sementara “dunia di luar panggung” merupakan upaya untuk melakukan counter-hegemoni. Hegemoni negara menghasilkan output pendidikan yang terjinakkan,Error! Reference source not found. adapun counter-hegemoni merupakan wahana untuk menghadirkan potensi diri yang terpendam. Dilihat dari kepentingan umat Islam vis-à-vis modernitas, hegemoni negara yang terpancar di IAIN melahirkan lulusan yang gagap menghadapi modernitas, sementara counter-hegemoni menghasilkan lulusan yang mampu melihat banyak alternatif.

Memposisikan IAIN dalam konteks hegemoni negara dan counter hegemoni melahirkan banyak persoalan yang akan dijelaskan dalam studi saya ini lebih lanjut. Untuk menyebutkan sebagian kecilnya saja, misalnya, (1) bagaimana civitas akademika memberi respons terhadap kenyataan adanya hegemoni negara; (2) bagaimana civitas akademika merancang bangun “dunia di luar panggung” dan terlibat aktif di dalamnya; (3) bagaimana bentuk dinamika civitas akademika jika diletakkan dalam konteks adanya ketegangan antara “dunia panggung” dan “dunia di luar panggung”.

Jika tiga hal di atas dijadikan sebagai tema besar untuk melihat perjalanan IAIN masa Orde Baru, maka masing-masing tema akan melahirkan banyak masalah yang akan dikaji lebih lanjut dalam studi saya ini. Dalam tema pertama, misalnya, beberapa persoalan yang bisa diangkat adalah: (a) bagaimana bentuk dan isi pelayanan pendidikan IAIN, jika diletakkan dalam konteks kebijakan politik Orde Baru terhadap perguruan tinggi pada umumnya, sebagaimana telah dijelaskan dalam latar belakang Orde Baru dan proyek pendidikan di atas; (b) bagaimana kebijakan internal IAIN terhadap Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, sementara pada saat bersamaan input mahasiswanya banyak berlatar belakang pesantren, yang dianggap bukan sebagai bagian dari pendidikan nasional, karena tidak mengikuti ujian negara. Dalam hal ini, apakah IAIN menghanyutkan dirinya dalam mainstream pendidikan yang ada, ataukah menolak sambil mengikuti kebijakan negara, atau mempertahankan kepentingan “komunitas tradisionalnya.”

Dengan melihat kenyataan bahwa ada banyak IAIN, maka asumsi yang muncul terhadap persoalan di atas adalah kebijakan pada masing-masing IAIN tidaklah seragam. Karenanya untuk mengetahui mengapa antara satu IAIN dengan IAIN lainnya mengambil sikap dan kebijakan berbeda juga dipandang perlu untuk mendapatkan penjelasan yang memadai, antara lain, dengan menggunakan analisis sosial terhadap keberadaan masing-masing IAIN.

Sementara dalam tema kedua, beberapa persoalan yang bisa diangkat, misalnya, kontribusi pusat-pusat pendidikan alternatif yang ada di sekitar IAIN terhadap substratum psikologis dan kesadaran para mahasiswa IAIN. Pusat-pusat pendidikan alternatif yang dimaksud di sini —untuk menyebut sebagian kecilnya saja— adalah organisasi kemahasiswaan (seperti HMI, IMM, dan PMII), organisasi kekaryaan, jaringan LSM, media massa, perguruan tinggi selain IAIN, perpustakaan dan pusat-pusat penelitian, kelompok-kelompok studi, dan sebagainya.

Pusat-pusat pendidikan alternatif di atas dipandang perlu untuk mendapatkan tempat dalam studi saya ini, karena suatu asumsi bahwa keberhasilan studi mahasiswa IAIN tidak hanya ditentukan oleh pelayanan pendidikan IAIN sendiri, tetapi juga oleh aktivitasnya di luar IAIN. Bahkan, dalam banyak hal, keberhasilan para mahasiswa dalam kehidupan pasca studinya di IAIN banyak dipengaruhi oleh bagaimana ia menenun jalinan makna aktivitasnya dalam pusat-pusat pendidikan alternatif yang dimaksud. Dengan adanya asumsi tersebut, dan jika diletakkan dalam konteks keragaman masing-masing IAIN, maka pernyataan bahwa output yang dihasilkan masing-masing IAIN memiliki distinctive competence yang berbeda-beda akan mendapatkan legitimasi sosio-historisnya. Di IAIN Jakarta dan Yogyakarta, misalnya, telah melahirkan banyak tokoh nasional,Error! Reference source not found. karena IAIN di dua tempat tersebut berdampingan dengan pusat-pusat pendidikan alternatif.Error! Reference source not found.

Adapun tema ketiga lebih dimaksudkan sebagai upaya untuk melihat lebih lanjut kecenderungan —dalam hal ini area of concern dan area of expertise yang berkembang, serta ciri khas masing-masing IAIN— sebagai akibat dari adanya perbedaan tantangan sosial yang dihadapi. Maksud tantangan sosial di sini adalah “ketegangan” antara institusi IAIN sebagaimana yang diharapkan negara vis-à-vis tradisi yang hidup dan berkembang di lingkungan civitas akademika pada masing-masing IAIN. Persoalan ini perlu dipotret secara cermat, karena hasilnya bisa menjadi kerangka orientasi bagaimana mestinya merancang bangun institusi IAIN yang lebih bertanggung jawab —baik dalam pengertian akademik maupun untuk kepentingan umat Islam— dalam perjalanannya ke depan.

Bertanggung jawab dalam pengertian akademik di sini dimaksudkan agar IAIN mampu memberikan pelayanan pendidikan yang lebih historis, sehingga akan mampu menghasilkan lulusan yang tidak terasing dari lingkungan sosialnya. Dengan demikian, IAIN harus merasa berkepentingan untuk memberikan pengkayaan terhadap materi-materi tradisional dan program-program studi yang selama ini menjadi wilayah perhatiannya. Dalam hal inilah relevansi ungkapan Arab yang sering dikutip para neomodernis Muslim, yakni al-mukhâfadhah ‘alâ al-qadîm al-shâlih wa al-akhdzu bi aljadîd al-ashlah, perlu menjadi elan vital pembaharuan pelayanan pendidikan IAIN. Jika tanggung jawab akademik ini bisa diatasi oleh IAIN, secara tidak langsung sebenarnya ia juga telah memenuhi sebagian kepentingan umat Islam, dalam hal ini adalah hak untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu.

Kesempatan dan peluang IAIN untuk melakukan pengkayaan di atas sebenarnya terbuka lebar, karena apa yang berkembang di IAIN selama tiga dasawarsa, dalam konteks studi ini adalah “hegemoni negara dalam panggung pendidikan”, sudah mulai surut dan puncaknya adalah terjadinya counter hegemoni dalam semangat reformasi menjatuhkan rezim Orde Baru. Sejak itu regulasi yang ada berkenaan dengan dunia pendidikan di Indonesia —antara lain adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, yang memiliki implikasi terhadap pelaksanaan otonomi dan desentralisasi pendidikan— lebih apresiatif terhadap kepentingan civil society. C. IAIN: Kemenangan Islam KulturalDiletakkan dalam program “Dissemination of Muslim Authority in 20th Century Indonesia”, maka studi tentang IAIN yang akan saya lakukan ini tampaknya membenarkan tesis Nurcholish Madjid. Ketika Nurcholis menggulirkan gagasan “Islam yes, partai Islam no”Error! Reference source not found. pada akhir 60-an, sebagai antitesis kekalahan partai-partai Islam dalam pentas politik Indonesia, maka gagasan tersebut terus menggelinding bagaikan bola salju. Secara perlahan namun pasti, komunitas Muslim Indonesia kemudian mendapatkan banyak alternatif untuk membumikan semangat moral ajaran Islam. Jika awal berdirinya IAIN civitas academika di dalamnya cenderung diidentikkan dengan guru agama di madrasah, juru dakwah di kampung-kampung, dan kepala Kantor Urusan Agama (KUA) di tingkat kecamatan, yang itu semuanya merupakan produk hegemoni negara “dalam panggung” IAIN untuk memingit ruang gerak umat Islam, maka dengan melakukan counter-hegemoni, para mahasiswa IAIN dan alumnusnya mendapatkan ruang gerak yang lebih lebar. Bahkan para alumnus IAIN memiliki nilai plus, karena otoritas keagamaan yang ada di tangannya bisa dibumikan dengan menggunakan bahasa yang bisa dipahami oleh publik secara luas. Semakin banyaknya pengamat politik dan politisi Indonesia, wartawan di pelbagai media cetak dan elektronik, aktivis LSM, dan sebagainya, yang semuanya berlatar belakang pendidikan IAIN, merupakan sebagian kecil contoh bahwa counter-hegemoni terhadap “panggung pendidikan” di IAIN semakin memperlihatkan hasil yang nyata. D. Signifikansi StudiDalam rentang waktu 40 tahun, sejak didirikan pada 1960, IAIN memiliki posisi strategis. Dalam hubungannya dengan ketegangan antara negara dan masyarakat, IAIN memainkan fungsi sebagai jembatan untuk menyatukan dua kepentingan yang berbeda. Karena peran sebagai jembatan tersebut, dalam beberapa kasus, IAIN mengalami dinamika dalam menghadapi tuntutan masyarakat Islam (misalnya lulusan pesantren yang tidak memiliki ijazah negeri), dan keharusan untuk mengikuti aturan negara (karena statusnya sebagai perguruan tinggi negeri).Sementara dalam konteks interaksinya dengan beragam tradisi ilmu pengetahuan (yakni antara tradisi lokal, Timur Tengah dan tradisi Barat), wacana Islam yang berkembang di IAIN tampaknya masih bergulat dengan persoalan lama: antara modernisme Islam dan tradisionalisme Islam. Dinamika pemikiran yang berkembang di IAIN tersebut kemudian ikut mempengaruhi perkembangan wacana Islam Indonesia.Dalam perkembangannya kemudian, dan setelah alumnus IAIN menempati posisi-posisi strategis, komunitas IAIN merasa perlu untuk melengkapi keahliannya berdasarkan tuntutan modernitas. Peran-peran tradisional yang semula melekat di IAIN, lama-kelamaan menjadi cair. Peran-peran tradisional yang berkaitan dengan otoritas keislaman dirasakan tidak mampu lagi untuk menghadapi iklim modernitas, dan karena itu harus diperkaya dengan ilmu-ilmu yang dihasilkan peradaban modern, atau mencari peran-peran lain yang berfungsi sebagai alat untuk membumikan otoritas keislamannya. E. Fokus StudiHarus diakui, dibandingkan dengan studi tentang lembaga-lembaga pendidikan Islam Indonesia yang berkaitan dengan madrasah dan pesantren, studi tentang IAIN masih sangat terbatas. Kalaupun ada, maka studi yang dilakukan belum menggambarkan secara utuh tentang IAIN. Studi-studi yang dimaksud, misalnya, seperti yang dilakukan Margaret Gillet,Error! Reference source not found. Zamakhsyari Dhofier,Error! Reference source not found. dan Johan H. Meuleman.Error! Reference source not found. Studi yang akan saya lakukan ini merupakan upaya untuk melengkapi studi yang telah dilakukan para sarjana tentang IAIN.

Daftar Pustaka

Abar, Ahmad Zaini. Beberapa Aspek Pembangunan Orde Baru: Esei-Esei dari FISIPOL Bulaksumur, (Yogyakarta: CV Ramadhani, 1990).

Alfian dan Nazaruddin Sjamsuddin (eds.). Profil Budaya Politik Indonesia, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1991).

Bogdan, Robert C. & Sari Knopp Bikten. Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods, (Boston: Allyn and Bacon Inc.).

Budiman, Arief. Negara dan Pembangunan: Studi tentang Indonesia dan Korea Selatan, (Jakarta: Yayasan Padi dan Kapas, 1991).

Bulkin, Farchan. Analisa Kekuatan Politik di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1985).

CESDA-LP3ES, Mempertimbangkan Kembali Format Politik Orde Baru, (Jakarta: LP3ES, 1997).

Crouch, Harold. Militer dan Politik di Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan, 1986).

Emmerson, Donald K (ed.). Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, (Jakarta: PT Gramedia, Pustaka Utama, 2001).

Fadjar, A. Malik (et. al). Platform Reformasi Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 1999).

Fatah, Eep Saefulloh. Pengkhianatan Demokrasi a la Orde Baru, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000).

Hamidjojo, Santoso S. (et. al). Platform Reformasi Pendidikan Nasional, (Jakarta: Tim Kerja Peduli Reformasi Pendidikan Nasional, 1998).

Hing, Lee Kam. Education and Politics in Indonesia 1945-1965, (Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1995).

Haris, Syamsuddin dan Riza Sihbudi (eds.). Menelaah Kembali Format Politik Orde Baru, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995).

Hariandja, Denny B.C. Birokrasi Nan Pongah: Belajar dari Kegagalan Orde Baru, (Yogyakarta: Kanisius, 1999).

Haris, Syamsuddin. Menggugat Politik Orde Baru, (Jakarta: Grafiti, 1998).

IAIN Jakarta. Proposal Pembentukan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1998).

Imawan, Riswandha. Membedah Politik Orde Baru, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997).

Jalal, Fasli dan Dedi Supriadi, (eds.). Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah, (Jakarta: Adicipta Karya Nusa bekerja Sama dengan Depdiknas dan Bappenas, 2001), Cetakan I.

Mas’’oed, Mohtar. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru: 1966-1971, (Jakarta: LP3ES, 1989).

Moertopo, Ali. Strategi Politik Nasional, (Jakarta: CSIS, 1974).

Notosusanto, Nugroho. Tercapainya Konsensus Nasional 1966-1969, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1985).

Pakpahan, Muchtar. DPR-RI Semasa Orde Baru, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994).

Rahardjo, M. Dawam. Intelektual, Inteligensia dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim, (Bandung: Mizan, 1993).

Raillon, Francois. Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966-1974, (Jakarta: LP3ES, 1985).

Rais, M. Amien (ed.). Demokrasi dan Proses Politik, (Jakarta: LP3ES, 1986).

Robisan, Richard. Sejarah Politik Orde Baru, (Jakarta: Lembaga Studi Pembangunan, 1984).

Santoso, Amir dan M. Riza Sihbudi. Politik Pembangunan, (Jakarta: Dian Lestari Grafika, 1993).

Santoso, Priyo Budi. Birokrasi Pemerintah Orde Baru: Perspektif Kultural dan Struktural, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995).

Semiawan, Conny R., dan Soedijarto (eds.), Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang Abad XXI, (Jakarta: PT. Grasindo, 1998).

Sirait, Hendrik Dikson. Melawan Tirani Orde Baru, (Jakarta: AJI, 1999).

Sjahrir. Kebijakan Negara: Konsistensi dan Implementasi, (Jakarta: LP3ES, 1987).

Sularto, St. dan Frans M. Parera. “Membenahi Strategi Pendidikan”, dalam Sularto, Menuju Masyarakat Baru Indonesia: Antisipasi terhadap Tantangan Abad XXI, (Jakarta: Gramedia, 1992).

Supriyanto, Didik. Perlawanan Pers Mahasiswa: Protes Sepanjang NKK BKK, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998).

Syafiie, Inu Kencana. Teori dan Analisis Politik Pemerintahan: Dari Orde Lama, Orde Baru, sampai Reformasi, (Jakarta: Pertja, 1999).

Widjojo, Muridan S. Penakluk Rezim Orde Baru, (Jakarta: Sinar Harapan, 1999).

Winter, Jeffrey A. Dosa-dosa Politik Orde Baru, (Jakarta: Djambatan, 1999).

Jurnal dan Majalah

Anderson, Benedict R.O’G. “Ols State, New Society: Indonesia’s New Order in Comparative Historical Perspective”, Journal of Asian Studies, Vol. XLII (3), Mei 1983.

Eko, Sutoro. “Birokrasi, Modernisasi dan Kapitalisme Orde Baru”, Prisma, Agustus 1986.

Emmerson, Donald K. “Understanding the New Order: Bureaucratic Pluralism in Indonesia”, Asian Survey, Vol. 23, No. 11, 1983.

Gaffar, Afan. “Islam dan Politik dalam Era Orde Baru”, Jurnal Ulumul Qur’an, No. 2, Vol. IV, 1993.

Nakamura, Mitsuo & Setsuo Nishino. “Islamic Higher Education in Indonesia”, Higher Education Policy, Vol. 6, No. 2, 1999.

Robison, Richard. “Toward a Class Analysis of the Indonesia Military Bureaucratic State”, Indonesia, No. 25, April, 1978.

Rudner, Martin. “The Indonesian Military and Economic Polity: The Goals and Performance of the First Five Years Development Plan 1969-1970”, Modern Asian Studies, Vol. 10, No. 2, 1976.

Soetrisno, Loekman. “Pergeseran Golongan Menengah di Indonesia”, Prisma, No. 2, 1984. Draft Outline Disertasi

BAB I

Pendahuluan

BAB II

IAIN: Akar Pergeseran Otoritas Keislaman dari Kyai Haji ke Drs.

BAB III

Dinamika IAIN: Di antara Beragam Tradisi Keilmuan

BAB IV

Tipologi IAIN: Ketegangan antara Modernisme dan Tradisionalisme

BAB V

IAIN: Di antara Kepentingan Negara dan Umat Islam

BAB VI

IAIN dan Wacana Intelektual Islam Indonesia

BAB VII

IAIN vis-à-vis Tantangan Paradigma Baru Perguruan Tinggi

BAB VIII

Dari IAIN ke UIN: Reorientasi atas Visi dan Misi

BAB IX

Perubahan Otoritas Keislaman: Simbol Baru dengan Semangat Lama
Research Schedule

Place

Duration

Agenda

The Netherlands

10 months

(June 2001 – March 2002)

1. Writing a research proposal

2. Library research dan data collection

3. Writing Chapter I

4. Writing part of Chapter II

Indonesia

11 months

(April 2002 – February 2003)

1. Field research

2. Finishing Chapter II

3. Writing Chapter III

The Netherlands

12 months

(March 2003 – February 2004)

1. Writing Chapter IV

2. Writing Chapter V

3. Writing Chapter VI

Indonesia

3 months

(March 2004 – May 2004)

1. Additional field research

2. Writing part of Chapter VII

The Netherlands

12 months

(June 2004 – May 2005)

1. Finishing Chapter VII

2. Writing Chapter VIII

3. Writing Chapter IX

4. Final process of dissertation

Error! Reference source not found. Lihat Michael P. Todaro, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Terj. B. Abdullah dan Harris M., (Jakarta: Erlangga, 1995), khususnya Bab XI. Sebagai perbandingan, lihat juga Frederick H. Harbison, Human Resources as the Wealth of Nations, (New York: Oxford University Press, 1973), h. 3, dan T.W. Schultz, "Investment in Human Capital", American Economic Review, 51 (Maret 1961).

Error! Reference source not found. Lihat Mochtar Pabottingi, “Dilema Legitimasi Orde Baru: Bayangan Krisis Politik dan Arah Pemecahannya,” dalam Syamsuddin Haris dan Riza Sihbudi (eds.), Menelaah Kembali Format Politik Orde Baru, (Jakarta: Gramedia, 1995), h. 29. Sebagai bahan perbandingan, lihat juga Mohtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik: Orde Baru 1966–1971, (Jakarta: LP3ES, 1989).

Error! Reference source not found. Lihat Winarno Surakhmad, “Problematik Pembaruan Pendidikan Negara-negara yang Sedang Berkembang Dewasa Ini,” Prisma, No. 2, Februari 1981, tahun X, h. 3-16. Sebagai perbandingan lihat juga Michael P. Todaro (1995).

Error! Reference source not found. Penjelasan tentang rasionalitas instrumental ini merupakan sumbangan berharga Teori Kritis Mazhab Frankfurt dalam menanggapi modernitas sebagai sistem tertutup —karena tidak mengizinkan usaha-usaha untuk mempersoalkannya; artinya, dalam setiap situasi dan hal apa pun aturan main sistem niscaya diikuti— dan total (semua segi kehidupan individual maupun sosial sudah ditentukan). Untuk mengetahui rasio instrumental dan Teori Kritis Mazhab Frankfurt lebih lanjut, lihat Leszeck Kolakowski, Main Currents of Marxism: Its Origin, Growth, and Dissolution, (Oxford: Clarendon, 1978), Vol. III, h. 341-420; Z. Tar, The Frankfurt School: The Critical Theories of Max Horkheimer and Theodor W. Adorno, (New York: A Wiley-Interscience Publication, 1977).

Error! Reference source not found. Limas Susanto, “Pendidikan, antara Homonisasi dan Humanisasi,” Op. Cit.

Error! Reference source not found. Tentang hal ini, lihat Didin Syafruddin, “Meninjau Keberadaan Fakultas Tarbiyah,” dalam Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo, (eds.), Problem & Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi Islam, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI), 2000, h. 115-150.

Error! Reference source not found. Lihat, misalnya, M. Atho Mudzhar, “Kedudukan IAIN sebagai Perguruan Tinggi,” dan Didin Syafruddin, “Meninjau Keberadaan Fakultas Tarbiyah,” Ibid., h. 61-72, dan h. 115-150.

Error! Reference source not found. Lihat Didin Syafruddin, “Meninjau Keberadaan Fakultas Tarbiyah,” Ibid.

Error! Reference source not found. Teori tentang dunia panggung saya ambil dari pemikiran David Berry. Menurutnya, ada pemisahan antara role of playing dan role of expectation, antara “dunia depan” dan “dunia belakang”. Lihat dalam David Berry, Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi, Terj. Team Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sosiologi, (Jakarta: Rajawali, 1983).

Error! Reference source not found. Lihat “Menilik Dinamika IAIN: Sebuah Pengantar,” dalam Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo, (eds.), Op. Cit., h. viii-xvi. Menurut Prasetyo dan Hidayat, IAIN memperlihatkan “keanehan” ketika ia sudah “terjerat oleh jaring modernitas” tetapi tidak mengikuti logika spesialisasi, atau dengan meminjam istilah Descartes “membedakan dirinya dengan yang lain secara clearly and distinctly,” sebagaimana tuntutan alam modern. Dalam hal ini, IAIN vis a vis modernitas masih gagap untuk melakukan distingsi apakah dirinya merupakan lembaga dakwah, politik, ataukah pendidikan.

Error! Reference source not found. Lihat Johan Hendrik Meuleman, “IAIN di Persimpangan Jalan,” dalam Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo, (eds.), ibid., h. 41-60. Pernyataan Meuleman bahwa “IAIN berada di persimpangan jalan” dimaksudkan dalam pengertian ganda: di satu pihak IAIN sedang berada pada periode sangat menentukan dalam perkembangannya; sementara di pihak lain ia berada dalam titik temu antara, pertama, pelbagai tradisi ilmiah, kedua, state and civil society, dan ketiga, ilmu pengetahuan dan pendidikan agama serta ilmu pengetahuan umum.

Error! Reference source not found. Karena adanya “penyimpangan” tersebut, antara lain diperlihatkan dengan ketekunan mahasiswa IAIN dalam mendalami pemikiran kiri, menyebabkan nama IAIN kemudian diplesetkan menjadi Ingkar Allah dan Ingkar Nabi. Lihat “IAIN: Ingkar Allah Ingkar Nabi?” Majalah Suara Hidayatullah, Agustus 2001.

Error! Reference source not found. Terobosan yang dilakukan beberapa IAIN belakangan ini dalam membuka fakultas-fakultas umum, bisa dinilai sebagai alternatif untuk memperkaya pelayanan pendidikan di IAIN.

Error! Reference source not found. Sebagaimana dikutip oleh Dadi Darmadi. Untuk lebih jelasnya tentang hal ini, lihat Dadi Darmadi, “IAIN dalam Wacana Intelektual Islam Indonesia,” dalam Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo, (eds.), ibid., h. 342.

Error! Reference source not found. Untuk mengetahui tentang sekolah-sekolah Islam unggulan lebih lanjut, lihat Muhammad Dahlan, “SMU Insan Cendekia Serpong: Sekolah Model untuk lulusan Madrasah,” dalam Madrasah: Jurnal Komunikasi untuk Dunia Perguruan Islam, No. 3, Vol. I, 1997, h. 58-64. Sebagai bahan perbandingan, lihat juga Laporan Utama, dalam Madrasah: Jurnal Komunikasi untuk Dunia Perguruan Islam, No. 3, Vol. III. 2000.

Error! Reference source not found. Wawancara dengan Anggani Sudono, 7 Desember 2000, yang pada 1964-1990 menjadi staf pengajar di Jakarta International School (JIS), dan kemudian merintis pendirian Sekolah Islam al-Izhar, Pondok Labu, Jakarta Selatan.

Error! Reference source not found. Dalam perspektif eksistensialisme fenomena tersebut dijelaskan sebagai menjadikan manusia sekadar hidup (to live), bukannya mengada bersama dunia (to exist). Dalam pengertian to live, keberadaan manusia tidak jauh berbeda dengan binatang. Sementara dalam pengertian to exist, manusia menghadirkan diri dan menjadi dirinya sendiri.

Error! Reference source not found. Ada dua nama yang layak disebutkan di sini, sekadar untuk menguatkan pernyataan tersebut, yakni: Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais. Nurcholish adalah alumnus par excellence IAIN Jakarta. Sementara Amien Rais merupakan alumnus IAIN Yogyakarta, yang ironisnya oleh komunitas IAIN cenderung dianggap sebagai outsider, karena dirinya diposisikan sebagai anak kandung Universitas Gadjah Mada. Keduanya, di samping memainkan peran penting dalam mengibarkan panji-panji reformasi menjatuhkan rezim Orde Baru, adalah putera mahkota Fazlurrahman untuk meneruskan cita-cita neo-modernisme Islam di Indonesia.

Error! Reference source not found. Pernyataan tersebut tentu saja dengan tidak bermaksud memandang rendah keberadaan IAIN lainnya.

Error! Reference source not found. Lihat Nurcholich Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1987).

Error! Reference source not found. Margaret Gillet, “The IAIN in Indonesia Higher Education”, Muslim Education Quarterly, 8, 1990.

Error! Reference source not found. Zamakhsyari Dhofier, “The Intellectualization of Islamic Studies in Indonesia”, Indonesia Circle, 8, 1990.

Error! Reference source not found. Johan Hendrik Meuleman, “IAIN di Persimpangan Jalan”, dalam Hendro Prasetyo dan Komaruddin Hidayat (eds.), Problem dan Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi Islam, (Jakarta Dirjen Binbaga Depag, 200).

Tiga Perkara Dambaan Manusia
10/25/2002

Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullahu!
Kita hidup di muka bumi ini tentunya dengan tujuan dan perjuangan serta cita-cita yang beraneka ragam.

Dari keragaman tujuan dan cita-cita atau kehendak itu secara garis besar yang kebanyakan manusia dambakan adalah tiga
perkara, yaitu:

Kekuatan.

Kekayaan.

Kewibawaan/Kemulyaan.

Kita akan mencoba memandang tiga perkara ini dengan kacamata syariat. Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Man ahabba an yakuna aqwannasi fal yatawakkal 'alallahi Ta'ala, waman ahabba an yakuna aghnannasi, falyakun bima fi yadillahi 'Azza wa Jalla awtsaqa minhu bima fi yadihi, waman ahabba an yakuna akramannaasi falyattaqillah 'Azza waa Jalla." (Rawahu Ibnu Abi Hathim).

Yang artinya, "Barangsiapa mencintai agar dia menjadi orang yang paling kuat di kalangan manusia, maka hendaklah dia bertawakal pada Allah Ta'ala. Barangsiapa mencintai agar dia menjadi orang yang paling kaya di kalangan manusia, maka hendaklah dia menjadikan apa yang ada pada sisi Allah lebih dia yakini dari apa yang ada pada usahanya, dan barangsiapa yang mencintai agar dia menjadi orang yang paling mulia di kalangan manusia maka hendaklah dia bertakwa pada Allah 'Azza waa Jalla."

Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam, disebut jawami'ul kalim, yaitu ucapannya ringkas padat tetapi maknanya luas. Kita dapat lihat pada hadis tadi betapa dalam dan luasnya rumusan yang Nabi saw sampaikan dan ajarkan pada kita.

Maka pada kesempatan ini saya akan mencoba menjelaskan sedapat mungkin untuk diri saya sendiri, jika bermanfaat untuk ikhwan dan akhwat sekalian alhamdulillah, mudah-mudahan menjadi bekal dalam perjalanan hidup kita ini.

Kalau kita lihat apa kaitan antara kuat dan tawakal, dan apa rahasianya? Untuk menjawab ini ada baiknya kita singgung sedikit tentang gambaran dari tawakal itu sendiri secara singkat saja. Dalam Alquran Allah menyatakan tentang tawakal.

Allah SWT berfirman yang atinya, "Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu." (Ath-Thalaq: 3).

Menafsirkan ayat tersebut, ar-Rabi' bin Khutsaim mengatakan, (mencukupkan) dari setiap yang membuat sempit manusia. Para ulama -semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik balasan- telah menjelaskan makna tawakal. Di antaranya adalah Imam al-Ghazali, beliau berkata, "Tawakkal adalah penyandaran hati hanya kepada wakil (yang ditawakali) semata."

Al-Allamah al-Manawi berkata, "Tawakal adalah menampakkan kelemahan serta penyandaran (diri) kepada yang di tawakali." Menjelaskan makna tawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, al-Mulla Ali al-Qori berkata, "Hendaknya kalian ketahui secara yakin bahwa tidak ada yang berbuat dalam alam wujud ini kecuali Allah, dan bahwa setiap yang ada, baik makhluk maupun rezeki, pemberian atau pelarangan, bahaya atau manfaat, kemiskinan atau kekayaan, sakit atau sehat, hidup atau mati, dan segala hal yang disebut sebagai sesuatu yang maujud (ada), semuanya itu adalah dari Allah."

Dan jika kita bicara masalah tawakal, secara otomatis kita bicara usaha, dan daya upaya manusia itu sendiri juga dituntut oleh syari. Sebagaimana pemahaman Ahlu Sunnah terhadap wajibnya usaha dalam bertawakal. Hal tersebut seperti apa yang dinyatakan Imam Ahmad beliau berkata, "Dalam hadis tentang tawakal tidak ada isyarat yang membolehkan untuk meninggalkan usaha, sebaliknya justru di dalamnya ada isyarat yang menunjukkan perlunya usaha. Jadi, maksud hadis tersebut (tentang bagaimana burung yang mencari makan), bahwa seandainya mereka bertawakkal kepada Allah dalam kepergian, kedatangan, dan usaha mereka, dan mereka mengetahui kebaikan (rezeki) itu di Tangan-Nya, tentu mereka tidak akan pulang kecuali dalam keadaan mendapatkan harta dengan selamat, sebagaimana burung-burung tersebut."

Jadi, kaitannya dengan kekuatan adalah bahwa orang yang bertawakal kepada Allah yang Maha Kuat, maka janji Allah akan mencukupi memberikan hamba-Nya setelah proses usaha dari hamba. Maka, akan timbul kekuatan pada orang tersebut, dan yang dimaksud dengan kuat di sini konotasinya adalah kekuatan jiwa, roh, hati, tentunya akan berpengaruh dengan kuatnya raga. Maka, marilah kita jadikan bentuk kekuatan pada diri kita dengan jalan tawakal yang benar.

Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah!
Yang kedua adalah menjadi orang yang paling kaya dalam pandangan syariat, kaya jiwanya sehingga merasa cukup dengan apa yang telah diberi Allah pada dirinya. Bukan hanya merasa mantap dengan kerja dan usahanya, berapa banyak manusia merasa telah berhasil mengumpulkan harta sehingga dia yakin apa yang ada dari usahanya adalah lebih berharga dan lebih banyak dari apa yang ada di sisi Allah. Hal ini seperti Qorun yang mati tertimbun hartanya. Jadi, jika seorang lebih yakin dan lebih percaya apa-apa yang di sisi Allah adalah lebih luas lebih berlimpah, dari apa yang ada dari usahanya. Maka, dia tidak akan bersikap "pd" terhadap usahanya, merasa langgeng dengan hartanya. Sikap ini yang Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam gambarkan dengan sabdanya, Laisa al-ghina ghinaa ul mali wal dzahabi, walakin alghina ghinaul qalbi. Atinya, "Bukanlah kekayaan itu semata emas dan harta, akan tetapi kekayaan adalah kayanya hati."

Maka, apabila seorang merasa cukup dengan apa yang dia usahakan dan apa yang telah Allah berikan padanya, dia syukuri banyak sedikitnya, dan dia tahu bahwa itu adalah dari Allah, bukan semata-mata usahanya, dan dia yakin harta yang ada itu bisa musnah kapan saja, bisa hilang setiap saat atas kehendak Allah, maka inilah gambaran orang yang kaya. Hal ini pernah dijalani para sahabat yang mulia, ketika perang Hunain, kaum yang baru masuk Islam atau muallaf, seorang mendapat bagian hampir ratusan onta atau kambing, tetapi kaum Muhajirin dan Anshar pulang ke Madinah membawa Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Zaid ra katanya, Rasulullah saw telah membagikan harta rampasan perang setelah memenangkan perang Hunain kepada orang-orang muallaf, yaitu baru saja memeluk Islam agar tetap dengan keislamannya. Kemudian baginda mendengar kabar golongan Ansar juga ingin mendapatkan apa yang didapati oleh orang-orang lain. Maka, Rasulullah saw berdiri dan menyampaikan khotbah kepada mereka. Setelah memuji Allah baginda bersabda, "Wahai golongan Ansar! Tidakkah aku bertemu kamu sekalian dalam keadaan sesat, lalu Allah tunjuki kamu dengan perantaraan
aku? Tidakkah aku menemui kamu sekalian dalam keadaan miskin, lalu Allah menjadikan kamu kaya dengan perantaraan aku? Tidakkah aku menemui kamu sekalian dalam keadaan berpecah-belah, lalu Allah menyatukan kamu dengan perantaraan aku?"
Mereka berkata, "Allah dan Rasul-Nya lebih berhak mengungkit-ungkit." Rasulullah saw bersabda, "Mengapa kamu tidak menjawab pertanyaanku." Mereka berkata, "Allah dan Rasul-Nya lebih berhak mengungkit-ungkit pemberian." Rasulullah saw bersabda, "Kamu boleh berkata begitu dan begini sedangkan perkara sebenarnya adalah begini dan begini. Seterusnya baginda menyebut beberapa perkara. Amru, yaitu perawi hadis menganggap perkara-perkara tersebut tidak perlu di hafal. Selanjutnya Rasulullah saw bersabda, "Tidakkah kamu sekalian ridha jika orang lain kembali dengan membawa kambing-kambing dan unta, sedangkan kamu kembali dengan membawa Rasulullah ke tempat kamu? Golongan Ansar itu seperti pakaian dalam sedangkan orang lain seperti pakaian luar (Artinya orang Ansarlah yang paling dekat di hati Nabi saw). Kalau tidak karena Hijrah, tentu aku adalah salah seorang di antara gologan Ansar. Seandainya orang-orang melalui lembah dan celah-celah, tentu aku akan melalui lembah dan celah-celah golongan Ansar. Kamu pasti akan didatangi satu keadaan yang tidak disukai selepas aku wafat. Oleh itu, bersabarlah hingga kamu bertemu denganku di sebuah telaga pada hari Kiamat." (HR Bukhari).

Itulah gambaran dari orang yang beriman yang mencukupkan kekayaan bagi mereka dengan menerima apa yang dari Allah, dan apa yang Nabi tunjukan.

Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah!
Yang ketiga yaitu kehormatan kemuliaan atau kewibawaan. Banyak manusia mencari kewibawaan dengan cara pemaksaan, kekuatan, kedustaan, atau ancaman. Ketika Orde Baru, siapa yang tidak kenal dengan Suharto? Para menteri cium tangan, sungkem, kalangan militer takut, dan segan, apalagi rakyat biasa? Namun benarkah kewibawaan itu dapat bertahan lama? Kita dapat lihat sekarang, rakyat jelata saja berani sumpah serapah dengan Suharto. Kini dia disidang, diadili, sampai sekaang belum selesai-selesai, bahkan putra kesayangannya kini dipenjara. Itulah kewibawaan semu, sebagaimana juga yang dialami oleh Hitler, Attatruk dll.

Kemuliaan dan kewibawaan yang benar dan langgeng dasarnya adalah ketakwaan, maka siapa saja yang benar takwanya niscaya Allah akan berikan orang tersebut kemulian kehormatan dan kewibawaan sepanjang masa, sebagaimana Allah berikan pada Nabi kita Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam. Nama beliau selalu disebut, didoakan, dan diingat. Begitu juga para sahabat, tabiin, kalangan ulama atau para pemimpin yang adil dan takwa.

Allah SWT befirman yang atinya, "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (Al-Hujurat: 13).

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Mempelajari Ilmu yang Fardhu adalah Fardhu Ain
10/18/2002

Kaum muslimin rahimakumullah!
Di antara ilmu pengetahuan ada yang hukum mempelajarinya fardhu ain, sunnah, mubah, dan dilarang atau dicela. Sedangkan ilmu yang hukum mempelajarinya fardhu ada yang hukumnya fardhu ain dan ada pula yang fardhu kifayah.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan perawi lainnya, Nabi saw bersabda yang artinya, "Menuntut ilmu hukumnya fardhu ain bagi setiap muslim."

Maksud dari kata "muslim" dalam hadis itu adalah seorang manusia yang beragama Islam, laki-laki ataupun wanita. Para ulama pun bermufakat bahwa hadis masyur ini mencakup setiap muslim dan muslimah walaupun tidak terdapat kata "muslimah" dalam riwayat hadis tersebut.

Para pensyarah hadis berselisih pendapat dalam memberikan batasan "ilmu" yang wajib untuk dipelajari. Sementara, ulama-ulama ilmu kalam (yaitu mereka yang berspesialisasi dalam ilmu kalam dan akidah) berkata, "Ilmu yang wajib dipelajari adalah ilmu akidah. Yaitu, ilmu yang dengannya dapat diketahui tauhid Allah Ta'ala, iman kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kiamat, dan semua perkara ini merupakan fondasi agama Islam."

Seorang ahli fikih berkata, "Ilmu yang wajib dipelajari adalah ilmu fikih. Yaitu, ilmu yang dengannya dapat diketahui halal-haram, dan kesahihan ibadah, serta kebenaran suatu muamalah sesuai dengan manhaj syariat."

Seorang ahli tafsir berkata, "Ilmu yang wajib dipelajari itu adalah tafsir kitabullah, yang merupakan fondasi agama dan referensi umat."

Seorang ahli ilmu hadis akan berkata, "Ilmu yang wajib dipelajari adalah ilmu hadis. Karena, hadis merupakan penjelasan bagi Alquran dan juga potret dari sirah Rasulullah saw, sabda-sabda, tingkah laku, dan keputusan-keputusan beliau."

Seorang ahli ushul fikih berkata, "Ilmu yang wajib dipelajari adalah ilmu ushul fikih. Yaitu, ilmu yang dengannya dapat diketahui cara pengambilan argumentasi (dalil) hukum dalam perkara yang terdapoat nash agamanya, dan cara istimbath hukum dalam perkara yang tidak memiliki nash agama."

Saudara kaum muslimin yang berbahagia!
Tentu pendapat-pendapat tersebut di atas membingungkan dan sulit untuk diterima, karena masing-masing spesialis yang ahli dalam bidangnya meyakinkan bahwa ilmunyalah yang wajib dipelajari oleh setiap muslim sebagai fadu ain. Jika pendapat mereka semua kita telan mentah-mentah maka besar kemugkinan bahwa hal itu justru terjadi pencamuradukan antara ilmu yang hukumnya fardhu ain dan fardhu kifayah (di dalam mempelajarinya).

Kaum muslimin rahimakumullah!
Ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu ushul fikih, ilmu bahasa Arab, dan ilmu kedokteran merupakan ilmu yang harus dipelajari oleh umat Islam secara umum, bukan atas individu secara khusus. Karena, sebenarnya tanpa disangsikan lagi bahwa hukum mempelajari ilmu-ilmu itu adalah fardhu kifayah. Fardhu kifayah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh umat Islam secara global. Maka, harus ada di antara umat Islam yang mengisi kekosongan ini, dan mencukupi kebutuhan dalam hal ini. Kalau tidak ada, umat Islam secara keseluruhan akan berdosa.

Mempelajari Pokok-Pokok Tauhid dan Akidah

Seorang muslim diwajibkan mempelajari ilmu agama yang dapat mengenalkan dirinya kepada Rabb-nya hingga mencapai batas keyakinan. Dengan ilmu agama itu, ia dapat mengenal Nabi Muhammad saw dan dapat meyakini kebenaran kenabian dan kesahihan risalah Muhammad saw. Juga dapat meyakini bahwa Alquran diturunkan kepada Muhammad saw dari Allah Ta'ala melalui dalil-dalil kemukjizatan Alquran yang teramat banyak. Selain itu dengan ilmu tersebut, seorang muslim dapat mengetahui akidah-akidah yang fundamental dalam Islam, seperti perkara-perkara ilahiyyah, nubuwwah, dan ghaibiyyah yang berkaitan erat dengan akhirat dan alam yang tidak kasat mata.

Seorang muslim juga dituntut untuk mengambil hal-hal tersebut secara mendasar dari kitabullah, karena Alquran banyak mengandung keterangan yang dapat meyakinkan akal dan menerangi hati. Yaitu, keyakinan yang jauh dari taklid buta, dan dari percekcokan dialektis yang telah banyak beredar dalam ilmu kalam, yang telah mempu merusak rasio orang-orang khawas dan keyakinan orang-orang awam. Rahasia dari hal itu adalah karena terpengaruhnya ulama-ulama ilmu kalam dengan filsafat Yunani. Maka, para muhaqqiqin dan para ulama pembaru muslim mengimbau kewajiban untuk mengedepankan metodologi Alquran daripada metodologi para filsuf Yunani.

Kaum muslimin rahimakumullah!
Selanjutnya, seorang muslim diwajibkan untuk mempelajari hukum-hukum dan syariat Islam yang ia butuhkan, seperti ilmu thaharah, ilmu salat yang lima waktu, dan ilmu salat Jumat yang diwajibkan atas kaum laki-laki. Maksudnya adalah mengetahui dasar-dasarnya, bukan perkara-perkara yang aneh dan jarang terjadi. Juga bukan perkara-perkara yang detail yang dikhususkan bagi para ulama yang spesialis dalam bidang ini. Demikian juga dengan ilmu puasa, ketika datang bulan Ramadan, atau ilmu zakat ketika ia memiliki nishab zakat. Maka seorang muslim harus atau wajib mempelajari macam-macam ilmu zakat yang dibutuhkan. Kalau ia seorang pedagang, ia wajib mempelajari zakat perniagaan. Ia tidak dituntut untuk mengetahui zakat hewan peliharaan atau zakat tanaman, karena ia memang tidak memilikinya.

Selain itu, seorang muslim juga harus mengetahui yang terpenting dari hukum halal-haram yang biasa dijumpainya dalam kehidupan sehari-hari, seperti hukum halal-haram dalam makanan dan minuman, dalam berpakaian dan berdandan, ketika di rumah dan di tempat kerja, dan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.

Seorang muslim juga harus mengetahui hukum-hukum yang menjadi spesialisnya. Seorang wali harus mengetahui hukum-hukum wilayah. Seorang pedagang harus mengetahui hukum-hukum perdagangan. Seorang dokter harus mengetahui hukum-hukum kedokteran. Seorang suami harus mengetahui hak-hak seorang istri dan kewajiban-kewajiban soerang istri, demikian juga sebaliknya, dan seterusnya.

Seorang muslim juga harus mengetahui ilmu akhlak dan ilmu etika agama. Yaitu, ilmu yang dapat mengatur perilaku seorang muslim dengan aturan syariat agama. Dengan ilmu tersebut, seorang muslim nantinya tidak akan melenceng dari apa yang diperintahkan Allah SWT kepadanya, dan ia akan selalu menghiasi dirinya dengan sifat-sifat yang mulia, serta melepaskan dirinya dari sifat-sifat yang tercela.

Demikian dakwah Jumat yang singkat ini semoga bermanfaat, amin.

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Menerima Secara Total Kesatuan Ajaran Islam
10/11/2002

Kaum Muslimin Rahimakumulah!
Kehidupan itu adalah satu kesatuan yang tak dapat terpisahkan. Masing-masing aspek tidak dapat dipilah-pilah. Kehidupan tak mungkin akan harmonis apabila Islam hanya mendominasi sebagian saja dari keseluruhan aspek kehidupan itu. Misalnya, Islam hanya mengurusi masjid saja. Sementara, segala aspek kehidupan yang lainnya diserahkan kepada mazhab-mazhab buatan manusia, pemikiran-pemikiran manusia, dan filsafat-filsafat sekular untuk mengatur dan mengurusinya.

Betapa naif jika hanya masjid saja untuk Islam, sedangkan sekolah, universitas, kehakiman, siaran radio dan televisi, surat kabar, teater, bioskop, pasar, jalan raya, dan lain-lain diserahkan urusannya untuk sekularisme. Tak mungkin manusia akan harmonis pula, apabila urusan aspek spiritual diserahkan secara khusus kepada pihak tertentu, seperti agama misalnya, sementara aspek material dan intelektual diserahkan pengurusannya secara khusus kepada pihak lain, seperti negara atau sekularisme misalnya.

Terhadap Bani Israel, Allah sangat keras mengingkari perbuatannya, yaitu karena mereka hanya menerima sebaian dan menolak yang lainnya. Allah SWT berfirman yang artinya, "Apakah kamu beriman kepada sebagian al-kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, sedang pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat, Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat." (Al-Baqarah: 85).

Ketika sebagian orang-orang Yahudi mau masuk Islam dengan syarat mereka tetap memelihara sebagian syariat Yahudi berlibur pada hari Sabtu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menolak mereka, kecuali apabila mereka mau masuk dalam syariat Islam secara total. Dalam konteks ini turunlah firman Allah yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara total, dan janganlah kamu turuti angkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu." (Al-Baqarah: 208). Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir berkata, "Allah berfirman memerintahkan para hamba-Nya yang beriman kepada-Nya dan membenarkan para Rasul-Nya agar memegang erat semua ikatan Islam dan syariatnya, mengamalkan semua perintahnya, dan meninggalkan semua larangannya secara optimal.

Kaum muslimin rahimakumullah!
Prinsip tersebut di atas sangat penting di dalam Islam. Kita, umat Islam, wajib mengikuti prinsip tersebut dan tidak bisa menolaknya. Apabila mengingkari prinsip ini berarti kita termasuk seperti golongan Yahudi.

Sebenarnya, seluruh ajaran Islam dan hukum-hukumnya mengenai akidah, syariah, akhlak, ibadah, dan muamalah tidak akan ada hasilnya, kecuali apabila diambil secara integral. Sebab, yang satu melengkapi yang lainnya. Ajaran dan hukum-hukum Islam itu bisa diibaratkan bagaikan sebuah "resep dokter" yang utuh dan terdiri dari racikan yang integral, obat yang beragam, pantangan dari beberapa hal, dan aktif untuk terus berlatih. Agar resep tersebut bisa mencapai sasarannya, maka harus dijalankan secara keseluruhan sesuai dengan aturan. Sebab, jika sebagian ditinggalkan, akan mempengaruhi hasil secara total.

Ketika berhadapan dengan orang-orang kafir yang akan berupaya memalingkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dari sebagian hukum Islam, Allah mengingatkan kepadanya.

"Putuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu." (Al-Maidah: 49).

Dari beberapa firman Allah yang telah diturunkan itu, kita dapat merasakan di negeri kita sekarang ini, betapa pelaksanaan hukum Islam masih jauh dari yang diharapkan oleh Alquran. Padahal, untuk menegakkan syariat Islam secara total adalah kewajiban bagi kita kaum muslimin.

Akhirnya, untuk menuju apa yang kita cita-citakan, yaitu kejayaan Islam yang akan dapat kita rasakan sebagaimana pernah jayanya Islam pada masa-masa terdahulu, maka marilah kita mulai dari diri kita untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Mari kita sedikit demi sedikit menjalankan syariat Islam dalam rangka beribadah kepada Allah semata.

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Newspaper, Magazines, and Bulletins Bulletin Laskar Jihad

Forum Keadilan

Gatra

Kompas

Panji Masyarakat

Sabili

Salafy

Suara Hidayatullah

The List of the Indonesian Salafi-Wahhabi Network

Forum Komunikasi Ahlu Sunnah wal-Jama’ah

Jl. Kaliurang KM 15, Desa Degolan, Ngemplak, Sleman, Yogyakarta

Jl. Cempaka Putih Tengah 26 B No. 78, Jakarta 10510 (Phone: 0214246417

Homepage: Error! Reference source not found. and Error! Reference source not found.

Email: Error! Reference source not found.

Majelis al-Turots al-Islamy

Jl. Wonosari KM 10/No. 10, Sampakan, berbah, Sleman

Phone: 0274522964

Homepage: Error! Reference source not found.

Email: Error! Reference source not found.

Ngaji Salaf Online

Karang Bendo CT III/No. 1&2 Depok, Sleman

Homepage: Error! Reference source not found.

Al-Sofwah

Jl. Raya Lenteng Agung Barat, No. 35, Jagakarsa, Jaksel, 12610

Phone: 021-788363-27

Homepage: Error! Reference source not found.

Email: Error! Reference source not found.

Al-Sunnah

Jl. Raya Pajajaran, Kompleks RS PMI, Bogor, West Java

Homepage: Error! Reference source not found.

Email: Error! Reference source not found.

Persepsi Islam terhadap Perkembangan Sains dan Teknologi
10/04/2002

Kaum muslimin rahimakumullah!
Marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah SWT dan selalu bersyukur kepada Allah yang telah mengaruniai agama Islam sebagai pedoman hidup yang lurus, lengkap, dan sempurna, sebagaimana ditegaskan dalam Alquran surat Al-Maidah ayat tiga yang artinya, "Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam menjadi agamamu."

Kaum muslimin yang berbahagia!
Salah satu keagungan nikmat yang dikaruniakan Allah bagi umat Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ialah nikmat ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan sains dan teknologi telah memberikan kemudahan-kemudahan dan kesejahteraan bagi kehidupan manusia, sekaligus merupakan sarana bagi kesempurnaan manusia sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya, karena Allah telah mengaruniakan anugerah kenikmatan kepada manusia yang bersifat saling melengkapi, yaitu anugerah agama dan kenikmatan sains teknologi.

Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan dua sosok yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ilmu adalah sumber teknologi yang mampu memberikan kemungkinan munculnya berbagai penemuan, rekayasa, dan ide-ide. Adapun teknoogi adalah terapan atau aplikasi dari ilmu yang dapat ditunjukkan dalam hasil nyata yang lebih canggih dan dapat mendorong manusia untuk berkembang lebih maju lagi.

Sebagai umat Islam kita harus menyadari bahwa dasar-dasar filosofis untuk mengembangkan ilmu dan teknologi itu bisa dikaji dan digali dalam Alquran, sebab kitab suci ini banyak mengupas keterangan-keterangan mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai contoh adalah firman Allah SWT dalam surat Al-Anbiya ayat 80 yang artinya, "Telah kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara diri dalam peperanganmu."

Dari keterangan itu jelas sekali bahwa manusia dituntut untuk berbuat sesuatu dengan sarana teknologi. Sehingga, tidak mengherankan jika abad ke-7 M telah banyak lahir pemikir Islam yang tangguh, produktif, dan inofatif dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kepeloporan dan keunggulan umat Islam dalam bidang ilmu pengetahuan sudah dimulai pada abad itu. Tetapi, sangat disayangkan bahwa kemajuan-kemajuan itu tidak sempat ditindaklanjuti dengan sebaik-baiknya sehingga tanpa sadar umat Islam akhirnya melepaskan kepeloporannya. Lalu, bangsa Barat dengan mudah mengambil dan menransfer ilmu dan teknologi yang dimiliki dunia Islam dan dengan mudah pula mereka membuat licik, yaitu membelenggu para pemikir Islam, sehinggu sampai saat ini bangsa Baratlah yang menjadi pelopor dan pengendali ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kaum muslimin rahimakumullah!
Begitulah, menurut catatan sejarah bangsa Barat berhasil mengambil khazanah ilmu pengetahuan yang telah dikembangkan lebih dahulu oleh kaum muslimin, kemudian mereka mengembangkannya di atas paham materialisme tanpa mengindahkan lagi nilai-nilai Islam, sehingga terjadilah perubahan total sampai akhirnya terlepas dari sendi-sendi kebenaran.

Para ilmuwan Barat dari abad ke abad kian mendewa-dewakan rasionalitas, bahkan telah menuhankan ilmu dan teknologi sebagai kekuatan hidupnya. Mereka menyangka bahwa dengan iptek mereka pasti bisa mencapai apa saja yang ada di bumi ini dan merasa dirinya kuasa pula menundukkan langit, bahkan mengira akan dapat menundukkan segala yang ada di bumi dn langit. Sehingga, tokoh-tokoh mereka merasa mempunyai hak untuk memaksakan ilmu pengetahuan dan teknologinya itu kepada semua yang ada di bumi, agar mereka bisa mendikte dan memberi keutusan terhadap segala permasalahan di dunia.

Sebenarnya masyarakat Barat itu patut dikasihani, karena akibat kesombongannya itu mereka lupa bahwa manusia betapapun tingg kepandaiannya hanya bisa mengetahui kulit luar atau hal-hal yang lahiriah saja dari kehidupan semesta alam. Manusia hanya diberi ilmu pengetahuan yang sedikit dari kemahaluasan ilmu Allah. Di atas orang pintar ada lagi yang lebih pintar, dan sungguh Allah SWT benci kepada orang yang hanya tahu tentang dunia tetapi bodoh tentang kebenaran yang ada di dalamnya.

Allah SWT berfirman yang artinya, "Celakalah bagi orang-orang kafir dengan siksa yang pedih. Mereka lebih menyukai kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat, dan menghalangi manusia dari jalan Allah, serta menginginkan agar jalan itu bengkok. Mereka berada dalam kesesatan yang nyata." (Ibrahim: 2 -- 3).

Kaum muslimin rahimakumullah!
Peradaban modern adalah hasil kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang gemilang, yang telah dicapai oleh manusia setelah diadakan penelitian yang tekun dan eksperimen yang mahal, yang telah dilakukan selama berabad-abad. Maka, sudah sepantasnya kalau kemudian manusia menggunakan penemuan-penemuannya itu guna meningkatkan taraf hidupnya.

Kemajuan teknologi secara umum telah banyak dinikmati oleh masyarakat luas dengan cara yang belum pernah dirasakan, bahkan oleh para raja dahulu kala. Makanan lebih nikmat dan beraneka ragam, pakaian terbuat dari bahan yang jauh lebih baik dan halus, sarana-sarana transportasi dan komunikasi yang kecepatannya amat mengagumkan, gedung dan rumah tempat tinggal dibangun dengn megah dan mewah. Tampaknya manusia di masa depan akan mencapai taraf kemakmuran yang lebih tinggi dan memperoleh kemudahan-kemudahan yang lebih banyak lagi.

Walaupun demikian, kita juga menyaksikan betapa batin manusia zaman sekarang selalu mengerang, karena sirat kerakusan manusia semakin merajalela, dan perasaan saling iri di antara perorangan atau kelompok telah menyalakan api kebencian di mana-mana.

Kata orang bijak, di dunia sekarang ini, nafsu manusia lebih besar daripada akal sahabatnya. Kebanyakan manusia di dunia kini hanya mengingat kesenangan hidupnya, lupa kepada Tuhannya. Ia mengira bahwa dunia ini adalah segalanya, tak ada kelanjutannya, dan tak ada kehidupan kecuali di dunia saja.

Benar, bahwa agama Islam tidak menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga tidak anti terhadap barang-barang produk teknologi, baik di zaman lampau, di masa sekarang, maupun di waktu-waktu yang kan datang. Demikian pula ajaran Islam, ia tidak akan bertentangan dengan teori-teori pemikiran modern yang teraturdan lurus, dan analisa-analisa yang teliti dan obyekitf.

Dalam pandangan Islam, menurut hukum asalnya, segala sesuatu itu adalah mubah, termasuk segala apa yang disajikan oleh berbagai peradaban, baik yang lama ataupun yang baru. Semua itu, sebagaimana diajarkan oleh Islam tidak ada yang hukumnya haram, kecuali jika terdapat nash atau dalil yang tegas dan pasti mengherankannya.

Bukanlah Alquran sendiri telah menegaskan bahwa agama Islam bukanlah agma yang sempit? Allah SWT telah berfirman yang artinya, "Di sekali-kali tidak menjadikan kamu dalam agama suatu kesempitan." (Al-Hajj: 78).

Adapun peradaban modern yang begitu luas memasyarakatkan produk-produk teknologi canggih seperti televisi, vidio, alat-alat komunikasi dan barang-barang mewah lainnya, serta menawarkan aneka jenis hiburan bagi setiap orang: tua, muda, atau anak-anak, yang tentunya alat-alat itu tidak bertanggung jawab atas apa yang diakibatkannya. Tetapi, di atas pundak manusianyalah terletak semua tanggung jawab itu. Sebab, adanya pelbagai media informasidn alat-alat canggih yang dimiliki dunia saat ini dapat berbuat apa saja, kiranya faktor manusianyalah yang menentukan opersionalnya. Adakalanya menjadi manfaat, yaitu manakala manusia menggunakan dengan baik dan tepat. Tetapi, dapat pula mendatangkan dosa dan malapetaka, manakala manusia menggunakannya untuk mengumbar hawa nafsu dan kesenangan semata.

Kaum muslimin rahimakumullah!
Memang, dalam abad teknologi dan era globalisasi ini umat Islam hendaklah emlakukan langkah-langkah strategis dengan meningkatkan pembinaan sumber daya manusia guna mewujudkan kualitas iman dn takwa serta tidk ketinggalan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Namun, seiring dengan upaya meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, kita pun harus jeli menentukan pilihan ini. Untuk apakah semua kemajuan itu? Apakah sekadar untuk menuruti keinginan-keinginan syahwat, lalu tenggelam dalam kemewahan dunia hingga melupakan akhirat dan menjadi pengikut-pengikut setan? Ataukah sebaliknya, semua ilmu dan kemajuan itu dicari untuk menegakkan syariat Allah guna memakmurkan bumi dan menegakkan keadilan seperti yang dikehendaki Allah, serta untuk meluruskan kehidupan dengan berlandaskan pada kaidah noral Islam?

Itulah pertanyaan dan tantangn bagi kita yang haurs kita jawab dengan pemikiran yang berwawasan jauh ke depan. Namun, terlepas dari problema dan kekhawatiran-kekhawatiran sebagaimana diuraikan di atas, kita sebagai umat Islam harus selalu optimis dan tetap bersyukur kepada Allah SWT. Karena, sungguhpun perubahan sosial dan tta nilai kehidupan yang dibawa oleh arus modernisasi, westernisasi, dan sekularisasi terus-menerus menimpa dan menyerang masyarakat Islam, tetapi kesadaran umat Islam untuk membendung dampak-dampak negatif dari budaya Barat itu ternyata masih cukup tinggi, meskipun hanya segolongan kecil umat, yaitu mereka yang tetap teguh untuk menegakkan nilai-nilai Islam.

Akhirnya, semoga dakwah yang singkat ini bermanfaat, amin.

Sumber: Diadaptasi dari Khutbah Cendekiawan Menjembatani Kesenjangan Intelektualitas Umat, Drs. Achmad Suyuti

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Tugas dan Peran Manusia
11/08/2002

Kaum Muslimin Rahimakumullah!
Manusia dengan makhluk Allah lainnya sangat berbeda, apalagi manusia memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh makhluk yang lain, salah satunya manusia diciptakan dengan sebaik-baik bentuk penciptaan, namun kemuliaan manusia bukan terletak pada penciptaannya yang baik, tetapi tergantung pada; apakah dia bisa menjalankan tugas dan peran yang telah digariskan Allah atau tidak, bila tidak, maka ia akan dimasukkan ke dalam neraka dengan segala kesengsaraannya.

Allah SWT berfirman yang artinya, "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya." (95: 4 -- 6).

Paling kurang ada tiga tugas dan peran yang harus dimainkan oleh manusia dan sebagai seorang muslim, kita bukan hanya harus mengetahuinya, tetapi menjalankannya dalam kehidupan ini agar kehidupan umat manusia bisa berjalan dengan baik dan menyenangkan.

Beribadah kepada Allah SWT

Beribadah kepada Allah SWT merupakan tugas pokok, bahkan satu-satunya tugas dalam kehidupan manusia sehingga apa pun yang dilakukan oleh manusia dan sebagai apa pun dia, seharusnya dijalani dalam kerangka ibadah kepada Allah SWT, sebagaimana firman-Nya yang artinya, "Dan Aku tidak menciptakan manusia kecuali supaya mereka menyembah-Ku." (51: 56).

Agar segala yang kita lakukan bisa dikategorikan ke dalam ibadah kepada Allah SWT, paling tidak ada tiga kriteria yang harus kita penuhi. Pertama, lakukan segala sesuatu dengan niat yang ikhlas karena Allah SWT. Keikhlasan merupakan salah satu kunci bagi diterimanya suatu amal oleh Allah SWT dan ini akan berdampak sangat positif bagi manusia yang melaksanakan suatu amal, karena meskipun apa yang harus dilaksanakannya itu berat, ia tidak merasakannya sebagai sesuatu yang berat, apalagi amal yang memang sudah ringan. Sebaliknya, tanpa keikhlasan, amal yang ringan sekalipun akan terasa menjadi berat, apalagi amal yang jelas-jelas berat untuk dilaksanakan, tentu akan menjadi amal yang terasa sangat berat untuk mengamalkannya.

Kedua, lakukan segala sesuatu dengan cara yang benar, bukan membenarkan segala cara, sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah SWT dan dicontohkan oleh Rasul-Nya. Manakala seorang muslim telah menjalankan segala sesuatu sesuai dengan ketentuan Allah SWT, maka tidak ada penyimpangan-penyimpangan dalam kehidupan ini yang membuat perjalanan hidup manusia menjadi sesuatu yang menyenangkan.

Ketiga, adalah lakukan segala sesuatu dengan tujuan mengharap ridha Allah SWT dan ini akan membuat manusia hanya punya satu kepentingan, yakni ridha-Nya. Bila ini yang terjadi, maka upaya menegakkan kebaikan dan kebenaran tidak akan menghadapi kesulitan, terutama kesulitan dari dalam diri para penegaknya, hal ini karena hambatan-hambatan itu seringkali terjadi karena manusia memiliki kepentingan-kepentingan lain yang justru bertentangan dengan ridha Allah SWT.

Khalifah Allah di Muka Bumi

Nilai-nilai dan segala ketentuan yang berasal dari Allah SWT harus ditegakkan dalam kehidupan di dunia ini. Untuk menegakkannya, manusia diperankan oleh Allah SWT sebagai khalifah (wakil) Allah di muka bumi ini untuk menegakkan syariat-syariat-Nya, Allah SWT berfirman yang artinya, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." (2: 30).

Untuk bisa menjalankan fungsi khalifah, manusia harus menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan serta menyiarkan kebaikan dan kemaslahatan, ini merupakan perkara yang sangat mendasar untuk bisa diterapkan. Tanpa kebenaran dan keadilan serta kebaikan dan kemaslahatan, tidak mungkin tatanan kehidupan umat manusia bisa diwujudkan, karenanya ini menjadi persyaratan utama bagi manusia untuk menjalankan fungsi khalifah pada dirinya. Allah SWT berfirman yang artinya, "Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat karena mereka melupakan hari perhitungan." (Shad: 26).

Untuk bisa memperoleh kehidupan yang baik di dunia ini, salah satu yang menjadi penopang utamanya adalah penegakkan hukum secara adil sehingga siapa pun yang bersalah akan dikenai hukuman sesuai dengan tingkat kesalahannya, karenanya hal ini merupakan sesuatu yang sangat ditekankan oleh Allah SWT kepada manusia sebagaimana terdapat dalam firman-Nya yang artinya, "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (4: 58).

Mengingat keadilan begitu penting bagi upaya mewujudkan kehidupan yang baik, keharusan berlaku adil tetap ditegakkan meskipun kepada orang yang kita benci sehingga jangan sampai karena kebencian kita kepadanya, keadilan yang semestinya ia nikmati tidak bisa mereka peroleh. Manakala keadilan bisa ditegakkan, maka masyarakat yang bertakwa kepada Allah SWT cepat atau lambat akan terwujud. Allah berfirman yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (5: 8).

Membangun Peradaban

Kehidupan dan martabat manusia sangat berbeda dengan binatang. Binatang tidak memiliki peradaban sehingga betapa rendah derajat binatang itu. Adapun manusia, dicipta oleh Allah SWT untuk membangun dan menegakkan peradaban yang mulia, karenanya Allah SWT menetapkan manusia sebagai pemakmur bumi ini. Allah berfirman yang artinya, "Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan pemakmurnya." (11: 61).

Untuk bisa membangun kehidupan yang beradab, ada lima pondasi masyarakat beradab yang harus diwujudkan dan diperjuangan pelestariannya, yaitu pertama, nilai-nilai agama Islam yang datang dari Allah SWT, kedua, akal yang merupakan potensi besar untuk berpikir dan merenungkan segala sesuatu. Ketiga, harta yang harus dicari secara halal dan bukan menghalalkan segala cara. Keempat, kehormatan manusia dengan akhlaknya yang mulia yang harus dijaga dan dilestarikan. Dan kelima, keturunan atau nasab manusia yang harus jelas sehingga dalam masalah hubungan seksual misalnya, manusia tidak akan melakukannya kepada sembarang orang.

Manakala manusia tidak mampu membangun peradaban sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah SWT, maka martabat manusia akan menjadi lebih rendah dari binatang, hal ini karena manusia bukan hanya memiliki potensi fisik yang sempurna dibanding binatang, juga manusia punya botensi berpikir dan mendapat bimbingan berupa wahyu dari Allah SWT yang diturunkan kepada para Nabi. Dalam kaitan kemungkinan manusia menjadi lebih rendah atau lebih sesat dari binatang, bahkan binatang ternak dikemukakan oleh Allah SWT dalam firman-Nya yang artinya, "Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati tapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai." (7: 179).

Kaum mislimin yang berbahagia!
Dari keterangan di atas menjadi jelas bagi kita bahwa kemuliaan manusia sangat tergantung pada, apakah ia bisa menjalankan tugas dan perannya dengan baik atau tidak, bila tidak, maka kemuliaannya sebagai manusia akan jatuh ke derajat yang serendah-rendah dan ia akan kembali kepada Allah dengan kehinaan yang sangat memalukan dan di akhirat, ia menjadi hamba Allah yang mengalami kerugiaan yang tidak terbayangkan.

Oleh: Drs. H. Ahmad Yani
(Dengan Perubahan Kebahasaan Seperlunya)

Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

CIVIL EDUCATION

“Pendidikan” Kita, Sudah Berhasilkah!

Tidak mudah menjawab pertanyaan tersebut. Kalau yang dikehendaki secara formal atau kuantitas, pendidikan yang mengacu pada pemberantasan buta huruf, maka kita bisa mengatakan berhasil. Sebab sudah sulit sekali kita menjumpai warga yang masih buta huruf, bahkan sudah berapa banyak sarjana atau bahkan S-2 atau S-3. Padahal 57 tahun yang lalu pada saat bangsa Indonesia baru merdeka, Indonesia hanya memiliki 2 orang doktor.

Akan tetapi kalau yang dikehendaki dengan pendidikan itu secara substansial yaitu kualitas pendidikan, mengacu pada pendidikan sebagai upaya untuk memanusiakan manusia, membangun manusia Indonesia seutuhnya, maka jangan buru-buru mengatakan berhasil. Sebab keberhasilan pendidikan itu tidak hanya ditunjukkan dengan bisa membaca, juga tidak hanya dengan kecerdasan intelektual, tetapi juga kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual, yang dapat ditunjukkan dengan baiknya perilaku sosial, etika berbangsa, berbudi pekerti luhur, mengedepankan kepentingan sosial dan masyarakat dari pada kepentingan pribadi.

Menyitir ungkapan Bung Hatta bahwa “pendidikan” itu tidak hanya sekedar transfer of knowledge atau internalisasi ilmu pengetahuan tetapi pendidikan lebih ditekankan pada pembentukan karakter otak dengan cara penanaman nilai-nilai. Maka idealnya kalau pendidikan sudah berhasil, tidak akan ada perilaku amoral seperti pencurian, pemerkosaan, perampokan, perkelahian, penindasan kaum lemah, atau bahkan KKN yang dilakukan oleh para tokoh dan pejabat masyarakat. Kalau pendidikan itu berhasil seharusnya para wakil rakyat kita – sebagai orang terdidik – mampu membedakan kepentingan umun daripada kepentingan individu.

Sasaran pendidikan selama ini hanya pada aspek kognitif dan kecerdasan. Hanya menjadikan orang pandai, bertitel, tetapi tidak membekali dengan aspek afektif dan psikomotorik. Aspek moral, etika, religi(agama) dan akhlak diabaikan. Akibatnya, banyak yang tidak siap dengan kepandaiannya itu.

Pendidikan Keteladanan

Di antara faktor keberhasilan pendidikan adalah keteladanan, baik oleh guru, orang tua, tokoh masyarakat atau pejabat. Di antara ketidakberhasilan pendidikan moral adalah kurang adanya keteladanan. Seorang guru hanya mengajarkan kepada siswanya doktrin-doktrin atau ajaran-ajaran tentang moral, etika bermasyarakat, akan tetapi tidak memiliki tanggungjawab memberikan teladan baik itu di dalam kelas ataupun di luar kelas. Perilaku orang tua dan lingkungannya juga sangat menjadi contoh perilaku anak. Sebaik apapun ajaran yang diterima di sekolah, kalau orang tua atau lingkungannya memberikan contoh yang negatif, tentu yang ditiru adalah perilaku orang tua dan lingkungan itu, karena anak selalu memiliki sosok figur yang sering dijumpai dan yang frekuensi bertemunya lebih sering adalah orang tua serta orang-orang di sekitarnya di luar sekolah.

Pejabat atau tokoh, juga sangat menentukan keberhasilan pendidikan masyarakat. Kalau pejabatnya melakukan korupsi, penyelewengan dana yang semestinya untuk masyarakat, maka jangan berharap masyarakat kecil tidak melakukan kejahatan pencurian dan perampokan. Sebab terkadang kejahatan yang mereka lakukan adalah sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap perilaku pejabatnya, sementara hukum tidak berdaya dan tidak pernah menyentuhnya.

Pendidikan melalui Media Elektronik

Perkembangan media informasi bisa ancaman terhadap pendidikan bilamana perkembangan media informasi itu tidak diiringi dengan bekal untuk memilah dan memilih informasi yang layak dan yang tidak layak diterima. Seringkali sekolah mengajarkan moral, kedisiplinan, tetapi setelah di rumah, dari media televisi anak selalu disuguhi siaran-siaran film kekerasan, perkelahian, pencurian, judi dan mabuk-mabukan. Secara tidak langsung siaran-siaran tersebut memberikan contoh gaya hidup. Karena itu orang tua harus selalu setia mendampingi dan mengarahkan putra-putrinya dalam menonton siaran televisi. Apalagi sinetron-sinetron yang selalu mempertontonkan gaya hidup “wah”, pergaulan anak muda yang bebas, disadari atau tidak tontonan tersebut membuat anak terbawa dalam hayalan yang berusaha untuk selalu ia tiru.

Media informasi seperti televisi bisa berpengaruh positif terhadap anak bahkan menunjang proses pendidikan apabila orang tua dapat mengarahkan dan selalu mendampingi serta memilihkan tayangan mana yang layak dan kalau perlu diputarkan vcd tentang ilmu pengetahuan atau cerita-cerita yang mendidik.

Pendidikan itu Harus Menjadikan Anak Didik Kreatif.

Pendidikan itu adalah “memanusiakan manusia” dalam arti menjadikan manusia itu lebih manusiawi dengan segala sifat kemanusiaannya, sehingga diharapkan menjadi manusia yang sehat lahir batin. Pendidikan itu harus menjadikan anak mampu mengembangkan potensi dirinya dan mampu memilih dan mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan. Namun sampai saat ini proses pendidikan kita masih menjadikan anak didik sebagai obyek pendidikan, padahal seharusnya menjadikan anak didik sebagai subyek pendidikan.

Seorang guru seharusnya hanya menjadi fasilitator atau mediator yang mengantarkan anak didik bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Guru hanya mengantarkan dan mengarahkan anak didik dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri sesuai dengan minat dan bakat yang dimiliki. Seorang guru harus banyak memberi kesempatan kepada siswa untuk lebih kreatif dalam berfikir. Siswa harus menjadi learner (pengajar bagi dirinya sendiri) sehingga siswa menjadi subyek dalam proses belajar mengajar, sedangkan fungsi guru hanya memberikan rangsangan pada siswa untuk lebih kreatif dan inovatif

Link and Mach

Program link and mach berusaha menyiapkan lulusan pendidikan sesuai dengan peluang kerja. Kendati program ini sering dibicarakan semenjak hampir sepuluh tahun yang lalu, namun realisasinya masih belum terwujud. Terbukti dengan banyaknya lulusan sekolah yang masih pengangguran, hanya mengharapkan lowongan kerja, tidak memiliki ketrampilan menciptakan dan membuka lowongan kerja. Hal ini menunjukkan bahwa ketrampilan-ketrampilan yang diajarkan dalam intra maupun ektra kurikuler masih belum bisa memenuhi harapan. Para penentu dan pemberi kebijakan pendidikan harus menata ulang kurikulum dengan melihat marketing dan kebutuhan masyarakat pengguna lulusan lembaga pendidikan tersebut, serta perlu menjalin kerja sama dengan perusahaan-perusahaan atau masyarakat yang mungkin bisa memanfaatkan lulusan.

Pendidikan kurang mendapat Perhatian Pemerintah dan Masyarakat

Di antara faktor ketidakberhasilan pendidikan di Indonesia adalah karena telah menjadikan pendidikan sebagai proyek pembangunan. Dengan menjadikan pendidikan sebagai proyek pembangunan berarti menjadikan pendidikan itu sebatas proyek, dan akan berhenti setelah proyek selesai, bertentangan dengan “a long life education” yaitu bahwa pendidikan itu harus dilaksanakan sepanjang hidup. Di samping proyek-proyek pendidikan itu seringkali tidak sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat, kendati dalam pelaksanaannya banyak menghabiskan dana seperti yang pernah dilakukan pemerintah dengan banyak mendirikan SD Inpres, yang kemudian juga banyak yang bubar. Seharusnya pendidikan itu menjadi dasar dan landasan pembangunan, dan meletakkan pendidikan sebagai perioritas utama sebelum melakukan pembangunan dalam bidang fisik. Kalau pembangunan itu didasari dan dilandasi pendidikan maka pembangunan itu akan menghasilkan manusia-manusia yang handal.

Untuk memajukan pendidikan di antaranya dengan memberikan penghargaan yang pantas terhadap pendidikan. Profesi guru misalnya seringkali hanya dijadikan profesi sambilan, karena gaji yang ia dapatkan tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarganya. Apalagi guru madrasah yang kebanyakan hanya digaji dengan sewajarnya. Bahkan tidak sedikit guru madrasah yang tidak digaji, karena uang SPP siswanya hanya cukup untuk operasional kependidikan. Gaji yang minim tersebut akhirnya membuat mereka tidak menjalankan tugasnya secara profesional.

Karena itu solusi yang perlu segera diambil oleh pemerintah – termasuk pemerintah daerah - bersama masyarakat adalah meningkatkan kesejahteraan guru, terutama guru sekolah dan madrasah swasta. Dengan gaji yang cukup, masyarakat dapat menuntuk mereka lebih serius dan lebih profesional dalam menangani pendidikan. Apalagi dengan adanya otonomi pendidikan, pemerintah daerah dapat menentukan kebijakan dengan memprioritaskan pada pendidikan, termasuk memberikan beasiswa bagi yang tidak mampu.

Pesantren : Perlu mengajarkan teknologi, ilmu politik, sosial, ekonomi, budaya dll.

Berbicara tentang pendidikan tentu kita ingat pesantren. Dalam bidang pendidikan pesantren mempunyai peran sangat signifikan, karena dari sanalah dimulai pendidikan agama semenjak munculnya masyarakat Islam di Indonesia. Dan dari pesantren itu pula telah lahir sebuah institusi penting yaitu madrasah, di mana di madrasah itu lebih banyak diajarkan ilmu-ilmu keagamaan, bahasa Arab, tafsir, hadis, fiqh, tauhid, akhlak, tasawuf dan lain-lain.

Selama ini pesantren dianggap sebagai institusi yang relatif lebih berhasil dalam proses memanusiakan manusia, karena di masyarakat, alumni pesantren lebih bisa diterima dan lebih bisa beradaptasi dari pada alumni pendidikan non-pesantren. Hanya saja dalam masyarakat yang semakin global, pengetahuan agama saja tidak cukup, maka perlu bekal pengetahuan umum, teknologi, politik, ekonomi, sosiologi dan sebagainya. Dalam bidang pengetahuan umum itulah pesantren kurang berhasil, meskipun sesungguhnya sejak tahun 70-an sudah mulai banyak pesantren yang membuka sekolah-sekolah umum (SD, SLTP, SMU, SMK dan perguruan tinggi), di antaranya seperti pesantren Gontor Ponorogo, Tebuireng Jombang, Syafi’iyah Jakarta, dan belakangan muncul pesantren mahasiswa Al-Hikam Malang.

Banyaknya pesantren yang membuka kurikulum umum, dalam kenyataannya masih belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat Islam, terbukti ketika ormas Islam Nahdlatul Ulama - dengan PKB-nya – mempunyai kesempatan memimpin pemerintahan, merasa betapa kurangnya SDM yang dimiliki, sehingga sampai harus melibatkan para kyai pengasuh pesantren untuk duduk di jabatan pemerintahan atau wakil rakyat, padahal mereka para kyai seharusnya mempunyai amanat yang lebih besar yaitu menyiapkan calon pemimpin di pesantrennya maupun di masyarakat.

Alhasil kurikulum di pesantren justru telah menciptakan sendiri “dualisme keilmuan”. Banyak santri hanya merasa berkewajiban mencari dan mendalami pengetahuan agama saja, padahal sebagai khalifah di muka bumi setiap manusia mempunyai tugas yang lebih luas, di samping memiliki misi Islam, mereka juga memiliki misi khalifah di muka bumi, dan berkewajiban memakmurkannya. Bukankah sejarah Islam telah memiliki Ibnu Sina, seorang dokter, teknolog, filosofis, tetapi juga ‘alim bahkan hafal al-Qur’an. Dan justru orang seperti Ibnu Sina, Ibnu Khaldun dll itulah yang telah membawa Islam ke puncak kejayaan peradabannya.(ziz)

REALITAS KEBUDAYAAN AWAL ABAD BERWAJAH SETAN

Oleh : Syamsul Arief, S.Ag

Kini kita sudah meninggalkan abad 20 dan kita memasuki permulaan abad 21. Dewasa ini banyak fenomena sosial, kebudayaan, politik dan ekonomi yang ternyaata mengubah perilaku umat manusia dan masyarakat. Apasaja yang kita saksikan, dan kita rasakan, fenomena-fenomena tersebut merefleksikan dan menjadi presentasi dari peradaban manusia saat ini.

Abad ke-21 memang sangat pantas di sebut abad setan, karena kuasa setanlah yang mendominasi jengkal-jengkal hidup dan perlawatan manusia di awal abad ini. Kita masih ingat, Shindunata menyatakan, optimisme manusia yang pernah di catat Chicago Tribune awal januari 1901 bahwa abad ke-21 akan menjadi abad manusia yang bercirikan solidaritas dan pembebasan rakyat dari penderitaan terbukti tinggal impian. Kenyataannya, begitu abad berwajah setan ini datang sebagai manifestasi kejahatan, keserakahan, kekejaman, kebrutalan dan segala sesuatu yang di tetapkan oleh kuasa sedang menggelagak terjadi di mana-mana.

Di negeri inipun jumlah warga masyarakat yang hidup di dalam kungkung kemelaratan semakin tidak terhitung besarnya. Sementara warga masyarakat kaya raya juga banyak jumlahnya. Terdapat jurang pemisah yang sangat tajam antara masyarakat elit dan alit. Kenyataan ini ternyata merupakan masalah bangsa. Problem sosial paling esensial mesti menjadi agenda pokok pembenahan negeri ini bagi pemerintah pimpinan presiden Mega Wati Soekarno Putri.

Secara vertikal memang masyarakat bangsa ini telah terbagi dua yakni kelompok atas dan kelompok bawah. Dunia bagi mereka yang berada di atas sangat berbeda dengan dunia mereka yang berada di bawah dalam kondisi miskin dan papah. Arti uang Rp 10.000,- bagi kedua kelompok masyarakat ini sangatlah berbeda. Bagi yang satu sangat besar artinya, namun bagi yang satunya seakan-akan sama sekali tidak ada manfaatnya. Gaya dan cara hidup merekapun berbeda sangat tajam. Kelompok kaya bermain dan bermandi uang. Kontras-kontras social semacam ini semakin lama menjadi tampak lebih jelas dan terasa semakin menyakitkan hati dan menyayat rasa keadilan rakyat.

Bagi masyarakat miskin jeritan keras yang muncul dari mulut dan hati mereka hanyalah jeritan untuk mendapatkan sesuap nasi. Tiada jeritan kebebasan lain yang bisa diteriakkan dalam hidup mereka dan inikah fakta hidup masyarakat negeri ini yang sebenarnya sangat memeperihatinkan.

Barangkali, kuasa raja setan telah terlampau tebal bergelanyut membayang-bayangi hati nurani penguasa dan mata hati rakyat di sepanjang tahun-tahun setan di masa silam.

Krisis multi dimensional yang menghempas negeri ini di sepanjang tiga warsa terakhir telah benar-benar menyengsarakan dan mengaparkan rakyat yang sudah sejak lama selalu dikalahkan penguasa. Rakyat sangat lama di bisukan dan di sumbat bebal kesadaran kritisnya dengan berbagai macam dalih kestabilan nasionalnya. Dan, kini mereka seakan menjadi insan-insan ciptaan Allah yang demikian di sengsarakan, penuh penderitaan sarat kekerasan dan penuh sayatan rasa keadilan. Dan memang, kuasa raja setan yang berintikan kejahatan dan keserakahan terbukti telah meembutakan mata hati dan membisukan kata hati penguasa orde baru, orde reformasi dan orde-orde lain setelahnya di masa-masa pemerintahannya.

Jurang pemisah antara pihak yang kaya dengan yang miskin antara kawula elit dan kawula alit menjadi kian terjal di sepanjang pemerintahan itu karena kelompok masyarakat yang kaya terus menjadi semakin menggunung kekayaannya berkat kuasa-kuasa Nepotisme, Korupsi dan Kolusinya bersama penguasa. Ketiga tumor rakyat tersebut tumbuh sangat menghebat dalam tubuh masyarakat bagaikan kanker maha ganas yang menghancurkan sendi- sendi tulang bangsa.

Rasa malu di dalam masyarakat seakan menjadi tidak ada lagi dan bagi yang mau berbuat benar, jujur dan adil. Justru dibodohkan dan di cemoohkan banyak orang. Keteladanan hidup dari pihak yang mestinya dapat di anuti langkah-langkahnya menjadi tidak ada. Kenyataan sekarang ini seakan kian meneguhkan Pameo moyang bahwa manifestasi zaman edan adalah wong lugu keblenggu, wong jujur kojur, wong bener thenger- thenger, wong jahat munggah pangkat lan penghianat tansah nikmat. Semua itu kenyataan hidup berbangsa dan bermasyarakat di sepanjang tahun-tahun di awal abad berwajah setan ini.

Abad ini juga mencatat jumlah terbesar peristiwa brutal dan kejam di seluruh pelosok negeri. Kerusuhan, pembunuhan, pembantaian, penculikan, penyayatan hati dan rasa keadilan rakyat tercapai dalam jumlah yang signifikasikan dimana-mana. Begitupun yang terjadi di negeri ini dalam dua tahun terkhir di penuh sesaki berbagai macam aksi brutal, kekejaman, kekerasan, kerusuhan, penculikan dan pembunuhan serta pendeportasian.

Kebrutalan dan kekejaman yang paling kentara dan mencolok di mata kita itu dirasakan oleh masyarakat Aceh, Ambon, Sampit, Sambas, Poso dan kasus TKI ilegal Indonesia di Malaysia yang terdeportasi. Di wilayah-wilayah itu nyawa manusia seakan tidak ada lagi nilainya. Martabat manusia sama sekali tidak ubahnya dengan harga hewan buruan di hutan. Dari media masa dan layar kaca kita selalu di suguhi berita melayangnya nyawa umat manusia setiap waktu. Sungguh kenyataan ini sangat memprihatinkan.

Padahal, semua manusia adalah ciptaan Allah dan semua persis memliki hak yang sama di depan Allah. Lacur, kuasa raja setanlah yang telah menjungkir balikkan semua ini sehingga manusia demikian mudah di hancurkan oleh sesamanya dan ia sama sekali tidak di hargai keberadaannya.

Di sepanjang tahun berawalnya abad setan ini diktator dan penindas rakyat juga telah terlahir di mana-mana. Diantaranya Ariel Sharon, perdana mentri Israel dengan kekejamannya terhadap rakyat Palestina, George Walker Bush dengan background negara Adi Kuasa dan Adi Dayanya mengeluarkan statement militerismenya untuk menyerang Iraq, hingga sampai hari inipun kita tahu lewat media-media yang penyerangannya terhadap Iraq tinggal menunggu waktu. Sedangkan negara kita sendiripun saat ini dipermainkan olehnya Agen Intelegion resminya CIA telah mempermainkan dan mengobok-obok kedaulatan bangsa kita. Dan katanya juga Megawati Presiden kita, tergolong dalam jajaran diktator itu. Walau masih kurang lebih satu tahun berkuasa, Megawati seakan menghendaki pemarkahan dirinya sebagai seorang pemimpin bergaya “Orde Baru Orde Lama” Ia juga seakan menobatkan dirinya sebagai pendistribusi pangkat dan kekayaan serta symbol-simbol penghargaan penghormatan bagi orang-orang yang menopangnya. Semua itu didasarkan penilaian prefentif dan faforitnya. Maka, keadilanpun menjadi sesuatu yang sangat langka dan dinaifkan. Pada sisi yang lain rasa keadilan itu teramat didambakan rakyat yang menderita.

Sebagian besar warga masyarakat kita kini juga sedang mencoba dan tertatih-tatih ikut memasuki dan merasakan abad baru dan berusaha menjauhi permulaan tahun-tahun abad setan ini dengan penuh kesesakan dan kemiskinan, penderitaan dan sayatan rasa keadilan oleh tindakan penguasa masa silam dan masa sekarang. Dan inilah kiranya puncak derita masyarakat Indonesia di awal langkah-langkah mereka menapaki Milenium baru, yang mestinya di tandai oleh banyak tatanan baru dalam bingkai koridor Indonesia baru ini..

KITA HARUS BANYAK BERSABAR

Oleh : Syuhada’ Sholeh, MA*

Bersabar teramat penting dalam menghadapi setiap persoalan yang mengemuka dalam kehidupan. Karena didalam kesabaran itu sendiri tersimpan berbagai hikmah yang akan kita rasakan cepat atau lambat. Dalam situasi dan kondisi bagaimanapun kita mesti mendahulukan kesabaran daripada emosional. Termasuk juga dalam menyikapi kondisi negeri kita sekarang ini.

Melihat perkembangan negeri kita akhir-akhir ini, di satu sisi memang cukup membanggakan, misalnya berakhirnya cekal-mencekal atas pihak yang berani mengutarakan panggilan suci dari hati nuraninya, pembredelan media masa, pengucilan pendidikan pesantren dll. Akan tetapi di banyak sisi masih beragam ketimpangan nampak jelas di depan mata kita, baik yang kita lihat langsung maupun melalui media informasi seperti TV, surat kabar, majalah dll. Saat kita menyimak berita pagi di TV, kita akan selalu dikejutkan dengan peristiwa kejahatan baru dalam motif dan model terkini yang di imami oleh para pentolan negeri kita dan diikuti rame-rame oleh penduduk negeri yang mayoritas muslim ini. Coba kita tengok betapa besar perhatian kejaksaan kita kepada para teknokrat kita, sehingga parade transaksi kasus berjalan aman. Kenyataan ini tepat sekali dengan kata bijak orang dulu, yaitu: pribadi raja ( penguasa ) adalah panutan dan kebijakannya adalah kewajiban, apabila ia bertindak dzalim maka tak seorang pun mampu menegakkan keadilan dan jika ia bertindak adil maka tak seorang pun berkesempatan untuk berbuat dzalim.

Dalam menyikapi kenyataan yang ada di negeri kita ini sepertinya kita masih harus lebih banyak bersabar daripada bersyukur, lebih mengutamakan pemikiran yang jernih daripada emosi serta lebih meningkatkan lagi introspeksi diri. Hal ini karena Allah SWT dan Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita tentang kesabaran. Diantara ratusan pesan sabar Rasullah adalah sabda beliau: “ sabar sejenak itu lebih baik dari pada beribadah satu tahun” . dan orang penyabar itu lebih baik daripada orang yang bersyukur. Mengapa? karena bagi orang yang bersyukur (atas semua nikmat sampai nikmat yang terkecil) Allah berjanji akan menambahkan karunia-Nya, sebagaimana firman-Nya: “ jika kamu bersyukur niscaya akan saya tambahkan ( karuniaKu ) kepada kalian” sedangkan bagi orang yang sabar ( atas masalah yang menimpanya ), Allah berjanji akan selalu bersamaNya sebagaimana firmanNya: “ sesungguhnya Allah bersama orang-orang penyabar “. Tentu, selalu bersama dengan Allah adalah merupakan nikmat atas segala nikmat.

Untuk itu, sabar seharusnya kita jadikan alternatif pertama dalam menyikapi hidup ini, dimanapun, kapanpun dan dalam situasi dan kondisi bagaimanapun. Tanpa kesabaran kita akan mudah putus asa, jauh dari Allah dan jauh dari keberhasilan. Bisakah kita menjadi seorang pelajar atau santri yang berhasil apabila berbalik haluan saat masalah ekonomi, masalah kekurang cerdasan, atau masalah keluarga menghalangi kita ? mungkinkah kita bisa menjadi seorang pemimpin yang sukses apabila kita mundur dalam menegakkan kebenaran atau melaksanakan program-program organisasi lantaran takut kehilangan kedudukan, teman atau takut dimusuhi.

Kebaikan dan cita-cita mulia bukan berarti tidak membutuhkan pengorbanan dan kesabaran, bahkan sering kali ia membutuhkan kesabaran melebihi dari yang kita punya. Seseorang tidak akan mendapatkan kebaikan sebelum pernah kehilangan ( harta benda) dan sakit (badan), sesungguhnya apabila Allah SWT mencintai hambaNya Ia akan mengujinya dan tatkala ia diuji ia sabar”, demikian Rasulullah berpesan kepada kita.

Prof. Dr. Hamka dalam bukunya “ Tasawuf Modern “ menyatakan, bahwa dalam mengahadapi kenyataan-kenyataan dalam kehidupan ini setidaknya ada 5 sikap yang harus kita pegang erat. 5 sikap tersebut adalah:

Pertama, menerima dengan rela apa yang ada.

Kedua, memohon kepada Allah tambahan yang pantas.

Ketiga, menerima dengan sabar akan ketentuan Allah.

Keempat, bertawakkal kepada Allah.

Kelima, tidak tertarik oleh tipu daya dunia.

Kita seringkali mengasumsikan kesabaran itu kepada musibah yang menimpa kita, seperti: banjir, kebakaran, kehilangan, meninggalnya salah seorang keluarga atau lainnya. Sebenarnya bukan hanya ketika kita ditimpa musibah saja kita harus bersabar. Dalam menjalankan kewajiban kita (taat) kepada Allah dan menjauhi kemaksiatan, kita membutuhkan lebih banyak lagi kesabaran.

Jadi dalam segala aspek kehidupan ini butuh kesabaran. Untuk mencapai maqam tertinggi yaitu takwa, kita butuh kesabaran dalam menjalankan perintah Allah dan kesabaran dalam menjauhi laranganNya. Seorang wanita butuh kesabaran dalam menjaga kehormatannya, sorang anak butuh kesabaran dalam berbakti kepada kedua orang tuanya, para orang tua butuh banyak pengorbanan dan kesabaran dalam mendidik anak-anaknya, para birokrat butuh kesabaran dalam melaksanakan amanatnya, kita rakyat kecil juga harus bersabar dalam menjalani kehidupan sebagai rakyat kecil. Kita akan menjadi orang terhormat atau kaya yang hakiki apabila kita sudah mampu menjalani hidup ini dengan penuh kesabaran.

Kehormatan tidak akan pernah datang dengan kegemaran kita mengkerdilkan orang lain dan menganggap diri kita lebih hebat. Seorang intelektual akan menjadi terhormat ketika keilmuannya telah mengantarnya kepada kearifan dan kebijakan. Demikian juga dengan kaya, kita akan menjadi orang kaya yang hakiki ketika karunia yang diberikan oleh Allah kepada kita tidak menjadi wasilah bagi hawa nafsu dalam memperbudak kita, memperbudak pikiran dan aktifitas kita.

Hasan Al Basri pernah menyatakan bahwa ada 5 kalimat disimpan dan di muat dalam Taurat, yaitu :

Pertama, kecukupan di simpan dalam Qonaah atau neriman

Kedua, keselamatan berada dalam Uzlah atau menyendiri

Ketiga, kebebasan didalam mengekang syahwat

Keempat, Mahabbah (kepada Allah) di dalam menyisihkan keimanan

Kelima, kegembiraan kekal di dalam sabar

Jadi kehormatan dan kekayaan yang hakiki adalah yang ada dalam jiwa kita. Rasulullah SAW mendefinisikan kekayaan ini dengan kekayaan jiwa. Beliau bersabda : “ bukanlah kekayaan itu lantaran banyak harta, tetapi kekayaan adalah kekayaan jiwa “.

Jadi, menyelesaikan masalah hidup dengan grusa-grusu atau dengan emosinal adalah identik dengan menelorkan masalah baru, bukan mengikis masalah. Ibnu Al Mubarok mengatakan bahwa musibah itu satu, dan ketika yang tertimpa musibah mengeluh maka muncul musibah yang kedua, yang pertama yaitu musibah itu sendiri dan yang kedua hilangnya pahala dan yang demikian itu lebih besar dari pada musibah. Dan, dengan modal kesabaran dalam mendidik nafsu kita, kesabaran untuk tidak selalu menuruti segala keinginan-keinginan hawa nafsu kita sebagai jihad akbar seperti di wanti-wanti Rasulullah kika pulang dari jihad kecil menuju jihad akbar. Insya Allah akan kita raih tujuan hidup yang hakiki fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah. Marilah kita selalu meneladani kesabaran Rasulullah SAW, kalau bukan kepada beliau kepada siapa lagi kita menjadikan teladan.

Sumber Bacaan:

1. Al Quran Al Karim, Depaq RI, Lubuk Agung, Bandung, 1989

2. Moh bin Sayid Alwi bin Sayyid Abbas Al Maliki Al Hasani, Muhammad Al Insan Al Kamil,1411

3. HAMKA, Prof, DR, Tasawuf Modern, Pustaka Panjimas, 1987

4. Labib MZ, Ust, Tashawwuf dan Jalan Hidup Para Wali, Bintang Usaha, Surabaya, 2000

5. Ustman bin Hasan bin A. Syakir, Durratun Nasihin, Al Hidayah, Surabaya

* Penulis adalah mahasiswa program doctor di Universitas Al Qur’an Karim dan ilmu-ilmu islam di Khartoum Sudan

PERADABAN ARAB DALAM AL QUR'AN*

Oleh: Abdul Ghofur Maimun**

Dalam studi-studi al quran, (sesuai pengamatan subyektif saya) kita sering terjebak dalam lingkaran episteme-episteme Ilahiyyat. Misalkan, ketika kita memulai studi ini, kita langsung dihadapkan pada devinisi al-Quran yang "entah kenapa" sering mengajak penelaahnya untuk melangkah pada dimensi Ilahiyyat ini. Saya, sebagai contoh, sejak kecil sudah dikasih pelajaran Tafsir (setidak-tidaknya Jalalain), tapi "entah kenapa" saya tidak begitu terusik untuk menanyakan, misalnya, pada ardhiyyah budaya bagaimanakah al-Quran itu diturunkan? (dua baris kata dalam tanda petik bisa kita diskusikan bersama).

Memang dimensi Ilahiyyat ini adalah suatu keniscayaan, namun persoalannya jadi lain ketika akibatnya, dimensi kemanusiaan al-Quran terlupakan, atau setidak-tidaknya amat ketinggalan. Ini lain tentunya dengan metodologi yang dibangun oleh para orientalis untuk studi-studi al-Quran, di mana dimensi kemanusiaan dalam studi-studi mereka seringkali mendapatkan porsi yang cukup. Karen Armstrong misalnya, ketika menyinggung soal i'jazul Quran, ia tidak dipusingkan dengan nilai sastra-nya yang begitu tinggi, juga tidak oleh berapa jumlah kalimatnya yang berlawanan, ia hanya mencukupkan bahwa al-Quran dalam beberapa abad, sejak diturunkannya hingga sekarang tetap mampu menjadi sumber inspirasi kaum Muslimin.

Ironisnya, kesadaran akan orisinilitas metodologi ini justru dimotori oleh mereka yang sering kita sebut sebagai sekuler dalam arti yang negatif. Kenapa ironis? Karena hal demikian ini akhirnya memposisikan kita (Islamiyyun) hanya sebagai mudafi' (re-aktif) dan bukan muhajim (pro-aktif). Makanya, dalam literasi Universitas kebanggaan kita, kita benar-benar di"kenyangkan" dengan sub judul "difa' 'an al shubuhat", tapi sangat jarang kita dikenalkan dengan objek studi itu sendiri secara komprehensif.

***
Disebutkan dalam Surat 12:02, 20:113, 39:28, 41:03, 42:07 dan 43:03, "Quraanan 'arobiyyaa", dua baris kata yang belum banyak tersentuh dengan baik secara analitis. Dua kalimat ini bukan saja berarti al Quran yang berbahasa Arab, tapi lebih dari itu, ia juga berarti al Quran yang dalam setiap penggunaan kalimatnya menyimpan tata-cara kehidupan bangsa Arab.

Kalau hendak membuat gambaran yang mudah, bisa dimisalkan demikian: al-bait, dalam artinya yang umum, adalah sebuah bangunan sedemikian rupa hingga layak untuk dijadikan sebagai tempat tinggal. Tapi coba kalimat tsb kita ucapkan didepan orang Mesir dan orang Indonesia, maka nanti yang akan terbayang oleh orang Mesir adalah sebuah bangunan yang membumbung tinggi. Sementara yang terbayang dalam benak orang Indonesia adalah sebuah bangunan yang ada gentengnya .. halamannya .. dst. Barangkali memang benar bahwa setiap kalimat pasti menyimpan nilai-nilai kebudayaan, yang luas dan sempitnya tergantung esensi kalimat itu sendiri dalam kebudayaan yang bersangkutan.

Demikian ini, jika ditelaah lebih lanjut, akan memunculkan beberapa tada'iyyat (asosiasi). Pertama: al Quran harus difahami sesuai dengan budaya arab waktu itu. Kedua: karenanya, penelusuran terhadap fase Makky dan fase Madani dalam setiap pemahaman al Quran teramat urgen. Dan ketiga, menelaah kembali hubungan antara al waqi' dan an nazil, atau antara wahyu Tuhan dan -- apa yang dalam bahasa undang-undang modern diistilahkan-- al a'mal attahdhiriyyah lil qonun.

***
Pertama: al-Qur an harus difahami sesuai dengan budaya Arab waktu itu.

Telah diterangkan dalam al-Quran, bahwa al quran diwahyukan oleh nabi dengan bahasa yang jelas, yang mampu di fahami oleh kaumnya. Firman Allah dalam 12:01: "Alif, laam, raa . Ini adalah ayat-ayat Kitab (Al Qur'an) yang nyata", dan dalam 16:103: sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata: "Sesungguhnya Al Qur'an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)". Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa 'Ajam, sedang Al Qur'an adalah dalam bahasa Arab yang terang.

Kalau kedua ayat tersebut kita dukung dengan ayat 4 (empat) surat Ibrahim: "Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka", maka barangkali kita bisa sepakat bahwa standar kebenaran yang kita pakai dalam memahami al Quran adalah standar kebenaran waktu diturunkanya al Quran.

Selain alasan ini, ada alasan lain yang sangat penting, kenapa kita harus memakai standar 'ashrul wahyi'. Pertama: kalau kita memakai standar era pasca-wahyu, maka ini berarti membiarkan kaum muslimin era-wahyu dalam kesalahannya memahami al Quran. Kedua: Kefahaman-kefahaman era wahyu yang lebih dekat kepada tauqify tidak pernah menjadi mutlak (absolut), karena dimungkinkan salah.

Untuk menjelaskan keterangan dimuka, akan saya kemukakan dua contoh. Pertama menyangkut al-ro'du dan al-barqu yang telah disinggung Bpk. Quraisy minggu lalu. Kalau memang benar, bahwa al-ro'du dan al-barqu adalah suara dan percikan api dari cemetinya malaikat, adakah malaikat itu difahami oleh kaum Muslimin ashrul wahyi sebagai hukum alam? Kalau tidak, dan kemudian difahami oleh Mohammad Abduh sebagai hukum alam, apakah ini tidak berarti membiarkan mereka dalam kesalahannya.

Kedua: "iqro" dalam surat al-'alaq, apakah ia dari kata "qara a" yang mempunyai arti mengumpulkan (jama'a) atau dari "qara a" yang mempunyai arti mengulang-ulang (raddada). Dalam hal ini, Nasr hamid cenderung mengikuti kemungkinan yang kedua, yakni hanya sekedar mengulang-ulang tanpa harus ada teks-nya. Menurutnya, ini sesuai dengan budaya Arab waktu itu yang tidak mengenal baca tulis. Selain ini, dalihnya, ada ayat yang mendukung pendapat ini: "inna 'alaynaa jam'ahuu wa qur anah-u, faidzaa qara naahu-u fattabi' quraanah-u", dimana kalimat "qur anah-u" di athofkan pada kalimat "jam'ah-u", padahal athof dalam gramatika Arab berimplikasi "mughoyarah" (perbedaan arti antara ma'tuf dan ma'tuf 'alaih). Apalagi jika kita menengok bagian kedua ayat tersebut (faidzaa qara nahuu fattabi' qur anah-u) yang jelas mendukung pengartian demikian ini. Kedua: Penelusuran Fase Makky dan Madany teramat urgen dalam memahami al-Quran.

W. Robertson Smith ketika menyoal agama-agama samawi menyatakan, bahwa agama-agama samawi ini harus memeperhitungkan serta menyikapi dengan cermat setiap kepercayaan dan tradisi agama-agama sebelumnya, baik menerima atau menolaknya. Karena bagaimanapun agama-agama tsb. tidak mungkin dibangun di atas landasan yang hampa image keagamaan, seakan-akan memulai hal yang baru.

Lebih lanjut ia menegaskan, setiap konstruksi akidah yang baru, tidak akan mendapatkan pengikut kecuali dengan cara mengetuk fitrah serta perasaan-perasaan agamis. Dan untuk mencapai ini, tidak ada jalan lain kecuali dengan cara mempertimbangkan tipe-tipe keagamaan tradisional yang ada. Maka, kata Robertson, untuk memahami setiap konstruksi keagamaan agama samawi dengan sebaik baiknya, serta menelusuri perjalanan sejarahnya, kita harus memahami terlebih dahulu agama-agama tradisional sebelumnya.

Mengacu pada premis-premis diatas, berarti dalam memahami kandungan al-Quran serta perjalanan sejarahnya, kita harus memahami watak sosial Arab, terutama Arab Makkah dan Madinah dan juga perjalanan sejarah Islam pada dua tempat tsb.

Memang, untuk memahaminya dengan baik, diperlukan penelitian yang intens. Dan ini tentu membutuhkan waktu serta keuletan yang super.

Ketiga: Menelaah Kembali Antara al waqi' dan An nazil.

Ada dua pembahasan yang nampak paradoks ketika meneliti hubungan antara wahyu dan al waqi' yang menjadi ardhiyyah diturunkannya. Pertama: apakah yang diambil sebagai pertimbangan, umumullafdzi atau khususus sabab. Kedua: Keharusan mempertimbangkan al A'mal attahdhiriyyah (asbabun nuzul) dalam setiap keputusan-keputusan wahyu.

Menurut penelitian Azzurqoni, ulama' sepakat untuk mempertimbangkan umumul lafdzi dalam arti yang "luas". Karena, menurutnya, pendapat yang hanya mempertimbangkan khususus sabab dalam arti yang sempit sangat irasional. Ini berarti pemusatan pandangan terdadap wahyu. Sementara kalau kita menilik pada bagian yang kedua justru kita dituntut untuk selalu menatap kebawah dalam setiap keputusan wahyu.

Menurut hemat saya, dua cara pandang ini dapat kita satukan dalam satu kesatuan yang sangat positif: cara pandang pertama mengenai tabiat hukum yang sering kita katakan kaku: 'hitam atau putih'. Sementara cara pandang kedua adalah merupakan filsafat hukum yang bisa menjadikannya lentur.***.

*Peserta program S2 Fakultas Ushuluddin, jurusan Tafsir Al-Azhar University.
**Pengantar Diskusi bersama Bpk. Prof. DR. Quraisy Syihab

KITAB SUCI AL-QUR'AN: KEASLIANNYA DAN RIWAYAT PEMBUKUANNYA
Oleh : NurcholishxMadjid
Event Artikel : KKA-72 (Jakarta, Maret 1993)
Diupdated pada: Kamis 5 April 2001

Muqaddimah

Di seluruh dunia tidak seorang Muslim pun meragukan keaslian dan keabsahan kitab sucinya. Menurut keyakinan Islam, Al-Qur'an adalah pegangan hidup terakhir dari yang diwahyukan Allah kepada umat manusia melalui dengan perantaraan Nabi Muhammad s.a.w. sebagai penutup para Nabi dan Rasul itu. Konsekwensi logisnyanya, Allah sendiri yang akan memelihara keutuhan dan keabsahan kitab suci-Nya itu. Sebab jika tidak demikian, dan kemudian kitab suci itu dibiarkan mengalami kemungkinan perubahan, maka klaimnya sebagai wahyu penutup menjadi rapuh, dan fungsinya sebagai pegangan hidup umat manusia sampai akhir zaman menjadi goyah. Allah menjanjikan hal itu semua dalam firmannya: "Sungguh Kami telah menurunkan peringatan (Al-Qur'an), dan Kamilah yang menjaganya." (Q., s. al-Hijr/15:9).

Secara kenyataan lahiriah, Al-Qur'an memang tampil kepada umat manusia sedemikian rupa sehingga benar-benar memenuhi janji Tuhan bahwa kitab suci itu akan terpelihara dari kemungkinan perubahan. Di seluruh dunia Islam tidak satu pun kitab suci Al-Qur'an yang diterbitkan berbeda dari yang lain, biarpun hanya sekedar satu kata-kata. Dan setiap kali ada kejadian penulisan Al-Qur'an yang menyalahi pedoman yang benar, tentu akan segera diketahui dan dikoreksi.

Secara resminya, di negeri kita tanggung jawab itu dilakukan oleh badan yangdisebut Lajnah Pentashhi? Al-Qur'an, di bawah Departemen Agama. Negeri-negeri Islam yang lain pun mempunyai badan yang serupa, dengan tanggung jawab yang kurang lebih sama.

Karena keseragaman yang mutlak pada semua mushhaf atau penerbitan Al-Qur'an itu, maka kaum Muslim juga memiliki ketenteraman batin yang tinggi berhadapan dengan kitab sucinya. Mereka membacanya dengan keyakinan penuh bahwa mereka melafalkan kalam Ilahi yang otentik dan sejati. Ini memberi mereka pengalaman keagamaan yang tinggi, sehingga membaca Al-Qur'an merupakan cara pendekatan diri kepada Allah yang sangat baik, sebagai salah satu bentuk dzikir. Dan rasa keagamaan yang dihasilkan akan semakin tinggi jika disertai usaha memahami kandungan kalam Ilahi itu dan ajaran-ajarannya.


Riwayat Pembukuan Al-Qur'an

Ada pandangan bahwa Al-Qur'an seperti yang ada sekarang ini sesungguhnya sudah dikumpulkan oleh Nabi sendiri dalam lembaran-lembaran tulisan tangan (manuskrip), dan tidak semata-mata dipertaruhkan kepada hafalan para Sahabat belaka. Berbagai riwayat menunjukkan bahwa Nabi selalu memerintahkan Sahabat-sahabat tertentu untuk menulis dan mencatat wahyu yang baru beliau terima. Maka sejak di zaman Nabi itu pun sudah ada lembaran-lembaran (shuhuf dari kitab suci yang dapat dibaca. Ini juga diisyaratkan dalam Al-Qur'an sendiri, dengan firman Allah: "Rasul dari Allah yang membaca lembaran-lembaran suci, di dalamnya terdapat perintah-perintah yang lurus (tegas kebenarannya)." (Q., 98:2-3). Jadi digambarkan bahwa Nabi s.a.w. "membacakan" perintah-perintah Allah dari lembaran-lembaran suci (shuhuf-un muthahharahhhhhalam pengertian apapun kata-kata "membacakan" di situ (karena Nabi s.a.w. adalah seorang ummi yang tidak pandai membaca dan menulis), namun firman itu menunjukkan bahwa penulisan atau pencatatan wahyu Ilahi kepada Nabi telah terjadi dan terwujud di zaman beliau sendiri, dan tentunya penulisan atau pencatatan itu juga dibuat dengan lengkap. Tinggal satu-satunya kemungkinan ialah bahwa meskipun di zaman Nabi itu sudah ada tulisan atau catatan Al-Qur'an, namun ia tidak disusun dan dibuat sehingga membentuk sebuah buku terjilid atau mushhaf (rangkuman catatan yang dibuat "antara dua kulit [ghilaf])".

Sementara ada pandangan seperti di atas, dan umat Islam di seluruh dunia meyakini bahwa Al-Qur'an seperti yang ada pada kita sekarang ini adalah otentik dari Allah s.w.t. melalui Rasulullah s.a.w., namun, cukup menarik, semua riwayat mengatakan bahwa pembukuan kitab suci itu tidak dimulai oleh Rasulullah s.a.w. sendiri, melainkan oleh para Sahabat beliau, dalam hal ini khususnya Abu Bakr, 'Umar dan 'Utsman, dengan 'Umar sebagai pemegang peran yang paling menonjol. Sebuah riwayat melukiskan demikian:

'Umar ibn al-Khaththab menanyakan tentang sebuah ayat dari Kitab Allah. Setelah diberitahu bahwa ayat itu pernah ada pada seseorang yang telah terbunuh dalam perang Yamamah, 'Umar teriak dalam nada penyesalan: "Inna li 'l-Lah-i wa inna ilaihi raji'un!" 'Umar pun memerintahkan agar semua (catatan) Al-Qur'an dikumpulkan. Dialah yang pertamakali mengumpulkan Al-Qur'an.1

Jika dalam riwayat itu disebutkan bahwa 'Umar adalah yang pertamakali mengumpulkan Al-Qur'an ke dalam sebuah mushhaf, yang dimaksud mungkin bukanlah ia yang pertama kali melakukannya, baik sebagai pribadi maupun sebagai khalifah, melainkan yang pertama punya gagasan atau id‚ mengenai hal itu dan mengusulkannya kepada Abu Bakr sewaktu dia ini menjabat sebagai khalifah. Sebab yang umum tercatat dalam riwayat pembukuan Al-Qur'an ialah bahwa Abu Bakr merupakan tokoh yang dalam kekuasaan politiknya (sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang khalifah) pertamakali memerintahkan pengumpulan Al-Qur'an menjadi sebuah mushhaf, berdasarkan usul dan pendapat yang datang dari 'Umar tersebut.

Salah satu penuturan berkenaan dengan usaha pertama membukukan Al-Qur'an ialah yang menyangkut tiga tokoh: Abu Bakr, 'Umar dan Zaid ibn Tsabit. Seorang ulama terkemuka, Ibn Hajar al-'Asqlani, menuturkan sebuah kisah tentang hal itu sebagai berikut:

Zaid menceritakan, "Abu Bakr mengutus orang memanggil aku pada saat ketika banyak orang terbunuh dalam peperangan Yamamah. Lalu kudapati 'Umar ibn al-Khaththab ada bersamanya. Kata Abu Bakr, ''Umar ini baru saja datang kepadaku, dan mengatakan demikian: "Dalam perang Yamamah kematian telah menimpa lebih banyak pada qurra' (para pembaca Al-Qur'an), dan aku kuatir kematian serupa juga akan menimpa pada mereka dalam kejadian peperangan yang lain, dengan akibat banyak bagian dari Al-Qur'an akan hilang. Karena itu aku berpendapat bahwa Anda (Abu Bakr, selaku khalifah) harus memerintahkan untuk mengumpulkan Al-Qur'an.'" Tambah Abu Bakr, "Aku katakan kepada 'Umar, 'Bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang Nabi sendiri tidak melakukannya?!' Dan 'Umar ini menjawab bahwa pekerjaan itu bagaimanapun juga adalah baik. Dia ('Umar) tidak henti-hentinya menolak keberatan saya sehingga Allah membimbing saya ke arah usaha ini.'" Abu Bakr melanjutkan lagi, "Zaid, engkau adalah orang muda dan cerdas, dan kami tidak melihat cacad padamu. Engkau pernah bertugas mencatat wahyu untuk Nabi, karena itu carilah catatan-catatan Al-Qur'an itu semua, dan kumpulkanlah." (Kata Zaid), Demi Allah, kalau seandainya mereka itu memintaku memindahkan gunung tentu tidak akan terasa lebih berat daripada yang mereka tuntut dariku untuk mengumpulkan Al-Qur'an. Karena itu kutanyakan bagaimana mungkin mereka melakukan sesuatu yang Nabi sendiri tidak melakukannya, tapi Abu Bakr menegaskan bahwa hal itu diperbolehkan. Dia tidak henti-hentinya menolak keberatanku sampai akhirnya Allah membimbingku ke arah usaha itu sebagaimana Dia telah membimbing Abu Bakr dan 'Umar. Karena itu aku pun mulailah mencari semua catatan-catatan Al-Qur'an dan mengumpulkannya dari pelepah kurma, tulang pipih, dan hafalan manusia. Aku temukan (catatan) ayat terakhir dari surat al-Tawbah dimiliki oleh Abu Khuzaimah al-Anshari, dan tidak kutemukan pada orang lain siapapun juga, (yaitu ayat) "Sungguh telah datang kepadamu sekalian seorang Rasul dari kalanganmu sendiri, yang merasakan beratnya penderitaan yang menimpamu, sangat memperhatikan keadaanmu, dan yang cinta kasih kepada kaum beriman. Maka jika mereka berpaling, katakanlah kepada mereka, 'Cukuplah bagiku Allah (saja), yang tiada Tuhan selain Dia, yang kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Tuhan pemilik 'arasy (singgasana) yang agung.'"

Lembaran-lembaran kitab suci (shuhuf) yang dikerjakan oleh Zaid demikian itu tetap tersimpan pada Abu Bakr. Setelah ia meninggal, lembaran-lembaran itu dipindahkan ke 'Umar yang kemudian setelah ia meninggal diserahkan kepada anak perempuannya, hafshah (janda Nabi s.a.w.).2

Kisah tentang dua ayat terakhir dari surat al-Tawbah (juga dikenal sebagai surat al-Bara'ah) yang menurut Zaid "hilang" dan kemudian diketemukan pada seorang sahabat Nabi bernama Abu Khuzaimah al-Anshari itu cukup menarik. Sebab hal itu menggambarkan suatu contoh peristiwa usaha sungguh-sungguh dari Zaid untuk mencari verifikasi dari setiap ayat yang hendak ditulis dalam mushhaf atau kodifikasinya. Sebab sesungguhnya Zaid sendiri mengetahui adanya ayat itu secara hafalan, namun ia tidak menemukan bukti tertulisnya. Sesuai dengan metodologi yang ia gunakan untuk mengecek keabsahan dan keotentikan ayat-ayat Al-Qur'an yang ia kumpulkan, ia tidak mau menuliskan sesuatu kecuali jika tidak ada saksi baginya, paling tidak dari dua orang. Metodologi ini telah lebih dahulu ditetapkan oleh 'Umar, sebagaimana di katakan oleh Ibn Hajar:

Berita bahwa 'Umar tidak akan menerima sesuatu untuk dimasukkan kedalam mushhaf sampai adanya dua orang saksi bersedia memberi kesaksian menunjukkan bahwa Zaid tidak terima hanya karena sesuatu didapatinya telah tertulis. Lebih jauh, dalam metodologi pendekatannya yang sangat berhati-hati, dia menuntut agar orang yang mengaku menerima (ayat) Al-Qur'an langsung dari lisan Nabi juga memberi kesaksian mereka, meskipun Zaid sendiri mengetahui bahwa ayat bersangkutan adalah bagian yang otentik dari Al-Qur'an.3


Munculnya "Mushhaf 'Utsmani"

Teks dan pembukuan kitab suci Al-Qur'an yang kini ada di tangan kita dikenal sebagai "Mushhaf 'Utsmani" (untuk mudahnya kita terjemahkan menjadi "Kodifikasi 'Utsmani"). Proses terwujudnya Mushhaf 'Utsmani ini adalah seperti yang dituturkan dalam Kitab al-Mashahif demikian:

Hudzaifah ibn al-Yaman datang kepada (Khalifah) 'Utsman langsung dari perbatasan Azerbaijan dan Armenia dimana, setelah mempersatukan tentera dari Irak dan Syria, ia mempunyai kesempatan untuk menyaksikan perbedaan setempat berkenaan dengan Al-Qur'an. "Wahai Amir al-Mu'minin," ia memberi saran, "tanganilah umat ini sebelum mereka berselisih tentang Kitab Suci seperti kaum Kristen dan Yahudi." 'Utsman mengirim utusan ke hafshah meminta dipinjami shuhuf lembaran-lembaran catatan Kitab Suci yang ia warisi dari ayahandanya, 'Umar, berasal dari Ab– Bakr, dan sekarang ada di tangannya) "sehingga kami dapat membuat salinannya ke dalam buku lain dan kemudian dikembalikan." Dia (hafshah) mengirimkan shuhufnya kepada 'Utsman yang memanggil Zaid, Sa'id ibn al-'Ash, 'Abd-al-Rahman ibn Harits ibn Hisyam dan 'Abd-Allah ibn al-Zubair dan memerintahkan mereka untuk menyalin shuhuf? itu ke beberapa naskah. Dan berbicara kepada sekelompok orang (Islam dari suku) Quraisy, dia ('Utsman) berkata, "Jika kalian berbeda pendapat dengan Zaid, maka tulislah kata-kata (dari Al-Qur'an) itu menurut dialek Quraisy karena ia diturunkan dalam lisan (dialek) itu."

Setelah mereka selesai membuat salinan tersebut, 'Utsman mengirim satu naskah ke masing-masing pusat terpenting wilayah kekhalifahan dengan perintah bahwa semua bahan tertulis tentang Al-Qur'an yang ada, baik yang berupa lembaran-lembaran terpisah maupun yang berbentuk buku, harus dibakar.

Al-Zuhri menambahkan, "Kharijah ibn Zaid mengatakan kepada saya bahwa Zaid menceritakan, 'Saya menyadari bahwa sebuah ayat dari surat al-Ahzab, yang pernah kudengar Nabi membacanya, hilang. Saya menemukannya dimiliki oleh Khuzaimah ibn Tsabit dan saya masukkan ayat itu pada tempatnya yang wajar.'"4

Kemudian ada riwayat lain yang pada dasarnya sama dengan yang di atas itu dengan beberapa informasi tambahan yang menguatkannya, demikian:

Kami sedang duduk-dukuk di masjid dan 'Abd-Allah membaca Al-Qur'an ketika hudzaifah datang dan berkata, "Ini adalah bacaan menurut Ibn Umm 'Abd! (maksudnya, 'Abd-Allah). Dan ini bacaan menurut Abu Musa! Demi Allah, kalau saya berhasil datang ke Amir al-Mu'minin ('Utsman, di Madinah), saya akan usulkan agar ia menetapkan satu cara bacaan Al-Qur'an!" 'Abd-Allah menjadi sangat marah dan berkata keras kepada hudzaifah yang jatuh terdiam.5

Yazid ibn Mu'awiyah sedang berada dalam masjid pada zaman al-Walid ibn 'Uqbah, duduk dalam sebuah kelompok yang di itu juga ada hudzaifah. Seorang pejabat berseru: "Mereka yang mengikuti bacaan (Al-Qur'an) versi Abu Musa hendaknya berkumpul di sudut dekat pintu Kindah! Dan mereka yang mengikuti bacaan versi 'Abd-Allah, hendaknya berkumpul dekat rumah 'Abd-Allah!" Bacaan mereka terhadap ayat 196 surat al-Baqarah tidak sama... hudzaifah menjadi sangat marah, matanya merah, dia pun bangkit, menyingsingkan gamisnya sampai pinggang, meskipun ia sedang berada dalam masjid. Ini terjadi pada zaman 'Utsman. hudzaifah berteriak: "Apakah ada orang yang mau pergi menemui Amir al-Mu'minin, atau aku sendiri yang akan pergi?! Inilah yang telah terjadi pada peristiwa sebelumnya!" Dia kemudian mendatangi (kelompok-kelompok tersebut) dan duduk, lalu berkata, "Allah telah mengutus Muhammad yang bersama para pendukungnya berperang melawan mereka yang menentangnya sampai akhirnya Allah memberi kemenangan kepada agama-Nya. Allah memanggil Muhammad dan Islam berkembang. Untuk menggantinya, Allah memilih Abu Bakr yang memerintah selama Allah mengehendaki. Kemudian Allah memanggilnya dan Islam berkembang cepat. Allah menunjuk 'Umar yang berdiri ditengah Islam. Kemudian Allah memanggilnya. Islam berkembang sangat pesat. Selanjutnya Allah memilih 'Utsman. Demi Allah! Islam berada dalam puncak perkembangannya sehingga kamu sekalian segera akan mengalahkan semua agama yang lain!"6

Rupanya perbedaan dalam bacaan Al-Qur'an itu tidak hanya terjadi di tempat-tempat yang jauh dari Madinah, ibukota. Di Madinah sendiri pun terjadi perbedaan itu, seperti dituturkan dalam sebuah riwayat, demikian:

Pada waktu pemerintahan 'Utsman, para guru mengajarkan (Al-Qur'an) menurut bacaan ini atau bacaan itu kepada para muridnya. Kalau seorang murid menjumpai sebuah versi bacaan dan dia tidak menemrukan kesepakatan, mereka melaporkan perbedaan itu kepada guru mereka. Mereka kemudian membela versi bacaan mereka, sambil menyalahkan versi yang lain sebagai bid'ah. Berita itu sampai ke telinga 'Utsman yang kemudian bicara kepada orang banyak: "Kalian ada di sini dekat aku, dan berselisih tentang Al-Qur'an, dengan membacanya secara berbeda-beda. Akibatnya, mereka yang berada jauh di pusat wilayah-wilayah Islam akan lebih-lebih lagi berbeda satu sama lain. Wahai para Sahabat Nabi! Bertindaklah dalam kesatuan! Marilah berkumpul dan membuat sebuah imam (naskah induk) untuk semua kaum Muslim!"7

Maka 'Utsman pun bertindak tegas. Seperti telah dikemukakan, ia perintahkan semua jenis naskah pribadi Al-Qur'an supaya dimusnahkan, dan semua orang harus menyalin kitab suci menurut kitab induk yang telah dibagi-bagikan ke beberapa pusat terpenting wilayah Islam. Inilah asal mula adanya sebutan Mushhaf 'Utsmani yang kini merupakan mushhaf bagi seluruh kaum Muslim, tanpa kecuali. Bahkan, sangat menarik bahwa kaum Syi'ahpun, yaitu kaum yang sebagian besar tidak begitu suka kepada 'Utsman, juga mengakui keabsahan Mushhaf 'Utsmani ini, sehingga Al-Qur'an yang ada pada seluruh umat Islam sejagad, sebagaimana telah dikemukakan, adalah praktis sama dan tanpa perbedaan sedikitpun juga antara satu dengan lainnya. Ini dinyatakan dengan jelas sekali tidak saja dalam wujud kesamaan mushhaf kaum Syi'ah dengan kaum Sunnah, juga dalam penjelasan yang termuat dalam beberapa cetakan mushhaf terbitan Iran, sebagai berikut:

(Ini adalah Al-Qur'an) dengan penulisan yang sangat bagus dan jelas, yang diambil berasal dari cara penulisan (rasm al-khathth) Al-Qur'an yang asli dan tua yanf dikenal dengan sebutan rasm al-mushhaf atau rasm 'Utsmani. Dan cara baca (qira'at)-nya berasal dari yang paling mu'tabar (absah), dari riwayat hafsh dan 'Ashim, yang dari jurusan lain juga berasal dari Amir al-Mu'minin 'Ali (a.s.) dan dari jalan ini berasal dari pribadi Nabi yang mulia (s.a.w.). Dalam memberi nomor ayat diambil berasal dari riwayat 'Abd-Allah ibn Habib al-Sullami, dari Imam 'Ali ibn Abi Thalib (a.s.), sehingga jumlah ayat itu ialah 6236 ayat.8

Memang ada versi keterangan lain tentang bagaimana umat Islam sampai kepada keadaan sekarang, yaitu memiliki kitab suci yang mutlak sama di seluruh muka bumi. Salah satu versi itu, seperti telah disinggung, mengatakan bahwa hal itu terjadi karena sesungguhnya pengumpulan Al-Qur'an dalam satu mushhaf sudah terjadi di masa Rasulullah s.a.w. sendiri, atas perintah dan pengawasan beliau, kemudian para Sahabat menyalin dan mencontohnya.


Penutup

Kesimpulan dari semua ini ialah hal yang sesungguhnya sudah kita terima semua, yaitu bahwa kitab suci Islam, Al-Qur'an, memiliki tingkat keotentikan dan keaslian yang tidak dapat diragukan samasekali. Inilah keuntungan yang luar biasa, yang kini dinikmati kaum Muslim di seluruh muka bumi, berkat kebijakan yang berwawasan ke depan yang amat jauh dari para tokoh Sahabat Nabi. Dan kenyataan ini, bagi kita kaum Muslim, membuktikan kebenaran janji Allah bahwa kitab suci-Nya itu akan selalu terpelihara dari kemungkinan pengubahan oleh manusia.

Wa 'l-Lah-u a'lam-u bi al-shawab



Catatan:

1. Abu Bakr 'Abd-Allah ibn Abi Dawud, Kitab al-Mashahif, ed. A. Jefferey (Kairo, 1936/1355), p. 10.

2. Ibn Hajar al-'Asqlani , Fathhal-Bari (13 jilid), (Kairo, 1939/1348), jil. 9, h. 9.

3. Ibid., h. 11.

4. Kitab al-Mashahif, h. 10.

5. Ibid., h. 13

6. Ibid., h. 11

8. Keterangan itu, aslinya dalam bahasa Persia, termuat dalam keterangan tambahan pada mushhaf Al-Qur'an (Teheran: Mu'assasah Intisyarat Shabirin, 1405 H), h. 983

AL QURAN:
WAHYU PROGRESIF DAN KITAB KEMANUSIAAN *)

oleh P. Peter B. Sarbini, SVD

1. PENGANTAR

Benarkah Al Quran itu wahyu Allah atau hanya hasil karya Muhammad dan para juru tulisnya? Pertanyaan itu pernah dilontarkan oleh orang-orang Quraisy pada zaman Nabi, para sarjana Barat, dan bahkan orang-orang pada zaman ini. Umat Islam dengan keras menolak hal itu. Al Quran bukan merupakan rekayasa Nabi dan para juru tulisnya. Nabi SAW tidak bisa membaca dan menulis. Rasulullah SAW sendiri pernah mengatakan bahwa Al Quran itu mukjizat baginya, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah: "Setiap rasul selalu dikaruniai kemukjizatan, sehingga karenanya ummatnya akan mempercayainya. Tetapi mukjizat yang diturunkan Allah padaku adalah wahyu ilahi yang akan menjadikan jumlah pengikutku akan melampaui pengikut para rasul lainnya kelak di hari kiamat". Selain itu terdapat beberapa bukti kuat yang menyatakan bahwa Al Quran adalah benar-benar wahyu Allah. Bukti-bukti tersebut dinyatakan dalam Al Quran itu sendiri, yakni salah satu ayat yang berbunyi: "Sesungguhnya Al Quran itu benar-benar wahyu (Allah) yang diturunkan kepada Rasul yang mulia ……Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam. Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan perkataan atas nama Kami, Kami pasti akan menindaknya dengan kekerasan……", (QS. 69:38-42; 10:37-38; 11:13-14; 2:23-24; 17:88).
Tulisan ini mencoba menghantar secara singkat kepada kebenaran Al Quran sebagai wahyu Allah yang progresif, sekaligus kitab kemanusiaan.

2. AL QURAN

2.1. Pengertian
Kata Al Quran berasal dari kata kerja qara'a yang berarti membaca. Bentuk masdar-nya adalah qur'an yang berarti bacaan.(1) Al Quran mempunyai beberapa nama, yaitu Alkitab atau Kitab Allah (QS. 6:114), Al-Furgan yang berarti pembeda antara yang benar dan batil (QS. 25:1), Az-Zikr yang berarti peringatan (QS. 15:9), dan At-Tanzil yang berarti diturunkan (QS. 26:192). Selain itu, nama Al Quran adalah Al-huda (petunjuk), Ar-Rahman (kasih), Al-Majid (mulia), An-Nazir (pemberi peringatan). Imam as-Suyuti dalam bukunya al-Itqan fi?Ulum Al-Qur'an (tentang ilmu-ilmu Al Quran) juga menyebut beberapa nama, yakni Al-Mubin (penjelas), Al-Karim (yang mulia), Al-Kalam (firman Tuhan), dan An-Nur (cahaya).

Istilah qur'ân paling umum diterjemahkan sebagai "bacaan" atau "tilawah" (bacaan yang dilantunkan), dan telah dihubungkan secara etimologis dengan qeryânâ (bacaan Kitab Suci, bagian dari Kitab Suci yang dibacakan pada acara kebaktian) dalam bahasa Suriah, dan miqra' dalam bahasa Ibrani (pembacaan suatu kisah, Kitab Suci). Sebagian mufsir muslim juga berpendapat bahwa kata tersebut berasal dari bentuk fuc?lân, qur'ân membawa konotasi "bacaan sinambung" atau "bacaan abadi", yang dibaca dan didengar berulang-ulang. Dalam pengertian ini, kata tersebut dipahami sebagai suatu batu uji spiritual dan contoh sempurna bagi kesusastraan. Sebagai suatu judul, Al Quran merujuk pada wahyu (tanzíl) yang "diturunkan" (unzila) oleh Tuhan kepada Nabi Muhammad selama hampir 23 tahun.(2) Dalam konotasi yang lebih universal, ia adalah ekspresi diri umm al-kitâb atau paradigma komunikasi ilahiah (QS. Al-Ra'd/13 :39). Bagi seluruh muslim, Al Quran merupakan kitab suci paling sempurna.

2.2. Al Quran: Sejarah, Isi, dan Kodifikasi
Sebagai wahyu (QS. 4:163), surah-surah dan ayat-ayat Al Quran diturunkan oleh Allah SWT secara bertahap kepada Nabi Muhammad SAW selama kurang lebih 23 tahun. Hikmah diturunkannya Al Quran secara berangsur-angsur ini antara lain adalah (1) untuk meneguhkan hati Rasullullah SAW dengan cara mengingatkannya terus menerus, (2) lebih mudah dimengerti dan diamalkan oleh pengikut-pengikut Nabi SAW, (3) diantara ayat-ayat itu ada yang merupakan jawaban atau penjelasan dari suatu pertanyaan atau masalah yang diajukan kepada nabi SAW sesuai dengan keperluan, (4) hukum-hukum Allah SWT yang terkandung didalamnya mudah diterapkan secara bertahap, dan (5) memudahkan penghafalan.

Ayat-ayat yang pertama diturunkan adalah lima ayat pertama dari surah al-'Alaq. Ayat-ayat tersebut turun ketika Nabi SAW sedang tahannuts (bermeditasi) di dalam sebuah gua yang terletak digunung Hirâ, dekat kota Makkah. Peristiwa itu terjadi pada malam 17 Ramadan (6 Agustus 610). Ketika itu Nabi SAW berusia 40 tahun. Pada malam itu Nabi SAW melihat malaikat Jibril datang kepadanya sambil berkata: Iqra' (bacalah). Lalu beliau menjawab, "Ma ana bi qari" (saya tidak dapat membaca). Mendengar jawaban Nabi SAW, malaikat Jibril lalu memeluk tubuh Rasulullah dengan sangat erat, kemudian melepaskan pelukannya serta kembali menyuruh dia membaca. Namun setelah dilakukan sampai tiga kali dan Nabi SAW tetap saja memberikan jawaban yang sama, malaikat itu kemudian membacakan wahyu yang dibawanya, yakni membaca lima ayat pertama Surah Al- 'Alaq (96), yang secara tradisional dianggap sebagai wahyu pertama Al Quran.(3)

Ketika menerima wahyu pertama di gua Hirâ', Muhammad merasa malaikat Jibril memeluk dan menekannya begitu kuat. Ia sangat ketakutan melihat Jibril, lalu lari pulang ke rumah serta meminta sang istri untuk menyelimutinya. Bagi dia, menerima wahyu merupakan pengalaman yang sangat berat, yang dapat membuat dia bermandi keringat meskipun udara amat dingin. Pada saat dia berada dalam ketakutan yang mencekam, wahyu pun diturunkan, menyuruh Muhammad untuk "bangkit dan mengingatkan" (QS. Al-Muddatstsir/74:1-2). Setiap kali menerima wahyu sepertinya nabi dipindahkan ke alam lain. Ia menerimanya tidak dengan indera biasa. Hal itu terbukti dalam diri para sahabatnya yang ada didekatnya tidak melihat dan mendengar apa-apa. Sahabatnya menceritakan bahwa pernah ketika Muhammad duduk menerima wahyu, ia merasa pahanya yang ada dibawah paha Nabi SAW, remuk seakan-akan terhimpit oleh barang berat.(4)

Setelah peristiwa itu, tidak lama kemudian turunlah wahyu kedua, yaitu surah al-Muddassir ayat 1-10. Isinya ialah menyeru Nabi SAW agar menyampaikan dakwah Islam kepada manusia.(5) Setelah itu, penurunan wahyu terhenti beberapa tahun.(6) Nabi SAW merasa sangat gelisah dan sedih. Ia menjadi tenang setelah turun Surah ad-Duha. Sesudah itu ayat-ayat lain diturunkan sacara bertahap menurut kejadian-kejadian yang memerlukannya dan tidak pernah lagi terputus sampai wahyu yang terakhir.

Pada umumnya ulama menetapkan bahwa hari penghabisan turunnya Al Quran ialah hari Jumat, 9 Zulhijah 10 atau 16 Maret 632. Beberapa bulan sesudah ayat terakhir (7) (QS . 5:3) ini turun, Rasulullah wafat (8 Juni 632). Ulama sepakat bahwa wahyu terakhir diturunkan ketika Nabi SAW wukuf di padang Arafah untuk menunaikan ibadah haji yang kemudian terkenal dengan nama haji wadak (haji penghabisan).

Pada umumnya ulama berpendapat bahwa Al Quran diturunkan dari Lauh Mahfuz (catatan mengenai ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT) ke dunia. Namun dari kalangan mereka terdapat perbedaan pendapat tentang cara menurunkannya dari Lauh Mahfuz. Pendapat pertama dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani yang mengatakan bahwa Al Quran itu diturunkan sekaligus ke langit dunia pada malam Al-qadar (kemuliaan) lengkap dari ayat pertama sampai terakhir. Ayat-ayat ini kemudian diwahyukan secara berangsur-angsur kepada Rasulullah selama hampir 23 tahun.

Pendapat kedua dikemukakan oleh Fakhruddin ar-Razi. Ia berpendapat bahwa Al Quran diturunkan ke dunia dalam 23 kali malam al-qadar . Ayat-ayat yang diturunkan dalam setiap malam al-qadar ialah ayat-ayat yang hendak diturunkan pada tahun itu kemudian diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi SAW.
Pendapat ketiga dari asy-Sya'bi (tokoh tradisionalisme) yang mengatakan bahwa Al Quran diturunkan hanya bagian permulaannya saja pada malam al-qadar. Sedangkan bagian lainnya diturunkan sesudah itu secara bertahap dalam berbagai waktu. Menurut para ulama, pendapat pertama merupakan pendapat yang lebih kuat.
Al-Qur 'an diturunkan kepada Nabi SAW melalui berbagai cara, yaitu:

1. Malaikat Jibril "memasukkan" wahyu itu ke dalam hati Rasulullah tanpa memperlihatkan wujudnya. Ia secara tiba-tiba merasakan wahyu itu telah berada di dalam hatinya. Nabi SAW mengatakan hal ini: "Rohulkudus mewahyukan ke dalam kalbuku".

2. Malaikat Jibril menampakkan dirinya kepada Muhammad sebagai seorang laki-laki dan mengucapkan kata-kata dihadapannya, sehingga dia cepat mengetahui dan menghafal ayat-ayat yang disampaikannya itu.

3. Wahyu itu turun kepada Nabi SAW seperti bunyi gemerincing lonceng.(8) Cara ini dirasakan oleh Rasulullah sebagai yang paling berat sehingga dia mencucurkan keringat, meskipun wahyu itu turun di musim yang sangat dingin. Apabila Nabi SAW sedang mengendarai unta, maka ketika itu juga untanya terpaksa berhenti dan duduk karena merasa amat berat.

4. Malaikat Jibril menyampaikan wahyu dengan menampakkan wujudnya yang asli (surah an - Najm ayat 13 dan 14)

Setiap kali menerima wahyu, Nabi SAW lalu menghafalkannya (QS. 75:16-19). Hafalan tersebut dikontrol oleh malaikat Jibril. Selain itu, Rasulullah juga membacakannya di hadapan para sahabat karena ia memang diperintahkan untuk mengajarkan Al Quran kepada mereka (QS. 16:44). Di samping menyuruh para sahabat menghafalkan ayat-ayat yang diajarkan, Nabi SAW juga memerintahkan mereka yang pandai menulis untuk menuliskannya di atas pelepah-pelepah kurma, lempengan-lempengan batu, dan kepingan-kepingan tulang. Sahabat yang pandai menulis sangat berhati-hati dalam menuliskan ayat-ayat itu. Hal itu didorong oleh keyakinan mereka bahwa Al Quran adalah firman Allah SWT yang harus dijadikan pedoman hidup, sehingga perlu dijaga dengan baik. Ketika di Madinah, Rasulullah memiliki beberapa juru tulis, diantaranya yang terkenal ialah Zaid bin Sabit.

Masa turunnya Al Quran dibagi ke dalam dua periode. Pertama, periode Makkah, yaitu masa Nabi SAW bermukim di Makkah (610-622), mulai dari turunnya wahyu pertama sampai beliau melakukan hijrah ke Madinah. Masa tersebut disebut juga periode sebelum hijrah. Ayat-ayat yang diturunkan selama periode pertama ini dinamakan ayat-ayat Makkiyyah, yang berjumlah 4.726 ayat dan meliputi 89 surah. Ciri-ciri ayat-ayat Makkiyyah antara lain pendek-pendek, dimulai dengan perkataan ya ayyuha an-nas (wahai manusia), kebanyakan mengandung pembahasan masalah tauhid, iman kepada Allah SWT, hal ihwal surga dan neraka, serta berbagai masalah yang menyangkut kehidupan ukhrawi (akhirat).

Kedua periode madinah, yakni masa setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah (622-632). Masa ini disebut juga periode hijrah. Ayat-ayat yang diturunkan dalam periode ini disebut ayat-ayat Madaniyyah yang berjumlah 1.510 ayat dan mencakup 25 surah. Adapun ciri-ciri ayat-ayatnya adalah panjang-panjang (tiwal), diawali dengan perkataan ya ayyuha allazina amanu (wahai orang-orang beriman/percaya), kebanyakan berisi hukum-hukum yang jelas, dan banyak membicarakan orang yang berhijrah (kaum Muhajirin), kaum Ansar dan kaum munafik serta ahli kitab.

2.2.2. Isi Al Quran
Al Quran mempunyai 114 surah yang tidak sama panjang dan pendeknya. Surah terpendek terdiri atas 3 ayat dan yang terpanjang terdiri atas 286 ayat. Semua surah, kecuali surah yang ke-9 (at-Taubah), dimulai dengan kalimat Bismi Allah ar-Rahman ar-Rahim (dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang). Ada perbedaan mengenai jumlah ayat ini.(9)

Untuk memudahkan pembacaan dan penghafalan, para ulama membagi Al Quran ke dalam 30 Juz (bagian) yang sama panjang dan dalam 60 Hizb (nama hizb ditulis di sebelah pinggirnya). Setiap Hizb dibagi lagi menjadi empat dengan tanda-tanda ar-rub' (seperempat), an-nisf (seperdua), dan as-salasah (tiga perempat).
Selanjutnya Al Quran dibagi pula ke dalam 554 ruku' (bagian yang terdiri atas beberapa ayat). Setiap satu ruku' ditandai dengan huruf 'ain di sebelah pinggirnya. Surah yang panjang berisi beberapa ruku', sedangkan surah yang pendek hanya berisi satu ruku'. Tanda pertengahan Al Quran (nisf Al Quran) terdapat pada surah al-Kahfi ayat 19 pada lafal walyatalattaf (hendaklah ia berlaku lemah lembut).

Dalam Al Quran terhimpun hasil Kitab Suci yang sudah ada sebelumnya, malahan juga hasil segala ilmu.(10) Ia merupakan " (sebuah kitab) yang menjelaskan segala sesuatu" (QS. 12:111). Pada pokoknya Al Quran berisi akidah dan syariah. Akidah dirumuskan dengan kata "iman", sedangkan syariah "amal saleh" (bdk. QS. 16:97). Keduanya dapat dibedakan namun tak dapat dipisahkan. Seorang yang beriman tanpa menjalankan syariah adalah fasik. Demikian pula sebaliknya, bersyariah tetapi tidak berakidah adalah munafik.(11)

2.2.3. Kodifikasi Al Quran
Kodifikasi atau pengumpulan Al Quran telah dimulai sejak zaman Rasulullah SAW, bahkan telah dimulai sejak masa-masa awal turunnya Al Quran. Sebagaimana diketahui, Al Quran diwahyukan secara berangsur-angsur.
Setelah ayat-ayat diturunkan, Nabi SAW memberi nama surah tersebut untuk membedakannya dari surah yang lain. Rasulullah juga memberi petunjuk tentang urutan penempatan surah di dalam Al Quran. Penyusunan ayat-ayat dan penempatannya di dalam susunan Al Quran juga dilakukan berdasarkan petunjuk Nabi SAW. Cara pengumpulan yang dilakukan pada masa itu berlangsung sampai Al Quran sempurna diturunkan dalam waktu kurang lebih 23 tahun.

Untuk menjaga kemurnian Al Quran, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits Bukhari dan Muslim, setiap tahun Malaikat Jibril datang kepada Nabi SAW untuk memeriksa bacaannya. Bahkan pada tahun wafat Rasulullah, Malaikat Jibril datang dua kali. Ia mengontrol bacaan Rasulullah dengan cara menyuruhnya mengulangi bacaan ayat-ayat yang telah diwahyukan. Kemudian Nabi sendiri juga melakukakan hal sama, yaitu mengontrol bacaan sahabat-sahabatnya sehingga terpeliharalah Al Quran dari kesalahan dan kekeliruan.

Pada masa Rasulullah SAW, sudah banyak sahabat (baik dari kalangan Muhajirin maupun Ansar) yang menghafal beberapa puluh surah. Bahkan banyak juga yang telah menghafal setengah Al Quran dan seluruh isinya dengan lancar.(12) Di samping itu terdapat sahabat-sahabat yang menjadi juru tulis wahyu.(13) Ayat-ayat suci Al Quran yang telah ditulis oleh mereka itu disimpan di rumah Rasulullah SAW. Walaupun demikian, tulisan-tulisan itu belum dikumpulkan dalam suatu mushaf (sebuah buku yang terjilid seperti yang dijumpai sekarang), melainkan masih berserakan.

Setelah Rasulullah wafat dan Abu Bakar dipilih menjadi khalifah, tulisan-tulisan Al Quran yang berserakan pada pelepah-pelepah kurma, tulang-tulang binatang, dan batu-batu tetap disimpan di rumah Nabi SAW sampai terjadinya perang Yamamah yang merenggut korban kurang lebih 70 sahabat penghafal Al Quran (huffaz). Karena banyak yang gugur sebagai syuhada, maka timbul kekhawatiran akan terjadinya perang lagi dan punahnya sahabat-sahabat penghafal Al Quran. Lebih jauh lagi, hal itu dapat mengakibatkan hilangnya Al Quran. Oleh karena itu, Umar bin Khattab lalu menyarankan kepada khalifah Abu Bakar agar menghimpun surah-surah dan ayat-ayat yang masih berserakan itu ke dalam satu mushaf. Abu Bakar merasa berat untuk menerima pekerjaan kodifikasi itu. Namun pada akhirnya ia dapat menerimanya demi memelihara kelestarian Al Quran. Ia lalu memerintahkan Zaid bin Sabit untuk memimpin tugas kodifikasi ini dengan dibantu oleh Ubay bin Ka'b, Ali bin Abu Talib, Usman bin Affan, dan beberapa sahabat qurra' (para pembaca) lainnya. Di dalam usaha kodifikasi, Zaid bin Sabit berpegang pada tulisan-tulisan yang tersimpan di rumah Rasulullah, hafalan-hafalan dari sahabat, dan naskah-naskah yang ditulis oleh para sahabat. Semuanya itu dikumpulkan dan ditulis di atas lembaran-lembaran kertas yang disebut suhuf-suhuf, kemudian disusun menjadi satu mushaf, dan akhirnya diserahkan kepada Abu Bakar.

Sesudah Abu bakar wafat, mushaf itu berada dalam pengawasan Umar. Setelah Umar wafat, mushaf ini disimpan di rumah Hafsah.(14) Pada masa khalifah Usman bin Affan, timbul perselisihan masalah kiraah (cara membaca Al Quran). Salah satu usulan Huzaifah bin Yaman untuk mengatasi perselisihan itu ialah perlunya Khalifah Usman bin Affan menetapkan aturan penyeragaman bacaan Al Quran standar yang kelak akan dijadikan pegangan bagi seluruh umat Islam di berbagai wilayah. Usulan itu diterima, lalu dibentuklah panitia. Sesudah selesai, Usman mengembalikan mushaf yang telah disalin itu kepada Hafsah. Penyalinan Al Quran dengan dialek yang seragam di masa Usman itulah yang disebut Mushaf 'Usmani. Semuanya berjumlah 5 buah. Satu mushaf disimpan di Madinah, yang kemudian dikenal dengan Mushaf al-Imam. Empat lainnya dikirim ke Makkah, Suriah, Basra, dan Kufah untuk disalin serta diperbanyak.

Usaha kodifikasi Al Quran di masa Usman membawa beberapa keuntungan, antara lain (1) menyatukan umat Islam yang berselisih dalam masalah kiraah, (2) meyeragamkan dialek bacaan Al Quran, (3) menyatukan tertib susunan surah-surah menurut tertib urut seperti dalam mushaf-mushaf yang dijumpai sekarang.
Dalam perkembangan selanjutnya, mushaf yang dikirimkan Usman ke berbagai propinsi Islam itu mendapat sambutan positif. Mereka menyalin dan memperbanyak mushaf itu dengan sangat hati-hati. Diriwayatkan bahwa Abdul Aziz bin Marwan (gubernur Mesir) setelah menulis mushaf-nya, menyuruh orang lain untuk memeriksanya sambil menjanjikan bahwa siapapun yang dapat menemukan suatu kesalahan dalam tulisannya akan diberi hadiah berupa seekor kuda dan uang sejumlah tiga puluh dinar. Kewaspadaan kaum muslimin terhadap setiap penulisan Al Quran ini tetap berlanjut dari masa ke masa. Penyalinan Mushaf 'Usmani juga bertambah pesat dilakukan oleh kaum muslimin.(15)

2.3. Al Quran: Himpunan Wahyu Tertinggi
Wahyu berasal dari kata wahy, dari kata kerja bahasa Arab, waha, yang berarti meletakkan dalam pikiran, kadang-kadang dipahami sebagai "inspirasi". Al Quran menggunakan istilah ini tidak hanya untuk inspirasi ilahiah yang diberikan kepada manusia, tetapi juga untuk komunikasi spiritual di antara mahkluk-mahkluk yang lain. Namun, wahyu merujuk secara spesifik kepada wahy, yakni inspirasi ilahiah yang diberikan kepada manusia terpilih, yang dikenal sebagai nabi-nabi, dengan maksud sebagai petunjuk.(16) Proses pewahyuan dimulai dari Adam (manusia dan nabi pertama) dan berlanjut sepanjang sejarah manusia hingga pesan wahyu akhirnya dipelihara secara utuh dalam bentuk Al Quran.

Kaum muslim menerima tidak hanya Al Quran, tetapi juga Taurat Musa, Mazmur atau Zaburnya Nabi Daud, dan Injilnya Isa sebagai jalinan dalam rantai wahyu ilahiah. Namun untuk memahami wahyu diperlukan pertimbangan yang hati-hati terhadap kekhususan konteks dan keuniversalan pesan bagi umat manusia. Sejak wahyu diturunkan untuk membimbing urusan-urusan manusia, pemahaman intelektual serta implementasi praktis melalui contoh keagamaan juga dibutuhkan. Dengan demikian, nabi-nabi adalah pembawa pesan dan sekaligus model.

Para pemikir muslim mutakhir telah mengekspresikan kebutuhan dan interpretasi, wahyu Al Quran dari metode literalisme sempit dan ayat demi ayat, yang bersifat atomistik, sebagaimana tafsir yang awal. Hal ini membawa kepada tafsir dunia yang mengalami perubahan cepat dan radikal. Tafsiran semacam itu sesuai dengan opini tradisional bahwa wahyu adalah khazanah pengetahuan khusus, yang menghubungkan Ilahi Sang Pencipta dengan manusia yang memiliki kehendak bebas dan kapasitas independen untuk menalar.

Pada sepanjang sejarah Muslim telah berlangsung perdebatan seru mengenai nilai-relatif pengetahuan yang diterima dari wahyu ilahiah serta pengetahuan yang didapat melalui penalaran independen. Beberapa filosof berpendapat bahwa akal manusia mencukupi untuk membimbing urusan-urusannya. Untuk itu, manusia hanya perlu berpaling kepada wahyu dalam hal-hal tertentu. Namun, apabila Al Quran adalah wahyu dari kehendak Tuhan, ia seharusnya tidak tertantang dan tidak dapat disamai.(17)

Kaum Muslim percaya bahwa Al Quran adalah himpunan wahyu tertinggi (18) dari setiap kata demi kata. Di dalam Al Quran itu sendiri dinyatakan: "Al Quran adalah wahyu, diturunkan oleh Kami ……Kami turunkan dalam bahasa Arab……pada orang Arab, jelas dan tepat……Bila Kami membacanya, Engkau (Muhammad) harus mengikutinya……Jangan berupaya membawa wahyu kepada dirimu sendiri……Seandainya Nabi menisbahkan kepada Kami apa yang tidak Kami wahyukan, maka kami akan merenggutnya dengan kekuatan dan memotong urat nadi jantungnya" (QS. 4:104; 26:195; 12:2; 20:113; 3:7; 75:16-17; 69:45-46).

Kaum Muslim menerima wahyu dengan sepenuh hati. Mereka memandang Al Quran suci dari Allah, baik kandungan maknanya maupun bahasa dan bentuknya. Bukti bahwa Al Quran adalah firman Tuhan berada pada Al Quran sendiri, yakni antara lain terletak pada keindahan teksnya yang tidak dapat ditiru dan tidak tertandingi sehingga merupakan mukjizat. Karena itu, Al Quran bukan karya manusia, melainkan karya Tuhan. Watak Al Quran yang demikian ini disebut I'jâz.

2. 4. Al Quran: Wahyu progresif dan Kitab Kemanusiaan
Bertolak dari uraian di atas, timbul pertanyaan: Apakah Al Quran yang diimani sebagai wahyu ilahi dan menjadi the way of life umat Islam boleh diberi tafsir kontekstual yang sesuai dengan prinsip Al Quran sebagai wahyu progresif?

progresivitas Al Quran terbukti saat teksnya berdialog dengan konteks sejarah masa lampau, sekarang, dan proyeksinya ke masa depan. Sebagai teks progresif, ia tentu tidak bisa bicara sendirian dengan realitas. Dia memerlukan manusia sebagai penafsir yang bervisi progresif, sehingga Al Quran pun menjadi wahyu yang progresif. Di sisi lain, sebagai wahyu progresif, ia merekam seluruh spektrum perjuangan para nabi yang dihadapkan pada pilihan memihak yang berkuasa atau lemah. Mereka dengan tegas memihak kaum lemah. Nabi SAW dalam sebuah doanya, berkomitmen untuk hidup, tumbuh, dan mati bersama yang papa. Demikian pula Yesus berjuang keras sebagai pembela kaum papa. Musa menjadi simbol otentik perlawanan terhadap arogansi kekuasaan Firaun. Pemihakan para nabi kepada kaum papa, dhuafa/lemah, dan tertindas, menjadi fakta sejarah terjadinya proses penerjemahan Al Quran secara progresif.(19) Para nabi sebelum menjadi instrumen pewahyuan progresif, juga berfungsi sebagai penafsir firman Tuhan yang menjadi progresif dan harus didialogkan dengan situasi, konteks, serta kebutuhan komunitas. Al Quran secara lebih tegas menunjukkan dan mengakarkan ke arah pembebasan kaum papa, lemah, dan tertindas dengan menunjuk teks mustadl'afnn. Teks ini amat progresif, karena kelemahan yang melekat pada mereka, menurut tinjauan Al Quran, disebabkan bukan by nature, by accident, melainkan oleh faktor-faktor luar lainnya (by design), yang dalam istilah sosiologis disebut faktor-faktor "struktural" atau dalam terminologi politik, diakibatkan oleh sistem kekuasaan yang otoriter, represif, dan tiran.

Penggunaan Al Quran dengan merujuk teks mustadl'afnn sebagai kelompok lemah, marginal, dan tertindas tersebut terlihat jelas pada teks, "dalam harta si kaya", ada bagian intrinsik bagi orang miskin (Q. S. al-Ma'arif/70:25; al-Dzariyat/51:19). Dengan demikian, Al Quran mengafirmasikan model keadilan distributif, agar "harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja" (Q. S. al-Hasyr/59:7). Hal ini membuktikan progresivitas teks Al Quran yang berdialog dengan situasi sejarah masa silam, dengan konteks kini dan masa depan saat problem kemiskinan serta penindasan merajalela di mana-mana. Pada saat yang sama pula, harta dan kekayaan hanya berputar di antara mereka yang kaya serta berkuasa.

Dr. Farid Esack (ahli tafsir Al Quran dari Afrika Selatan) menjadikan teks mustadl'afnn (Q. S. al-Qahash/28:5) sebagai senjata ampuh untuk membebaskan kaum marginal, dhuafa, dan tertindas dari rezim penindas apartheid di Afrika Selatan. Teks tersebut benar-benar mempresentasikan semua penderitaan orang-orang tertindas di Afrika Selatan.(20)

Itulah salah satu contoh dimana penafsiran teks Al Quran menjadi wahyu progresif yang kemudian bisa menjadi kekuatan liberatif terhadap yang lemah, marginal, dan tertindas. Hal tersebut juga merupakan bentuk hermeneutika Al Quran yang ditafsirkan sebagai wahyu progresif yang memihak dan membebaskan kaum lemah-tertindas. Lalu, bagaimana dengan Al Quran sebagai kitab kemanusiaan?
Selama ini Al Quran, yang diwahyukan Allah di bulan suci Ramadhan, hampir selalu dipahami dan dicarakan dalam perspektif ketuhanan. Al Quran bukan sebuah kitab yang hanya berbicara tentang Tuhan, surga, setan, malaikat, kematian, atau akhirat saja, melainkan juga tentang sejarah dunia dan alam semesta dengan segala isinya. Semua masalah itu dibicarakan Al Quran dalam kerangka kemanusiaan dan kehidupan duniawi. Beberapa contoh berikut ini dapat memperjelas pernyataan tersebut.
Pertama, dalam terang cahaya wahyu-Nya, Al Quran memaparkan tentang sejarah suatu bangsa dan sekelompok umat manusia. Pada suatu saat, mereka tumbuh dan berkembang menjadi kelompok yang kuat dan besar, di saat lain mereka itu hancur lebur seperti ditelan sejarahnya sendiri.
Kedua, kitab Al Quran juga mengisahkan mengenai kehidupan suatu bangsa yang penuh kedamaian, kemakmuran, dan kesejahteraan, berkeadilan, peka terhadap persoalan rakyat, bahkan terhadap lingkungan alam; yaitu dunia dan hewan. Kisah tentang bagaimana bangsa dan sekelompok manusia lainnya dilanda malapetaka dan berbagai penderitaan serta bencana secara terus menerus, semuanya itu tersebar hampir di semua surat Al Quran.
Contoh ketiga, model pemimpin dan kepemimpinan juga bisa dibaca dalam Al Quran. Sebuah bangsa yang besar dan kaya tetapi dipimpin oleh raja yang otoriter, represif, dan tiran, dengan para pejabat yang korup serta kesejahteraan yang hanya dinikmati oleh segelintir elite yang berkuasa, tidak pernah akan hidup lama, bahkan segera hancur. Sebaliknya Al Quran juga mengisahkan suatu bangsa besar dan makmur yang dipimpin oleh raja dan para pemimpin yang adil, yang mau memahami, mendengarkan keluh kesah rakyatnya, bahkan keluh kesah hewan dan tumbuhan akibat ulah manusia.
Keempat, di dalam Al Quran dapat pula dibaca dan direnungkan berbagai kisah dramatis bagaimana Nabi Musa dan Nabi Yusuf yang tampil ke panggung sejarah peradaban dengan posisi serta situasi krusial yang dihadapinya. Masih banyak contoh lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Dengan contoh-contoh itu, menurut Abdul Munir Mulkhan, maka Al Quran memfungsikan diri sebagai petunjuk bagi manusia agar bisa membedakan jalan hidup yang terang dan gelap. Jadi, Al Quran tidak hanya memfokuskan diri pada hal-hal ilahiah, tetapi bagi pelayanan kepentingan manusia itu sendiri. Al Quran hadir sebagai suatu kritik atau dzikir (peringatan) terhadap kebiasaan hidup manusia yang tidak produktif. Meskipun kitab ini mencatat nama-nama Tuhan yang terdapat dalam 1.882 ayat (hampir 30 persen dari seluruh ayat Al Quran yang berjumlah lebih dari 6000 ayat), namun nama-nama tersebut berkaitan dengan informasi tentang berbagai persoalan di sekitar diri manusia dan alam. Dengan demikian, jelas sekali bahwa Al Quran selain merupakan wahyu yang progresif, juga merupakan kitab kemanusiaan.

3. AKHIR KATA

Bila dihubungkan dengan wahyu-wahyu sebelumnya, maka wahyu Islam membedakan dirinya sebagai wahyu yang berkenan dengan norma-norma agama dan etika, serta memusatkan perhatian kepada prinsip. Wahyu Islam menyerahkan kepada manusia tugas menterjemahkannya ke dalam bentuk petunjuk dan perintah untuk kehidupan sehari-hari. Petunjuk ini disebut sebagai syariah (hukum) atau minhâj (program). Keajaiban Al Quran menurut banyak orang muslim saat ini, bukanlah dari cara wahyu itu disampaikan kepada Muhammad di gunung Hirâ' - di Mekkah, dan kelak di Madinah, tetapi terletak pada kemampuannya secara terus menerus dalam memberi suatu kepercayaan pada makna serta nilai kehidupan. Agama Islam pastilah terus menerus kreatif dan inventif dalam penerapan visi orisinal di tengah dunia yang terus berubah: pada setiap generasi, Islam merespon modernitas sebagaimana agama-agama lain.

CATATAN:

(1) Al Quran dengan makna bacaan dinyatakan oleh Allah SWT dalam ayat-ayat berikut, yakni surah-surah al-Qiyamah ayat 16-18, al-Baqarah ayat 185, al-Hijr ayat 87, Taha ayat 2, al-Ahgaf ayat 29, al-Waqi'ah ayat 77, al-H?syr ayat 21, al-Insan ayat 23, dan al-Isra ayat 88.
(2) Simak uraian terperinci John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Jilid 5, (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 57.
(3) Beberapa rujukan dapat dikaji sendiri, misalnya: Ensiklopedi Islam Jilid 4, Cetakan keempat, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van - Hoeve,1997), hlm. 133-135; bdk. juga John L. Esposito, Op.Cit., hlm. 55. Lihat dan baca Ahmad Von Denffer, Ilmu Al Quran : Pengenalan Dasar (Jakarta: CV. Rajawali, 1988), hlm. 17.
(4) Lihat Maulana Muhammad'ali, Islamologi, (terj.), (Jakarta: PT. Ichtiar Baru - Van Hoeve, 1980), Hlm. 18.
(5) Turunnya wahyu kedua itu didasarkan pada hadits riwayat Bukhari, Muslim, al-Hakim, dan al-Baihaki dari Aisyah binti Abu Bakar.
(6) Menurut Ibnu Ishaq (w.786), penulis buku as-Sirah (riwayat Nabi Muhammad SAW), wahyu tidak turun selama kurang lebih tiga tahun.
(7) Ada dua pendapat mengenai ayat terakhir yang diwahyukan kepada Nabi SAW ini. Menurut riwayat an-Nasa'I dan Ikrimah, Ibnu Abbas menyatakan bahwa wahyu terakhir ialah Surah al-Baqarah ayat 281. Sedangkan menurut Jumhur (mayoritas) ulama adalah Surah al-Ma'idah ayat 3.
(8) Diriwayatkan oleh Aisyah, ibu umat beriman, bahwa Al-Harits bin Hisyam pernah bertanya kepada Rasulullah: "Bagaimanakah caranya wahyu Allah datang kepadamu? Jawab Rasulullah: Kadang kala wahyu datang seperti bunyi lonceng; itulah yang terberat bagiku. Dan itu baru berhenti apabila aku telah dapat menangkap seluruh apa yang diwahyukan. Tetapi kadang kala malaikat datang ke hadapanku dalam bentuk seperti seorang laki-laki, lantas ia berbicara kepadaku , maka aku mengerti apa yang dibicarakannya ". Uraian dan penjelasan selengkapnya dapat dilihat dalam tulisan H. Zainuddin Hamidy, dkk., Terjemahan Hadis Shahih Buchari, Jilid I, Jakarta: 1961, hlm. 13.
(9) Menurut Perhitungan ulama Kufah, seperti Abu Abdurrahman as-Salmi, Al Quran terdiri dari 6.236 ayat. Sedangkan menurut as-Suyuti, terdiri atas 6.000 ayat lebih. Al-Alusi dalam kitab tafsirnya Ruh al-Ma'ani fi Tafsir Al-Qur'an al-Azim wa as-Sab'al-Masani (Semangat Makna dalam Tafsir Al Quran yang Agung dan al-Fatihah) menyebutkan bahwa jumlah ayat Al Quran sekitar 6.616 ayat. Perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan pandangan di antara mereka tentang kalimat Basmalah pada awal surah dan Fawatih as-suwar (kata-kata pembuka surah), seperti Yasin, Alif Lam Mim, dan Ha Mim. Ada yang menggolongkan kata-kata pembuka tersebut sebagai ayat dan ada pula yang tidak.
(10) Maulana Muhammad'ali Op.Cit., hlm. 13.
(11)Penjelasan menarik tentang hal ini dapat dibaca dalam tulisan Masjfuk Zuhdi, Studi Islam, Jilid I: Akidah, (Jakarta: CV. Rajawali, 1988), hlm. 7.
(12) Diantara yang menghafal seluruhnya adalah Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Alibin Abi Talib, Talhah, Abdullah bin Umar bin Khattab, Abdullah bin Abbas, Amr bin As, Mu'awiyah bin Abu Sufyan, Abdullah bin Zubair, Aisyah binti Abu Bakar, Hafsah binti Umar, Ummu Salamah, Uaby bin Ka'b, Mu'az bin Jabal, Zaid bin Sabit, Abu Darda, dan Anas bin Malik.
(13) Mereka itu antara lain adalah: Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Alibin Abi Talib, Amir bin Fuhairah, Zaid bin Sabit, Ubay bin Ka'b, Mu'awiyah bin Abu Sufyan, Zubair bin Awwam, Kahlid bin Walid, dan Amr bin As.
(14) Hafsah adalah putri Umar dan menjadi isteri Rasulullah SAW
(15) Ada banyak referensi mengenai kodifikasi Al Quran ini, antara lain yang ditulis dalam bahasa Indonesia adalah Ensiklopedi Islam Jilid 4, hlm. 135-137, John L. Esposito, Op.Cit., hlm. 56; Daud Al-Athar, Perspektif Baru Ilmu Al Quran, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994); Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al Quran, Terjemahan Mudzakin AS, (Jakarta: PT. Pustaka-Pustaka Litera Antar Nusa, 1994); Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy, Sejarah dan PengantarIlmu Al Quran dan Tafsir, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra , 1997). Sumber-sumber lain yang patut dibaca misalnya; Richard Bell, Bell's Introduction to the Qur'an, Edisi Baru yang direvisi oleh W. Montgomery Watt, Edinburgh, 1970; John Burton, The Collection of The Qur'an Cambridge, 1977. Burton dalam bukunya menegaskan bahwa yang disebut naskah 'Utsmani adalah mushaf yang digunakan selama kehidupan Nabi. Dengan demikian, bukan 'Utsman yang pertama kali menghimpun Al Quran melainkan Nabi Muhammad. Baca juga Arthur Jeffrey (peny.). Materials for the History of the Text of the Qur'an, Leiden, 1937; Abu Al-Qasim Al-Khu'I, Al-Bayan fi Tafsir Al Quran, Beirut, 1975. Ia mempunyai kesimpulan yang sama dengan Burton, yakni 'Utsman tidak menghimpun mushaf, tetapi menyatukan sikap komunitas muslim terhadap mushaf yang telah ada dan secara umum diterima. Karya ini juga membahas banyak isu penting dalam kajian Al Quran. Simak juga karya John Wansbrough, Quranic Studies, Oxford, 1977. Dengan menggunakan metode kritis biblikal dalam mengkaji Al Quran, dia berkesimpulan bahwa Kitab Suci tidak sampai pada keadaannya yang sekarang hingga tiga abad kemudian. Argumen serupa disampaikan dalam karyanya, Sectarian Mileu, Oxford, 1978. Pemahaman kita mengenai kodifikasi tersebut perlu dilengkapi dengan pengertian mengenai penulisan dan pencetakan Al Quran, pembakuan bahasa Arab dan kategorinya, dan lain-lain, sehingga dapat diperoleh suatu gambaran yang lebih lengkap. Untuk itu perlu dibaca karya Ismail R. Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, (New York: Macmillan, 1986), yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ilyas Hasan, Atlas Budaya Islam Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang, (Bandung: Mizan, 1998), bdk. juga John L. Esposito, Loc. Cit.; Ensiklopedi Islam Jilid 4, Loc.Cit.
(16) Di dalam Al Quran terdapat lafal "wahyu" dan lafal-lafal yang diambil daripadanya sebanyak kurang lebih 70 kali dan dipakai dalam beberapa arti. Misalnya, dalam surah Maryam ayat 11 dipakai dalam arti "isyarat", dalam surah an-Nahl ayat 68 dipakai dalam arti "ilham", dan dalam surah asy-Syura ayat 13 diartikan sebagai "wasiat". Ada banyak kajian tentang wahyu itu sendiri. Untuk itu, dapat dicermati dan dibaca tulisan-tulisan berikut ini antara lain, M. Rasjid Ridha, Wahyu Allah Kepada Muhammad, (Surabaya: Japi, 1964); Saleh Mahfoed, Fenomena Al Quran (terj), (Bandung: PT. Alma'arif, 1983); Muslich Maruzi, Wahyu Al Quran: Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Pustaka Amani, 1986).
(17) Bdk. A.J. Arberry, Reason and Revelation, London, 1967.
(18) Pemahaman tentang Al Quran sebagai himpunan wahyu tertinggi (yang diturunkan malaikat Jibril) ini akan menjadi lebih jelas apabila disimak beberapa sumber berikut: Yahya Rais, Islam Agama Fitrah Manusia, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1982); Muhammad Zain Djambek, Kuliah Islam, (Jakarta: Tintamas Indonesia, 1985); H. Ibrahim Lubis, Agama Islam, (Jakarta Timur: Ghalia Indonesia, 1982); Dahlan Idhamy, Pengantar Studi Agama Islam, (Jakarta: PT. Media Sarana Press, 1987); Muclish Maruzi, Wahyu Al Quran Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Pustaka Amani, 1987); Paskalis Edwin Nyoman, Wahyu Dalam Islam dan Katolik: Studi Perbandingan Agama dalam Perpektif Dialogal tentang Misteri Iman yang Paling Fundamental, (Malang: Tesis STFT Widya Sasana Malang, 1990). Ada satu buku menarik dan bagus yang perlu dibaca untuk semakin memperjelas judul tulisan ini. Buku tersebut ialah hasil karya Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, Cet. ke-24, yang diterjemahkan oleh Ali Audah, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2000).
(19) Bdk. Kompas, 3 Desember 2001, hlm. 4.
(20) Farid Esack yang menafsirkan teks mustadl'afnn dalam konteks penindasan, dapat dibaca dalam bukunya yang berjudul, Qur'an, Liberation, and Pluralism: An Islamic Perpective oof Interreligious Solidarity against Oppression, (Oxford, 1997) yang telahdialihbahasakan oleh Budiman menjadi Membebaskan Yang Tertindas, (Mizan, 2000)

*) Artikel ini diterbitkan di dalam Jurnal Aditya Wacana, Januari-Juli 2002

Takwa dalam Al-Quran*
Oleh : Jalaluddin Rakhmat
Event Artikel : KKA-163
Diupdated pada: Selasa 27 Maret 2001

Orang yang takwa dalam Al-Quran adalah manusia ideal, kekasih Tuhan. "Ketahuilah, sungguh para kekasihnya itu adalah orang-orang yang takwa" (Al-Anfal 8:34) Ibadat diwajibkan agar orang menjadi takwa. Derajat manusia ditentukan oleh ketakwaannya. Sebagian arifin berkata: Sesungguhnya kebaikan dunia dan akhirat dihimpunkan dalam satu kata- takwa. Karena itu, banyak ayat Al-Quran yang menjanjikan segala kebaikan "duniwai dan ukhrawi, lahir dan batin- untuk orang yang takwa. Sayyid Qasim Syubbar1, secara singkat mendaftar 12 keutamaan orang takwa:

Pujian dan penghargaan dari Allah swt: Jika kamu bersabar dan bertakwa maka demikian itu termasuk perkara yang sangat menentukan (Ali Imran 3:186).
Penjagaan dan pemeliharaan: Jika kamu bersabar dan bertakwa, tidak akan memperdayakan kamu tipuan mereka sedikit pun (Ali Imran 3:120).
Bantuan dan pertolongan: Sesungguhnya Tuhan bersama orang-orang yang takwa (Al-Nahl 128).
Jalan keluar dari segala kesulitan dan rezeki yang halal: Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, Allah jadikan baginya jalan keluar dan Allah beri dia rezeki dari tempat yang tidak terduga (Al-Thalaq 2,3)2.
Memperbaiki amal: Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlan ucapan yang benar. Nanti Allah memperbaiki amal-amal kamu (Al-Ahzab 33:70-71).
Ampunan dosa: Setelah ayat di atas "dan mengampuni dosa-dosa kamu"
Memperoleh dan memastikan kecintaan Allah: Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertakwa (Al-Tawbah 4,7).
Amal-amal diterima: Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa (Al-Maidah 27).
Kemuliaan dan ketinggian derajat: Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling takwa (Al-Hujurat 13).
Diberikan kabar gembira di dunia dan di akhirat: Orang-orang yang beriman dan keadaan mereka bertakwa. Bagi mereka kabar gembira dalam kehidupan dunia dan di akhirat (Yunus 63-64).
Keselamatan dari neraka: Kemudian kami akanmenyelamatkan orang-orang yang bertakwa danmembiarkan orang-orang yang zalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut (Maryam 19:68).
Kekekalan di surga: Dan bersegeralah kamu kepada ampunan Allah dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa (Ali Imran 3:133).

Saya ingin menambahkan lima keutamaan lainnya yang dianugrahkan Tuhan bagi orang yang bertakwa:

Bantuan gaib berupa kedatangan malaikat: Ya, bila kamu bersabar dan bertakwa dan mereka menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda (Ali Imran 3:125).
Kemudahan dalam berbagai urusan: Maka barangsiapa yang memberikan hartanya dan bertakwa; dan membenarkan pahala yang terbaik; maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah (Al-Layl 92: 5-7). Dibukakan keberkahan dari langit dan bumi: "Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (Al-A’raf 96).
Tidak takut dan tidak berdukacita: "Sebahagian diberinya petunjuk dan sebahagian lagi telah pasti kesesatan bagi mereka. Sesungguhnya mereka menjadikan syaitan-syaitan pelindung (mereka) selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk." (Al-A’raf 30).
Diberikan ilmu dan pemisah antara benar dan salah: "Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqaan dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar." (Al-Anfal 29); "Dan bertakwalah kepada Allah, Allah akan mengajarimu. Dan Allah MahaMengetahui segala sesuatu." (Al-Baqarah 282).
Dibukakan keberkahan dari langit dan bumi: Jika sekiranya penduduk negeri itu beriman dan bertakwa kami bukakan pintu keberkahan dari langit dan bumi (Al-A’raf 7:96).

Karena begitu mulianya orang yang takwa, Tuhan memberikan banyak penjelasan dalam Al-Quran berkenaan dengan karakteristik takwa. Takwa tidak diambangkan menjadi kata abstrak yang penafsirannya diserahkan kepada definisi para ulama. Paling tidak, dalam empat tempat dalam Al-Quran3 Tuhan memperinci makna takwa, hampir-hampir sangat operasional.

Karakteristik Orang Bertakwa dalam Al-Quran

Sangat menakjubkan bahwa ayat-ayat pertama yang menjelaskan karakteristik takwa dalam Al-Quran adalah ayat-ayat yang paling komprehensif. Ayat-ayat lainnya hanya memberikan penjelasan tambahan. Karena itu, pembahasan dalam makalah ini dipusatkan pada tafsir al-Baqarah 2:1-4:

Alif Lam Mim
Kitab al-Quran ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi mereka yang takwa,
Yaitu mereka yang beriman kepada yang gaib yang mendirikan salat dan menafkahkan sebahagian rezeki yang kami anugrahkan kepada mereka
Dan mereka yang beriman kepada kitab yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu serta mereka yakin akan adanya kehidupan akhirat

Dari rangkaian ayat di atas kita dapat menyebutkan tiga karakteristik utama manusia takwa: keimanan kepada yang gaib, hubungan akrab dengan Tuhan, dan perkhidmatan kepada manusia.4

Keimanan kepada yang gaib. Seluruh perilaku orang yang bertakwa ditegakkan di atas sebuah pandangan dunia, worldview, bahwa di balik dunia yang material ini ada dunia yang lebih luas lagi. Tidak ada makna apa pun bagi perbuatan manusia yang baik seperti salat, zakat, dan kebajikan lainnya tanpa pijakan pada keyakinan akan yang gaib. Bahkan keimanan kepada Tuhan sekali pun harus dimulai dengan pandangan dunia ini. Peringatan Tuhan -dan petunjuk Tuhan- hanya akan diterima oleh orang yang percaya kepada yang gaib: Sungguh telah kami berikan kepada Musa, Harun, furqan, dan penerangan serta peringatan bagi orang yag bertakwa; yakni, orang-orang yang takut kepada Tuhan mereka berdasarkan keimanan kepada yang gaib dan mereka merasa takut akan tibanya hari kiamat (Al-Anbiya 21:48-49); Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya orang-orang yang takut kepada azab Tuhannya berdasarkan keimanan kepada yang gaib dan mendirikan salat dan barangsiapa mensucikan dirinya sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri dan kepada Allah-lah kembalimu (Fathir 35:18); Sesungguhnya kamu hanya memberi peringatan kepada orang-orang yamg mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan yang Maha Pemurah berdasarkan keimanan kepada yang gaib. Maka berilah mereka kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia (Yasin 36:11); Yaitu orang yang takut kepada Tuhan yang Maha Pemurah berdasarkan keimana kepada yang gaib dan dia datang denga hati yang bertaubat. (Qaf 50:33).

Dr Muhammad Shadiqi5 menjelaskan "orang-orang yang beriman kepada yang gaib" sebagai berikut:

Iman secara harfiah berarti meletakkan dirimu dalam ketenangan dan ketentraman. Kehidupan dunia dan segala perhiasannya selalu berubah dan berakhir dengan kebinasaan. Beriman kepada kehidupan dunia saja akan menambah kecemasan dan kegelisahan. Sedangkan keimanan kepada yang gaib- kegaiban uluhiah hari akhir dan wahyu- adalah keimanan yang menentramkan manusia yang memberikannya ketenangan dari segala kecemasan: ketahuilah dengan zikir kepada Allah hati menjadi tentram

Percaya kepada yang gaib artinya keimanan kepada yang gaib dari panca indra mereka berupa hal-hal yang mengharuskan kita mempercayiannya seperti kebangkitan, perhitungan, surga, neraka, tauhid dan semua hal yang tidak diketahui dengan kesaksian tetapi diketahui dengan petunjuk (dalil-dalil)

Keimanan kepada yang gaib dari panca indra hewani adalah hal yang membedakan manusia dari binatang yang lain di atas alat indrannya manusia mempunyai akal. Dengan akallah dia mengetahui apa yang tidak diketahui alat indra. Sesungguhnya akal dan alat indra bekerja sama untuk membenarkan yang gaib dari panca indra sebagimana keduanya juga bekerja sama dalam pengetahuan empiris. Pengetahuan indra saja tidak mencukupi walaupun untuk pengetahuan empiris. Begitu pula semata-mata akal tidak cukup bahkan untuk membenarkan yang gaib sekalipun kecuali sedikit saja.

Membatasi persepsi hanya kepada alat-alat indra saja sangat reduksionis. Membatasi pada akal saja terlalu berlebihan. Karena itulah kita melihat ayat-ayat yang menghimpun antara akal dan indra untuk mencapai keimanan kepada yang gaib; berdasarkan petunjuk ayat-ayat yang indrawi dan ayat-ayat diri yang tidak indrawi: akan kami perlihatkan kepada mereka ayat-ayat kami di alam semesta dan dalam diri mereka sampai jelaslah bagi mereka bahwa Dia itu benar (41:53)

Tafsir al-Shadiqi ini mengingatkan kita pada konsep evolusi manusia dari Gary Zukav6. Ia membedakan antara "five-sensory humana" dan "multisensory human":

We are evolving from five-sensory humans into multisensory humans. Our five senses, together, form a single sensory system that designed to perceive physical reality. The perception of multisensory human extend beyond physical reality to the larger dynamical systems of which our physical reality is a part. The multisensory human is able to perceive and to appreciate, the role that our physical reality plays in a larger picture of evolution, and the dynamic by which our physical reality is created and sustained. This realm is invisible to the five-sensory human.

It is in this invisible realm that the origins of our deepest values are found. From the perspective of this invisible realm, the motivations of those who consciously sacrifice their lives for higher purposes makes sense, the power of Gandhi is explicable, and the compassionate act of the Christ are comprehensible in a fullness that is not accessible to the five sensory human...

From the perception of the five sensory human, we are alone in a universe that is physical. From the perception of the multisensory human, we are never alone, and the Universe is alive, conscious, intelligent, and compassionate. From the perception of the five sensory human, the physical world is an unaccountable given in which we unaccountably find ourselves, and we strive to dominate it so that we can survive. From the perception of the multisensory human, the physical world is a learning environment that is created jointly by the souls that share it, and everything that occurs within it serves their learning.


1 Sayyid Qasim Syubbar. Al-Mu’minun fi Al-Quran. 1:45. Qum: Muassasah al-Nasyr akl-Islami, 1411.
2 Rasulullah saw berpesan kepada Abu Dzar: Sekiranya manusia mengambil ayat ini cukuplah itu bagi mereka. Dalam hadis lain, Nabi menjelaskan bahwa meberikan "jalan keluar" artinya dari segala kesulitan dunia dan akhirat ( Lihat Syubbar, ibid.).
3 Al-Baqarah 2:1-4; Al-Baqarah 2:177; Ali Imran 3: 133-136; Al-Dzariat 51:17.
4 Sayyid Kamal Faghih Imani et al. An Enlightening Commentary into the Light of The Holy Quran. Isfahan: Imam Ali Public Library, 1999. I:76-85, menyebutkan ketiganya dengan kata-kata: Faith in The Unseen, Relationship with Allah and Relationship with People
5 Muhammad Shadiqi. Al-Furqan fi Tafsir Al-Quran bi Al-Quran wa al-Sunnah. Teheran: Farhangg-Islami, 1406. I: 171.
6 Gary Zukav. The Seat of the Soul. New York: Simon and Schuster, 1990, hlm 27-28

CARA MEMBACA AL-QUR’AN MOHAMMED ARKOUN

Oleh: Cecep Romli Bihar Anwar

A. Potret Seorang Sejarawan-Pemikir

1. Latar Belakang sosial dan Intelektual

Mohammded Arkoun lahir pada 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, kabilia, Aljazair. Kabilia merupakan daerah pegunungan berpenduduk Berber, terletak di sebelah timur Aljir. Berber adalah penduduk yang tersebar di Afrika bagian utara. Bahasa yang dipakai adalah bahasa non-Arab (‘ajamiyah).

Setelah Aljazair ditaklukan bangsa Arab pada tahun 682, pada masa kekhalifahan Yazid bin Muawiyah, dinasti Umayah, banyak penduduknya yang memeluk Islam. Bahkan di antara mereka banyak yang ikut dalam berbagai pembebasan Islam, seperti pembebasan Spanyol bersama Toriq Bin Ziyad.

Gerakan islamisasi di daerah bekas jajahan Perancis ini juga diwarnai oleh nuansa sufisme. Mahdi Bin Tumart dari dinasti Almohad pada abad 12 menggabungkan ortodoksi Asy’arisme dengan sufisme. Ibn Arabi, tokoh sufisme yang terkenal itu, sempat berguru kepada seorang sufi terkemuka di daerah ini, Abu Madyan. Di antara aliran tarekat yang berkembang adalah Syaziliyah, Aljazuliyah, Darqowiyah, Tijaniyyah dan lain-lain.

Melalui berbagai kegiatan dan ritualisme sufisme populer, berbagai unsur kepercayaan animistik Afrika Utara merasuk ke dalam Islam di Afrika. Misalnya, konsep “manusia-suci atau pemimpin keagamaan (alfa) merupakan serapan budaya pemujaan orang-suci sebelum Islam datang. Menurut Suadi Putro, dalam lingkungan hidup yang sarat dengan sufisme dan nuansa spiritual inilah Arkoun dibesarkan.[1]

Kehidupan Arkoun yang mengenal berbagai tradisi dan kebudayaan merupakan faktor penting bagi perkembangan pemikirannya. Sejak mudanya Arkoun secara intens akrab dengan tiga bahasa: Kabilia, Perancis dan Arab. Bahasa kabilia biasa dipakai dalam bahasa keseharian, bahasa Perancis digunakan dalam bahasa sekolah dan urusan administratif, sementara bahasa Arab digunakan dalam kegiatan-kegiatan komunikasi di mesjid. Sampai tingkat tertentu, ketiga bahasa tersebut mewakili tiga tradisi dan orientasi budaya yang berbeda. Bahkan ketiga bahasa tersebut juga mewakili cara berpikir dan memahami. Bahasa Kabilia, yang tidak mengenal bahasa tulisan, merupakan wadah penyampaian sehimpunan tradisi dan nilai pengarah mengenai kehidupan sosial dan ekonomi yang sudah berusia beribu-ribu tahun. Bahasa Arab merupakan alat pengungkapan tertulis mengenai ajaran keagamaan yang mengaitkan negeri Aljazair ini dengan Timur Tengah. Bahasa Perancis merupakan bahasa pemerintahan dan menjadi sarana akses terhadap nilai dan tradisi ilmiah barat. Karena itu, tidak mengherankan kemudian kalau masalah bahasa mendapatkan perhatian besar dalam bangunan pemikiran Arkoun.[2]

2. Pendidikan dan Pengalaman

Setelah tamat sekolah dasar, Arkoun melanjutkan ke sekolah menengah di kota pelabuhan Oran, kota utama Aljazair bagian barat. Sejak 1950 sampai 1954 ia belajar bahasa dan sastra Arab di universitas Aljir, sambil mengajar di sebuah sekolah menengah atas di al-Harrach, di daerah pinggiran ibu kota Aljazair. Tahun 1954 sampai 1962 ia menjadi mahasiswa di Paris. Tahun 1961 Arkoun diangkat menjadi dosen di Universitas Sorbonne Paris.Ia menggondol gelar doktor Sastra pada 1969. Sejak 1970 sampai 1972 Arkoun mengajar di Universitas Lyon. Kemudian ia kembali sebagai guru besar dalam bidang sejarah pemikiran Islam.[3]

Ia menjabat direktur ilmiah jurnal studi Islam terkenal, Arabica. Ia juga memangku jabatan resmi sebagai anggota panitia nasional (Perancis) untuk Etika dan Ilmu Pengetahuan Kehidupan dan Kedokteran. Ia juga anggota majelis nasional untuk AIDS, dan anggota Legium Kehormatan Perancis. Belakangan, ia menjabat sebagai direktur Lembaga Kajian Islam dan Timur Tengah pada Universitas Sorbonne Nouvelle (Paris III).[4]

Arkoun sering diundang dan menjadi dosen tamu di sejumlah universitas di luar Perancis, seperti Iniversity of California di Los Angeles, Princeton University, Temple University di Philadelphia, Lembagai Kepausan untuk studi Arab dan Islam di Roma, dan Universitas Katolik Louvain-La-Neuve di Belgia. Ia juga sempat menjadi Guru Besar tamu di Universitas Amsterdam.[5]

Konteks Pemikiran Pasca-Modernisme dan Karya-karyanya

Pemikiran Arkoun sangat kentara dipengaruhi oleh gerakan (post) strukturalis Perancis. Metode historisisme yang dipakai Arkoun adalah formulasi ilmu-ilmu sosial Barat modern hasil ciptaan para pemikir (post) strukturalis Perancis.[6] Referensi utamanya adalah De Sausure (linguistic), Levi straus (antropologi), Lacan (psikologi), Barthes (smiologi), Foucault (epistemologi), Derrida (grammatologi)., filosof Perancis Paul Ricour, antropolog seperti Jack Goody dan Pierre Bourdieu.[7] Arkoun banyak meminjam konsep-konsep kaum (post) strukturalisme untuk kemudian diterapkannya ke dalam wilayah kajian Islam. Konsep-konsep seperti korpus, epistema, wacana, dekontruksi, mitos, logosentrisme, yang ter, tak dan dipikirkan, parole, aktant dan lain-lain, adalah bukti bahwa Arkoun memang dimatangkan dalam kancah pergulatannya dengan (post) strukturalisme. Arkoun memperlihatkan kepiawaiannya ketika secara eklektik bisa “menari-nari” di atas panggung post strukturalisme itu, dan bila perlu sekali-kali bisa mengenyahkan panggungnya. Ia, misalnya, bisa menerapkan analisis semiotika ke dalam teks-teks suci dengan cara melampaui batas kemampuan semiotika itu sendiri. Menurutnya, ini dilakukan karena selama ini semiotika belum mengembangkan peralatan analitis khusus untuk teks-teks suci. Padahal, teks-teks keagamaan berbeda dengan teks lainnya karena berpretensi mengacu pada petanda terakhir, petanda transendental (signifie dernier). Arkoun juga bisa mencomot konsep-konsep dari Derrida tanpa

harus terjebak pada titik paling ekstrim dari implikasi pemikiran Derrida: tidak ada petanda terakhir. Bahkan dalam bangunan pemikirannya, Derrida yang berpendapat bahwa bahasa tulisan lebih awal ketimbang lisan (dalam bidang filsafat bahasa) bisa disajikan, tanpa berbenturan dengan Frye yang memandang bahwa bahasa lisan tentunya lebih awal ketimbang bahasa tulisan (dalam bidang antropologi, perkembangan kebudayaan atau peradaban).

Secara cemerlang, Arkoun mengaku dirinya sebagai sejarawan-pemikir dan bukan sebagai sejarawan-pemikiran. Sejarawan pemikiran bertugas hanya untuk menggali asal-usul dan perkembangan pemikiran (sejarawan murni), sementara sejarawan-pemikir dimaksudkan sebagai sejarawan yang setelah mendapatkan data-data obyektif, ia bisa juga mengolah data tersebut dengan memakai analisis filosofis. Dengan kata lain, seorang sejarawan-pemikir bukan hanya bertutur tentang sejarah pemikiran belaka secara pasif, melainkan juga secara aktif bisa bertutur dalam sejarah.[8]

Sementara itu, karya-karya Arkoun meliputi berbagai bidang. Di sini hanya disebutkan karya-karya yang berkaitan dengan kajian Islam pada umumnya dan metodologi “cara membaca Qur’an”nya pada khususnya: traduction francaise avec introduction et notes du Tahdib Al-Akhlaq (tulisan tentang etika/terjemahan Perancis dari kitab Tahdib al-Akhlaq Ibnu Miskawaih), La pensee arabe (Pemikiran Arab), Essais sur La pensee islamique (esei-esei tentang pemikiran Islam, Lecture du Coran (pembacaan-pembacaan Al-Qur’an, pour une critique de la raison islamique (demi kritik nalar islami), Discours coranique et pensee scintifique (Wacana Al-Qur’an dan pemikiran ilmiah). Kebanyakan karya Arkoun ditulis dalam bahasa Perancis.[9]

B. Kerangka Proyek Kritik Akal Islam Arkoun

Mohammed Arkoun memiliki “proyek kritik atas akal Islam” dimana metode historis modern menempati peran sentralnya. Proyek ini terkandung dalam bukunya yang paling fundamental, Pour de la raison islamique, (Menuju Kritik Akal Islam). Buku ini, yang semula akan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan judul “naqdu al-‘aqli al-Islmiy”, kemudian diterjemahkan dengan judul “tarikhiyyatu al-Fikri al-Arabiy al-Islamiy” (Historitas Pemikiran Arab Islam). Menurut Luthfi Assyaukany, karya tersebut bisa mewakili pemikiran Arkoun secara keseluruhan, meskipun ia masih mempunyai banyak karya lain. [10]

Metode yang ditempuh Arkoun dalam buku ini adalah metode historisisme. Historisisme berperan sebagai metode rekonstruksi makna melalui cara penghapusan relevensi antara teks dengan konteks. Melalui metode historisisme, yang mewujud dalam bentuk “kritik nalar islami”, teks-teks klasik didekonstruksi menuju rekonstruksi (konteks). Bila metode ini diterapkan pada teks-teks agama, apa yang diburu Arkoun adalah makna-makna baru yang secara potensial bersemayam dalam teks-teks tersebut.[11]

Luthfi Asysaukanie menggolongkan Arkoun ke dalam tipologi pemikir Arab kontemporer yang “reformistik-dekonstruktif”. Tipologi wacana pemikiran ini masih percaya pada tradisi sejauh disesuaikan dengan tuntutan modernitas. Arkoun, misalnya, membedakan dua tradisi: 1) Tradisi dengan T besar yang berarti tradisi transendental, abadi dan tak berubah; 2) tradisi dengan t kecil yang adalah produk sejarah dan budaya manusia, baik yang merupakan warisan turun menurun maupun hasil penafsiran atas wahyu tuhan lewat teks-teks suci.[12] Bagi Arkoun, hanya tradisi kedualah yang dapat diuji lewat kritisisme, dan karenanya ia mengabaikan tradisi yang pertama. Kelak, sebagaimana akan dibahas, pembedaan Arkoun atas tradisi ini, juga terlihat dalam bangunan metodologi “cara membaca Qur’an”nya.

Arkoun menganggap proyek kritik akal Islamnya sebagai tak lain dari perluasan terhadap makna ijtihad klasik. Perpindahan dari ijtihad klasik ke kritik akal Islam adalah usaha mematangkan dan memantapkan posisi ijtihad itu sendiri.[13] Karena begitu sentralnya “proyek kritik akal Islam” ini dalam bangunan pemikiran Arkoun, berikut ini disajikan penjelasan Arkoun mengenai maksud dari kata “kritik” dan “akal”, dengan eksplorasi penerapannya.

Menurut pengakuannya, istilah “kritik akal” dalam bukunya itu tidaklah mengacu pada pengertian filsafat, melainkan pada kritik sejarah. Ketika mendengar kata kritik akal, orang memang tidak gampang melupakan karya filosof besar Immanuel Kant, Critique of pure Reason dan Critique of Practical Reason, dan karya

Sartre, Critique of Dialectical Reason. Tetapi, kata Arkoun, belakangan Francois Furet menggunakan istilah tersebut untuk tujuan penelitian sejarah. Berbeda dengan Kant dan Sartre, Furet adalah seorang sejarawan. Ia berusaha memikirkan (ulang secara kritis tentunya) seluruh tumpukan literatur sejarah mengenai revolusi perancis. Revolusi Perancis adalah peristiwa sejarah yang amat kompleks serta mempunyai pengaruh yang begitu besar, sebegitu rupa sehingga darinya lahir banjir bandang literatur komentar, interpretasi yang beragam dan bahkan bertentangan. Menurut Arkoun keadaan ini bisa dibandingkan dengan peristiwa turunnya wayhu Al-Qur’an yang telah melahirkan sekian banyak literatur, yang selain beragam juga kadang saling bertentangan satu sama lain. Ia menegaskan:

Peristiwa itu (Revolusi Perancis) telah merangsang lahirnya komentar serta teori yang begitu luas serta teori yang begitu luas sejak dua ratus tahun lampau hingga sekarang (1789-1989). Keadaan ini dapat kita bandingkan dengan apa yang terjadi pada kita dengan teks Al-Qur’an.[14]

Adapun kata akal merujuk pada akal sebagai fakultas dalam diri manusia untuk berpikir. Manusia berpikir dengan menggunakan alat-alat, yakni berupa kata-kata dari suatu bahasa, kategori-kategori dari logika, postulat atau hipotesa tentang realitas. Akal bisa berubah, seiring dengan perkembangan alat-alat berpikir yang ditemukan akal itu sendiri, seperti dari penemuan-penemuan ilmiah yang revolusioner. Karena itu, Arkoun menegaskan bahwa akal bukanlah konsep abstrak yang melayang-layang di udara, ia adalah konsep konkret yang bisa berubah-rubah. Ia mempunyai sejarahnya dan memang terus meyejarah.

Arkoun membedakan bahan dan postulat antara akal religius (religius reason) dan akal filosofis (philosophical reason). Dalam diskursus religius misalnya, ada metafor-metafor, simbol dan kisah-kisah mitis. Akal religius digunakan oleh kaum semitis: yahudi, kristen dan islam, sementara akal filosofis digunakan oleh filosof Yunani. Menurutnya, penemuan revolusioner Galileo dibidang astronomi (bahwa bumi mengitari matahari) pada abad 16, revolusi Lutherian pada abad 18 yang menegakkan pendirian (otonomi) akal--dan menempatkannya dalam posisi rasional—terhadap kitab suci, dan revolusi politik di Inggris dan Perancis pada abad 18, telah merubah akal secara radikal dengan menghasilkan akal “modern”. Tetapi, apa yang terjadi di Italia, Inggris, Perancis, spanyol itu tidak terjadi dalam masyarakat-masyarakat Islam. [15] Akibatnya, akal (atau alam pikiran) umat Islam belum bisa lepas dari mental abad pertengahan yang kental dengan ortodoksisme dan dogmatisme.

Untuk menelusuri sejarah pemikiran Islam, layaknya seorang arkeolog, Arkoun menggali seluruh lapisan geologis pemikiran (akal) Arab-Islam dengan memakai “pisau” epistema Michael Foucault. Arkoun membagi tiga tingkatan sejarah terbentuknya akal Arab-Islam: klasik, skolastik dan modern. Yang dimaksud dengan tingkatan klasik adalah sistem pemikiran yang diwakili oleh para pemula dan pembentuk peradaban Islam. Skolastik adalah jenjang kedua yang merupakan

medan taklid sistem berpikir umat. Sedangkan tingkatan modern adalah apa yang dikenal dengan kebangkitan dan revolusi. Dengan membagi sejarah ke dalam tiga penggalan (ruputure) epistema ini, tampaknya Arkoun bermaksud untuk menjelaskan term “yang terpikirkan” (le pensable/ thinkable), “yang tak terpikirkan” (l’impinse/unthikable) dan “yang belum terpikirkan” (l’impensable/not yet thought),[16] untuk kemudian diterapkan dalam rangka membedah sejarah sistem pemikiran Arab-Islam.

Yang dimaksud dengan “yang terpikirkan adalah hal-hal yang mungkin umat Islam memikirkannya, karena jelas dan boleh dipikirkan. Sementara “yang tak terpikirkan adalah hal-hal seputar tidak ada kaitannya antara ajaran agama dengan praktek kehidupan.[17]

Demi menembus lapisan terdalam dari geologi pemikiran Islam, Arkoun pun menjamah jantung eksistensialnya: Al-Qur’an, sunnah dan Ushul. Bagi Arkoun, Al-Qur’an tunduk pada sejarah (the Qur’an is subject to historicity).[18] Baginya, lantaran Assyafi’i berhasil membuat sistematika konsep sunnah dan pembakuan ushul kepada standar tertentu serta pembakuan Qur’an kepada sebuah mushaf resmi (kopus resmi tertutup/mushaf Utsman), banyak ranah pemikiran yang tadinya “yang terpikirkan”, berubah menjadi hal-hal yang tak terpikirkan. Sampai sekarang, di tengah tantangan barat modern, menurutnya, daerah tak terpikirkan masih terus melebar.

Demikianlah, Arkoun melihat ortodoksisme (paham yang selalu menekankan pada penafsiran nash-nash yang pasti benar, sehingga penafsiran orang lain salah, bid’ah) dan dogmatisme abad skolastik (dogmatisme ditandai dengan pencampuradukkan antara wahyu dengan non wahyu, atau masuknya non-wahyu ke dalam wilayah wahyu), masih tetap bercokol dalam akal Arab-Islam dewasa ini.

Dengan kritik historisnya, Arkoun menemukan karakteristik umum akal-akal islam. Pertama, ketundukan akal-akal kepada wahyu yang “terberi” (diturunkan dari langit). Wahyu mempunyai kedudukan dan posisi yang lebih tinggi, sebab dihadapan akal-akal itu ia memiliki watak transendentalitas (al-ta’ali, La trancendance) yang mengatasi manusia, sejarah dan masyarakat. Kedua, penghormatan dan ketaatan kepada otoritas agung. Imam mujtihid dalam setiap madzhab tidak boleh dibantah atau didebat, walaupun di antara para mujtahid sendiri terdapat banyak perbedaan bahkan perselisihan. Para imam mujtahid ini telah mematok kaidah-kaidah menafsirkan Al-Quran secara benar, termasuk istimbath hukum. Otoritas ini menjelma dalam sosok para imam madzhab. Ketiga, akal beroperasi dengan cara pandang tertentu terhadap alam semesta, yang khas abad pertengahan, sebelum lahirnya ilmu astronomi modern.[19]

Maka, bagi Arkoun, syarat utama untuk mencapai keterbukaan (pencerahan) pemikiran Islam di tengah kancah dunia modern adalah dekontruksi terhadap epistema ortodoksi dan dogmatisme abad pertengahan.

Dari kritik historisnya, Arkoun juga mendapati bahwa tumpukan literature tafsir Al-Qur’an tak ubahnya seperti endapan lapisan-lapisan geologis bumi. Dalam konteks ini, secara radikal Arkoun menganggap sejarah tafsir sebagai sajarah penggunaan Al-Qur’an sebagai dalih:

Jika kita lihat khazanah tafsir dengan seluruh macam madzhabnya, kita akan tahu bahwa sesungguhnya Al-Qur’an hanyalah “alat” saja untuk membangun teks-teks lain yang dapat memenuhi kebutuhan dan selera suatu masa tertentu setelah masa turunnya Al-Qur’an itu sendiri. Seluruh tafsir itu ada dengan sendirinya dan untuk dirinya sendiri. Dia merupakan karya intelektual serta produk budaya yang lebih terikat dengan konteks kultural yang melatarinya, dengan lingkungan sosial atau teologi yang menjadi “payungnya” nya daripada dengan konteks Al-Qur’an itu sendiri.[20]

Menurutnya, pola hubungan yang terus-menerus antara teks pertama dan ekploitasi teologis dan ideologis yang begitu beragam terhadapnya yang dilakukan oleh berbagai latar kultural dan sosial yang berbeda itu, membuat teks kedua memiliki sejarahnya sendiri. Sejarah tafsir adalah sejarah pernyataan yang diulang-ulang, secara lebih kurang atau lebih bersemangat, mengenai sifat kebenaran, keabadian dan kesempurnaan dari risalah yang diterima dan disampaikan Nabi Muhammad. Dengan begitu, tafsir lebih bersifat “apologi defensif” daripada pencarian suatu cara memahami. Padahal, kata Arkoun, Al-Qur’an tidak membutuhkan suatu apologi guna menunjukkan kekayaan yang terkandung didalamnya.[21] Karena itu, berbagai literatur tafsir, di satu sisi, memang membantu mengantarkan kita untuk memahami Al-Qur’an; namun, di sisi lain, kadang malahan merintangi pemandangan kita dari Al-Qur’an. Lantaran sejarah tafsir yang “menggeologis” itulah, barangkali, Arkoun memandang Al-Qur’an sekarang lebih banyak menyebabkan kemandegan ketimbang pencerahan dan kemajuan:

Jadinya sekarang, Kalam Allah ditentang dan digagalkan oleh praktek masyarakat kita di masa kini; dihormati, namun pada kenyataannya dihalangi oleh kaum muslim, dan direduksi oleh pengetahunan ilmiah kaum orientalis menjadi kejadian budaya semata.[22]

Dalam konteks di atas, perlu segera dicatat bahwa yang dianggap tidak relevan atau memandegkan bukanlah Al-Qur’an, melainkan pemikiran yang dipakai oleh para teolog dan fuqaha dalam menafsirkan Al-Qur’an:

Saya tidak mengatakan bahwa al-Qur’an tidak relevan. Saya tidak berkata demikian. Harap berhati-hati. Yang saya katakan adalah bahwa pemikiran yang dipakai oleh para teolog dan fuqoha untuk menafsirkan Al-Qur’an tidak relevan. Sebab, sekarang kita ilmu baru seperti antropologi, yang tidak mereka kuasai. Kita juga memiliki linguistik baru, metode sejarah, biologi—semuanya tidak mereka kuasai.[23]

Demikian komplek dan peliknya sejarah tafsir, sehingga upaya restrukturisasi (I’adat tarkib) dengan cara penulisan sejarahnya secara jernih dan kritis adalah sangat mendesak. Berangkat dari persoalan ini, Arkoun merumuskan permasalahan:

Bagaimanakah kita dapat melakukan klarifikasi (al-idhahah at-tarikhiyyah) seperti terlihat di atas? Bagaimana kita dapat membaca Al-Qur’an secara “baru”? Bagaimanakah kita dapat memikirkan ulang pengalaman kesejarahan Islam sepanjang empat belas abad?

Untuk menelusuri alur pikiran metodologi Arkoun dalam memahami Al-Qur’an (bagaimana), terlebih dahulu di sini akan diajukan dua pertanyaan: (1) apa itu teks Al-Qur’an; dan (2) apa tujuan membaca Al-Qur’an. Sebab, secara metodologis, cara membaca Al-Qur’an sedikit banyak ditentukan oleh antara lain pandangan mengenai Al-Qur’an itu sendiri (postulat ontologis) dan tujuan pembacaannya (postulat Aksiologis).[24]

C. Apa Itu Al-Qur’an dan Apa Tujuan Membaca (Qira’ah) nya?

Di antara teks-teks keagamaan, tentunya teks kitab suci menduduki posisi paling sentral karena di dalamnya terkandung pewahyuan ilahi kepada manusia. Lagi pula, proses pewahyuan ini besifat unik, dalam pengertian sekali untuk selamanya dan tak tergantikan. Nama-nama lain Al-Qur’an sendiri seperti al-Furqon, (al-Furqon:1), al-Kitab (al-Dukhon:1-2), Kalam (al-Taubah:6), Nur (al-Nisa:174), Mau’idzah (Yunus:57), al-Shirat al-Mustaqim (al-An’am:153)[25] dan lain-lain, mencerminkan pandangan kaum muslim mengenai status kitab sucinya yang sangat dimuliakan dan disucikan.

Mengikuti analisis semiotik, Arkoun menekankan bahwa teks yang ada di

tengah-tengah kita adalah hasil tindakan pengujaran (enonciation). Dengan kata lain, teks ini berasal dari bahasa lisan yang kemudian ditranskripsi ke dalam bentuk teks. Tidak terkecuali teks-teks kitab suci, termasuk Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diterima dan disampaikan nabi Muhammad kepada umat manusia selama tidak kurang dari dua dasawarsa. Terhadap keyakinannya ini, dalam berbagai kesempatan Arkoun selalu menegaskannya: baik yang bersifat spontan dari keimanannya sebagai muslim maupun dari pernyataan-pernyataannya yang ingin “membuktikan” keniscayaan petanda terakhir (signifie dernier).

Akan tetapi, wahyu dalam bentuk bahasa lisan ini baru kemudian dibukukan setelah memasuki masa Utsman, sekitar satu setengah periode setelah nabi Muhammad saw. wafat. Jauh sebelum Arkoun, buku-buku pegangan (teksbook) sebenarnya telah banyak memberikan informas mengenai penulisan dan pembakuan wahyu menjadi mushaf Utmsni ini. Hanya saja, Arkoun melihat bahwa informasi-informasi tersebut belum dipertimbangkan secara serius bagi penjelajahan makna Al-Qur’an. Untuk mempertimbangkan data historis ini semaksimal mungkin, Arkoun kembali pada rujukan linguistik mengenai: (1) peralihan dari bahasa lisan ke bahasa tulisan; dan (2) perubahan dari kalam kenabian yang bersifat terbuka pada konteks yang beraneka ragam, yang membicarakan situasi akhir batas eksistensial manusia: cinta, hidup, dan mati; menjadi wacana pengajaran yang memerikan menurut anggitan kaku dan karenanya cenderung tertutup.[26] Tampaknya, bagi Arkoun, proses yang kedua (perubahan kalam kenabian) dengan yang pertama (peralihan bahasa lisan ke tulisan) berlangsung seiring dan berjalan secara simultan.

Menerapkan proses linguistis di atas kepada proses gerakan tanzil (turunnya) wahyu, Arkoun memilah-milah tahap-tahap kalam Allah (KL), Wacana Qur’ani (WQ), Korpus Resmi Tertutup (KRT) dan Korpus Tertafsir (KT). Anggitan Kalam Allah atau merujuk pada Logos atau sabda Allah yang tak terbatas dalam pengertian yang dipakai al-Qur’an (31:27):

Seandainya semua pohon yang ada di atas bumi diubah menjadi pena dan lautan yang diperluas dengan tujuh lautan lain dengan tinta, kata-kata Allah tidak akan habis (oleh usaha mentranskripsinya)”. Demikian juga dalam pengertian orang-orang kristen yang mengatakan, “ Isa adalah Sabda Allah”.

Maka, wahyu-wahyu yang disampaikan kepada manusia dengan perantaraan para rasul hanyalah penggalan dari Kalam Allah yang tak terbatas, suatu Kalam yang tak tertulis yang didefinisikan dalam teologi klasik sebagai bersamaan dengan Allah dalam keabadian-Nya.

Penggal-penggal dari kalam Allah secara linguistis telah diartikulasikan dalam bahasa Ibrani (Al-kitab), bahasa Aramea (Isa, meski demikian ajarannya dilaporkan dalam bahasa Yunani), dan bahasa Arab (Qur’an). Tahap pengujaran lisan sejajar dengan atau sesuai dengan tahap wacana (yakni wacana dalam pengertian linguistik yang diartikan sebagai pengujaran yang mengandaikan adanya seorang pembicara dan pendengar dengan niat dari yang pertama untuk menyampaikan kepada yang kedua suatu pesan dan kemungkinan bagi yang kedua untuk bereaksi secara langsung) Alkitab, Injil dan Qur’an. Hubungan komunikasi antara Tuhan dan Nabi selalu terkait dengan situasi wacana atau lingkuangan semiologis ketika pelepasan dan penangkapan pesan berlangsung, yang terjadi sekali untuk selamanya dan tidak bisa diulang. Inilah tahap semio-linguis yang pertama.

Tahap semio-linguis kedua adalah proses pencatatannya secara tertulis dalam mushaf Utsmani (Korpus Resmi Tertutup).[27] Dengan ungkapan Corpus officiel clos, Korpus resmi tertutup, Arkoun ingin menekankan aspek historisis dari mushaf, yang, suka atau tidak, tidak bisa diabaikan. Arkoun mengatakan:

This is extremely important: it refer to many historical fact depending on social and political agent, not on God. Let us elaborate it more clearly.[28]

Tahap semio-linguis ketiga adalah penafsiran dari Korpus Resmi Tertutup itu. Secara linguistis adalah mutlak sehubungan dengan penjelajahan makna-makna al-Qur’an itu, pemahaman bahwa selalu teks tertulislah yang ditafsirkan dan bukan lagi wacana pertama. Arkoun mengajukan argumentasi:

Sesungguhnya kita tahu bahwa suatu teks tidak ditulis selama saya belum membacanya: artinya setiap pembaca menulis teks itu lagi sesuai dengan kisi-kisi persepsinya dan prinsip-prinsip penafsirannya. Kisi-kisi dan prinsip-prinsip sendiri tidak hanya berkaitan dengan tradisi kebudayaan yangdipakiai setiap pembaca sebagai sandaran, namun juga dengan paksaan ideologis dari keolompok dan masanya.[29]

Dengan demikian, dapat dilihat secara mencolok bahwa Arkoun mengaitkan (menarik korelasi positif) proses pembekuan tafsir al-Quran tersebut yang tercermin dari berbagai tumpukan literatur, dengan proses penetapan al-Qur’an secara tertulis dan dengan perubahan dari wacana kenabian menjadi wacana pengajaran, sebagaimana disinggung di atas. Pendirian Arkoun ini bukannya melenggang tanpa kritik. Van Koningsveld, dalam kritiknya terhadap Arkoun, mengatakan bahwa Arkoun melebih-lebihkan pentingnya pencatatan teks Qur’an secara tertulis sebagai faktor pembakuan penafsirannya. [30]

Merujuk pada Hjemselv, bahwa pendekatan semiotis yang memandang suatu teks sebagai keseluruhan dan sebagai sesuatu sistem dari hubungan-hubungan interen, dan mendekati suatu teks tanpa interpretasi tertentu sebelumnya atau praanggapan lain, tampaknya Arkoun melihat Al-Qur’an sebagai suatu keseluruhan teks yang terkait secara koheren dan utuh satu sama lain. Karena itu juga, Arkoun ingin memandang Al-Qur’an sebagaimana Al-Qur’an itu sendiri berbicara dan memandang dirinya sendiri.[31]

Dari semua proses historis di atas, Arkoun tampaknya ingin menegaskan bahwa telah terjadi pemiskinan kemungkinan untuk memahami wahyu dari segala dimensinya. Firman kenabian (prophetique) di reduksi menjadi firman yang berorientasi pada pengajaran (professoral), yakni berorientasi pada abstraksi tanpa memperhitungkan secara serius pihak yang mula-mula dituju oleh firman itu. Dalam ungkapan bahasa semiotika, teks Qur’an sebagai parole di desak oleh teks langue.[32] Mengenai langue bahasa arab sebagai lokus turunnya Al-Qur’an ini, Arkoun mengatakan:

Pada kenyataannya, wacana Qur’an adalah suatu orkestrasi musikal sekaligus simantis dari anggitan-anggitan kunci yang ditimba dari kosa kata arab biasa yang telah mengalami transformasi radikal selama berabad-abad.

Di atas segalanya, Arkoun berpendapat bahwa meskipun Qur’an sekarang lebih berfungsi sebagai teks tertulis, Qur’an kini tetap merupakan parole bagi para mukmin.

Adapun tujuan membaca al-Qur’an (qira’at) bagi Arkoun adalah untuk mengerti (comprendre) komunikasi kenabian yang disampaikan lewat teks tertulis. Dengan kata lain, qira’at dimaksudkan untuk melakukan semacam “napak tilas” proses pengujaran (enonciation) Al-Qur’an dari berbagai segi dan dimensinya, sebagaimana waktu pertama kali di ungkapkan dalam suasana semiologis yang masih kaya dan segar. Artinya, tujuan qira’at bukan semata-mata untuk mengerti teks, melainkan untuk mendapatkan teks. Secara metodologis, “napak tilas” ini sebenarnya tidak mungkin karena proses pengujaran hanya terjadi satu kali, unik, dan karenanya tak akan pernah terulang lagi. Yang paling mungkin dilakukan hanyalah menjulurkan tangan secara asimtotis[33] kepada suatu pendekatan yang makin lama makin akrab dengan wacana itu, dengan cara mengembalikan (dengan segala keterbatasannya) teks Qur’an sebagai langue menjadi parole bagi orang-orang yang hidup pada zaman sekarang ini.

Bagi Arkoun, Qira’at juga dimaksudkan untuk memproduksi makna-makna yang berada di balik teks harfiah, dengan cara mengungkap struktur bahasa mitis Al-Qur’an dan melepaskannya dari jebakan bahasa logis dan logosentris.

Tampaknya, bagi Arkoun, qira’at juga berarti menangkap pesan universal dan asas paling primordial yang berada di balik semua Al-Kitab (selauruh kitab suci yang diturunkan Allah kepada umat manusia lewat perantaraan para rasul-Nya), dengan melakukan semacam ziarah spiritual vertikal melalui gerak-balik menaiki tangga gerakan linear tanzil Al-Qur’an yang dikemukakannya, sampai pada Sabda atau Kalam Allah yang tak terhingga, guna mendamaikan perang teologis yang terjadi di antara masyarakat kitab. Karena itu, Arkoun menginginkan tafsirnya mampu mengatasi masalah ketegangan klaim teologis ini:

Keinginan kami adalah membuat mungkin suatu penanganan yang solider terhadap kitab-kitab suci oleh orang-orang “ahlu kitab” Untuk itu kami mengajak pembaca untuk membaca Al-Qur’an menurut aturan-aturan suatu metode yang dapat diterapkan kepada semua teks doktrinal besar.[34]

D. Cara Membaca Al-Qur’an Mohammed Arkoun

Aturan-aturan metode Arkoun yang hendak diterapkannya kepada Al-Quran (termasuk kitab suci yang lainnya) terdiri dari dua kerangka raksasa:

1. mengangkat makna dari apa yang dapat disebut dengan sacra doctrina dalam Islam dengan menundukkan teks al-Qur’an dan semua teks yang sepanjang sejarah pemikiran Islam telah berusaha menjelaskannya (tafsir dan semua litaeratur yang ada kaitannya dengan Al-Qur’an baik langsung maupun tidak), kepada suatu ujian kritis yang tepat untuk menghilangkan kerancuan-kerancuan, untuk memperlihatkan dengan jelas kesalahan-kesalahan, penyimpangan-penyimpangan dan ketakcukupan-ketakcukupan, dan untuk mengarah kepada pelajaran-pelajaran yang selalu berlaku;

2. Menetapkan suatu kriteriologi [35]yang didalamnya akan dianalisis motif-motif yang dapat dikemukakan oleh kecerdasan masa kini, baik untuk menolak maupun untuk mempertahankan konsepsi-konsepsi yang dipelajari.

Dalam mengangkat makna dari Al-Qur’an, hal yang paling pertama dijauhi oleh Arkoun adalah pretensi untuk menetapkan “makna sebenarnya dari Al-Qur’an. Sebab, Arkoun tidak ingin membakukan makna Al-Qur’an dengan cara tertentu, kecuali menghadirkan—sebisa mungkin—aneka ragam maknanya. Untuk itu, pembacaan mencakup tiga saat (moment):

1. suatu saat linguistis yang memungkinkan kita untuk menemukan keteraturan dasar di bawah keteraturan yang tampak.

2. Suatu saat antropologi, mengenali dalam Al-Qur’an bahasanya yang bersusunan mitis.

3. Suatu saat historis yang di dalamnya akan akan ditetapkan jangkauan dan batas-batas tafsir logiko-leksikografis dan tafsir-tafsir imajinatif yang sampai hari ini dicoba oleh kaum muslim.[36]

1. Moment Linguistis Kritis

Pembacaan linguistik dimulai dengan pengumpulan data-data linguistis dari Al-Qur’an sebagaimana tertulis. Dalam tahap ini, misalnya, Arkoun memeriksa tanda-tanda bahasa (modalisateur du dicours). Karena “kanon resmi tertutup” ditulis dalam bahasa arab, maka tanda-tanda bahasa yang harus diperhatikan adalah tanda-tanda (bahasa) bahasa arab. Menurut Arkoun, semakin kita menegaskan modalisateur du discours, kita semakin memahami maksud (intention) dari locuteur (qo’il atau penutur).

Untuk memasuki proses pengujaran, di antara unsur-unsur linguistik yang diperiksa biasanya adalah determinan (ism ma’rifah), kata ganti orang (pronomina, dlomir), kata kerja (fi’il), sistem kata benda (ism dan musamma), struktur sintaksis dan lain-lain. Pemeriksaan terhadap unsur-unsur linguistis ini dimaksudkan untuk menganalisis aktan-aktan (actants), yaitu pelaku yang melakukan tindakan yang berada dalam teks atau narasi. Dengan kategori aktan, ujaran (Perancis enonce/Inggris utterance) dipandang sebagai suatu hubungan antara berbagai aktan yang membentuknya. Atau,dalam kaca mata linguistik, ujaran mau tidak mau harus dilihat dari dari kategori hubungan antar aktan. Dilihat dari kategori ini, ada tiga poros hubungan antar-aktan. Poros Pertama dan yang terpenting adalah poros subyek-obyek di mana orang dapat memeriksa “siapa” melakukan “apa”. Poros kedua adalah poros pengirim-penerima yang menjawab persoalan siapa melakukan dan untuk siapa dilakukan. Sedengkan poros ketiga dimaksudkan untuk mecari aktan yang mendukung dan menentang subyek, yang berada dalam poros “pendukung-penerima”. Ketiga pasangan aktan ini dapat membantu pembaca untuk mengidentifikasi aktan dan kedudukannya. Aktan tidak selalu harus berupa orang atau pribadi, tapi juga bisa berupa nilai. [37]

Dengan kategori poros aktan pengirim-penerima, misalnya, Arkoun mengatakan bahwa Allah adalah aktan pengirim-penerima; manusia sebagai pengujar adalah aktan penerima-pengirim. Dalam kebanyakan surat Al-Qur’an, Allah adalah aktan pengirim (destinateur) pesan, sementara manusia adalah aktan penerima (destinaire) pesan. Akan tetapi hal sebaliknya juga bisa berlaku: manusia juga menjadi “pengirim” dan Allah menjadi “penerima”. Analisis aktansial ini tidak saja diterapkan pada tingkat sintaksis tapi juga terhadap seluruh teks sebagai suatu kesatuan atau seluruh narasi.

Hasil dari kritik linguistik di atas sebenarnya sudah banyak dipikirkan oleh para mufassir klasik. Mereka mementingkan—dan sudah terbiasa dengan analisis sintaksis. Tetapi bagi Arkoun lebih dari itu: pentingnya analisis linguistis kritis ini terletak pada kemungkinan “mengungkapkan tatanan yang mendalam” yang berada di balik penampakan teks yang seolah-olah tidak teratur.

2. Moment Antropologis: Analisis Mitis

Professor linguistik dari Swis, J. Starobinski, mengartikan hubungan kritis sebagai “a transcoding, a free transcription of various data presented in the ‘interior’ of the ‘text’”. Keberhasilan suatu kritik teks bukan terletak pada kemampuannya untuk mengupas. Keberhasilannya harus diarahkan kepada hubungan-hubungan yang ada pada teks yang tidak lain adalah “the driving force behind the text”

Asumsi Starobinski ini terutama berlaku bagi penafsiran teks-teks keagamaan. Karena analisis linguistis memberikan kesan yang determisnistis dan tidak mempunyai piranti khusus bagi teks keagamaan. Arkoun telah berusaha melampaui keterbatasan linguistik tersebut. Dalam hal ini, Starobinski telah memberikan andil besar dalam usaha Arkoun untuk memberikan pertanggungjawaban metodologis. Arkoun meninggalkan aras kritis dan analitis menuju aras relasional. Pada aras ini, qira’at diarahbidikkan kepada signifie dernier, petanda terakhir. Dalam rangka mencari petanda terakhir inilah Arkoun beranjak pada tahap (moment) antropologis di mana ia memakai analisis mitis. Bila pada tahap linguistis-kritis data linguistis pertama-tama dianggap sebagai “kata sebagai tanda” (mot-signe), maka pada tahap antropologis data linguistik kemudian dianggap sebagai “kata sebagai simbol” (mot-symbole). [38]

Menurut Arkoun, semua ciri yang telah dikenal sebagai gaya bahasa mitis dalam Alkitab dan Perjanjian Baru terdapat juga dalam Al-Qur’an. Gaya bahasa Al-Qur’an itu adalah:

1. benar, karena gaya bahasa itu efektif mengenai kesadaran manusia yang belum digalakkan oleh gaya bahasa mitis lain yang membuka berbagai perspektif yang sebanding;

2. efektif, karena gaya bahasa itu menghubungkan dengan waktu purba penciptaan dan karena gaya itu sendiri memulai suatu waktu yang istimewa: waktu pewahyuan, kenabian Muhammad dan para sahabat yang solih (as-salaf as-solih);

3. sepontan, karena gaya bahasa itu merupakan pancaran terus menerus dari kepastian-kepastian yang tidak bersandarkan pada pembuktian, melainkan pada keseuaian yang mendasar dengan semangat-semangat yang permanen dalam kepekaan manusia;

4. simbolis, bisa dilihat dari simbol surga sebagai “surga tuhan yang penuh dengan bidadari-bidadari yang merangsang birahi dan di situ mengalir sungai-sungai anggur dan madu.

Dengan suatu bangunan simbolis luas di atas, Al-Qur’an membanjiri hati nurani manusia. Hingga hari ini bangunan simbolis luas itu tak henti-hentinya memberikan ilham kepada orang-orang beriman untuk berpikir dan bertindak. Dalam Al-Qur’an unsur-unsur bangunan simbolis itu adalah: a) “simbolisme kesadaran akan kesalahan” yang oleh refleksi teologi, yuridis dan moral akan disederhanakan dalam peraturan formal dan kaku; b) “simbolisme cakrawala eskatologis” yang menugasi sejarah dengan satu makna, yakni pengarahan dan pemaknaan. Orang-orang masuk Islam, dengan demikian, mendapatkan dirinya termasuk dalam Sejarah Sakral dari umat Tuhan; sebagai agen-agen ungkapan terakhir Kehendak Sakral—Muhammad telah menutup dengan pasti rangkaian para Rasul—mereka menjadi umat terpilih yang mesti menunjukkan cakrawala keselamatan kepada orang-orang lain; c)”simbolisme umat” yang menerjemahkan apa yang telah lalu dan menerima proyeksi sejarah konkret di Madinah pada tahun 1H/622 M.;d)”simbolisme hidup dan mati”.

Simbolisme-simbolisme yang berbeda-beda di atas ini saling mengisi,saling memperkuat untuk membangun suatu visi dari dunia yang benar, yakni suatu visi fungsional yang disesuaikan secara sempurna dengan pencarian keselamatan kita. Untuk sekadar mengambil contoh, simbolisme menyangkut kesadaran akan kejahatan tampak misalnya pada surat Al-Fatihah dalam ungkapan iyyaka na’budu..., sirat mustaqim, magdlubi alaihim, dlaallin dan lain-lain. Maka, dalam Islam khususnya, visi imajinatif transhistoris akan mengalahkan visi metavisis yang merasionalkan.[39]

Analisis simbolis ini memungkinkan bahasa keagamaan dapat menjadi bahasa performatif atau bahasa yang mempunyai kekuatan kreatif (force effectuante). Ciri performatif ini, yang memang merupakan ciri yang paling mencolok dalam bahasa keagamaan, juga berlaku pada Al-Qur’an. Baginya, “wacana” performatif” adalah “parole yang ‘mengatakan’ apa yang saya buat dan pada waktu yang bersamaan merupakan parole yang membuat saya menyempurnakan atau menyelesaikan tindakan saya”. Dengan demikian, wacana performatif bukanlah wacana tentang “tindakan”, melainkan wacana yang diucapkan bersamaan dengan dilakukannya “tindakan”. Segi performatif inilah yang memungkin Al-Qur’an menjadi parole bagi siapa saja yang mengujarkannya sebagaimana ia dulu menjadi parole nabi Muhammad SAW. Ketika kita membaca “ar rahman ar rahim, misalnya, kita tidak hanya mengatakan-- atau membuat konstatasi tentang--suatu tindakan, melainkan juga sedang menciptakan tindakan, entah itu pengharapan (mohon pengampunan dari ar rahman ar rahim), pengakuan, penyerahan diri, permintaan kepada-Nya dan seterusnya.[40]

BAGAN METODOLOGI QIRA’AT ARKOUN


.

Kesadaran Agama Moderat

Oleh Muhamad Ali

PERNYATAAN cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid (Cak Nur), kita, umat beragama, wajib meningkatkan kesadaran bahwa agama sama sekali tidak terkait terorisme untuk mengatasi kesimpangsiuran pengertian dan pemahaman di kalangan masyarakat nasional dan internasional selama ini (Kompas online, 30/10) patut disahuti pemerintah dan masyarakat Indonesia.

"Terorisme dengan terorisnya adalah teror dan itu kejahatan atas kemanusiaan, sementara agama adalah agama; yang keduanya secara idiil bertolak belakang. Pengertian itu harus betul-betul dipahami dulu guna mencegah ekses negatif yang sebetulnya bisa dihindarkan," kata Cak Nur kepada pers, di Kampus Universitas Paramadina, Jakarta, Rabu (30/10).

Pascatragedi 11 September 2001, dalam masyarakat "Barat", paling tidak ada kelompok besar.

Pertama, mereka yang selalu mengaitkan setiap peristiwa teror (Bali, Manado, Filipina) dengan agama Islam, termasuk penembakan gelap snipers yang baru-baru ini memakan korban belasan siswa sekolah di negara bagian Maryland, Amerika Serikat (AS). Agaknya, sebab paling nyata dari kesimpangsiuran dan stigmatisasi semacam itu adalah trauma sejarah yang luar biasa pasca-11 September. Bagi kelompok ini, agamalah penyebab terorisme. Bahkan, ada di antara mereka yang pindah agama, atau anti-agama sama sekali.

Kelompok kedua lebih berpikir jernih dan arif. Mereka berpendapat, teror bisa terjadi di mana-mana dan bisa dilakukan siapa saja. Mereka bahkan mulai tertarik untuk mengetahui apa itu agama. Gejala semaraknya kajian-kajian agama di Barat pasca-11 September menunjukkan hal ini.

Proposal dialog antaragama dan peradaban semakin mendapat tempat di kalangan ini. Di antara kelompok ini, ada yang amat kritis terhadap kebijakan Pemerintah AS sendiri, termasuk mereka yang menciptakan opini dan berdemonstrasi antiserangan AS ke Irak, yang belakangan ini semarak di beberapa negara Barat.

Bagi kita, pemerintah dan umat beragama di Indonesia, kesadaran yang baik bahwa agama secara ideal tidak terkait dengan terorisme, telah ada sejak lama dan patut dipuji. Banyak pemimpin dan masyarakat umat beragama mengambil pelajaran dari sejarah teror bahwa tindakan terorisme tidak dilakukan oleh siapa pun yang ingin beragama secara baik. Bahkan telah ada saling mengingatkan antarsesama pemeluk agama dan mencegah saudara-saudaranya agar tidak terjebak ikut-ikutan dalam konspirasi terorisme itu.

SETIAP aksi perusakan, apalagi bila dilakukan dengan mengatasnamakan ideologi keagamaan, diyakini amat membahayakan dan karena itu tidak bisa ditolerir siapa pun. Meski sering sulit ditemukan faktor-faktor penyebab teror, tampaknya bisa dilihat suatu pola umum bahwa teror dengan skala besar dilakukan untuk menarik perhatian atau mengalihkan perhatian dari sesuatu, menumbuhkan sentimen permusuhan antarumat beragama dan kelompok, dan mengakibatkan situasi kacau di dalam negeri dan dunia.

Hampir selalu ada campur baur variabel yang terlibat langsung maupun tidak langsung: kepentingan politik, kesenjangan ekonomi, kebanggaan kelompok, dan bisa jadi dipupuk sentimen keagamaan. Karena itu, upaya antisipatif dan strategis untuk mencegah tindak kekerasan di masa depan harus menjadi perhatian pemerintah, pemimpin, dan umat beragama.

Dalam kenyataan sejarah, agama bisa saja dijadikan alat pembenar terorisme. Ketika penghayatan agama seseorang atau kelompok tertentu rentan, sementara ada faktor lain-politik atau ekonomi-yang begitu "kuat" dan sering "akumulatif", maka keberagamaan pada saat itu "terkalahkan" oleh faktor-faktor yang lebih kuat, sehingga yang muncul kemudian adalah nafsu pemaksaan dan kekerasan.

Kita melihat kekerasan dalam sejarah agama. Kisah pembunuhan Qabil atas Habil akibat kecemburuan dan kedengkian, memperlihatkan bahwa sejak dulu manusia berpotensi melakukan kekerasan. Begitu pula, seperti digambarkan kitab suci, saat Tuhan menyatakan maksud menciptakan manusia sebagai penguasa bumi, para malaikat serta-merta berteriak, "Apakah Engkau akan menciptakan manusia yang suka merusak dan menumpahkan darah." (Surat Al Baqarah: 30).

Lihat misalnya kejadian pembunuhan terhadap tiga dari empat Khulafa al-Rasyidin pasca-Nabi Muhammad, yang dilakukan kalangan ekstremis dan fanatis.

Jadi ada pengalaman, ekstremitas paham atau gerakan cenderung membawa fanatisme, kekerasan, bahkan terorisme. Pada kelompok-kelompok ekstrim, pemahaman teologis yang parsial dan ekstrem mendorong tindak kekerasan guna mencapai tujuan yang dianggap benar.

Agama dianggap melegitimasi tindakan kekerasan untuk mencegah kekerasan yang lebih besar dan lebih berkepanjangan. Kelompok ekstrem berkeyakinan, kekerasan harus dilakukan demi mencapai kondisi ideal menurut ideologi mereka sendiri.

Oleh karena itu, umat beragama perlu meyakini, meski pada dasarnya tujuan akhir dari semua agama atau ideologi adalah meringankan kesengsaraan manusia, namun penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan mulia itu sama sekali tidak dapat dibenarkan, seperti dikatakan Albert Camus (Perancis) dan Sir Karl Popper (Inggris). Umat beragama perlu meyakini, agama tidak membenarkan dirty hands, untuk mencapai tujuan apa pun.

Perlu terus ditegaskan, secara moral dan teologis, konsep nonkekerasan atau perdamaian yang ada dalam semua agama adalah begitu mulia dan harus menjadi norma utama agama-agama.

Memang dalam situasi krisis, kelompok agama bisa mudah berpikir emosional dan gegabah. Klaim berlebihan tentang kebenaran absolut kelompok keagamaan yang dipeluknya, dan klaim kesesatan absolut kelompok-kelompok agama lain, bisa memunculkan sentimen permusuhan antarumat beragama dan antarkelompok. Penganjur-penganjur agama yang memiliki corak pemahaman teologis demikian dapat dengan mudah terbawa dan akhirnya memicu konflik dan kekerasan pada tingkat pengikut (followers) ataupun massa (grass roots). Pemahaman teologis yang mutlak-mutlakan dan fanatik secara berlebihan dapat saja berbahaya, terutama pada kondisi krisis.

Keberagamaan yang mampu menolak terorisme selalu berawal dari sikap keberagamaan yang moderat. Bagi kalangan moderat, perdamaian antarkelompok manusia memang rumit dan kompleks, tapi bukan sesuatu yang mustahil dicapai. Meski manusia sering dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit, pilihan moderat (wasathan) akan menjamin kearifan berpikir dan bertindak. Selain upaya solusi kasus per kasus dengan menganalisis sebab-sebab spesifik, upaya keagamaan, spiritual, dan kebudayaan harus terus mendapat tempat dalam program-program pendidikan dan pemberdayaan masyarakat.

Kalangan moderat berupaya mengembangkan penafsiran teks-teks keagamaan dan pemahaman keagamaan yang integral dan kontekstual dengan bahasa agama yang damai, santun, dan bijaksana. Salah satunya, orientasi keberagamaan moderat tidak berhenti sampai pada to have a religion, tapi lebih penting dari itu, to be religious.

Lebih dari itu, kalangan moderat meyakini bahwa perbaikan dalam semua bidang kehidupan manusia sangat diperlukan untuk terciptanya hidup aman dan damai. Selain pendidikan agama yang tepat, kalangan moderat sangat memahami pentingnya penegakan hukum, untuk meningkatkan kepercayaan terhadap institusi hukum itu sendiri, seraya dalam waktu bersamaan menciptakan law and order, serta terhadap pentingnya pembangunan ekonomi yang berkeadilan untuk mencegah rasa lapar berubah menjadi rasa benci.

Muhamad Ali, Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Milenium Ke-tiga dan Tantangan Agama-agama

Olaf Schumann



Judul yang diberikan kepada saya untuk ceramah ini mengandung beberapa masalah yang perlu dijelaskan lebih dahulu. Persoalan yang pertama adalah makna yang terkandung dalam istilah "milenium". Secara harfiyah artinya ialah "periode seribu tahun".

Pemahaman tentang sebuah "periode seribu tahun", yakni milenium, dalam tradisi Kristiani diambil dari Kitab Wahyu Pasal 20, di mana Kerajaan Seribu Tahun dilukiskan sebagai suatu periode di mana Iblis sedang ditahan. Setelah periode itu akan dimulai suatu periode baru yang, meskipun pendek, akan melihat Iblis itu bebas lagi sehingga periode itu menjadi penuh penderitaan dan percobaan, yang akan diakhiri dengan penghakiman atas manusia. Kedatangan periode itu sebenarnya telah dipercaya datang pada peralihan milenium pertama ke milenium yang ke-dua, seribu tahun yang lalu. Karena tidak terjadi, maka Joachim dari Fiore menyelang berakhirnya abad pertengahan menyusun semacam uraian dan sejarah Kerajaan milenium itu yang sangat berpengaruh di kemudian waktu, meskipun para reformator mengatakan bahwa sebenarnya peralihan zaman dan penghakiman tak perlu ditunggu pada suatu zaman tertentu karena sebenarnya ia terjadi senantiasa. Namun ada gerakan-gerakan ataupun sekte-sekte yang berulang kali berusaha kembali mengembangkan suatu penjadwalan pada kedatangan berakhirnya kerajaan seribu tahun itu, dan khususnya di masa-masa kekacauan maka ramalan tentang dibebaskannya Iblis untuk masa yang pendek yang digunakannya untuk membawa penderitaan dahsyat terhadap manusia dianggap telah dipenuhi. Tidak mengherankan bahwa peralihan dari milenium ke-dua ke milenium ke-tiga menurut perhitungan waktu kristiani mengundang lagi spekulasi-spekulasi tentang tanda-tanda zaman, yaitu apakah mereka sudah memperlihatkan tanda-tanda sebagaimana ia dilukiskan dalam Kitab Wahyu. Bagi banyak orang, ketegangan-ketegangan sosial yang semakin memuncak diidentikkan dengan tanda-tanda itu.

Periode ke-tiga seribu tahun yang akan dimulai empat tahun mendatang memang mengikuti perhitungan kristiani, jadi periode ke-tiga seribu tahun setelah lahirnya Almasih. Bagi orang Islam yang mengikuti penanggalan menurut tahun Hijriah maka kita baru berada di abad yang ke-15, sedangkan bagi umat Budhis adalah abad 25 setelah Sang Budha. Jadi perlu dipertanyakan apakah kita membatasi pembicaraan kita hanya pada umat kristiani jika "milenium ke-tiga" menjadi pokok pembicaraan, ataukah seluruh umat manusia akan mengalami suatu perubahan yang sangat besar dalam waktu beberapa tahun yang akan datang sehingga lepas dari angka tahunan yang kita gunakan, periode yang kita hadapi akan membawa umat manusia ke dalam suatu periode yang baru dalam perjalanan sejarahnya.

Saya sendiri yakin bahwa memang dalam waktu yang dekat umat manusia akan mengalami suatu perubahan yang sangat berarti dalam kehidupannya. Sehingga dapat dibenarkan bahwa suatu periode atau era yang sangat baru sedang disongsong kehadirannya dalam waktu yang dekat. Dalam bidang ilmu pengetahuan manipulasi kadar genetik yang terkandung dalam semua makhluk akan membuka pengertian yang baru tentang sakral tidaknya hukum hidup sebagaimana ia tertuang dalam ciptaan. Jika manusia menggunakan pengetahuannya tentang rahasia hukum-hukum yang tersembunyi dalam semua makhluk dan dapat mengubahnya sesuai dengan kemauannya, maka pemahaman dan sikap terhadap ciptaan ini akan berubah secara fundamental. Yang sampai sekarang dipandang sakral, yakni sepenuhnya berada di luar kemampuan manusia untuk campur tangan dan memanipulasikannya, akan juga diletakkan di bawah kekuasaan manusia. Jika kita melihat bagaimana manusia sudah memperlakukan semua yang telah ia kuasai sesuai dengan kemauannya dan hawa nafsuya sendiri, maka betapa mengerikan bayangan masa depan itu. Apa yang akan menjadi ukuran bagi manusia ketika ia mulai mempengaruhi kejadian makhluk-makhluk sebelum mereka lahir dengan cara yang kemudian akan menentukan sifat, bentuk dan kemampuannya? Siapa manusia itu sendiri yang memberanikan diri untuk campur tangan dalam ciptaan? Belum lama pernah di televisi Jerman diperlihatkan seekor tikus yang diubah kadar genetiknya sedemikian rupa sehingga pada punggungnya tumbuh sebuah telinga sebesar telinga manusia. Apa guna permainan itu? Contoh ini memperlihatkan bahwa penghormatan terhadap sesuatu makhluk sudah hilang. Dan ini baru permulaannya. Bagaimana perkembangan selanjutnya?

Ini hanya sebuah contoh dari ilmu pengetahuan yang telah mulai berkembang dan akan terus berkembang. Pertanyaannya adalah ke arah manakah?

Tetapi dalam perkembangan sosial umat manusia mungkin pula akan terjadi perubahan-perubahan yang dahsyat yang akan mengubah pemahaman tentang diri manusia. Sesudah perang dunia ke-dua dan dihancurkannya regim totaliter Nazis di Jerman dan fascis di Italia, dunia yang terpelajar dan intelektual dikejutkan dengan buku "1984" karya George Orwell. Ia menggariskan suatu masyarakat masa depan yang secara total dikontrol dan digerakkan oleh "Saudara Besar" yang tidak kelihatan, tetapi yang melihat segala yang terjadi melalui suatu sistem pengontrolan yang menyeluruh yang tidak memberikan tempat lagi bagi kehidupan pribadi dan intim. Memang tahun 1984 telah lewat, dan sistem-sistem politis-ideologis yang totaliter yang hidup waktu itu, telah siap untuk runtuh, seperti beberapa regim di Amerika Selatan dan negara-negara komunis. Namun sementara ini, berkat perkembangan ilmu elektronik yang pesat telah ditemukan alat-alat yang lebih dahsyat dan sempurna untuk mengontrol manusia seperti yang telah dibayangkan oleh George Orwell. Dan cukup jelas diketahui bahwa di banyak negara di dunia ini alat-alat elektronis telah digunakan oleh sementara pemerintah dan regim-regim yang berkuasa untuk memonitori rakyatnya. Bukan alat-alat itu sendiri yang mengerikan, akan tetetapi penggunaannya oleh manusia yang tak bertanggung jawab dan haus akan kekuasaan. Timbul pertanyaan apakah memang demikian bentuk masyarakat dan manusia di masa depan, di mana dalam kerja sama antara manipulasi kadar genetik dan industri elektronik akan diciptakan suatu sistem kekuasaan, di mana semua nilai-nilai budaya, filsafat dan agama akan ditinggalkan dan diganti dengan filsafat yang baru yang mengukur manusia hanya menurut kegunaannya untuk hal-hal tertentu saja yang ditetapkan oleh yang berkuasa.

Memang diharapkan bahwa skenario semacam yang dilukiskan di atas akan tetap berupa bayangan saja. Namun melihat perkembangan di beberapa pelosok di bumi ini ada kekhawatiran juga bahwa skenario itu dapat juga menjadi kenyataan. Jika itu terjadi, maka benar suatu era yang baru akan mulai yang sebelumnya belum dialami oleh umat manusia, dan seyogianya era itu pun tidak disebut "modern" melainkan "pascamodern" atau entah bagaimana. Dalam hal ini perlu tetap diingat apa yang - menurut definisi umum - merupakan ciri khas "modernitas" ini, yakni usaha membawa manusia dari keadaan di mana ia diperbudak atau dengan cara lain dinafikan haknya untuk hidup secara berbahagia dan terhormat ke martabat yang sesuai dengan martabatnya sebagai manusia. Jadi emansipasi dan partisipasi manusia adalah tanda mengenal kemodernan, kesempatan bagi manusia untuk hidup sesuai dengan martabatnya di mana ia sepenuhnya berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam skenario yang dilukiskan di atas, penemuan zaman modern itu akan dihapuskan kembali. Oleh karena itu tidak layak zaman itu disebut "modern" meskipun ia kaya dengan peralatan mutakhir yang dihasilkan oleh teknik dan ilmu pengetahuan yang dianggap maju. "Modernitas" tidak diukur dengan perkembangan teknik dan ilmu melainkan menurut posisi manusia di dalam masyarakatnya.

Cukuplah barangkali mengemukakan beberapa catatan umum ini untuk mengatakan bahwa umat manusia dalam keseluruhannya dalam waktu yang dekat akan mengalami suatu perubahan yang sangat berarti bagi kehidupannya. Kebetulan umat Kristen dapat mengaitkannya dengan bermulanya milenium baru, dan umat-umat yang lain terserah bagaimana mereka hendak menamakan periode yang baru ini.

Setelah ditunjuk pada beberapa masalah yang muncul ketika istilah "milenium" dipakai, maka tinggal meninjau sisa judul yang diberikan kepada ceramah ini. "Tantangan Agama-agama" dapat dipahami dengan dua cara: entah agama-agama yang menghadapi dan akan menghadapi tantangan-tantangan itu, atau agama-agama sendiri merupakan tantangan-tantangan yang dirasakan oleh pihak yang menganggap diri ditantang oleh agama-agama. Dalam kedua hal itu agama-agama dianggap sebagai sesuatu yang cukup penting untuk diperhatikan, meskipun tentu dari sudut yang berbeda.

Sebelum kita mencoba memperdalam dua segi pandangan itu ingin saya terlebih dahulu mengemukakan dan merenungkan suatu pertanyaan yang lain. Judul kita memberikan kesan seolah-olah agama-agama tetap akan berada dan turut menentukan masa depan umat manusia serta nilai-nilai sosial maupun individual dan spiritualitas sebagaimana mereka pernah menentukannya dalam masa yang lampau. Saya ingin bertanya: atas dasar manakah sanggahan atau mungkin juga pengharapan ini berdiri?

Beberapa ideologi yang tetap berkuasa, entah secara terbuka atau secara terselubung bukan saja pernah memproklamirkan kematian Tuhan Allah, tetapi mereka juga menyerukan manusia agar ia mengurus cara dan lingkup hidupnya sesuai dengan keinginan-keinginan manusia, atau paling sedikit sesuai dengan angan-angan mereka yang berkuasa atas manusia. Dengan demikian manusia menjadi ukuran segala-galanya. Tetapi bukan dalam arti sang filosof Yunani yang pertama kali mengucapkan perkataan ini, melainkan dalam suatu arti bahwa semua yang ada di luar manusia, atau apapun yang disebutkan sebagai di luar dari yang manusiawi, kehilangan martabat dan harga. Dengan demikian manusia menjadi penindas (tyrant) utama di dunia ini, dan untuk melanjutkan penindasan ini maka Tuhan Allah perlu dinyatakan tiada. Sebab andaikata Ia berada, maka manusia mungkin perlu di satu ketika melihat keterbatasan dan merenungkan tanggung jawabnya.

Ideologi yang menyatakan ketiadaan, atau kematian Allah memang tidak hanya terdapat di kalangan komunis, melainkan juga nampak dalam tenaga yang serba kuat para pemuja modal, monopoli ekonomi, penentu tafsiran (atau manipulasi) hukum yang diberlakukan dan seterusnya, yang turut juga menyatakan ketiadaan Tuhan di alam ini ketika cita-cita yang hadir dari hawa nafsu mereka menjadi daya yang mereka pertuhankan.

Di sini kita menyaksikan pengusiran Allah dan agama dari tengah-tengah kehidupan manusia, entah dengan perantaraan suatu ideologi atau dalam praktik kehidupan. Bahwa Allah kadang kala masih dipuja juga dengan mulut tidak dapat menutup kenyataan bahwa ia sebenarnya sudah diganti dengan dewa lain berupa buatan, atau khayalan manusia.

Pengusiran Allah oleh manusia yang kuat langsung berakibat ke golongan manusia yang lemah. Di masa lampau manusia itu dapat mencari hiburan rohani di aliran-aliran agama yang lebih bersifat mistis atau kharismatis - dan dalam aliran ini sebenarnya teologi dan kerohanian (spirituality) pembebasan harus digolongkan pula. Mistik atau kerohanian itu dapat memberikan motivasi hidup baru yang berarti bagi mereka. Namun jalan keluar dari ketegangan dan tekanan ini akhir-akhir inipun rasanya ditutup karena aliran kharismatik yang bermunculan sekarang sudah dikuasai pula oleh mereka-mereka yang berada yang, di satu pihak, semakin berkiblat pada sukses ekonomis dan di lain pihak mencari "keseimbangan rohani" dalam gerakan karismatik itu. Mereka, tentu, tidak berminat untuk memperbaiki kehidupan manusia yang lemah kedudukannya dalam masyarakat atau dalam ekonomi, sehingga dari mereka itu tak dapat pula diharapkan kesadaran tanggung jawab sosial atau solidaritas terhadap golongan yang di bawah. Mereka justru maju karena tekanan yang dilakukan terhadap yang lemah. Jadi yang lemah itu tak bisa lari lagi ke aliran karismatik seperti dulu, jalan ini sudah tertutup pula, dan aliran karismatik kehilangan daya reformatoris atau spiritual itu yang dulu menjadi ciri khas dari aliran mistik atau karismatik itu.

Dengan demikian golongan bawah dan lemah menghadapi dilema. Jika tingkat pendidikan masyarakat sekitar mereka mengizinkan, mereka didorong untuk secara terbuka mengatur kehidupannya tanpa Allah karena agama dipandang dimiliki dan dikuasai oleh mereka yang berada. Jika situasi masyarakat tidak mengizinkan maka mereka terpaksa menyelubungi kenyataan dan menjadi munafik seperti para ateis yang terselubung di kalangan yang berada dan berkuasa yang secara lahir memperlihatkan ketakwaan dan keikutsertaan dalam ritus-ritus keagamaan, namun sebenarnya mereka hidup tanpa Allah dan tanpa agama yang dapat menjadi bimbingan yang hakiki bagi mereka. Ritus-ritus keagamaan bagi mereka sebenarnya hanya merupakan sandiwara, sebab sebenarnya mereka pun mengatur kehidupannya tanpa Allah, atau selaku ateis praktis. Hanya ada perbedaan teoretis, atau khayalan, antara mereka. Sebenarnya mereka berdua ateis. Hanya mereka yang ateis secara terbuka boleh dipandang lebih jujur ketimbang yang ateis yang terselubung atau ateis praktis yang tidak mau mengakui diri sebagai ateis dan olehnya menjadi munafik. Namun manusia yang lemah tetap menjadi korban dari dua-duanya: Baik tuan-tuan yang memegang ideologi komunis maupun mereka yang memegang ekonomi atau ideologi kapitalis menindasnya. Dengan demikian dua-duanya (baik yang memegang ideologi komunis maupun yang memegang kekuasaan ekonomi/kapitalis) tidak dipercayai. Karena itu banyak rakyat kecil lari ke kelompok-kelompok agama yang informal.

Akhir-akhir ini kita menyaksikan bahwa agama-agama, atau paling sedikit sementara pemuka agama, menyatakan runtuhnya sistem ateis-komunis sebagai kemenangan politis dan sosial mereka yang menghargai pemikiran keagamaan. Dan diharapkan agar masa yang lebih cerah akan lekas dapat dialami, dengan ditingkatkan peran agama yang selalu menuntut penghargaan dan implementasi ajarannya, secara khusus ajaran yang menyangkut penghormatan terhadap manusia dan martabatnya.

Namun harapan ini sering mengecewakan, seperti di Indonesia setelah gagalnya G-30-S PKI. Ketika sila pertama Pancasila semakin ditingkatkan, maka persamaan waktu nilai-nilai agama yang tertuang dalam sila ke-lima semakin digeser. Yang tinggal dari Ketuhanan ialah ritualisme dan formalisme agama yang kosong dari nilai-nilainya, sehingga 20 tahun kemudian, di GBHN, perlu agama-agama diminta kembali untuk meletakkan landasan moral, etika dan spiritual dalam kehidupan sosial. Sementara itu eksodus dari agama sekarang meliputi semakin banyak orang dari kalangan lemah pula. Oleh karena itu belum tentu bahwa milenium ke-tiga yang kita hadapi akan masih memberikan tempat kepada agama-agama atau pun malah pemikiran keagamaan. Agama-agama pada masa lampau terlalu sering mengecewakan harapan manusia, sehingga semakin banyak orang telah mengambil keputusan untuk hidup tanpa agama. Jika "trend" atau kecenderungan ini berlangsung, maka agama-agama di masa depan tidak akan lagi memainkan peranan yang dapat mempengaruhi kehidupan bermasyarakat atau kehidupan manusia. Jadi baik tantangan yang dihadapi agama maupun yang dihadapkan pada agama menjadi impian nostalgis terhadap suatu masa di mana agama-agama masih dihormati.

Catatan ini secara khusus berlaku bagi pemahaman agama yang terorganisir dalam bentuk gereja, umat dan lain-lain. Dapat disaksikan pula bahwa cukup banyak manusia sebenarnya tetap berminat pada agama, tetapi tidak percaya pada para pengurus agama dan olehnya meninggalkan organisasi keagamaan. Mereka berkumpul dalam kelompok yang bebas, bebas bukan saja dari bentuk organisasi yang hierarkis melainkan pula bebas dari dogmatika yang ketat. Menurut pendapat sementara orang maka inilah wajah agama di masa depan, dan tentu hidup keagamaan seperti itu akan lebih mudah mempertemukan orang-orang yang dulu menjadi anggota umat beragama yang berbeda, tetapi yang mengalami nasib yang sama seperti manusia yang direndahkan.

Dengan demikian belum tentu apakah agama-agama yang dikenal sekarang masih akan dibutuhkan atau dianggap relevan bagi mereka yang mencari jawaban atas masalah-masalah kehidupan mereka. Untuk mempertajam persoalan ini boleh saya menceritakan suatu pengalaman sebagai mahasiswa ketika saya menghadiri SR LWF (Sidang Raya Gereja-gereja Lutheran Sedunia [Lutheran World Federation]) di Helsinki tahun 1963. Teologi Lutheran senantiasa berkisar pada pertanyaan Luther yang pokok: Bagaimanakah saya memperoleh Allah yang penuh kasih? Pada satu ketika seorang peserta bangkit bertanya: apakah pertanyaan Luther itu masih merupakan pertanyaan orang sekarang? Persoalan manusia kini bukanlah berkisar pada kasih Allah melainkan pada Allah dan kehadiran-Nya sendiri. Kita para teolog harus membuka mata dan pemikiran kita untuk dapat mengamati apa yang sedang digumuli oleh masyarakat. Agenda kita para teolog memang adalah teologi dan agama. Tetapi di tengah-tengah masyarakat agenda mereka mungkin sudah jauh berlainan. Paling-paling pertanyaan kita dapat berbunyi: apakah teologi dan agama, atau para teolog dan agamawan, mampu untuk memasukkan kembali agama menjadi agenda manusia?

Dengan pertanyaan ini saya hendak berpaling kepada dua pertanyaan yang semula saya kemukakan: apakah agama menjadi sumber tantangan pada manusia, atau apakah agama sendiri yang ditantang?

Dengan menyambung pada pertimbangan tadi saya mulai dengan pertanyaan ke-dua: apakah tantangan-tantangan yang akan ditujukan terhadap agama-agama?

Pertanyaan ini dikemukakan berhubung dengan peranan agama-agama pada masa lampau. Saya sedikitpun tidak bermaksud mengurangi jasa agama-agama yang tak terhingga harganya dalam mendorong dan mengarahkan perkembangan umat manusia dan kesadaran spiritual dan moralnya. Tanpa mengurangi pula peranan dan pemikiran para filosof dalam bidang etika, harus dicatat bahwa usaha menanamkan suatu rasa tanggung jawab terhadap dunia dan makhluk sekitarnya diajarkan pada manusia oleh agama-agama dengan menekankan bahwa Allah adalah di luar jangkauan manusia, bahwa Allah tidak dapat dimanipulir oleh manusia, dan bahwa Allah minta pertanggungjawaban dari manusia tentang perbuatan dan pemikirannya.

Namun selain mengarahkan kesadaran spiritual, moral dan etis, agama-agama di masa lampau pernah memainkan - dan masih memainkan sampai sekarang - suatu peranan yang lain. Sejak zaman purba agama-agama pun dipahami sebagai dasar yang memberikan legitimasi kepada para raja dan dinasti. Jadi agama-agama dikaitkan erat dengan kekuasaan pemerintahan. Apakah ikatan itu disebut "mandat surgawi" (Cina) atau Sang Raja sebagai dewa atau anak ilahi (dalam banyak budaya), apakah "kaisar dari anugerah Allah" (Eropa) atau Sultan sebagai "zill Allâh fi l-'âlam" (naungan Allah di bumi, Islam), apakah Maharaja sebagai avatara (penjelmaan) dewa Wishnu atau penjelmaan salah satu bodhisattva (Budhisme) dan seterusnya: semua paham itu menunjukkan betapa eratnya fungsi agama dengan soal kekuasaan di dalam dunia ini. Seorang raja tanpa legitimasi keagamaan hampir tidak dapat dibayangkan, dan pola ini masih diteruskan sampai masa kini di mana malah dalam sistem komunis atau maois, para penguasa harus lolos dari ujian tentang kemurnian keyakinan, sehingga bukan negara melainkan partai sebagai penentu ortodoksi ajaran ideologis menetapkan apakah mereka dapat dipercayai menjalankan urusan negara sesuai dengan keyakinan ideologis yang resmi.

Dengan demikian, baik kerajaan keagamaan maupun pemerintahan ideologis mempunyai satu ciri khas bersama: bahwa mereka sangat curiga dan kadangkala malah kejam terhadap semua penyelewengan dalam soal menetapkan tafsiran terhadap ajaran atau ideologi, dengan secara khusus bertindak bilamana kesyahan pemerintahan mereka dipersoalkan. Di belakang sikap ini adalah keyakinan bahwa apa saja yang mereka pahami dan lakukan adalah sesuai dengan kehendak Ilahi atau ajaran ideologi. Dan yang menentangnya sebenarnya berontak terhadap yang Ilahi dan harus dimusnahkan. Tidak jarang terjadi juga bahwa mereka yang dipandang sebagai pembangkang diberlakukan bukan lagi sebagai manusia seolah-olah sifat kemanusiaan telah mereka hilangkan, sehingga segala macam penganiayaan dan perilaku biadab terhadap mereka malah dibenarkan melalui agama atau ideologi kekuasaan.

Berdasarkan perpaduan antara agama dan kekuasaan ini, agama sering dipandang sebagai hamba sahaya dari penguasa. Tidak mengherankan adanya gap antara agama yang resmi dan agama yang dihayati oleh rakyat, sebagaimana telah kami singgung di atas. Jika penguasa memandang kekuatan ilahi sebagai yang paling sentral dalam agama dan menggunakannya sebagai jaminan bagi keamanan, maka rakyat atau manusia bisa berpegang pada nilai-nilai seperti keadilan dan kebenaran dalam agama sebagaimana ia biasanya ditekankan oleh para nabi atau pengajar agama. Jadi ada di satu pihak pemahaman agama yang melihatnya sebagai legitimator dan ahli ritus pada penguasa, dan di pihak lain pemahaman terhadap agama sebagai sumber nilai-nilai.

Keterikatan antara agama dan penguasa memang bukan soal masa lampau. Ia masih juga merupakan sesuatu yang sangat kini. Malah di AS, para presiden tidak boleh memberikan kesan bahwa mereka anti-agama, meskipun AS merupakan pula suatu negara di mana secara konstitusional agama dan negara dipisahkan dengan ketat. Namun ketika Presiden Bush umpamanya mempersiapkan rakyat AS secara psikologis untuk menyetujui pada Perang Teluk (yang ke-dua), ia tidak enggan mengundang evangelis termashur Billy Graham untuk suatu kebaktian di Gedung Putih sambil meminta kepadanya suatu kebaktian yang hendak menyatakan berkat agama (Kristen) untuk Perang itu.

Dalam banyak negara maka agama diberikan kedudukan ofisial/resmi dalam konstitusi dan dengan demikian turut menentukan sifat negara itu serta menuntut keikutsertaan rakyat dalam upacara-upacara tertentu yang melibatkan diri sang raja atau penguasa. Di Muangthai umpamanya selama tahun ini kita menyaksikan suatu deretan upacara agama Budha memperingati penobatan raja Bhumipol 50 tahun yang lalu. Dan sebagai contoh terakhir cukuplah barangkali jika saya menyebutkan aliran-aliran kebangunan tertentu dalam beberapa agama di mana ada juga yang menuntut suatu keterikatan erat antara agama dan pemegang kuasa seperti beberapa aliran politis dalam Islam dan Hinduisme.

Saya tidak bermaksud menganalisa arus-arus pemikiran itu secara mendetail. Barangkali selama seminar ini (yakni SAA ke-XVI) akan ada kesempatan untuk usaha itu. Saya hanya mau menekankan bahwa hampir setiap umat beragama tidak saja mengenal ajaran dan pemahaman yang melihat perpaduan antara agama dan kekuasaan sebagai suatu hal yang wajar, melainkan membenarkannya pula sebagai ekspresi atau penampakan akan hakikat agama itu, sebagai pelaksanaan tugas utama agama bersangkutan untuk menentukan sebagai unsur utama aturan, ajaran dan upacara yang menjamin kebahagiaan sang penguasa, dan dengan demikian sebagai sesuatu yang sebenarnya identik, kebahagiaan masyarakatnya dan kelestarian alam sekitar. Jika raja senang maka rakyat (harus) juga senang.

Aktualitas pemahaman bahwa agama merupakan salah satu faktor penentu dalam sistem kekuasaan dan budaya yang diciptakannya sebenarnya melatarbelakangi pula ulasan Samuel Huntington dalam karangannya yang mengundang perdebatan yang luas, yang pernah dimuat dalam majalah "Foreign Affairs", dengan judul "A Clash of Civilizations?" . Setelah runtuhnya ideologi marxis dan negara-negara komunis maka segera terlihat suatu kecenderungan yang kuat untuk memperhatikan kembali peranan agama sebagai salah satu faktor kuat yang turut menentukan rasa identitas sesuatu bangsa atau lingkaran budaya yang dipegang oleh beberapa bangsa. Yang paling menentukan sekarang, menurut Huntington, kekuasaan ekonomilah yang akan membentukkan aliansi-aliansi regional di masa depan, sesuai dengan dinamika kapitalisme. Namun setiap blok ekonomis akan memerlukan pula suatu dimensi keagamaan yang mempererat ikatan dan ketahanan di antara bangsa-bangsa yang membentuknya, dan memberikan pada mereka semacam perasaan identitas bersama. Dengan demikian akan muncul suatu blok yang kuat berakar dalam konfusianisme (Cina, Taiwan, Hong Kong, Singapura dan Korea), dalam Shinto (Jepang sebagai kesatuan sendiri yang semakin bereorientasi pada agama nasional itu), dalam Islam Turkemen (Albania hingga Turki dan Turkmenistan di Asia Tengah), Kristen Latin di Eropa Barat (hingga Polandia, negara-negara Baltikum, Kroatia dan lain-lain), dalam Kristen ortodoks Yunani/Slavic (Rusia, Ukraina Timur, Serbia, Bulgaria dan lain-lain) dan seterusnya. Mengikuti jalan pikiran Huntington maka agama-agama akan lagi main peranan legitimatif pada pusat-pusat kekuasaan-kekuasaan yang akan lekas berkembang. Dan bahwa hubungan di antara lingkaran-lingkaran atau blok-blok ekonomis yang beridentitas tradisi keagamaan yang sama dengan mereka yang berlainan tidak senantiasa bersifat damai dapat dilihat dalam perang-perang yang lekas meletus setelah blok komunis hancur: Perang Teluk ke-dua antara Kristen Latin dan Islam Timur Tengah, dan Perang Bosnia antara Kristen Ortodox dengan Islam Turkemen ke mana orang Bosnia digolongkan (hal mana memang tidak benar karena bangsa Bosnia adalah satu-satunya bangsa asli Eropa yang memeluk agama Islam).

Jadi melihat skenario ini maka pada hakikatnya agama-agama hanya melanjutkan saja peranan mereka yang terdahulu di mana mereka dikaitkan dengan kekuasaan penguasa, yakni sebagai legitimator penguasa dan, bilamana penguasa itu memutuskan perang, agama harus melegitimir itu pula. Mungkin ada perpaduan agama dan kekuasaan yang menunjuk kepada beberapa contoh di mana penguasa yang saleh dalam agamanya menjadi berkat bagi kaumnya dan tetangganya pula. Contoh-contoh itu tak perlu dibantah. Namun dalam garis umum harus dicatat berdasarkan berita dan pengalaman sejarah, amat terlalu banyak penindasan, kekejaman dan kejahatan dilakukan yang sekaligus dibenarkan oleh agama yang dianutnya, dan khususnya oleh para pemuka agama itu yang bertugas membenarkan sang penguasa dan pemahamannya serta perbuatannya atas nama agama. Kekejaman yang dilakukan atas nama agama (ataupun ideologi) biasanya yang paling biadab, karena korbannya biasanya bukan saja dianggap melawan raja melainkan dinamakan pula sebagai musuh Allah, dan oleh karena itu pertimbangan kemanusiaan terhadap mereka tak perlu lagi (lih. inkwisisi di abad pertengahan di Eropa, atau kekejaman regim Iran sesudah revolusi yang jauh melebihi kekejaman Savak, atau terhadap
ىmusuh-musuhî ideologi maois di Cina sampai kini, dan lain-lain).

Pemahaman tentang perpaduan antara agama dan kuasa biasanya dikembangkan di kalangan para penguasa dengan dukungan para pemuka agama yang dengan demikian mengharapkan kedudukan yang lumayan bagi mereka pula. Pemahaman itu bisa juga dikemukakan oleh mereka yang belum berkuasa tetapi yang ingin berkuasa. Bagi mereka biasanya yang sedang berkuasa telah kehilangan legitimasi keagamaannya, dan mereka menawarkan pergantian penguasa (orang atau dinasti), dengan sekaligus menawarkan jasa baik mereka sendiri, tentu!

Pergantian itu sebenarnya ialah arti kata Arab daula yang digunakan sementara pemuka pemikir revivalis Islam untuk mengekspresikan istilah state, atau negara, bilamana mereka hendak menekankan kesatuan agama dan negara, dîn wa-daula, sebagai hakikat dari Islam. Mereka biasanya kurang menyadari bahwa justru dalam kaitan ini, dîn wa-daula, paham dinasti atau kerajaan tetap bertahan sehingga apa yang dikatakan sebenarnya ialah bahwa suatu dinasti berpegang pada Islam. Dalam keterikatan dengan paham dinasti, maka dîn atau agama memang dipahami lagi sebagai faktor legitimator pada penguasaan yang bersifat personal atau pribadi. Dan karena masalah ini kurang dipecahkan maka tidak mengherankan bahwa apa yang amat sering dihasilkan dalam suasana modern ialah diangkatnya presiden-presiden yang ingin bertahan seumur hidup yang sebenarnya hanya melanjutkan saja pola kekuasaan kerajaan yang pra-modern.

Memandang ke milenium ke-tiga di hadapan kita, maka kita harus bertanya: Apa akibat perpaduan agama dan kekuasaan atas kehidupan orang banyak? Mereka orang banyak dulu dianggap dengan sendirinya menyetujuinya, tetapi tak ada seorang yang mempersoalkan apakah pendapat itu memang benar. Sebagaimana kita tahu bahwa banyak umat-umat dari agama-agama itu baik Kristen maupun Islam, Budhis, Konfusianis dan lain-lain yang dalam sejarahnya mengalami perpaduan itu, maka dengan tekad dan yakin sekarang menentangnya. Penentangan itu bukannya tanpa alasan. Yang diimpose atas diri mereka atau generasi-generasi pendahulu mereka memang membawa banyak penderitaan bagi manusia golongan bawah. Keadilan dan kebahagiaan yang dijanjikan oleh agama seolah-olah tak berlaku bagi mereka yang tetap miskin dan haus pada keadilan. Perpaduan antara agama dan kekuasaan adalah tuntutan mereka yang berkuasa (atau mereka yang hendak berkuasa). Namun yang dialami oleh manusia biasa ialah bahwa ajaran agama yang sebenarnya dimonopoli oleh penguasa dan dimanipulasi demi keuntungannya, dan para pemuka agama yang mendukungnya malah bersedia untuk mengkhianati kebenaran agamanya demi kesenangan sang penguasa itu. Dengan demikian, sambil mengingat sekaligus skenario yang digambarkan oleh S. Huntington dan yang telah menjadi kenyataan di pelbagai jurusan dunia ini, maka para penganut agama-agama sekarang dituntut untuk menyatakan bagaimana mereka sendiri hendak melihat peranan agama-agama di milenium ke-tiga yang sebentar lagi akan mulai. Pemahaman dan peranan agama di masa mendatang tidak boleh lagi ditentukan oleh para pemukanya saja yang cenderung berlindung pada penguasa, namun umat beragama sendiri harus turut menentukannya. Mengingat kemungkinan yang lain yang tadi kami sebutkan, bahwa sementara umat manusia yang jumlahnya cukup besar pula berpendapat bahwa berdasarkan pengalaman yang lalu, sebaiknya di masa depan agama-agama dicoret dari acara umat manusia, atau dikurung sedemikian rupa supaya ia tidak dapat lagi (turut) menimbulkan pemudaran dan kekacauan dalam hubungan antarmanusia. Jadi tantangan yang dihadapi agama-agama bisa juga merupakan permulaan dari tahap terakhir sejarah agama-agama, atau bahwa agama dijadikan pengganti ideologi-ideologi yang telah lapuk seperti komunisme dan kapitalisme, yakni: agama-agama menjadi ideologi-ideologi masa mendatang.

Akan tetapi ada kemungkinan ke-tiga: bahwa agama-agama berbalik, melepaskan diri dari ikatan-ikatan yang mengurung mereka ke dalam kepentingan penguasa, dan menentang sendiri mereka yang hendak memanipulasi agama-agama itu. Jadi agama-agama, atau tepatnya para penganut agama-agama perlu bertobat, agar supaya agama yang mereka anut dapat tampil dalam sarana baru yang tidak menolong menindas manusia, melainkan yang dapat dengan yakin menawarkan pesannya sebagai pedoman hidup bagi manusia banyak dan sebagai sumber nilai-nilainya baik dalam kehidupan sosial maupun individual.

Merupakan salah satu takhayul yang sangat digemari pada waktu ini yang mengatakan bahwa pemikiran Barat, atau kristiani, sangat menekankan kepentingan individu dan menomorduakan kepentingan- kepentingan kelompok atau masyarakat, sedangkan pemikiran Timur pertama-tama melihat kepentingan yang benar dari masyarakat dan baru kemudian memberikan perhatian yang wajar pula bagi individu. Tidak kebetulan bahwa pendapat ini paling suka dikemukakan oleh para politisi yang bahkan sering melanggar hak-hak asasi manusia dan memandang rendah martabat setiap individu. Jadi perlu dipertanyakan: apa yang mereka pahami dari ajaran agama yang mereka anut atau yang mereka pilih untuk menjadi alat pemeriksaan dalam rangka membenarkan pendapat mereka itu? Agama yang manakah yang bertolak dari kepentingan masyarakat dan yang menggeser perhatian pada individu?

Seandainya mereka saja berminat, biarpun sedikit, pada ajaran agama-agama tentang manusia dan hubungannya baik dengan Yang Mutlak maupun dengan sesamanya, maka mereka cepat akan dapat belajar bahwa bukan saja dalam agama Kristen, melainkan pula dalam agama Islam, Budhis dan lain-lain titik tolak ajaran berkisar pada manusia sebagai individu dan soal penyelamatannya. Penyelamatan adalah sesuatu yang bersifat individual dan menyangkut hubungan setiap manusia dengan Yang Mutlak itu. Agama-agama itu mengajar mengenai keselamatan, dan itu adalah sesuatu yang sangat bersifat individual atau perseorangan. Agamalah yang menjadi sumber pada perilaku etika seseorang, dan etika berkaitan dengan watak dan iman seseorang. Baru bilamana segi itu diketengahkan maka individu itu dapat - dan tentu harus pula - mempunyai tanggung jawab sosial terhadap sesama makhluk pula . Keselamatan tidak saja berarti pulihnya kembali hubungan manusia dengan Yang Mutlak, melainkan pula pulihnya kembali hubungan antarsesama manusia. Jika semangat individu-individu tidak ada maka kehidupan beragama dengan cepat dapat menjadi sandiwara kemunafikan.

Jadi agama Kristen maupun Islam atau Budhis dan lain-lain tentu sangat memperhatikan kehidupan sosial atau kemasyarakatan, namun mereka sepenuhnya menyadari pula bahwa masyarakat itu bukan suatu kolektip anonim melainkan suatu persekutuan manusia di mana setiap individu sadar akan tanggung jawabnya terhadap yang lain, dan di mana persekutuan bersandar pada saling pengakuan harkat dan martabat sesamanya.

Pengakuan keunggulan martabat manusia adalah merupakan dasar ajaran setiap agama. Mempertentangkan individualisme dengan "sosialisme" atau kepentingan kelompok hanya dapat dilakukan oleh orang yang tidak tahu menahu tentang agama-agama apapun. Dan jika sewaktu-waktu muncul juga teolog-teolog atau ahli agama yang mengatakan hal itu maka perlu ditanyakan dari manakah dasar pemahaman mereka.

Saya tidak bermaksud menyangkal bahwa dalam masyarakat yang keadaan ekonominya lumayan, terjadi suatu individualisme yang berlebihan. Tetapi itupun suatu gejala yang diamati bukan di Barat saja. Ia pun diamati di Timur dan Selatan di mana individualisme yang berlebihan berkembang ketika ada golongan-golongan tertentu yang telah mencapai suatu tahap ekonomis yang lumayan. Mereka sama saja seperti di Barat semakin mengutamakan kepentingan sendiri dan semakin kehilangan solidaritas dengan masyarakat sekitar mereka. Individualisme yang berlebihan bukanlah masalah Timur - Barat, melainkan ialah masalah kaya - miskin.

Tanpa maksud mau menjadi nabi namun saya kira bahwa banyak pengamat perkembangan sekarang sependapat bahwa masalah pokok milenium ke-tiga akan berkisar pada soal bagaimanakah manusia sebagai makhluk yang khas akan berkembang. Apakah dia menjadi monyet berintelek tinggi yang dimanipulasi para scientis sebagaimana tadi telah digambarkan? Ataukah ia kembali menjadi budak di bawah sistem-sistem ideologis - biarpun itu sistem ideologis keagamaan - dan golongan elite yang berkuasa yang dihasilkannya yang hanya mementingkan kolektip masyarakat sebagai tenaga kerja yang anonim dan rela mengorbankan setiap unsur pembangkang seperti di masa lampau telah dilakukan oleh para raja?

Zaman modern tidak mulai dengan peralatan teknis yang modern dan pengetahuan sains yang maju. Zaman modern dimulai dengan emansipasi manusia dalam masyarakatnya di mana berkembang suatu humanisme yang pada prinsipnya memandang setiap orang sama martabatnya dengan yang lain, dan berusaha memberikan kesempatan kepadanya sesuai dengan keahliannya untuk turut menentukan kepentingan-kepentingan bersama dalam masyarakat. Untuk itu perlu pendidikan yang mengembangkan manusia menjadi dewasa, merdeka dan bertanggung jawab. Jadi kemodernan ditentukan oleh peranan yang diberikan pada manusia dan menjadi nyata dalam masyarakat partisipatif, ini bukan ditentukan oleh peralatan dan pengetahuan yang disebut modern karena ia maju. Menuntut agar manusia - setiap anggota umat manusia - dapat berpartisipasi dan memainkan peranannya sebagai individu yang dewasa, merdeka dan bertanggung jawab di tengah-tengah masyarakat adalah tugas utama agama-agama atau, lebih tepat, para penganut agama-agama yang cinta padanya dan menghargainya sebagai isi dan makna kehidupannya, di masa depan. Hanya dengan demikian mereka dapat membuktikan bahwa mereka belajar dari kesesatan masa lampau di mana agama-agama terlalu sering diperalat oleh para penguasa demi kepentingan sendiri. Jika usaha-usaha itu diulangi maka para penganut agama-agama seyogianya menantang dan menentangnya secara jelas dan benar. Agama yang benar hendak menyampaikan suatu pesan Ilahi kepada manusia. Di hadapan Allah ataupun di hadapan Hakikat Sang Budha dalam agama Budha tidak ada perbedaan pokok antara manusia, semua dipandang sama. Dengan demikian para penganut yang sejati dan saleh pada agamanya harus menjadi contoh hidup untuk dapat meyakinkan bahwa memang itulah kebenaran keagamaan yang terdalam. Jika mereka tidak berhasil meyakinkan manusia-manusia yang di masa lampau tertindas juga atas nama agama, maka agama-agama dapat mempersiapkan diri untuk menutup usia mereka.

Tuhan Beri Kebebasan untuk Memilih

Dr. Djohan Effendi:

Kasus penghentian tayangan secara sepihak iklan “Islam Warna-warni” di TV meninggalkan sejumput cerita kelam tentang nasib kebebasan bereskpresi di era reformasi. Ibarat Pedang Damocles yang siap memancung siapa saja yang mengambil posisi berbeda, saat ini ada kelompok-kelompok agama yang memerankan dirinya sebagai “Tuhan” atas kelompok lain yang dianggapnya sesat dan menyesatkan. “Jangan tempatkan institusi atau otoritas keberagamaan kita di atas Tuhan itu sendiri,” ujar Dr. Djohan Effendi, Ketua Indonesian Conference On Religions and Peace (ICRP) dan mantan Ketua Litbang Departemen Agama. Lebih jauh tentang tema Islam dan Kebebasan Berekspresi ini, Kajian Utan Kayu (KUK) mengundang Djohan Effendi. Berikut petikan wawancara Ulil Abshar-Abdalla dengan mantan Mensekneg di era Presiden Abdurrahman Wahid ini yang disiarkan kantor berita Radio 68H dan jaringannya di seluruh Indonesia pada 15 Agustus 2002:

Pak Djohan, problem kebebasan berekspresi menjadi isu krusial ketika berbenturan dengan doktrin agama. Dalam konteks ini, bagaimana Anda melihat kebebasan berekspresi dengan agama?

Saya kira, kebebasan merupakan masalah yang esensial bagi usaha untuk menumbuhkan keberagamaan yang tulus. Tanpa ada kebebasan, tidak mungkin lahir sikap keberagamaan yang tulus. Yang ada, mungkin hipokrisi atau kemunafikan alias kepura-puraan. Saya kira, prinsip kebebasan itu inheren dengan usaha penumbuhan keberagamaan yang mukhlishîn lahu al-dîn (ikhlas dalam keberagamaan, Red).

Apakah keberagamaan yang dipaksa suatu otoritas atau kekuasaan bertentangan dengan etos keberagamaan yang bebas dan ikhlas?

Iya. Sebab, dengan begitu (pemaksaan oleh otoritas non-Tuhan) kita menempatkan institusi atau otoritas keberagamaan di atas Tuhan itu sendiri. Dan ini, lebih berat dari sekadar syirik. Sebab, Tuhan memberikan kebebasan kepada manusia dengan pilihan falyu’min atau falyakfur (beriman atau kafir), sebagaimana yang disebutkan Alquran. Pilihan itu suatu hal yang sangat esensial. Jadi, keberimanan yang sungguh-sungguh itu memberikan kesempatan orang untuk tidak beriman. Kalau orang beriman tapi dengan cara terpaksa, maka ia tidak mungkin mampu menumbuhkan keimanan yang betul-betul berbasis keyakinan yang tulus.

Namun bacaan kita atas sejarah agama-agama, termasuk Islam, menunjukkan adanya sekelompok orang yang memegang otoritas tafsir kebenaran, entah dari penguasa, klerik dan lain-lain. Efeknya, terjadi penafian tafsiran dan pandangan lain. Mengapa ini terjadi?

Ini juga satu hal yang sangat mengherankan: orang menganggap dirinya sebagai agama itu sendiri. Karena anggapan itu misalnya, bagi mereka, agama hanya satu. Naifnya, yang satu itu pun hanya menurut tafsiran mereka sendiri. Selain mereka dianggap sesat, menyesatkan dan harus dibabat, misalnya. Hal ini merupakan sikap keangkuhan orang-orang yang tidak mementingkan apakah keberimanan itu sungguhan atau tidak. Bagi mereka ini, yang penting secara lahiriah orang mengikuti paham mereka. Dan hal seperti itu sudah dianggap sebagai suatu keberhasilan.

Dulunya kita punya kasus penghakiman Syekh Siti Jenar. Dalam sejarah Gereja pernah terjadi kasus pemberangusan buku-buku ilmiah. Nah, untuk kasus seperti ini, apakah kita bisa menyebutnya sebagai agama yang membeku (jumûd) atau bagaimana?

Kasus-kasus di atas mungkin tidak berbeda jauh dengan pengalaman kontemporer kita. Ada suatu periode dalam pengalaman kita, --masa kerajaan-kerajaan Islam di Aceh atau lainnya— di mana muncul perbedaan antara pandangan-pandangan keagamaan Hamzah al-Fansuri yang kata orang phanteistik, dengan Nuruddin al-Raniri misalnya. Ketika itu, al-Raniri berkuasa sebagai mufti, lalu membakar semua buku karangan Hamzah al-Fansuri, Syamsuddin Al-Sumatrani dan lain-lain. Itu ‘kan sebentuk pengalaman juga.

Cara-cara seperti itu sebelumnya juga terjadi pada zaman klasik Islam dimana buku-buku Ibn Rusyd dibakar. Ini satu periode kegelapan. Tapi saya pikir, dalam pengalaman negeri kita, ada periode yang menarik. Ketika itu, --masa kebangkitan pembaruan— ada isu kaum muda-kaum tua di Sumatera Barat. Mereka saling berdebat dan berpolemik, tapi buah perdebatan itu --misalnya antara Ahmad Khatib dengan Saad Munka— menghasilkan buku berjilid-jilid. Murid mereka juga melakukan demikian: mereka berpolemik dan berdebat, tapi persahabatan satu sama lain tetap sangat akrab.

Di Jawa pun, saya kira begitu. Ketika Muhamadiyah muncul, ada reaksi dari kalangan ulama. Tapi, mereka tidak meminta pemerintah Belanda untuk melarang Muhamadiyah atau membakar buku-buku karya mereka. Tidak! Justeru, mereka berpolemik dan berdebat saja. Ada perdebatan antara Hasan dari Bandung dan Hasan Bangil misalnya, dengan Kiai Abdul Wahab. Dan itu menarik. Bahkan, terhadap paham yang dianggap sangat sesat semacam Ahmadiyah, mereka tidak minta melarangnya. Mereka justeru tetap berdebat dan berpolemik. Itu sangat mencerahkan karena membiarkan masyarakat sebagai jurinya. Dengan sikap demikian, umat tahu alasan masing-masing, bukan taklid buta atau membeo. Yang seperti itu, ‘kan membuat orang terbuka matanya. Orang menjadi tahu alasan masing-masing, dan dengan demikian akan menimbulkan rasa saling menghormati.

Anda menyebutkan periode yang cukup indah dengan adanya perdebatan yang konstruktif. Nah, apakah mereka saat ini bisa bermain secantik itu?

Mungkin karena dahulu mereka yang berdebat itu menghayati betul semangat Islam yang terbuka. Mereka mengambil pelajaran dari iman-imam mazhab yang saling menghargai satu sama lainnya. Dan mereka menghayati kata akhir yang tertulis dalam kitab-kitab kuning/kitab-kitab keagamaan: wallâhu a’lam bi al-shawâb (Allah lebih tahu pada hal yang benar, Red). Dengan demikian, mereka tidak memutlakkan pendapat mereka sendiri, sebab hanya Allah yang lebih tahu. Kita ‘kan pernah juga menyimak ungkapan Iman Syafi’i: “Pendapat saya betul, tapi mungkin salah; pendapat orang lain salah, tapi bisa jadi betul.” (ra’yî shawâb wa yahtamil al-khata’; wa ra’yu ghairî khata’ wa yahtamil al-shawâb, Red).

Sikap relativistik ini yang mungkin perlu. Tapi, kenapa sekarang seakan raib?

Mungkin itu disebabkan gejala baru, di mana orang tidak lagi mengenal agama dari ahli agama. Kalau ulama dulu tahu banyak tafsiran tentang ayat-ayat dan mengerti akan hal itu. Sekarang, orang tahu pendapat mereka sendiri dan kurang mengenal pluralitas dalam pandangan. Mereka menganggap yang benar hanya pendapat mereka, yang lain salah. Jadi absolutisasi pendapat seperti ini yang menjadikan kita seakan-akan telah mempertuhankan agama dan diri sendiri.

Pak Djohan, kebebasan secara umum itu memang perlu. Tapi adakah batas-batas kebebasan itu?

Tentu kebebasan yang kita maksud adalah kebebasan yang tidak asal-asalan. Ada disiplinnya dan ukuran-ukuran objektifnya. Kebebasan itu juga perlu berasal dari hati yang tulus, bukan asal beda (khalif tu’raf). Tentang kebenarannya berdasar keyakinan masing-masing orang. Dan satu hal yang harus diingat, kita tidak mungkin mengorek isi hati orang lain (kaidahnya: nahnu nahkum bi al-dzawâhir, wayatawalla Allâh al-sarâir [kita menghakimi yang tampak, sementara Allah mengurusi yang tersimpan], Red). Sepanjang itu dia yakini benar, kita harus hormati. Jadi, kalau kita mau pendapat kita dihormati, kita juga harus menghormati pendapat orang lain. Jadi kebebasan itu kebebasan yang tidak meremehkan atau melecehkan kebebasan orang lain juga. Jadi batas kebebasan itu adalah kebebasan orang lain (hurriyyat al-mar’-i mahdûdat bi hurriyyat ghairih, Red). Saya dapat berbeda pendapat dengan Anda, tapi saya akan tetap membela kebebasan Anda untuk berpandangan seperti itu.

Nah, etos semacam itu ‘kan tergolong langka. Dulu ada kasus pembakaran buku-buku kiri, pelarangan beberapa sekte dan lain-lain. Nah, menurut Anda, tindakan itu Islami atau tidak?

Itu sebuah kemerosotan yang luar biasa. Dalam artian, orang bukan beradu pendapat, tapi sudah beradu fisik dan kekuatan. Sebagaimana disebutkan tadi, ulama-ulama dulu terkadang lebih civilized atau beradab. Mereka tidak minta penguasa untuk melarang kebebasan berpendapat orang lain. Kalau mereka minta, mungkin pemerintah jajahan mau mengabulkannya. Kalau itu dilakukan, Muhamadiyah tak mungkin timbul. Sekarang ini, di Malaysia atau di Brunei, --karena ada otoritas pengekang seperti itu-- buku-buku Muhamadiyah tidak bisa masuk. Saya dulu ingat, tatkala ada undangan menjadi dosen di Brunei, ada pesan “asal jangan Muhamadiyah”. Pokoknya, Ahli Sunnah dan Syafii saja. Itu ada. Bayangkan kalau itu muncul di sini, tak akan mungkin tumbul gerakan-gerakan keagamaan itu.

Ini mirip semacam di Arab Saudi di mana buku-buku tasawuf dan filsafat tidak dibolehkan. Nah, pemberangusan buku atau pendapat orang lain seperti itu, sebetulnya bisa dibenarkan Islam atau tidak?

Saya kira, itu sama sekali tidak dibolehkan. Kalau ayat pertama Alquran menyuruh membaca, dan bahan bacaan itu sudah tidak ada, bagaimana itu? Semangat membaca itu tidak akan dapat ditunjang kecuali oleh literatur yang lengkap dan kaya.

Sekalipun pembakaran itu diatasnamakan pembelaan agama Tuhan?

Ya, nggak betul saya pikir. Bantahlah buku itu. Atau dibeli, bukan dibakar. Jadi bantahlah secara jantan dengan membuat buku atau lainnya. Bagi orang yang awam memang takkan membuat tafsiran mereka sendiri. Mereka akan mengikuti pendapat para imam, ulama panutan atau organisasinya. Saya kita itu natural terjadi.

Bagaimana menyikapi kelompok yang mencela kelompok lain?

Selama itu tidak mengganggu keamanan, atau orang lain, --dan itu sebatas keyakinan mereka saja— silahkan saja berkeyakinan seperti itu. Anggapan mereka kalau orang lain tidak benar atau rijsun (najis) dan lain-lain pada tataran keyakinan saja tidak mengapa. Hak mereka untuk berkeyakinan, harus tetap dihotmati, asal saja tidak berlaku buruk pada orang lain, terutama pada tingkat prakteknya.

Jadi, kita tidak bisa menuntut Bupati, misalnya: “Larang, dong mereka!”

Ya. Sebab bagaimanapun paham seperti ini tidak akan bisa berkembang baik. Jadi, biar saja masyarakat yang menilai dan “membubarkan” mereka, dalam artian: kalau pahamnya tidak laku, maka akan “tutup toko”. Orang-orang yang mengikuti paham seperti ini, biasanya hanya sebentar saja. Bagi mereka yang gelisah, kelompok-kelompok seperti ini jadi laku. Ibarat orang yang tenggelam di sungai atau laut, apa saja akan mereka pegang. Tapi, lama-lama orang akan tahu kalau ini tidak benar.

Kesimpulannya, seburuk apapun suatu kelompok, kita tetap harus hormati. Lantas bagaimana mengutarakan ketidaksepakatan kita?

Kalau tidak sepakat, kita jelaskan saja ketidaksepkatakan itu: dalam hal apa. Setelah itu silakan beradu pendapat dengan mematahkan argumentasi mereka.

Bagaimana pandangan Anda terhadap golongan-golongan agama yang muncul sekarang ini, dalam menyikapi kebebasan?

Saya melihat, setelah reformasi ini sikap pemerintah (untuk hal kebebasan) jauh lebih beradab. Artinya, mereka tidak lagi main larang dan main cekal. Dulu mudah sekali munculnya pelarangan buku atau sekte dan lain-lain. Sekarang agak kurang. Hanya saja, gejala yang agak mencemaskan, ancaman kebebasan itu tidak datang dari pemerintah tapi dari masyarakat sendiri. Sekarang ini, mulai muncul misalnya kelompok-kelompok yang mudah menegasikan orang lain, tidak lagi dalam tataran pendapat, tapi mulai “membabat” atau “membunuh” kelompok lain. Saya kira, ini sangat berbahaya. Dan ini harus kita waspadai sedari awal.

Mengapa kondisi kebebasan di negara yang mayoritas muslim, kondisi kebebasannya terlihat payah. Apakah ada doktrin yang inheren dalam Islam yang bertentangan dengan kebebasan?

Mestinya tidak. Sebab, secara tekstual kita memiliki doktrin lâ ikrâha fi al-dîn (tak ada paksaan dalam hal agama, Red) dan faman syâ’a falyukmin waman syâ’a falyakfur (barangsiapa yang mau beriman, berimanlah; barangsiapa yang siapa yang ingin kufur, kufurlah, Red). Nah, kalau Tuhan sendiri memberikan kebebasan, mengapa manusianya tidak? Kalau Tuhan tidak menginginkan kebebasan, apa susahnya bagi-Nya untuk tidak membiarkan pendukung zionisme beranak-pinak? Mengapa mereka tidak dimandulkan semua? Lama-lama ‘kan mereka habis. Tapi mereka diberi kesempatan. Tuhan sendiri memberikan matahari untuk dinikmati semua orang. Mengapa mesti dijatahkan juga untuk orang-orang yang atheis atau anti Tuhan? Logika begini mungkin terasa sangat bodoh. Hanya saja, poin penting dari itu adalah: mengapa kita ingin menjadi Tuhan sendiri lalu “membunuhi” orang yang tidak berkesesuaian dengan kita? Tuhan sendiri memberi kebebasan memilih. Kok kita lebih galak dari Tuhan?

Dulu NU dan Muhamadiyah saling bertengkar dan sekarang beranjak lebih dewasa. Lantas sekarang, muncul kelompok kecil yang saling tengkar. Gejala apa ini?

Ini mungkin masih dalam proses pendewasaan. Munculnya biasa saja dalam iklim yang baru. Hal semacam itu memang terjadi dalam kelompok-kelompok agama manapun. Mereka biasanya kecil saja dan tidak banyak, tapi vokal karena didorong semangat misionari atau dakwah yang sangat tinggi. Itu terkadang muncul dari penilaian mereka, bahwa masyarakat sekeliling bobrok dan telah terjadi demoralisasi. Lalu mereka ingin mencari tempat, di mana mereka satu sama lainnya lebih dekat dan puritan. Tapi saya kira, ini sebetulnya gejala sosial biasa saja dan di mana-mana terjadi. Semua agama mengalami seperti itu. Saya optimis itu nantinya akan berlalu. Saya memprediksi nantinya tidak akan terjadi kepuasan dengan cara-cara seperti itu. Jadi jangan terlalu kuatir []

Penulis: Nurcholis Madjid
Penerbit: Paramadina
Cetakan: I, Desember 2000.

Nurcholish Madjid--doktor kajian Islam Universitas Chicago dengan disertasi Ibn Taymiya on Kalam and Falsafia, adalah cendekiawan muslim. Predikat guru bangsa, tokoh pemersatu, pejuang reformasi, kandidat presiden, atau apa saja yang berkonotasi politis adalah pengharapan banyak orang kepadanya. Namun yang pasti, dia adalah seorang ulama. Sebagai ulama Nurcholis adalah sebuah kontroversi. Pemikirannya tentang masalah-masalah keagamaan melambung jauh ke depan. Yang bagi sejawatnya sekalipun, belum pernah terlintas di benak.

Sebagai seorang ulama, Nurcholish diakui sangat inklusif. Tidak hanya sebagai seorang pribadi, namun Islam yang diyakininya pun adalah Islam inklusif. Boleh saja Nurcholish mempijakkan diri dalam membahas setiap permasalahan hanya dari kacamata Islam. Tapi Islam yang dimaksudkannya jelas bukan hanya sekumpulan doktrin. Dalam keyakinannya, Islam adalah konsep kebenaran universal. Islam yang menjunjung etika.

Dan kemanusiaan diartikulasikan oleh Nurcholis sebagai pemahaman paling dasar serta nilai terdalam dari nilai ketuhanan. Islam yang, menurutnya, Islam berperadaban. Buku ini, juga menjelaskan keislaman seperti itu.

Disusun sebagai transkrip dari kumpulan khutbah Jum'at--yang tentu saja merupakan forum dialog linear, buku ini cukup memperlihatkan kemampuan berbahasa Nurcholish yang sangat rapi, mengingat materi asli buku itu banyak disampaikan secara lisan. Meski begitu, harus diakui, mungkin karena pembahasan lisan itu, alur materi pembahasan terkadang melompat cepat.

Misalnya, bahasan tentang agama yang sarat makna. Yang dikiaskannya dengan arah shalat menuju Ka'bah di Mekkah, tiba-tiba saja bisa beralih pembahasan yang jauh lebih 'mikro' yakni soal pakaian (halaman 26-27).

Namun jika bersedia sedikit mengabaikan 'lompatan-lompatan' itu, maka dalam buku setebal 265 halaman ini, akan tertera betapa jelinya Nurcholish menerjemahkan Islam sebagai 'jalan tengah' dari ajaran yang telah diturunkan Tuhan sebelumnya. Menurut Nurcholish, Islam cenderung mengambil jalan tengah dari 'orientasi hukum' yang dikenal dalam agama Yahudi yang kemudian dinetralisir oleh ajaran 'orientasi kasih' dalam agama Nasrani.

Dalam Islam, ada prinsip, kalau ketegasan diperlukan, maka seorang Muslim harus tegas. Tapi kalau pendekatan kemanusiaan yang harus dilakukan, maka seorang Muslim harus melakukan pendekatan kemanusiaan. Tiada lain, umat Muslim dituntut adil dalam setiap tindakan agar 'jalan tengah' itu tidak mencong.

Dan untuk lebih menjamin keadilan itu terjaga di tempatnya, maka persyaratannya adalah keterbukaan dan musyawarah. Setiap orang berhak menyatakan pikirannya dan setiap orang harus bersedia mendengarkan pemikiran orang lain (halaman33-34).

Mungkin karena pemikiran manusia dalam bermusyawarah yang terbuka menjadi penting dalam menjaga keadilan itu, maka Islam kemudian menempatkan manusia dalam posisi yang sungguh terhormat. Bahkan dalam posisi kemanusiaan yang tinggi itu, Nurcholish menegaskan, kenyataan bahwa manusia adalah makhluk yang lemah tidak harus mengurangi nilai kemanusiaan itu, sepanjang manusia ikhlas bertaubat dan bersedia mendengarkan pendapat orang lain (halaman 34). Maka semua kekeliruan itu dipandang manusiawi.

Kejernihan dalam memandang ajaran Islam oleh Nurcholish juga dilengkapi dengan kajian yang relatif mendalam tentang sejarah agama-agama di dunia, yang pada akhirnya bermuara kepada Islam. Sebuah studi sejarah yang jelas dia kemukakan dalam khotbahnya, bukan seruan kecurigaan kepada umat agama lain yang sering dimitoskan sebagai 'musuh sejati' umat Islam.

Nurcholish memandang Islam sebagai agama penyempurna. Namun ia lantas tidak memvonis kalau tak ada tempat bagi agama lain, selain Islam. Dia mencontohkan sikap Umar r.a. yang menyatakan kota Yerussalem sebagai kota bagi umat Islam, Yahudi, dan Nasrani untuk bergandengan tangan (halaman 115). Bahkan kala itu, Umar melarang umat Islam mendirikan Masjid lebih megah dari gereja yang telah ada.

Sebagai agama yang sempurna di setiap ruang dan zaman, Nurcholish memperlihatkan betapa nilai-nilai Islam yang universal itu bisa 'ditemukan' di Yunani pada abad-abad pertama agama Nasrani. Atau di kala John Locke mengilhami pendirian negara Amerika Serikat tahun 1776 (halaman 162-163).

Membaca buku ini, rasanya, kehidupan beragama yang tanpa hingar bingar kebencian sepertinya akan mudah tercapai. Nurcholish juga bertindak cukup adil. Mengerti bahwa forum khotbah tak bisa bersifat interaktif, maka dia tidak pernah menuding siapa-siapa. Dia bahkan bersedia mengakui sendiri adanya kontroversi yang berkembang atas soal-soal yang dibahasnya itu, dan bukan memproklamirkan dirinya sendiri yang paling benar, ketika yang lain tak boleh menjawab.n

Universalisme Islam dan Kosmopitanisme Peradaban Islam

Oleh KH Abdurrahman Wahid
Minggu, 1 September 2002

Universalisme Islam menampakkan diri dalam berbagai manifestasi penting dan yang terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya. Rangkaian ajaran yang meliputi berbagai bidang, seperti hukum agama (fiqh), keimanan (tauhid), etika (akhlaq, seringkali disempitkan oleh masyarakat hingga menjadi hanya kesusilaan belaka) dan sikap hidup, menampilkan kepedulian yang sangat besar kepada unsur-unsur utama dari kemanusiaan (al-insaniyyah). Prinsip-prinsip seperti persamaan derajat dimuka hukum, perlindungan warga masyarakat dari kedlaliman dan kesewenang-wenangan, penjagaan hak-hak mereka yang lemah dan menderita kekurangan dan pembatasan atas wewenang para pemegang kekuasaan, semuanya jelas menunjukkan kepedulian di atas. Sementara itu, universalisme yang tercermin dalam ajaran-ajaran yang memiliki kepedulian kepada unsur-unsur utama kemanusiaan itu diimbangi pula oleh kearifan yang muncul dari keterbukaan peradaban Islam sendiri.

Keterbukaan yang membuat kaum Muslim selama sekian abad menyerap segala macam menifestasi kultural dan wawasan keilmuan yang datang dari pihak peradaban-peradaban lain, baik yang yang masih ada waktu itu maupun yang sudah mengalami penyusutan luar biasa (seperti peradaban Persia). Kearifan yang muncul dari proses saling pengaruh-mempengaruhi antara peradaban-peradaban yang dikenal itu, waktu itu di kawasan "Dunia Islam" waktu itu, yang kemudian mengangkat peradaban Islam ke tingkat sangat tinggi, hingga menjadi apa yang disebutkan sejarawan agung Arnold J. Toynbee sebagai oikumene peradilan dunia Islam. oikumene Islam ini, menurut Toynbee, adalah salah satu di antara enam belas oikumene yang menguasai dunia. Kearifan dari oikumene Islam itulah yang paling tepat untuk disebut sebagai kosmopolitanisme peradaban Islam. Kisah kedua wajah Islam itu, universalisme ajaran dan kosmopolitanisme peradaban akan disajikan pada kesempatan ini.

Salah satu ajaran yang dengan sempurna menampilkan universalisme Islam adalah lima buah jaminan dasar yang diberikan agama samawi terakhir ini kepada warga masyarakat baik secara perorangan maupun sebagai kelompok. Kelima jaminan dasar itu tersebar dalam literatur hukum agama al-kutub al-fiqhiyyah lama, yaitu jaminan dasar akan (1) keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum, (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama, (3) keselamatan keluarga dan keturunan, (4) keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, dan (5) keselamatan profesi. Jaminan akan keselamatan fisik warga masyarakat mengharuskan adanya pemerintahan berdasarkan hukum, dengan perlakuan adil kepada semua warga masyarakat tanpa kecuali, sesuai dengan hak masing-masing. Hanya dengan kepastian hukumlah sebuah masyarakat mampu mengembangkan wawasan persamaan hak dan derajat antara sesama warganya, sedangkan kedua jenis persamaan itulah yang menjamin terwujudnya keadilan social dalam arti sebenar-benarnya. Sedangkan kita ini mengetahui, bahwa pandangan hidup Worldview, Weltanschauung paling jelas universalitasnya adalah pandangan keadilan sosial.

Demikian juga, jaminan dasar akan keselamatan keyakinan agama masing-masing bagi para warga masyarakat melandasi hubungan antar-warga masyarakat atas dasar sikap saling hormat-menghormati, yang akan mendorong tumbuhnya kerangka sikap tenggang rasa dan saling pengertian yang besar. Terlepas dari demikian kentalnya perjalanan sejarah dengan penindasan, kesempitan pandangan, dan kedhaliman terhadap kelompok minoritas yang berbeda keyakinan agamanya dari keyakinan mayoritas, sejarah ummat manusia membuktikan bahwa sebenarnya toleransi adalah bagian inherent. dari kehidupan manusia.
Sejarah persekusi dan represi adalah sejarah "orang besar", walaupun sasarannya selalu "orang kecil". Dalam menerima persekusi dan represi tanpa keputusan wong cilik membuktikan kekuatan toleransi dan sikap tenggang rasa dalam membangun masyarakat. Justru toleransilah yang melakukan transformasi sosial dalam skala massif sepanjang sejarah Bahkan sejarah agama membuktikan munculnya agama sebagal dobrakan moral atas kungkungan ketat dari pandangan yang dominan, yang berwatak menindas, seperti dibuktikan oleh Islam dengan dobrakannya atas ketidakadilan wawasan hidup jahiliyyah yang dianut mayoritas orang Arab waktu itu. Dengan tauhid , Islam menegakkan penghargaan kepada perbedaan pendapat dan perbenturan keyakinan. Jika perbedaan pandangan dapat ditolerir dalam hal paling mendasar seperti keamanan, tentunya sikap tenggang rasa lebih lagi diperkenankan dalam mengelola perbedaan pandangan politik dan ideologi. Tampak nyata dari tilikan aspek ini, bahwa Islam melalui ajarannya memiliki pandangan universal, yang berlaku untuk umat manusia secara keseluruhan.

Jaminan dasar akan keselamatan keluarga menampilkan sosok moral yang sangat kuat, baik moral dalam arti kerangka etis yang utuh maupun dalam arti kesusilaan. Kesucian keluarga dilindungi sekuat mungkin, karena keluarga merupakan ikatan sosial paling dasar, karenanya tidak boleh dijadikan ajang manipulasi dalam bentuk apapun oleh sistem kekuasaan yang ada.
Kesucian keluarga inilah yang melandasi keimanan yang memancarkan toleransi dalam derajat sangat tinggi. Dalam kelompok masyarakat lebih besar, selalu terdapat kecenderungan untuk melakukan formalisasi ajaran secara berlebihan, sehingga menindas kebebasan individu untuk menganut kebenaran, kelompok supra-keluarga senantiasa mencoba menghilangkan, atau setidak-tidaknya mempersempit, ruang gerak individu warga masyarakat untuk melakukan eksperimentasi dengan pandangan hidupnya sendiri, dan untuk menguji garis batas kebenaran keyakinan. Padahal upaya melakukan uji coba seperti itulah yang akan menajamkan kebenaran masing-masing keyakinan pandangan maupun pemahaman. Islam memberikan kebebasan untuk melakukan upaya perbandingan antara berbagai keyakinan, termasuk keimanan kita, dan dalam proses itu membuktikan keampuhan konsep keimanan sendiri. Disamping kebenaran yang dapat diraih melalui pengalaman esoteris, Islam juga memberikan peluang bagi pencapaian kebenaran melalu proses dialektis. Justru proses dialektis inilah yang memerlukan derajat toleransi sangat tinggi dari pemeluk suatu keyakinan, dan Islam memberikan wadah untuk itu, yaitu lingkungan kemasyarakatan terkecil yang bernama keluarga. Di lingkungan sangat kecil itulah individu dapat mengembangkan pilihan-pilihannya tanpa gangguan, sementara kohesi social masih terjaga karena keluarga berfungsi mengintegrasikan warganya secara umum ke dalam unit kemasyarakatan yang lebih besar.

Jaminan dasar akan keselamatan harta-benda (al-milk, property) merupakan sarana bagi berkembanguya hak-hak individu secara wajar dan proporsional, dalam kaitannya dengan hak-hak masyarakat atas individu. Masyarakat dapat menentukan kewajiban-kewajibannya yang diinginkan secara kolektif atas masing-masing individu warga masyarakat. Tetapi penetapan kewajiban itu ada batas terjauhnya, dan warga masyarakat secara perorangan tidak dapat dikenakan kewajiban untuk masyarakat lebih dari batas-batas tersebut. Batas paling praktis, dan paling nyata jika dilihat dari perkembangan Sosialisme dan terutama Marxisme-Leninisme saat ini, adalah pemilikan harta-benda oleh individu. Dengan hak itulah warga masyarakat secara perorangan memiliki peluang dan sarana untuk mengembangkan diri melalui pola atau cara yang dipilihnya sendiri, namun tetap dalam alur umum kehidupan masyarakat.
Sejarah ummat manusia menunjukkan bahwa hak dasar akan pemilikan harta-benda inilah yang menjadi penentu kreativitas warga masyarakat, berarti kesediaan melakukan transformasi itulah warga masyarakat memperlihatkan wajah universal kehidupannya?

Jaminan dasar akan keselamatan profesi menampilkan sosok lain lagi dari universalitas ajaran Islam. Penghargaan kepada kebebasan penganut profesi berarti kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan atas resiko sendiri, mengenai keberhasilan yang ingin diraih dan kegagalan yang membayanginya. Dengan ungkapan lain, kebebasan menganut profesi yang dipilih berarti peluang menentukan arah hidup lengkap dengan tanggung jawabnya sendiri. Namun pilihan itu tetap dalam kerangka alur umum kehidupan masyarakat, karena pilihan profesi berarti meletakkan diri dalam alur umum kegiatan masyarakat, yang penuh dengan ukuran-ukurannya sendiri. Ini berarti keseimbangan cair yang harus terus-menerus dicari antara hak-hak individu dan kebutuhan masyarakat, sebuah kondisi situasional yang serba eksistensial sebagai wadah untuk menguji kebenaran keyakinan dalam rangkaian kejadian yang tidak terputus-putus: bolehkah saya lakukan hal ini dari sudut pandangan keimanan saya, padahal diharuskan oleh profesi saya? Rasanya tidak ada yang lebih universal dari pencarian jawaban akan wujud kebenaran dalam rangkaian kejadian seperti disajikan oleh tantangan dari dunia profesi itu.

Secara keseluruhan, kelima jaminan dasar di atas menampilkan universalitas pandangan hidup yang utuh dan bulat. Pemerintahan berdasarkan hukum, persamaan derajat dan sikap tenggang rasa terhadap perbedaan pandangan adalah unsur-unsur utama kemanusiaan, dan dengan demikian menampilkan universalitas ajaran Islam. Namun, kesemua jaminan dasar itu hanya menyajikan kerangka teoritik (atau mungkin bahkan hanya moralistik belaka) yang tidak berfungsi, juga tidak didukung oleh kosmopolititanisme peradaban Islam. Watak cosmopolitan dari peradaban Islam itu telah tampak sejak awal pemunculannya. Peradaban itu, yang dimulai dengan cara-cara Nabi Muhammad SAW mengatur pengorganisasian masyarakat Madinah hingga munculnya para ensiklopedis Muslim awal (seperti al-Jahiz) pada abad ketiga Hijri, memantulkan proses saling menyerap dengan peradaban-peradaban lain di sekitar Dunia Islam waktu itu, dari sisa-sisa peradaban Yunani kuno yang berupa hellenisme hingga peradaban anak benua India.

Kosmopolitanisme peradaban Islam itu muncul dalam sejumlah unsur dominan, seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya dan heterogenitas politik. Kosmopolitanisme itu bahkan menampakkan diri dalam unsur dominan yang menakjubkan, yaitu kehidupan beragama yang eklektik selama berabad-abad. Kalau ditelusuri dengan cermat perdebatan sengit di bidang teologi dan hukum agama selama empat abad pertama sejarah Islam, akan tampak secara jelas betapa beragamnya pandangan yang dianut oleh kaum Muslim waktu itu. Kalaupun hal itu dianggap sebagai kemelut kehidupan beragama kaum Muslim, karena tidak adanya konsensus atas hal-hal dasar, maka harus juga dibaca dengan cara lain bahwa pemikir Muslim telah berhasil mengembangkan watak kosmopolitan dalam pandangan budaya dan keilmuan mereka, karena mampu saling berdialog secara demikian bebas. Kebebasan kaum Mu'tazilah untuk mempertanyakan kebenaran ajaran sentral bahwa al-qur'an turun dalam bentuk huruf dan bahasa yang sekarang dikenal (bahasa Arab, huruf Hija'iyyah) dan menganggap kitab suci kaum Muslim tersebut diturunkan hanya secara maknawi belaka, sesuatu yang sekarang tentunya dianggap sikap seorang murtad dari agama Islam, adalah dari pertanda kuatnya watak kosmopolitan dari peradaban Islam waktu itu. Pertanyaan bagaimanapun gilanya mendapatkan peluang untuk diutarakan dengan bebas. Dalam situasi seperti itu tokh tidak ada bahaya apapun bagi Islam, karena proses dialog serba dialektik akan memunculkan koreksi budayanya sendiri, yang dalam kasus Mu'tazilah mengambil bentuk koreksi al-Asy'ari, al-Maturidi, dan al-Baqillani yang berujung pada ilmu kalam skolastik dari kaum Sunni. Koreksi itupun memperlihatkan watak kosmopolitan, karena ia tidak muncul sebagai hardikan atau tuntutan ilegal-yuridis, melainkan sebagai perdebatan ilmiah yang tidak mengambil sikap mengadili atau menghakimi. Baru ketika kemapanan masyarakat Islam mengambil tindakan melarang perdebatan ilmiah sajalah, sambil memproklamasikan ajaran-ajaran al-Asy'ari dan kawan-kawan sebagai kebenaran ajaran Islam, watak kosmopolitan dari peradaban Islam mulai terputus dengan sendirinya.

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa kosmopolitanisme peradaban Islam tercapai atau berada pada titik optimal, manakala tercapai keseimbangan antara kecenderungan normative kaum Muslim dan kebebasan berpikir semua warga masyarakat (termasuk mereka yang non-Muslim). Kosmopolitanisme seperti itu adalah kosmopolitanisme yang kreatif, karena di dalamnya warga masyarakat mengambil inisiatif untuk mencari wawasan terjauh dari keharusan berpegang pada kebenaran. Situasi kreatif yang memungkinkan pencarian sisi-sisi paling tidak masuk akal dari kebenaran yang ingin dicari dan ditemukan, situasi cair yang memaksa universalisme ajaran Islam untuk terus-menerus mewujudkan diri dalam bentuk-bentuk nyata, bukannya nyata dalam postulat-postulat spekulatif belaka.

Benarkah ajaran Islam menjamin persamaan hak dan derajat di antara sesama warga masyarakat? Mungkinkah keadilan diwujudkan secara konkrit dalam bentuk kemasyarakatan faktual? Jarak yang demikian sempit antara kebebasan berfikir di satu pihak dan imperatif norma-norma ajaran agama memerlukan upaya luar biasa dari para pemikir, budayawan dan negarawan untuk menjaga jarak antara keduanya, agar tidak saling menghimpit. Ketegangan intelektual atau intellectual tension yang mewarnai situasi seperti itu akan memotori kosmopolitanisme yang menjadi keharusan bagi universalisasi nilai-nilai luhur yang ditarik dari ajaran Islam secara keseluruhan.

Dalam semangat seperti itulah para zahid (kaum asketik) Muslim dahulu mengembangkan peradaban Islam. Imam Hasan al-Basri yang demikian dalam tasawufnya, ternyata juga adalah ilmuwan di bidang bahasa. Imam al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidi yang dengan kesalehannya yang luar biasa, ternyata adalah peminat filsafat Yunani kuno, terbukti dari karya agung beliau, Qamus al-A'ain, yang sepenuhnya menggunakan pembagian ilmu pengetahuan melalui kategorisasi filsafat Yunani. Imam Syafi'I mujtahid di bidang hukum agama (fiqh), justru menundukkan proses pengambilan hukum agama istinbat al-ahkam kepada sejumlah kaidah metodologis tertentu, bukannya hanya sekedar menarik hukum dari Al-qur'an dan Sunnah Nabi belaka. Kelahiran usul fiqh sebagai teori hukum, sebenarnya merupakan proses kreatif yang dapat mempertemukan antara kebutuhan masa dan norma ajaran agama, namun sangat disayangkan ia akhirnya menjadi alat yang dipergunakan oleh para penganut fiqh secara tidak kreatif dan dengan sendirinya berubah fungsi menjadi alat seleksi yang sangat normatif dan mematikan kreativitas.

Sebuah agenda baru dapat dikembangkan sejak sekarang untuk menampilkan kembali universalitas ajaran Islam dan kosmopolitanisme peradaban Islam di masa datang. Pengembangan agenda baru itu diperlukan, mengingat kaum Muslim sudah menjadi kelompok dengan pandangan sempit dan sangat eksklusif, sehingga tidak mampu lagi mengambil bagian dalam kebangunan peradaban manusia yang akan muncul di masa pasca-indrustri nanti (yang sekarang sudah mulai nampak sisi pinggirannya dalam cibernetika dan rekayasa biologis). Kaum Muslim bahkan merupakan beban bagi kebangkitan peradaban bagi umat manusia nanti. Dalam keadaan demikian, kaum Muslim hanya akan menjadi obyek perkembangan sejarah, bukannya pelaku yang bermartabat dan berderajat penuh seperti yang lainnya. Jika itu yang diinginkan, mau tidak mau haruslah dikembangkan agenda universalisasi ajaran Islam, sehingga terasa kegunaannya bagi ummat manusia secara keseluruhan. Toleransi, keterbukaan sikap, kepedulian kepada unsur-unsur utama kemanusiaan dan keprihatinan yang penuh kearifan akan keterbelakangan kaum Muslim sendiri akan memunculkan tenaga luar biasa untuk membuka belenggu kebodohan dan kemiskinan yang begitu kuat mencekam kehidupan mayoritas kaum Muslim dewasa ini. Dari proses itu akan muncul kebutuhan akan kosmopolitanisme baru yang selanjutnya, akan bersama-sama faham dan ideologi lain-lain, turut membebaskan manusia dari ketidakadilan struktur sosial-ekonomis dan kebiadaban rejim-rejim politik yang dhalim. Hanya dengan menampilkan universalisme baru dalam ajarannya dan kosmopolitanisme baru dalam sikap hidup para pemeluknya, Islam akan mampu memberikan perangkat sumberdaya manusia yang diperlukan oleh si miskin untuk memperbaiki nasib sendiri secara berarti dan mendasar, melalui penciptaan etika sosial baru yang penuh dengan semangat solidaritas sosial dan jiwa transformatif yang prihatin dengan nasib orang kecil.

Penulis adalah ketua dewan syura DPP PKB.

Senin, 26 Agustus 2002

Islam Dan Dialog Antar Agama

Jumat, 23 Agustus 2002

Islam Dan Masalah Kecukupan

Minggu, 18 Agustus 2002

Islam Dan Orientasi Bangsa

Jumat, 16 Agustus 2002

Muhammadiyah-NU: Perbedaankah atau Perpecahan?

Rabu, 14 Agustus 2002

Orientasi Kehidupan Sebuah Masyarakat

Idul Adha: Antara Kurban dan Korban

Hari raya memiliki maknanya masing-masing. Bila Idul Fitri adalah hari bahagia atas keberhasilan menempa diri, maka Idul Adha lebih merupakan hari yang disediakan secara khusus untuk mengekspresikan sejarah. Penempaan diri dan falsafah kesejarahan adalah dua unsur terpenting dari sebuah agama.

Buah dari penempaan diri adalah fitrah dan kesucian naluriah, sedang buah dari sejarah adalah i’tibar. Penempaan diri adalah ekspresi ketaatan, sedang mengingat sejarah berarti proses mengambil sebuah kesimpulan dari sebuah kenyataan. Yang pertama adalah aksi dan yang terakhir adalah refleksi. Aksi berarti melaksanakan sebuah kesadaran sedangkan refleksi adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran itu.

Sudut pandang di atas memperjelas orientasi masing-masing hari raya dalam kamus Islam. Hari Idul Fitri dibuat untuk merayakan keberhasilan, sedangkan Idul Adha adalah momen mengingat keberhasilan.

Semarak ibadah menjelang, saat, dan setelah Idul Adha berkisar antara haji dan kurban. Bentuk-bentuk ritual dari dua ibadah tersebut merujuk pada seputar apa yang dialami oleh Nabi Ibrahim alaihissalam. Pekerjaan-pekerajaan haji semisal ramy al-jimar (melempar jumrah) adalah untuk mengekspresikan sejarah penolakan Ibrahim terhadap godaan Iblis untuk tidak menyembelih anaknya. Konon, Ibrahim as sampai melempar syetan-syetan yang datang menggodanya dengan batu. Hal itu diabadikan dalam ibadah haji dengan lempar jumrah.

Memang, Ibrahim as sebagai figur muara sejarah agama-agama di dunia (Islam, Yahudi, dan Kristen) memperlihatkan sebuah kisah yang dramatik dalam kehidupan religiusnya. Ia seperti sedang memerankan teladan religiusisme kepada umat manusia. Bagaimana seharusnya manusia menunjukkan ketaatannya kepada Sang Pencipta.

Alkisah, sebuah perintah yang mencengangkan datang kepada Ibrahim as dalam mimpi yang berturut-turut selama tiga hari. Ia diperintah untuk menyembelih anak kesayangannya saat itu, Ismail. Di sini, komitmen ketaatannya kepada Tuhan sedang diuji. Beranikah ia berkorban demi berkurban (kedekatan dengan Sang Pencipta).

Alkisah, Ibrahim as dapat menyelesaikan persoalan pelik itu dengan amat mengesankan. Demi kurban, ia rela berkorban. Tapi, selagi ia mengangkat pedang untuk dihujamkan ke leher anak kesayangannya, Allah membatalkan perintah itu dan mengganti Ismail dengan seekor kambing gemuk.

Kisah penyembelihan ini dikisahkan al-Qur'an dalam Surat al-Shaffat ayat 102-113 dan diabadikan dalam bentuk ibadah yang diajarkan Islam kepada umat manusia. Menyembelih kambing, unta atau sapi, pada hari raya Idul Adha adalah ibadah yang sangat dianjurkan dalam agama tersebut. Penyembelihan menjadi ciri yang ditonjolkan dalam Idul Adha. Termasuk juga pemberian nama hari raya tersebut dengan adha yang berasal dari kata udhiyah (sembelihan).

Kenapa mesti udhiyah yang menjadi hal pokok?

Apa yang dicerminkan Nabi Ibrahim dalam kisah penyembelihan itu sangatlah jelas. Ia dihadapkan pada dua pilihan pelik: antara cintanya kepada Tuhan atau cintanya kepada anak. Dan, Ibrahim mengedepankan kecintaan (ketaatan) kepada Tuhannya di atas segala perasaan yang ada dalam dirinya. Ketaatan absolut semacam inilah yang menjadi inti dari kehidupan beragama.

Ketaatan mutlak telah ditunjukkan Ibrahim as dengan memenuhi tuntutan yang sulit dipahami gunanya. Penyembelihan anak, tindakan yang terkesan sangat anarkis dan kejam. Kendati begitu, perintah itu tetap ia taati.

Tentu, penyembelihan anak itu memang tidak pernah terlaksana. Soalnya itu memang bukan target. Maksud sesungguhnya semata-mata untuk menguji keimanan dan ketundukan mutlak terhadap Sang Pencipta. Uniknya, tuntutan tunduk dalam bentuk yang terkesan anarkis itu kemudian diganti dengan bentuk ketaatan yang sangat rasional: menyembelih kambing lalu disedekahkan.

Penggantian penyembelihan anak ke penyembelihan kambing lebih disebabkan karena jiwa syariat Islam selalu sesuai dengan fitrah. Menyembelih anak sangat bertentangan dengan fitrah; sedang menyembelih kambing untuk disedekahkan sangat sesuai dengan fitrah.

Tercatat ada dua kisah penyembelihan anak yang berubah menjadi penyembelihan hewan dalam sejarah. Rasulullah saw pernah bersabda: Ana ibn al-dzabihayn. Aku keturunan dua orang yang (akan) disembelih. Yang dimaksud beliau dengan sabda itu adalah Ismail as dan Sayyid Abdullah, ayahnya sendiri.

Konon, Abd al-Muththalib, kakek Nabi, pernah bernazar menyembelih seorang anaknya jika telah memiliki sepuluh orang anak atau telah berhasil menggali kembali sumur Zamzam. Hajat terkabul dan Abu Thalib mengundi nama anak-anaknya untuk dijadikan sembelihan nazar. Nama yang keluar dalam undian adalah Abdullah, anak bungsu yang paling ia sayangi.

Ia menuntun Abdullah sambil membawa parang untuk disembelih di Ka’bah. Tapi orang-orang Quraisy mencegahnya. Abdul Muththalib bingung dan mereka menyarankan agar ia menemui seorang dukun perempuan. Sesampai di rumah dukun itu, Abd al-Muththalib diperintah untuk mengundi Abdullah dengan sepuluh ekor unta. Jika yang keluar nama Abdullah, maka ia harus menebusnya dengan dengan sepuluh ekor unta sampai Tuhan ridho. Setelah dilakukan undian, ternyata yang keluar selalu nama Abdullah. Ia mengulangi undian sampai mencapai seratus ekor unta. Baru kemudian sepuluh ekor unta yang keluar. Abdullah tidak jadi disembelih dan sebagai gantinya adalah seratus ekor unta.

Baik dalam kisah Ismail maupun Abdullah, penyembelihan anak sama-sama berakhir gagal. Dan, bentuk pembuktian yang anarkis itu diganti dengan amal yang tidak hanya berdiri dalam ranah religiusisme tapi juga sebuah bentuk kepeluan sosial.

Kepedulian sosial semacam itu adalah jiwa yang selalu dipertontonkan Islam, terutama pada saat-saat hari bahagia (baca: hari raya). Bahwa pada saat bahagia, orang seringkali lupa dengan penderitaan orang di sekelilingnya. Islam pun kemudian mensyariatkan ibadah sosial pada saat hari raya: zakat fitrah pada Idul Fitri dan berkurban pada Idul Adha.

Ibadah sosial pada hari itu adalah amal yang paling disukai Allah dibanding amal yang lain. Sabda Rasul: “Tidak ada amal manusia yang lebih disukai Allah saat hari kurban dibanding mengalirkan darah (hewan kurban). Di hari kiamat hewan tersebut akan datang dengan tanduk, bulu dan kukunya. Kucuran darahnya telah mendapat tempat di Sisi Allah sebelum ia jatuh ke tanah.”

Dalam surat al-Kautsar Allah berfirman: "Aku telah memberimu nikmat yang banyak. Maka shalatlah karena Tuhanmu dan sembelihlah hewan kurban." Dua hal yang duperintah Allah dalam surat ini adalah mengerjakan shalat dan menyembelih kurban (karena Allah, bukan karena manusia).

Surat al-Kautsar diletakkan di setelah Surat al-Ma'un. Dalam surat al-Ma'un Allah menceritakan perilaku para pendusta agama yang lupa saat shalat, tidak punya kepedulian sosial dan mengerjakan sebuah amal atas dasar riya'. Setelah itu Surat al-Kautsar menjelaskan bagaimana salah satu bentuk ideal shalat dan kepedulian sosial itu. Di situ disebutkan, baik shalat--sebagai ibadah murni--maupun penyembelihan kurban--sebagai ibadah sosial--tetap harus tumbuh dalam semangat mendekatkan diri kepada Allah.

Dus, meskipun ibadah seperti penyembelihan tersebut adalah amal sosial, tapi semangat yang mesti ditumbuhkan tidak hanya semangat sosial, tapi juga keagamaan. Ibadah sosial seperti penyembelihan itu tidak hanya bertujuan untuk membagi-bagikan dagingnya kepada masyarakat, tapi harus didasarkan kepada semangat untuk membuktikan ketundukan total kepada Sang Pencipta, sebagaimana semangat yang mendasari Ibrahim as dalam penyembelihan anaknya.

Merujuk pada semangat awalnya dalam sejarah, memang penyembelihan itu tidak hanya memunculkan corak agama dan kepedulian sosial belaka, tapi juga mengajarkan falsafah cinta dan pengorbanan. Sangatlah tepat jika dalam menyebut hewan sembelihan itu, orang kadang menggunakan istilah kurban yang berasal dari kata Arab qurban (mendekatkan diri), kadangpula dengan istilah korban yang berarti pengorbanan. Dalam kosa kata Arab-pun istilah yang digunakan untuk penyembelihan ini berkisar antara qurban (pendekatan) dan udhiyah, nahr serta dzibh. Dalam kamus Arab, baik udhiyah, nahr, maupun dzibh sama-sama mempunyai konotasi makna korban dalam beberapa gejala pengembangan katanya. Konteks harfiah inipun juga turut memperjelas falsafah pembuktian kurban dengan korban. Wallahu A'lam. (ras/rozi)

Artikel 1
ISLAM DAN PROSES MODERNISASI

SEBAGAI AGENDA PENELITIAN DAN KAJIAN AGAMA DI INDONESIA

(M.A.S.HIKKAM)

Permasalahan modernitas dan modernisasi merupakan tantangan besar yang saat ini dihadapi oleh semua kelompok di dalam masyarakat, tidak terkecuali Islam. Bagi yang belakangan ini, modernitas dan modernisasi bukan saja membawa pengaruh bagi posisi kesejarahan selanjutnya di Indonesia, tetapi juga menentukan relevansinya bagi proses menjadi Indonesia di masa depan.

Sebenarnya tantangan modernitas telah mulai dirasakan oleh umat Islam di Indonesia semenjak awal abad ini. Munculnya gerakan-gerakan reformasi Islam, tak lain adalah salah satu ekspresi kesadaran akan ketertinggalan ummat di dalam dunia yang sedang berubah. Hanya saja, pada saat itu gerakan tersebut masih diarahkan pada upaya melakukan pembersihan ke dalam, utamanya berbentuk purifikasi ajaran dan praktek-praktek ibadah yang dicurigai sebagai sumber utama kelemahan ummat.

Hasil dinamika internal Islam ini adalah tumbuhnya dua kekuatan yang masing-masing memiliki basis sosial dan lingkup pengaruh epistemilogis dan pragmatis sendiri di dalam masyarakat, yang ternyata ikut mempengaruhi perkembangan Islam selanjutnya. Apa yang kemudian dikenal sebagai dikotomi Islam tradisional dan modernis ternyata menjadi fenomena sosial yang pengaruhnya melampaui batas-batas komunitas Islam sendiri. Bahkan wacana tentang Islam di Indonesia sampai saat inipun masih dipengaruhi oleh dua kekuatan besar tersebut, walaupun mungkin tidak sekuat dulu lagi.

(untuk mendapatkan artikel selengkapnya, dapat menghubungi Redaksi GEMA Duta Wacana)

Artikel 2
ILMU AGAMA SEBAGAI PENJAGA BAGI KERUKUNAN DAN PLURALISME AGAMA
(Prof. KAREL STEENBRINK)

Dalam konfrontasi antara pandangan yang normatif dan yang konkrit tentang agama, ilmu agama dengan pasti akan berdampingan dengan kenyataan ini, yang dikenal sebagai pluralisme, tidak hanya antar agama, melainkan juga dalam tradisi-tradisi agama. Ilmu agama tentu berusaha untuk meletakkan beberapa aturan di dalam pluralitas ini: dalam satu tradisi agama yang sama terdapat high church (Gereja resmi) dan low church (Gereja arus bawah), pejabat-pejabat gereja berhadapan dengan agama populer, Wahyu berhadapan dengan kondisi kemanusiaan, dan agama sebagai ritual ataukah sebagai suatu aksi sosial. Aspek-aspek ini tergantung pada sifat pribadi orang-orang percaya.
Dalam satu agama terdapat berbagai keragaman atau perbedaan. Perbedaan tersebut adalah masuk akal dan merupakan pluralisme yang sah. Seorang psikolog pragmatis Amerika, William James (1842-1910), telah menempatkan aspek-aspek psikologis agama dalam sebuah aturan ilmiah, di dalam karyanya yang berjudul The Varieties of Religious Experience. A Study in Human Nature (1902). Banyak pula sarjana-sarjana lain yang telah berupaya untuk memasukkan aturan tambahan ke dalam keragaman ini dengan sistem dan aturan yang lebih baik. Daam I Korintus 12, Rasul Paulus telah mengutarakan gagasannya bahwa ada berbagai karunia yang datang dari Roh Kudus akan tetapi tidak semua anggota jemaat Kristen menerima karunia-karunia khusus yang sama. Kesadaran akan pluralisme internal ini akan sangat membantu dalam rangka hubungan antar agama. “Seseorang yang berasal dari luar agama orang lain” sangat jarang menyadari perbedaan-perbedaan internal di dalam suatu agama dan terlalu gampang menyamakan agama apa saja dengan wujud-wujud yang eksrtim dari agama tersebut.

(untuk mendapatkan artikel selengkapnya, dapat menghubungi Redaksi GEMA Duta Wacana)


Artikel 3
BEBERAPA KEMUNGKINAN DI MASA DEPAN DALAM STUDI AGAMA-AGAMA
(Prof. Anton Wessels)

Dalam sumbangan saya ini, saya ingin mengemukakan betapa pentingnya studi tentang agama lain, yang bukan agama kita. Misalnya, studi agama Islam bagi orang Kristen dan studi agama Kristen bagi yang Muslim. Di sini saya akan menjelaskan satu agama lain dalam konteks Eropa. Orang Kristen dan Muslim sering beranggapan bahwa agamanya adalah agama yang murni, melebihi kebudayaan atau paling tidak berada di atas kebudayaan. Sering terjadi para misionaris Barat menuduh orang-orang Kristen di Afrika, Asia dan Amerika Latin melakukan sinkretisme. Saya ingin mengingatkan Anda tentang apa yang pernah diucapkan oleh Dr. Hendrik Kraemer dalam sambutan pembukanya di Universitas Leiden tahun 1973: “The Roots of Syncretism” (“Akar-akar Sinkretisme”). Beberapa teolog Asia dan Afrika menanyakan kepada kami, orang-orang Eropa, tentang bagaimana hubungan kami dengan kebudayaan. ”Apakah Anda sedemikian murni sebagaimana anggapan Anda?”

Saya pikir, kami telah menanggapi tantangan tersebut. Hal ini saya angkat tentu saja dengan maksud menekankan perlunya Indonesia menghadapi studi agama-agama lain. Tetapi saya ingin membantah bahwa hal tersebut hanya berorientasi pada contoh-contoh orang Eropa. Di Eropa, kami mempunyai kecenderungan tidak hanya melihat betapa pentingnya studi tentang agama-agama lain, tetapi juga mengenai agama-agama yang telah ada di Eropa sebelum masuknya Kekristenan. Salah satu pertanyaan yang dihadapi oleh orang dari berbagai keyakinan adalah: bagaimana menghadirkan pesan (baik dari Kristen, Islam atau lainnya ….) dalam dunia dewasa ini? Haruskah agama melawan kebudayaan ataukah ada kemungkinan bagi suatu transformasi budaya?

(untuk mendapatkan artikel selengkapnya, dapat menghubungi Redaksi GEMA Duta Wacana)

Artikel 4
BEBERAPA CATATAN TERHADAP MAKALAH PROF. ANTON WESSELS:
THE FUTURE POSSIBILATIES WITHIN THE FIELD OF RELIGIONS STUDIES
(Dr. John A. Titaley)

1) Pertama-tama harus dikatakan bahwa pendekatan yang digunakan Prof. Wessels sangat menarik. Jarang ditemukan dalam kehidupan Kekristenan di Indonesia, suatu uraian tentang cara Injil berkembang dalam konteks kebudayaan Eropa. Orang-orang Kristen di Indonesia dalam cara-cara tertentu mengalami kesulitan untuk membedakan dalam Kekristenan yang diterimanya dari Eropa, terutama yang dibawakan oleh Belanda, antara bungkusan dan yang dibungkus, antara Injil dan budaya. Karena Kekristenan dilihat sebagai suatu kemasan yang sudah jadi, maka menjadi Kristen dipahami pula sebagai menjadi “Barat”, “Eropa”, dsb.

2) Pendekatan seperti ini baru bisa dilakukan apabila Kekristenan tidak hanya dikembangkan berdasarkan satu pendekatan saja, yaitu pendekatan doktriner (dogmatis). Kekristenan tidak cukup dipahami hanya sebagai suatu dokterin yang sudah jadi, sehingga yang harus dilakukan hanyalah menerima begitu saja Kekristenan tersebut. Yang harus diterima begitu saja adalah Injil, bukan Kekristenan.

Pendekatan seperti yang dilakukan oleh Prof. Wessels mengasumsikan adanya pemahaman yang memadai terhadap berbagai pendekatan studi agama yang lain dari sekedar pendekatan doktriner, di antaranya fenomenologi agama. Asumsi-asumsi seperti ini memungkinkan agama dilihat juga dari segi sosial budaya, selain segi ilahi belaka. Dalam pendekatan yang demikian, kehidupan beragama dipahami sebagai yang terjadi dalam tindakan (aksi) sehari-hari dari manusia yang telah hidup dalam suatu tatanan sosial-budayawi tertentu. Sekalipun ada norma yang baku seperti mengasihi Tuhan dan sesama yang harus diterapkan oleh setiap pengikut Kristus, tetapi norma itu mengambil bentuk budayawi, seperti adegan rangkulan ….. terhadap Pawel sebagaimana dikutip dalam makalah Prof. Wessels.

(untuk mendapatkan artikel selengkapnya, dapat menghubungi Redaksi GEMA Duta Wacana)

STUDI AGAMA-AGAMA DALAM KONTEKS INDONESIA
(Dr. Zakaria J. Ngelow)

Pada arah itulah studi agama-agama di Indonesia penting mempertimbangkan konteks Indonesia. Kenyataan Indonesia dewasa ini dan arah perkembangannya memasuki abad ke-21 menunjukkan berbagai tantangan. Pertama-tama dapat disebutkan tantangan-tantangan umat manusia secara global. Soedjatmoko mengemukakan tiga keprihatinan umat manusia yang menantang peran baru agama-agama dunia dewasa ini:
1. Teknologi persenjataan militer mutakhir yang dapat memusnahkan kehidupan seluruh umat manusia.

2. Kemiskinan, kelaparan dan kesengsaraan melanda manusia dimana-mana.

3. Urgensi mengelola secara lebih irit dan bijaksana sumber-sumber daya alam yang terbatas.

Sejajar dengan itu, sidang Parlemen Agama-agama Dunia pada tahun 1993 di Chicago mengutuki kenyataan-kenyataan: perusakan ekosistem bumi, kemiskinan, dan ketidakadilan serta permusuhan antarbangsa (termasuk yang berlangsung atas nama agama). Selain kemiskinan dan masalah pelestarian fungsi sumber daya alam dan lingkungan hidup, konteks Indonesia mengedepankan krisis moral dalam proses pembangunan menuju proses demokratisasi. Menyangkut kemajemukan agama, kebebasan beragama (termasuk kebebasan bermisi dan berpindah agama), perkawinan pasangan yang menganut agama yang berbeda, kedudukan hukum agama-agama yang “tidak resmi” hubungan agama dan negara (termasuk politisasi dan depolitisasi agama) merupakan pokok-pokok masalah agama dalam konteks Indonesia dewasa ini.

(untuk mendapatkan artikel selengkapnya, dapat menghubungi Redaksi GEMA Duta Wacana)


Artikel 6
STUDI AGAMA-AGAMA DAN POSISINYA DI SEKOLAH-SEKOLAH TEOLOGI PROTESTAN DI INDONESIA
(Dr. Nelly van Doorn-Harder, M.A.)

Salah satu masalah yang harus dikemukakan para ahli studi agama-agama di STT ialah bagaimana mempersatukan berbagai metode dan pendekatan ke dalam riset dan kurikulum mereka. Menggunakan buku pegangan Barat untuk studi agama-agama dengan sendirinya akan membawa pada pengetahuan umum tentang sejarah, teori dan metode yang berbeda-beda dalam bidang ini. Ini berarti bahwa isi kuliah yang menggunakan buku-buku pegangan ini jelas akan menekankan aspek teori dari studi agama-agama. Hal ini tidak tepat untuk situasi di Indonesia. Seperti yang ditunjukkan John Titaley dalam pendapatnya, realitasnya ialah bahwa mayoritas penduduk di Indonesia adalah Muslim. Realitas ini akan sangat diabaikan apabila orang Indonesia mencoba meniru buku-buku pegangan tentang studi agama-agama dari Barat. Mahasiswa teologi perlu mengenal 'dari dalam' masyarakat yang berbeda iman, kepercayaan dan adat-istiadatnya. Ini berarti bahwa STT harus memberikan kesempatan bagi para mahasiswa untuk melakukan proyek kerja praktek kecil dan mempertemukan mereka dengan mahasiswa yang berkeyakinan lain, contohnya selama terlibat dalam seminar atau selama diskusi tentang persoalan-persoalan yang diajukan oleh semua kawula muda di seluruh Indonesia.

Disetujui pula bahwa para ahli Indonesia baik Muslim, Kristen maupun agama lain membutuhkan paradigma baru yang dapat digunakan untuk mengembangkan metode mengajar yang kontekstual bagi studi Agama-agama. Ini bukan berarti bahwa teori-teori para ahli Barat seperti Max Weber dan Clifford Geertz harus ditinggalkan. Artinya para ahli Indonesia sebaiknya tidak hanya mengandalkan buku-buku dari Barat, melainkan seharusnya terus mengupayakan teori-teori yang sesuai untuk masa kini dan situasi setempat.10 Menurut para peserta seminar, dekonstruksi metode-metode dan pendekatan-pendekatan Barat itu perlu; khususnya pendekatan Kristen dari Barat yang, misalnya, tidak menyisakan tempat sama sekali bagi Islam.

(untuk mendapatkan artikel selengkapnya, dapat menghubungi Redaksi GEMA Duta Wacana)


Artikel 7
STUDI AGAMA-AGAMA: SEBUAH KOMPILASI AWAL ESEI BIBLIOGRAFI TERSELEKSI
(Karmito, M.Th.)

Munculnya mazhab-mazhab itu sekaligus melukiskan tokoh-tokoh besar dalam telaah "ilmiah" studi agama-agama. Eric Sharpe misalnya menempatkan enam tokoh dalam kajiannya berjudul "Six Major Figures in Religious Studies" dalam The World's Religions, 1982.
Tokoh-tokoh tersebut adalah: Friedrich Max Muller (1823-1900) yang terkenal sebagai Bapak Ilmu Perbandingan Agama. Buku-bukunya yang berjudul Rig Veda, 4 volume terbit antara tahun 1849 - 1862; Comparative Mythology, 1856; Introduction to the Science of Religion, 1873; India, What Can It Teach Us?, 1883; dan 50 volume karya besar seri Sacred Books Of The East yang dewan redaksinya dibawah tanggungjawabnya; telah memperkokoh posisinya selaku pendiri "mazhab" fisafat dan perbandingan mitologi dalam ilmu sejarah agama. Belakangan muncul tokoh-tokoh yang tertarik pada interpretasi anthropologis, etnologis, psikologis, dan sosiologis. Tokoh yang "mencipta" istilah 'animisme' Sir Edward Burnett Tylor (1832-1917), telah meretas jalan bagi pemahaman akan agama pada aras yang paling dasariah melalui karya-karyanya yang berjudul: Anahuac, 1861; kemudian Researches Into The Early History Of Mankind, 1865; dan bukunya yang paling masyhur Primitive Culture, London: Murray, 1871, 2 volume: I. The Origins of Culture, II. Religion in Primitive Culture. Sementara itu William James (1842-1910) melalui buku-bukunya telah mempopulerkan psikologi agama seperti dalam karya klasiknya The Varieties of Religious Experience, 1902; dan bahan-bahan kuliahnya seperti The Will to Believe 1896; Pragmatism 1907; dan Human Immortality 1908. Seorang pelopor dalam kajian studi sosiologi agama dan pemerhati konsep korban serta eksistensi "totemisme" adalah William Robertson Smith (1846-1894). Ia terkenal karena karyanya berjudul Lectures on The Religion Of The Semites, 1889. Seorang pendeta dari gereja Free Church of Scotland dan profesor Perjanjian Lama pada Free Church College, Aberdeen yang kaya pengalaman akan kehidupan orang-orang Bedouin Semenanjung Sinai dan Afrika Utara. Bukunya berjudul Kinship and Marriage in Early Arabia, 1885 adalah hasil muara pengalaman mengunjungi kawasan semenanjung Arab tersebut.

Bebas artikel

meninggal dunia 1650 Masihi) tidak menitikberatkan pengalaman manusia yang konkrit dan kejadian alam tabii dalam usaha untuk memahami hakikat kewujudan. Mereka lebih cenderung kepada aspek kesatuan melalui kaedah deduktif, berbanding dengan pendukung empirisisme yang menekankan aspek kepelbagaian melalui kaedah induktif. Kaedah deduktif umumnya bertolak daripada prinsip umum (yang diperoleh daripada akal atau agama) dan hasilnya dicari dalam pengalaman konkrit; manakala kaedah induktif pula, yang dianggap penting dalam kaedah sains, bertolak daripada fakta konkrit untuk merumus prinsip umum. Pertentangan hebat mazhab empirisisme dengan rasionalisme yang mempunyai pengaruh mendalam dalam sejarah agama dan pemikiran Barat telah cuba ditangani oleh golongan pragmatis seperti Charles S. Peirce (meninggal dunia 1914), William James (meninggal dunia 1910) dan John Dewey (meninggal dunia 1952).

Pragmatisme, sebenarnya adalah satu bentuk empirisisme radikal kerana kedua-duanya meletakkan kedudukan tinggi hanya kepada kaedah (method) bukan kepada hasil tertentu. Ilmu dilihat sebagai satu proses yang berdasarkan percubaan dan pengalaman, bukan berdasarkan prinsip besar atau utama. Kebenaran sesuatu, bagi kedua-duanya bergantung kepada kadar sumbangannya atau kegunaannya terhadap penganutnya. Misalnya, William James tidak menolak kepercayaan agama atau sesuatu yang tidak boleh dibuktikan dengan panca indera zahir, sekiranya ia berguna untuk individu atau kelompok yang berkenaan. Bagi James misalnya, hakikat kewujudan Tuhan sebagai satu aspek ajaran agama tidak penting; yang penting ialah jika kepercayaan itu boleh memberikan kesejahteraan kepada orang yang mempercayainya.

Penekanan yang melampau terhadap sesuatu aspek dalam usaha keilmuan dan seterusnya dalam pembinaan diri dan tamadun seperti yang kerap berlaku dalam sejarah manusia, terutamanya manusia moden yang dipimpin oleh pandangan alam Barat sekular telah mengakibatkan banyak kezaliman dalam kehidupan manusia dan alam. Seperti yang akan diulangi di beberapa tempat dalam buku ini, manusia hari ini bukan tidak mengetahui banyak perkara; malah sebaliknya. Manusia hari ini memang mengetahui banyak perkara, tetapi banyak perkara penting yang tidak diketahuinya. Ini adalah kerana konsep ilmunya amat sempit. Dia telah mengeluarkan hakikat penting seperti Tuhan, malaikat, roh diri manusia sendiri dan lain lain yang diketahui hanya melalui autoriti manusia terpilih, daripada ruang ilmu dan umpuannya. Autoriti manusia terpilih bermaksud ilmu yang diperoleh melalui para rasul, nabi, dan orang yang berakar dalam ilmu.

Kezaliman bermaksud keadaan kacau yang memperlihatkan kedudukan sesuatu bidang ilmu bukan pada tempatnya yang wajar. Keadaan kacau ini berlaku kerana manusia tidak lagi mempunyai neraca yang sempurna untuk menilai pelbagai bidang dan jurusan keilmuan untuk membuat pemilihan yang betul. Skima kepentingan sesuatu ilmu terletak kepada penilaian peribadi individu dan perkiraan kehendak individu atau golongan yang berpengaruh dalam negara. Faktor penting dalam penilaian ini ialah keupayaan memberikan pulangan ekonomi dan martabat sosial semasa aman, dan keupayaan ketenteraan semasa perang. Justeru ini agama, kemanusiaan dan sejarah

“Fundamentalisme Amerika Syarikat telah mewujudkan keduka-citaan”

Dari Socialist Worker, Nombor 1801, 25hb Mei 2002. Hak cipta Socialist Worker.

Diterjemahkan oleh Muhammad Salleh (Mei 2002).

Tariq Ali adalah seorang sosialis, dan penyokong kempen anti-imperialis dan anti-peperangan. Dia telah menulis buku baru, The Clash of Fundamentalisms. Tariq berbincang dengan Kevin Ovenden dan Talat Ahmed mengenai beberapa isu yang diutarakan oleh buku tersebut.

Penjelasan utama dalam media massa bagi 11hb September adalah bahawa ia merupakan hasil daripada fundamentalisme tidak waras. Bagaimanakah anda menjawab tuduhan ini?

Orang yang menyerang Amerika Syarikat merupakan orang yang ia [Amerika Syarikat] telah melatih sendiri. Al-Qaida merupakan sebuah kumpulan yang telah berjuang untuk mereka dan dengan mereka di Afghanistan, dan bukan sahaja di Afghanistan. Kita kini mempunyai maklumat yang dilepaskan oleh kerajaan Belanda bahawa Al-Qaida telah berjuang bahu ke bahu dengan Amerika Syarikat di Bosnia. Al-Qaida merupakan orang yang Amerika Syarikat telah menggunakan secara sistematik untuk memperjuangkan peperangan-peperangannya dan beberapa jihad. Apabila orang ini akhirnya dibiarkan oleh Amerika Syarikat, mereka berpaling dan menentang Amerika Syarikat. Al-Qaida kemudiannya menggunakan pergolakan mendalam di Arab Saudi dan Mesir terhadap rejim-rejim tersebut untuk memenangi sokongan. Sebahagian besar daripada kader-kader mereka datangnya dari Arab Saudi dan Mesir, bukannya Afghanistan.

Ramai pengulas serius di Amerika Syarikat telah memberi amaran kepada Amerika Syarikat mengenai ini. Chalmers Johnson telah memberi amaran setahun sebelum 11hb September bahawa, oleh kerana apa yang Amerika Syarikat sedang melakukan di dunia, seseorang sudah pasti akan menyerang Amerika Syarikat. Namun, buku dia telah diserang dan dikutuk dalam media massa Amerika. Dia berada di hati badan perisikan Amerika dan pertubuhan ilmiawan. Ini bukannya sesuatu yang hanya dikatakan oleh sayap kiri.

Amerika Syarikat telah diserang oleh orang yang ia telah bekerjasama dengan untuk menentang sayap kiri, menentang Komunisme, menentang nasionalisme sekular, menentang apa-apa penyelesaian radikal di dunia Islam. Untuk mengatakan ini bukanlah sama dengan memunasabahkan apa yang berlaku, tetapi untuk mencuba memahaminya. Segala bukti yang kita mempunyai menunjukkan bahawa Amerika Syarikat sekali lagi sedang membuat kesilapan-kesilapan yang sama. Mereka telah membunuh 4,000 orang yang tidak bersalah di Afghanistan dan masalah itu belaum lagi diselesaikan bagi mereka.

Mereka telah menggolakkan Pakistan dengan memberikan pihak fundamentalis dalam angkatan tentera kedudukan kuat yang dapat digunakan untuk melemahkan Musharraf apabila senjata dan duit Amerika Syarikat tidak lagi mengalir, yang sudah pasti akan berlaku. Sambil fundamentalisme adalah sangat emah di Pakistan secara menyeluruh, ia adalah sangat kuat dalam peralatan kerajaan kerana ia diciptakan oleh peralatan kerajaan itu sendiri. Ini merupakan sesuatu yang akan meletup dalam beberapa tahun akan datang. Amerika Syarikat telah menggolakkan seluruh benua kecil itu. Rejim India merupakan kerajaan fundamentalis Hindu melampau, yang tidak disukai oleh dunia Barat. Rejim itu berkata, jika Amerika Syarikat dapat membunuh orang dan mengebom negara-negara untuk menghalang keganasan, maka kita dapat melakukannya juga.

Itulah logik yang diwujudkan oleh imperialisme. Kini, Amerika Syarikat akan melakukan salah satu kesilapan paling besar, kesilapan yang mereka akan membayar harga yang tinggi sekarang atau kemudian – itu merupakan serangan ke atas Iraq. Apa yang mereka sedang merancang untuk melakukan adalah untuk merampas kawasan-kawasan Kurd di Iraq, mendirikan sebuah negara terkawal, membatasi terigi-terigi minyak daripada Saddam Hussein dan biarpun dia mengalami kebuluran. Mereka akan mencuri minyak di Iraq dan menjadikan Iraq seperti kawasan Balkan. Mereka tidak peduli apa yang berlaku. Mereka tidak akan membiarkan rakyat Iraq memilih kerajaan mereka sendiri. Mereka tidak pun mengatakan bahawa ia mempunyai apa-apa kaitan dengan keperimanusiaan mahupun demokrasi.

Anda pernah menggunakan ungkapan “fundamentalisme Amerika Syarikat adalah ibu segala fundamentalisme.” Apakah yang dimaksudkan anda?

Pada masa saya mengatakan itu, saya memaksudkannya secara politik, ketenteraan dan ekonomi. Perihal ekonomi kita tidak patut melupakan. Alam neo-liberal yang telah diciptakan oleh Empayar Amerika dan model Anglo-Saxon yang telah dipaksa ke dalam kerongkong sebahagian besar adripada dunia telah mewujudkan keduka-citaan pada skala besar-besaran. Orang akan bertindak dengan cara yang berbeza. Sebahagian orang akan menuju ke arah agama. Sebahagian lain, yang berpendapat bahawa parti-parti tengah tidak mampu menangani masalah-masalah, akan menuju ke arah sayap kanan, seperti yang kita telah melihat di Perancis. Seseorang tidak patut melihat pemutaran ke sayap kanan di Perancis sebagai berhubungan sepenuhnya dengan kemusuhan terhadap rakyat Arab dan pendatang asing. Sebahagiannya adalah itu, tetapi itu juga disebabkan oleh krisis ekonomi.

Orang akan menghukum rejim-rejim mereka dengan cara-cara yang berlainan. Semakin awal kesatuan-kesatuan pekerja dan pertubuhan-pertubuhan demokrasi sosial menyedar ini, semakin baik. Tetapi jauh daripada menyedarinya, terdapat orang yang menyokongnya. Peter Hain [dalam kerajaan Parti Buruh di Britain] kini mengatakan bahawa masalah sebenarnya adalah pendatang asing yang memohon perlindungan. Dia dan kerajaannya sedang menolak masuk polisi-polisi neo-liberal setiap hari. Orang sedang dibunuh akibatnya di Britain, misalnya dengan kemalangan keretapi. Lebih daripada 80 peratus daripada penduduk Britain menginginkan rangkaian keretapi dibawa kembali kepada permilikan awam. Kerajaan ini [Parti Buruh] tidak akan melakukkanya. Kemudian Hain, orang remeh-temeh ini, mempunyai keberanian untuk berdiri dan berkata bahawa kita perlu menghalang kemasukan pemohon perlindungan. Strategi orang seperti dia sentiasa adalah untuk menyalahkan mangsa. Itu biasanya merupakan strategi sayap kanan melampau dan pihak pemerintahan mutlak. Kini Blunkett dan Hain sedang menggunakan cogan kata seperti itu. Secara swasta, mereka mengatakan bahawa mereka sedang melakukan ini untuk mengambil semula sokongan dari sayap kanan. Tetapi jika anda melakukan itu dengan menjadi sayap kanan sendiri, maka siapakah yang memerlukan sayap kanan melampau lagi?

Terdapat orang yang mengatakan bahawa kaum Islam sangat bersifat konservatif fan tidak ingin bercampur dengan masyarakat Britain.

Orang seperti itu tidak pernah berucap mengenai fundamentalisme Kristian atau konservatisme. Di Amerika Syarikat, seorang Kristian lahir semula adalah Presiden. Peguam Umum Amerika Syarikat, Ashcroft, mengikuti mesyuarat sembahyang setiap pagi, dan dia menulis zikir yang dia kadang-kala menyanyi kepada pekerja-pekerja di Jabatan Keadilan yang keliru! Tony Blair merupakan seorang Kristian melampau. Dia sedang mencadangkan sekolah-sekolah satu agama diperkenalkan ke dalam masyarakat Britain. Hain mengatakan bahawa masalahnya adalah Islam. Saya berpendapat bahawa masalahnya adalah kerajaan sendiri. Mengapakah Hain tidak menyerang Blair kerana mengatakan bahawa sekolah-sekolah satu agama adalah idea yang baik?

Salah satu perkara yang diutarakan dalam buku anda adalah pemahaman mengenai mengapa orang berpaling kepada Islamisme. Adakah anda berpendapat bahawa kuasa-kuasa sosial yang berbeza dapat diluahkan melalui idea-idea agama?

Ya. Ini telah berlaku secara bersejarah selama 500 tahun yang lalu. Dalam Revolusi Inggeris, buku-buku dan kitab-kitab suci merupakan cara yang kuasa-kuasa sosial meluahkan dirinya. Apabila terdapat kuasa-kuasa sosial, gerakan-gerakan dan alienasi, maka orang akan menuju ke tempat di mana mereka mendapat perluahan. Apabila anda mempunyai negara-negara di mana semua kegiatan politik diharamkan, di mana sayap kiri telah dimusnahkan, dan di mana apa-apa pemikiran sekular tidak dibenarkan, dan di mana pintu yang terbuka hanyalah pintu-pintu kepada masjid, maka ia tidak menghairankanlah bahawa mullah-mullah biasanya menguasai segala perbincangan.

Dalam pendapat anda, bagaimanakah sayap kiri patut berhubung dengan ini?

Satu-satunya cara yang sayap kiri dapat berhubung dengan ini adalah untuk dilihat sebagai bersifat anti-imperialis kukuh. Anda tidak dapat bermaju – malah anda tidak dapat membuka dialog pada apa-apa isu yang lain – kecuali jika penganut Islam muda sedar bahawa anda merupakan anti-imperialis. Saya telah menjumpai ini secara peribadi. Berucap di merata-rata dunia, pemuda-pemudi datang ke perhimpunan-perhimpunan saya – mereka berbincang dengan saya, mereka berdebat dengan saya. Mereka ingin berbincang kerana mereka sedar yang saya menentang imperialisme dan apa yang diwakili olehnya. Idea bahawa satu-satunya masa depan bagi dunia terletak di Barat dan satu-satunya projek pembebasan adalah Amerika Syarikat sama sekali tidak mempunyai pengaruh di kalangan pemuda-pemudi ini, dan dengan sebab yang baik. Mereka dapat melihatnya sebagai tipu-helah.

Amerika Syarikat telah mengeklankan rejim-rejim yang paling reaksioner di dunia Arab selama beberapa tahun. Arab Saudi telah dikekalkan oleh mereka sejak tahun 1940-an – selama 60 tahun, mereka telah mengekalkan satu keluarga dalam kuasa di Arab Saudi. Seseorang perlulah berterus-terang, sangat tajam berkenaan dengan imperialisme – kemudian kita membuka perdebatan dengan mereka. Kepada pemuda-pemudi Islam yang mengikuti demonstrasi-demonstrasi anti-peperangan, kita perlulah berterus-terang, dan mengatakan bahawa kita tidak bersetuju dengan mereka sama sekali berkenaan dengan agama.

Tidak terdapatnya satu pun agama yang menawarkan peneyelesaian kepada krisis yang diwujudkan oleh jentera kapitalis global. Sebenarnya, agama menandakan pengunduran daripada dunia yang wujud. Tetapi kami sangat gembira untuk berarak dengan anda menentang peperangan yang dimulakan oleh Empayar Amerika. Sayap kiri perlu mendedahkan dirinya dan memenangi orang kepada idea-ideanya. Anda tidak dapat melakukan itu dari tepi, atau dengan menulis rencana-rencana dalam akhbar Guardian dan Observer [akhbar-akhbar di Britain]. Ini meruakan generasi yang sangat terpulau, yang membesar di sini dan di luar negara. Saya melihat ini di merata-rata. Mereka berpendapat bahawa sayap kiri tidak membantu mereka pada masa yang lalu. Kita perlu mengatakan kepada mereka bahawa kita sangat menentang apa yang dunia Barat ingin melakukan kepada kawasan itu dan kita akan berjuang menentangnya.

Itu kemudiannya membolehkan pembinaan jambatan, dan orang perlu menaiki jambatan itu, dan berbincang dan berdebat. Anda perlu mendidik pemuda-pemudi Islam untuk berfikir dengan cara yang terbuka. Misalnya, seluruh Amerika Latin adalah ditindas. Perkara terbaru yang Amerika Syarikat melakukan adalah untuk mencuba menumbangkan rejim Chavez di Venezuela, kerana ia bukannya rejim pro-Amerika Syarikat walaupun ia dilantik secara demokratik. Lebih penting lagi, seseorang perlu mencuba untuk meyakinkan pemuda-pemudi Islam bahawa anda hanya dapat mengalahkan Empayar Amerika secara ideologi jika idea-idea yang anda mengutarakan adalah lebih mantap daripada idea-idea yang wujud di Amerika Syarikat. Itu tidak dapat dibekalkan oleh fundamentalisme agama – biarpun Islam, Yahudi atau Kristian.

Tragedi benar adalah bahawa ramai penyokong fundamentalis Islam muda dan tua tidak mempunyai pemahaman mengenai sejarah agama mereka sendiri. Mereka tidak menyedari bahawa terdapat sejarah yang kaya dengan perselisihan dan bidaah, dan bahawa ini dahulunya selalu diperdebatkan. Saya mengatakan dengan terbuka bahawa saya merupakan seorang atheis, seorang materialis dan tidak pernah percaya akan tuhan. Ia adalah penting untuk bersifat terbuka. Saya mengingati sepuluh sahabat terbaik saya semasa saya sedang membesar di Pakistan, dan tidak satu pun daripada mereka berkeagamaan dan mereka datangnya dari setiap kelas sosial. Terdapat berjuta-juta orang sekular di dunia Islam yang tidak mengutarakan suara mereka, tetapi secara peribadi bersetuju dengan pelbagai benda yang kita mengatakan.

[Nasional] Menakar Gagasan Islam Pribumi

Ambon national@mail2.factsoft.de
Fri Feb 21 01:44:00 2003

· Previous message: [Nasional] Islam dan Pesan Emansipatoris

· Next message: [Nasional] Mencari Titik Api Pernyataan Kwik

· Messages sorted by: [ date ] [ thread ] [ subject ] [ author ]

http://www.mediaindo.co.id/cetak/berita.asp?id=2003022100302750
Media Indonesia
Jumat, 21 Februari 2003
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Menakar Gagasan Islam Pribumi
Akh Muzakki, Dosen IAIN Sunan Ampel, sedang studi lanjut di ANU Canberra
 
 
KEBIASAAN tradisionalis bisa dijadikan pegangan sebagai hukum, Al-`Adah
Muhakkamah. Begitulah salah satu maksim yang berlaku dalam tradisi hukum
Islam. Adat kebiasaan yang berlaku di sebuah masyarakat bisa
ditransformasikan menjadi sebuah tatanan hukum Islam bila hal itu dinilai
tidak bertentangan dengan substansi ajaran Islam.
 
Maksim di atas menghadirkan sebuah pesan bahwa Islam tidak membunuh tradisi
lokal yang sudah mapan di masyarakat. Akan tetapi, justru mengapresiasi
positif tapi kritis tradisi lokal itu. Diapresiasinya tradisi lokal tadi
selanjutnya mengantarkan praktik agama tersebut ke suatu masyarakat tertentu
potensial untuk berbeda dengan yang dipraktikkan di tempat asalnya, Arab
Saudi. Di antara buktinya adalah diapresiasinya kebiasaan mendoakan orang
mati selama beberapa hari yang kemudian dijadikan sebagai tradisi Islam
bernama tahlilan.
 
Dari kerangka apresiasi Islam terhadap tradisi lokal tersebut, gagasan
'Islam Pribumi' dimunculkan beberapa waktu lalu (Khamami Zada, Menggagas
Islam Pribumi, Media Indonesia 7/2/03). Gagasan yang lahir dari rahim
Lakpesdam NU tersebut mengandaikan pluralitas wajah Islam di tingkat praksis
sosial seiring dengan karakter kebhinnekaan Indonesia. 'Islam Warna-warni'
adalah cita-cita keberagamaan yang ingin diwujudkan oleh gagasan tersebut.
Islam Pribumi ingin menonjolkan karakter keislaman Indonesia yang plural,
toleran, dan apresiatif terhadap keragaman tradisi lokal. Dengan kata lain,
gagasan Islam Pribumi, meminjam istilah Ulil Abshar-Abdalla, merupakan
bentuk 'pembiaran' dan sekaligus 'pengakuan' terhadap tradisi lokal yang
dipraktikkan masyarakat Islam Indonesia. Jadi, penekanannya lebih pada
semangat keindonesiaan daripada kearaban.
 
Dari sisi konsep kultural, gagasan Islam Pribumi sungguh sangat dekat dengan
apa yang selama ini dicitrakan sejumlah pemerhati terhadap Islam Indonesia
sebagai sinkretis.
 
Melintasi batas kultural
 
Tatkala sebuah agama mengalami penyebaran meluas ke berbagai belahan dunia,
ketegangan yang berpusat pada hubungan agama dengan diversitas kultural akan
muncul. Ketegangan dimaksud berangkat dari proses perubahan (process of
conversion) yang menimpa sejarah agama di masyarakat lingkungan baru
tersebut. Melalui teorinya Melintasi Batas Kultural (Crossing Cultural
Boundaries), John R Bowen (Religions in Practice, 2002:164) menegaskan bahwa
proses konversi dimaksud menuntut dua hal penting. Pertama, 'penerjemahan'
elemen-elemen keagamaan dari sebuah bahasa dan budaya asal munculnya agama
tersebut kepada sebuah bahasa dan kultur baru. Dan kedua, 'penyesuaian diri'
agama dimaksud dengan lingkungan baru. Dengan demikian, ketika berhasil
mengundang ketertarikan penganut secara luas, agama akan menjalani proses
melintasi batas kultural dengan melibatkan tiga hal penting di atas:
konversi, penerjemahan, dan penyesuaian diri.
 
Ketiga proses melintasi batas kultural di atas memunculkan ketegangan yang
kuat pada tataran teologis. Ketegangan tersebut terjadi dalam menangkap dan
memelihara pesan inti agama, termasuk praktik keagamaan. Maka,
gagasan-gagasan seperti ortodoksi dan ortopraksi selalu diusung dalam
merespons pertautan antara agama dan tradisi lokal suatu masyarakat (Bowen
2002:164). Menurut Seyyed Hossein Nasr (The Heart of Islam, 2002:84-5),
gagasan ortodoksi dimaksud berarti kepemilikan terhadap kebenaran agama
(religious truth). Sedangkan ortopraksi, cara yang benar dari praktik dan
pencapaian kebenaran dimaksud. Dalam konteks totalitas tradisi dan spektrum
Islam, gagasan ortodoksi dan ortopraksi tersebut dapat dipahami sebagai
kondisi keberadaan di jalan yang benar (straight path) (Nasr, 2002:85).
Kegagalan menangkap dan melindungi pesan inti agama serta praktik keagamaan
yang dianggap 'benar' tersebut dapat memunculkan penilaian bahwa sebuah
praktik keagamaan tidak absah.
 
Pola reinterpretasi Islam dengan menggunakan tradisi lokal di atas kemudian
memunculkan apa yang dinamakan sinkretisme. Menurut Bowen (2002:170),
sinkretisme berarti percampuran antara dua tradisi atau lebih, dan terjadi
manakala masyarakat mengadopsi sebuah agama baru dan berusaha membuatnya
tidak bertabrakan dengan gagasan dan praktik kultural lama. Proses
percampuran tersebut biasanya melibatkan sejumlah perubahan pada
tradisi-tradisi yang diikutsertakan.
 
Keberagamaan sinkretis
 
Di Indonesia, Islam datang dengan membawa segala keluwesannya terhadap
berbagai bentuk tradisi lokal yang sudah berkembang saat itu. Islam
menggunakan, atau minimal tidak memberangus tradisi lokal yang tingkat
penumbuhannya di level sosial sudah kuat. Keluwesan Islam terhadap tradisi
lokal Indonesia menjadi wadah subur penyemaian agama tersebut dan pada saat
yang sama menjadi pembenar bagi penilaian sinkretisme Islam nusantara ini.
 
Dengan keluwesan itu, Islam begitu cepat dipeluk menjadi agama mayoritas
masyarakat Indonesia. Akan tetapi, dengan keluwesan itu pula, Islam di
wilayah ini diidentifikasi oleh para pemerhati keagamaan, seperti Geertz
(The Interpretation of Culture, 1975), Anderson (The Idea of Power in
Javanese Culture, 1972), dan Jay (Javanese Villagers, 1969), sebagai
sinkretis. Identifikasi ini menunjuk Islam Indonesia sudah tidak lagi murni
karena tampilannya tidak sama persis dengan Islam di tempat ia membentuk
diri, melainkan termodifikasi di atas bangunan tradisi lokal Indonesia.
 
Namun, sejumlah pemerhati lain, seperti Lynda Newland (Under the Banner of
Islam, 2000:199-222), menganggap identifikasi di atas cenderung menegasikan
variasi lokal Islam. Identifikasi tersebut dinilai banyak dipengaruhi oleh
cara berpikir 'kelompok modernis' dengan melihat Islam yang diyakini dan
dipraktikkan sejumlah masyarakat muslim Indonesia sebagai 'Islam yang lain'.
Juga, identifikasi tersebut dianggap telah mengerangkai Islam ke dalam wadah
yang terlalu sempit dengan referensi utama Islam di tanah Arab. Padahal,
Islam dalam pandangan kelompok pemerhati terakhir ini mesti tidak terbatasi
oleh karakteristik Arab, karena agama yang beresensi kedamaian itu diyakini
secara normatif mengusung ide-ide moral universal, yang aplikasinya tidak
menutup kemungkinan terhadap persentuhannya dengan tradisi lokal.
 
Perbedaan penilaian terhadap fenomena Islam Indonesia di atas dipicu oleh
persoalan justifikasi teologis atas proses persentuhan Islam dengan tradisi
lokal. Di lingkungan internal masyarakat Islam Indonesia sendiri, perbedaan
penyikapan terhadap praktik Islam yang diidentifikasi dekat dengan tradisi
lokal cukup kuat. Kehadiran pola keberagamaan yang puritan, seperti
Muhammadiyah dan Persis, menandai proses persentuhan di atas tidak selalu
berjalan dengan mudah akibat persoalan justifikasi teologisnya yang masih
diperdebatkan.
 
Atas pertimbangan yang sama, kehadiran gagasan Islam Pribumi tampak tidak
akan steril dari persoalan justifikasi teologis atas wacana perjumpaan Islam
dan tradisi lokal yang ingin dikembangkan. Meski adagium 'adat kebiasaan
bisa dijadikan sebagai hukum' menjadi bagian dari tradisi hukum Islam,
justifikasi teologis atas tradisi dimaksud masih menyisakan persoalan di
tingkat penganutnya. Apalagi, gagasan ini lahir dari perut elemen NU yang
memang dari 'kodratnya' sudah dikenal kedekatannya dengan tradisi lokal.
Apriori akan mudah dipasang di depan oleh sejumlah pihak sebelum melihat
lebih jauh penerapan gagasan tersebut. Lalu, bagaimana mengatasi justifikasi
teologis ini? Inilah yang menjadi pekerjaan rumah bagi penggagas Islam
Pribumi.***
 

Kiai Hasyim dan Romo Mudji di Jerman

GloriaNet - Deklarator Gerakan Moral Nasional (Geralnas) KH A Hasyim Muzadi bersama Romo Mudji Sutrisno SJ, budayawan dan dosen STF Driyarkara Jakarta, secara bergantian memberikan ceramah di depan komunitas Asosiasi Lintas Agama Masyarakat Indonesia di Eropa, di Berlin, Jerman. Demikian pemberitaan Pembaruan.

Dengan didampingi Dr Fajrul Falaakh, salah satu Ketua Tanfidziyah PBNU, Kiai Hasyim, panggilan akrab KH A Hasyim Muzadi menyampaikan pelaksanaan program kerjasama berkelanjutan antarumat beragama di Indonesia, mulai perintisan dari terbentuknya Forum Persaudaraan Sejati Antarumat Beragama (FPSAB) se Jatim, kemudian diperluas hingga ke tingkat nasional dalam wadah Geralnas.

Hasyim menyampaikan perjalanan sejarah agama Islam yang tumbuh dan berkembang di Indonesia, adalah Islam yang ramah, sejuk, serta senantiasa bekerja sama dengan agama-agama lain dalam kerangka membangun nasionalisme.

Islam di Indonesia, utamanya NU, tidak menonjolkan kekerasan dan peperangan.

Baik Hasyim maupun Romo Muji Sutrisno sangat mengharapkan, agar penggalangan kerukunan sejati antarumat beragama sebagaimana yang kini dilakukan lewat Geralnas dapat diperluas hingga ke Eropa, dan tidak mustahil akan mendunia.

"Agama apa pun pasti memiliki nilai-nilai terbaik yang wajib diamalkan oleh masing-masing pemeluknya," ujar Kiai Hasyim mengulangi penekanan dalam ceramahnya ketika dikonfirmasi via telepon internasional, tadi siang.

Keberangkatan Hasyim bersama Romo Mudji Sutrisno (didampingi Fajrul Fallaakh) ke Jerman, atas undangan Asosiasi Lintas Agama Masyarakat Indonesia di Eropa. (GCM/*)

Artikel

Ambivalensi Sebagai Peluang: Agama, Kekerasan, Dan Upaya Perdamaian[1]

Oleh Ihsan Ali-Fauzi

If you want peace, work for justice!

Paus Paulus VI[2]

PARA “agamawan humanis,” untuk mudahnya sebutlah begitu sementara ini, seringkali dongkol dengan kebiasaan industri komunikasi massa (umumnya media massa populer, tetapi kadang juga buku-buku instan, yang ditulis terburu-buru untuk momentum tertentu dan biasanya dangkal isinya) mengungkap hal-hal yang melulu buruk mengenai ekspresi sosial-politik agama. Yang biasanya diungkap adalah konflik dan aksi-aksi kekerasan, seringkali dengan akibat amat memilukan, yang dilakukan atas nama agama. Ingatlah bagaimana media memberitakan orang-orang Yahudi di Israel yang membunuhi kaum Muslim yang tengah salat di Masjid Hebron, orang-orang Hindu di India yang membakar Masjid Babri, orang-orang Islam di Mesir yang meneror dan membunuh para turis atau di Bangladesh dan Iran yang menuntut hukuman mati terhadap novelis Taslima Nasreen atau Salman Rushdie, akar-akar (etnis-)agama konflik berkepanjangan di Irlandia Utara dan bekas Yugoslavia, dan seterusnya.

Dalam model pemberitaan seperti ini, orang-orang dengan motivasi keagamaan itu disebut dengan kata-kata seram: zealots, extremists, militants, dan yang sejenisnya. Kadang liputan itu dilengkapi dengan ilustrasi foto yang mengerikan, membangunkan bulu kudul. Model pemberitaan yang sebaliknya, berisi kisah yang enak didengar, misalnya tentang upaya-upaya perdamaian oleh kalangan agamawan, amat jarang ditemukan.[3]

Para agamawan di atas itu punya sejumlah alasan untuk merasa dikecewakan. Pertama-tama, konflik dan kekerasan hanyalah salah satu wajah sosial-politik agama – dan tidak selamanya merupakan wajahnya yang terpenting. Maka model pemberitaan di atas, sekalipun jika benar didasarkan atas peristiwa yang benar terjadi, dipandang tidak adil terhadap agama. Apalagi jika diingat bahwa tradisi agama-agama, selain memiliki ajaran (yang memang bisa, dan sering, diselewengkan dan disalahgunakan) yang menyerukan perdamaian (perlu diingat: sebagian pemuka agama bahkan mengklaim bahwa inilah inti ajaran agama), juga memiliki sederet tokoh yang telah terbukti mau dan berani berkorban, bahkan dengan jiwa mereka, untuk memperjuangkan ajaran itu. Dalam sejarah agama-agama abad ke-20 saja, misalnya, kita bisa menyebut nama Mahatma Gandhi (Hindu), Martin Luther King Jr. (Kristen), Malcolm X (Islam), Ibu Theresa (Katolik), dan Dalai Lama (Budha). Agar adil, pemberitaan mengenai kekerasan berjubah agama, yang sebenarnya bertentangan dengan semangat ajaran agama itu sendiri, seharusnya mengungkap pula akar-akar kultural dan struktural terjadinya kekerasan itu, oleh para aktor agama di sebuah lingkungan sosial, ekonomi dan politik tertentu. Tetapi persis alasan inilah yang seringkali absen dari model pemberitaan di atas.[4]

Alasan lain kekecewaan para agamawan di atas terkait dengan semacam strategi kampanye penyebaran nilai-nilai anti-kekerasan itu sendiri. Model peliputan itu dianggap tidak berorientasi kepada penyelesaian konflik dan pengupayaan perdamaian, atau setidak-tidaknya lebih merugikan daripada menguntungkannya. Model itu kemungkinan besar hanya akan memancing muncurnya kekerasan tandingannya – sekarang atau nanti, langsung atau tidak, menjadi unsur yang ikut merakit terbentuknya budaya dan lingkaran kekerasan. Banyak sekali contoh yang memperlihatkan bagaimana seorang atau sekelompok agamawan yang semula berwawasan pluralis,[5] sedikitnya inklusivis, beralih menjadi sebaliknya, berwawasan eksklusif dan bersikap ekstrem, karena deraan informasi yang dangkal dan tidak lengkap mengenai kekerasan yang dilakukan terhadap rekan-rekannya seiman oleh kelompok agama lain.[6] Dalam kasus seperti ini, berlakulah rumus: “fundamentalisms breed another fundamentalisms,” fundamentalisme hanya akan melahirkan fundamentalisme lainnya.

Agamawan Humanis versus Fundamentalis

Ketika menyebut “agamawan humanis” di atas, saya teringat kepada orang-orang seperti Abdullahi Ahmed An-Na’im asal Sudan, yang harus mengasingkan diri ke luar negeri karena komitmennya kepada penegakan hak-hak asasi manusia (HAM) yang dilecehkan regim di negerinya. Atau orang seperti Sulak Sivaraksa, seorang tokoh Budha di Thailand, yang terus melawan arus dan tetap mengabarkan bahwa kekerasan, apa pun alasannya, hanya akan mengkhianati dan mencederai ajaran Budha. Atau trio pendeta Budha (Maha Ghosanada), aktivis HAM Yahudi (Liz Bernstein), dan pendeta Jesuit (Bob Maat), yang tanpa kenal lelah dan menempuh segala risiko memimpin sejumlah kelompok umat Budha di Kamboja dalam aksi-aksi tanpa-kekerasan dalam menyelesaikan konflik. Orang-orang seperti mereka itu, seraya tetap teguh percaya akan kebenaran yang termuat dalam agama mereka, tetap tidak menutup peluang bagi berlangsungnya dialog dan pertukaran budaya dengan orang atau orang-orang dengan latar belakang mana pun – baik yang religius maupun yang sekular. Mereka bukan saja menyepakati pluralisme (yang lebih “berisiko” dari sekadar inklusivisme, apalahi eksklusivisme), tetapi juga menyatakan komitmen mereka untuk menegakkannya.

Saya menyebut mereka “humanis,” karena mereka percaya bahwa agama, sekalipun didesain oleh dan bersumber dari Yang Mahasuci di atas manusia dan di atas makhluk lain mana pun di alam semesta ini, diturunkan untuk – dan hanya untuk – manusia, semua manusia, bukan untuk Tuhan itu sendiri atau sekelompok kecil umat manusia yang terpilih sebagai nabi atau utusan-Nya. Didorong oleh religiusitas yang menggempal dalam jiwa mereka, mereka melihat citra dan bayangan Yang Mahasuci dalam diri manusia, juga dalam tindak penciptaan manusia, kehidupan, dan alam semesta. Dan untuk semua itu, mereka tidak bisa berbuat lain kecuali mengusahakan tetap terpeliharanya kesucian semua itu, kesucian penciptaan dan martabat kehidupan, dengan manusia sebagai porosnya. Bagi mereka, menjadi religius adalah menjadi saksi mengenai kesucian dan ketinggian harkat penciptaan ini. Dalam posisi ini, konflik dan kekerasan atas nama agama, yang mengharuskan jatuhnya korban manusia di atas altar perjuangan demi Yang Mahasuci, bukan saja absurd, melainkan juga scandalous!

Nah, dihadapkan kepada model pemberitaan yang melulu menembak sisi kekerasan dari ekspresi sosial-politik agama seperti disebutkan di atas, para agamawan humanis itu kini seakan sedang berperang melawan dua front yang sama kelas beratnya, militansinya, ekstremnya – yang satu sama lain saling menyalahkan, bahkan saling menyetankan.[7] Yang pertama adalah kaum “fundamentalis agama,” yang merasa bahwa sesuatu yang bernama kebenaran sudah ada di tangan mereka (dan hanya di tangan mereka), yang bulat tanpa benjol sedikit pun karena sumbernya Tuhan yang sepenuhnya benar, dan tugas mereka adalah memperjuangkannya, termasuk dengan kekerasan kalau perlu. Orang-orang yang tergabung dalam front ini (mereka ada di semua agama tanpa pandang bulu) dengan sendirinya militan dan ekstremis, karena mereka memandang bahwa mereka adalah kelompok pilihan yang diberi keistimewaan untuk membawa misi suci, dan yang mati di jalannya sama artinya dengan mati syahid.

Sedang front yang kedua adalah kaum “fundamentalis sekular,” yang merasa bahwa agama sudah tidak punya hak hidup sekarang ini, dengan berbagai alasan: karena semua persoalan harus diputuskan hanya oleh akal manusia; bahwa intervensi agama dalam urusan dunia hanya mendatangkan pertumpahan darah, seperti banyak dicatat sejarah; dan bahwa perpaduan agama dan politik itu tidak normal dan berbahaya. Kaum ini mengingatkan kita kepada pemimpin tertentu Revolusi Perancis yang menjadikan sekularisasi total sebagai salah satu program utamanya, yang merasa bahwa gereja adalah lawan yang sedikit pun tidak punya kebajikan dan harus diluluhlantakkan sehabis-habisnya, di abad ke-18.

Kecuali para petualang politik dan ekonomi (mereka bisa sekular dan bisa juga agamawan) tertentu, atau orang-orang tertentu yang naik-turun karir mereka sangat ditentukan oleh ada atau tidaknya semacam krisis kemanusiaan yang besar (misalnya para pemegang kebijakan di sebuah negara besar, para diplomat atawa wartawan), yang memperoleh banyak manfaat dengan berlangsungnya konflik dan aksi-aksi kekerasan berbaju agama, tidak ada seorang pun yang diuntungkan oleh situasi di atas. Mereka yang berada di kedua front fundamentalis pun tidak diuntungkan oleh situasi itu, kecuali jika mereka memang berpandangan bahwa kehidupan dunia yang normal adalah sebuah kehidupan yang ditandai oleh berlangsungnya konflik dan aksi-aksi kekerasan yang terus-menerus. Hal ini tidak boleh dianggap mengada-ada atau disepelekan, karena beberapa ahli, misalnya yang terkenal adalah Konrad Lorenz, menyatakan bahwa kekerasan adalah bawaan dasar manusia yang harus disalurkan.[8] Dan, bukankah asumsi ini yang menjadi dasar kuatnya paham realisme dalam hubungan internasional?

Potensi Agama sebagai Sumber Konflik

Jika benar demikian duduk perkaranya, maka pertanyaan yang perlu kita jawab adalah: bagaimana perilaku saling menyetankan itu bisa diakhiri, sedikitnya diminimalisasi terus-menerus, dan segala upaya ke arah perdamaian ditopang dan digalakkan? Bagaimana maksud baik para agamawan humanis di atas itu, untuk membangun jembatan dialog dan pertukaran budaya di antara umat manusia, dapat disistematisasikan dan diagendakan, dibangun strategi, ketrampilan dan teknik-tekniknya?

Yang pertama-tama perlu segera disadari, menurut hemat saya, adalah bahwa hubungan antara agama dan kekerasan adalah sebuah hubungan yang ditandai oleh ambiguitas, sifat mendua, yang sangat nyata. Kalangan agamawan tertentu boleh saja mengklaim bahwa orientasi kepada perdamaian sudah intrinsik ada dalam tradisi agama-agama.[9] Namun, di sisi lain, juga dapat dibenarkan jika dikatakan bahwa agama secara intrinsik juga dapat memancing terjadinya konflik dan kekerasan.

Mengenai butir terakhir itu, tidak terlalu sulit bagi kita untuk mendapat penjelasannya. Khazanah sosiologi, antropologi, psikologi, filsafat, tentunya juga sejarah, memberi kita banyak tilikan untuk soal ini.[10] Pertama-tama, hal ini terkait dengan kenyataan bahwa agama diakui dapat memberi jawaban terhadap pertanyaan eksistensial manusia mengenai apa dan siapa dirinya di tengah alam semesta yang kadang membingungkan ini. Dari sini agama berkembang menjadi sumber penemuan identitas diri (dan kemudian kelompok). Dalam posisi yang demikian, agama menyatukan orang-orang tertentu ke dalam kelompok-kelompok tertentu, dan karena itu juga membeda-bedakan orang dari satu ke lain kelompok. Pembedaan ini menciptakan dinamika psikologis antara kelompok “kita” dan “mereka,” yang akan menguat dan mengeras di tengah situasi konflik.

Kedua, identifikasi “kita” dan “mereka,” yang membutuhkan legitimasi terus-menerus agar tidak usang, dikembangkan lewat narasi besar berupa dasar-dsasar keimanan, kisah-kisah dan ritual keagamaan, keterlibatan dalam upacara-upacara keagamaan tertentu, dan seterusnya. Narasi ini seringkali diperkokoh oleh bentuk-bentuk ekspresi keagamaan yang amat kasat mata seperti kekhasan pakaian, arsitektur, musik dan lainnya. Semua ini hanya menambah kekokohan identitas diri dan kelompok di atas, dan memperteguh pembedaan di antara banyak orang dan kelompok. Dalam situasi yang amat genting, narasi seperti ini akan berkembang makin tajam, mengarah kepada eskalasi konflik: kelompok sendiri, “kita,” disucikan dan makin disucikan; sedang kelompok lain, “mereka,” dilecehken dan disetankan.

Lalu, ketiga, dalam situasi genting, kedua hal di atas – agama fungsi agama sebagai pemberi identitas dan kelompok, dan narasi yang menopangnya – dapat berkembang lebih jauh ke dalam apa yangmencirikan pola utama kekerasan keagamaan selama ini, yaitu pemberian legitimasi kepada penggunaan kekerasan (bersenjata) dalam jihad besar, “perjuangan suci,” melawan kelompok-kelompok lain, kelompok “mereka.” Pembeian legitimasi ini dapat berlangsung dalam berbagai cara, misalnya: (i) seruan formal kepada tradisi kegamaan tertentu, yang menunjukkan situasi-situasi khusus di mana penggunaan kekerasan (bersenjata) dapat dibenarkan; (ii) penguatan narasi-narasi yang menunjukkan kejahatan dan kebengisan kelompok lain, kelompok “mereka,” yang mengancam keselamatan kelompok “kita”; dan (iii) rujukan kepada sebuah misi suci keagamaan tertentu di mana tindakan militeristik, setidaknya dalam situasi tententu, dapat dibenarkan.[11]

Kemudian, bagaimanakah sebuah aksi kekerasan (bersenjata) pada akhirnya dapat dibenarkan oleh agama? Inilah sebab keempat mengapa gama secara intrinsik potensial untuk melahirkan konflik dan kekerasan: karena komunitas agama tertentu, kelompok “kita,” pada akhirnya memerlukan sebuah ruang dan wilayah dimana “kita” bisa unggul dan mendominasi.

Kalau kita lihat sejarah sekilas saja, maka akan tampak jelas bahw ambiguitas di atas adalah fakta-fakta keras, sebuah hard fact, yang sulit ditolak. Karenanya, hal itu mestinya tidak telalu mengagetkan siapa pun atau mengecewakan siapa pun. Kenyataan itu juga tidak perlu membuat galau dan malu para agamawan yang mendambakan dunia yang damai, karena selalu ada jarak antara apa yang diajarkan agam dan apa yang dilakukan oleh para pemeluknya, antara keinginan dan kenyataan, antara cita-cita luhur dan fakta yang sebaliknya. Sementara benar bahwa agama, bahkan inti ajarannya, menyerukan perdamaian, juga benar dikatakan bahwa, semua agama, baik dalam sejarah maupun dalam konteks kontemporernya, merupakan salah satu dari beberapa sumber konflik kekerasan yang paling pokok.

Militansi Agama: Dari Konflik Menuju Perdamaian

Pengakuan mengenai fakta keras itu sendiri sebenarnya tidak terlalu penting. Yang lebih penting adalah apa yang harus dilakukan setelah kita menyadari dan mengakuinya. Dalam hal ini, ambiguitas di atas harus dijadikan sebagai kesempatan, sebagai peluang baru, justru untuk menunjukkan dan mewujudkan potenti intrinsic agam sebagai sumberdaya perdamaian. Para agamawan yang punya komitmen kepada perdamaian tidak hanya boleh berkeluh kesah. Tidak cukup bagi mereka hanya dengan mengatakan agama dapat berperan seperti itu, melainkan juga menyatakan komitmen mereka dalam aksi-aksi konkret ke arah itu. Jika kekerasan atas nama agama memerlukan militansi, maka upaya perdamain oleh agama juga mensyaratkan sebuah militansi.

Untuk sampai ke sana, sisi kedua dari agama di atas, yaitu sisinya sebagai salah satu sumber konflik, pertama-tama harus diurai dan diperhatikan sungguh-sungguh. Ekspresi kekerasan atas nama agama harus ditinjau secara teliti, dilihat kasus demi kasus, dalam konteksnya yang luas. Bukan untuk menekankan terutama sisi buruk agama. Melainkan untuk memperoleh potretnya yang benar, selengkap-lengkapnya, sebagai dasar bagi perumusan agenda dan strategi kerja ke arah upaya-upaya perdamaian di masa depan. Dalam hal ini, kabar buruk yang benar harus dipandang sebagai lebih baik ketimbang kabar baik yang palsu, yang bohong.

Jika ancang-ancangnya benar demikian, maka kita memiliki tiga gugus pertanyaan besar yang harus dijawab di sini. Pertama, dalam kondisi apa saja para aktor agama yang militan melakukan aksi-aksi kekerasan atas nama agama? Kedua, sebaliknya, dalam kondisi apa pula para aktor agama menolak aksi-aksi kekerasan dan menentang komitmen aktor agama yang ekstremis atau militan untuk menggunakan kekerasan sebagai sebuah tugas suci atau sebuah privelese keagamaan? Dan ketiga, dalam kondisi apa pula para aktor agama yang memiliki komitmen kepada perdamaian dan aksi-aksi tanpa kekerasan dapat mengembangkan diri menjadi para agen pembangun perdamaian (peace builder)?

Dalam studinya baru-baru ini, Scott Appleby mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas itu.[12] Menurutnya, kekerasan keagamaan tejadi ketika para pemimpin ekstremis agama tertentu, dalam reaksi mereka terhadap apa yang mereka pandang sebagai ketidakadilan dalam sebuah lingkungan struktural suatu masyarakat, berhasil memanfaatkan argumen-argumen keagamaan (atau etnis-keagamaan) untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap kelompok lain. Penolakan keagamaan terhadap berbagai kekuatan ektremisme dimungkinkan jika para pemimpin agama berhasil menumbuhkan militansi anti-kekerasan (non-violent militancy), baik sebagai norma agama maupun sebagai strategi untuk menentang dan mengatasi ketidakadilan dalam sebuah lingkungan strukural suatu masyarakat. Upaya-upaya perdamaian oleh agama tejadi ketika para pemeluk agama yang militan dan mau mendedikasikan diri mereka kepada sikap dan aksi-aksi tanpa kekerasan, memiliki kemampuan teknis dan profesional untuk mencegah, memberi sinyal awal, memerantarai dan melakukan unsur-unsur lain le arah transformasi konflik dan kekerasan.

Agama Perdamaian sebagai Narasi Tandingan

Saya mencatat dua unsur kunci dalam paparan Appleby yang cermat di atas. Yang pertama adalah militansi, dan yang kedua adalah persepsi mengenai ketidakadilan yang menjadi dasar pijak para aktor agama untuk melakukan kekerasan atas nama agama.

Mengenai yang pertama, saya sudah menegaskannya di atas. Jika kekerasan atas nama agama memerlukan militansi, maka upaya-upaya perdamaian oleh agama juga mensyaratkan sebuah militansi. Dengan kata lain, upaya-upaya ini harus ditegaskan dan gencar dilakukan, dengan organisasi yang rapi dan agenda yang jelas, dengan ketrampilan dan teknik-teknik yang memungkinkan pencapaiannya. Hal ini penting dan harus dilakukan untuk menunjukkan bahwa sentimen dan komitmen kagamaan bukanlah hak prerogratif mereka yang esklusif dalam wawasan keagamaannya, yang biasanya mudah menggunakan aksi-aksi kekerasan untuk menyelesaikan masalah. Mereka yang berwawasan eksklusif itu punya hak untuk menafsirkan dan megekspresikan agama menurut cara pandang mereka, tetapi hal itu bukanlah satu-satunya penafsiran dan ekspresi agama yang sah.

Di atas sudah disebutkan bahwa aksi-aksi kekerasan aras nama agama turut dibangun oleh nasari-narasi yang memperkokoh identitas “kita,” seraya menyetankan “mereka.” Agar kampanye perdamaian atas nama agama dapat berjalan baik, maka para agamawan yang anti-kekerasan harus membangun narasi-narasi tandingannya, yang dapat menopang perdamaian. Narasi-narasi beraura konflik dan permusuhan harus ditandingi dengan naras-narasi yang mendorong tumbuhnya rasa saling menghormati di antara sesama manusia dan cita-cita pluralisme.

Dasar argumentasi yang sama juga harus disampaikan secara terang-benderang kepada kaum “fundamentalis sekular” yang sering mencibir dan melecehkan kemampuan agama sebagai sumberdaya perdamaian. Cita-cita luhur pencerahan, pada praktiknya juga sama tidak mulusnya dengan cita-cita yang diinspirasikan oleh sumber lain. Abad ke-20 yang baru lalu mencatat bahwa, sekalipun membawa kemakmuran ekonomi dan banyak kemudahan hidup lain pada segmen tertentu umat manusia, proyek modernisme juga memakan banyak korban, langsung atau tidak: nuklirisme, kerusakan lingkungan, alienasi, kemiskinan massa di belahan dunia yang tertinggal, dan seterusnya.

Semua ini hanya menunjukkan pentingnya mereka untuk bersikap lebih rendah diri, bersiap diri mendengar suara lain, termasuk suara agamawan. Mereka harus menyadari bahwa keinginan untuk memperoleh semacam ketenangan batin, rasa aman, dan identitas kelompok, di tengah dunia yang bagi sebagian orang sering tak termaknakan ini, adalah sesuatu yang tidak bisa disepelekan. Kalau mereka menyatakan bahwa adalah manusia itu sendiri yang berdaulat atas dirinya, bukankah agamawan juga adalah manusia yang patut dihargai kedaulatannya, dengan mendengarkan suara dan asiprasinya.

Selain itu, peralatan agama secara fungsional juga dapat dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan perdamaian. Jika kaum “fundamentalis sekular” tidak percaya pada “jalan agama,” toh dialog dengan kalangan agamawan – sebagai sesama manusia – tetap saja diperlukan dalam rangka koeksistensi damai. Yang lebih fungsional dari itu juga bisa: karena daya rengkuh agama tetap besar, Anda dapat memanfaartkan sumberdayanya yang menopang perdamaian, sekalipun Anda sebenarnya skeptis kepadanya. Akhirnya, di era yang disebut pascamodern ini, siapa pun tidak bisa mengabaikan peran yang disebut kepemimpinan karismatik. Jika seorang pemimpin agama yang karismatik dapat memompa aksi-aksi kekerasan, mengapa Anda tidak berusaha untuk mendekatinya dan mengajaknya untuk berperan sebagai peace builder? Singkatnya, jika kerja sama dengan agama yang sepenuh, setengah atau bahkan seperempat hati tidak mungkin dilakukan, maka berusahalah untuk tidak menyerang dan melecehkannya.

Yang juga sangat jelas adalah unsur kunci kedua di atas, yaitu persepsi mengenai ketidakadilan yang mendorong aksi-aksi kekerasan atas nama agama. Justru pada titik inilah kita berlaku bebal. Kita lupa bahwa dulu Presiden Sukarno pernah menyatakan prinsip yang persis diutarakan oleh Paus Paulus VI dan dikutip di awal tulisan ini – dan perkataan Sukarno itulah, “Saya menginginkan perdamaian, tetapi lebih dari itu saya menginginkan keadilan,” yang menopang semuruh elemen bangsa ini, lepas dari agamanya apa, untuk bersama-sama melawan kolonialisme.

Dihadapkan pada fakta yang sangat jelas ini, seperti sdah disinggung, yang pertama-tama harus dilakukan adalah melihat aksi-aksi kekerasan atas nama agama dalam konteks yang lebih luas, untuk menemukan ketidakadlan struktural yang menjadi penyebabnya. Setelah itu, panggilan perdamaian oleh agama harus didesain dengan menempatkan ketidakadilan struktural ini sebagai musuh yang harus diperangi dengan segala cara dan dilenyapkan. Jika tidak demikian, maka agamawan yang anti-kekerasan hanaya akan dituduh tidak berbuat apa-apa, kalau bukan malah bersepakat dengan status quo ketidakadilan itu.

Di balik itu adalah pekerjaan yang lebih berat, memerlukan ketarampilan dan teknik, keberanian dan pengorbanan: bagaimana menumbuhkan keyakinan bahwa penyelesaian dengan cara-cara damai terhadap sebuah ketidakadilan struktural adalah cara yang lebih baik, lebih membekas dalam jangka panjang, lebih sedikit membawa korban, dari penyelesaian dengan cara-cara kekerasan. Untuk itu, para agamawan yang anti-kekerasan harus lebih rajin berbagi gagasan dan pengalaman. Juga menggalang kerja sama dengan aktor-aktor lain yang sama-sama mendmbakan perdamaian.

Demikianlah adanya. Tidak sederhana, memang, karena perkaranya juga tidak bisa digampang-gampangkan. Seluruhnya membutuhkan waktu dan banyak kerepotan.***

0 komentar:

إرسال تعليق

Comment here

  © Blogger template The Professional Template II by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP