Photobucket

MODEL INTERAKSI PENDIDIKAN ANAKDALAM AL-QUR’AN

الأحد، ٢٣ ربيع الآخر ١٤٣٠ هـ

Summary Disertasi


MODEL INTERAKSI PENDIDIKAN ANAK

DALAM AL-QUR’AN



Oleh:

Miftahul Huda

NIM: FO.1.5.03.38

PROGRAM PASCASARJANA

IAIN SUNAN AMPEL

SURABAYA

2 0 0 7


Ringkasan Disertasi

MODEL INTERAKSI PENDIDIKAN ANAK

DALAM AL-QUR’A

Oleh:

Miftahul Huda

NIM: FO.1.5.03.38

DISERTASI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat

Memperoleh Gelar Doktor dalam Program Studi Ke-Islaman

Pada Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel

Surabaya

2007


PERSETUJUAN

Ringkasan Disertasi ini telah disetujui

Tanggal 10 April 2007

Oleh:

PROMOTOR

PROF. DR. H. IMAM BAWANI, MA

KO-PROMOTOR

PROF. DR. H.M. ROEM ROWI, MA
PENGESAHAN TIM PENGUJI

Disertasi ini telah dinyatakan lulus dalam ujian tahap pertama

tanggal 16 Desember 2006

Tim Penguji Disertasi:

Ketua : Prof. DR. H. M. Ridlwan Nasir, MA.

Sekretaris : Prof. DR. H. Ahmad Zahro, MA.

Anggota :

1. Prof. DR. H. Imam Bawani, MA. (Promotor/anggota)

2. Prof. DR. H. M. Roem Rowi, MA. (Ko-Promotor/anggota)

3. Prof. DR. H. Nasaruddin Umar, MA. (anggota)

4. Prof. DR. H. Muhlas Samani, MA. (anggota)

5. DR. H. Abdullah Khozin Afandi, MA. (anggota)


KATA PENGANTAR

Puji dan sukur kepada Allah atas segala karunianya dalam penyelesaian Disertasi yang berjudul “Model Interaksi Pendidikan Anak dalam al-Qur’a>n”. Penelitian ini sangat berat, karena melalui perspektif interaksi -sebagai bagian ilmu sosial- diharapkan dapat menemukan model interaksi pendidikan anak dalam al-Qur’a>n.

Sebagaimana dimaklumi, suatu keniscayaan untuk mempersiapkan anak-anak sebagai generasi mendatang yang tangguh dalam keimanan dan luhur dalam peradaban. Hal ini mengokohkan idiologi pendidikan sebagai agen transformasi of knowledge menuju kehidupan yang berbudaya. Tidak ada kemajuan yang signifikan tanpa melalui jasa pendidikan. Relevansinya, landasan interaksi pendidikan anak yang digali dari sumber al-Qur’a>n perlu dikemukakan.

Dalam kerangka ini, peneliti menyadari kontribusi berbagai pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu baik secara moril maupun materiil atas selesainya penelitian ini. Oleh karenanya, peneliti menyampaikan apresiasi dan penghormatan sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1) Prof. DR. H. M. Ridlwan Nasir, MA, selaku Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya sekaligus sebagai advisor akademik selama menjadi peserta program S-3 di pascasarjana. 2) Prof. DR. H. Ahmad Zahro, MA, selaku Direktur PPS IAIN Sunan Ampel Surabaya. 3) Prof. DR. H. Imam Bawani, MA selaku Promotor. 4) Prof. DR. H. M. Roem Rowi, MA selaku Ko-promotor. 5) Prof. DR. H. Muhaimin, MA, Prof. DR. H. Imam Muchlas, MA, dan Prof. DR. Dimyati, MA selaku dosen pengampu Mata Kuliah Penunjang Disertasi. 6) Prof. DR. H. Imam Suprayogo selaku Rektor UIN Malang. 7) Bapak dan Ibu peneliti yang telah memberi dukungan moral-spiritual. 8) Sahabat-sahabat program S-3 seangkatan dan seprofesi yang telah membantu peneliti. 9) Istri dan anak-anakku yang mendukung sepenuhnya atas kesuksesan studi.

Peneliti berusaha semaksimal mungking atas kualitas penelitian ini. Namun jika ada keterbatasan, peneliti mengharapkan koreksi, saran dan kritik konstruktif dari para pembaca yang budiman. Semoga penelitian ini bermanfaat, amin.

Malang, April 2007

Peneliti;

Miftahul Huda


ABSTRACT

This study entitled “ Interaction of child education in al-Qur’an” focuses on investigating for education such the theory, content, and child education method stipulated in the Qur’an. The object of research stresses on stories that narrate the interaction of child education such as Adam, Nu>h}, Ibra>hi>m, Ya’qu>b, Ayarkha, Hannah, Luqma>n H{aki>m, Zakariya, dan Maryam. The reasons to determine the title are that: 1) interaction problem of child education that spread over Moslem community is dominated by the idea of Western education expert, 2) the academic fact that shows dissatisfying result of basic education, 3) the empirical fact on child education crisis, and 4) the Qur’an covers interaction basic and child education.

The study is qualitative, it is library study using mawd}u>’i> and tah}li>li> tafsi>r method (thematic problem). This tafsi>r method used to investigate comprehensive meaning of the verses by using six approaches combine of mawd}u>’i> and tah}li>li>. The generalization of meaning as a result of mawd}u>’i> tafsi>r and tah}li>li> is analyzed in light of child education perspective to find educational interaction, educator concept, student ethics, material, target, and education method. The findings of the study are concept, content and methodology that represent child education interaction in the Qur’a>n.

The study shows that: 1) the aims of child education are spiritual teaching, intellectual empowerment as well as moral empowerment. The materials of child education include akidah, syari’ah and moral/ akhlak aspects, 2) The child educator must have basic competence including wisdom, patience, democratic orientation, attention to the mental properties of the student and intuition, the obedience, communication, and critical thinking among students lead to the success of education, and 3) Three models interaction of child education are assosiative, disassosiative and disassosiative-assosiative. Effectiveness in education interaction uses assosiative method in view of to the cooperation between educator and students.


ملخص البحث

يركز هذا البحث أنماط التفاعل التربوية للأولاد فى القرآن" إلى مفاهيم تربية الأولاد أهدافها، موضوعاتها، مواصفات المربي الجيد والمتربي ومناهجها التى تناولها القرآن. ويحلل هذا البحث قصة مثالية تربوية وهي آدام، نوح، إبراهيم، يعقوب، حنة، لقمان الحكيم, أيارخا، ، زكريا ومريم عليهم السلام. وأماالخلفيات التى دفعت الباحث فهى العوامل الأتية: 1) هيمنة نظرية التربية الغربية على المجتمع الإسلامي، 2) مظاهر التربية السيئة وبصفة خاصة للمرحلة الإبتدائية، 3) المشكلات التى وجهها الأولاد من أزمة تربوية، 4) تناول القرآن مبادئ التفاعل التربيوية للأولاد.

يتصف هذا البحث بدراسة مكتبية حيث ينتهج الباحث المنهج التفسيري الموضوعي والتحليلي التى يراعى تحليلها ست خطوات للحصول على معاني الأيات الشاملة. و تلك المعاني الشاملة التي تستنج من خلال المنهج الموضوعي والتحليلي تشتمل على الجوانب التربويية النظرية من أهدافهاموضوعاتها، وكذلك من ناحية مواصفات مربيها ومتربيها، موادها ومناهجها. ونتيجة هذا البحث تحتوى علي مفاهيم التربية وموضوعاتها ومناهجها التى تطلق على أنماط التفاعل التربوية للأولاد فى القرآن.

ويستنتج من البحث الأمور التالية: 1) تهدف تربية الأولاد في القرآن الي تنمية القدرة الروحية بتربية العقيدة وتطويع الشريعة والخلقية. فلذلك تحتوى موضوعات درسها على المواد الدراسية قبل الميلاد وبعد الميلاد. 2) يكون المربي الجيد بالتزام المواصفات التالية: الحلم، الصبروالجلد، ديموقراطي، عالم بطبائع الأولاد، والمتزم بالعقيدة الصحيصة. 3) تتكون أنماط التفاعل التربيوية للأولاد على ثلاثة أنماط: المرافقة، اللامرافقة، واللامرافقة والمرافقة معا على أن المنهج المرافقة اكثر نجاحا للوصول إلى الأهداف المرجوة لتعامل المربي والمتربي جماعة.


ABSTRAK

Disertasi “Model interaksi pendidikan anak dalam al-Qur’a>n” ini memfokuskan pada tujuan dan materi pendidikan, karakter pendidik dan etika anak didik, dan metode pendidikan yang digali dari al-Qur’a>n. Obyek penelitian mengarah pada kisah-kisah yang memuat interaksi pendidikan anak, yaitu Adam, Nu>h}, Ibra>hi>m, Ya’qu>b, Ayarkha, Hannah, Luqma>n H{aki>m, Zakariya, dan Maryam. Judul ini dilatarbelakangi oleh: 1) persoalan konsep pendidikan anak dalam masyarakat muslim didominasi oleh pemikiran pakar pendidikan barat, 2) fakta akademik pendidikan tingkat dasar yang memprihatinkan, 3) fakta empirik “krisis pendidikan anak, dan 4) al-Qur’a>n memuat dasar-dasar interaksi pendidikan anak.

Jenis penelitian ini adalah Library Research, menggunakan metode tafsir dengan pendekatan mawd}u>’i> (tematis permasalahan) dan tah}li>li> (analitik). Metode tafsir digunakan untuk menggali kandungan makna ayat secara komprehensif dengan menggunakan enem langkah pendekatan adaptasi dari mawd}u>’i> dan tah}li>li. Generalisasi makna yang dihasilkan dari tafsir mawd}u>’i> dan tah}li>li> dianalisa dengan perspektif interaksi pendidikan anak. Temuan penelitian ini berupa konsep tujuan pendidikan anak dan materinya, karakter pendidik, etika anak didik, serta model interaksi pendidikannya.

Hasil penelitian ini menunjukkan: 1) Pendidikan anak dalam al-Qur’a>n bertujuan untuk pemberdayaan spiritual anak didik melalui pendidikan akidah dan syari’ah, serta pemberdayaan moralitas personal dan sosial melalui pendidikan akhlak. Untuk tujuan tersebut, maka materi pendidikan anak meliputi materi pendidikan prenatal dan postnatal. 2) Pendidik anak memiliki karakter dasar bijak, sabar, demokratis, memahami kejiwaan anak, dan intuitif (mendapat bimbingan ilahi). Sifat anak didik digambarkan dengan assosiatif, patuh, komunikatif dan kritis sehingga mendukung keberhasilan pendidikan. 3) Model interaksi terdiri dari tiga model yaitu: assosiatif, disassosiatif dan disassosiatif-assosiatif (gabungan antara keduanya). Model assosiatif paling efektif dalam pencapaian tujuan pendidikan karena terjadi sinergi antara pendidik dan anak didik.


TRANSLITERASI

Transliterasi Arab-Indonesia yang dipakai dalam penulisan Disertasi ini mengikuti pedoman yang ditetapkan PPS IAIN Sunan Ampel Surabaya sebagai berikut:

Indonesia

Arab

Indonesia

Arab

t}

ط


ا

z}

ظ

b

ب

ع

t

ت

Gh

غ

th

ث

F

ف

j

ج

Q

ق

h}

ح

K

ك

kh

خ

L

ل

d

د

M

م

dh

ذ

N

ن

r

ر

W

و

Z

ز

H

ه

S

س

,

ء

Sh

ش

Y

ي

S}

ص



D}

ض

Bunyi madd : a> = ( آ ) i> = ( اي ) u> = ( او )

Bunyi diphthong : ay = ( أي ) aw = ( او )


PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pendidikan merupakan sebagian dari fenomena interaksi kehidupan sosial manusia. Menurut K>.J. Veeger pada hekekatnya kehidupan sosial itu terdiri dari jumlah aksi dan reaksi yang tak terbilang banyaknya, baik antara perorangan maupun antara kelompok. Pihak-pihak yang terlibat menyesuaikan diri dengan salah satu pola perilaku yang kolektif. Kesatuan yang berasal dari penyesuaian diri itu disebut kelompok atau masyarakat. Oleh karenanya, pendidikan merupakan bagian dari interaksi sosial yang telah ada bersamaan dengan kehidupan manusia.

Secara normatif, data tektual dalam al-Qur’a>n menunjukkan adanya interaksi pendidikan yang tidak saja terjadi secara sosiologis di alam dunia, tetapi telah bermula semenjak kehidupan A yang mana malaikat meragukan akan kemampuannya. Hal ini sebagaimana dipahami dari ayat al-Qur'a>n, 2 (al-Baqarah): 30.

Ayat tersebut menggambarkan interaksi pendidikan pertama kali terjadi antara Allah dengan malaikat. Dalam interaksi ini, Allah mengajarakan kepada malaikat akan penciptaan khali>fah di bumi. Malaikat menyangkal rencana Tuhan dengan memberikan reaksi argumentatif bahwa khali>fah itu tidak akan mampu menciptakan kehidupan yang dinamis dan humanis. Reaksi malaikat juga mengarah pada rasa superioritasnya yang telah menunjukkan kesetiaaan dan kepatuhan kepada Allah dibanding dengan makhluk lainya. Atas sikap malaikat itu, Allah memberikan satu keyakinan bahwa pengetahuan Allah lebih luas daripada prediksi malaikat.

Interaksi kedua terjadi antara Allah dengan Ata’li>m. Dalam rangka menjadikan Atransfer of knowled. Interaksi pendidikan yang terjadi antara Allah dengan Airadah Allah untuk mempersiapkan sang khalifah itu sendiri. Aksi Tuhan ini sekaligus untuk meyakinkan malaikat bahwa interaksi melalui ta’lim> dari Allah kepada sang khali>fah sangat efektif dalam membina karakter kekhalifahan di bumi. Spesifikasi interaksi pendidikan seperti itu tidak terjadi kepada malaikat. Sebaliknya, hanya terjadi kepada khali>fah karena memiliki potensi (fit}rah) untuk mendukung terjadinya interaksi pendidikan. Ayat al-Qur'a>n, 2 (al-Baqarah): 31 menggambarkan proses ta’lim A

Ayat tersebut memberikan indikasi epistemologis bahwa interaksi pendidikan dari Allah kepada Ata’li>m. Hanya saja, perbedaan potensi dasar antara A(al-asma> kullaha>) disebabkan oleh potensi spesifik (fit}rah) jasmani dan ruhani yang dimilikinya. Sedangkangkan pengetahuan malaikat terbatas (illa ma> ‘allamtana>) karena tidak adanya potensi spesifik tersebut, sehingga tidak memungkinkan untuk menerima dan mengembangkan pengetahuan seluas A

Aksi Tuhan menjastifikasi AReaksi Iblis ini merupakan bentuk interaksi pendidikan dari Allah yang ketiga setelah dengan malaikat dan An 2 (al-Baqarah): 34 secara historis menggambarkan dialektika interaksi pendidikan yang dipengaruhi oleh konflik superioritas dan inferioritas tersebut.

Khilafah A di bumi mengemban misi sosialisasi peradaban manusiawi melalui interaksi pendidikan. Dalam konteks sosialisasi peradaban, di antara tugas yang dilakukan Abil dan Ha>bil. Konflik internal keluarga Abil dan Ha>bil berupa persaingan untuk meperoleh pasangan dari saudaranya sendiri. Interaksi yang terjadi akibat konflik tersebut melibatkan An, 2 (al-Baqarah: 27).

Terminologi interaksi pada mulanya diterapkan oleh ilmuan Barat dalam wilayah ilmu sosial. Interaksi digunakan untuk melihat prilaku individu dan kelompok dalam realitas sosial. Menurut Robert H. Lauer bahwa manusia membuat sejarah dan tidak pernah bertindak dalam kevakuman, di mana sejarah selalu terjadi dalam suasana interaksi dengan orang lain. Manusia adalah makhluk sosial yang keberadaannya diciptakan dalam acuan interaksi sosial. Karena itu, interaksi sosial dilihat sebagai mekanisme yang menggerakkan perubahan, terutama menggerakkan kompetisi dan konflik. Dalam pandangan interaksi sosial seperti ini, maka kehadiran teori Interaksionisme Simbolik yang digagas oleh semisal Herbert Blumer, George Herbert Mead dan John Dewey memiliki relevansi untuk melihat fenomena interaksi pendidikan anak dalam al-Qur’a>n.

Berdasarkan perspektif interaksi tersebut, fenomena interaksi antara Allah, malaikat, A pertama antara malaikat dan Tuhan, tampaknya sulit menghindarkan penilaian bahwa malaikat memandang kehadiran khalifah yang digambarkan Tuhan kepadanya sebagai pesaing dalam komunitas surgawi. Apa yang terjadi dalam diri iblis, berupa tidak patuh untuk bersujud kepada A

Dalam konteks pendidikan anak, model interaksi pendidikan merupakan salah satu problem penting yang perlu diselesaikan di samping problem metodologi, epistemologi, dan problem-problem lainnya. Pentingnya segera membangun model interaksi pendidikan anak berdasar al-Qur’a>n dimaksudkan untuk membenahi pendidikan anak yang telah sedemikian rupa dihegemoni oleh “imperialisasi” teori pendidikan Barat. Demikian pula berarti menghindari kultus pendidikan Barat dengan mempertegas jati diri pendidikan al-Qur’a>n. Meskipun demikian, juga harus dikatakan bahwa tidaklah pada tempatnya mendikotomikan pendidikan Barat dengan Islam, karena ada dimensi konseptual pendikan yang berlaku secara universal. Hanya secara faktual terkadang apa yang di klaim sebagai pendidikan Islam ternyata dalam rinciannya adalah pendidikan Barat yang diperkuat dengan ayat al-Qur’a>n dan H}adith. Hal ini dapat dijumpai pada struktur keilmuan, kurikulum, metode pendidikan/ pengajaran, evaluasi, filsafat pendidikan, ilmu pendidikan dan lain-lain.

Pandangan pendidikan anak dalam Islam tidak semata karena melihat manusia terdiri dari unsur fisik saja. Lebih dari itu, secara radikal pendidikan anak dalam Islam berbeda dengan pendidikan Barat, karena proporsi al-Qur’a>n sebagai sumber normative memuat dasar-dasar pendidikan anak yang menitik beratkan pada dimensi jasmani dan ruhani secara berimbang. Oleh karenanya, pendidikan anak dalam Islam dengan mendasarkan pada al-Qur’a>n berbeda dengan pendidikan Barat (baik dalam pereode klasik maupun modern) yang secara mendasar filsafat pendidikan Barat bertolak dari beberapa pandangan, diantaranya: humanisme, rasionalisme, empirisme dan positivisme.

Humanisme memposisikan manusia memiliki kemampuan mengatur dirinya dan alam. Rasionalisme mendasarkan kebenaran pada pertimbangan ide rasional belaka. Pandangan rasionalisme berhadapan dengan empirisme yang mendasarkan kebenaran pada peranan indra. Pandangan ini dikokohkan oleh aliran realisme yang menegakkan kenyataan fisik sebagai kenyataan sebenaranya. Pada akhirnya Positivisme menekankan kebenaran pada realitas logis dengan bukti empiris yang terukur.

Uraian di atas menunjukkan bahwa sifat filosofis pendidikan tidak dapat dipisahkan dari corak pemikiran filsafat sebagai induk dari ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, cara berfikir filsafati mengilhami filsafat pendidikan. Hal ini juga dipahami dari uraian Redja Mudyahardjo, yang memetakan konsep pendidikan Barat (tujuan, kurikulum, metode, peran pendidik dan peserta didik) dipengaruhi oleh konsep filsafat Barat dalam memandang metafisika (hakekat kenyataan), humanologi (hakekat manusia), epistemologi (hakekat pengetahuan) dan aksiologi (hakekat nilai).

Apabila corak pendidikan dipengaruhi oleh pemikiran filsafat, maka pendidikan Islam -melalui al-Qur’a>n sebagai sumber normative- berbeda dari pendidikan Barat. Normativitas al-Qur’a>n telah memuat dasar-dasar pendidikan secara universal (sha Dalam hal perolehan ilmu (pendidikan), Islam mempercayai intuisi di samping rasio dan indra. Intuisi diyakini sebagai suatu cara untuk memperoleh pengetahuan langsung dari Tuhan melalui wahyu/ ilham. Pada proporsi ini, al-Qur’a>n menjadi saluran interaksi pengetahuan dari Tuhan kepada manusia.

Di antara problem pendidikan Islam lainya, dapat ditemukan pada variasi konsep pendidikan yang diajukan oleh para ulama dengan istilah tarbiyah, ta’li>m dan ta’di>b. Istilah-istilah tersebut tentunya tidak muncul dari ranah kosong, akan tetapi memiliki akar filosofis dan implikasi praktis dalam pendidikan. Problem ini menegaskan kembali hakekat pendidikan; apakah sekedar proses pendewasaan, pemindahan pengetahuan (transfer of knowledge), atau penanaman nilai, ataupun lainnya. Implikasinya, jika pendidikan anak mengacu pada konsep tarbiyah -apa lagi ta’di>b- maka aspek keteladanan dan kompetensi pendidik sangat dominan dalam interaksi pendidikan. Disini juga terlihat dominasi pembentukan aspek afektif dan psikomotor yang terefleksikan dalam kesadaran moralitas lebih tinggi nilainya dari sekedar proses ta’li>m yang menekankan pada pengembangan aspek kognitif.

Problem metodologi pendidikan anak sebenarnya telah menjadi perhatian para ulama sejak awal. Terbukti dengan munculnya pemikir-pemikir pendidikan yang menuangkan pemikirannya dalam kitab-kitab pendidikan. Di antaranya yang relevan dengan konteks interaksi pendidikan anak adalah; adab al-Mua’alimi>n (Muh}ammad Ibn Sahnu>n wafat 256 H), Ta’li>m al-Sibya>n wa ahka>m al-Mu’alimi>n (Al-Qa>bisi> w. 403 H), ayyuha> al-Walad (Al-Ghaza>li> w. 505 H), Ta’li>m al-Muta’allim (Al-Zanuji> w. 591 H), Tahri>r Al-Maqa>l fi adab wa ahka>m wa fawaid yahta>j ilaiha> muaddib al-Athfa>l (Ibn H}ajar Al-Haita>mi> w. 947 H), Siya>sat al-S{ibya>n wa tadb>irihim (Ibn Jazzar al-Qairawa>ni> w. 395 H), Tad}kirat al-Sa>mi’ wa al-Mutakalli>m fi adab al-‘A>lim wa al-Muta’allim (Ibn Jama>’ah w. 733), Ja>mi’ Jawa>mi’ Al-Ihtis}a>r (al-Maghra>wi> w. 902 H). Hanya saja karya-karya fenomenal tersebut tidak banyak ditemukan lagi dan belum banyak menyentuh problem esensial model interaksi pendidikan anak dalam al-Qur’a>n.

Karya-karya ulama tersebut pada dasarnya berada dalam satu arus pemikiran yang sama. Intinya, betapa permasalahan mendasar interaksi pendidikan anak perlu dirumuskan dalam disiplin ilmu. Namun demikian diperlukan rumusan yang jelas dan terinci mengenai bangunan keilmuan interaksi pendidikan anak. Tampaknya, para pemikir pendidikan telah memberikan gagasan awal yang perlu dikembangkan dalam kajian lebih lanjut. Dengan demikian terbuka arah penelusuran untuk mengembangkan model interaksi pendidikan anak, utamanya dalam perspektif al-Qur’a>n.

Otentisitas al-Qur’a>n sebagai kitab suci tentu tidak menyisakan ruang untuk diperdebatkan. Akan tetapi al-Qur’a>n sebagai sumber segala ilmu, yang memuat dimensi interaksi pendidikan anak, masih perlu dikemukakan dan dikembangkan. Hal ini terjadi karena pendidikan Islam dengan karakteristiknya, menjadikan dasar-dasar agama Islam sebagai landasan pendidikan, utamanya al-Qur’a>n.

Telah banyak jasa para mufassir untuk menguraikan kehendak Ilahi pada teks-teks suci, dengan berbagai corak pendekatan dan aliran penafsiran yang mereka lakukan. Akan tetapi produk-produk penafsiran tersebut –utamanya saat pertama kali dimunculkan- tidak menafikan sebagai produk sejarah yang tidak dapat mengelak sepenuhnya dari tuntutan ruang dan waktu. Dari sini terlihat bahwa al-Qur’a>n didekati dari perspektif sejarah yang tidak selamanya memiliki relefansi dengan perkembangan zaman yang menunjukkan gejala progresif dan dinamis.

Menyadari hal di atas, maka tidak ada garansi bahwa teks-teks dokumenter khazanah intelektual mufassir tersebut sebagai turunan teks suci, identik dan menyuarakan secara utuh apa yang seharusnya. Apalagi, semua wacana yang terekam dalam teks dokumenter warisan masa lalu itu tidak mungkin mewadahi dan memperbincangkan problematika yang terjadi saat ini, di tengah masyarakat Islam. Oleh karenanya, perlu kiranya tekstualitas sejarah tersebut ditarik pada makna konteksstual dengan tidak meninggalkan unsur kesejarahan. Dalam hal ini, tekstualitas pendidikan anak dipahami sebagai ontologi pendidikan, dikontekskan untuk melihat model interaksi pendidikan dengan memperhatikan realitas aksiologi pendidikan yang terjadi dewasa ini.

Ra>jih} Abd al-H{ami>d al-Kurdi> menegaskan, tidaklah mudah memberi perspektif adanya unsur metodologi (termasuk di dalamnya interaksi) pendidikan dalam al-Qur’a>n. Meskipun demikian, al-Qur’a>n tidak membatasi untuk memperbincangkan permasalahan metodologi dan pendidikan dalam kehidupan manusia, dengan syarat menggunakan metode yang benar. Metode yang dimaksudkan ialah: 1) Menjadikan al-Qur’a>n sebagai tolak ukur kebenaran. 2) Tidak merasionalkan al-Qur’a>n, tetapi menundukkan akal kepada al-Qur’a>n. 3) Perspektif metodologi pendidikan al-Qur’a>n digunakan untuk kritik atas konsep filsafat pendidikan Barat, meskipun bukan pada tempatnya membandingkan al-Qur’a>n dengan produk filsafat pendidikan. 4) Meyakini bahwa al-Qur’a>n sumber ilmu yang komprehensif.

Berdasar pada urain tersebut, maka pemaknaan kisah-kisah dalam al-Qur’a>n yang dapat didekati dengan perspektif pendidikan anak menjadi sebuah keniscayaan untuk dikaji. Kisah-kisah dimaksud dengan spesifikasi interaksi orang tua dan anak meliputi Abil dan Ha>bil (al-Qur’a>n : surat al-ma>idah ayat 27-31), nabi Nu>h} as. dengan Kan’a>n (Hu>d ayat 42-46), nabi Ibra>hi>m as. dengan Isma>’i>l as. (al-S}a>ffa>t ayat 102-107), nabi Ya’qu>b as. dengan Yu>suf as. dan saudara-saudaranya (Yu>suf ayat 4-6,12-14,17-18, 63-67, 81-87), Ayarkha> dengan Mu>sa as. (T{a>ha> ayat 38-40), Luqman Hakim dengan Tsa>ra>n (Luqman ayat 12-19), Hannah, nabi Zakaria as. dan Maryam (Ali ‘Imra>n ayat 35-37), nabi Zakaria as. dengan Yah}ya as. (Ali ‘Imra>n ayat 38-41 ), dan Maryam dengan I>sa as. (Maryam ayat 27-33).

Interaksi pendikan anak dalam kontekss sosial seperti ini bisajadi relevan dengan pendapat Selo Soemardjan di mana terjadi dengan mengacu pada mekanisme kerjasama, persaingan atau konflik yang diatur oleh penyesuaian. Kisah-kisah pendidikan pada tokoh yang dinarasikan dalam teks al-Qur’a>n seperti itu tidaklah sama dengan teks sejarah konvensional. Sebab makna-makna sejarah yang direkam al-Qur’a>n tidak lain untuk pelajaran dan contoh bagi umat manusia. Karenanya harus dikeluarkan dari domain sejarah untuk menemukan pelajaran (‘ibrah) dalam kontekss pendidikan. Sebab, sejatinya historisitas itu sendiri bukanlah tujuan utama dari kisah-kisah al-Qur’a>n. Menghidupkan sejarah lebih penting daripada sekedar menceritakan sejarah (historisitas) pendidikan anak.

Latar belakang lainnya, dilihat pada tataran praktis di mana pendidikan anak merupakan realisasi tanggung jawab orang tua, masyarakat dan pemerintah. Dimulai dari lingkup terkecil yaitu orang tua, sejak kelahiran seorang anak, setiap orang tua berharap anaknya sukses dalam kehidupannya. Pemahaman bahwa keberhasilan dan kesuksesan anak dapat diraih dan ditentukan oleh aspek pendidikan, membuat semakin kuat keinginan orang tua untuk menyekolahkan anak. Alasan kesibukan, keterbatasan waktu dan kemampuan orang tua menjadi faktor mendasar untuk memasukkan anak pada lembaga pendidikan. Ditambah dengan faktor kurangnya pegetahuan orang tua tentang perkembangan anak dan sumber belajar di rumah yang tidak memadai. Adanya tuntutan lembaga pendidikan setingkat di atasnya, juga mendorong orang tua untuk menyekolahkan anak.

Begitu tinggi harapan orang tua untuk pendidikan anak, sehingga lembaga pendidikan terkadang tidak lagi mempertimbangkan faktor-faktor kejiwaan anak didik. Akibatnya, anak dituntut untuk menguasai sejumlah kompetensi tertentu yang bisa jadi tidak sesuai dengan kemampuan anak. Ironisnya, hal ini biasanya terjadi tanpa disadari oleh orang tua dan penyelenggara pendidikan. Sikap kurang proporsional dalam mendidik anak seakan melahirkan kesan bahwa interaksi pendidikan telah melakukan “penindasan” terhadap anak.

Aspek lain menunjukkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan kecanggihan teknologi di era globalisasi hampir menjadikan dunia tidak ada batas antar wilayah dan negara. Hal ini berdampak masuknya budaya dan informasi dari negara lain ke dalam budaya lokal sangat mudah, bahkan tidak dapat dihindarkan, baik melalui telivisi, internet maupun media lainya. Efek yang ditimbulkan disadari atau tidak berpengaruh terhadap “krisis moralitas” anak. Krisis moralitas itu dengan mudah dapat diketahui melalui layanan informasi, pemberitaan dan surat kabar. Indikasi krisis moral terlihat dari dua aspek. Pertama: krisis moral yang dilakukan oleh anak sehingga memposisikan anak sebagai subyek kejahatan. Kedua: krisis moral terhadap anak yang dilakukan orang dewasa, sehingga menjadikan anak sebagai obyek tindak kejahatan.

Realitas-realitas di atas inilah yang mendorong penulis untuk mencermati lebih dalam tentang obyek penelitian pada aspek model interaksi pendidikan anak, dengan menjadikan al-Qur’a>n sebagai fokus kajian. Penelitian model interaksi pendidikan anak dalam al-Qur’a>n ini memfokuskan pada permasalahan berikut:

1. Bagaimana konsep tujuan dan materi pendidikan anak dalam al-Qur’a>n?

2. Bagaimana karakter pendidik dan etika anak didik dalam interaksi pendidikan anak dalam al-Qur’a>n?

3. Bagaimana model interaksi pendidikan anak dalam al-Qur’a>n?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, ruang lingkup penelitian ini bertujuan untuk:

1. Merumuskan tujuan dan materi pendidikan anak dalam al-Qur’a>n. Tujuan pendidikan dirumuskan dari materi-materi interaksi yang secara verbal dikomunikasikan oleh pendidik terhadap anak didik. Demikian pula dirumuskan dari interaksi simbolik yang terjadi antara pendidik dan anak didik yang tidak bersifat verbal.

2. Memetakan karakter pendidik dan etika anak didik. Karakter pendidik dan etika anak didik menggambarkan kompetensi dasar yang wujud dalam kondisi (performance) interaksi pendidikan.

3. Menemukan model interaksi pendidik anak dalam al-Qur’a>n. Model interaksi ini dianalisa dari metode pendidikan yang dilakukan oleh pendidik dalam interaksinya dengan anak didik.


METODE PENELITIAN

Pendekatan Penelitian

Penelitian “Interaksi pendidikan anak dalam al-Qur’a>n” menekankan pada pengungkapan makna teks suci (scriptural texts) dengan perspektif interaksi pendidikan anak. Penelitian ini termasuk library research, menggunakan metode tafsir (exegesis) dengan pendekatan mawd}u>’i> (tematik) dan tah}li>li> (analitik).

Metode tafsir dipilih karena makna dan kandungan al-Qur’a>n tidak terlepas dari permasalahan interpretasi mufassir. Sedangkan pendekatan mawd}u>’i dan tah}li>li> berfungsi untuk proses menuju pemahaman secara komprehensif makna yang terungkap dalam ayat al-Qur’a>n untuk menemukan jawaban atas masalah yang dikaji.

Pendekatan mawd}u>’i digunakan untuk identifikasi ayat-ayat al-Qur’a>n yang memuat pendidikan anak. Selanjutnya pemahaman ayat-ayat tersebut dikembangkan dengan pendekatan tah}li>li>. Selain dua pendekatan ini, peneliti juga menggunakan pendekatan interaksi pendidikan. Pendekatan terakhir digunakan untuk mengkontekkan data yang diperoleh dari pendekatan tah}li>li> dan mawd}u>’i dengan permasalahan model interaksi pendidikan anak dalam al-Qur’a>n.

Sumber Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa dokumentasi penafsiran dari para mufassir dan dielaborasi dengan pemikiran pendidikan Islam. Data yang dimaksud dihimpun melalui telaah kepustakaan (library research) yang diklasifikasikan atas sumber data primer dan sumber data skunder. Data primer penelitian ini diperoleh dari sumber utama dan pertama ialah al-Qur’a>n. Secara rinci data-data primer yang diperlukan berkaitan dengan pendidikan anak yang dilakukan oleh orang tuanya. Data tersebut meliputi: nabi Abil dan Ha>bil (al-Qur’a>n : surat al-ma>idah ayat 27-31), Nu>h} dengan Kan’a>n (Hu>d 42-46), Ibra>hi>m dengan Isma>’i>l (al-S}a>ffa>t 102-107), Ya’qu>b dengan Yu>suf dan saudara-saudaranya (Yu>suf 4-6,12-14,17-18, 63-67, 81-87), Ayarkha> (ibu Mu>sa), Asiyah (ibu angkat Mu>sa) dengan Mu>sa (T{a>ha> 38-40), Luqman Hakim dengan Tsa>ra>n (Luqman 12-19), Hannah (ibu Maryam), Zakaria dan Maryam (Ali ‘Imra>n 35-37), Zakaria dengan Yah}ya (Ali ‘Imra>n 38-41 ), dan Maryam dengan I>sa (Maryam 27-33).

Upaya memahami interpretasi makna data primer diperoleh dari sumber data skunder, berupa kitab-kitab tafsir al-Qur’a>n. Kitab tafsir yang digunakan meliputi tafsi>r bi al-ma’thu>r, tafsi>r bi al-ra’yi> dan tafsi>r bi al-‘ilmi>. Hal ini dilakukkan untuk memperoleh integralisasi pemahaman dari berbagai sudut pandang penafsiran. Selain data di atas, penelitian juga memerlukan data yang berkaitan dengan pendidikan, terutama tentang interaksi pendidikan. Data dari perspektif pendidikan ini mendudukkan interaksi sebagai kerangka analisis pendidikan anak dalam al-Qur’a>n.

Langkah Pengumpulan Data

Langkah yang ditempuh dalam penelitian ini merupakan adaptasi dari metode tafsir mawd}u’i> dengan tafsir tah}li>li>, dan teori interaksi pendidikan. Langkah metode mawd}u’i> dan tah}li>li> tersebut meliputi: 1) Menetapkan masalah pendidikan yang akan dikaji. 2) Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang sudah ditetapkan dengan cara: a) Memasukkan entri kata yang menjadi pelaku pendidikan (Ah}, Ibra>hi>m, Ya’qu>b, Ayarkha>, Luqma>n, Umm Maryam, Zakariya, Maryam) pada program Soft Ware al-Bah}th al-Muyassar fi al-Qur’a>n al-Kari>m Versi 2, Da>r H}usbah al-Nash} al-‘Arabi>, Amma>n-Yordania, 2005. Dari cara melacak ayat al-Qur’an berdasarkan akar kata tertentu ini dapat diseleksi ayat-ayat yang memiliki relevansi dengan konteks interaksi pendidikan anak. b) Memasukkan entri kata yang menjadi pelaku pendidikan tersebut pada program Soft Ware al-Qur’a>n dan terjemahan VERSI 1.1 Freeware © Hak cipta hanya milik Allah swt, Rajab 1424 (September 2003). Dari cara ini diperoleh penjelasan tentang pelaku pendidikan (Ah}, Ibra>hi>m, Ya’qu>b, Ayarkha>, Luqma>n, Hannah, Zakariya, Maryam) dengan indeks segala penjelasan terkait dengan rincian topik pembahasannya.

Langkah 3) Menggali interpretasi ayat. Penafsiran ayat dilihat dari berbagai kitab tafsir dengan karakteristik tafsi>r bi al-ma’thu>r, tafsi>r bi al-ra’yi> dan tafsi>r bi al-‘ilmi>. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh kelengkapan data tekstual penafsiran yang memperjelas historisitas pelaku pendidikan yang dibahas. 4) Mencari sabab nuzu>l. Langkah ini dilakukan melalui rujukan kitab luba>b al-Nuqu>l fi> asba>b al-nuzu>l karya Abd al-Rah}ma>n bin Abi Bakr bin Muh}ammad al-Sayu>t}i> Abu al-Fad}l.

Teknik Analisis Data

Data yang sudah terkumpul melalui metode mawd}u’i> dan tah}li>li> tersebut kemudian dianalisis dengan memasukkan perspektif interaksi pendidikan. Langkah ini meliputi: 1) Menggali kandungan pendidikan. Tema-tema pendidikan ini disarikan dari data historis hasil bacaan/ interpretasi mufassir atas ayat-ayat yang dikaji. 2) Identifikasi masalah pendidikan. Inti sari makna ayat-ayat pendidikan tersebut diidentifikasi dalam bentuk pertanyaan menurut kerangka interaksi pendidikan yang telah ditetapkan. 3) Analisis. Analisis atas permasalahan interaksi pendidikan yang sudah ditetapkan pada ayat tersebut dilakukan melalui tiga macam analisis berikut: Analisis makna (Mean Analysis), Analisis Bahasa (Linguistic Analysis) dan Analisis Konsep (Concep Analysis).

Langkah 4) Kesimpulan. Data yang telah dianalisis dengan teknik di atas, selanjutnya disimpulkan dengan mengunakan metode berfikir induksi dan deduksi. Metode induksi digunakan untuk generalisasi ayat-ayat yang memuat pendidikan anak, yang letaknya terpisah di berbagai surat. Hasilnya, merupakan identifikasi ayat-ayat yang memuat pendidikan anak dalam al-Qur’a>n. Identifikasi umum ayat-ayat pendidikan anak ini didasarkan atas prinsip induksi yang dibangun berdasarkan premis yang sudah diasumsikan kebenarannya. Premis ini menegaskan bahwa setiap ayat al-Qur’a>n bernilai pendidikan yang mana pendidikan anak termasuk di dalamnya. Metode deduksi dimaksudkan untuk menerapkan perspektif epistemologi pendidikan anak yang secara spesifik ingin ditemukan dalam al-Qur’a>n. Metode deduksi lebih dominan digunakan karena fokus penelitian ini adalah nilai ajaran al-Qur’a>n yang sudah diyakini oleh umat Muslim sebagai sumber yang mutlak kebenarannya.


HASIL PENELITIAN

Tujuan dan materi pendidikan

Tujuan pendidikan anak dalam al-Qur’a>n diformulasikan dari muatan materi yang diajarkan oleh masing-masing pelaku pendidikan dalam interaksinya dengan anaknya (nabi Ah}, Ibra>hi>m, Ya’qu>b, Luqma>n, Zakariya, H{annah, Ayarkha dan Maryam). Pada intinya, materi pendidikan anak dalam al-Qur’a>n dapat dikelompokkan dalam tiga aspek yaitu akidah, syari’ah dan akhlak. Tidak semua kisah pendidikan anak yang dikaji dalam penelitian ini memuat ketiga materi tersebut.

Pada kisah pendidikan A dengan anaknya Qa>bil dan Ha>bil menekankan pada aspek pendidikan akhlak dan akidah. Pendidikan Nu>h}} terhadap anaknya (Kan’a>n) menekankan aspek akidah dan akhlak. Pendidikan yang dilakukan Ibra>hi>m terhadap Isma>’i>l menekankan pada aspek akidah dan syari’ah. Pendidikan yang dilakukan Ya’qu>b terhadap Yu>suf dan saudara-saudaranya menekankan pada aspek akidah dan akhlak. Pendidikan yang dilakukan Luqma>n terhadap anaknya meliputi ketiga aspek akidah, syari’ah dan akhlak. Pendidikan prenatal ditemukan pada profil Zakariya dan H{annah. Sedangkan pendidikan Ayarkha terhadap Mu>sa mengandung materi dasar pendidikan. Sedangkan materi pendidikan yang dilakukan Maryam kepada I>sa meliputi aspek akidah, shari>’ah dan akhlak.

Interaksi pendidikan Abil dan Ha>bil menekankan pada materi pendidikan akhlak dalam membangun kehidupan berumah tangga. Abil harus belajar qana>’ah, yakni bagaimana menerima putusan Abil karena belum ada keluarga lain. Sementara Ha>bil belajar banyak tentang prilaku sabar dalam kehidupan. Bahkan untuk itu, Ha>bil siap mati dalam mempertahankan kebenaran.

Dalam dimensi akidah, Abil dan Ha>bil makna mendekatkan diri kepada tuhan Allah (qurba>n). Korban sebagai bagian dalam kehidupan spiritual manusia harus dilakukan dengan ikhlas, karenanya tuhan hanya menerima pendekatan diri dari hamba yang bertaqwa. Korban sebagai bagian dari harga diri secara spiritual, disamping menuntut ikhlas juga menuntut pasrah diri secara totalitas, berupa harta benda bahkan jiwa. Karakter seperti inilah yang dikehendaki oleh Abil dan Ha>bil. Akan tetapi tujuan pendidikan tersebut tampaknya tidak sepenuhnya tercapai, karena yang dapat menjalankan hannya Ha>bil, sementara Qa>bil gagal memenuhinya.

Materi pendidikan Nu>h}} terhadap Kan’a>n berhubungan dengan pendidikan akidah dan akhlak (moral). Tujuan pendidikan akidah untuk menanamkan keimanan dan membebaskan masyarakat dari sistem kepercayaan terhadap berhala. Pendidikan moral dilakukan Nu>h} dengan cara melarang Kan’a>n bergaul dengan orang kafir dan sekaligus meninggalkan praktek kekafiran bersama mereka. Nu>h} mengajak keluar dari tradisi kerajaan dan masyarakat pada umumnya yang tidak beragama.

Dibalik perintah penyembelihan Isma>‘i>l, terdapat materi pendidikan terkait yaitu aspek keimanan dan emosional. Pada aspek keimanan secara implisit berarti uji kepatuhan terhadap perintah Allah sekalipun nyawa menjadi taruhannya. Pada tahapan ini, Isma>‘i>l telah menunjukkan dedikasi yang tinggi dengan totalitas kesiapan emosioanalnya untuk melaksanakan prosesi korban.

Pendidikan Ibra>hi>m terhadap Isma>‘i>l bertujuan untuk lebih memanusiakan manusia melalui jalan patuh kepada Allah. Dengan kata lain, pendidikan humanis ini berisi nilai-nilai keutamaan atau kebajikan yang dapat mengangkat kemuliaan manusia secara universal. Dalam kontek humanisasi inilah Ibra>hi>m mengajarkan kepada Isma>‘i>l bagaimana membangun harkat dan martabat manusia di sisi Allah. Tujuan ini direalisasikan dengan membangun citra manusia yang taat kepada nilai-nilai kemanusiaan yang diperintahkan oleh Allah. Nilai kemanusiaan ditegakkan di atas sifat-sifat luhur budaya manusia dengan membebaskan diri dari sifat-sifat kebinatangan.

Materi pendidikan Ya’qu>b terhadap Yu>suf dipahami dalam lingkup pendidikan akidah dan akhlak. Pada aspek akidah Ya’qu>b mengenalkan konsep ketuhanan, ialah Allah yang telah memilih Yu>suf menjadi nabi dan mengajarakan ta’bir mimpi. Aspek pendidikan akhlak, dilakukan untuk membangun hubungan baik Yu>suf dengan keluarganya (saudara-saudaranya) dengan merahasiakan nikmat yang dapat menyebabkan mereka hasud kepadanya.

Pendidikan akidah bertujuan untuk meneguhkan hati Yu>suf dalam menghadapi permasalahan agar menjadikan Allah sebagai sumber kekuatan dan keimanan. Ya’qu>b meyakinkan Yu>suf bahwa Allah akan mengangkatnya menjadi nabi, sehingga tidak perlu khawatir dalam menghadapi kehidupan. Sedangkan pendidikan akhlak dilakukan Ya’qu>b untuk membangun interaksi antar anggota keluarga yang kurang harmonis. Saudara-saudara Yu>suf merasa hasud terhadap perhatian lebih yang diberikan Ya’qu>b kepada Yu>suf. Permasalahan internal keluarga inilah yang ingin diatasi oleh Ya’qu>b.

Dalam perspektif materi pendidikan, maka interaksi pendidikan yang dilakukan Ya’qu>b terhadap saudara-saudar Yu>suf ini memiliki penekanan materi pendidikan sebagai berikut: 1) Pendidikan bertanggung jawab. Hal ini sebagaimana ditunjukkan dalam kisah di atas, bagaimana saudara-saudara Yu>suf harus bertanggung jawab atas keselamatan Yu>suf ketika mereka bermain dengannya. 2) Pendidikan kejujuran. Ya’qu>b tidak mempercayai sedikitpun tindakan bodoh saudara-saudara Yu>suf yang mengatakan bahwa Yu>suf telah diterkam serigala. Ya’qu>b menuntut kejujuran prilaku yang muncul dari hati nurani, bukan dari ambisi dan rasa iri. 3) Pendidikan amanat. Ya’qu>b menekankan kembali kepada saudara-saudara Yu>suf bagaimana seharusnya mengemban amanat dapat menjaga Bunyamin dengan selamat agar tidak terulang kasus seperti Yu>suf. 4) Pendidikan loyalitas. Ya’qu>b melatihkan bagaimana caranya memeliki kesetiaan terhadap janji yang sudah disepakati, berupa dapat memeberi jaminan atas keselamatan Bunyamin. Walupun pada akhirnya mereka juga melanggar loyalitas itu.

Meteri berikutnya, 5) Tentang pendidikan kesabaran. Ya’qu>b menujukkan bagaimana berlaku sabar atas musibah yang bertubi-tubi. Setelah kehilangan Yu>suf yang dicintai kemudian disusul dengan kehilangan Bunyamin. Meskipun secara fisik menderita, bahkan sampai buta, akan tetapi tetap memiliki ketabahan yang kokoh. 6) Pendidikan keimanan. Ya’qu>b meyakini sepenuhnya bahwa Allah akan menyelamatkan orang-orang yang berbuat benar. Hal ini ditunjukkan dengan meyakini bahwa Yu>suf masih hidup, sementara hal itu dibantah oleh saudara-saudara Yu>suf. 7) Pendidikan memperjuangkan idealitas kebenaran. Ya’qu>b berdiri kokoh pada prinsipnya bahwa pengetahuannya yang tidak dipahami oleh saudara-saudara Yu>suf lambat laun akan dipahaminya. Materi terakhir adalah 8) Pendidikan bertaubat. Hal ini sebagaimana ditunjukkan, bahwa saudara-sauara Yu>suf akhirnya meminta ampun pada Ya’qu>b dan Ya’qu>b ternyata mengampuni semua kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh saudara-saudara Yu>suf itu.

Materi pendidikan dalam interaksi Ayarkha dan Asa adalah dalam lingkup arti pendidikan secara mendasar. Dari pengertian ini diketahui bahwa materi pendidikan yang dilakukan Ayarkha dan Apertama: menumbuhkan dan mengembangkan potensi jasmani dengan memberi makan dan minum. Hal ini sebagaimana diusahakan oleh Asa dan akhirnya mendapatkan ibunya sendiri. Materi kedua: memberikan perlindungan dan rasa aman dari segala ancaman yang membahayakan jiwa raganya. Hal ini dilakukan Ayarkha dengan menghanyutkan bayi Mu>sa di sungai Nil sebagai siasat untuk menyelamatkan dari kebiadaban Fir’aun yang membunuh setiap bayi laki-laki. Ketika hidup di istana musuh Mu>sa, maka peran melindungi itu dilakukan oleh A

Berdasarkan paparan di atas, maka pendidikan yang dilakukan oleh Ayarkha dan Asa secara dasar meliputi upaya merawat, mengasuh, dan membesarkan. Dengan kata lain, tujuan pendidikan yang utama yang mereka lakukan adalah untuk melindungi dan menyelamatkan jiwa dan raga bayi Mu>sa dari kematian. Selamatnya Mu>sa dari kekejaman Fir’aun bertumpu pada jasa ibu kandungnya sendiri dan ibu angkatnya.

Materi pendidikan yang diterapkan oleh Luqma>n H{aki>m kepada anaknya meliputi tiga hal: pertama: Pendidikan keimanan (akidah). Pendidikan ini pertama kali dilakukan Luqma>n kepada anaknya. Luqma>n menanamkan keyakinan bahwa Allah sebagai Dzat Yang Maha Esa yang harus disembah dan sekaligus melarang perbuatan shirik. Kedua: Pendidikan ibadah (shari>’ah). Ruang lingkup syari’ah meliputi interaksi vertikal seorang hamba dengan Allah yang direalisasikan melalui ibadah, dan interaksi horizontal yang dilakukan dengan sesama manusia (mu’a>malah). Dalam hal ibadah ini Luqma>n mengajarakan salat kepada anaknya. Ketiga: Pendidikan akhla>k . Dalam bidang akhla>k terbagi menjadi dua, yaitu akhla>k personal dan akhla>k sosial. Pendidikan akhla>k personal dilakukan Luqma>n kepada anaknya dengan memperkenalkan etika baik terhadap kedua orang tua. Prinsip berbakti ini dengan cara melakukan segala yang diperintahnya, dan menjauhi segala larangannya selama dalam batas tidak melanggar syari’at Islam.

Setelah anak dikenalkan konsep akhla>k kepada tuhannya melalui jalan ibadah, dan berbakti kepada kedua orang tuanya, berikutnya diajarkan padanya akhla>k dalam kontek kemasyarakatan (akhla>k sosial) mencakup; pendidikan dakwah /amar ma’ru>f nahi munkar dan bersabar. Juga pendidikan etika, menckup etika pergaulan (bertemu), berbicara dan berjalan. Empat prinsip dasar pendidikan Luqma>n H{aki>m kepada anaknya tersebut memenuhi target untuk membentuk insan kamil yang terdiri dari kesempurnaan aqidah, syariah dan akhla>k (Iman, Islam dan Ih{san).

Relevansi pendidikan H{annah terhdap Maryam berkaitan dengan materi pendidikan prenatal. Materi pendidikan prenatal dimaksudkan ialah tentang upaya meminta anak saleh diantaranya melalui usaha doa dan nazar. Pendidikan prenatal meyakini bahwa pembentukan anak sudah dipengaruhi sejak dalam kandungan, bahkan jauh hari sebelum pernikahan, dimulai sejak proses memilih suami/istri. Kondisi emosional saat ibu mengandungpun mempengaruhi terhadap karakter anak. Pada tahap ini, doa dan nazar yang dilakukan H{annah saat mengandung Maryam tentunya memiliki peran yang signifikan, sehingga nantinya lahir generasi salehah seperti Maryam .

Do’a yang dilakukan H{annah dapat dipahami mengandung etika-etika doa sebagai berikut: Pertama: doa dilakukan dengan sungguh-sungguh dan tidak mengenal putus asa. Kedua: nazar ditujukan untuk niatan yang baik, yaitu mendidik anaknya kelak dengan pendidikan agama sehingga taat dalam beragama. Ketiga: doa dan nazar tersebut dilakukan dengan penuh keikhlasan dari H{annah, bukan karena keadaannya yang mandul.

Pendidikan Zakariya kepada Yah}ya menekankan materi pendidikan prenatal. Materi pendidikan prenatal dimaksudkan ialah tentang upaya meminta anak saleh diantaranya melalui berdoa. Doa yang dilakukkan Zakariya dalam rangka meminta anak saleh memiliki tiga bentuk yang terdapat pada ayat al-Qur’a>n, 21; 89, 19; 3-6, 3; 38. Menurut penjelasan para ahli tafsir, do’a Zakariya ini mengikuti jejak doa ibra>hi>m. ibrahim memuji Allah yang telah menganugerahkan Isma>’i>l dan Ish}a>q kepadanya.

Do’a yang dilakukan Zakariya dapat dipahami mengandung etika-etika doa sebagai berikut: Pertama: doa dilakukan dengan sungguh-sungguh dan tidak mengenal putus asa dimana Zakariya melakukan doa dalam waktu yang lama dan terbukti doa itu sendiri terkabulkan setelah masa 40 tahun. Kedua: doa dilakukan melalui ibadah yang sangat menuntut totalitas pengabdian yaitu pada waktu muna>jat (shalat). Ketiga: berdoa kepada Allah dilakukan dengan harap dan cemas, dalam keadaan senang maupun dan susah. Keempat: doa dilakukan dengan khusyu', merendahkan diri dan tunduk.

Misi profetik menjadi karakteristik pendidikan yang dilakukan Maryam terhadap I>sa, di samping untuk solusi atas permasalahan yang menimpa ibunya, Misi perofetik (kerasulan) I>sa dikuatkan dengan diberi kitab yang memuat ajaran syari’ah (salat dan zakat) dan akhlak (personal dan sosial) bagi manusia. Akhlak personal ditujukan pada interaksi pribadi dengan keluarganya. Pada lingkup interaksi sosial, I>sa menebarkan nilai manfaat dan pembawa berkah bagi kehidupan manusia.

Ringkasan uraian materi dan tujuan pendidikan anak dalam al-Qur’a>n ini dirangkum sebagai berikut:

No

Subyek pendidikan

Materi pendidikan

Tujuan pendidikan

1.

A as, Qa>bil dan Ha>bil

a. 'aqi>dah:

iman kepada Allah

Transendensi



b. Shari>’ah:

berkurban

Taqwa kepada Allah



c. Aklak:

qana’ah, ikhlas

Humanisasi

2.

Nabi Nu>h} as. dan Kan’a>n

a. 'aqi>dah:

iman kepada Allah

Transendensi



b. Aklak:

bergaul dengan orang saleh

Humanisasi

3.

Nabi Ibra>hi>m as dan Isma>‘i>l as.

a. 'aqi>dah:

iman kepada Allah

Transendensi



b. Shari>’ah: berkurban

Taqwa kepada Allah



c. Akhla>q:

berbakti kepada orang tua

Humanisasi

4.

Nabi Ya'kub as dan Yu>suf as.

a. 'aqi>dah:

iman kepada Allah

Transendensi



b. Akhla>q:

interaksi kekeluargaan

Humanisasi

5.

Nabi Ya'kub as dan Yu>suf as.

a. 'aqi>dah:

iman kepada Allah

Transendensi



b. Shari>’ah: bertaubat

Taqwa kepada Allah



c. Akhla>q:

berbakti kepada orang tua, bertanggung jawab, jujur, amanat, loyal, sabar

Humanisasi

6.

Ayarkha , Asa

a. jasmani:

mengasuh

Pertumbuhan jasmaniyah



b. ruhani:

perlindungan

Keselamatan jiwa



c. akhlak:

pergaulan

humanisasi

7.

Luqma>n Hakim dan anaknya

a. 'aqi>dah:

iman kepada Allah

Transendensi



b. Shari>’ah :

salat

Taqwa kepada Allah



c. Akhla>q:

berbakti pada orang tua, dakwah, sabar, tidak sombong, tutur kata yang baik.

Kesalehan sosial

8.

Hannah, Zakariya dan Maryam

a. prenatal:

doa dan nazar

anak saleh



b. post natal:

memberi nama, doa

selamat

anak saleh

9.

Zakariya dan Yah}ya

a. prenatal:

doa

anak saleh



b. post natal:

mengasuh, merawat.


10.

Maryam dan I>sa as.

a. 'aqi>dah:

iman kepada Allah, al- kitab dan rasul

Kesalehan personal



b. Shari>‘ah :

zakat dan salat

Taqwa kepada Allah



c. akhla>q:

berbakti pada orang tua dan berbuat baik pada sesama

Kesalehan sosial

Karakter pendidik dan etika anak didik

Sifat-sifat dasar (kompetensi) pendidik anak dalam al-Qur’a>n meliputi teguh pendirian, bijak, sabar, demokratis, psikolog, intuitif. Dalam perspektif pendidikan, karakteristik ini dipahami dari eksplorasi pemaknaan terhadap interaksi pendidikan anak yang dilakukan Ah}, Ibra>hi>m, Ya’qu>b, Luqma>n, Zakariya, H{annah (ibu Maryam ), ِAyarkha (ibu Mu>sa), dan Maryam .

Pribadi Abil dan Ha>bil menggambarkan sosok pribadi yang teguh dalam memegang prinsip kebenaran tuhan. A telah terjadi dan ini menunggu realisasi. Inilah yang diajarkan A

Karakter bijak (h}ikmah) ditemukan dalam model interaksi pendidikan Luqma>n terhadap anaknya. Luqma>n menerapkan pendidikan anak akibat kompetensi h}ikmah yang diberikan Allah kepadanya. Dominasi sifat bijak ini melandasi interaksi pendidikan yang dilakukan kepada anaknya. Akibatnya, pendidikan anak yang dilakukan dengan skala prioritas dimulai dengan penguatan aspek akidah. Penanaman keimanan menunjukkan konsep transendensi yang menjadi landasan awal pendidikan anak. Seleksi materi berikutnya pada penguatan aspek syari’ah dan akhlak. Sikap bijak Luqma>n tertuju pada upaya pembentukan anak didik menjadi insa>n ka>mil dengan melalui tiga aspek materi tersebut.

Profil Nu>h} dalam perspektif pendidik menunjukkan karakter tanggung jawab dalam mendidik anaknya. Tanggung jawab ini ditunjukkan dalam mendidik anaknya agar memiliki kualitas iman dan meninggalkan pergaulan dengan orang-orang kafir. Meskipun tujuan pendidikan Nu>h} terhadap Kan’a>n tidak berhasil, namun wujud tanggung jawab Nu>h} sebagai orang tua dan pendidik tetap dilakuka. Realisasi tanggung jawab ini dalam bentuk pembelaan terhadap nasib Kan’a>n yang mati tenggelam bersama orang kafir. Pembelaan itu dilakukan dihadapan Allah, agar sebisa mungkin Nu>h} dapat memeberi syafa’at (pertolongan). Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan tidak bersifat transaksional, namun lebih mengarah pada tanggung jawab moral pendidik atas kesuksesan anak didiknya.

Pribadi Ibra>hi>m sebagai pendidik menunjukkan sikap demokratis dalam mendidik anaknya. Demokratisasi pendidikan diterapkan dengan sasaran memberikan pilihan anak didik dengan penuh pertimbangan dan tanggung jawab. Hal ini terjadi karena materi pendidikan Ibra>hi>m terhadap anaknya menyangkut masalah hak hidup pribadi (penyembelihan) yang melibatkan kesiapan emosional. Pendidikan dilakukan dengan memberikan hak asasi pada anak didik dalam menentukan sikapnya. Hal ini berarti pendidikan menghindari interaksi otoritatif-dogmatis karena menyangkut hak personal yang menuntut kesiapan emosioanal.

Pertimbangan psikologis anak didik menjadi inti pendidikan Ya’qu>b kepada anaknya. Artinya dalam proses pendidikan, Ya’qu>b berusaha untuk memahami permasalahan psikologi Yu>suf, kemudian berusaha mencarikan solusinya. Dalam hal ini, Yu>suf mengadukan kepada Ya’qu>b tentang mimpinya yang secara psikologis telah mengganggu kejiwaannya. Seandainya mimpi itu tidak mengganggunya, tentu tidak sampai dicurahkan kepada ayahnya. Ya’qu>b memahami permasalahan psikologis anaknya, sehingga memberikan pesan-pesan moral yang mengarah pada penanganan permasalahan yang dihadapi secara profesional dan kekeluargaan.

Interaksi Ya’qu>b terhadap saudara-saudara Yu>suf terjadi selama delapan kali dimana karakter Ya’qu>b dapat dipahami dari interaksi tersebut. Pada intinya karakter Ya’qu>b disimpulkan sebagai berikut: 1) memberikan pengalaman belajar secara riil kepada anak didik. 2) Akomodatif terhadap alasan anak didik. 3) Berfikir logis dan menggunakan kepekaan hati nurani. Ya’qu>b tidak saja menerima semua alasan yang diajukan oleh saudara Yu>suf, 4) Menerapkan sistem dialog sebagai saluran pendidikan. 5) Memberlakukan anak didik sesuai dengan potensinya. Pada akhirnya, kecintaan terhadap Yu>suf dimaksudkan adalah untuk memberikan tindakan interaktif yang proporsional sesuai dengan tingkat potensi dan urgensi anak didik dalam kehidupan.

Pada kedua profil Ayarkha dan Asa terdapat karakter-karakter berikut; pertama : naluri keibuan. Naluri keibuan ini meliputi kepekaan rasa dan merasa iba atas musibah yang terjadi pada bayi Mu>sa. Karakter keibuan tersebut juga ditunjukkan oleh pribadi Asa mendapatkan wanita yang cocok untuk menyusui. Kedua: naluri melindungi. Naluri melindungi ini muncul sebagai rangkaian dari naluri keibuan yang terefleksikan dalam sifat iba dan emosional terhadap anak. Ketiga : potensi iman. Potensi iman ini ada pada diri Ayarkha dan A membuat perumpamaan isteri Fir’aun itu bagi orang-orang beriman. Sekalipun isteri seorang raja yang kafir, namun Allah menganugerahkan potensi iman yang luar biasa.

Karakter H{annah digambarkan dengan sifat-sifat berikut: Pertama: memiliki kapasitas kesalehan pribadi. Kedua: gemar melakukan doa dan tidak putus asa. Ketiga: giat melakukan nazar. Keempat: memiliki obsesi untuk menciptakan generasi saleh. Kelima: sangat peduli untuk mendidik Maryam dengan pendidikan agama. Keenam: menamai anaknya dengan nama yang baik. Ketuju: mendoakan anaknya ketika lahir agar terbebas dari gangguan syetan.

Karakter Zakariya digambarkan dengan sifat-sifat berikut: Pertama: memiliki kapasitas kesalehan pribadi. Kedua: gemar melakukan kebaikan. Ketiga: giat melakukan doa. Keempat: tunduk kepada perintah Allah. Kelima: sangat peduli untuk membentuk generasi penerus yang berkwalitas. Keenam: tidak pernah putus asa untuk berdoa meminta keturunan, meskipun usianya sudah tua dan istrinya mandul.

Pendidikan Maryam terhdap I>sa lebih menekankan pada karakteristik intuitif. Pendidikan intuitif terjadi karena pendidikan secara natural tidak mungkin dilakukan. Maryam menjadikan I>sa sebagai sarana mendidik umatnya. Maryam sendiri memposisikan I>sa mampu memperoleh pengetahuan secara transendental melalui intuisi. Tindakan Maryam ini didasari atas keyakinannya, bahwa I>sa akan mengemban misi profetik yang memiliki otoritas kepribadian berupa mu’jizat.

Pemaknaan secara implisit dari pendidikan anak dalam al-Qur’a>n juga menunjukkan bahwa pelaku pendidikan anak didominasi oleh pihak ayah, kecuali pada kisah pendidikan yang dilakukan H{annah terhadap Maryam, Ayarkha dan Asa dan Maryam terhadap I>sa. Hal ini berarti watak pendidikan dipengaruhi oleh jiwa patrilinial yang memiliki ketergantungan terhadap pihak laki-laki yang dalam hal ini ayah. Pendidikan yang dilakukan oleh ibu memiliki kecenderungan terhadap makna pendidikan dasar meliputi kegiatan mengasuh dan merawat. Sedangkan pendidikan yang dilakukan ayah cenderung pada makna penanaman nilai-nilai akidah, syari’ah dan akhlak.

Sedangkan watak anak didik lebih mengikuti garis matrilinial. Artinya genetika sang ibu mendominasi perkembangan kejiwaan dan spiritual anak didik. Ada korelasi antara kegagalan pendidikan anak dengan genetika ibu. Kegagalan Nu>h} mendidik Kan’a>n karena Kan’a>n lebih memilih pola pergaulan dengan orang kafir, karena ibu Kan’a>n sendiri kafir. Anak memiliki kecenderungan mengikuti garis keimanan kepada ibunya. Demikian halnya, meskipun Mu>sa hidup dalam lingkungan kerajaan firaun yang kafir, namun karena genetikanya dari ibu yang beriman, maka hal tersebut tetap dominan. Hal ini juga ditemukan pada pribadi Maryam yang telah terbukti dari keturunan ibu yang salehah (Ayarkha ).

Pada kisah pendidikan Luqma>n, keimanan anaknya linier dengan posisi ibunya yang juga beriman, meskipun pada mulanya kafir. Pada kisah Isma>‘i>l dan I>sa, jelas sekali mereka keturunan dari ibu yang beriman. Fakta ini mengindikasikan bahwa garis keimanan anak dipengaruhi oleh garis keimanan ibu. Demikian pula dominasi tanggung jawab pendidikan anak tidak terlepas dari otorisasi ayah sebagai kepala keluarga.

Interaksi pendidikan dalam al-Qur’a>n menggambarkan aksi dan reaksi antara pendidik dan anak didik. Dalam perspektif reaksi anak didik, ditemukan pola etis dan non etis. Pola etis dipahami dengan etika anak didik yang berimplikasi pada pencapaian tujuan pendidikan. Sedangkan pola non etis memiliki relevansi terhadap kegagalan misi pendidikan. Dimensi etis ini ditunjukkan oleh sifat Matha>n (anak Luqma>n) yang patuh dan sifat Isma>‘i>l yang responsif. Demikian pula sifat Yu>suf dan I>sa yang aktif dalam proses interaksi pendidikan. Sifat agresif ditunjukkan oleh Mu>sa dan saudara-saudara Yu>suf. Adapun Kan’a>n dan Ha>bil lebih menunjukkan pada sifat non etis dalam arti tidak patuh terhadap sang pendidik. Masa kecil Maryam menggambarkan pola hidup etis. Sedangkan pada pribadi Yah}ya tidak dijumpai etika yang dapat dianalisis.

Aktivitas anak didik digambarkan dalam dua sosok, yaitu pribadi Qa>bil dan Ha>bil. Pribadi Qa>bil menonjolkan sifat proaktif-distruktif. Sifat distruktif merupakan akumulasi dari nafsunya (untuk mempertahankan saudara kembarnya agar tidak dinikahi Ha>bil) dengan bujukan syetan. Sementara itu, etika edukatif yang ditunjukkan Ha>bil berbeda dengan Qa>bil. Pribadi Ha>bil menunjukkan etika moralitas yang tinggi, baik dalam interaksinya dengan Abil. Etika selalu menerima perintah Abil menerima putusan Abil. Ha>bil melaksanakan perintah berkorban untuk menentukan siapa yang lebih berhak menikah. Pada akhirnya korban Ha>bil diterima, akan tetapi masih harus menerima ancaman dari Qa>bil. Demikian pula, rasa pasrah tanpa perlawanan ketika Qa>bil berambisi membunuh dirinya.

Uraian ini menunjukkan bahwa etika anak didik yang menerima perintah ataupun putusan tanpa banyak mempermasalahkannya adalah kunci keberhasilan dalam diri anak didik. Meskipun pada akhirnya terbunuh, tetapi Ha>bil termasuk dalam katagori orang yang berperadaban luhur (min al-muttaqi>n). Sebaliknya, tidak semua tindakan anak didik yang didasarkan atas legalitas logika dan validitas realistis menuju pada capain pendidikan yang gemilang. Kezaliman manusia bisa jadi karena terlalu mentumpu pada pertimbangan logika-empirik, sementara mengabaikan kebenaran perintah tuhan. Inilah sifat manusia yang tidak amanah (jujur) dalam menerima dan menjalankan tugas-tugas ajaran agama.

Ketidakpatuhan Kan’a>n terhadap pendidikan Nu>h} ditunjukkan dengan sikap oposisi terhadap perintahnya. Ketika datang banjir, Kan’a>n diperintah untuk naik perahu dan meninggalkan pergaulan dengan komunitas kafir, seraya menolak ajakan itu. Kan’a>n dengan pertimbangan rasionalnya merasa dapat menyelamatkan diri dengan naik ke atas gunung. Sikap oposisi Kan’a>n ini juga dipengaruhi oleh temperament Kan’a>n yang mengikuti jalur genetika ibunya yang tidak beriman.

Sikap responsif ditunjukkan oleh pribadi Isma>‘i>l ketika diminta pendapatnya oleh Ibra>hi>m tentang mimpinya. Responsibilitas menunjukkan kesiapan anak didik untuk mendialogkan materi yang dilontarkan oleh pendidik. Hal ini tidak akan terjadi jika anak didik tidak memahami permasalahan yang dilontarkan pendidik. Sikap tanggap terhadap permasalahan pendidikan seperti ini dilakukan Isma>‘i>l dengan penuh tanggung jawab. Ibra>hi>m telah memberikan ruang kebebasan kepada Isma>‘i>l untuk menentukan pilihannya, akan tetapi Isma>‘i>l merespon permintaan Ibra>hi>m secara positif.

Pribadi Yu>suf ketika menceritakan mimpinya kepada Ya’qu>b dipahami sebagai perolehan materi pendidikan dari anak didik. Ya’qu>b memposisikan diri sebagai pendidik yang berusaha untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi anak didik. Problem solving menjadikan pendidik harus memahami kondisi kejiwaan anak didik. Dalam hal ini pendidikan terjadi untuk mencari solusi atas permasalahan anak didik. Sikap aktif Yu>suf untuk mengutarakan mimpinya kepada Ya’qu>b menunjukkan perolehan pendidikan dari anak didik. Dengan kata lain, pendidikan menjadi bagian penting untuk menyelesaikan permasalahan anak didik, sekaligus mempersiapkan masa depannya.

Sikap aktif Yu>suf tersebut berbeda dengan sikap aktif saudara-saudaranya, karena tidak semua yang dilakukan saudara Yu>suf bersifat etis. Karakter iri hati mereka telah melahirkan persaingan atau bahkan pertikaian dimana hal itu dilakukan atas pertimbangan yang logis dan empiris. Karakter logis dan empiris ini terlihat pada mayoritas tindakan kebohongan yang dilancarkan terhadap Ya’qu>b. Mereka merayu Ya’qu>b agar mengizinkan Yu>suf pergi bersamanya dengan alasan bermain. Giliranya pulang kepada Ya’qu>b, mereka memperdayainya dengan mengatakan bahwa Yu>suf diterkam serigala disertai bukti bajunya yang dilumuri darah. Berikutnya, mereka meminta Bunyamin pergi bersamanya sebagai jaminan mendapatkan gandum. Lagi-lagi waktu pulang, Ya’qu>b dikejutkan dengan berita bohongnya yang mengatakan bahwa Bunyamin telah mencuri sehingga harus ditahan oleh pihak kerajaan Mesir.

Uraian di atas menegaskan bahwa karakter tindakan saudara-saudara Yu>suf dilandasi atas rasa iri, melahirkan persaingan dan akhirnya memaksakan pada tindakan kebohongan yang dibangun atas pertimbangan yang logis dan menyertakan data empiris. Karakter-karakter ini tentunya tidak ada unsur positifnya dalam perspektif anak didik. Hanya saja, ada satu etika yang perlu ditiru adalah munculnya sikap sadar diri atas segala tindak kebohongan yang telah dilakukan terhadap Ya’qu>b. Kesadaran akan keterbatasan diri tersebut muncul setelah mereka memperoleh sejumlah pengalaman belajar yang ternyata tindakan yang dilakukan selama itu tidaklah terpuji. Logika dan bukti empiris yang digunakan untuk mengelabuhi Ya’qu>b ternyata tidak mampu mematahkan kebenaran transendensi yang hakiki.

Etika anak didik yang tergambar dalam diri Mu>sa utamanya adalah tentang emosional anak. Hal ini sebagaimana terlihat dalam kisah interaksi Mu>sa dengan Fir’aun. Mu>sa pada masa anak-anak telah membuat masalah dengan Fir’aun akibat sikapnya yang aktif dan atraktif. Hal ini contohnya adalah ketika Mu>sa menarik jenggot firaun dan menabrak kursi singga sananya, padahal firaun sedang duduk diatasnya. Tak pelak kejadian itu mengundang kemarahan firaun. Termasuk kejadian yang menghebohkan, ketika Mu>sa terlibat dalam perkelahian sehingga harus menolong seorang yang dari golongannya. Sementara Mu>sa membunuh yang dari golongan Fir’aun. Peristiwa-peristia ini menggambarkan agresifitas Mu>sa yang cenderung atraktif.

Pendidikan Luqma>n dilakukan dalam bentuk perintah dan larangan. Etika anak didik tidak menunjukkan reaksi interaktif maupun dialogis. Juga tidak menunjukkan sikap menentang terhadap pendidik. Hal ini berarti pendidik berhasil mengkondisikan etika patuh terhadap anak didik. Demikian juga berarti anak didik telah menerapkan etika pendidikan.

Interaksi pendidikan secara langsung tidak ditemukan pada diri H{annah dan Maryam . Justru inteksi terhadap Maryam dilakukan oleh Zakariya. Yaitu ketika Maryam berada dalam asuhannya, sering kali Zakariya mendapati hal-hal ajaib yang terjadi pada diri Maryam. Zakariya mendapati buah-buahan dari dua musim panas dan dingin yang tidak berbuah semestinya. Hal ini menunjukkan di antara tanda karamah (kemulyaan)nya. Dari peristiwa di atas, dapat dipahami gambaran pribadi Maryam . Uraian karakter Maryam ini adalah; pertama: Maryam sangat taat dan rajin beribadah di mihra>b. Kedua: Maryam memiliki kompetensi iman yang kuat, sehingga Allah memulyakannya. Ketiga: di antara kemulyaan Maryam, Allah menjamin dengan berbagai kemudahan dalam memperoleh makanan yang tidak terduga.

Tidak ditemukan etika anak didik pada diri Yah}ya , karena dalam al-Qur’a>n tidak dijelaskan bahwa Zakariya berinteraksi secara langsung dengan Yah}ya. Demikian pula karena pendidikan Zakariya terhadap Yah}ya lebih bersifat prenatal (pendidikan yang diupayakan sebelum kelahiran anak). Meskipun tidak ditemukan interaksi secara langsung antara Zakariya dengan Yah}ya, namun gambaran pribadi Yah}ya yang akan lahir itu dijelaskan dalam al-Qur’a>n, 3: 39. Uraian karakter Yah}ya ini dalam ayat tersebut adalah: Yah}ya, memiliki sifat membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang nabi termasuk keturunan orang-orang saleh.

Perolehan pendidikan pada kisah I>sa dengan Maryam mengindikasikan pada pendidikan secara intuisi. Etika lsa yang tiba-tiba aktif melakukan interaksi pendidikan dengan kaumnya terjadi karena ada kekuatan transendental yang menggerakkannya. Indikasi ini memberikan makna pada perolehan pendidikan secara intuitif, yakni diperoleh dari wahyu.

Ringkasan uraian kompetensi pendidik dan anak didik dalam al-Qur’a>n ini dirangkum sebagai berikut:

No

Subyek pendidikan

Karakter pendidik

Etika anak didik

1.

A as, Qa>bil dan Ha>bil

Teguh pendirian

Aktif –distruktif.

2.

Nabi Nu>h} as. dan Kan’a>n

Sabar

Tidak patuh, aktif

3.

Nabi Ibra>hi>m as dan Isma>‘i>l as.

Demokratis

Patuh, aktif

4.

Nabi Ya'kub as dan Yu>suf as.

Psikologis

Patuh, aktif

5.

Nabi Ya'kub as dan saudara-saudara Yu>suf as.

Akomodatif, logis, dialogis.

Agresif-distruktif

6.

Ayarkha , Asa

Keibuan, melindungi, iman.

Agresif-emosional

7.

Luqma>n Hakim dan anaknya

Bijaksana (haki>m)

Patuh, pasif

8.

Hannah, Zakariya dan Maryam

Iman, taqwa.

Patuh beribadah

9.

Zakariya dan Yah}ya

Iman, taqwa.

Iman, taqwa

10.

Maryam dan I>sa as.

Intuitif

Patuh, aktif

Model interaksi pendidikan

Model interaksi pendidikan di sini dipahami dari metode yang digunakan Ah}, Ibra>hi>m, Ya’qu>b, Luqma>n, Zakariya, H{annah (ibu Maryam ), ِAyarkha (ibu Mu>sa), dan Maryam dalam sosialisasi pengetahuan pendidikan yang diperoleh dari sumber pertama (Allah ) kepada anak-anak didiknya (anaknya). Perolehan pengetahuan pendidikan diterima para pendidik tersebut melalui intuisi dan atau wahyu dari Allah. Pada tahap berikutnya, ditemukan upaya sosialisasi pengetahuan pendidikan yang terformulasikan dalam beberapa metode pendidikan anak.

Metode-metode tersebut ialah dengan cara mauiz}ah ditemukan pada diri Luqma>n. Metode pendidikan dialogis dengan pendekatan rasionalis ditemukan pada Nu>h}. Pada Ibra>hi>m ditemukan metode dialogis-demokratis. Sedangkan metode dialogis dengan pendekatan psikologis ditemukan pada pribadi Ya’qu>b terhadap Yu>suf. Pendidikan Maryam atas I>sa dan H{annah atas Mu>sa menonjolkan metode dialogis-intuitif. Pada profil pendidikan Maryam, dan Yah}ya menerapkan metode pendidikan prenatal. Metode problem solving ditemukan pada pendidikan A dan Ya’qu>b dalam interaksinya dengan saudara-saudara Yu>suf.

Sebagaimana uraian di atas, bahwa metode pendidikan problem solving terlihat dalam interaksi pendidikan A dengan Qa>bil dan Ha>bil, serta interaksi pendidikan Ya’qu>b dengan saudara-saudara Yu>suf. Pendidikan A dilakukan untuk menyelesaikan pertikaian antara Qa>bil dan Ha>bil dalam hal memperebutkan pasangannya. Meskipun pada akhirnya tidak mencapai sasaran yang dimaksudkan agar terjadi perdamaian antara keduanya, namun setidaknya ajaran berkorban yang diperintahkan A untuk mereka berdua merupakan awal solusi atas persengketaan tersebut. Kegagalan misi mendamaikan kedua anaknya tersebut disebabkan karena Qa>bil lebih mengikuti perasaan irinya daripada pertimbangan rasionalnya untuk patuh terhadap pendidikan A

Demikian halnya pendidikan yang dilakukan oleh Ya’qu>b terhadap saudara-saudara Yu>suf ditujukan untuk memeberi solusi atas konflik internal keluarganya. Perseteruan saudara Yu>suf terhadap Ya’qu>b dilatarbelakangi oleh sikap irinya akan kasih sayang yang dicurahkan kepada Yu>suf. Padahal semetinya mereka lebih berhak mendapatkannya. Setidaknya dalam data di muka dijelaskan telah terjadi delapan kali interaksi profokatif yang dilakukan saudara Yu>suf terhadap Ya’qu>b. Baru aksi-aksi tersebut diarahkan untuk mencelakai Yu>suf dengan jalan membujuk Ya’qu>b. Sampai akhirnya Ya’qu>b terperdaya melepaskan Yu>suf dan Bunyamin. Baru pada interaksi terakhir, saudara Yu>suf menyatakan diri untuk bertaubat atas segala kesalahannya dan Ya’qu>b pun mendukung hal itu. Inilah akhir penyelesaian dari konflik iternal keluarga Ya’qu>b.

Metode dialogis-psikologis dilakukan oleh Ya’qu>b terhadap Yu>suf. Ya’qu>b mendialogkan permasalahan mimpi Yu>suf, didahului dengan aksi Yu>suf yang secara proaktif menceritakannya. Reaksi Ya’qu>b dalam upaya problem solving seperti ini, menunjukkan bahwa pendidikan berusaha untuk membebaskan permasalahan psikologis anak didik.

Metode dialogis-demokratis terlihat pada model pendidikan Ibra>hi>m terhadap Isma>‘i>l. Dialog dipahami sebagai upaya untuk membuka jalur informasi antara pendidik dan anak didik. Dalam hal ini, Ibra>hi>m mendialogkan mimpinya tentang penyembelihan Isma>‘i>l. Dialog dilakukan untuk mengetahui persepsi psikologis Isma>‘i>l tentang permasalahan yang dihadapi. Disinilah Ibra>hi>m mengenalkan konsep ketauhidan, dengan menekankan bahwa perintah penyembelihan itu datang dari Allah.

Metode pendidikan prenatal dipahami pada interaksi pendidikan Ayarkha H{annah terhadap Maryam dan Zakariya terhadap Yah}ya. Usaha-usah untuk mendapatkan anak saleh dilakukan melalui doa dan bahkan nazar. Berkali-kali Zakariya berdoa dengan uslu>b yang berbeda-beda menunjukkan kesungguhannya dalam memohon anak di saat usianya sendiri tua dan istrinya mandul. Demikian halnya H{annah yang juga dalam keadaan mandul berazam untuk memiliki anak saleh. Setelah benar-benar keduanya doanya dikabulkan Allah, maka atas kelahiran anaknya itu, mereka mendidiknya dengan baik. Misalnya ketika H{annah melahirkan Maryam, H{annah menamainya dengan anam ayang baik dan mendoakan agar selamat dari gangguan syetan. Usaha Zakariya juga membuahkan buah hati Yah}ya yang juga memiliki kwalitas tinggi dalam kesalehannya.

Metode mauiz}ah diterapkan Luqma>n kepada anaknya. Metode ini berfungsi untuk membangkitkan semangat spiritual untuk beriman kepada Allah. Dalam paparan data di muka ditemukan bahwa Luqma>n memiliki anak dan istri yang keduanya kafir. Oleh karenanya, Luqma>n menasehatinya sehingga mereka berfikir dan sadar akan kemungkarannya dan pada akhirnya keduanya beriman. Tidak ditemukan reaksi menentang yang dilakukan anak didik atas nasehat Luqma>n. Hal ini berarti pendidikan melalui mauiz}ah berjalan secara monolog (searah) dari pendidik kepada anak didik dan tidak memberi kesempatan pada anak didik untuk menginterfensi nasehat tersebut. Tampaknya metode mauw’izah ini efektif untuk menanamkan nasehat-nasehat yang bersifat dogmatif-doktriner.

Metode pendidikan dengan dialogis diterapkan Nu>h} terhadap Kan’a>n dengan mengedepankan pendekatan rasional. Tatkala seruan beriman tidak dihiraukan, maka Nu>h} mendesak beriman karena factual-rasional akan terjadi banjir yang siap menenggelamkan semuanya. Reaksi Kan’a>n menunjukkan sikap keras kepala dan beralasan berdasarkan pada pertimbangan rasionalnya sendiri, yaitu akan menyelamatkan dirinya dengan naik di atas puncak gunung. Tawaran pendidikan Nu>h} secara dialogis dengan pendekatan rasional ini tidak berhasil, karena anak didik juga menggunakan nalar logisnya untuk menyelamatkan diri dari banjir dengan naik gunung. Sikap kritis anak didik tanpa bimbingan ilahi ini membentuk sikap keras kepala dan mengakibatkan gagalnya misi pendidikan. Hal inilah yang sangat menonjol dalam kisah Nu>h} dan Kan’a>n ini.

Metode dialogis-intuitif disimpulkan dari pendidikan Maryam kepada I>sa. Metode ini menggambarkan dialog interaktif antara Maryam dan kaumnya yang pada akhirnya melibatkan I>sa. Kehadiran I>sa untuk memberi solusi atas kejumudan komunikasi Maryam dengan kaumnya terjadi karena intuisi dari Allah. Maryam menyadari tidak mungkin menyelesaikan permasalahan yang dituduhkan kaumnya secara ilmiah-alamiah. Maryam mengandalkan kekuatan transendental dari Allah dalam bentuk intuisi kepada I>sa. Hal ini sebenaranya adalah pendidikan yang terjadi atas kekuatan mu’jizat Allah atas rasulnya.

Rangkuman metode pendidikan anak dalam al-Qur’a>n ini dirangkum sebagai berikut:

No.

Subyek pendidikan

Metode pendidikan

Pola

Interaksi

Peran pendidik

Peran anak didik

1.

A as, Qa>bil dan Ha>bil

Problem solving

Interaktif

Aktif

Aktif

2.

Nabi Nu>h} as. dan Kan’a>n

Dialogis-rasionalis

Interaktif

Aktif

Aktif

3.

Nabi Ibra>hi>m as dan Isma>‘i>l as.

Dialogis-teologis

Interaktif

Aktif

Aktif

4.

Nabi Ya'kub as dan Yu>suf as.

Dialogis-psikologis

Interaktif

Aktif

Aktif

5.

Nabi Ya'kub as dan saudara-saudara Yu>suf as.

Problem solving

Interaktif

Aktif

Aktif

6.

Ayarkha , Asa

Prenatal-postnatal

Searah-Interaktif

Aktif

Pasif- Aktif

7.

Luqma>n dan anaknya

Nasehat (mauiz}ah)

Searah

Aktif

Pasif

8.

Hannah, Zakariya dan Maryam

Prenatal-postnatal

Searah-Interaktif

Aktif

Pasif- Aktif

9.

Zakariya dan Yah}ya

prenatal

Searah

Aktif

Pasif

10.

Maryam dan I>sa as.

Dialogis-intuitif

Interatif

Aktif

Aktif

Berdasarkan rangkuman di atas, model pendidikan anak dalam al-Qur’a>n dapat digolongkan dalam dua tipe, yaitu; pertama: intuitif-normatif (Luqma>n, Hannah, Ayarkha) dan kedua: intuitif-dialogis dengan perincian dialogis-rasional (Nu>h}), dialogis-demokratis (Ibra>hi>m), dialogis-psikis (Ya’qu>b), dialogis-problematis (Ya’qu>b -saudara Yu>suf ) dan dialogis-idiologis (Maryam ).

Pengetahuan pendidikan diperoleh para pendidik (Luqma>n, Nu>h}, Ibra>hi>m, Ya’qu>b, Maryam ) dari sumber pertama yaitu Allah melalui jalan intuisi/wahyu. Allah sebagai pendidik alam (rabb al-‘alami>n) secara langsung telah menentukan aturan kehidupan melalui kitab suci yang diajarkan dengan cara intuisi/wahyu. Proses intuisi/wahyu itu sendiri ada yang bersifat normatif (tanpa penawaran/dialog), sehingga mengharuskan penerimanya untuk menerima informasi pendidikan apa adanya. Ada pula bersifat dialogis, yakni terjadi proses dialog imajiner dalam rangka penerimaan pengetahuan pendidikan antara penerima wahyu dengan Allah sehingga memungkinkan terjadinya interfensi pengetahuan.

Intuitif-normatif menggambarkan proses terbentuknya pengetahuan pendidikan dari otoritas tuhan diperuntukkan bagi manusia. Pengetahuan pendidikan yang diperoleh dengan cara ini pada umumnya mencakup aspek iman dan shari’ah. Konsep iman dan shari’ah secara langsung diajarkan oleh Allah kepada manusia melalui para rasul. Hal ini terjadi karena Allah berkepentingan untuk menjaga harmoni kehidupan melalui aturan agama yang mana esensinya adalah iman (akidah) dan shari’ah (al-Isla>m ‘qi>dah wa al-Shari’ah).

Kebenaran konsep iman dan shari’ah ada pada wilayah otoritas Allah yang mana manusia tidak mungkin untuk memformulasikan berdasarkan kekuatan rasionalnya. Konsep iman bukan pada tatara empirik yang dapat dikonstruksikan dengan akal. Akan tetapi lebih merupakan persoalan supra rasional yang berada di luar wilayah pengalaman indrawi manusia, sehingga tidak diperlukan pendekatan ilmiah, karena hanya bertumpu pada bukti empirik. Pendekatan yang diperlukan adalah pedekatan emosi (rasa/hati) yang mana ada potensi untuk menerima keimanan. Sehingga dapat dikatakan bahwa tektualisasi konsep iman dalam wahyu ilahi tidak menerima interfensi dari manusia (alam).

Jika tektualitas konsep iman tersebut mutlak dari Allah, maka tidak demikian dengan tektualitas shari’ah yang justru mempertimbangkan kontek. Relefansinya, ada interfensi kontek sosial (asba>b al-Nuzu>l) dan kondisi sosial (sha’n al-Nuzu>l) serta kontribusi akal dalam pembentukan shari’ah. Interaksi kontek dan kondisi sosial secara alami menjadi latar belakang munculnya tektualitas shari’ah. Sedangkan kontribusi akal dalam interaksi pembentukan shari’ah ini terlihat dari dialektika wahyu yang menggambarkan interfensi akal (jadali>) terhadap pengetahuan tuhan. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh proses dialogis yang ditujukan langsung kepada Allah sebagai pembuat teks (seperti kasus Nu>h} membela anakknya dihadapn Allah ) ataupun secara tidak langgsung ditujukan kepada Allah, namun melalui malaikat (kasus Maryam akan mengandung Isa).

Pada tahap berikutnya, interfensi akal dalam penentuan shari’ah terjadi pada proses sosialisasi pengetahuan pendidikan yang diperoleh para penerima intuisi/wahyu kepada anak didik. Reaksi interaktif-dialogis tidak ditujukan kepada Allah sebagai pembuat shari’at ataupun Malaikan sebagai pembawa pesan teks, akan tetapi terhadap anak didik sebagai obyek penerima shari’ah (teks). Interaksi dialogis ini menggambarkan proses demokratisasi (musyawarah) dalam rangka sosialisasi pengetahuan dengan mempertimbangkan kejiwaan anak didik (kasus Ibra>him meminta pendapat Isma’il dan Ya’qu>b membimbing Yu>suf).

Intuisi tampak sebagai saluran pengetahuan pendidikan dari Allah kepada manusia. Hanya saja, sebelum pengetahuan tersebut sampai kepada manusia dan diberlakukan secara universal, memerlukan jasa perantara para rasul seperti Nu>h}, Ibra>hi>m, Ya’qu>b, ataupun melalui orang shaleh seperti Luqma>n dan Maryam. Dalam kasus ini, mereka para rasul dan orang shaleh yang telah menerima pengetahuan pendidikan dari sumber pertama Allah melalui intuisi, sehingga berkewajiban untuk mengajarkan pada manusia.

Dalam rangka mengajarkan pengetahuan dari Allah kepada manusia (dalam kasus penelitian ini kepada anaknya), para rasul dan orang shaleh tersebut menggunakan cara berbeda-beda yang pada intinya dibagi menjadi dua yaitu; normatif-dogmatis dan normatif-dialogis dengan pendekatan rasional, psikis dan ideologis.

Pendekatan normatif-dogmatis (seperti dilakukan Luqma>n) yaitu pengetahauan pendidikan yang diperoleh dari Allah melelui intuisi itu dalam realisasi pendidikan yang disampaikan kepada anaknya, materi-meteri tersebut bersifat intruksional dan harus diterima oleh anak didik. Otoritas kebenaran pengetahuan pendidikan sepenuhnya dari pendidik yang diperoleh melalui otoritas ilahi. Posisi anak didik seperti tempat kosong yang tidak memiliki pengetahuan sebelumnya. Oleh karena itu, dominasi pendidikan berjalan searah dan terjadi interfensi pengetahuan terhadap anak didik, karena tanpa melibatkan pertimbangan rasio, psikis, maupun psikologi anak didik.

Pendekatan normatif-dialogis terjadi sebaliknya, yaitu sosialisasi pengetahuan yang diterima dari otoritas wahyu melalui pendidikan dipandang perlu mempertimbangkan dunia anak didik secara fisik maupun psikis. Kebenaran informasi pendidikan tidak menjadi hak paten pendidik. Sehingga dalam rangka mendialogkan -sekalipun norma agama yang sakral- terjadi proses dialogis-argumentatif. Hal ini sebagaimana terlihat dalam pendidikan Nu>h}, Ibra>hi>m, Ya’qu>b dan Maryam .

Lebih lanjut, mengenai pola intuitif-normatif-dogmatis dipahami dari praktek pendidikan Luqma>n H{aki>m kepada anaknya. Gelar al-h}aki>m menunjukkan pribadi yang sangat bijak. Sumber pendidikan Luqma>n diperoleh dari Allah melalui intuisi dimana Allah telah menganugrahkan h}ikmah kepadanya. H{ikmah sebagai bagian dari bentuk pengetahuan tertinggi bukanlah hasil rekayasa manusia. Melainkan lebih pada katagori ah}wa>l (prestasi teranugrahkan) bukan maqa>ma>t (prestasi hasil usaha mandiri).

Atas pengetahuan pendidikan yang telah dimiliki, Luqma>n bersukur dan mengajarkannya kepada anaknya. Pada tataran praktis, pengetahuan pendidikan Luqma>n diajarkan dengan pendektan dogmatis-doktriner. Nuansa otoritatif melalui dogma dan doktrin nampak dalam pengajaran pengetahuan yang teranugrahkan itu. Hal ini terjadi karena masalah yang diajarkan menyangkut keimanan dimana lebih mengedepankan daya penerimaan melalui hati dari pada rasional. Dengan demikian, metode pendidikan iman tidak menggunakan pendekatan rasional, karena wilayah iman bukan wilayah empirik.

Pendidikan keimanan berfungsi sebagai dasar bagi kehidupan. Penguatan keimanan itu dilakukan dengan menanamkan keyakinan Allah sebagai tuhan yang mutlak disembah. Totalitas pengabdian (ibadah) yang diimplementasikan dengan taqwa kepada Allah dilakukan dimana saja dan kapan saja sebagai bukti internalisasi keimanan. Realisasi taqwa tidak mengenal diskriminasi situasi dan kondisi. Oleh karenanya, upaya internalisasi dan realisasi keimanan dalam bentuk ketaqwaan masih disertai dengan doktrin bahaya syirik (menyekutukan Allah). Karena syirik dapat menjebak pada prilaku tidak konsisten dalam keimanan dan ketaqwaan. Setelah tercapai kekokohan keimanan melalui doktrin seperti itu, giliran berikutnya Luqma>n mengajarkan ibadah shalat (syarai’ah) dan moralitas (akhlak) kepada anaknya.

Kebenaran wahyu tidak dapat ditolak sebagai sumber pendidikan keimanan, ibadah dan moralitas. Hal ini terjadi karena masalah keimanan (konsep tuhan) dan ibadah shalat (konsep syariat) dan moralitas (konsep moral) lebih bersifat perintah dogmatis dari tuhan kepada manusia melalui kitab suci yang berlaku secara universal. Wilayah otoritas agama tersebut bukan hasil rekayasa pemikiran subyektif manusia. Hanya saja dialektika teks tersebut masih menyertakan uraian-uraian yang menggunakan pendekatan rasional.

Pendekatan rasional diperlukan untuk menguraikan konsep keimanan agar diyakini dan diterima secara logis, sebagaimana dilakukan Luqma>n melarang syirik kepada anaknya disertai alasan karena syirik merupakan perbuatan zalim yang amat besar. Dari sini terlihat bahwa rasio tidak mampu membuat konsep tentang tuhan, sehingga tuhan sendiri yang memperkenalkannya. Posisi rasio dipergunakan untuk mengawal kebenaran konsep ketuhanan, dan bukan dalam kapasitasnya untuk mengkonsep tuhan. Demikian pula dalam hal ibadah. Tidak ada ruang gerak bagi rasio untuk memperdebatkan keabsahan ibadah, kecuali hanya menerimanya. Hal ini disebabkan karena ibadah dan iman tidak dalam jangkauan wilayah rasional-empirik, melainkan dalam wilayah abstrak-suprarasional.

Selain pendidikan keimanan dan ibadah yang mengatur hubungan manusia dengan tuhan, dalam kapasitas mu’amalah (hubungan sesama manusia) secara empirik-rasional Luqma>n juga mengajarkan materi-materi pendidikan yang memiliki bobot horizontal lebih tinggi daripada vertikal, yaitu ajaran moralitas sosial. Moralitas (akhlak) yang diajarkan ini memiliki keterkaitan langsung dengan sesama manusia. Logika rasional dapat menerima kebenaran dan manfaat pendidikan tersebut secara kongkrit. Dalam hal ini, Luqma>n mengajarkan akhlak kepada kedua orang tua (terutama kepada ibu), budaya amar ma’ruf nahi munkar, sabar atas musibah, budaya sopan dalam pergaulan, dan perkataan.

Ajaran etika/ moral tersebut lebih menekankan kesalehan personal secara horizontal sebagai realisasi dari kesalehan vertikal. Secara manusiawi, ukuran kebaikan dilihat pada aspek moralitas yang ditunjukkan dengan hubungan baik kepada sesama manusia. Standar kualitas keimanan memerlukan realisasi kualitas kesalehan dalam interaksi dengan sesama manusia. Dengan kata lain, kesalehan moral sosial wujud dari kesalehan spiritual personal.

Pola berikutnya, intuitif-dialogis-rasional sebagaimana terlihat dalam pendidikan Nu>h}. Nu>h} dalam kapasitas sebagai nabi dan rasul memiliki strata lebih tinggi- dibanding posisi Luqma>n- yaitu sebagai penyebar risa>lah ila>hiyah. Oleh karenanya, pemahaman keilmuan pendidikan Nu>h} diperoleh dari Allah melalui wahyu. Sosialisasi keilmuan pendidikan yang dilakukan Nu>h} kepada Kan’a>n menitik beratkan pada masalah keimanan. Dialektika yang terjadi adalah baik pendidik maupun anak didik sama-sama mengunakan rasio untuk saling mempengaruhi dalam perdebatan pendidikan keimanan.

Dialektika pendidikan yang terdata dalam al-Qur’a>n menunjukkan perjuangan gigih Nu>h} untuk menanamkan keimanan terhadap anaknya. Karena problem krusial yang dihadapi Kan’a>n adalah pergaulannya dengan komunitas kafir. Seruan Nu>h} agar Kan’a>n segera bergabung dengan keimanannya sangat gencar dilakukan, terutama ketika datang angin topan dan banjir bandang yang siap menenggelamkan semua kehidupan. Nu>h} menjadikan logika-fakta lingkungan yang siap menenggelamkan itu sebagai sarana pendidikan keimanan.

Namun demikian, Kan’a>n menolak ajakan ayahnya yang didukung dengan logika-faktual tersebut. Penolakan sang anakpun juga menggunakan logika rasional, yaitu ingin menyelamatkan diri dari gelombang banjir dengan naik ke atas gunung. Dalam keyakinan Nu>h}, keimanan diyakini dapat menyelamatkan dari kekacauan dunia berupa banjir bandang. Namun, Kan’a>n menolak kebenaran itu dengan berlindung pada daya nalarnya sendiri. Pada akhirnya, daya nalar tidak selamanya mampu menggapai kebenaran, apalagi mematahkan kebenaran normatif.

Pola intuitif-dialogis-demokrtatis terlihat pada dialektika pendidikan berkorban yang dilakukan ibra>hi>m terhadap Isma>’i>l. Syariat berkorban itu diperoleh melalui mimpi dan Ibra>him sendiri pada mulanya ragu atas kebenarannya, sehingga menceritakan kepada Isma’i>l (yawm tarwiyah). Pada mimpi yang ketiga kalinya, akhirnya Ibra>hi>m meyakini kebenaran intuisi itu (yawm ‘arafah).

Meskipun mimpi itu menurut Qutb hanya merupakan isyarat dan bukan perintah secara langsung, namun Ibra>hi>m menerimanya dengan penuh kerelaan dan sepenuh hati. Pada dasarnya tidak ada perbedaan validitas wahyu, apakah diterima waktu terjaga ataupun tidur. Karena para rasul meskipun tidur pada dasarnya hatinya tidak tidur. Validitas intuisi sebagai saluran pengetahuan langsung dari Allah kepada rasul menjadi sebuah keniscayaan yang tidak terbantahkan menurut logika edeologi muslim. Hanya saja dalam rangka proses sosialisasi kepada Isma’i>l, Ibra>hi>m meberikan penawaran agar mempertimbangkannya.

Syariat korban ini tidak bersifat dogmatis-doktriner sebagaimana ajaran iman yang dilakukan Luqma>n kepada anaknya. Hal ini bisa jadi karena masalah korban menyangkut hak hidup pribadi Isma’i>l, sehingga perlu didengarkan pendapatnya dalam mensikapi problem kehidupan yang dihadapinya. Di sinilah Ibra>hi>m menunjukkan sikap demokrat yang berarti memberikan peluang rasio untuk ikut menentukan konsep kebenaran syari’at korban. Seandainya Isma’i>l memilih untuk menolak perintah tersebut, berarti gagalah misi pembentukan syariat korban, meskipun sudah diperintahkan oleh Allah kepada Ibra>hi>m. Akan tetapi seakan naluri kemanusiaan Isma’i>l lebih dominan untuk menerima perintah tersebut daripada mengikuti pertimbangan rasionya. Demikian pula Ibra>hi>m, meskipun perintah pengorbanan tersebut seakan tidak masuk akal, namun keyakinannya mengalahkan fikirannya.

Pendidikan Yu>suf lebih bersifat intuitif-dialogis-psikis. Pengetahuan pendidikan diperoleh Yu>suf secara problematis, bermula dari peristiwa mimpi melihat sebelas bintang, bulan dan matahari bersujud kepadanya. Pendidikan dipandang sebagai antisipasi terhadap permasalahan psikis dan disharmoni pada keluarga Ya’qu>b. Yu>suf sepertinya sangat terganggu dengan makna dan validitas mimpinya. Namun demikian menurut satu pendapat meyakini bahwa pada dasarnya mimpi adalah pengetahuan tentang hakekat (idra>k haqi>qah), sehingga tidak ada alasan untuk tidak menerimanya.

Pengetahuan Yu>suf melalui intuisi seperti ini memiliki kesamaan pola dengan mimpi Ibra>hi>m. Mimpi tersebut tidak segera diyakini datang dari sang ilahi yang mana kebenarannya atau ta’wi>l-nya masih “misteri”, sehingga perlu didialogkan dengan orang lain. Dalam hal ini Yu>suf perlu berkeluh kesah terhadap Ya’qu>b atas mimpinya (demikian pula Ibra>hi>m terhadap Isma’i>l). Atas kasus psikis Yu>suf ini, maka pendikan Ya’qu>b mengarah pada problem solving.

Tampaknya Ya’qu>b sangat perhatian kepada Yu>suf melebihi saudara-saudara lainya. Hal ini sebagaimana dirasakan oleh saudara-saudara Yu>suf, sehingga mereka sepakat untuk mencelakai Yu>suf. Mereka menyusun siasat (makar) yang pada akhirnya Yu>sufpun terperdaya dengan dimasukkan ke dalam sumur, namun selamat dan nantinya malah menjadi raja. Jauh hari sebelum kejadian itu, Ya’qu>b mendidik Yu>suf agar memiliki keyakinan perihal ta’wi>l mimpinya. Cara itu dilakukan dengan menanamkan konsep keimanan, bahwa Allah telah melebihkan Yu>suf atas saudara lainya dengan memberi pelajaran melalui mimpi.

Pendidikan yang dilakukan Maryam kepada I>sa pada dasarnya berjalan sewajarnya secara manusiawi. Yakni, pada usianya yang masih bayi, pendidikan lebih terlihat secara fisik, yaitu mengasuh dan membesarkannya. Namun pendidikan yang dilakukan Maryam kepada I diperoleh dari Allah bertujuan untuk membangun ideologi agamis. Pada suatu ketika, Maryam mendapat pendidikan dari Malaikat (jibril) yang memberitahunya akan mengandung dan melahirkan I menyangkal hal itu, karena dia sangat menjaga kehormatan dirinya dan tidak pernah berhubungan dengan siapapun. Malaikat akhirnya meyakinkannya bahwa hal itu akan terjadi seizin Allah.

Peristiwa tersebut menggambarkan bahwa terjadi proses dialogis –argumentatif dalam memperoleh pengetahuan. Dengan kata lain, kontek pendidikan mempengaruhi ketentuan pengetahuan teks. Demikian halnya, Isa> sedang menyusu kepada Maryam, ia mendengar perkataan kaumnya yang menuduh ibunya berzina. Seraya I>sa menghadap kepada mereka dengan menunjukan jarinya dan berkata “sesungguhnya Aku ini hamba Allah ”.

Validitas pembicara I Meskipun I>sa> hanya berbicara pada saat itu, dan bukan atas pertimbangan akalnya sendiri yang mana pada saat itu masih bayi. Bahkan setelah peristiwa tersebut, I>sa> kembali lagi ke masa bayinya sebagaimana layaknya manusia. Kemudian berbicara lagi pada saat mencapai usia anak-anak (ghilma>n).

Dari paparan tentang metode pendidikan anak dalam al-Qur’a>n tersebut, maka ditemukan model-model interaksi pendidikannya. model-model interaksi pendidikan dimaksudkan adalah ada tiga yaitu: pertama: model interaksi pendidikan assosiatif. Kedua: model interaksi pendidikan Dissasosiatif. Dan ketiga; model interaksi Disassosiatif-Assosiatif. Model ketiga ini merupakan perpaduan antara keduanya.

Model interaksi pendidikan assosiatif menunjukkan proses pendidikan yang mengarah pada kerjasama antara pendidik dan anak didik untuk mencapai tujuan pendidikan. Proses ini terlihat dalam bentuk kerjasama itu sendiri dan sikap akomodatif. Model interaksi pendidikan assosiatif dalam penelitian ini ditemukan pada interaksi pendidikan yand dilakukan oleh: 1). Ibra>hi>m terhadap Isma>‘i>l, 2). Luqma>n terhadap Thara>n, 3). Ayarkha , Asa, 4). H{annah, Zakariya terhadap Maryam, 5). Zakariya terhadap Yah}ya, 6). Maryam terhadap I>sad an 7). Ya’qu>b terhadap Yu>suf.

Model pendidikan assosiatif -sebagaimana dalam pada kasus pendidikan Ibrahim terhadap ismail- terbukti dengan sikap akomodatifnya dalam menerima tawaran/ intruksi yang dilakukan oleh ibrahim. Dalam hal ini, ibrahim secara demokratis menawarkan perintah penyembelihan terhadap diri ismail yang datangnya dari wahyu Allah. Ibrahim telah memberi keleluasaan kepada ismail untuk mempertimbangkan kebenaran perintah tersebut menurut pertimbangan dirinya. Disini ditunjukkan bahwa ismail sangat mendukung terselenggaranya perintah tersebut, sehingga dengan tegas memerintahkan ibrahim untuk melaksanakannya. Sikap akomodatif ismail ini juga dimaksudkan untuk mengokohkan sikap ibrahim dalam menjalankan perintah penyembelihan tersebut yang mana sebelumnya sempat sangsi akan kebenarannya.

Dalam kasus pendidikan Luqma>n terhadap anaknya Thara>n, model pendidikan assosiatif ini dipahami dari sikap Tharan yang tidak menentang terhadap nasehat Luqma>n. Sebagaimana diungkapkan dalam data di muka bahwa Luqma>n dengan spesifik memberikan nasehat-nasehat pendidikan terhadap Thara>n. Nasehat-nasehat tersebut meliputi aspek akidah, syariah dan akhlak. Tidak ditemukannya jawaban menentang dari diri Thara>n berarti menunjukkan sikap akomodatifnya terhadap muatan pendidikan tersebut. Sikap ini terjadi besar kemungkinan disebabkan oleh pola nasehat yang sangat menyentuh potensi kepribadian Thara>n.

Pendidikan Ayarkha dan Asa berjalan secara akomodatif. Artinya bahwa tidak ada tindak perlawanan yang berarti dalam interaksi pendidikannya. Hal tersebut terjadi -setidaknya dalam gambaran yang diungkapkan pada data penelitian ini- tidak dijumpai tindakan-tindakan menentang yang dilakukan Mu>sa selama berinteraksi dengan Ayarkha dan Asa juga disebabkan bahwa kondisi Mu>sa pada saat itu masih dalam keadaan anak-anak. Kalaulah Mu>sa kemudian terlibat dalam perkelahian dan bahkan pembunuhan, hal ini konteknya ketika ia sudah dewasa dan sudah hidup mandiri di luar tanggung jawab Ayarkha dan A

Pendidikan H{annah terhadap maryam dan Zakariya terhadap maryam serta Zakariya terhadap anaknya Yah}ya menunjukkan gejala yang sama, yaitu pola pendidikan assosiatif. Jauh sebelum riil pendidikan dilakukan oleh H{annah dan Zakariya terhadap anak didiknya tersebut, mereka telah melakukan proses pendidikan prenatal. Pendidikan prenatal ini dilalui dengan serangkaian usaha sungguh-sungguh untuk memohon anak saleh melalui doa dan nazar. Usaha doa dan nazar sebagaimana dilakukkan oleh H{annah memiliki pengaruh yang signifikan terhadap proses pembentukan karakter anak didik. Demikian halnya, ketika H{annah melahirkan maryam, masih disertai dengan upaya-upaya paedagogik berupa memberi nama yang baik dan mendoakan agar selamat dari gangguan syetan. Doa sebagai bagian dari upaya penting pendidikan prenatal juga dilakukan oleh Zakariya. Di usianya yang sudah tua Zakariya sangat berharap memiliki generasi saleh. Doa itu dilakukannya dengan sungguh-sungguh, bahkan dengan uslu>b yang berbeda-beda (tiga model). Usaha inipun juga dikabulkan oleh Allah, sehingga Zakariya diberi karunia keturunan Yah}ya.

Dari dua kasus yang dilakukan H{annah dan Zakariya dalam memperoleh generasi, tampak ada kesamanaan dalam hal proses pendidikan prenatal. Model pendidikan prenatal tersebut memiliki kontribusi penting dalam pembentukan karakter anak didik. Pada akhirnya H{annah melahirkan maryam yang memiliki kwalitas yang luar biasa di mana nantinya akan melahirkan Isa. Demikian pula karakter yang dimiliki oleh Yah}ya menunjukkan kwalitas yang tidak kalah pentingnya dengan maryam, yaitu sebagai nabi. Uraian ini menegaskan kesimpulan bahwa dari orang tua saleh-salehah memiliki kecenderungan kuat melahirkan generasi penerus yang saleh pula. Dengan kwalitas seperti itu, tentulah sikap penurut dan kerjasama ditunjukkan anak didik dalam interaksinya dengan pendidik pada proses pendidikannya.

Pola pendidikan assosiatif juga terlihat dalam interaksi Ya’qu>b dengan Yu>suf. Sebagaimana sikap akomodatif dan kerjasama yang baik antara keduanya berjalan dengan lancar. Meskipun tidak mencapai tujuan secara penuh, tetapi setidaknya larangan Ya’qu>b agar Yu>suf tidak menceritakan mimpinya pada saudara-saudaranya karena akan mengakibatkan iri, perintah itu dipatuhi oloh Yu>suf. Dengan berbagai pertimbangan, Ya’qu>b meyakinkan Yu>suf agar menjaga rahasia mimpinya. Hal itu perlu dilakukan Ya’qu>b untuk melindunginya dari bahaya yang dapat mengancam jiwanya, utamanya dari saudara-saudaranya. Kerjasamapun terjadi antara keduanya untuk melaksanakan misi pendidikan tersebut. Namun demikian, saudara-saudara Yu>suf tetap saja merasa kecewa dengan tindakan eklusif Ya’qu>b untuk melindungi Yu>suf, sehingga mereka merasa terabaikan dari kasih sayangnya. Kekecewaan dan rasa iri ini pada gilirannya menyebabkan interaksi saudara-saudara Yu>suf terhadap Ya’qu>b bersifat disassosiatif –assosiatif karena penuh dengan pertentangan dan tindak kebohongan untuk mencelakai Yu>suf. Namun demikian pada akhirnya juga terjalin interaksi yang mengarah pada kerjasama.

Berbeda dengan model interaksi pendidikan anak assosiatif –seperti diuraiakan di muka- maka model interaksi pendidikan disassosiatif diartikan sebagai suatu proses pendidikan yang terjadi dengan tidak ada kerjasama, bahkan cenderung terjadi pertentangan atau perjuangan untuk melawan seseorang dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Sikap menentang itu muncul dari prilaku anak didik terhadap informasi pendidikan yang diberikan oleh pendidik (ayah) yang dianggap tidak menguntungkan anak didik. Model dissasosiatif ini dalam kontek pendidikan anak terjadi pada obyek pendidikan yang dilakukan oleh: Abil dan Nu>h} terhdap Kan’a>n.

Model interaksi pendidikan disassosiatif pada kasus Abil tampil sebagai peristiwa yang menggambarkan karakter dasar pada anak didik dalam kontek pendidikan anak. Karakter pertentangan dan perlawanan bahwkan berakhir dengan pembunuhan, merupakan alur cerita yang dapat menjelaskan pemahaman model interaksi disassosiatif ini. Sikap menentang yang dilkukan Qa>bil memiliki kesamaan dengan sikap menentang yang terjadi pada saudara-saudara Yu>suf yang mana pada dua kasus ini lebih disebabkan oleh rasa iri hati. Qa>bil merasa dirugikan dengan putusan pendidikan A yang lahir secara berlawanan, karena belum ada keluarga lainya.

Konsekwensi pendidikan yang dimaksudkan Abil harus menikah dengan saudara kembar Ha>bil yang mana wajahnya tidak cantik. Sementara saudara kembar Qa>bil sendiri adalah wanita yang cantik, tetapi dengan keputusan Abil. Keputusan ini menurut Qa>bil sama sekali tidak menguntungkan. Sehingga melatarbelakangi munculnya sikap perlawanan dan pertentangan terhadap misi pendidikan yang diberlakukan oleh A

Ajaran korban yang diajukan Abil berbeda motifasi dengan Qa>bil. Ha>bil menunjukkan sikap korban yang ikhlas, cerminan dari orang yang bertaqwa. Sedangkan Qa>bil menunjukkan sikap tidak ikhlas dan tendensius pada upaya memenangkan pasangan saudara kembarnya agar dinikahi sendiri. Pada akhirnya korban Ha>billah yang diterima sehingga berhak untuk menikah dengan saudara kembar Qa>bil sebagaimana telah disyariatkan Abil mereaksi keras dan masih tidak terima, sehingga sikap menentang itu pada puncaknya terakumulasikan dalam berntuk pembunuhan terhadap saudaranya sendiri yaitu Ha>bil. Dalam pikirannya, setelah Ha>bil dibunuhnya berarti Qa>bil dapat menikah dengan saudaranya sendiri. Inilah tindakan-tindakan perlawanan anak didik terhadap pendidik yang disebabkan oleh sikap iri hati dan kesombongan.

Berbeda dengan sikap iri hati dan kesombongan Qa>bil, sikap disassosiatif Kan’>an lebih disebabkan oleh tindakannya yang bersifat rasional emosional-logis. Sebgaimana diungkapkan pada data di atas, bahwa Nu>h} sebagai rasul yang pertama di bumi mengemban misi utama berupa mengajak manusia iman kepada Allah. Hal itu dilakukannya dengan penuh kesabaran, dan bahkan sampai akhirnya hanya memperoleh delapan puluh pasangan umat manusia yang mau beriman. Sikap perlawanan dan penghinaan tidak saja datang dari umatnya, melainkan dari keluarganya sendiri yaitu Kan’>an. Anaknya ini merupakan hambatan besar dalam misi dakwah Nu>h}.

Nu>h} mendidik Kan’>an agar mau beriman kepada Allah. Berbagai interaksi dibangun untuk memcapai misi pendidikan keimanan itu. Namun, Kan’>an dengan mengikuti emosinya yang masih labil dan cenderung memilih untuk tidak mau beriman sebagaimana umumnya manusia pada zamannya. Sampai pada akhirnya datang peringatan Allah untuk yang terakhir kalinya berupa topan dan banjir bandang yang siap menenggelamkan semua kehidupan. Pada saat itulah Nu>h} dengan tekun masih mengajak Kan’>an untuk beriman kepada Allah. Hanya dengan berimanlah dapat selamat dari bahaya banjir.

Meskipun Nu>h} mengajak beriman kepada Kan’>an dengan bukti yang kongkrit berupa banjir yang siap menenggelamkan manusia yang tidak beriman seperti itu, Kan’>an tetap saja tidak mau beriman. Bahkan dengan pertimbangan logikanya sendiri, ia merasa mampu menyelamatkan diri dari banjir dengan naik ke puncak gunung. Pada akhirnya tindakan yang dibangun Kan’>an atas pertimbangan logis itupun harus gagal dikalahkan dengan kebenaran Allah. Hal ini menegaskan bahwa tindakan logis yang dibangun anak didik yang tidak diserta dengan kebenaran nurani menyebabkan kegagalan misi pendidikan.

Adapun model pendidikan disassosiatif-assositif menunjukkan gejala awal proses pendidikan terjadi secara pertentangan (disassosiatif) dan berakhir dengan proses kerjasama (assosiatif). Katagori ini seperti ditunjukkan pada pendidikan Ya’qu>b terhadap saudara-saudara Yu>suf. Sejak interaksi pertama kali ditunjukkan dengan model pertentangan yang tajam. Mereka menggugat sikap pilih kasih Ya’qu>b yang hanya dicurahkan kepada Yu>suf. Sementara itu mereka merasa terabaikan, sehingga ingin mendapatkan porsi perhatian tersebut. Namun pada akhirnya melahirkan serangkaian interaksi yang dissasosiatif dalam rangka memperjuangkan tujuannya itu.

Baru sikap dissasosiatif tersebut melunak, ketika serangakaian tindak makar dan kebohongan yang dilakukan tidak membuahkan hasil. Disitulah mereka menunjukkan sikap assosiatifnya untuk kemudian bekerja sama dengan Ya’qu>b dan tidak lagi menunjukkan sikap perlawanan. Pada akhirnya terjadai kompromi untuk menyamakan persepsi/ ide dan tindakan yang harus dilakukan. Pada tahap inilah pendidikan Ya’qu>b diterima oleh saudara-saudara Yu>suf. Pendidikan itu pada intinya adalah menjawab tindakan inklusif Ya’qu>b terhadap Yu>suf yang dicurigai oleh saudara-saudaranya berlebihan dan bahkan ”diskriminatif”. Ya’qu>b melakukan proteksi kepada Yu>suf karena adanya potensi yang harus diperhatikan, dijaga dan dikembangkan. Inilah sebenaranya ta’wi>l dari mimpi Yu>suf di mana semuanya akan mengakui keunggulan Yu>suf sebagai nabi dan rasul, setelah melampaui proses kehidupan yang penuh dengan rintangan dan ujian, termasuk dari saudara-saudaranya sendiri.

Model interaksi pendidikan anak dalam al-Qur’a>n ini dapat dilihat pada rangkuman berikut:

Model interaksi

Subyek pendidikan

Unsur Interaksi pendidikan

Capaian pendidikan

Aksi pendidik

Reaksi anak didik

A.Assosiatif

1. bra>hi>m dan Isma>‘i>l

Ibra>hi>m meminta pendapat

öÝàR$$sù #sŒ$tB 2ts?...الخ

Isma>‘i>l menerima perintah

@yèøù$# $tB ãtB÷sè?...الخ

Berhasil


2. Luqma>n dan Tha>ra>n

Luqma>n memberi nasehat

øŒÎ)ur tA$s% ß`»yJø)ä9 ¾ÏmÏZö/ew uqèdur ¼çmÝàÏètƒ

Tha>ra>n menerima nasehat

Berhasil


3. Ayarkh, Asa

-Ayarkha menyusui Mu>sa, dan menghanyutkan di sungai Nil

!$uZøŠym÷rr&ur #n<Î) ÏdQé& #ÓyqãB ÷br& ÏmÏèÅÊör& (

-Asa dari kekejaman firaun

Patuh

Berhasil


4. Hannah, Zakariya dan Maryam

Hannah memohan anak saleh

øŒÎ) ÏMs9$s% ßNr&tøB$# tbºtôJÏã Éb>u ÎoTÎ) ßNöxtR šs9 $tB Îû ÓÍ_ôÜt/ #Y§ysãB

Zakariya mengasuh Maryam

$ygn=¤ÿx.ur $­ƒÌx.y ( $yJ¯=ä. Ÿ@yzyŠ $ygøŠn=tã

Patuh

Berhasil


5. Zakariya dan Yah}ya

Zakariya bedoa minta anak saleh

ü Éb>u Ÿw ÎTöxs? #YŠösù

ü tA$s% Éb>u ÎoTÎ) z`ydur ãNôàyèø9$# ÓÍh_ÏB

ü tA$s% Éb>u ó=yd Í< `ÏB šRà$©!

Patuh

Berhasil


6. Maryam dan I>sa

Maryam menyuruh kaumnya bertanya pada I>sa

ôNu$x©r'sù Ïmøs9Î)

I>sa berbicara

tA$s% ÎoTÎ) ßö7tã «!$#....إلخ

Berhasil



Aksi anak didik

Reaksi pendidik



7. Ya’qu>b dan Yu>suf

Yu>suf menceritakan mimpinya pada Ya’qu>b

ÏMt/r'¯»tƒ ÎoTÎ) àM÷ƒr&u ytnr& uŽ|³tã $Y6x.öqx.

Ya’qu>b melarangnya bercerita pada saudaranya

Ÿw óÈÝÁø)s? x8$tƒöäâ …..

Berhasil



Aksi pendidik

Reaksi anak didik


B. Dissosiatif

1. Nu>h} dan Kan’a>n

Nu>h} mengajak beriman dan naik perahu

=Ÿ2ö$# $oYyè¨B Ÿwur `ä3s? yì¨B tûïÍÏÿ»s3ø9$#

Kan’a>n menolak

üÍr$t«y 4n<Î) 9@t6y_

Gagal



Aksi anak didik

Reaksi pendidik



2. Abil dan Ha>bil

Qa>bil berebut pasangan degan Ha>bil

øŒÎ) $t/§s% $ZR$t/öè% Ÿ@Îm6à)çFsù ô`ÏB $yJÏdÏtnr& öNs9ur ö@¬6s)tFムz`ÏB ÌyzFy$# tA$s% y7¨Yn=çFø%V{ ( tA$s% .....

A menyuruh melakukan pendekatan diri pada Allah dengan berkurban

Gagal



Aksi anak didik

Reaksi pendidik


C.Dissosiatif

-Assosiatif

Ya'kub dan sudara-saudara Yu>suf

Saudara-saudara Yu>suf merayu agar Ya’qu>b mengizinkan Yu>suf bersama mereka

$tR$t/r'¯»tƒ $tB y7s9 Ÿw $¨Z0Bù's? 4n?tã y#ßqãƒ

Ya’qu>b mengkhawatirkan keselamatannya

tA$s% ÎoTÎ) ûÓÍ_çRâósus9

Gagal



Mereka meyakinkan dapat menjaga Yu>suf

#qä9$s% ÷ûÈõs9 ã&s#Ÿ2r& Ü=øÏe%!$# ß`óstRur îpt7óÁãã

-




Mereka berbohong kepada Ya’qu>b bahwa Yu>suf dimakan serigala

(#qä9$s% !$tR$t/r'¯»tƒ $¯RÎ) $oYö7ydsŒ

Ya’qu>b tidak memepercayainya

tA$s% ö@t/ ôMs9§qy ö

Gagal



Mereka merayu Ya’qu>b agar mengizinkan Bunyamin bersama mereka

(#qä9$s% $tR$t/r'¯»tƒ yìÏZãB $¨ZÏB

Ya’qu>b meragukan keselamatan yusuf

tA$s% ö@yd öNä3ãYtB#uä Ïmøn=tã

Gagal



Mereka meyakinkan dapat menjamin keselamatan Bunyamin

(#qä9$s% $tR$t/r'¯»tƒ $tB ÓÈöö7tR

Ya’qu>b mempercayai dengan syarat

tA$s% ô`s9 ¼ã&s#Åöé&

Gagal



Mereka menipu Ya’qu>b dengan berkata bohong bahwa Bunyamin telah mencuri

!$tR$t/r'¯»tƒ žcÎ) y7uZö/$# sty -

Ya’qu>b tidak mempercayainya

A$s% ö@t/ ôMs9§qy öNä3s9

Gagal




Ya’qu>b berpaling dari mereka

4¯<uqs?ur öNåk÷]tã tA$s%ur 4s"yr'¯»tƒ

Gagal



Mereka mencemooh Ya’qu>b

(#qä9$s% «!$$s? (#àstGøÿs? ãà2õs? y#ßqãƒ

Ya’qu>b mengadu kepda Allah

tA$s% !$yJ¯RÎ) (#qä3ô©r& ÓÉo\t/ þ

Gagal



Mereka pulang dari mesir bersama rombongan lainya

$£Js9ur ÏMn=|Ásù çŽÏèø9$#

Firasat Ya’qu>b mengatakan Yu>suf masih hidup

š^$s% öNèdqç/r& ÎoTÎ) ßÅ_V{ yxƒÍ y

Gagal



Mereka menyangkal firasat Ya’qu>b tersebut

(#qä9$s% «!$$s? y7¨RÎ) Å"s9 šÎ=»n=|Ê É


Gagal



Mereka mengusapkan baju Yu>suf ke wajah Ya’qu>b

!$£Jn=sù br& uä!%y` çŽÏ±t6ø9$# çm9s)ø9r& 4n?tã ¾ÏmÎgô_ur £s?ö$$sù #ZŽÅÁt/

Ya’qu>b menegaskan sikapnya

tA$s% öNs9r& @è%r& öNà6©9 þÎoTÎ) ãNn=÷ær&

Gagal



Mereka menyadari kesalahannya

(#qä9$s% $tR$t/r'¯»tƒ öÏÿøótGó$# $uZs9 !$uZt/qçRèŒ $¯RÎ) $¨Zä. tûüÏ«ÏÜ»yz ÇÒÐÈ

Ya’qu>b memahaminya

tA$s% šôqy ãÏÿøótGór& öNä3s9 þ

Berhasil

Berdasarkan uraian interaksi pendidikan anak dalam al-Qur’a>n ini, maka secara umum dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut:

1. Berdasarkan penelitian ini, makna interaksi pendidikan yang dikehendaki adalah pendidikan yang bersifat prenatal dan postnatal dalam lingkungan keluarga. Pendidikan prenatal merupakan usaha yang dilakukan orang tua dalam rangka mempersiapkan generasinya yang dilakukan melalui doa dan nazar. Pendidikan postnatal dimulai dengan memberi nama bayi yang baru lahir dengan baik, mendoakannya dan memintakan perlindungan kepada Allah dari gangguan syetan. Demikian halnya pendidikan secara dasar meliputi usaha mengasuh dan merawat bayi dengan memberi makan dan minum untuk pertumbuhan jasmaninya. Pada saatnya pendidikan juga tampil dalam bentuk pemberdayaan akidah, syari’ah dan akhlak.

2. Model interaksi yang ditemukan dalam penelitan ini terdiri dari tiga model yaitu: assosiatif, disassosiatif dan gabungan antara keduanya (disassosiatif-assosiatif). Model interaksi terakhir merupakan termuan baru dalam teori interaksi karena tidak dijumpai tipologi teori ini sebelumnya. Dengan demikian dimungkinkan ada tipologi lain yang juga merupakan adaptasi dari dua teori awal (assosiatif-disassosiatif), tetapi hal ini tidak didapati dalam kasus penelitian ini.

3. Pemahaman tentang pendidikan anak yang dikehendaki dalam penelitian ini adalah pendidikan yang dilakukan oleh orang tua kandung baik ayah maupun ibu terhadap anaknya sendiri. Usia anak dalam interaksi pendidikan dimulai sejak sebelum lahir (pendidikan prenatal) dan pada umunya terjadi pada masa usia anak-anak (pendidikan postnatal).

4. Interaksi pendidikan anak dalam penelitian ini pada umumnya terjadi karena ada aksi berupa problem yang berhubungan dengan anak didik atau problem dari pendidik dalam hubungannya dengan anak didik. Usaha problem solving dilakukan orang tua sebagai reaksi atas masalah yang dihadapi anaknya. Sedangkan sikap assosiatif cenderung ditunjukkan anak didik terhadap problem yang terjadi pada orang tuanya yang berkaitan dengan dirinya.

5. Pendidikan anak yang diteliti dalam disertasi ini mayoritas menggambarkan kehidupan keluarga nabi/rasul/orang saleh yang mana interaksi pendidikan itu sendiri terjadi tidak terlepas dari mu’jizat/karamah ataupun wahyu/intuisi dari Allah. Namun kejadian tersebut sangat relevan untuk dijadikan acuan pendidikan anak dengan menggali konsep tujuan dan meteri pendidikan anak, karakter pendidik dan etika anak didik, serta model interaksi penddikan anak (sebagaimana penelitian ini).

6. Tidak ditemukan interaksi pendidikan yang mengarah pada ”kekerasan” fisik terhadap anak didik. Justru sebaliknya, pendidik cenderung akomodatif terhdap tindakan anak didik yang mana bertujuan untuk memberikan pengalaman riil terhadap anak didik akan makna kehidupan. Pengetahuan pendidikan tidak hanya hadir dalam konsep/ide, tetapi menyangkut permasalahan praktis empiris, sehingga tidak jarang pendidikan hadir sebagai upaya problem solving yang dihadapi oleh anak didik maupun pendidik sendiri dalam hubungannya dengan anak didik.


KESIMPULAN

Barawal dari fokus masalah, diarahkan dengan metodologi, mengantarkan pada hasil penelitian dan pada akhirnya melahirkan kesimpulan sebagai berikut:

1. Pendidikan anak dalam al-Qur’a>n bertujuan untuk pemberdayaan spiritual anak didik melalui akidah dan syari’ah serta pemberdayaan moralitas personal dan sosial melalui pendidikan akhlak. Untuk tujuan tersebut, maka materi pendidikan anak meliputi dua macam; yaitu materi pendidikan prenatal dan postnatal. Materi pendidika prenatal meliputi doa dan nazar meminta anak saleh. Materi pendidikan postnatal terdiri dari penamaan anak dan mendoakan anak dari gangguan syetan. Materi pendidikan yang sifatnya pengembangan potensi meliputi aspek akidah (iman kepada Allah, kitab suci, rasul), syari’ah (shalat, korban, zakat) dan akhlak (akhlak personal meliputi berbakti kepada kedua orang tua, dan akhlak sosial meliputi berbuat baik kepada sesama manusia dalam bentuk prilaku dan tutur kata).

2. Pendidik anak memiliki kompetensi dasar bijak, sabar, demokratis, memahami kejiwaan anak, dan intuitif (mendapat bimbingan ilahi). Sifat anak didik digambarkan dengan assosiatif, patuh, komunikatif dan kritis sehingga mendukung keberhasilan pendidikan. Sebaliknya kegagalan pendidikan disebabkan oleh sikap disassosiatif, sikap menentang anak didik dan pengaruh lingkungan pergaulan.

3. Model interaksi yang ditemukan dalam penelitan ini terdiri dari tiga model yaitu: assosiatif, disassosiatif dan disassosiatif-assosiatif (gabungan antara keduanya). Interaksi pendidikan assosiatif sangat efektif untuk keberhasilan pendidikan anak karena terjadi kerjasama antar pendidik dan anak didik dalam mencapai tujuan pendidikan. Sebaliknya, interaksi pendidikan disassosiatif menghambat pencapaian pendidikan anak karena tidak terjadi sinergi dalam mencapai tujuan pendidikan. Interaksi pendidikan disassosiatif-assosiatif menggambarkan proses interaksi antara pendidik dan anak didik berawal dari pertentangan kemudian diakhiri denga kompromi sehingga terjadi sinergi dalam pencapaian tujuan pendidikan.


DAFTAR PUSTAKA

‘Abdu>h, Muh>ammad. Tafsi>r al-Mana>r. Juz 3. tp. Maktabah Mis}riyah: tt.

al-Abra>s}i>, Muh{ammad ‘At}i>yah. al-Tarbiyah al-Isla>miyah. Mesir: Da>r al-Qaum, 1964.

_________. Ru>h al-Tarbiyah wa al-Ta’li>m. Aleppo: Da>r Ihya>’ al-Kutub al-‘Arabiyah, tt.

Abri, Cholid. Wasiat dan mutiara Hikmah Luqman Hakim. Surabaya: Risalah Gusti, 1995.

Abu>d, Abd al- Ghani>. al-Fikr al-Tarbawi Ind al-Ghaza>li>. Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, 1982.

al-Ahwani, Ahmad Fuad. al-Tarbiyah Fi al-Islam. tp. Da>r al-Ma’a>rif: tt.

al-Alu>si>, Abi al-Fad}l Shihab al-Di>n Mah}mud>. Ru>h al-Ma’a>ni> fi Tafsi>r al-Qur’>an al-‘Adz}i>m wa sab’ al-Matha>ni>. Juz 19. Beirut: Da>r Fikr, tt.

al-‘Ali>, H{asan Abd. al-Tarbiyah al-Isla>miyah fi al-Qarn al-Ra>bi’ al-Hijri>. Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, 1986.

al-Ansa>ri>, Ibn Manz}u>r Jama>l al-Di>n Muh}ammad Bin Mukrim. Lisa>n al-‘Arab. Juz 19. Da>r al-Misriyah, tt.

al-Ans}a>ri>, Muhib al-Di>n Abi Faid} al-Sayyid Muh}ammad Murtad}a. Ta>j al- ‘Aru>sh min Jawa>hir al-Qa>mu>s. Juz 8. Beirut: Da>r Fikr, tt.

al-‘Atta>s, Sayyid M. Naquib. Konsep Pendidikan Islam. ter. Bandung: Mizan, 1996.

al-Baghda>di>, Abi al-Faraj Jama>l al-Di>n Abd al-Rahma>n Bin ‘Ali> Bin Muh}ammad al-Jawzi> al-Qarshi>. Za>d al-Mas}i>r fi ‘Ilm Tafsi>r. Juz 6. Beirut: Da>r Fikr, tt.

al-Bagda>di>, Ala al-Di>n ‘ali> Bin Ibrahi>m al-Khazin. Luba>b Al-Ta’wi>l fi Ma’a>ni> al-Tanzi>l. Juz 3. Beirut: Da>r Fikr, tt.

al-Baghawi>, Abi Muh}ammad al-H{usein Bin Mas’u>d al-Farra>’. Ma’alim al-Tanzi>l fi Al-tafs>r wa Ta’wi>l. Juz 4. Beirut: Da>r Fikr, tt.

al-Bayd}awi>, Nas}ir al-Di>n Abi al-Khair Abd Allah Bin ‘Umar. Anwa>r al-Tanzi>l wa Asra>r al-Ta’wi>l . Aleppo: Maktabah Must}afa, tt.

Darwazah, Muh}ammad ‘Izzah. al-Tafsi>r al-H}adi>th. Juz 4. Da>r Ih}ya>’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1962.

al-Dimashqi>, Abi al-Fida>’ Isma>’i>l Ibn Kat}i>r al-Qurshi> Tafsi>r al-Qur’>an al-‘Adh>im. Juz. 3. Singapura: Sulaima>n Mar’i>, tt.

al-Edrus, Syed Muhammad Dawilah. Islamic Epistemology: An Introduction to the Theory of Knowledge in al-Qur’a>n. Cambridge: The Islamic Academy, 1992.

al-Fayu>mi>, Ah}mad bin Muh}ammad al-Muqri>. al-Mishba>h al-Muni>r. Juz 1. Beirut: Da>r al-Fikr, 1983.

al-Gharna>t}i>, Muh}ammad Bin Yu>suf Abi H}ayyan Al-Andalu>si>. al-Bah}r al-Muh}it} fi Tafsi>r. Juz 8. Beirut: Da>r Fikr, tt.

al-Ghaza>li>, Abu H{amid Muh{ammad bin Muh{ammad. Ihya’ al-Ulu>m al-Di>n. Beirut: Da>r al-Fikr, 1987.

_________.Bida>yat al-Hida>yah. Surabaya: al-Hidayah. Tt.

al-H{anafi>, Abi Su'ud Bin Muh}ammad al-‘Ama>di>. Irsha>d al-Aql al-Sali>m ila Maza>ya> al-Qur'a>n al-Kari>m. Juz 4. Riya>d: Maktabat al-Riya>d al-Haditsah, tt.

Bertrand., Alvin L. Sosiologi. terj. Sanapiah S. Faisal . Surabaya: Bina Ilmu, 1980.

Djamarah, Saiful Bahri. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif Jakarta: Rineka Cipta, 2000.

Gerungan WA. Psikologi Sosial. Bandung: PT. Eresco, 1988.

H}asan. Ami>nah Ah}mad. Naz}ariyat al-Tarbiyah fi al-Qur’an wa tat}bi>qa>tiha fi ‘ahd al-Rasu>l. Kairo: Da>r al-Ma’a>rif, 1985.

Hasyim, al-Husain Abd al- Majid et.al. Pendidikan Anak Menurut Islam: Sebuah Pendekakatan Praktis, ter. Abdullah Mahadi. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994.

H}awa, Sa’i>d. al-Asa>s fi al-Tafsi>r. Juz 8. Da>r al-Sala>m, tt.

Ibn al-‘ Arabi>, Abi Bakar Muh}ammad Bin Abd Allah. Ah}ka>m al-Qur’a>n. Juz 3. Beirut: Da>r Fikr, tt.

Irwanto, et. al. Perdagangan Anak di Indonesia. Jakarta: Organisasi Perburuhan Internasional, 2001.

Isa, Abd al-Jali>l. al-Mush}af al-Muyassar. Mesir: Da>r al-Shuru>q, tt.

Jawha>ri>, Tantawi>. al-Jawa>hir fi Tafsi>r al-Qur’>an. Juz 15. Beirut: Da>r Fikr, tt.

al-Jawzi>yah, Ibn Qayyim. Mada>rik al-Sa>liki>n Baina Mana>zil Iyya>k Na’bud wa Iyya>k Nasta’i>n. Juz 2. Beirut: Da>r al-Fikr, tt.

al-Juwaini>, Must}afa al-S{a>wi. Mana>hij fi al-Tafsi>r. Iskandariyah: Da>r al-Ma’>rif, tt.

Kartanegara, Mulyadhi. Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islam. Bandung: Mizan, 2002.

Kontjaraningrat. Pengantar Antropologi. Jakarta: Universitas Press. 1996.

K.J. Veeger. Realitas Sosial: refleksi filsafat sosial atas hubungan individu-masyarakat dalam cakrawala sejarah sosiologi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993.

al-Kurdi>. Ra>jih} Abd al-H}ami>d. Naz}ariyat al-Ma’rifah bain al-Qur’an wa al-Falsafah. Riya>d: Maktabah al-Muayadah, 1992.

Langgulung, Hasan. Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam.. Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1980.

Lauer, Robert H.. Perspektif tentang Perubahan Sosial. terj. Alimandan. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993.

Masnur. dkk. Dasar-dasar Interaksi Belajar Mengajar. Bandung: Jemars, 1987.

Ma’lu>f, Louis. al-Munjid fi-al-Lughah wa al-A’la>m. Beirut: Da>r al-Fikr, tt.

al-Mara>ghi>, Ah}mad Must}afa. Tafsi>r al-Qur’>an. Juz 19. Beirut: Da>r al-Fikr, tt.

al-Ma>wardi>, Abi al-H}asan Bin ‘Ali Bin Muh}ammad Bin H}abib. al-Nukat wa al-‘Uyun. Juz 4. Libanon : Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, tt.

Muchlas, Imam. Penafsiran Al-Qur’an Tematis Permasalahan. Malang: UMM Press, 2004.

Mudyahardjo. Redja. Filsafat Ilmu Pendidikan: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.

Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam: di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.

Mulkhan, Abdul Munir. Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah. Yogyakarta: SIPRES, 1993.

Mursi, Muhammad Sa’id. Melahirkan anak Masya Allah: sebuah terobosan baru dunia pendidikan anak. terj. Ali Yahya. Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 1998.

Mu>sa. Muh}ammad Yu>suf. al-Qur’an wa al-Falsafah. Kairo: Da>r al-Ma’rif, tt.

Muslim, Must}afa. Maba>h}ith fi al-Tafsi>r al-Maud}u>’i>. Damaskus: Da>r Qalam, 1989.

al-Nahla>wi>, Abd al-Rahma>n. Ushu>l al-Tarbiyah al-Isla>miyah wa Asa>libiha> fi-al-Bait wa al-Mujtama’. Mesir:Da>r al- Ma’a>rif, 1988.

al-Nawawi>, Muh}yiddin Zakariya Bin Syaraf al –Adzkar al-Muntakhabat min Kala>m Sayyid al-Abra>r. Shirkat al-Ma’a>rif li T}aba’ wa Nas}r, tt.

al-Nasafi>, Abi al-Baraka>t Abd Allah bin Ah}mad bin Mah}mu>d. Mada>rik al-Tanzi>l wa Haqa>iq al-Ta’wi>l Juz 3. Beirut: Da>r Fikr, tt.

Nugraha, Ali, et. al. Kiat Merangsang Kecerdasan Anak. Jakarta : Puspa Swara, 2003.

Permono, Syaichul Hadi, ed. Antologi Kajian Islam seri 8. Surabaya: PPS IAIN Sunan Ampel press: 2005.

Qadwah. Shala>h}. Falsafah al-‘ilm. Kairo: Da>r al-Thaqa>afah wa al-Nashr wa al-Tauzi>’, 1987.

al-Qaysi>, Makki> Bin Ta>lib. Musykilat I’ra>b al-Qur’>an. Juz 2. Da>r al-Ma’rifah, 1986.

al-Qurthu>bi, Abi Abd Allah Muh}ammad bin Ah}mad al-Ansa>ri> al-Ja>mi' li al-Ah}ka>m al-Qur’an (Beirut: Da>r Fikr, 1988.

Qutb, Sayyid. Fi Dhila>l al-Qur’>an. Da>r Ihya>’ Turath, tt.

al-Ra>zi>, Muh}ammad Fakhr al-Di>n Ibn al-‘Alla>mah D{iya’ al-Di>n. Al-Tafsi>r al-Kabi>r wa Mafa>tih} al-Ghaib. Juz 7. Beirut: Da>r Fikr, tt.

al-Sa>bu>ni>, Muh}ammad ‘li>. S}afwat al-Tafa>si>r. Juz 2. Beirut: Da>r Fikr, tt.

al-S}a>wi>, Ah}mad. Tafsi>r Al-S}awi>. Juz 3. Mesir : Da>r Ihya>’ Al-Kutub, tt.

S{adr, Baqi>r . Falsafatuna>. terj. Nur Mufid. Bandung: Mizan, 1999.

Sama’an, Sadik. Anak-Anak Yang Cemerlang. ter. Zakiah Da>radjat. Jakarta: Bulan Bintang, 1980.

Sardiman. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: Raja Wali, 1986.

Selo Soemardjan dan Soemardi Soelaiman. Serangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Universitas Indonesia, 1964.

Soeprapto, Riyadi HR. Interaksionisme Simbolik. Malang: Averroes Press. 2002.

Soetomo. Dasar-dasar Interaksi Belajar Mengajar. Surabaya: Usaha Nasional, 1993.

Shadi>d. Muh}ammad. Manhaj al-Qur’>n fi al- Tarbiyah. Beirut: Shirkah al Muttah}idah li al-Tauzi>’, tt.

al-Shawka>ni>, Muh}ammad Bin ‘Ali> Bin Muh}ammad. Fath} al-Qad>ir. Juz 4. Beirut: Da>r Fikr, tt.

al-Shayba>ni>, ‘Umar Muh{ammad al-T}aumi>. Falsafah Pendidikan Islam. terj. Hasan Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang, 1979.

al-Suyu>t}i>, Abd al-Rahma>n bin Kama>l Jala>l al-Din>. al-Durr al-Manthu>r fi tafs>ir al-Ma’su>r. Juz 7. Beirut: Da>r Fikr, tt.

Sult}a>n, Mah}mu>d Sayyid. Mafa>hi>m Tarbiyah fi al-Isla>m . Da>r al-Ma’a>rif, tt.

Supratno, Haris, ed. Kontruksi Ilmu-Imu Sosial: Kumpulan Ringkasan Disertasi Program Studi Ilmu-Ilmu Sosial PPS Unair Surabaya. Surabaya: Unesa University Press, 2003.

Svalastoga, Kaare. Diferiensi Sosial. terj. Alimandan. Jakarta: Bina Aksara, 1989.

Sya’ba>n, H}ilmi> ‘Ali>. Nu>h}} ‘Alaih al-Sala>m. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1991.

Syari’ati, Ali. Humanisme antara Islam dan Madhab Barat. ter. Afif Muhammad. Bandung: Pustaka Hidayah, 1992.

Tafsir, Ahmad. Pendidikan Agama Dalam Keluarga. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996.

Taneko, Soleman B.. Struktur dan Proses Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993.

al-T}abari>, Abi Ja’far Muh}ammad bin Jari>r. Ja>mi’ al-Baya>n fi Tafsi>r al- Qur’an. Juz 8. Beirut: Da>r Fikr, 1988.

al-Taba>taba>i>, Muh}ammad Husein. al-Mi>za>n fi Tafsi>r al-Qur’an. Juz 23. Libanon: Muassasat al-‘A>lami> li al-Mat}ba’ah. 1991.

al-T}awi>l, Taufi>q. Usus al-Falsafah. Kairo, Da>r al-Nahd}ah al-‘arabiyah, 1979.

al-T}u>si>, Abi Ja’far Muh}ammad Bin H}asan. al-T}ibya>n fi Tafsi>r al-Qur’>an. Juz 8. Da>r Ih}ya>’ T}urats ‘Arabi>, tt.

‘Ulwa>n, Abd Allah . Tarbiyat al-Aula>d fi-al-Isla>m. Da, 1997.

Yah}ya>, Muhta>r. Fann al-Tarbiyah . Tp. Da>r al-Ma’a>rif, 1988.

Yalja>n, Miqda>d. Jawa>nib al-Tarbiyah al-Isla>miyah al-Asa>siyah. Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, 1987.

al-Zamakhshari>, Abi al-Qa>sim Ja>r Allah Mah}mu>d bin ‘Umar al-Khawa>rizmi>. al-Kasya>f ‘an H}aqaiq Tanzi>l wa ‘uyu>n Aqa>wi>l fi wuju>h al-Ta’wi>l. Juz 3. Beirut: Da>r Fikr, tt.

al-Zarqa>ni>, Muh}ammad Abd ‘Az}i>m . Mana>hil al-‘Irfa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n vol.1. Beirut: Da>r al-Fikr, 1996,

Zabadi>, Abd Allah Ibn H}ayya>n T}ahir Muh}ammad Bin Ya’qu>b al-Fairu>z. Tanwi>r al-Miqba>s min Tafsi>r Ibn ‘Abba>s. Beirut: Da>r Fikr, tt.

Zaqzu>q. Mah}mu>d H}amdi>. Tamhi>d li al-Falsafah. Kairo: Maktabah al-Anjalu al-Mish}riyah, 1986.

Zeitlin, Irving M.. Memahami Kembali Sosiolog. terj. Anshori dan Juhandai. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995.


0 komentar:

إرسال تعليق

Comment here

  © Blogger template The Professional Template II by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP