Photobucket

Bank data Artikel 3

الأربعاء، ٢٦ ربيع الآخر ١٤٣٠ هـ

AL QURAN:
WAHYU PROGRESIF DAN KITAB KEMANUSIAAN *)

oleh P. Peter B. Sarbini, SVD

1. PENGANTAR

Benarkah Al Quran itu wahyu Allah atau hanya hasil karya Muhammad dan para juru tulisnya? Pertanyaan itu pernah dilontarkan oleh orang-orang Quraisy pada zaman Nabi, para sarjana Barat, dan bahkan orang-orang pada zaman ini. Umat Islam dengan keras menolak hal itu. Al Quran bukan merupakan rekayasa Nabi dan para juru tulisnya. Nabi SAW tidak bisa membaca dan menulis. Rasulullah SAW sendiri pernah mengatakan bahwa Al Quran itu mukjizat baginya, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah: "Setiap rasul selalu dikaruniai kemukjizatan, sehingga karenanya ummatnya akan mempercayainya. Tetapi mukjizat yang diturunkan Allah padaku adalah wahyu ilahi yang akan menjadikan jumlah pengikutku akan melampaui pengikut para rasul lainnya kelak di hari kiamat". Selain itu terdapat beberapa bukti kuat yang menyatakan bahwa Al Quran adalah benar-benar wahyu Allah. Bukti-bukti tersebut dinyatakan dalam Al Quran itu sendiri, yakni salah satu ayat yang berbunyi: "Sesungguhnya Al Quran itu benar-benar wahyu (Allah) yang diturunkan kepada Rasul yang mulia ……Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam. Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan perkataan atas nama Kami, Kami pasti akan menindaknya dengan kekerasan……", (QS. 69:38-42; 10:37-38; 11:13-14; 2:23-24; 17:88).
Tulisan ini mencoba menghantar secara singkat kepada kebenaran Al Quran sebagai wahyu Allah yang progresif, sekaligus kitab kemanusiaan.

2. AL QURAN

2.1. Pengertian
Kata Al Quran berasal dari kata kerja qara'a yang berarti membaca. Bentuk masdar-nya adalah qur'an yang berarti bacaan.(1) Al Quran mempunyai beberapa nama, yaitu Alkitab atau Kitab Allah (QS. 6:114), Al-Furgan yang berarti pembeda antara yang benar dan batil (QS. 25:1), Az-Zikr yang berarti peringatan (QS. 15:9), dan At-Tanzil yang berarti diturunkan (QS. 26:192). Selain itu, nama Al Quran adalah Al-huda (petunjuk), Ar-Rahman (kasih), Al-Majid (mulia), An-Nazir (pemberi peringatan). Imam as-Suyuti dalam bukunya al-Itqan fi?Ulum Al-Qur'an (tentang ilmu-ilmu Al Quran) juga menyebut beberapa nama, yakni Al-Mubin (penjelas), Al-Karim (yang mulia), Al-Kalam (firman Tuhan), dan An-Nur (cahaya).

Istilah qur'ân paling umum diterjemahkan sebagai "bacaan" atau "tilawah" (bacaan yang dilantunkan), dan telah dihubungkan secara etimologis dengan qeryânâ (bacaan Kitab Suci, bagian dari Kitab Suci yang dibacakan pada acara kebaktian) dalam bahasa Suriah, dan miqra' dalam bahasa Ibrani (pembacaan suatu kisah, Kitab Suci). Sebagian mufsir muslim juga berpendapat bahwa kata tersebut berasal dari bentuk fuc?lân, qur'ân membawa konotasi "bacaan sinambung" atau "bacaan abadi", yang dibaca dan didengar berulang-ulang. Dalam pengertian ini, kata tersebut dipahami sebagai suatu batu uji spiritual dan contoh sempurna bagi kesusastraan. Sebagai suatu judul, Al Quran merujuk pada wahyu (tanzíl) yang "diturunkan" (unzila) oleh Tuhan kepada Nabi Muhammad selama hampir 23 tahun.(2) Dalam konotasi yang lebih universal, ia adalah ekspresi diri umm al-kitâb atau paradigma komunikasi ilahiah (QS. Al-Ra'd/13 :39). Bagi seluruh muslim, Al Quran merupakan kitab suci paling sempurna.

2.2. Al Quran: Sejarah, Isi, dan Kodifikasi
Sebagai wahyu (QS. 4:163), surah-surah dan ayat-ayat Al Quran diturunkan oleh Allah SWT secara bertahap kepada Nabi Muhammad SAW selama kurang lebih 23 tahun. Hikmah diturunkannya Al Quran secara berangsur-angsur ini antara lain adalah (1) untuk meneguhkan hati Rasullullah SAW dengan cara mengingatkannya terus menerus, (2) lebih mudah dimengerti dan diamalkan oleh pengikut-pengikut Nabi SAW, (3) diantara ayat-ayat itu ada yang merupakan jawaban atau penjelasan dari suatu pertanyaan atau masalah yang diajukan kepada nabi SAW sesuai dengan keperluan, (4) hukum-hukum Allah SWT yang terkandung didalamnya mudah diterapkan secara bertahap, dan (5) memudahkan penghafalan.

Ayat-ayat yang pertama diturunkan adalah lima ayat pertama dari surah al-'Alaq. Ayat-ayat tersebut turun ketika Nabi SAW sedang tahannuts (bermeditasi) di dalam sebuah gua yang terletak digunung Hirâ, dekat kota Makkah. Peristiwa itu terjadi pada malam 17 Ramadan (6 Agustus 610). Ketika itu Nabi SAW berusia 40 tahun. Pada malam itu Nabi SAW melihat malaikat Jibril datang kepadanya sambil berkata: Iqra' (bacalah). Lalu beliau menjawab, "Ma ana bi qari" (saya tidak dapat membaca). Mendengar jawaban Nabi SAW, malaikat Jibril lalu memeluk tubuh Rasulullah dengan sangat erat, kemudian melepaskan pelukannya serta kembali menyuruh dia membaca. Namun setelah dilakukan sampai tiga kali dan Nabi SAW tetap saja memberikan jawaban yang sama, malaikat itu kemudian membacakan wahyu yang dibawanya, yakni membaca lima ayat pertama Surah Al- 'Alaq (96), yang secara tradisional dianggap sebagai wahyu pertama Al Quran.(3)

Ketika menerima wahyu pertama di gua Hirâ', Muhammad merasa malaikat Jibril memeluk dan menekannya begitu kuat. Ia sangat ketakutan melihat Jibril, lalu lari pulang ke rumah serta meminta sang istri untuk menyelimutinya. Bagi dia, menerima wahyu merupakan pengalaman yang sangat berat, yang dapat membuat dia bermandi keringat meskipun udara amat dingin. Pada saat dia berada dalam ketakutan yang mencekam, wahyu pun diturunkan, menyuruh Muhammad untuk "bangkit dan mengingatkan" (QS. Al-Muddatstsir/74:1-2). Setiap kali menerima wahyu sepertinya nabi dipindahkan ke alam lain. Ia menerimanya tidak dengan indera biasa. Hal itu terbukti dalam diri para sahabatnya yang ada didekatnya tidak melihat dan mendengar apa-apa. Sahabatnya menceritakan bahwa pernah ketika Muhammad duduk menerima wahyu, ia merasa pahanya yang ada dibawah paha Nabi SAW, remuk seakan-akan terhimpit oleh barang berat.(4)

Setelah peristiwa itu, tidak lama kemudian turunlah wahyu kedua, yaitu surah al-Muddassir ayat 1-10. Isinya ialah menyeru Nabi SAW agar menyampaikan dakwah Islam kepada manusia.(5) Setelah itu, penurunan wahyu terhenti beberapa tahun.(6) Nabi SAW merasa sangat gelisah dan sedih. Ia menjadi tenang setelah turun Surah ad-Duha. Sesudah itu ayat-ayat lain diturunkan sacara bertahap menurut kejadian-kejadian yang memerlukannya dan tidak pernah lagi terputus sampai wahyu yang terakhir.

Pada umumnya ulama menetapkan bahwa hari penghabisan turunnya Al Quran ialah hari Jumat, 9 Zulhijah 10 atau 16 Maret 632. Beberapa bulan sesudah ayat terakhir (7) (QS . 5:3) ini turun, Rasulullah wafat (8 Juni 632). Ulama sepakat bahwa wahyu terakhir diturunkan ketika Nabi SAW wukuf di padang Arafah untuk menunaikan ibadah haji yang kemudian terkenal dengan nama haji wadak (haji penghabisan).

Pada umumnya ulama berpendapat bahwa Al Quran diturunkan dari Lauh Mahfuz (catatan mengenai ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT) ke dunia. Namun dari kalangan mereka terdapat perbedaan pendapat tentang cara menurunkannya dari Lauh Mahfuz. Pendapat pertama dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani yang mengatakan bahwa Al Quran itu diturunkan sekaligus ke langit dunia pada malam Al-qadar (kemuliaan) lengkap dari ayat pertama sampai terakhir. Ayat-ayat ini kemudian diwahyukan secara berangsur-angsur kepada Rasulullah selama hampir 23 tahun.

Pendapat kedua dikemukakan oleh Fakhruddin ar-Razi. Ia berpendapat bahwa Al Quran diturunkan ke dunia dalam 23 kali malam al-qadar . Ayat-ayat yang diturunkan dalam setiap malam al-qadar ialah ayat-ayat yang hendak diturunkan pada tahun itu kemudian diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi SAW.
Pendapat ketiga dari asy-Sya'bi (tokoh tradisionalisme) yang mengatakan bahwa Al Quran diturunkan hanya bagian permulaannya saja pada malam al-qadar. Sedangkan bagian lainnya diturunkan sesudah itu secara bertahap dalam berbagai waktu. Menurut para ulama, pendapat pertama merupakan pendapat yang lebih kuat.
Al-Qur 'an diturunkan kepada Nabi SAW melalui berbagai cara, yaitu:

  1. Malaikat Jibril "memasukkan" wahyu itu ke dalam hati Rasulullah tanpa memperlihatkan wujudnya. Ia secara tiba-tiba merasakan wahyu itu telah berada di dalam hatinya. Nabi SAW mengatakan hal ini: "Rohulkudus mewahyukan ke dalam kalbuku".
  2. Malaikat Jibril menampakkan dirinya kepada Muhammad sebagai seorang laki-laki dan mengucapkan kata-kata dihadapannya, sehingga dia cepat mengetahui dan menghafal ayat-ayat yang disampaikannya itu.
  3. Wahyu itu turun kepada Nabi SAW seperti bunyi gemerincing lonceng.(8) Cara ini dirasakan oleh Rasulullah sebagai yang paling berat sehingga dia mencucurkan keringat, meskipun wahyu itu turun di musim yang sangat dingin. Apabila Nabi SAW sedang mengendarai unta, maka ketika itu juga untanya terpaksa berhenti dan duduk karena merasa amat berat.
  4. Malaikat Jibril menyampaikan wahyu dengan menampakkan wujudnya yang asli (surah an - Najm ayat 13 dan 14)

Setiap kali menerima wahyu, Nabi SAW lalu menghafalkannya (QS. 75:16-19). Hafalan tersebut dikontrol oleh malaikat Jibril. Selain itu, Rasulullah juga membacakannya di hadapan para sahabat karena ia memang diperintahkan untuk mengajarkan Al Quran kepada mereka (QS. 16:44). Di samping menyuruh para sahabat menghafalkan ayat-ayat yang diajarkan, Nabi SAW juga memerintahkan mereka yang pandai menulis untuk menuliskannya di atas pelepah-pelepah kurma, lempengan-lempengan batu, dan kepingan-kepingan tulang. Sahabat yang pandai menulis sangat berhati-hati dalam menuliskan ayat-ayat itu. Hal itu didorong oleh keyakinan mereka bahwa Al Quran adalah firman Allah SWT yang harus dijadikan pedoman hidup, sehingga perlu dijaga dengan baik. Ketika di Madinah, Rasulullah memiliki beberapa juru tulis, diantaranya yang terkenal ialah Zaid bin Sabit.

Masa turunnya Al Quran dibagi ke dalam dua periode. Pertama, periode Makkah, yaitu masa Nabi SAW bermukim di Makkah (610-622), mulai dari turunnya wahyu pertama sampai beliau melakukan hijrah ke Madinah. Masa tersebut disebut juga periode sebelum hijrah. Ayat-ayat yang diturunkan selama periode pertama ini dinamakan ayat-ayat Makkiyyah, yang berjumlah 4.726 ayat dan meliputi 89 surah. Ciri-ciri ayat-ayat Makkiyyah antara lain pendek-pendek, dimulai dengan perkataan ya ayyuha an-nas (wahai manusia), kebanyakan mengandung pembahasan masalah tauhid, iman kepada Allah SWT, hal ihwal surga dan neraka, serta berbagai masalah yang menyangkut kehidupan ukhrawi (akhirat).

Kedua periode madinah, yakni masa setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah (622-632). Masa ini disebut juga periode hijrah. Ayat-ayat yang diturunkan dalam periode ini disebut ayat-ayat Madaniyyah yang berjumlah 1.510 ayat dan mencakup 25 surah. Adapun ciri-ciri ayat-ayatnya adalah panjang-panjang (tiwal), diawali dengan perkataan ya ayyuha allazina amanu (wahai orang-orang beriman/percaya), kebanyakan berisi hukum-hukum yang jelas, dan banyak membicarakan orang yang berhijrah (kaum Muhajirin), kaum Ansar dan kaum munafik serta ahli kitab.

2.2.2. Isi Al Quran
Al Quran mempunyai 114 surah yang tidak sama panjang dan pendeknya. Surah terpendek terdiri atas 3 ayat dan yang terpanjang terdiri atas 286 ayat. Semua surah, kecuali surah yang ke-9 (at-Taubah), dimulai dengan kalimat Bismi Allah ar-Rahman ar-Rahim (dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang). Ada perbedaan mengenai jumlah ayat ini.(9)

Untuk memudahkan pembacaan dan penghafalan, para ulama membagi Al Quran ke dalam 30 Juz (bagian) yang sama panjang dan dalam 60 Hizb (nama hizb ditulis di sebelah pinggirnya). Setiap Hizb dibagi lagi menjadi empat dengan tanda-tanda ar-rub' (seperempat), an-nisf (seperdua), dan as-salasah (tiga perempat).
Selanjutnya Al Quran dibagi pula ke dalam 554 ruku' (bagian yang terdiri atas beberapa ayat). Setiap satu ruku' ditandai dengan huruf 'ain di sebelah pinggirnya. Surah yang panjang berisi beberapa ruku', sedangkan surah yang pendek hanya berisi satu ruku'. Tanda pertengahan Al Quran (nisf Al Quran) terdapat pada surah al-Kahfi ayat 19 pada lafal walyatalattaf (hendaklah ia berlaku lemah lembut).

Dalam Al Quran terhimpun hasil Kitab Suci yang sudah ada sebelumnya, malahan juga hasil segala ilmu.(10) Ia merupakan " (sebuah kitab) yang menjelaskan segala sesuatu" (QS. 12:111). Pada pokoknya Al Quran berisi akidah dan syariah. Akidah dirumuskan dengan kata "iman", sedangkan syariah "amal saleh" (bdk. QS. 16:97). Keduanya dapat dibedakan namun tak dapat dipisahkan. Seorang yang beriman tanpa menjalankan syariah adalah fasik. Demikian pula sebaliknya, bersyariah tetapi tidak berakidah adalah munafik.(11)

2.2.3. Kodifikasi Al Quran
Kodifikasi atau pengumpulan Al Quran telah dimulai sejak zaman Rasulullah SAW, bahkan telah dimulai sejak masa-masa awal turunnya Al Quran. Sebagaimana diketahui, Al Quran diwahyukan secara berangsur-angsur.
Setelah ayat-ayat diturunkan, Nabi SAW memberi nama surah tersebut untuk membedakannya dari surah yang lain. Rasulullah juga memberi petunjuk tentang urutan penempatan surah di dalam Al Quran. Penyusunan ayat-ayat dan penempatannya di dalam susunan Al Quran juga dilakukan berdasarkan petunjuk Nabi SAW. Cara pengumpulan yang dilakukan pada masa itu berlangsung sampai Al Quran sempurna diturunkan dalam waktu kurang lebih 23 tahun.

Untuk menjaga kemurnian Al Quran, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits Bukhari dan Muslim, setiap tahun Malaikat Jibril datang kepada Nabi SAW untuk memeriksa bacaannya. Bahkan pada tahun wafat Rasulullah, Malaikat Jibril datang dua kali. Ia mengontrol bacaan Rasulullah dengan cara menyuruhnya mengulangi bacaan ayat-ayat yang telah diwahyukan. Kemudian Nabi sendiri juga melakukakan hal sama, yaitu mengontrol bacaan sahabat-sahabatnya sehingga terpeliharalah Al Quran dari kesalahan dan kekeliruan.

Pada masa Rasulullah SAW, sudah banyak sahabat (baik dari kalangan Muhajirin maupun Ansar) yang menghafal beberapa puluh surah. Bahkan banyak juga yang telah menghafal setengah Al Quran dan seluruh isinya dengan lancar.(12) Di samping itu terdapat sahabat-sahabat yang menjadi juru tulis wahyu.(13) Ayat-ayat suci Al Quran yang telah ditulis oleh mereka itu disimpan di rumah Rasulullah SAW. Walaupun demikian, tulisan-tulisan itu belum dikumpulkan dalam suatu mushaf (sebuah buku yang terjilid seperti yang dijumpai sekarang), melainkan masih berserakan.

Setelah Rasulullah wafat dan Abu Bakar dipilih menjadi khalifah, tulisan-tulisan Al Quran yang berserakan pada pelepah-pelepah kurma, tulang-tulang binatang, dan batu-batu tetap disimpan di rumah Nabi SAW sampai terjadinya perang Yamamah yang merenggut korban kurang lebih 70 sahabat penghafal Al Quran (huffaz). Karena banyak yang gugur sebagai syuhada, maka timbul kekhawatiran akan terjadinya perang lagi dan punahnya sahabat-sahabat penghafal Al Quran. Lebih jauh lagi, hal itu dapat mengakibatkan hilangnya Al Quran. Oleh karena itu, Umar bin Khattab lalu menyarankan kepada khalifah Abu Bakar agar menghimpun surah-surah dan ayat-ayat yang masih berserakan itu ke dalam satu mushaf. Abu Bakar merasa berat untuk menerima pekerjaan kodifikasi itu. Namun pada akhirnya ia dapat menerimanya demi memelihara kelestarian Al Quran. Ia lalu memerintahkan Zaid bin Sabit untuk memimpin tugas kodifikasi ini dengan dibantu oleh Ubay bin Ka'b, Ali bin Abu Talib, Usman bin Affan, dan beberapa sahabat qurra' (para pembaca) lainnya. Di dalam usaha kodifikasi, Zaid bin Sabit berpegang pada tulisan-tulisan yang tersimpan di rumah Rasulullah, hafalan-hafalan dari sahabat, dan naskah-naskah yang ditulis oleh para sahabat. Semuanya itu dikumpulkan dan ditulis di atas lembaran-lembaran kertas yang disebut suhuf-suhuf, kemudian disusun menjadi satu mushaf, dan akhirnya diserahkan kepada Abu Bakar.

Sesudah Abu bakar wafat, mushaf itu berada dalam pengawasan Umar. Setelah Umar wafat, mushaf ini disimpan di rumah Hafsah.(14) Pada masa khalifah Usman bin Affan, timbul perselisihan masalah kiraah (cara membaca Al Quran). Salah satu usulan Huzaifah bin Yaman untuk mengatasi perselisihan itu ialah perlunya Khalifah Usman bin Affan menetapkan aturan penyeragaman bacaan Al Quran standar yang kelak akan dijadikan pegangan bagi seluruh umat Islam di berbagai wilayah. Usulan itu diterima, lalu dibentuklah panitia. Sesudah selesai, Usman mengembalikan mushaf yang telah disalin itu kepada Hafsah. Penyalinan Al Quran dengan dialek yang seragam di masa Usman itulah yang disebut Mushaf 'Usmani. Semuanya berjumlah 5 buah. Satu mushaf disimpan di Madinah, yang kemudian dikenal dengan Mushaf al-Imam. Empat lainnya dikirim ke Makkah, Suriah, Basra, dan Kufah untuk disalin serta diperbanyak.

Usaha kodifikasi Al Quran di masa Usman membawa beberapa keuntungan, antara lain (1) menyatukan umat Islam yang berselisih dalam masalah kiraah, (2) meyeragamkan dialek bacaan Al Quran, (3) menyatukan tertib susunan surah-surah menurut tertib urut seperti dalam mushaf-mushaf yang dijumpai sekarang.
Dalam perkembangan selanjutnya, mushaf yang dikirimkan Usman ke berbagai propinsi Islam itu mendapat sambutan positif. Mereka menyalin dan memperbanyak mushaf itu dengan sangat hati-hati. Diriwayatkan bahwa Abdul Aziz bin Marwan (gubernur Mesir) setelah menulis mushaf-nya, menyuruh orang lain untuk memeriksanya sambil menjanjikan bahwa siapapun yang dapat menemukan suatu kesalahan dalam tulisannya akan diberi hadiah berupa seekor kuda dan uang sejumlah tiga puluh dinar. Kewaspadaan kaum muslimin terhadap setiap penulisan Al Quran ini tetap berlanjut dari masa ke masa. Penyalinan Mushaf 'Usmani juga bertambah pesat dilakukan oleh kaum muslimin.(15)

2.3. Al Quran: Himpunan Wahyu Tertinggi
Wahyu berasal dari kata wahy, dari kata kerja bahasa Arab, waha, yang berarti meletakkan dalam pikiran, kadang-kadang dipahami sebagai "inspirasi". Al Quran menggunakan istilah ini tidak hanya untuk inspirasi ilahiah yang diberikan kepada manusia, tetapi juga untuk komunikasi spiritual di antara mahkluk-mahkluk yang lain. Namun, wahyu merujuk secara spesifik kepada wahy, yakni inspirasi ilahiah yang diberikan kepada manusia terpilih, yang dikenal sebagai nabi-nabi, dengan maksud sebagai petunjuk.(16) Proses pewahyuan dimulai dari Adam (manusia dan nabi pertama) dan berlanjut sepanjang sejarah manusia hingga pesan wahyu akhirnya dipelihara secara utuh dalam bentuk Al Quran.

Kaum muslim menerima tidak hanya Al Quran, tetapi juga Taurat Musa, Mazmur atau Zaburnya Nabi Daud, dan Injilnya Isa sebagai jalinan dalam rantai wahyu ilahiah. Namun untuk memahami wahyu diperlukan pertimbangan yang hati-hati terhadap kekhususan konteks dan keuniversalan pesan bagi umat manusia. Sejak wahyu diturunkan untuk membimbing urusan-urusan manusia, pemahaman intelektual serta implementasi praktis melalui contoh keagamaan juga dibutuhkan. Dengan demikian, nabi-nabi adalah pembawa pesan dan sekaligus model.

Para pemikir muslim mutakhir telah mengekspresikan kebutuhan dan interpretasi, wahyu Al Quran dari metode literalisme sempit dan ayat demi ayat, yang bersifat atomistik, sebagaimana tafsir yang awal. Hal ini membawa kepada tafsir dunia yang mengalami perubahan cepat dan radikal. Tafsiran semacam itu sesuai dengan opini tradisional bahwa wahyu adalah khazanah pengetahuan khusus, yang menghubungkan Ilahi Sang Pencipta dengan manusia yang memiliki kehendak bebas dan kapasitas independen untuk menalar.

Pada sepanjang sejarah Muslim telah berlangsung perdebatan seru mengenai nilai-relatif pengetahuan yang diterima dari wahyu ilahiah serta pengetahuan yang didapat melalui penalaran independen. Beberapa filosof berpendapat bahwa akal manusia mencukupi untuk membimbing urusan-urusannya. Untuk itu, manusia hanya perlu berpaling kepada wahyu dalam hal-hal tertentu. Namun, apabila Al Quran adalah wahyu dari kehendak Tuhan, ia seharusnya tidak tertantang dan tidak dapat disamai.(17)

Kaum Muslim percaya bahwa Al Quran adalah himpunan wahyu tertinggi (18) dari setiap kata demi kata. Di dalam Al Quran itu sendiri dinyatakan: "Al Quran adalah wahyu, diturunkan oleh Kami ……Kami turunkan dalam bahasa Arab……pada orang Arab, jelas dan tepat……Bila Kami membacanya, Engkau (Muhammad) harus mengikutinya……Jangan berupaya membawa wahyu kepada dirimu sendiri……Seandainya Nabi menisbahkan kepada Kami apa yang tidak Kami wahyukan, maka kami akan merenggutnya dengan kekuatan dan memotong urat nadi jantungnya" (QS. 4:104; 26:195; 12:2; 20:113; 3:7; 75:16-17; 69:45-46).

Kaum Muslim menerima wahyu dengan sepenuh hati. Mereka memandang Al Quran suci dari Allah, baik kandungan maknanya maupun bahasa dan bentuknya. Bukti bahwa Al Quran adalah firman Tuhan berada pada Al Quran sendiri, yakni antara lain terletak pada keindahan teksnya yang tidak dapat ditiru dan tidak tertandingi sehingga merupakan mukjizat. Karena itu, Al Quran bukan karya manusia, melainkan karya Tuhan. Watak Al Quran yang demikian ini disebut I'jâz.

2. 4. Al Quran: Wahyu progresif dan Kitab Kemanusiaan
Bertolak dari uraian di atas, timbul pertanyaan: Apakah Al Quran yang diimani sebagai wahyu ilahi dan menjadi the way of life umat Islam boleh diberi tafsir kontekstual yang sesuai dengan prinsip Al Quran sebagai wahyu progresif?

progresivitas Al Quran terbukti saat teksnya berdialog dengan konteks sejarah masa lampau, sekarang, dan proyeksinya ke masa depan. Sebagai teks progresif, ia tentu tidak bisa bicara sendirian dengan realitas. Dia memerlukan manusia sebagai penafsir yang bervisi progresif, sehingga Al Quran pun menjadi wahyu yang progresif. Di sisi lain, sebagai wahyu progresif, ia merekam seluruh spektrum perjuangan para nabi yang dihadapkan pada pilihan memihak yang berkuasa atau lemah. Mereka dengan tegas memihak kaum lemah. Nabi SAW dalam sebuah doanya, berkomitmen untuk hidup, tumbuh, dan mati bersama yang papa. Demikian pula Yesus berjuang keras sebagai pembela kaum papa. Musa menjadi simbol otentik perlawanan terhadap arogansi kekuasaan Firaun. Pemihakan para nabi kepada kaum papa, dhuafa/lemah, dan tertindas, menjadi fakta sejarah terjadinya proses penerjemahan Al Quran secara progresif.(19) Para nabi sebelum menjadi instrumen pewahyuan progresif, juga berfungsi sebagai penafsir firman Tuhan yang menjadi progresif dan harus didialogkan dengan situasi, konteks, serta kebutuhan komunitas. Al Quran secara lebih tegas menunjukkan dan mengakarkan ke arah pembebasan kaum papa, lemah, dan tertindas dengan menunjuk teks mustadl'afnn. Teks ini amat progresif, karena kelemahan yang melekat pada mereka, menurut tinjauan Al Quran, disebabkan bukan by nature, by accident, melainkan oleh faktor-faktor luar lainnya (by design), yang dalam istilah sosiologis disebut faktor-faktor "struktural" atau dalam terminologi politik, diakibatkan oleh sistem kekuasaan yang otoriter, represif, dan tiran.

Penggunaan Al Quran dengan merujuk teks mustadl'afnn sebagai kelompok lemah, marginal, dan tertindas tersebut terlihat jelas pada teks, "dalam harta si kaya", ada bagian intrinsik bagi orang miskin (Q. S. al-Ma'arif/70:25; al-Dzariyat/51:19). Dengan demikian, Al Quran mengafirmasikan model keadilan distributif, agar "harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja" (Q. S. al-Hasyr/59:7). Hal ini membuktikan progresivitas teks Al Quran yang berdialog dengan situasi sejarah masa silam, dengan konteks kini dan masa depan saat problem kemiskinan serta penindasan merajalela di mana-mana. Pada saat yang sama pula, harta dan kekayaan hanya berputar di antara mereka yang kaya serta berkuasa.

Dr. Farid Esack (ahli tafsir Al Quran dari Afrika Selatan) menjadikan teks mustadl'afnn (Q. S. al-Qahash/28:5) sebagai senjata ampuh untuk membebaskan kaum marginal, dhuafa, dan tertindas dari rezim penindas apartheid di Afrika Selatan. Teks tersebut benar-benar mempresentasikan semua penderitaan orang-orang tertindas di Afrika Selatan.(20)

Itulah salah satu contoh dimana penafsiran teks Al Quran menjadi wahyu progresif yang kemudian bisa menjadi kekuatan liberatif terhadap yang lemah, marginal, dan tertindas. Hal tersebut juga merupakan bentuk hermeneutika Al Quran yang ditafsirkan sebagai wahyu progresif yang memihak dan membebaskan kaum lemah-tertindas. Lalu, bagaimana dengan Al Quran sebagai kitab kemanusiaan?
Selama ini Al Quran, yang diwahyukan Allah di bulan suci Ramadhan, hampir selalu dipahami dan dicarakan dalam perspektif ketuhanan. Al Quran bukan sebuah kitab yang hanya berbicara tentang Tuhan, surga, setan, malaikat, kematian, atau akhirat saja, melainkan juga tentang sejarah dunia dan alam semesta dengan segala isinya. Semua masalah itu dibicarakan Al Quran dalam kerangka kemanusiaan dan kehidupan duniawi. Beberapa contoh berikut ini dapat memperjelas pernyataan tersebut.
Pertama, dalam terang cahaya wahyu-Nya, Al Quran memaparkan tentang sejarah suatu bangsa dan sekelompok umat manusia. Pada suatu saat, mereka tumbuh dan berkembang menjadi kelompok yang kuat dan besar, di saat lain mereka itu hancur lebur seperti ditelan sejarahnya sendiri.
Kedua, kitab Al Quran juga mengisahkan mengenai kehidupan suatu bangsa yang penuh kedamaian, kemakmuran, dan kesejahteraan, berkeadilan, peka terhadap persoalan rakyat, bahkan terhadap lingkungan alam; yaitu dunia dan hewan. Kisah tentang bagaimana bangsa dan sekelompok manusia lainnya dilanda malapetaka dan berbagai penderitaan serta bencana secara terus menerus, semuanya itu tersebar hampir di semua surat Al Quran.
Contoh ketiga, model pemimpin dan kepemimpinan juga bisa dibaca dalam Al Quran. Sebuah bangsa yang besar dan kaya tetapi dipimpin oleh raja yang otoriter, represif, dan tiran, dengan para pejabat yang korup serta kesejahteraan yang hanya dinikmati oleh segelintir elite yang berkuasa, tidak pernah akan hidup lama, bahkan segera hancur. Sebaliknya Al Quran juga mengisahkan suatu bangsa besar dan makmur yang dipimpin oleh raja dan para pemimpin yang adil, yang mau memahami, mendengarkan keluh kesah rakyatnya, bahkan keluh kesah hewan dan tumbuhan akibat ulah manusia.
Keempat, di dalam Al Quran dapat pula dibaca dan direnungkan berbagai kisah dramatis bagaimana Nabi Musa dan Nabi Yusuf yang tampil ke panggung sejarah peradaban dengan posisi serta situasi krusial yang dihadapinya.
Masih banyak contoh lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Dengan contoh-contoh itu, menurut Abdul Munir Mulkhan, maka Al Quran memfungsikan diri sebagai petunjuk bagi manusia agar bisa membedakan jalan hidup yang terang dan gelap. Jadi, Al Quran tidak hanya memfokuskan diri pada hal-hal ilahiah, tetapi bagi pelayanan kepentingan manusia itu sendiri. Al Quran hadir sebagai suatu kritik atau dzikir (peringatan) terhadap kebiasaan hidup manusia yang tidak produktif. Meskipun kitab ini mencatat nama-nama Tuhan yang terdapat dalam 1.882 ayat (hampir 30 persen dari seluruh ayat Al Quran yang berjumlah lebih dari 6000 ayat), namun nama-nama tersebut berkaitan dengan informasi tentang berbagai persoalan di sekitar diri manusia dan alam. Dengan demikian, jelas sekali bahwa Al Quran selain merupakan wahyu yang progresif, juga merupakan kitab kemanusiaan.

3. AKHIR KATA

Bila dihubungkan dengan wahyu-wahyu sebelumnya, maka wahyu Islam membedakan dirinya sebagai wahyu yang berkenan dengan norma-norma agama dan etika, serta memusatkan perhatian kepada prinsip. Wahyu Islam menyerahkan kepada manusia tugas menterjemahkannya ke dalam bentuk petunjuk dan perintah untuk kehidupan sehari-hari. Petunjuk ini disebut sebagai syariah (hukum) atau minhâj (program). Keajaiban Al Quran menurut banyak orang muslim saat ini, bukanlah dari cara wahyu itu disampaikan kepada Muhammad di gunung Hirâ' - di Mekkah, dan kelak di Madinah, tetapi terletak pada kemampuannya secara terus menerus dalam memberi suatu kepercayaan pada makna serta nilai kehidupan. Agama Islam pastilah terus menerus kreatif dan inventif dalam penerapan visi orisinal di tengah dunia yang terus berubah: pada setiap generasi, Islam merespon modernitas sebagaimana agama-agama lain.

CATATAN:

(1) Al Quran dengan makna bacaan dinyatakan oleh Allah SWT dalam ayat-ayat berikut, yakni surah-surah al-Qiyamah ayat 16-18, al-Baqarah ayat 185, al-Hijr ayat 87, Taha ayat 2, al-Ahgaf ayat 29, al-Waqi'ah ayat 77, al-H?syr ayat 21, al-Insan ayat 23, dan al-Isra ayat 88.
(2) Simak uraian terperinci John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Jilid 5, (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 57.
(3) Beberapa rujukan dapat dikaji sendiri, misalnya: Ensiklopedi Islam Jilid 4, Cetakan keempat, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van - Hoeve,1997), hlm. 133-135; bdk. juga John L. Esposito, Op.Cit., hlm. 55. Lihat dan baca Ahmad Von Denffer, Ilmu Al Quran : Pengenalan Dasar (Jakarta: CV. Rajawali, 1988), hlm. 17.
(4) Lihat Maulana Muhammad'ali, Islamologi, (terj.), (Jakarta: PT. Ichtiar Baru - Van Hoeve, 1980), Hlm. 18.
(5) Turunnya wahyu kedua itu didasarkan pada hadits riwayat Bukhari, Muslim, al-Hakim, dan al-Baihaki dari Aisyah binti Abu Bakar.
(6) Menurut Ibnu Ishaq (w.786), penulis buku as-Sirah (riwayat Nabi Muhammad SAW), wahyu tidak turun selama kurang lebih tiga tahun.
(7) Ada dua pendapat mengenai ayat terakhir yang diwahyukan kepada Nabi SAW ini. Menurut riwayat an-Nasa'I dan Ikrimah, Ibnu Abbas menyatakan bahwa wahyu terakhir ialah Surah al-Baqarah ayat 281. Sedangkan menurut Jumhur (mayoritas) ulama adalah Surah al-Ma'idah ayat 3.
(8) Diriwayatkan oleh Aisyah, ibu umat beriman, bahwa Al-Harits bin Hisyam pernah bertanya kepada Rasulullah: "Bagaimanakah caranya wahyu Allah datang kepadamu? Jawab Rasulullah: Kadang kala wahyu datang seperti bunyi lonceng; itulah yang terberat bagiku. Dan itu baru berhenti apabila aku telah dapat menangkap seluruh apa yang diwahyukan. Tetapi kadang kala malaikat datang ke hadapanku dalam bentuk seperti seorang laki-laki, lantas ia berbicara kepadaku , maka aku mengerti apa yang dibicarakannya ". Uraian dan penjelasan selengkapnya dapat dilihat dalam tulisan H. Zainuddin Hamidy, dkk., Terjemahan Hadis Shahih Buchari, Jilid I, Jakarta: 1961, hlm. 13.
(9) Menurut Perhitungan ulama Kufah, seperti Abu Abdurrahman as-Salmi, Al Quran terdiri dari 6.236 ayat. Sedangkan menurut as-Suyuti, terdiri atas 6.000 ayat lebih. Al-Alusi dalam kitab tafsirnya Ruh al-Ma'ani fi Tafsir Al-Qur'an al-Azim wa as-Sab'al-Masani (Semangat Makna dalam Tafsir Al Quran yang Agung dan al-Fatihah) menyebutkan bahwa jumlah ayat Al Quran sekitar 6.616 ayat. Perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan pandangan di antara mereka tentang kalimat Basmalah pada awal surah dan Fawatih as-suwar (kata-kata pembuka surah), seperti Yasin, Alif Lam Mim, dan Ha Mim. Ada yang menggolongkan kata-kata pembuka tersebut sebagai ayat dan ada pula yang tidak.
(10) Maulana Muhammad'ali Op.Cit., hlm. 13.
(11)Penjelasan menarik tentang hal ini dapat dibaca dalam tulisan Masjfuk Zuhdi, Studi Islam, Jilid I: Akidah, (Jakarta: CV. Rajawali, 1988), hlm. 7.
(12) Diantara yang menghafal seluruhnya adalah Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Alibin Abi Talib, Talhah, Abdullah bin Umar bin Khattab, Abdullah bin Abbas, Amr bin As, Mu'awiyah bin Abu Sufyan, Abdullah bin Zubair, Aisyah binti Abu Bakar, Hafsah binti Umar, Ummu Salamah, Uaby bin Ka'b, Mu'az bin Jabal, Zaid bin Sabit, Abu Darda, dan Anas bin Malik.
(13) Mereka itu antara lain adalah: Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Alibin Abi Talib, Amir bin Fuhairah, Zaid bin Sabit, Ubay bin Ka'b, Mu'awiyah bin Abu Sufyan, Zubair bin Awwam, Kahlid bin Walid, dan Amr bin As.
(14) Hafsah adalah putri Umar dan menjadi isteri Rasulullah SAW
(15) Ada banyak referensi mengenai kodifikasi Al Quran ini, antara lain yang ditulis dalam bahasa Indonesia adalah Ensiklopedi Islam Jilid 4, hlm. 135-137, John L. Esposito, Op.Cit., hlm. 56; Daud Al-Athar, Perspektif Baru Ilmu Al Quran, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994); Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al Quran, Terjemahan Mudzakin AS, (Jakarta: PT. Pustaka-Pustaka Litera Antar Nusa, 1994); Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy, Sejarah dan PengantarIlmu Al Quran dan Tafsir, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra , 1997). Sumber-sumber lain yang patut dibaca misalnya; Richard Bell, Bell's Introduction to the Qur'an, Edisi Baru yang direvisi oleh W. Montgomery Watt, Edinburgh, 1970; John Burton, The Collection of The Qur'an Cambridge, 1977. Burton dalam bukunya menegaskan bahwa yang disebut naskah 'Utsmani adalah mushaf yang digunakan selama kehidupan Nabi. Dengan demikian, bukan 'Utsman yang pertama kali menghimpun Al Quran melainkan Nabi Muhammad. Baca juga Arthur Jeffrey (peny.). Materials for the History of the Text of the Qur'an, Leiden, 1937; Abu Al-Qasim Al-Khu'I, Al-Bayan fi Tafsir Al Quran, Beirut, 1975. Ia mempunyai kesimpulan yang sama dengan Burton, yakni 'Utsman tidak menghimpun mushaf, tetapi menyatukan sikap komunitas muslim terhadap mushaf yang telah ada dan secara umum diterima. Karya ini juga membahas banyak isu penting dalam kajian Al Quran. Simak juga karya John Wansbrough, Quranic Studies, Oxford, 1977. Dengan menggunakan metode kritis biblikal dalam mengkaji Al Quran, dia berkesimpulan bahwa Kitab Suci tidak sampai pada keadaannya yang sekarang hingga tiga abad kemudian. Argumen serupa disampaikan dalam karyanya, Sectarian Mileu, Oxford, 1978. Pemahaman kita mengenai kodifikasi tersebut perlu dilengkapi dengan pengertian mengenai penulisan dan pencetakan Al Quran, pembakuan bahasa Arab dan kategorinya, dan lain-lain, sehingga dapat diperoleh suatu gambaran yang lebih lengkap. Untuk itu perlu dibaca karya Ismail R. Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, (New York: Macmillan, 1986), yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ilyas Hasan, Atlas Budaya Islam Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang, (Bandung: Mizan, 1998), bdk. juga John L. Esposito, Loc. Cit.; Ensiklopedi Islam Jilid 4, Loc.Cit.
(16) Di dalam Al Quran terdapat lafal "wahyu" dan lafal-lafal yang diambil daripadanya sebanyak kurang lebih 70 kali dan dipakai dalam beberapa arti. Misalnya, dalam surah Maryam ayat 11 dipakai dalam arti "isyarat", dalam surah an-Nahl ayat 68 dipakai dalam arti "ilham", dan dalam surah asy-Syura ayat 13 diartikan sebagai "wasiat". Ada banyak kajian tentang wahyu itu sendiri. Untuk itu, dapat dicermati dan dibaca tulisan-tulisan berikut ini antara lain, M. Rasjid Ridha, Wahyu Allah Kepada Muhammad, (Surabaya: Japi, 1964); Saleh Mahfoed, Fenomena Al Quran (terj), (Bandung: PT. Alma'arif, 1983); Muslich Maruzi, Wahyu Al Quran: Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Pustaka Amani, 1986).
(17) Bdk. A.J. Arberry, Reason and Revelation, London, 1967.
(18) Pemahaman tentang Al Quran sebagai himpunan wahyu tertinggi (yang diturunkan malaikat Jibril) ini akan menjadi lebih jelas apabila disimak beberapa sumber berikut: Yahya Rais, Islam Agama Fitrah Manusia, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1982); Muhammad Zain Djambek, Kuliah Islam, (Jakarta: Tintamas Indonesia, 1985); H. Ibrahim Lubis, Agama Islam, (Jakarta Timur: Ghalia Indonesia, 1982); Dahlan Idhamy, Pengantar Studi Agama Islam, (Jakarta: PT. Media Sarana Press, 1987); Muclish Maruzi, Wahyu Al Quran Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Pustaka Amani, 1987); Paskalis Edwin Nyoman, Wahyu Dalam Islam dan Katolik: Studi Perbandingan Agama dalam Perpektif Dialogal tentang Misteri Iman yang Paling Fundamental, (Malang: Tesis STFT Widya Sasana Malang, 1990). Ada satu buku menarik dan bagus yang perlu dibaca untuk semakin memperjelas judul tulisan ini. Buku tersebut ialah hasil karya Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, Cet. ke-24, yang diterjemahkan oleh Ali Audah, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2000).
(19) Bdk. Kompas, 3 Desember 2001, hlm. 4.
(20) Farid Esack yang menafsirkan teks mustadl'afnn dalam konteks penindasan, dapat dibaca dalam bukunya yang berjudul, Qur'an, Liberation, and Pluralism: An Islamic Perpective oof Interreligious Solidarity against Oppression, (Oxford, 1997) yang telahdialihbahasakan oleh Budiman menjadi Membebaskan Yang Tertindas, (Mizan, 2000)

Agama Harus Mampu Membahasakan Syalom dalam Bahasa Konkrit Kemanusiaan

"Menghadapi usulan Syariat Islam misalnya, orang Kristen jangan diam saja. Bagaimanapun limbahnya akan menyentuh orang Kristen, dan itu pasti"-Ulil Absar-Abdalla
Mencermati berbagai tindakan kejahatan atau bahkan "misi suci" bernuansa agama, di sana-sini makin nyaring terdengar pertanyaan: bagaimana kalau tidak ada agama? Setidaknya, Karen Amstrong pernah mengajukan pertanyaan tersebut melalui buku "Sejarah Tuhan" atau Michael Jackson lewat lagu If There Were No Religion. Tentu saja, kedua orang ini atau siapa saja yang sedang mengajukan pertanyaan yang sama mempunyai alasan sendiri-sendiri. Namun yang pasti pertanyaan mereka lahir dari sebuah kejengahan melihat pola hidup kaum beragama.
Walau tidak dalam alasan yang persis sama, belum lama ini, GKI Jabar menggelar sebuah seminar bertajuk "Masa Depan Agama-agama di Indonesia" di aula SMUK Penabur, Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Hadir sebagai pembicara dalam seminar penghargaan terhadap hidup, karya dan karsa Pdt. Eka Darmaputera, Ph.D ini adalah Romo Dr. Mudji Sutrisno SJ, Ulil Absor Abdalla, Pdt. Dr. Emmanuel Gerrit Singgih, Pandita Hendro S. Endro, Budi S. Tanuwibowo dan Dr. Marthin L. Sinaga sebagai moderator.
Dalam kesempatan ini muncul sebuah hal menarik dari Ulil terutama bagi upaya membangun model kehidupan yang saling menghargai dan mempedulikan. Konkrietnya jelas ketua Jaringan Islam Liberal ini, jika terjadi sesuatu dalam masyarakat Muslim maka komponen masyarakat lain harus merasa persoalan itu sebagai masalahnya juga. Ia kemudian menunjuk usulan pemberlakuan Syariat Islam oleh sebagian orang Islam sebagai contoh. "Menghadapi usulan dari orang Islam seperti ini, orang Kristen jangan diam saja. Bagaimanapun limbahnya akan menyentuh orang Kristen, dan itu pasti," tegas Ulil. Ulil menyadari, usulannya ini bukanlah hal yang sederhana dan tidak mudah diterima. Untuk itu ia mengajak segenap anak bangsa bersama-sama mempersiapkan individu-individu agama yang mampu menjadi warga negara demokratis.
Menanggapi ajakan Ulil, kepada BAHANA Marthin Sinaga mengatakan, ajakan Ulil tersebut sebagai undangan yang serius dan karenanya perlu mendapat tanggapan serius pula. Caranya? Dengan terlibat ke dalam studi agama-agama. "Kita perlu mempelajari Islam dengan lebih mendasar lagi," jelas Martin usai seminar. Mempelajari agama yang lain lanjut Marthin akan memberi dampak cukup mendalam bagi kita. Kita menjadi lebih peka terhadap bahasa kita sendiri terhadap gagasan Kristen sendiri atau terhadap pikiran-pikiran yang berkembang di gereja terhadap Islam.
Dengan demikian, bersama saudara-saudara beragama lain kita tidak hanya dibingkai dalam kepentingan politik negara modern tapi juga dalam bingkai persahabatan dan persaudaraan yang lebih membatin.
Sementara itu, terhadap gagasan yang sama, Romo Mudji menyatakan apresiasi tersendiri. Untuk itu Mudji mengajak setiap orang terlibat dalam permasalahan bangsa. Dengan begitu, jelas Mudji, kita menjadi semakin paham dengan yang disebut ruang publik Indonesia yang penuh kemajemukan. Untuk itu jelas Mudji, kita perlu menyiapkan orang-orang yang toleran dengan perbedaan. Di mata dosen STF Driyarkara, Jakarta ini, kalau Indonesia "diserahkan" kepada mereka-mereka yang fanatik sendiri, ekstremis, intoleran pada agama yang lain, berarti kita tengah secara pelan-pelan membunuh toleransi dan membunuh Indonesia.
Menyangkut dialog antar agama yang telah menggelinding lebih dari 20 tahun di Indonesia, Mudji berkomentar, "Kelemahan dialog, orang mengira kalau para elitnya sudah berdialog, membuat perjalanan simbolik, mengajak atau menghimbau, semuanya pasti dengan cepat terjadi dalam sistem paternalistik." Padahal lanjut Mudji, hal ini tidak otomatis terjadi apalagi kalau kita masih terjebak dalam pikiran-pikiran sempit dan sikap tidak peduli terhadap sesama saudara yang lain agama, bangsa, suku masih tetap terpelihara.
Bagi Mudji, agama harus memainkan peranan yang besar. Selama agama tidak mampu menjadi jembatan untuk demokratisasi, kesejahteraan, keadilan, selama itu pula agama tidak mampu membahasakan syalom dalam bahasa konkrit kemanusiaan atau toleransi itu. "Kita dituntut mampu menemukan bahasa struktural bagi peradaban, humanisme, toleransi dan saling menyejahterakan," tambah kolumnis pada sejumlah media massa yang juga anggota KPU ini. Dengan begitu, agama akan bermasa depan, begitu?

Daftar isi file

1. Bahasa

2. Kaunseling

3. Teroris AS

4. Kritik Islamisme

5. Kitab kuning Pesantren

6. Kebatinan

7. Alqur’an

8. Syalom

BAHASA

1.0 PENDAHULUAN

1.1 Pengenalan
Beberapa sarjana bahasa telah memberikan hujah masing-masing dalam mendefinisikan bahasa. Antaranya Sapir dalam buku tulisan John Lyons terjemahan Ramli Salleh dan Toh Kim Hoi mendefinisikan bahasa adalah “semata-mata suatu kaedah yang bukan naluri untuk manusia menyampaikan idea, emosi, dan keinginan melalui ciptaan simbol-simbol yang lahir secara sedar”. Buku ini juga memetik definisi daripada Bloch dan Trager yang terkandung dalam Outline of Linguistic Analysis (1942 : 2) sebagai “suatu sistem simbol arbitrari untuk sesuatu kumpulan sosial yang bekerjasama”. Sementara Hall dalam Essay of Language menegaskan bahasa ialah” institusi untuk manusia berkomunikasi dan berinteraksi melalui simbol-simbol lisan-pendengaran yang arbitrari mengikut tabiat”.Menurut Lyons lagi, Robins menterjemahkan bahasa “bersifat remeh-temeh dan tidak memberikan maklumat tambahan, cuma mengandaikan… beberapa teori am tentang bahasa dan analisis linguistik”. Definisi bahasa oleh Chomsky yang dipetik John Lyons daripada Syntactic Structures (1957 : 13) terdapat sedikit perbezaan iaitu “Bermula daripada sekarang, saya akan menganggap bahasa sebagai suatu set ayat (finit atau Infinit). Setiap satu set ini mempunyai had panjang dan tersusun dengan menggunakan satu set unsur yang terha Ferdinand de Saussure, seorang sarjana Linguistik Swiss mendefinisikan bahasa yang dititip daripada buku Pedagogi Bahasa tulisan Kamarudin Hj. Husin dengan “satu sistem isyarat yang yang mempunyai bahagian terpenting berupa gabungan daripada erti dengan bayangan bunyi dan kedua-duanya adalah bersifat psikologi. Menurutnya lagi erti dan bunyi itu tidaklah terpisah tetapi tergabung dalam satu rantaian ucapan menurut hukum-hukum tatabahasa”.
Dapatlah dirumuskan bahawa bahasa itu merupakan lambang-lambang bunyi yang dihasilkan oleh alat-alat sebutan manusia, bersistem atau mempunyai susunan tertentu. Turut mempunyai bentuk-bentuk tertentu, bertugas untuk menyampaikan dan menyatakan sesuatu, yang mengandungi makna untuk difahami oleh orang lain bagi mewujudkan interaksi sesama manusia.

1.2 Objektif
Berdasarkan kandungan kertas kerja ini, kita akan dapat mengetahui tentang .
bentuk-bentuk ragam bahasa seperti mana yang diutarakan oleh Za’aba, serta contoh-contoh setiap klasifikasi ragam tersebut. Di samping itu juga diperihalkan kepentingan penggunaan ragam bahasa dalam pertuturan khasnya dalam masyarakat Melayu.

1.3 Kaedah Kajian
Bagi menyiapkan kajian ini, digunakan kaedah kepustakaan. Segala maklumat berkaitan yang diambil daripada buku-buku, juga daripada nota-nota kuliah yang diberikan oleh Tuan Pensyarah, diolah, dianalisa, disusun, dan digarap sebaik mungkin bagi menghasilkan kertas kerja yang bermutu. Di samping itu, menggabungjalinkan idea-idea dan pandangan pelajar sendiri.

1.4 Batasan Kajian
Kajian ini menghadkan hanya ragam bahasa Melayu yang telah dikemukan oleh Pendita tanah air terkenal iaitu Za’aba atau nama sebenarnya Zainal Abidin bin Ahmad. Merujuk tulisan atau kenyataan beliau dalam karyanya ‘Ilmu Mengarang Melayu’ (1965). Bagi menghuraikan setiap klasifikasi ragam bahasa oleh Za’aba ini, contoh-contoh berkaitan yang diberikan serta dinyatakan adalah berdasarkan sebuah novel karya Rejab F.I. yang bertajuk ‘Matahari Di Hujung Malam’. Sehubungan dengan itu, dihuraikan secara ringkas kepentingan atau keistimewaan atau kepentingan penggunaan ragam bahasa semasa berinteraksi.
Walaupun di dalam buku ini mungkin tidak dapat memenuhi setiap klasifikasi ragam bahasa yang dikemukakan oleh Za’aba, namun ianya menjadi pilihan atau bahan rujukan disebabkan tema dan persoalan cerita ini yang menarik. Bertemakan serta menyingkap persoalan manusia yang sememangnya lupa diri apabila mendapat sesuatu kesenangan. Kisah seorang guru yang berjaya melanjutkan pelajaran ke universiti kemudiannya sanggup menyingkirkan pengorbanan isteri, anak, dan keluarga demi seorang yang lebih istimewa iaitu pensyarahnya sendiri. Ibarat ‘sudah dapat gading bertuah tanduk tidak berguna lagi’.

1.5 Definisi Konsep
Bahasa sebagaimana yang didefinisikan berdasarkan perisian komputer ‘Kamus Eja Tepat’ edisi 1997, adalah antaranya bermaksud ujaran, pertuturan atau omong, biasanya yang melibatkan sesuatu komuniti atau masyarakat. Manakala ‘ragam’ bermaksud jenis, aneka atau macam. Oleh itu ‘ragam bahasa’ menurut Za’aba dalam bukunya Ilmu Mengarang Melayu (1965), mendefinisikan sebagai beberapa jenis bahasa yang khas yang merupakan bahasa dalam karangan atau percakapan kerana menguatkan tujuan kata dan mempertajam hasilnya kepada faham pendengar dan pembaca. Dengan kata lain ragaman bahasa ini dapat dikatakan sebagai bahasa tertentu yang digunakan untuk menyatakan sesuatu maksud tertentu.

2.0 KLASIFIKASI RAGAM BAHASA
Tidak ada bahasa manusia yang tetap, seragam mahupun tidak berubah-ubah. Semua bahasa manusia menunjukkan kelainan dalaman. Penggunaan sebenar berbeza antara satu kelompok dengan kelompok yang lain, dan antara satu penutur dengan penutur lain, dari segi sebutan sesuatu bahasa, pilihan kata, dan makna kata-kata tersebut, malah dari segi pemilihan penggunaan ayat khususnya dalam menyampaikan sesuatu hasrat atau mesej atau untuk menyatakan tujuan-tujuan tertentu. Pendek kata, wujud pelbagai keragaman dalam berbahasa.
Buku ‘Ilmu Mengarang Melayu’ karya Pendita Za’aba yang diterbitkan pada tahun 1965, menitipkan bahawa terdapat sejumlah lima belas ragam bahasa. Dinyatakan di sini keragaman tersebut iaitu :
i. Bahasa Sindiran
ii. Bahasa Menggiat
iii. Bahasa Mengejek
iv. Bahasa Terbalik
v. Bahasa Merajuk
vi. Bahasa Tempelak
vii. Bahasa Herdik
viii. Bahasa Melampau
ix. Bahasa Merendah
x. Bahasa Naik
xi. Bahasa Seruan atau Mengeluh
xii. Bahasa Berulang
xiii. Bahasa Bertimbal
xiv. Bahasa Bukan
xv. Bahasa Bahasa Jenaka

Selain daripada yang dinyatakan, terdapat juga pelbagai nama lain untuk ragam bahasa ini. Namun demikian, kebanyakan nama-nama itu diambil daripada bahasa asing terutamanya Bahasa Inggeris.

3.0 HURAIAN TENTANG JENIS RAGAM BAHASA
Berikut dihuraikan tentang klasifikasi ragam bahasa yang dinyatakan seperti mana dikemukakan oleh Za’aba secara terperinci. Perincian juga diberikan bersama-sama contoh-contoh berkaitan
.
i. Ragam Bahasa Sindiran
Iaitu perkataan yang ditujukan untuk menyatakan sesuatu maksud kepada seseorang, tidak disebutkan atau dinyatakan secara tepat. Hanya disampaikan secara sinis dengan dikias-kiaskan atau dilambangkan kepada perkara lain. Ianya tidak dinyatakan atau disebutkan secara terus-terang atau ditujukan tepat terhadap seseorang.
Dalam novel ‘ Matahari di Hujung Malam’, contoh berkaitan jenis ragam ini ialah “Kalau tidak ada sebabnya, masakan tempua bersarang rendah”. Kata-kata ini ditujukan oleh Cikgu Sharif kepada Cikgu Hamdan. Ia tentunya menyindir Cikgu Hamdan yang telah cedera dan dimasukkan ke hospital akibat dipukul oleh Zaidi dan kawan-kawannya. Cikgu Hamdan pasti mengetahui sebab berlaku kejadian tersebut atau mestilah berpunca daripada kesilapan Cikgu Hamdan sendiri. Namun begitu, sindiran berupa tuduhan ini tidak pula diluahkan secara terang-terangan oleh Cikgu Syarif. Begitu juga dengan dialog antara Syaharudin dan ayahnya, Pak Mahat yang berbunyi, “Berdrama sana, berdrama sini. Tak puas di atas pentas mereka berdrama pula di dalam kereta, di tengah sawah!”. Ini juga menunjukkan ragam bahasa menyindir iaitu bagaimana Shaharudin tidak terus-terang mengatakan isterinya Norhayati berkelakuan tidak senonoh bersama-sama Cikgu Hamdan, tetapi diarahkan pula dengan perkataan ‘drama’ yang membawa maksudnyayang sebenar.
Itulah antara ragam sindiran yang terdapat dalam karya ini di samping banyak lagi contoh yang lain. Jelaslah ragam jenis ini diujarkan dengan tujuan menyindir seseorang tetapi tidak diluahkan atau dinyatakan secara terang-terangan sebaliknya biasa diujarkan dengan mengarah kepada sesuatu yang lain.

ii. Ragam Bahasa Menggiat
Ragam bahasa jenis ini biasanya ditujukan tidak tepat kepada seseorang. Nadanya seakan-akan juga sindiran. Namun begitu tujuannya agak berbeza iaitu untuk mengusik, bergurau-senda atau kadang-kala bersungguh-sungguh betul, jika benarnya orang yang terkena atau dimaksudkan menjadi malu.
Contohnya “Eh! Baik sungguh kau hari ini” Rahmat membuat penilaian. “Hm! Aku taulah. Kau seronok sebab Cik Juliana tu terpikat pada kau kan?” Seperti kata-kata Rahmat ini kepada Syaharudin, nadanya adalah menggiat kawannya itu bertujuan bergurau-senda. Namun begitu, seolah-olah juga menyindir kawannya yang cuba berbuat baik dengan pensyarahnya itu untuk kepentingan diri sendiri.
Selain itu Rahmat yang menyebutkan “Kalau calang-calang belajar, hm … sia-sialah duit kita tu”. Maksud Rahmat yang sebenar adalah mengusik kawannya Syaharudin yang berbaik-baik dengan pensyarahnya sendiri sedangkan isterinya berkorban mengirimkan perbelanjaan buat suaminya membiayai perbelanjaan semasa belajar di universiti. Semuanya dilakukan demi ingin melihat suaminya berjaya menggulung segenggam ijazah. Sedangkan kawannya Syaharudin berseronok pula di universiti seolah-olah melupakan pengorbanan isterinya itu. Walaupun nadanya mengusik juga seakan-akan menyindir kawannya itu demi menyedarkan perbuatannya.
Agak menarik pula ialah “Kau dah pikat burung dara di kampus ini, Din?” Walaupun ada ‘burung dara’ sebagai kiasan dan mengarahkan atau merujuk kepada pensyarahnya, Cik Juliana, kenyataan sebenarnya adalah Rahmat mengusik Syaharudin yang sengaja ingin memenangi hati pensyarahnya itu. Mengetahui pula tujuan Syaharudin yang ingin melepaskan perasaan marahnya terhadap isterinya yang lambat mengutuskan wang buatnya.
Jika diteliti sehalus-halusnya, memang benar ragam jenis ini iaitu ragam bahasa menggiat, ada kalanya berupa sindiran secara sinis. Walaupun maksud sebenarnya mengusik atau bersenda-senda tetapi kemungkinan orang yang dimaksudkan itu mungkin terasa hati seperti kata pepatah ‘siapa makan cili, dia yang terasa pedasnya’.

iii. Ragam Bahasa Mengejek
Ragam bahasa jenis ini pula bahasa yang mengata atau ditujukan tepat kepada seseorang atau kumpulan. Ia ditujukan dengan menggunakan perkataan yang tepat dengan gaya yang mengajukkan keburukan mereka itu. Juga perkataan-perkataan yang mempermain-mainkan seseorang itu dengan hasrat menjelaskan kebodohan atau jika ada orang lain yang mendengarnya akan mentertawakan seseorang yang dimaksudkan itu.
Contohnya “Hm! Kau ni takut yang bukan-bukan, Rahmat. Kalau macam tu tak merasalah kau bercinta di sini. Kau nak tunggu biar keluar U nanti? Kau nak tunggu rambut kau beruban?” Itulah contoh ragam bahasa mengejek yang dinyatakan oleh Syaharudin. Beliau mengujarkannya kepada kawan sebiliknya Rahmat yang masih bujang dan tiada berteman itu. Sedangkan dia seorang yang telah berkahwin, dan punya anak tetapi digilai oleh pensyarahnya sendiri yang masih belum berpunya.
Ragam bahasa ini juga jelas dilihat dengan kata-kata Encik Jalal terhadap isterinya Puan Fauziah. Beliau seolah-olah memulangkan paku buah keras kepada isterinya yang menjadi penyebab anaknya putus tunang dan hinggakan anaknya kembali semula kepada kekasih lamanya serta terlanjur akhirnya. Maksud sedemikian tersirat dalam dialog “Itulah kau! Dulu budak ni bertunang elok-elok dengan Cikgu Hamdan tu, minta diputuskan. Menuduh cikgu tu bukan-bukan pula. Sekarang ni ha, apa yang dah jadi?” Dari sini ternyata Encik Jalal mengejek isterinya yang disebabkabkan kebodohan sendiri, berlaku perkara yang memalukan mereka sekeluarga.

iv. Bahasa Terbalik
Ragam bahasa jenis ini menggunakan bahasa berlawanan daripada apa yang hendak dimaksudkan. Namun demikian, orang yang mendengar atau yang diajak bertutur akan faham akan maksud yang sebenar. Contohnya kata-kata Syaharudin, “Dia tu dah tua, kau tahu? Anak dara terlajak. Sebab itu dia nak cari orang berumur macam aku ni. Betul tak?” Namun kenyataan Syaharudin ini difahami Rahmat akan maksud sebenarnya.

v. Bahasa Merajuk
Bagi ragam jenis ini memperlihatkan tentang kekecewaan yang dialami seseorang. Biasanya ragam ini adalah bahasa yang digunakan oleh orang yang sedang kecewa atau berkecil hati kerana sebab-sebab tertentu.
Kata-kata Rahmat yang membayangi kekecewaannya kerana sering diperli rakannya yang bertanyakan mengapakah dalam umur sepertinya masih belum berkahwin, jelas menunjukkan ragam bahasa jenis itu iaitu “ Macam muka aku ni siapa yang hendak, Din …,” selar Rahmat sambil bangun manghadap cermin yang tergantung di dinding kamar mereka, “muka macam buah kelapa tua,” sambungnya sambil ketawa, merendah diri.
Selain itu, kekecewaan yang dialami oleh Shaharudin juga dapat dilihat dalam ragam bahasa ini. Tergambar betapa pedih dan kecewanya Shaharudin yang telah kehilangan segalanya iaitu kekasihnya Juliana, isterinya serta anaknya, dan juga keluarganya sendiri. Sehingga dia tidak sanggup kembali ke kampung halamannya selepas menghabiskan pengajiannya di universiti apalagi hendak berdepan dengan mereka itu. Kekecewaan dan kehampaan itu dapat dilihat melalui kata-katanya kepada Rahmat, “Aku tak akan pulang lagi ke kampungku, Rahmat,” “Ke mana kau, Din?” “Aku telah memilih Sabah atau Sarawak.”

vi. Bahasa Tempelak
Contohnya “You pula sengaja ambil kesempatan berhubungan dengan I. Tak begitu?” soal Juliana. Inilah salah satu contoh ragam bahasa tempelak yang terdapat dalam karya “Matahari di Hujung Malam” Kata tempelak yang ditujukan tepat oleh Juliana kepada Shaharudin. Ianya diluahkan disebabkan kemarahan Juliana terhadap Shaharudin yang mengambil kesempatan di atas perhubungan mereka berdua dengan memburuk-burukkan kesetiaan dan pengorbanan isterinya.
Selain itu kata-kata orang kampung yang menempelak Zaidi dan rakan-rakannya yang sentiasa menyalahkan kakak iparnya sedangkan kelakuan buruknya jelas diketahui ramai. Demikian bunyinya, “Jika kumpulan teater itu buruk, nyatakan apa yang baik kumpulan anak-anak muda itu lakukan ha? Berapa banyak mereka sumbangkan wang untuk mangsa-mangsa banjir dan membantu pelarian Palestin itu. Katakan?” Ternyata tempelakan yang ditujukan tepat kepada Zaidi dan kawan-kawannya itu mengunci mulut mereka.

vii. Bahasa Herdik
Bahasa ini bunyinya seakan-akan bahasa tempelak tetapi nadanya agak lebih keras. Contohnya kemarahan Encik Jalal terhadap perbuatan anaknya yang telah memberi malu mereka sekeluarga. Kata-kata Encik Jalal, “Habis! Muka kita ni nak sorok di mana ha?! Sergah Encik Jalal pula sambil menudingkan jari telunjuk ke arah isterinya.

viii. Bahasa Melampau
Bahasa yang digunakan untuk membesar-besarkan dan melebih-lebihkan daripada perkara atau kedudukan yang sebenarnya adalah disebut ragam bahasa melampau. Contohnya ‘Mereka berpegangan sambil melihat anak-anak ikan kecil berkejar-kejaran di dalam air. Ah! Begitu mesra, bagai merpati sepasangan. Kebahagiaan membalut jiwa Syaharudin. Saat-saat begitu terasa bagaikan di syurga.

ix. Bahasa Merendah
Bahasa yang bertentangan dengan bahasa melampau. Contohnya, “Macam muka aku ni siapa yang hendak, Din …,” selar Rahmat. “Muka macam buah kelapa tua,” sambungnya lagi. Dalam bahasa ini, betapa merendah dirinya Rahmat berbahasa dengan rakannya Syaharudin.

x. Bahasa Naik
Bagi menyatakan sesuatu maksud, digunakan bahasa yang menyebutkan sesuatu daripada perkara yang paling rendah, kemudian beransur-ansur selangkah demi selangkah naik ke atas hingga ke puncaknya. Begitu yang diceritakan bagi menggambarkan persediaan dan suasana perkahwinan Norhayati dengan Cikgu Hamdan. ‘Tanpa persoalan panjang, tanpa persediaan hebat dan tanpa kenduri yang meriah, tiga bulan kemudian perkahwinan mereka dilangsungkan’.

xi. Bahasa Seruan atau Mengeluh
Bahasa yang digunakan ini juga untuk menyatakan kekecewaan yang dialami. Namun begitu, ianya tidak dapat diluahkan kesemua perasaan tersebut tetapi orang yang mendengarnya memahami dan mengerti betapa berat kekecewaan dan penderitaan yang ditanggung seseorang.
“Ah! Sudahlah bang. Anak kita ni dah terlanjur. Kalau dibunuh mati pun perkara tu tak boleh diubat,”. Demikian kata-kata Puan Fauziah yang menyatakan betapa kecewanya hatinya dengan apa yang terjadi terhadap anaknya. Begitu juga rintihan Norhayati, apabila Syaharudin bertekad tidak mahu pulang ke kampung itu. Lebih dari itu, dia menuduh dirinya curang. Menduakan suami. Berlegar ke sana ke mari dengan Cikgu Hamdan. Ah! Betapa pahit, betapa tersayat dan betapa pedih hatinya!

xii. Bahasa Berulang
Dalam ragam bahasa jenis ini, digunakan bahasa atau perkataan yang diulang-ulang. Ini untuk menguatkan atau mengukuhkan maksud atau tujuan sesuatu kata itu.
Contohnya ketidakpercayaan Pak Mahat terhadap kecurangan dan sikap buruk menantunya iaitu Norhayati. Penegasan Pak Mahat dalam hal ini jelas tergambar melalui kata-katanya, “Karut!” tengking Pak Mahat. “Semua itu karut! Fitnah!” herdiknya lagi sambil menepuk palang jendela. Perkataan ‘karut’ diulang bagi menyatakan maksud yang sememangnya ia tidak mempercayai langsung tuduhan anaknya Shaharudin terhadap isterinya, Norhayati.
Selain itu dalam kata-kata, “Aku malu, Syahar! Aku malu! Mengapa kau bawa perempuan itu ke kampung kita ini ha? Kau tau apa orang-orang kampung mengata-ngatakan kita ha?”. Begitu kata pertama yang berjaya yang diluahkan oleh Pak Mahat setelah sekian lama berusaha untuk meluahkannya semenjak Syaharudin pulang ke rumahnya. Tergambar betapa malunya Pak Mahat dan isterinya di atas kelakuan sumbang anaknya yang membawa pulang wanita lain ke rumah sedangkan isteri dan anaknya masih ada tanpa dijenguk dan dihiraukan.

xiii. Bahasa Bertimbal
Bagi menyatakan sesuatu, digunakan bahasa yang mempertentangkan sesuatu dua keadaan yang seolah-olah berlawanan. Walaupun dalam karya Rejab F.I ini tidak menggarapkan ragam bahasa ini, dapat diberi contoh lain iaitu,
Kendur berdenting-denting tegang berjela-jela
Dekat tak tercapai jauh tak berantara.

xiv. Bahasa Bukan
Bagi ragam bahasa ini digunakan perkataan ‘bukan’ untuk mendahului sesuatu kata lain. Dalam karya ini, ragam ini dapat dilihat dalam kata-kata, “Bukan begitu, Ham,” Cikgu Syarif membuat kesimpulan dan “Bukan dia nabi kita. Segala ajaran dan perbuatannya mesti kita ikut!” Di sini digunakan kata ‘bukan’ mendahului kata-kata lain yang menunjukkan ragam bahasa bukan.

xv. Bahasa Jenaka
Ragam bahasa 0jenis ini memakai atau menggunakan satu perkataan yang membawa dua makna. Contohnya “Muka macam buah kelapa tua” yang membawa maksud sebenar iatu muka atau wajah yang tidak setampan mana. Walaupun zahinya perkataan tersebut melambangkan buah kelapa yang sudah tua.

Begitu juga jenaka Cikgu Syarif, “Hm! Macam mana cikgu? Jambatan tu dah emak cikgu hulurkan. Hm! Apa nak ditunggu lagi, lalui sajalah cikgu!” Perkataan ‘jambatan’ membawa dua maksud yang berbeza. Namun begitu dalam hal ini ‘jambatan’ tersebut membawa makna kebenaran menganggotai kumpulan teater yang telah diberikan oleh Cik Hamidah kepada anaknya Norhayati.
Demikianlah huraian serta contoh-contoh berkaitan yang diberikan bagi membincangkan tajuk ragam bahasa ini.

3.0 KEPENTINGAN RAGAM BAHASA

Bahasa adalah milik manusia yang paling penting. Dengan bahasalah manusia dapat berhubung antara satu sama lain bagi menyampaikan sesuatu maksud, perasaan, pandangan, dan lain-lain lagi. Ternyata bahasa yang beragam-ragam ini pula mempunyai kepentingan yang sangat tinggi dalam kehidupan manusia seharian. Apalagi hidup dalam masyarakat yang bersifat homogen, dengan sikap-perangai yang berbeza-beza. Dan menjadi kewajipan serta tanggungjawab individu dalam masyarakat itulah menangani segala permasalahan bagi mewujudkan masyarakat yang harmoni.
Antara kepentingan ragam bahasa ialah :
i. Menyedarkan individu atau seseorang daripada bersikap negatif seperti ragam bahasa herdik atau menggiat ditujukan untuk yang pemalas,
ii. Mengeratkan kemesraan seperti ragam bahasa jenaka akan menimbulkan kemesraan di samping sesuatu tujuan sebenar dinyatakan secara bersahaja tanpa menimbulkan kemarahan atau kecil hati di pihak yang terkena.
iii. Menjaga air muka atau maruah orang lain walaupun berbahasa dalam keadaan yang marah. Namun begitu maksud sebenar akan difahami, contohnya ragam bahasa menyindir.
iv. Mewujudkan masyarakat yang bekerjasama, prihatin, bantu-membantu, tolong-menolong, ibarat pepatah ‘yang ringan sama dijinjing, yang berat sama dipikul.
Demikian antara kepentingan ragam bahasa yang memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia.

4.0 PENUTUP
Telah jelas ragam bahasa digunakan oleh masyarakat dalam kehidupan seharian. Sebagai manusia yang hidup dalam satu komuniti, saling berinteraksi, berhubungan, dan berkomunikasi, memang akan timbullah bahasa yang beragam-ragam. Walau bagaimanapun, telah jelas keragaman ini mewujudkan kelompok masyarakat yang saling mengambil berat antara satu lain, demi kebaikan bersama.

Kaunseling

DEFINISI KAUNSELING
Dalam definisi kaunseling ada dua sudut pandangan yang biasa disentuh iaitu aktiviti kaunseling; dan ‘product’ atau hasil kaunseling. Kedua-dua perkara ini saling berkait rapat dan satu diskripsi yang sempurna tentang kaunseling perlu mencakupi kedua-dua aspek ini. Berpandukan kepada kedua-dua aspek di atas kaunseling dapat didefinisikan sebagai:
Satu proses dan juga aktiviti pertolongan yang dilakukan oleh kaunselor yang menggunakan pengetahuan dan teknik psikologi untuk tujuan menolong individu berubah daripada keadaannya sekarang kepada satu keadaan yang dikehendakinya.
Arbu’ckle :
“Kita boleh mendefinisikan kaunseling atau psikoterapi sebagai perhubungan dan proses yang berkembang, di antara individu atau beberapa individu yang tidak berfungsi sepenuhnya atau tidak mencapai potensi-potensi dan menghadapi masalah-masalah yang dirasakan tidak dapat diselesaikan sendiri dan seorang profesional yang terlatih yang menyediakan perhubungan yang diperlukan di mana individu itu boleh mengubah cara-cara yang akan membawa kepada perkembangan potensi-potensi dan kebolehan untuk menyelesaikan masalah-masalahnya sendiri”.
Dinkmeyer (1970) :
“Orientasi perkembangan bererti kaunseling yang diberikan tidak berorientasikan masalah atau mengandaikan pelajar itu mempunyai masalah yang merunsingkan. Sebaliknya matlamat orientasi perkembangan ialah untuk menggalakkan pemahaman diri, sedar akan potensi yang ada pada diri masing-masing dan mengetahui cara menggunakan kebolehan diri sendiri.. Pendekatan kaunseling perkembangan ini adalah bertumpu kepada menolong individu mengetahui dan memahami serta menerima dirinya”.
Md. Shuaib Che Din :
“Satu proses dan juga aktiviti pertolongan yang dilakukan oleh kaunseling yang menggunakan pengetahuan dan teknik untuk tujuan menolong individu berubah daripada keadaannya sekarang kepada satu keadaan yang dikehendakinya”.
Kaunselor adalah seorang yang terlatih dengan pengetahuan dan kemahiran menolong. Pengetahuan kaunseling ialah kemahiran asas kaunseling yang berasaskan pada ‘human relation model’ seperti kemahiran tingkah laku melayan secara fizikal, lisan, hormat kepada orang serta kemahiran di dalam strategi menolong yang berasaskan teori. Kaunselor yang terlatih biasanya mengalami latihan praktikum di bawah penyeliaan seorang kaunselor yang mahir.
Kaunselor yang berkesan akan menggunakan pengajaran, tunjuk ajar arahan, latihan dan sebagainya untuk membantu kliennya.
Kaunseling diguna oleh individu dalam protesion ini untuk menggambarkan satu jenis proses menolong yang khas. Ianya merupakan satu perhubungan yang berasaskan kepercayaan dan fokusnya kepada peristiwa dalam kehidupan. Bagi seorang pelajar umpamanya, ianya melibatkan soal akademik, peribadi, sosial dan perkembangan kerjaya.
Kaunseling mempunyai asas falsafah dan teori yang boleh memberi gagasan terhadap pembelajaran, perlakuan manusia dan perhubungan interpersonal.

CIRI-CIRI KAUNSELING
Patterson (dalam Shertzer dan Stone, 1974) mengemukakan beberapa perkara yang
dianggap bukan kaunseling. Katanya kaunseling :
1. bukan pemberian maklumat, walaupun maklumat mungkin diberi dalam kaunseling.
2. bukan memberi nasihat, cadangan dan perakuan (nasihat mesti dibiar
sebagai nasihat dan tidak disamarkan sebagai kaunseling).
3. bukan mempengaruhi sikap, kepercayaan atau tingkah laku dengan cara
memujuk, mengarah, atau meyakinkan orang lain, walaupun dengan cara tidak
langsung, halus atau bersahaja.
4. bukan mempengaruhi tingkah laku dengan mengawas, memberi amaran,
mengancam atau memaksa tanpa menggunakan kekuatan fizikal atau paksaan
(kaunseling bukan untuk mendisiplinkan orang).
5. bukan memilih dan menugaskan individu pada berbagai-bagai pekerjaanatau aktiviti
(kaunseling bukan melakukan kerja personalia walaupun kedua-dua bidang ini
menggunakan ujian-ujian yang sama)
6. bukanlah temubual, walaupun temubual terlibat (tetapi temubual tidaklah
sama dengan kaunseling)

Kata Patterson lagi sifat kaunselinng terdapat pada hal-hal di bawah:
1. Kaunseling berminat pada mempengaruhi perubahan tingkah laku secara sukarela
oleh klien.
2. Matlamat kaunseling ialah untuk menyediakan kondisi yang melancarkan perubahan
secara sukarela (klien mahukan perubahan, dan mencar pertolongan kaunselor
untuk tujuan tersebut).
3. Sama seperti hubungan-hubungan yang lain, ada had-had yang dikenakan ke atas
klien (had-had ini ditentukan oleh matlamat / matlamat-matlamat kaunseling yang
dipengaruhi pula oleh nilai dan falsafah kaunselor).
4. Kondisi-kondisi yang melancarkan perubahan tingkah laku didapati dalam
temubual (bukan keseluruhan kaunseling adalah temubual, tetapi semua
kaunseling melibatkan temubual).
5. Aktiviti mendengar berlaku pada semua jenis kaunseling tetapi bukan
semua kaunseling hanya mendengar sahaja.
6. Kaunselor memahami kliennya (perbezaan antara pemahaman kaunselor
dengan pemahaman orang lain adalah bersifat kualitatif dan bukan
kuantitatif dan mendengar sahaja tidak membezakan kaunseling daripad situasi lain).
7. Kaunseling dilakukan secara ‘private’dan perbincangan kaunseling dibuat
secara rahsia.

PRINSIP-PRINSIP KAUNSELING
Daripada penjelasan, definisi dan makna kaunseling, aspek bukan kaunseling dan kaunseling di atas tadi dapat dibuat kesimpulan tentang prinsip-prinsip falsafah kaunseling. Diperturunkan beberapa prinsip yang dikemukakan oleh Scmidt dan McCowan, (1962) yang tidak jauh daripada apa yang telah dibincangkan.

1. Kaunseling mengiktiraf digniti, harga diri individu dan haknya untuk
mendapat pertolongan pada masa yang diperlukan.
2. Kaunseling mementingkan individu dan prihatin pada perkembangan
optimanya, kesedaran tentang potensi individu dan juga keperluan masyarakat.
3. Kaunseling mempunyai tanggungjawab pada masyarakat dan individu.
4. Kaunseling mesti menghormati hak individu sama ada menerima atau
menolak perkhidmatan yang ditawarkan padanya.
5. Kaunseling adalah sesuatu yang berterusan, mempunyai urutan dan satu
proses pendidikan. Lantaran itu, kaunseling adalah sebahagian daripada
pendidikan dan bukan hanya hal sampingan.
6. Kaunseling berkisar di sekitar kerjasama dan bukan paksaan. Tidak ada
ancaman dan hukuman dalam kaunseling.
7. Kaunseling membawa implikasi bahawa pertolongan yang diberi kepada
individu bertujuan untuk menghasilkan keputusan yang baik; untuk
perancangan; interpretasi, dan penyesuaian dalam situasi yang kritikal di
dalam kehidupannya.
8. Kaunseling memerlukaan kajian yang menyeluruh tentang individu dalam
latar budayanya dengan menggunakan teknik saintifik. Pemahaman
tentang individu mesti mendahului pertolongan yang hendak diberikan.
9. Kaunseling sepatutnya ditugaskan pada mereka yang mempunyai
kecondongan semulajadi untuk menjalankan tugas ini serta mempunyai
latihan dan pengalaman yang cukup.
10. Fokus kaunseling adalah menolong individu menyedari dan menggunakan
potensinya sebaik mungkin dan bukan hanya untuk menyelesaikan
masalahnya secara terpisah dari keseluruhan dirinya dan juga persekitaran.
11. Kaunseling mesti sentiasa dinilai keberkesanannya secara saintifik.

CIRI-CIRI KAUNSELOR
Di sini disenaraikan ciri-ciri seorang kaunselor yang menepati diri saya yang ingin menjadi seorang kaunselor di sekolah menengah. Satu hakikat yang harus diterima ialah personaliti atau sahsiah seorang kaunselor adalah faktor yang dapat menolong untuk menjayakan perkhidmatan ini. Holden (1969) dan Hamblin (1980) menyatakan, tidak semua guru boleh menjadi guru kaunseling yang berjaya. Personaliti guru akan mempengaruhi hubungan yang terbina antara guru dan pelajar.
Hamblin (1980) mencadangkan tiga faktor penting yang berhubung dengan personaliti guru.

1. Kebolehan merasai dengan tepat (accurate empathy) apa yang dirasai oleh
mereka yang ingin ditolong. Kesilapan dalam perkara ini akan
merumitkan kerja guru bimbingan dan mungkin mendatangkan bahaya di
luar dugaan. Terdapat guru-guru yang menekankan perasaannya sendiri
kepada pelajar dan ini menyebabkan berlakunya kekeliruan.

2. Guru juga perlu berkebolehan berlaku jujur dalam hubungannya dengan
pelajar. Pelajar tersebut mestilah diterima sebagai seorang manusia yang
bermaruah dan mempunyai harga diri.

3. Mewujudkan rasa mesra serta suasana tenteram pada masa pelajar
menghubungi juga perlu bagi seorang guru. Kebolehan begini menimbul-
kan rasa selamat dan rasa percaya pada para pelajar, bahawa guru itu dapat
menolong mereka.

Holden (1969) serta Hamblin (1980) sememangnya yakin setiap guru memang layak menjalankan peranannya ini. Holden (1971) percaya guru mempunyai beberapa
kelebihan dalam memainkan peranannya kerana mereka mempunyai pengetahuan yang kemaskini tentang pelajar-pelajar. Ini boleh menolong mereka untuk membentuk hubungan yang rapat antara pelajar dan gurunya. Pelajar berasa lebih senang berbincang dengan guru yang mereka kenal berbanding dengan orang lain.
Mengikut Combs dan rakan-rakan (1969), kaunselor yang berkesan dan berjaya menganggap seseorang individu sebagai boleh diharap atau dipercayai, bersahabat ramai dan bersikap wajar.
Nur Aini (1989) menjelaskan pada asasnya seseorang kaunselor yang berkesan adalah seorang manusia yang berkesan… yang peka kepada ciri-ciri kemanusiaan yang berbagai-bagai ragam serta menyedari sifat-sifat kemanusiaannya sendiri, tabah, berani dan bersedia menghadapi sebarang kemungkinan.
Laporan National Vocational Guidance Association (1949) menyatakan sepatutnya kaunselor mestilah sentiasa memberi pendapat yang benar dalam khidmatnya supaya dia mudah diterima sebagai seorang yang jujur dan ikhlas.
Menurut Carl Rogers, ciri-ciri kaunselor ialah :
1. Penerimaan dan kemesraan
2. Tidak menghukum
3. Ketulenan
4. Ketepatan
Penerimaan dan Kemesraan
Sebagai seorang kaunselor, dia mestilah memberitahu kliennya tentang sikapnya yang sentiasa menerima klien dengan kerelaan dan menghormatinya. Penerimaannya digambarkan dengan air muka dan tutur kata yang baik semasa menyambut dan melayani
percakapan klien
Tidak Menghukum
Seseorang kaunselor tidak boleh menghukum atau menilai sesuatu terhadap kelakuan klien. Sekiranya kaunselor ingin mendapatkan maklumat tentang klien, dia hendaklah mengelakkan daripada menetap atau menilai sesuatu ke atas klien. Kata-kata yang tidak menyenangkan akan menyebabkan klien memandang serong kepada kaunselor.
Ketulenan
Semasa sesi kaunseling, kaunselor hendaklah tenang, sabar dan berterus terang kepada kliennya. Kaunselor yang tidak jujur dan berpura-pura menyebabkan klien berasa tidak selesa dan sukar mempercayai pendapat kaunselor. Sebaliknya, kaunselor yang sentiasa mengambil berat tentang klien, memudahkan lagi interaksi dan perkongsian pendapat di antara kaunselor dengan klien.
Ketepatan
Kaunselor seharusnya sentiasa menggunakan bahasa yang ringkas, mudah dan tepat semasa sesi kaunseling diadakan. Jika perlu kaunselor perlu mencelah dan membantu klien menyatakan apa yang tersembunyi di hati klien. Kadangkala sesetengah perkataan yang klien sampaikan susah difahami oleh kaunselor. Oleh itu seseorang kaunselor perlu peka dan cepat memahami penggunaan bahasa atau perkataan dalam konteks sesi perbincangan yang hendak disampaikan oleh seseorang klien.
Berdasarkan perbincangan-perbincangan tersebut, bolehlah dirumuskan bahawa ciri-ciri penting seseorang kaunselor adalah seperti berikut :
1. Seseorang kaunselor yang berkualiti ialah yang pernah menjalani
praktikum.
2. Mempunyai ilmu dan kepakaran yang tertentu dalam bidang kaunseling.
3. Mempunyai pengetahuan dalam bidang perkembangan psikologi kanak-
kanak dan remaja.
4. Mempunyai keyakinan diri dan percaya kepada kebolehan orang lain.
5. Mempunyai kredibiliti tinggi, iaitu boleh dipercayai.
6. Mampu mengurangkan risiko semasa prosese kaunseling.
7. Mempunyai sifat terbuka dalam menghadapi sesuatu isu.
8. Sanggup melibatkan diri dalam masalah klien.
9. Amanah, jujur dan ikhlas.
10. Bersikap terus-terang, tegas dan tidak menyembunyikan sesuatu.
11. Tidak mempunyai syak wasangka terhadap klien.
12. Mempunyai sifat sejati seperti ketepatan dalam pernyataan dan dalam
tingkah lakunya.
13. Bijak melayani klien dan boleh mewujudkan suasana mesra, iaitu dengan
menggunakan perkataan yang lembut dan menarik hati.
14. Berprihatin, bersimpati dan peka kepada perasaan kliennya.
15. Persepsi kaunselor terhadap hubungan dengan klien mestilah positif.
16. Mempunyai beberapa kemahiran seperti mendengar, memimpin, mentafsir,
merumus dan menyampaikan maklumat.
17. Kebolehan berfikir lebih jauh daripada klien.
18. Kebolehan menentukan objektif jangka pendek dalam sesuatu perkara dan
berupaya menjalankan sesuatu tumuduga.
19. Kebolehan menyampaikan idea dan menganalisis perasaan klien.
20. Sabar dan tidak jemu dengan sesi kaunseling.
21. Peramah dan tidak sombong.
22. Mengutamakan kebajikan klien.
23. Mempunyai fikiran yang waras, sihat dan emosi yang stabil.

CIRI-CIRI PENTING BAGI KAUNSELOR MUSLIM
Di negara-negara Barat, kebanyakan pembimbing atau kaunselor terdiri daripada mereka yang bukan Muslim. Oleh itu mungkin teknik mereka melayani dan menghayati perasaan klien tidak sama dengan kehendak orang Muslim. Di Malaysia, walaupun kita banyak mengkaji dan menerap nilai-nilai Barat dalam perkhidmatan bimbingan dan kaunseling, namun bagi kaunselor-kaunselor Muslim perlu juga memahami unsur-unsur, nilai, penyelesaian dan bimbingan menurut pendekatan pendidikan Islam dalam bidang tersebut. Dengan cara ini, mungkin setiap klien yang mengadu masalah kepada kaunselor Muslim akan berasa lega, bebas, tertarik dan kagum. Mengikut Abdullah Nasih Ulwan (1988), ciri-ciri penting yang perlu ada pada pembimbing Muslim ialah :
1. Ikhlas
2. Takwa
3. Berilmu pengetahuan
4. Bersopan-santun atau beradab
5. Mempunyai perasaan bertanggungjawab

Ikhlas
Dalam Islam, setiap pekerjaan yang dilakukan hendaklah dengan ikhlas dan tidak semata-mata mengharapkan ganjaran yang tinggi. Ikhlas merupakan asas keimanan dan dituntut oleh Islam. Allah s.w.t. tidak menerima amal dan perbuatan seseorang melainkan dengan hati yang jujur dan ikhlas.

Takwa
Takwa maksudnya takut melakukan sesuatu perbuatan yang melanggar peraturan yang ditetapkan oleh undang-undang Islam dan peraturan yang diterima oleh sebahagian besar masyarakat. Oleh itu sifat takwa merupakan sifat yang utama, diperlukan dan wajib ada pada seseorang pembimbing Muslim.

Berilmu Pengetahuan
Semua kaunselor, baik yang Muslim atau yang bukan Muslim mesti mempunyai ilmu yang tinggi dalam bidang yang diceburi. Dengan ilmu yang tinggi dan berkualiti, mudahlah mereka membentuk akhlak diri mereka dan seterusnya menjadi model kepada klien.

Bersopan-santun Atau Beradab
Bersopan-santun atau beradab merupakan sifat asasi yang membantu kaunselor dalam memahami bimbingan di samping bertanggungjawab menasihati dan membaiki tingkah laku klien. Kaunselor juga perlu menahan perasaan marah, memaafkan sekiranya klien membuat kesalahan semasa sesi perbincangan. Dalam hubungan ini, Nabi Muhammad s.a.w. telah bersabda (berkata) yang maksudnya ;
“Hendaklah kamu permudahkan dan gembirakan mereka dan jangan
menyusahkan sehingga mereka lari dari kamu”.
Mempunyai Perasaan bertanggungjawab
Ciri ini merupakan perkara yang wajib bagi pembimbing yang gigih. Perasaan bertanggungjawab penting dalam membimbing ke arah keimanan dan jiwa yang mantap.

PERMASALAHAN : KUMPULAN SASARAN
Masalah-masalah individu yang berkaitan dengan masalah remaja seperti masalah fizikal dan psikologikal telah mendorong pelajar-pelajar mencari bantuan kaunseling. Perkhidmatan kaunseling membantu pelajar beralih dari zaman kanak-kanak kepada status remaja atau dewasa muda dengan menyediakan peluang meneroka berbagai-bagai jenis pilihan yang berkaitan dengan pelajaran, personal, kerjaya, sikap dan nilai. Klien digalakkan membuat keputusan dengan penuh tanggungjawab, mencuba berbagai-bagai aktiviti berkaitan dengan potensi, minat dan meneliti akibat sebarang pilihan yang dibuat.
Kajian menunjukkan ada pelajar-pelajar yang telai mencapai satu tahap pertumbuhan di mana mereka hanya perlukan bantuan yang minima kerana mereka telah mempunyai pengetahuan tentang diri dan kerjaya. Apa yang diperlukan ialah sedikit penjelasan. Ada pula yang tidak mampu menterjemahkan pengetahuan tentang diri, pilihan kerjaya dan kemahiran membuat keputusan.
Pelajar yang menjadi kumpulan sasaran ini boleh dikategorikan kepada empat kategori besar yang berasaskan kepada tahap pengetahuan diri dan kerjaya yang disebut di samping sikap terhadap masa depan mereka sendiri.
1. Kumpulan yang ada daya inisiatif
Pelajar-pelajar dalam kumpulan ini telah mempunyai hala tuju dan tahu
tentang diri, mempunyai nilai diri secara realistik berhubung dengan sistem
sosial dan pilihan kerjaya. Kaunselor hanya mengukuhkannya sahaja dan
membentuk tingkah laku yang memuaskan.
2. Kumpulan pencari maklumat
Kumpulan ini mempunyai sedikit pengetahuan tentang diri mereka dan
tahu minat mereka tetapi tidak yakin. Kaunselor dapat membantu pelajar
dengan melihat unsur-unsur dalam dirinya seperti minat, kekuatan diri,
bagaimana berinteraksi dan membimbingnya membuat pilihan.
3. Kumpulan yang keliru
Kumpulan pelajar ini ialah mereka yang kelihatan keliru dalam banyak hal
kehidupan mereka. Mereka perlu dibimbing melihat kesan tindakan dan
meneliti proses bagaimana ia membuat keputusan atau melihat apa yang
mendorong dia melakukan tindakan tersebut. Keperluan kaunseling bagi
kumpulan ini adalah tinggi. Mereka perlu belajar menangani masalah
persekitaran dengan lebih berkesan dengan mendapatkan maklumat-
maklumat tertentu selain daripada berupaya mengubah unsur-unsur dalam
persekitaran tersebut. Kaunselor perlu berusaha membantu pelajar
menjelaskan masalah, menentukan matlamat, menyediakan prosedur yang
dapat meningkatkan produktiviti individu.
4. Kumpulan yang tercicir
Pelajar-pelajar kumpulan disifatkan sebagai telah hilang minat dalam
aktiviti-aktiviti yang berkaitan dengan diri mereka dan masyarakat.
Kumpulan ini memerlukan rawatan yang lebih serius, kerana ianya
melibatkan perubahan struktur personaliti.
Simptom daripada keadaan ini lahir masalah-masalah sosial seperti jenayah remaja, salah laku penagihan dadah, moral dan lain-lainnya, yang serius dan menjadi punca kebimbangan keluarga dan masyarakat.

MASALAH : PELAJAR SEKOLAH MENENGAH
1. Salah laku
Mengikut data 1993 yang dianalisis oleh Unit Disiplin Bahagian Sekolah Kementerian Pendidikan Malaysia, sebahagian besar salah laku yang dilakukan oleh para pelajar adalah salah laku ringan, iaitu 0.67 peratus terlibat dalam ponteng sekolah, diikuti dengan salah laku ponteng kelas (0.45 %), lewat datang ke sekolah (0.38 %), berpakaian sekolah tidak mengikut peraturan (0.20 %), menganggu pelajaran (0.15 %) dan berambut panjang (0.13 %).
Kajian yang dijalankan oleh T. Subahan Mohd. Meerah et.al (1993) ke atas 20 orang guru pelatih yang pernah membuat latihan mengajar bagi sesi persekolahan 1987/1988 di beberapa sekolah menengah, menunjukkan bukti yang sama. Antara jenis salah laku yang dilakukan ialah :
i. Ponteng
Dalam kategori ini, salah laku ponteng sekolah ialah 50 peratus, ponteng
kelas 40 peratus dan kerap keluar kelas ialah 25 peratus.
ii. Tidak patuh arahan
Kategori ini mencakupi salah laku seperti tidak memberi perhatian kepada
pelajaran sebanyak 30 peratus, tidak membuat tugasan sebanyak 25
peratus, tidak membawa buku sebanyak 10 peratus, tidur dalam kelas
sebanyak 10 peratus dan tidak boleh mengikuti pelajaran yang diajar
sebanyak 5 peratus.
iii. Ganggu pelajaran
Antara jenisnya ialah buat bising (30 peratus), merosakkan alat bantu
mengajar 920 peratus), mengganggu kawan semasa proses pengajaran
guru (15 peratus) dan mempertikaikan pengajaran guru (10 peratus).
iv. Tidak sopan
Dalam kategori ini, berpakaian tidak kemas (25 peratus), bercakap kasar
dengan guru (25 peratus) dan mencarut (5 peratus).
Apa yang mendukacitakan ialah jumlah pelajar Melayu yang terlibat dalam masalah salah laku adalah tinggi. Di peringkat sekolah menengah, terdapat kira-kira 8.68 peratus daripada 1499188 yang terlibat dalam salah laku dan 5.48 peratus terdiri daripada pelajar Melayu.
2. Penagihan dadah

Penagihan Dadah Di Kalangan Pelajar
Data rasmi menunjukkan penglibatan golongan Melayu dalam penyalahgunaan
dadah dan penagihan, setakat yang dapat direkodkan dan diuruskan oleh Pasukan Petugas
Anti Dadah (PPAD). Golongan Melayu merupakan kelompok etnik yang terbesar terlibat
dalam masalah ini.
3. Jenayah juvana
Terdapat tiga istilah yaang berbeza mengikut istilah perundangan iaitu ‘juvana’, ‘orang muda’ dan ‘remaja’. Bagaimanapun dapat disimpulkan bahawa ianya bermaksud “seseorang yang telah mencapai umur 14 tahun dan mengiktirafkannya mengetahui akibat perlakuan jenayah (criminal responsibility) dan di bawah umur 18 tahun.
Terdapat pelbagai masalah yang akan ditemui oleh seorang kaunselor dalam kategori permasalahan ini. Perangkaan yang dibentangkan meliputi kesalahan-kesalahan jenayah kekerasan, jenayah harta-benda, jenayah perdagangan, judi dan lain-lain.

Perangkaan Tangkapan Juvana Yang Terlibat Dengan Kes Jenayah
Bagi Tahun 1985 Hingga !994 (Nov)

Kesalahan/Tahun 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994
Bunuh 7 6 22 5 23 6 7 17 12 10
Samun 127 174 88 86 74 51 22 60 61 51
Rogol 20 17 22 21 36 27 24 36 53 55
Cederakan orang 62 54 84 123 106 83 87 116 111 101
Peras ugut 39 40 55 27 121 24 33 231 32 37
Bersenjata 70 16 425 32 19 6 5 8 15 16
Pecah rumah/curi 402 478 332 334 614 386 317 477 546 409
Curi kenderaan 93 134 88 93 179 375 270 240 345 293
Kecurian (lain) 856 980 720 636 537 205 132 514 480 571
Judi 18 25 37 81 27 44 23 28 29 27
Dadah 286 296 407 164 217 163 135 97 139 115
Rasuah 2 15 3 11 13 25 5 5 6 3
Lain-lain 221 282 322 272 423 375 298 305 480 348
Jumlah 2203 2517 2605 1885 2389 1770 1358 2134 2309 2036

Kategori Kes Mengikut Umur
1990 Hingga 1994

Tahun Peringkat Umur
15 - 18 13 - 15 10 - 12 Jumlah
1990 1374 899 133 133
1991 1066 727 99 99
1992 1816 1105 243 243
1993 2188 1214 200 200
1994 1942 914 159 159
Jumlah 8386 4859 834 14079
Peratus (59.56%) (34.51%) (5.92%) (100%)

Dari data yang melibatkan umur didapati penglibatan remaja dalam jenayah melibatkan peringkat umur 15 hingga 18 tahun adalah tinggi. Sudah pasti ketika ini mereka masih berada di bangku sekolah secara keseluruhannya dan menjadi tugas seorang kaunselor untuk membantunya sedaya mungkin.

BAGAIMANA SEORANG KAUNSELOR DAPAT MEMBANTU
Guru pembimbing merupakan satu profesion yang tidak boleh lari daripada memahami perasaan dan tingkah laku pelajar serta mengambil tindakan untuk menolong mengatasi masalah yang dihadapi. Oleh itu seorang kaunselor perlu memahami beberapa teori untuk membantu kliennya. Berdasarkan pendapat-pendapat itu, Belkin, C.S (1980, hal. 38) telah merumuskan :
Most theories of caunseling were derived from the experiences of a practitioner.
Freud, Rogers, Ellis, Wolpe, each developed a comprehensive theory of
personality and caunseling from the observed results of interactions in the
clinical setting, than reflecting on a large body of evidence with the goal of trying to find a common concept or element.
Dengan kata lain, kebanyakan teori yang dikemukakan itu adalah berdasarkan pengalaman dan latihan oleh beberapa orang pakar kaunseling. Berikut ialah beberapa teori yang dikemukakan oleh mereka dalam proses menolong klien.
1. Teori Terapi Elektik
2. Teori Pemusatan Klien
3. Pendekatan Gestalt
4. Teori Psikoanalitik
5. Terapi Tingkah Laku

Teroris Terbesar AS - Israel Sendiri

Oleh: Abdurrahman Mas'ud dan M Nur Kholis

Catatan 2001 - 2002 Luar Negeri

TEMA "Masa depan hubungan Barat dan Islam'' telah lama menjadi ajang diskusi panjang akademisi. Akankah tragedi WTC, yang diikuti aksi semena-mena AS terhadap Afghanistan, menjadi tengara suram dan bahkan rusaknya "keharmonisan'' hubungan Barat dengan Islam, ataukah ada implikasi lain yang lebih serius.

Poin utama yang hendak dianalisis di sini adalah hubungan Barat dengan Islam sebagai bagian dari orientalisme atau kajian tentang ketimuran, yang sudah berkembang beberapa abad di negara-negara Eropa dan juga AS.

Kajian Islam di Barat pada mulanya sarat dengan kepentingan missionaris dan kolonialisme, sekaligus sebagai ajang pencarian "kelemahan'' Timur dan Islam serta pengukuhan hegemoni Barat atas dunia Timur dan Islam.

Model kajian seperti ini - seperti dikemukakan Edward Said dalam bukunya berjudul "Orientalism'' - adalah gerakan kolonial dan missionar yang dibungkus keilmuan.

Disiplin ilmu antropologi misalnya, yang baru tumbuh pada abad ke-19, pada mulanya alat penjajah untuk memperkuat cengkeraman. Dengan etnografi, penjajah bisa memahami kelemahan pihak terjajah.

Dengan demikian, untuk memperlama masa penjajahan, mereka tidak perlu mengerahkan kontrol militer berlebihan, cukup dengan devide et empera, agar kekuatan terjajah menjadi tumpul, saling bermusuhan sendiri.

Yang menarik, politik adu domba ini ternyata masih bisa ditemukan sekarang dalam politik kontemporer Indonesia. Dengan demikian, secara kronologis sesungguhnya antropologi lahir dari rahim penjajah. Maka tidak berlebihan jika kajian keislaman di Barat, yang memakai pendekatan antropologi, pada dasarnya bisa disebut sebagai "cucu penjajah''.

Yang menarik adalah fenomena akademis menunjukkan bahwa hubungan Barat dengan Islam pada empat dasa warsa terakhir mengalami kemajuan cukup signifikan. Pergeseran pola hubungan ini lebih banyak dimotori oleh para ilmuwan kampus, baik dari dunia Barat - AS dan Eropa - maupun dari kalangan muslim.

Nasib kajian Islam di Barat, sebagai bagian dari kajian ketimuran atau orientalisme, mulai memasuki babak baru. Yakni, era di mana para pengkaji Islam di Barat berusaha mengeliminir aspek-aspek "sensitif'' yang kontraproduktif, seperti pernah terjadi dalam wacana orientalisme pada mulanya.

Perubahan dan pergeseran arah kajian keislaman di Barat setidaknya ditengarai dengan adanya penghargaan dan penggalian tradisi-tradisi tersebut. Pertimbangan ini, salah satunya disebabkan oleh semakin besarnya populasi muslim di Eropa dan Barat secara keseluruhan.

Kajian orientalistis tidak lagi berkutat pada mencari kekurangan Timur dan mengedepankan kelebihan Barat, melainkan memposisikan Barat dan Timur (khususnya Islam) sebagai patner dialog yang saling melengkapi.

Akademisi Berperan Besar

Catatan penting tentang pergeseran orientasi kajian ketimuran dan keislaman adalah halaqah ahli orientalistis dan kajian Islam sejagad yang diprakarsai oleh Masyarakat Jerman Penggelut Orientalistis (Deutsche Morgendlandische Gesellschaft) yang digelar akhir Maret lalu di Bamberg, Jerman bagian selatan.

Forum itu akan ditindaklanjuti dengan Kongres Internasional Pertama tentang Studi Timur Tengah (First World Conference on Middle Eastern Studies) yang akan digelar di Mainz, Jerman, September tahun depan.

Dalam halaqah Bamberg tersebut terlihat, para pakar orientalistis dari segala bidang, termasuk para ahli Islam dari Barat, bahu-membahu untuk memperbaiki posisinya dan menempatkan diri sebagai ilmuwan yang memiliki tanggung jawab sosial, yakni turut mengkampanyekan dan mewujudkan kajian-kajian Islam yang objektif, sepi dari agenda-agenda terselubung.

Dalam forum tersebut muncul kesepakatan bahwa mengedepankan sikap saling menghormati dan menghargai budaya bangsa lain, dalam hal ini budaya Timur, Islam dan Barat, adalah sebuah keniscayaan untuk bisa menciptakan kehidupan harmonis, damai dalam perbedaan dan keragaman, serta tidak lagi saling mengedepankan ego bahwa Barat lebih unggul ketimbang Timur, Barat lebih tinggi ketimbang Islam, atau sebaliknya, tidak seperti pada masa-masa sebelumnya.

Ini bukan berarti semua ilmuwan Barat dewasa ini suci sama sekali dari dosa-dosa bias representasi dunia Islam. Tidak kurang ilmuwan dan kolomnis pentolan Barat semacam Charles Krauthammer, William Safire, George Will, Norman Podhoretz, dan AM Rosenthal, selalu menggambarkan kebencian dan permusuhan terhadap dunia Islam, khususnya Islam Timur Tengah.

Tulisan mereka bukan hanya mempengaruhi pola pikir orang awam, tetapi juga kaum elite Barat, karena mereka menulis di media masa bergengsi internasional semacam Washington Post, apalagi di bagian editorial.

Terlepas dari pukulan telak yang menggerogoti kesombongan AS sebagai negeri adi daya, tragedi WTC dan Pentagon dari pertimbangan budaya dan dasar agama mana pun tidak bisa dibenarkan.

Dampak langsung yang terlihat adalah semakin mendidihnya kebencian dan sentimen masyarakat Barat terhadap umat muslim, gara-gara tuduhan langsung Presiden Bush bahwa Usamah bin Ladin berada di balik serangan tersebut.

Di Eropa, dua pihak terlibat dalam dua kesibukan berbeda: masyarakat nonmuslim awam beramai-ramai menghujat kalangan muslim dan para aktivisnya, sementara para aktivis muslim sibuk menggalang dukungan dan mengkampanyekan bahwa Islam sama sekali tidak identik dengan terorisme.

Dalam situasi seperti inilah peran akademisi yang menjadi narasumber media, baik cetak maupun elektronik, sangat besar dalam upaya meluruskan dan mengajak masyarakat kebanyakan untuk "berkepala dingin''.

Akademisi di Jerman segera mengumpulkan ratusan tanda tangan untuk mengutuk terorisme dan menjauhkan prasangka buruk terhadap Islam dan komunitas muslim, dan merekomendasi pemerintah agar senantiasa berpikir jernih, tidak larut dalam suasana perang, seperti yang digemborkan Pemerintah AS.

Bahkan ada acara televisi di Jerman yang bertajuk heisse Rache oder kuhle Kopf (balas dendam membabi buta atau berpikir jernih), menampilkan banyak pakar orientalistis dan pengkaji Islam.

Mereka benar-benar mengajak masyarakat luas untuk membedakan agama dengan terorisme, dan menyimpulkan bahwa Islam sama sekali tidak mendukung dan tidak membenarkan teror seperti di WTC di AS. Sikap yang harus diambil adalah mengutuk tindakan kekerasan, dan bersikap hati-hati terhadap semua bentuk terorisme.

Kesimpulan bahwa Islam sama sekali tidak membenarkan terorisme ini, keluar dari akademisi Barat nonmuslim, dengan pertimbangan kedalaman pengetahuan yang mereka miliki selama mengkaji Islam dalam paradigma akademis mereka.

Dalam istilah dan pesan mereka, wenn jemand Attentater oder Terrorismus finden mochte, dann findet man nie im Islam (jika orang mencari pembunuh atau pelaku teror, maka orang tersebut tidak akan menemukannya dalam Islam).

Pernyataan itu menjadi penting, mengingat opini publik sangat dipengaruhi oleh suara media yang ditopang oleh para ahli sebagai narasumbernya. Di sinilah peran akademisi untuk membangun opini positif tentang Islam, sebagai salah satu konsekuensi keinginan mereka untuk mengubah paradigma orientalisme dari masa lalunya yang kelabu menjadi sarana kajian yang ingin membangun dialog antar budaya dan peradaban dinamis.

Ilmuwan AS pun mengalami pengalaman serupa. Mark Woodward, misalnya, antropolog Islam Jawa di Arizona State University, mesin fax dan teleponnya tidak pernah berhenti selama 24 jam untuk melayani pertanyaan-pertanyaan tentang Islam, terorisme yang datang dari publik AS.

Selain itu, ilmuwan yang baru-baru ini membatalkan perjalanannya ke Indonesia karena situasi dalam negeri yang tidak mendukung itu, "dipaksa'' untuk menulis paper khusus tentang ideologi Usamah bin Ladin.

Kebijakan Politik AS

Amerika Serikat sebagai "kiblat'' demokrasi dan kebebasan, sebenarnya turut andil dalam membangun dialog antarbudaya tersebut, meski kebijakan luar negerinya oleh banyak pengamat dikatakan selalu mencampuri urusan rumah tangga negara lain, terutama yang banyak berpenduduk muslim.

Meski kebijakan itu salah satunya memang didorong oleh "nasihat'' Huntington dalam "Konflik Peradaban'' (Clash of Civilization), kebanyakan akademisi dan warga Amerika sendiri mengkritik kebijakan luar negeri pemerintahnya.

Salah satu contoh adalah lontaran Noam Chomsky dalam Pirates and Emperors, yang menggambarkan standar ganda AS dalam memperlakukan terorisme internasional.

Sesungguhnya pencipta teroris terbesar adalah Israel dan Amerika itu sendiri, saat memberi dukungan terhadap Israel tanpa syarat.

Pelanggaran hak-hak asasi manusia Israel terhadap kaum Palestina serta pendudukannya yang tidak legal selama 25 tahun, telah memberi stimulus lahirnya kelompok keras Hamas, Hizbullah, serta militan-militan lain.

Melalui jutaan penduduk Palestina yang kalah dalam berbagai perang dan intifada, Israel telah melumpuhkan harapan masyarakat Palestina untuk menentukan nasib sendiri. Berbagai peristiwa yang menyakitkan bangsa Arab dan umat Islam ini mengalami bias geografis, diskriminatif, dan terjerat dalam eufimisme modern.

Amerika selalu melindungi nilai-nilai kemanusiaan karena paham humanismenya, tapi tatkala politik luar negeri yang diterapkan, corak humanisme itu menjadi hilang. Nyawa demikian mahalnya di dalam negeri, termasuk nyawa binatang, hingga tumbuh subur organisasi-organisasi penyayang binatang, dan pencinta alam.

Tetapi lihat saja apa yang dilakukan Amerika terhadap Irak dan embargonya, dengan dalih membungkam Presiden Saddam Hussein. Yang terjadi adalah, hampir 1,5 juta penduduk Irak (sesuai dengan laporan PBB) meninggal karena masalah kesehatan seperti kurang nutrisi. Ironisnya, Saddam makin kuat dari hari ke hari.

Para akademisi di Barat, baik Eropa dan AS, mayoritas sepakat bahwa Islam sebagai inspirator sebuah peradaban merupakan kenyataan historis-sosiologis, bahkan telah nyata-nyata di depan mata, mengingat populasi muslim di Eropa dan AS semakin lama semakin meningkat.

Saat ini di AS, Islam diakui sebagai agama tercepat pertumbuhan dan perkembangannya. Kajian akademis tentang hubungan Barat dengan Islam sejatinya dapat diharapkan sebagai media dan ikhtiar membangun kebersamaan, mengingat semakin tidak pasnya pembagian geokultural dan politik - Barat versus Islam - akhir-akhir ini.

Ketika para akademisi di Barat masih berkeyakinan bahwa dialog antarperadaban dan antarpengikut agama merupakan sarana mewujudkan kebersamaan dan keharmonisan sebagai salah satu ciri masyarakat madani, di mana ketidakadilan, ketertindasan, otoritarianisme, dan lain sebagainya, merupakan musuh bersama seluruh penduduk bumi, terlepas dari mana dan agama apa yang dipeluk, maka tragedi kemanusiaan WTC dan Afghanistan bisa dikatakan belum "mengancam'' pola hubungan Barat dan Islam yang dimulai sekitar empat dasa warsa terakhir.

Akan tetapi, sikap akademisi ini bukanlah kekuatan tunggal, alias masih sangat dipengaruhi oleh kebijakan AS.

Konyolnya, kebijakan AS khususnya yang berhubungan dengan dunia Islam, nyaris tidak pernah menguntungkan dunia Islam.

Rahasia umum mengatakan bahwa anak emas AS, Israel, di belakang semua kebijakan itu, karena Kongres Amerika sangat dikuasai oleh sayap Yahudi. Kebijakan AS pasca-tragedi WTC, memang sangat mempengaruhi jalannya dialog Islam-Barat.

Dampak negatifnya tentu lebih berat, tapi dampak positif dari tragedi kemanusiaan ini juga tidak kurang, di antaranya adalah Islam semakin menjadi topik penting dalam wacana kaum akademisi. (30)

-Abdurrahman Mas'ud PhD, dosen pasca-sarjana IAIN WS dan MM Undip yang sedang melakukan riset di AS dengan sponsor The Fulbright. M Nur Kholis MA, kandidat doktor Islamic Studies di Orientalisches Seminar, Universitas Bonn, Jerman.

Beberapa Kritik atas Islamisme

Novriantoni

(Aktivis Jaringan Islam Liberal)

Kalimat Pembuka

Beberapa tahun ini, pergulatan wacana keagamaan di tanah air, mengalami perkembangan pesat (terutama) secara kuantitatif, kalaupun belum dapat disebut maju secara kualitatif. Secara kuantitatif disebut berkembang pesat, karena tingginya intensitas wacana dan perdebatan yang muncul. Selain itu, juga oleh sebab banyaknya literatur pemikiran keagamaan yang menjadi trend bacaan. Kita menyaksikan, adanya lonjakan mood luar biasa di kalangan terpelajar Islam di Indonesia untuk membuka akses lebih luas lagi demi penyebaran wacana keagamaan, --dan itu dikontestasikan secara massif dan lebih terbuka. Perdebatanpun terjadi, kran-kran dialog terbuka.

Semaraknya perdebatan itu, tentu saja menemukan berbagai corak, bentuk, dan warna warni respon. Di kalangan pemikir dan peminat wacana keagamaan, ada keyakinan kuat bahwa kondisi ini harus diteruskan mengingat usaha pembaruan pemikiran keagamaan ibarat rantai yang sambung menyambung (silsilah muttashil al-halaqât) dan kerja tak kenal henti, mengingat masih banyaknya “peer” yang belum dituntaskan --mungkin tak akan pernah tuntas. Kira-kira, arus demokratisasi yang sedang berjalan, ikut memberikan kesempatan memadai bagi terjadinya proses dialog keagamaan yang sempat mengalami stagnasi di masa-masa Orde Baru.

Salah satu aktor cukup penting dalam pergulatan pemikiran dan proses dialog tersebut, sebut saja kalangan penyokong Islamisme. Secara defenisi, Islamisme diartikan oleh laporan penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), UIN Jakarta, sebagai suatu faham atau keyakinan tentang Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk kehidupan sosial politik. PPIM sengaja memilih istilah Islamisme, karena dinilai lebih baik dibanding istilah “fundamentalisme Islam” atau “radikalisme Islam”. Orang atau kelompok yang mengusung faham ini, biasa disebut kalangan Islamis atau al-Islâmiyyûn maupun al-Islâmawiyyûn dalam padanan Arab-nya. Sekedar menyebutkan beberapa saja, tokoh Islam seperti Abul A’la Al-Maududi, Sayyid Qutb dan Imam Khomaini, dapat disebut sebagai para ideolog Islamisme.

Secara sosiologis, selain dipicu meningkatnya kesadaran keberagamaan, perkembangan Islamisme juga tidak lepas dari faktor krisis yang sedang dialami bangsa Indonesia. Sudah pasti banyak faktor lain yang perlu diteliti lebih lanjut ihwal mengapa terjadi lonjakan mood Islamisme, kini dan di sini. Banyak kalangan yakin, bahwa meningkatnya gaung Islamisme juga merupakan sebentuk reaksi atas kegagalan banyak rezim “sekuler” di dunia muslim. Kalau dihubungkan dengan gerak sejarah revivalisme Islam, Islamisme belakangan ini juga bisa dilihat sebagai “kesadaran tahap kedua” umat Islam. Kesadaran itu tersimpulkan dalam pandangan bahwa agama perlu memainkan peran atau misi-misi sosial yang lebih kuat dan dominan (Mahmud, 1999: 137). Tahap pertama kesadaran adalah fase ketercengangan atau kebangunan akan realitas objektif dunia muslim yang menyedihkan sampai-sampai banyak orang malu menjadi muslim. Sementara tahap kedua ditandai dengan menguatnya kesadaran akan perlunya mengukuhkan identitas keislaman, sembari tidak lagi terlalu terkesima dengan peradaban Barat yang jauh lebih maju. Demikian Zaki Naguib Mahmud memberikan ciri.

Agaknya kesadaran tahap kedua inilah yang menuntun umat Islam di banyak negara untuk kembali bangkit melakukan aksi-aksi ke arah aktualisasi agama dan pemikiran keagamaan secara lebih mendalam. Bentuk-bentuk manifestasi dari itu sangat beragam di Indonesia, mulai dari majlis taklim dan majlis zikir kelas menengah-atas di kota-kota besar, tabligh di tingkat grassroot, sampai diskusi dan dakwah kampus di kalangan terpelajar di universitas-universitas “sekuler”. Sebatas aksi-aksi tersebut berlangsung secara kultural, nampaknya tak terjadi banyak masalah. Persoalan muncul manakala bentuk kesadaran tersebut didengungkan dengan kuat oleh kelompok-kelompok yang mengusung slogan “Islam adalah solusi”, sembari menebar implikasi strukturalnya pada tingkat kenegaraan atau pemerintah.

Kita tidak berkepentingan memprediksi dan menilai bagaimana nasib aksi-aksi tersebut nantinya. Yang ingin kita diskusikan dalam makalah ini hanya menyangkut beberapa gagasan pokok kelompok Islamisme saja. Kita berkepentingan terhadap mindset atau worldview yang mereka bangun. Ini penting, karena gagasan-gagasan tersebut tidak hanya problematis ketika sudah mengideologi, tapi juga bermasalah dari sisi substansinya, karena dominasi sifat sloganistiknya. Kebutuhan untuk melakukan kritik atas wacana Islamisme semakin mendesak, agar tidak terlanjur menjadi –maaf-- “pepesan kosong” yang suatu saat malah menipu dan mengelabui publik.

Kiranya, menyadari bahwa impian-impian besar sering mengecewakan (Kuntowijoyo, 2001: 64) penting kembali diingatkan di sini. Harapan bahwa “Islam adalah solusi”, tidak serta merta akan betul-betul menjadi jawaban atas kondisi objektif kita yang centang perenang, jika tidak disertai dengan pemahaman dan diagnosa yang tepat atas problem dan kemungkinan tetapinya. Maka dari itu, kritik yang tidak selamanya mudah dilakukan, menjadi penting dikemukakan di sini. Agar kritik lebih terinci, kita akan membahas isu-isu pokok Islamisme itu bagian per bagian.

Islamisme dan Krisis

Secara historis, generasi yang paling awal tergugah kesadarannya akan krisis yang menimpa dan menghimpit umat Islam adalah kalangan terdidik muslim yang nota bene cukup mendalami legasi Islam, sekaligus berkesempatan mengintip peradaban lain (Barat). Di antara mereka itu, sebutlah nama-nama semisal Al-Afghani (pada lapangan politik) yang mengusung jargon “muwajahat al-isti’mâr min al-khârij wa al-istibdâd fi al-dâkhil” (menentang imprealisme dari luar dan depotisme di dalam); Muhammad Abduh (di lapangan pendidikan Islam) dengan gagasan pembaruan pendidikan Islam (tathwîr al-Azhar) dan penyegaran pemikiran keislaman; dan Al-Thahtâwi yang disebut-sebut sebagai representasi liberal Islam yang banyak berkiprah memperkenalkan gagasan-gagasan modern Barat di penghujung abad ke-19. Mereka-mereka ini penting disebut, karena peran mereka sebagai pelecut kesadaran umat paling awal, ditambah lagi banyaknya gagasan-gagasan mereka yang diadopsi dunia muslim umumnya.

Dari merekalah tersimpul suatu pertanyaan mendasar: limâdzâ taakkhara al-muslimûn wa taqaddama ghairuhum, mengapa umat Islam mundur dan Barat maju?

Kesadaran akan krisis dunia Islam dan pemikiran Islam menjadi penting setelah mereka. Sejak saat itu, kita mengenal fase keterbangunan (‘asr al-nahdlah). Kesadaran akan krisis telah merangsang timbulnya gagasan-gagasan tentang reformasi pemikiran keagamaan, bahkan reformasi agama itu sendiri. Ini disebabkan, selain faktor agama dan pemikiran keagamaan disinyalir ikut berperan memperkukuh krisis, juga diyakini mampu dipergunakan untuk menanggulanginya. Masalahnya terletak pada bagaimana peran dan fungsi agama diposisikan.

Jika generasi awal yang tercerahkan itu menyoroti krisis pada bagian-bagian parsialnya, kalangan Islamisme yang datang belakangan justeru memandang krisis secara lebih total dan menyeluruh. Al-Afghani menyoroti krisis secara spesifik dari sudut tatanan politik yang ada; Abduh menitikberatkan pendidikan; dan Al-Tahtawi memandang perlunya mengadopsi beberapa sistim Barat yang diperlukan untuk mengejar ketertinggalan dunia muslim. Tapi, ideolog Islamisme semisal Sayyid Qutb, lebih jauh dari mereka, menganggap semua tatanan sudah salah dan semuanya serba krisis. Dia menyoroti krisis pada semua dimensinya (azmat al-jism kakull). Menurut Sayyid Qutb dan kalangan Islamisme lainnya, krisis yang sedang terjadi bukan sekedar pelencengan dari jalur Islam, tapi sudah merupakan kudeta yang menimpa sendi-sendi kehidupan umat dalam semua aspeknya: budaya, politik, ekonomi, seni, hukum, pola pikir dan lain-lain. Dengan begitu, kalangan Islamisme yang belakangn ini, bahkan sampai menyimpulkan bahwa umat Islam masih berada pada fase Mekkah atau sedang menjalani era jahiliyyah modern, seperti judul buku Muhammad Qutb, Jâhiliyyat al-Qarn al-Isyrîn (Al-Jursyi, 2000: 35-36).

Pemahaman serupa ini sedikit banyak juga diadopsi beberapa penganut Islamisme di tanah air. Hizbut Tahrir (partai liberal?) misalnya, dalam booklet bertajuk “Selamatkan Indonesia dengan Syariat Islam”, menyoroti totalitas krisis yang sedang dialami Indonesia kini. Mereka menanggapi krisis secara multidimensional, menyeluruh sejak dari krisis ekonomi, identitas, moral, politik, pendidikan dan lain sebagainya. Pendek kata, nyaris tak ada tatanan yang masih bisa dibenarkan menurut perspektif Hizbut Tahrir. Oleh sebab itu, mereka mengajukan solusi yang fundamental dan integral: menegakkan kembali seluruh tatanan kehidupan masyarakat dengan syariat Islam. Bisa diprediksi, bahwa Hizbut Tahrir berasumsi bahwa “ketidakberislaman” itulah pangkal semua krisis.

Problem yang muncul di kalangan Islamisme, justeru terjadi ketika mereka memandang Islam terpisah dengan realitas sejarah, dan realitas peradaban kemanusiaan secara keseluruhan. Padahal, Islam tidak pernah memperkenalkan dirinya dalam kerangka khusus sebagai sistim unik dalam kehidupan sosial yang lebih unggul, sembari mempertentangkan dan memperbandingkannya dengan sistim lain secara tegas (Al-Jabiri, 1992: 28-29). Persoalan tidak berhenti di situ, ketika Islam dipandang sebagai sesuatu yang khas dan terpisah dari realitas kekinian, dia tidak hanya dituntut untuk mampu menunjukkan tingkat kecanggihan dan kemampuannya guna bersaing dengan sistim-sistim lainnya, tapi juga dipaksakan untuk memberikan solusi-solusi kongkrit atas problem yang tidak selamanya perlu didekati dengan pola pikir Islamisme.

Justeru ketika hendak mengajukan “jawaban” itulah Islamisme nampak tergagap, meskipun mereka seringkali sangat yakin dengan gagasan-gagasan mereka. Sayangnya, sampai kini kita belum menyaksikan proyek yang memberikan harapan yang mampu membuat kita yakin akan gagasan-gagasan Islamisme. Akankah Islamisme menjadi semacam “radikalisme pelipur lara” --meminjam istilah Ignas Kleden— masih perlu dibuktikan oleh sejarah.

Gagasan tentang negara Islam, khilafah Islamiyyah, tathbiqus syariah, dan Islamisasi struktural dan kultural yang disinyalir mampu menjadi solusi atas krisis, walau sudah menjadi ideologi, masih sangat rapuh bila dipertanyakan dan diperdebatkan landasan epistimologisnya. Nampaknya, mobilisasi massa masih menjadi tumpuan kekuatan kalangan Islamisme. Hanya saja, ini dapat dimengerti karena masyarakat pada umumnya segan berdebat perihal keagaaman, terlebih bila sudah ditopang dengan teks-teks suci yang dikutip secara harfiah. Ini juga ditunjang karena faktor masih banyaknya orang yang memandang agama dan pemikiran keagamaan sebagai bagian yang harus diyakini saja, bukan dinalar dan diperdebatkan. Dari persoalan pertama ini, kita tergiring untuk membicarakan bagaimana kalangan Islamisme memandang teks-teks keagamaan.

Islamisme dan Teks

Persoalan bagaimana memperlakukan teks-teks keagamaan --meminjam istilah dua buku Al-Qardlâwiy: Kaifa Nataâmal Ma‘a Al-Qur’ân dan Ma‘a Al-Sunnah-- juga menjadi permasalahan mendasar di kalangan Islamisme. Tak disangkal lagi, kalangan Islamisme adalah orang-orang yang mempunyai gairah keislaman yang tak diragukan lagi. Tingginya gairah keislaman ini, membuat mereka sangat loyal terhadap teks-teks keagamaan (yang primer adalah Alqur’an, yang sekunder adalah Sunnah), yang oleh nabi disebut sebagai penuntut agar umatnya tidak tersesat (lan tadillû abadan). Dapat disaksikan, kalangan Islamisme adalah kalangan yang sangat kuat berpegang pada teks-teks suci agama. Secara kategorial, mereka dapat dikatakan sebagai generasi penerus tradisi mazhab al-nushûshi (mazhab tekstual) dalam Islam, yang sangat terkesima dan setia dengan teks-teks suci agama.

Kalangan Islamisme yakin bahwa Tuhan tidak mengalfakan satu perkarapun di dalam teks, kecuali dia bertutur tentangnya (mâ farratnâ fi al-kitâb min al-syai’). Baik Alquran maupun Sunnah, dianggap tidak hanya memuat nilai-nilai moral universal, tapi --bagi kalangan ini— bisa menjadi buku hukum, buku sains dan lain sebagainya. Maka tak heran, kalau kalangan ini selalu memuat banyak teks suci untuk membahas permasalahan-permasalahan yang tidak selamanya relevan ditanggapi dengan landasan normatif teks-teks suci agama.

M. Imarah dalam bukunya Al-Turâts fî Dlau Al-Aql, menyebutkan tahapan-tahapan mazhab tekstual dalam menanggapi permasalahan-permasalahan aktual. Pertama-tama mereka mencari rujukan teks-teks Alquran dan Sunnah. Jika tak ada, mereka beranjak ke fatwa para sahabat. Kalau sahabat tidak bersepakat dalam suatu perkara, mereka mengambil pendapat yang paling mendekati isi Alquran dan Sunnnah dari mereka. Kalau “permata” mereka tak juga ditemukan, mereka mengambil hadits mursal dan hadits dlaîf. Adapun qiyâs yang menggunakan mekanisme nalar dalam operasionalisasinya, akan mereka gunakan hanya dalam kondisi emergensi. Bagi kelompok ini, hadits dlaîf lebih selamat sebagai pegangan ketimbang nalar (Emarah, 1980: 229-230).

Tak ada salahnya setia pada teks-teks suci agama. Hanya saja, kalangan Islamisme nampaknya lupa, bahwa teks selalu terbatas, sementara kehidupan manusia berjalan cepat tanpa dapat dikendalikan oleh teks-teks yang tidak memadai itu. Diperlukan semacam -–meminjam istilah Ulil Abshar-Abdalla— wahyu perogressif untuk dapat menangggapi permasalahan-permasalah aktual dan kontekstual yang sedang kita hadapi sekarang ini. Kebutuhan itu tidak dapat terpenuhi sekiranya teks-teks agama dijadikan sesembahan, bukan sebagai inspirasi yang mengandung nilai-nilai universal yang mungkin relevan untuk menanggapi permasalahan kontekstual (Al-Baghdadi, 1999: 383).

Sedikit permisalan nampaknya perlu dikemukakan disini. Kalangan Islamisme, masih saja sibuk membedah wacana-wacana kekinian --contohnya demokrasi dan hak asasi manusia— dari sudut landasan-landasan normatif tektual agama. Selalu saja muncul keragu-raguan apakah demokrasi itu halal, mubah, dan bisa dibenarkan oleh Islam atau sebaliknya. Bahkan pada tingkat yang ekstrim, kalangan Islamisme menyimpulkan bahwa demokrasi yang saat ini menjadi dambaan banyak negara muslim, adalah sistim kafir yang tidak bisa dibenarkan oleh landasan-landasan normatif Islam, sebab dia berasal dari Barat. Akibatnya, wacana kita menjadi tidak naik kelas, hanya berkutat pada apakah itu bisa dibenarkan agama atau tidak dengan landasan normatif teks-teks suci yang terkadang berkesan dipaksakan bisa mengintervensi pembahasan-pembasahan kekinian.

Adanya jurang pemisah antara teks dengan kenyataaan juga masalah lain yang tidak disadari kalangan Islamisme. Perlu ditegaskan bahwa, dalam realitas sejarah, tidak semua persoalan hidup manusia bisa dijawab teks-teks agama. Persoalan umat manusia, sejak Adam sampai kini, tidak sepenuhnya berjalan atas landasan tekstual agama. Para pengamat yang jeli melihat adanya hubungan dialektikal antara teks dengan sejarah (realitas) yang tak jarang dimenangkan sejarah (Abd. Rasul, 2000: 37).

Ambillah contoh untuk penjelas dialektika teks dan sejarah. Dalam teks-teks primer dan sekunder Islam, perihal sistim politik tidak dijelaskan secara terperinci. Diamnya teks ini tentu mempunyai maksud-maksud tertentu. Sebagian pemikir memandang hal itu memang tidak perlu, karena baik Alquran maupun nabi sendiri, sadar kalau hal sedemikian selalu tunduk pada realitas manusia yang berkembang dinamis, progresif dan memerlukan inovasi tiada henti. Pasca runtuhnya “sistim khilafah” tahun 1924, --sebetulnya kesultanan-- umat Islam bangun, sadar akan adanya kebutuhan mendesak guna mencari sistim yang lebih mungkin --sekali lagi, lebih mungkin-- memberikan kehidupan kenegaraan yang lebih baik dan maju. Dari tumbuhnya kesadaran ini, gap antara teks dengan konteks tampak semakin menganga.

Teks berbicara tentang negara yang tersusun atas dasar identitas agama (pembagian muslim dan zimmi, misalnya), konteks menunjukkan negara bangsa terbangun bukan atas fondasi identitas keagamaan. Teks, oleh kalangan Islamisme disangka berbicara tentang “hukum Tuhan”, “kedaulatan Tuhan”, sementara konteks membutuhkan adanya mekanisme sosial-politik yang lebih demokratis untuk mewujudkan perangkat hukum yang mengatur kehidupan publik.

Permaslahan yang paling krusial menyangkut teks adalah penggunaan teks-teks keagamaan untuk mengutuk lawan diskusi mereka dalam tema-tema keagamaan. Ada kesan, kelangan Islamisme memandang bahwa pandangan pribadinya tentang suatu persoalan menjadi valid dengan sendirinya bila sudah ditunjang oleh berjibun teks. Diskusi kemudian seakan digembok “kebenaran mutlak” teks. Kebenaran mutlak teks ini, kemudian seolah memancarkan kebenaran pengguna teks. Kebalikannya, yang tidak menggunakan teks, meski lebih masuk akal dalam pandangan-pandangan keagamaannya, akhirnya berarti menentang teks itu sendiri. Akal selalu dipertentangkan dengan naql.

Islamisme dan Realitas Kekinian

Kesenjangan antara realitas kekinian dengan masa lampau dalam retorika keagamaan kalangan Islamisme juga dapat dicermati. Penganut Islamisme, selalu saja mengidealisaikan masa lampau sembari menyumpah masa kini. Mereka meletakkan masa lampau sebagai fundamen dan masa kini mesti menuruti masa lampau itu. Bila masa kini melenceng dari gambaran ideal masa lampau yang (terlalu) diidealisasikan itu, maka kesimpulannya adalah anomali (inhirâf), kebodohan (jâhiliyyah) dan kekeliruan (al-dlalâl). Makanya retorika keagaaam ala salafi ini, menginginkan rekonstruksi masa kini dengan menggunakan photo copy masa lalu. Nasr Hamid menegaskan bahwa cara berpikir demikian adalah sebuah mimpi yang mustahil berwujud (hilm mustahîl).

Agaknya, apa yang dikatakan Shorous juga menjadi relevan sebagai kritik atas watak Islamisme yang terlalu mengidealisasi masa lampau ini. Bagi Shoroush, keterperosok kita dalam problem keterpautan antara teori dan praktik keagamaan dewasa ini, juga disebabkan karena secara gradual dan material kita sudah beranjak menuju zaman modern, sedangkan pemikiran kita tertinggal di belakang (Soroush, 2002: 77-78). Selain ketertinggalan itu, ketidakmampuan menetapkan secara jeli prinsip-prinsip hubungan antara masa kini dan masa lalu secara dialektikal, juga menyebabkan hubungan antar masa lampau dengan kini seperti teka-teki ayam dan telur. (Abu Zaid, Naqd …, 1995: 157-162).

Pembedaan antara Islam ideal (al-islâm al-namûdzajiy) dengan Islam historis (al-Islâm fi al-wâqi’) bagi kalangan Islamisme menjadi tidak penting sebagai kategorisasi konseptual guna memahami hakikat masyarakat. Pada akhirnya, banyak pemikir heran, hanya umat Islam yang sangat bangga dengan masa lampaunya. Karena kebanggaan yang berlebihan pada masa lampau itu, umat Islam tidak memiliki masa kini, sekaligus gamang akan masa depan. Pendek kata, mereka tidak mampu membedakan antara agama dalam kandungan-kandungan teks orisinal dan fundamentalnya, dengan praktiknya sebagai produk pembumian teks-teks kandungan wahyu ke dunia nyata dan sejarah.

Kalimat Akhir

Perdebatan sepuat wacana keagamaan, selalu relevan untuk dilakukan. Ini diperlukan agar wacana keagamaan tidak membeku dan menjadi monopoli satu pihak dan aliran pemikiran saja. Iklim yang menjamin ke arah terus terjaganya kondisi yang memungkinkan dialog secara damai, harus terus dijaga agar dapat dimanfaatkan guna pematangan wacana keagamaan itu sendiri. Demokrasi dan kebebasan berekspresi nampaknya tak dapat dikesampingkan dalam hal ini. Hanya dalam iklim demokrasi dan tersedianya ruang publik yang memadai, kita dapat melakukan dialog dan kritik. Tak ada kata lain, al-hurriyyah fî sabîlillâh, kebebasan dijalan Allah perlu juga dikumandangkan sebagi tandingan slogan jihad fisabilillah belakangan lebih berkonotasi kekerasan itu. Wallâhu a’lam!

Bahan Bacaan:

Abd. Rasul, Aiman. Majalah Adab wa Naqd. Kairo: edisi Juli 2000.

Abu Zaid, Nasr Hamid. Al-Khitâb wa al-Takwîl. Beirut: Al-Markaz Al-Tsaqâfi Al-Araby, 2000.

Abu Zaid, Nasr Hamed, Naqd al-Khitâb al-Dinî. Kairo: Maktabah Al-Madbûlî, 1995.

Al-Baghdadi, Ahmad, Tajdîd al-Fikr al-Dînî, Damaskus: Dâr al-Madâ li Al-Tsaqâfah wa Al-Nasy, 1999.

Al-Jâbirî, Muhammad Abid. Wijhat Nazr. Beirut: Markaz Dirâsat Al-Wihdah Al-‘Arabiyah, 1992.

Al-Jursyi, Shalah. Al-Islâmiyyûn Al-Taqaddumiyyûn. Kairo: Markaz Al-Qâhirah li Dirâsat Huqûq Al-Insân, 2000.

Emarah, Muhammad. Al-Turâts fi Dlau Al-Aql, Beirut: Dâr Al-Wihdah, 1980.

Kuntowijoyo. Muslim Tanpa Masjid. Bandung: Mizan, 2001.

Mahmud, Zaki Naguib. Qiyam min Al-Turâts. Kairo: Dâr Al-Syurûq, 1999.

Soroush, Abdul Karim. Menggungat Otoritas dan Tradisi Agama. Bandung: Mizan, 2002.

Posisi dan Signifikansi Kitab Kuning di Pesantren

Pada umumnya, pesantren dipandang sebagai sebuah sub-kultur yang mengembangkan pola kehidupan yang unik menurut "kaca mata" umum, modern (18) Di samping faktor kepemimpinan kiai-ulama, Kitab Kuning adalah faktor penting yang menjadi karakteristik sub- kultur itu. Selain sebagai pedoman bagi tata cara keberagamaan, Kitab Kuning difungsikan juga oleh kalangan pesantren sebagai referensi nilai universal dalam menyikapi segala tantangan kehidupan. Ketika Kitab Kuning digunakan secara permanen, dari generasi ke generasi, sebagai sumber bacaan utama bagi masyarakat pesantren yang cukup luas, maka sebuah proses pembentukan dan pemeliharaan tradisi yang unik itu tengah berlangsung. Yang menarik untuk diamati adalah: mengapa harus Kitab Kuning yang dijadikan referensi turun-temurun itu? Bagaimanakah pesantren memperlakukan Kitab Kuning dalam tradisi pendidikannya? Pengamatan atas hal ini mungkin akan menolong kita menjawab sebuah pertanyaan fundamental: bukankah Alquran dan Hadis Nabi yang semestinya menjadi referensi mereka?

Dari kalangan pesantren sendiri, sejauh ini sebetulnya belum ada pertanggungjawaban filosofis (argumentatif) yang utuh, dalam pengertian modern, ihwal penempatan Kitab Kuning sebagai referensi nilai- nilai universal mereka. Belakangan memang ada usaha-usaha penjelasan dari mereka, misalnya, dari Abdurrahman Wahid, Ali Yafie, Masdar F. Mas'udi, Sahal Mahfudz, Tolhah Hasan, Chozin Nasuha, dan A. Malik Madany. Namun, penjelasan mereka mengandung unsur kritis dan evaluatif. Jadi, keberadaan mereka lebih dianggap mewakili penjelasan kalangan pesantren pembaharu. Terlepas dari anggapan ini, tampaknya memang masih perlu dilakukan kajian yang lebih serius untuk memahami paradigma sebenamya yang ada di balik pemeliharaan dan pengajaran Kitab Kuning yang permanen itu.

Alasan pemilihan Kitab Kuning mungkin bisa dirumuskan, antara lain, dengan mempertimbangkan perkembangan tradisi intelektual Islam Nusantara di atas. Sejak periode paling dini, bersamaan dengan proses intemasionalisasi, yang berarti Arabisasi, dokumentasi tentang ajaran-ajaran Islam selalu dilakukan dalam bahasa Arab, sekurang- kurangnya dengan menggunakan huruf Arab. Arabisasi seperti ini tidak lain menempatkan .'keislaman" di Indonesia selalu dalam konteks universal. Proses seperti ini terus berlanjut sejalan dengan semakin kuatnya intervensi bahasa Arab ke dalam bahasa-bahasadi Nusantara, dan pesantren tampaknya hanya melanjutkan proses ini saja. Hal ini mencapai momentumnya ketika pesantren berada dalam tekanan kekuatan asing, dan ia melakukan gerakan defensif non-kooperatif. Pemasok utama nilai dan pengetahuan yang dapat dipercaya dalam situasi seperti itu adalah Kitab Kuning yang sudah beredar sangat luas di lingkungan mereka. Kalaupun ada pasokan baru -dan ini sangat banyak ketika alumni Timur Tengah kembali ke Indonesia prosesnya tetap harus mempertimbangkan standar Kitab Kuning yang sudah menyebar itu, kecuali setelah terbukanya kembali hubungan pesantren dengan dunia "umum" sejak kira-kira tiga dasawarsa lalu.

Mas'udi mencoba melihat masalah ini dari sudut lain, yang lebih inheren dalam kehidupan pesantren, yakni berkaitan dengan pandangan kalangan pesantren tentang "ilmu." Bagi masyarakat pesantren, ilmu adalah sesuatu yang hanya bisa diperoleh melalui jalan pengalihan, pewarisan, transmisi, dan bukan sesuatu yang bisa diciptakan, created. Dalam salah satu Kitab Kuning yang menjadi pedoman belajar kalangan pesantren, Ta'lim al-Muta 'allim fi Thariq at- Ta.'allum, diajarkan bahwa "ilmu adalah sesuatu yang kamu ambil dari lisan rijal (guru atau kiai), karena mereka telah menghafal bagian yang paling baik dari yang mereka dengar dan menyampaikan bagian yang paling baik dari yang pernah mereka hafal."

Di kalangan pesantren memang diakui adanya "cara lain" untuk memperoleh ilmu tidak hanya dengan cara transmisi seperti itu. Namun, "cara lain" yang dimaksud bukanlah cara yang lebih rasional, melainkan cara yang bersifat gaib dalam proses hubungan langsung manusia dengan Yang Maha Berilmu, dan identik dengan proses pewahyuan. Pengetahuan yang diperoleh melalui "cara lain" ini oleh kalangan pesantren diakui sebagai ilmu ladunni.

Dengan demikian, bagi masyarakat pesantren, ilmu dipandang sebagai sesuatu yang suci, sakral, tidak boleh spekulatif, dan akal- akalan. Puncak dari pandangan ini ilmu dianggap wahyu tersendiri atau, paling tidak, hadir sebagai penjelas wahyu. Seperti halnya wahyu yang hanya "dimonopoli" oleh Nabi, ilmu juga diyakini hanya bisa dikuasai oleh ilmuwan ('ulama'). Pandangan mereka ini tampaknya dipengaruhi oleh pemahaman mereka atas hadis nabi: al- 'ulama ' waratsah al-anbiya' (ulama adalah pewaris para Nabi). Dengan pandangan keilmuan yang demikian ketat dan tidak dinamis, pengajaran dan pendidikan yang berlangsung selalu merupakan pengulang-ulangan sebatas "kata-kata " ulama. Ada dua konsekuensi yang saling berkaitan dengan hal ini. Pertama, keseragaman (homogenitas) akan dengan mudah menjadi ciri yang sangat mencolok. Kalau saja terjadi perbedaan, maka perbedaan itu hampir bisa dipastikan hanya dalam pengungkapan ('ibarah)-nya saja. Kedua, kitab sebagai karya para ulama terdahulu yang memberikan keterangan langsung tentang kata-kata wahyu bersifat sentral, sementara kiai yang memberikan keterangan atas kitab itu hanyalah subordinat atau sekedar alat baginya (tidak berhak mengevaluasinya).

Dalam jangkauan sejarah yang lebih luas, pendapat van Bruinessen, yang selaras dengan pandangan Mas'udi di atas, tampaknya cukup penting untuk dicatat. Menurutnya, Kitab Kuning yang berkembang di Indonesia pada dasarnya merupakan hasil pemikiran ulama abad pertengahan, mulai abad ke-lOM hingga abad ke-15 M. Tradisi keilmuan yang berkembang pada masa-masa itu bertolak dari pandangan keilmuan yang sangat ketat. "Dalam tradisi (intelektual) Abad Pertengahan, semua ilmu pada dasarnya sudah merupakan sistem pengetahuan yang pasti." Gagasan untuk menyempurnakan sistem ilmu pengetahuan (the body of knowledge) dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang dan mengaburkan. Van Bruinessen kemudian merujuk pandangan Aziz al-Azmeh yang meneliti dasar-dasar metafisika tradisi pemikiran Arab. Akhirnya, ia menyimpulkan, '.J adi, karya mengenai topik apa pun hadir dalam tujuh bentuk: kompilasi yang tidak komplit, koreksi atas kesalahan-kesalahan teks, penjelas terhadap masalah yang samar, peringkasan dari teks panjang, pengumpulan teks yang terpisah-pisah, perapihan susunan bahan yang kurang teratur, dan pengambilan atau pencuplikan kesimpulan."

Beberapa alasan di atas tampaknya cukup untuk sekedar memahami penempatan Kitab Kuning yang begitu penting dalam sistem keilmuan pesantren. Namun, bagi sebagian kalangan pesantren sendiri, alasah-alasan seperti itu mungkin akan dianggap kurang idealis. Mungkin juga terkesan bahwa Kitab Kuning dalam konteks perkem- bangan pemikiran keislaman di Indonesia -sejauh alasan-alasan di atas -bernilai statis. Bukankah, dalam kenyataannya, Indonesia adalah wilayah "pinggiran" dalam peta peradaban Islam sehingga kehadiran dan perkembangan Kitab Kuning dapat diartikan sebagai faktor dinamis? Paling tidak, dalam proses pengayaan pengetahuan ajaran-ajaran Islam, tidakkah Kitab Kuning di pesantren menjadi sangat signifikan? Dalam kaitan ini, Ali Yafie memberikan pandangannya sebagai berikut: "Peran kitab ini (Kitab Kuning) sebagai salah satu unsur mutlak dari pengajaran atau pendidikan pesantren adalah sedemikian pentingnya dalam proses terbentuknya kecerdasan intelektual dan moralitas kesalihan (kualitas keberagamaan) dalam diri peserta didikan atau santri (thalib).

Dengan beberapa catatan, Abdurrahman Wahid mempertimbangkan segi dinamis dari perkembangan Kitab Kuning di pesantren. Menurutnya, Kitab Kuhing merupakan faktor penting dalam pembentukan tradisi keilmuan yang fiqih-sufistik, yang didukung penguasaan ilmu-ilmu instrumental, termasuk ilmu-ilmu humanistik (adab)-nya. Tanpa Kitab Kuning dalam pengertian yang lebih kompleks, tradisi intelektual di Indonesia agaknya tidak akan bisa keluar dari kemelut sufi-ekstrem dan fiqih-ekstrerm. Apa yang dicapai oleh Kiai Ihsan Jampes melalui karya-karyanya, Siraj ath- Thalibin dan Manahij al-Imdad, yang masing-masing merupakan komentar atas Minhaj al-Abidin dan Irsyad al-'Ibad, merupakan contoh prestasi intelektual yang mengandalkan Kitab Kuning. Dalam Manahij al-Imdad ini, sekali lagi, terbukti kemampuan ulama di pesantren untuk mengkombinasikan kemampuan mendalami ilmu-ilmu agama secara tuntas dan mengamalkan tasawuf secara tuntas pula. Masalahnya mungkin adalah pesantren dituntut untuk melakukan kreasi baru dalam mentransformasikan Kitab Kuning sejalan dengan kecenderungan intelektual modern.

Dengan demikian, kita melihat ada dua pandangan mengenai posisi dan signifikansi Kitab Kuning di pesantren. Pertama, dan mungkin yang paling kuat, kebenaran Kitab Kuning bagi kalangan pesantren adalah referensi yang kandungannya sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Kenyataan bahwa Kitab Kuning yang ditulis sejak lama dan terus dipakai dari masa ke masa menunjukkan bahwa Kitab Kuning sudah teruji kebenarannya dalam sejarah yang panjang. Kitab Kuning dipandang sebagai pemasok teori dan ajaran yang sudah sedemikian rupa dirumuskan oleh ulama-ulama dengan bersandar pada Alquran dan Hadis Nabi. Menjadikan Kitab Kuning sebagai referensi tidak berarti mengabaikan kedua sumber itil, melainkan justru pada hakikatnya mengamalkan ajaran keduanya. Kepercayaan bahwa kedua Kitab itu merupakan wahyu Allah menimbulkan kesan bahwa Alquran dan Hadis Nabi tidak boleh diperlakukan dan dipahami sembarangan. Cara paling aman untuk memahami kedua sumber utama itu agar tidak terjerumus dalam kesalahan dan kekeliruan yang dibuatnya sendiri adalah mempelajari dan mengikuti Kitab Kuning. Sebab, kandungan Kitab Kuning merupakan penjelasan dan "pengejawantahan" yang siap pakai (instant) dan rumusan ketentuan hukum yang bersumber dari Alquran dan Hadis Nabi yang dipersiapkan oleh para mujtahid di segala bidang. Kedua, muncul pandangan dalam tiga dasawarsa terakhir ini bahwa Kitab Kuning sangatlah penting bagi pesantren untuk memfasilitasi proses pemahaman keagamaan yang mendalam sehingga mampil merumilskan penjelasan yang segar tetapi tidak ahistoris mengenai ajaran Islam, Alquran, dan Hadis Nabi. Kitab Kuning mencerminkan pemikiran keagamaan yang lahir dan berkembang sepanjang sejarah peradaban Islam. Untuk menjadikan pesantren tetap sebagai pusat kajian keislaman, pemeliharaan dan bahkan pengayaan Kitab Kuning harus tetap menjadi ciri utamanya. Termasuk dalam proses pengayaan ini adalah penanganan Kitab Kuning dalam bidang dan masa luas, termasuk yang lahir belakangan, yakni al-kutub al-'ashriyyah Hanya dengan penguasaan Kitab Kuning seperti inilah kreasi dan dinamika pemikiran Islam yang serius di Indonesia tidak akan berhenti.

Jihad

· Dalam bahasa berarti "Berusaha keras" atau "Berjuang"

· Dalam konteks Islam bermakna "Berjuang menegakkan syariat Islamiah"

Bentuk Jihad :

Ber-Jihad tidak selalu harus identik dengan ber-perang secara lahiryah / fisik , sebab Jihad , antara lain , dapat berbentuk :

· Perjuangan dalam diri sendiri untuk menegakkan syariat Islamiah

· Perjuangan terhadap orang lain , baik lisan , tulisan atau tindakan

· Jihad dalam bentuk pertempuran : QITAL (Contoh: At-Taubah - Ayat 111 , disebut sebagai "qital" dengan arah : "fisabilillah" - Perang dijalan Allah , tidak disebut "jihad" dengan arah "fisabilillah")
Islam membenci peperangan , tetapi mewajibkan berperang , jika dan hanya jika , muslim diserang (karena agama) terlebih dahulu dan diusir dari negeri-nya ( sampai suatu batas mutlak yang ditentukan . Terlalu luas untuk dijabarkan disini ).

Surat An Nisaa’ - 4:84
Maka berperanglah ( qatil ) kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri . Kobarkanlah semangat para mu’min (untuk berperang). Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang yang kafir itu. Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksaan(Nya)

Al Mumtahanah 60:9
Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu , dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.

Saat ber-Jihad :

Jihad harus dilakukan setiap saat , dalam kesadaran 24 jam sehari , sepanjang tahun , seumur hidup . Kerena didalamnya (antara lain) termasuk

· Perjuangan untuk tidak melakukan hal-hal yang dilarang oleh allah SWT

· Berjuang untuk mau menjalankan perintahnya-perintahnya Seperti melawan rasa kantuk dan dingin yang menghalangi Shalat Subuh , atau bersabar untuk mengendalikan amarah, dsb .


My Old Notes

Sering kita mendengar kata JIHAD , dan diartikan sebagai "Perang Suci" . Hal ini tidak dapat disalahkan , namun makna kata "Perang" disini sering di-baur-kan dengan pengertian perang dalam arti fisik . Ini yang harus diluruskan .

Jihad dalam bahasa Arab bermakna "berjuang" atau "berusaha keras" , dan ini dapat diberlakukan bagi siapa saja , baik muslim maupun bukan muslim .

Contoh :

Surat Al Ankabuut - Ayat 8
Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu- bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu (jahadaka) untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.

Disini dilakukan oleh orang tua yang memaksakan ( berusaha keras ) agar anak-nya yang muslim kembali kepada ke-kafir-an .

Dalam banyak terjemahan , jihad diartikan sebagai Perang Suci , sementara dalam Islam sendiri dilarang untuk memulai suatu peperangan , kecuali bila sudah tidak dapat dielakkan , atau memang bisa dipertanggung jawabkan secara agama (eg: untuk membela diri , atau karena diserang terlebih dahulu ).

"Perang Suci" bila diterjemahkan dalam bahasa Arab adalah : "harbun muqaddasatu" (atau "al-harbu al-muqaddasatu") . Tidak ada dalam Al-Qur'an atau kumpulan Hadits (asli) yang meng-arti-kan kata "jihad" sebagai "Perang Suci" , melainkan "perjuangan" atau "berusaha keras" .

Amat disayangkan bahwa banyak penulis Islam yang terpengaruh atas propaganda penterjemah barat yang mengartikan jihad sebagai "Perang Suci". Bisa saja dalam literatur barat mereka salah mengartikan jihad sebagai suatu bentuk semacam "Perang Salib" dalam sejarah Nasrani .

Sekali lagi , Tidak !. Jihad bukan ber-konotasi "Perang" . Sebab perang dalam bahasa Arab adalah : "HARB" atau "QITAL" , dan ini disebutkan dalam Al-Qur'an dan Hadits sebagai kata "perang dalam arti fisik" .

Bagi muslim , jihad berarti "perjuangan" atau "beruasaha dengan keras" . Yang kemudian ber-transformasi sebagai kata yang mempunyai makna atau arti khusus , "membela agama" . Hal ini tentunya karena kata jihad yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan Hadits , seperti contoh dalam beberapa ayat sebagai berikut :

Contoh 1 :

Surat At Taubah - Ayat 24 :
Katakanlah: "jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari ber-jihad di jalan-Nya , maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.

Jelas disini bahwa "jihad" merupakan kata-kerja "berjuang" . Yang mana tentunya harus ditunjukkan arah atau sifat "perjuangan"-nya , yaitu : "di-jalan-Nya" , jalan kebenaran membela ajaran Allah" . Sebab bisa saja "ber-jihad" membela negara . Seandainya "jihad" berarti "Perang Suci" , maka kiranya cukup disebutkan "ber-Jihad" , tanpa "di jalan-Nya" ( Silahkan buka Al-Qur'an dalam tulisan / bahasa Arab-nya ) .

Contoh 2 :

Surat Al Furqaan - Ayat 52 :
Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah (jahidhum) terhadap mereka dengan Al Qur'an dengan jihad (jihada) yang besar.

Daklam ayat ini adalah mengenai ber-jihad (berjuang) internally (dalam diri sendiri) , yaitu dengan kebenaran yang dibekali kepada kita dalam Al-Qur'an , agar tidak sampai terpengaruh atau mengikuti jalan-jalan orang kafir . Dan berhindarlah dengan perjuangan yang besar . Kita harus berjuang agar tidak terpengaruh orang pemikiran kafir , yakinkanlah diri kita akan kebenaran yang ada dalam Al-Qur'an . Yakinkanlah dengan perjuangan akbar . Biarkan mereka jalan pada jalan-nya sendiri , dan kita pada jalan Al-Qur'an , seperti yang tercantum dalam ayat berikutnya :

Surat Al Furqaan - Ayat 53 :
Dan Dialah yang membiarkan dua laut yang mengalir (berdampingan); yang ini tawar lagi segar dan yang lain asin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi.

Dari kedua ayat ini , jelas bahwa Jihad tidak harus berarti dengan menyerang orang lain . Sebab Allah yang menjadikan mereka demikian , agar dapat memberi pengajaran kepada kita . Oleh sebab itu justru SALAH jika kita menyerang mereka terlebih dahulu , sebab itu berarti kita "membobol dinding" yang telah dijadikan Allah sebagai pembatas , agar kita tidak ter-cemar . Bila kita membobol dinding , maka akibatnya justru air kita yang "tawar dan segar" akan tercemar menjadi "asin dan pahit" .

KESIMPULAN :

Pada dasar kata arti jihad adalah "berjuang" atau "ber-usaha dengan keras" , namun tidak harus berarti "perang dalam makna "fisik" . Kalau sekarang jihad telah sering diartikan sebagai "perjuangan untuk agama" , memang bisa saja dibenarkan , walau itu tidak harus berarti perjuangan fisik . Bila meng-arti-kan jihad hanya sebagai peperangan fisik , dan extern , untuk membela agama bisa sangat ber-bahaya , sebab akan mudah di-manfaat-kan , dan rentan terhadap fitnah . Berjihad dengan perang fisik jelas dinyatakan sebagai QITAL .

Kalau mau meng-artikan Jihad sebagai "perjuangan membela agama" , maka lebih tepat bila dikatakan bahwa ber-Jihad adalah : "perjuangan menegakkan syariat Islam" . Sehingga berjihad harus -lah dilakukan setiap saat , 24 jam sehari , sepanjang tahun , seumur hidup .

· Jihad bisa ber-arti ber-juang "Menyampaikan atau menjelaskan kepada orang lain kebenaran Ilahi , walaupun bisa digebukin orang banyak" .

· Atau bisa ber-jihad dalam diri kita sendiri untuk "tidak mencuri atau men-jarah walau kita sedang lapar" .

· Atau -pun bisa ber-jihad dengan "Tidak ber-riya dalam keadaan banyak rakyat sedang sulit sembako" ,

· Bisa saja ber-jihad adalah : "Memaksakan diri untuk bangun pagi dan shalat Subuh , walau masih mengantuk dan dingin"

APA ITU JIHAD


TAKRIF Al-JIHAD MENURUT BAHASA

Al-Jihaad adalah Masdar dari fi'il Ruba'iy: Jaahada berdasarkan wazan fi'il yang bermakna Al-Mufaa'alatu min Thorfayin (Saling berbuat dari kedua belah pihak) seperti perkataan Al-Jidal yang bermakna Al-Mujaadalah masdar dari perkataan Jaadal . Dari fi'il Thulathi bagi perkataan Jihad adalah Jahida masdarnya Al-Jahdu artinya At-Thooqot (kekuatan), dan masdarnya Al-Juhdu artinya Al-Masyaqqot (jerih payah).

Dan didalam Lisanul Arab : dikatakan Al-Jahdu (Al-Jahd) artinya Al-Masyaqqot (jerih payah), dan Al-Juhdu (Al-Juhd) artinya At-Thooqot (kekuatan). Dan dalam Lisanul Arab juga terdapat perkataan Al-Jihaad maknanya : Istifrooghu maa fiil wus'i wattooqoti min qaulin aw fi'li (Mencurahkan segenap tenaga dan kekuatan baik berupa Ucapan maupun Perbuatan).

Penulis Munjid mengatakan: Jaahada Mujaahadatan wa Jihaadan artinya Badzala wus'ah (Mengerahkan tenaganya) dan asalnya: Badzala kullum minhumaa juhdahu fii daf'i shohibih (Masing-masing di antara keduanya mengerahkan kekuatannya dalam menolak pasangannya).

Dan didalam tafsir An-Naisabury : Dan yang shahih sesungguhnya Al-Jihaad adalah Badzlul Majhuudi fii Husuulil Maqshoudi (mengerahkan segala jerih payah untuk mencapai tujuan).

Dari beberapa makna bahasa diatas dapat diperoleh Ta'rif Lughowi yang merupakan hakikat lughowiyyah bagi perkataan Al-Jihaad yaitu: Al-Jihaadu Huwa Istifrooghul Wus'i fiil Mudaafa'ati Bayna Thorofaina Walau Taqdiiroon "Jihad adalah pengerahan kekuatan yang didalamnya saling tolak menolak antara dua kutub walaupun pada takdirnya (bukan pada zahirnya)."

Yang dimaksud dengan takdirnya ialah Jihadul Ihsan terhadap dirinya, yaitu: bahawa di dalam diri manusia itu ada dua kutub, ketika kedua keinginan yang saling berlawanan bertemu di dalam dirinya, maka masing masing berjihad untuk mengalahkan yang lain.

TAKRIF Al-JIHAD MENURUT ISTILAH SYARAK:

"Bahawasannya Jihad itu jika dinyatakan secara mutlak tanpa qayyid maksudnya adalah Qital (Perang) dan mengerahkan kemampuan daripadanya untuk meninggikan kalimatullah. Dan ta'rif Jihad yang lebih mendasar dan lebih mencakup adalah yang dinyatakan dalam Mazhab Hanafi yaitu: Mencurahkan kemampuan dan kekuatan dengan berperang di jalan Allah SWT, dengan jiwa, harta dan lisan dan selain itu." (Al-Kisani, Badai'u Ash-Shanai'i 9/4299)

Ibnu Rusyd mengatakan:
"Setiap orang yang meletihkan dirinya di dalam mentaati Allah, maka sungguh ia telah berjihad di jalanNya, kecuali bahawasanya perkataan 'Jihad fie Sabilillah' bila dinyatakan secara mutlak, maka dengan kemutlakannya itu tidak dapat diartikan selain dari: Memerangi orang orang kafir dengan pedang, hingga mereka masuk kedalam agama Islam atau membayar Jizyah dari tangan mereka, sedang mereka dalam keadaan hina." (Muqaddimah Ibnu Rusyd 1/369)

Dan perkataan 'fie Sabilillah' jika dinyatakan secara mutlak atas sesuatu perbuatan, yang dimaksud adalah Jihad yang maknanya Perang. Oleh karena itu kita lihat banyak para ulama penyusun berbagai kitab mencantumkan hadist-hadist yang mengandung perkataan 'fie Sabilillah' didalam bab-bab Jihad. Misalnya Hadist:

"Sesiapa yang berpuasa sehari fie sabilillah niscaya Allah menjauhkan mukanya dari api neraka 70 tahun perjalanan." (Fathul Bari no. 2840, Kitabul Jihad, Bab Fadlus Soum fie Sabilillah 6/47)

Untuk lebih menyakinkan kita rujuk kitab kitab: Shahih Bukhari, Sunan Nasai, Sunan Tirmidzi, At-Targhib wat Tarhib, dan lain-lain

Ibnu Hajar berkata:
"Dan yang tidak memerlukan pemikiran yang panjang untuk memahami lafaz 'fie sabilillah adalah Jihad."

Jihad Lisan dengan Tulisan

Kata Jihad adalah kata/istilah islami yang muncul dan digunakan setelah kedatangan Islam untuk menggambarkan semangat, sumber kekuatan Islam, dan sumber penggerak umatnya. Walaupun akhir-akhir ini konotasi Jihad banyak diplintir oleh media, khususnya media yang mengambil Sudut Pandang dan Metodologi Barat, menjadi berkonotasi kekerasan dan peperangan, Jihad dalam Islam memiliki arti dan makna yang sangat luas. Implementasi Jihad pun tidak cuma sebatas dalam hal peperangan saja, namun mencakup berbagai sendi dan aspek kehidupan Umat Islam. Menurut Dr. Hilmy Bakar Almascaty, M.A. dalam bukunya yang baru-baru ini terbit "Panduan Jihad" (diterbitkan oleh Gema Insani Press, Mei 2001), Jihad dalam Islam mencakup Jihad Harta, Jihad Jiwa, Jihad Pendidikan dan Pengajaran, Jihad Politik, dan Jihad Pengetahuan. Dalam konteks Jihad ini, menuangkan gagasan dalam bentuk lisan berupa tulisan, artikel, atau informasi yang nantinya banyak dibaca dan dimanfaatkan oleh masyarakat luas termasuk Jihad juga. Lebih lanjut, Dr. Hilmy Bakar Almascaty menyebutkan bahwa :

"Yang dimaksud dengan jihad lisan dengan tulisan atau jihad al-lisan bi al qalam adalah jihadnya seorang muslim dengan menggunakan kemampuannya menulis artikel, buku, dan lainnya yang disertai argumentasi-agumentasi meyakinkan dalam rangka menyebarkan pengertian Islam yang sebenarnya. Tujuannya adalah untuk mengajak manusia memahami hakikat ajaran Islam yang agung dan sempurna dengan menggunakan berbagai bentuk pendekatan ataupun menolak tuduhan-tuduhan palsu musuh-musuhnya."

Di era internet ini, dimana tulisan telah dapat ditransformasikan menjadi bit dan didistribusikan keseluruh penjuru dunia dengan satu kali klik ujung jari melalui website, mailing list, forum-forum diskusi dan komunitas-komunitas virtual lainnya, peranan suatu tulisan untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam dan sistematis atas gagasan-gagasan Islam menjadi semakin signifikan. Mengingat hal demikian, maka myQURAN.COM sebagai fasilitator Umat Islam di Internet mengundang Anda sebagai pengunjung, anggota, atau aktivis-aktivis Islam untuk turut serta berjihad dengan cara menyumbangkan gagasan, ide dan saran dalam bentuk tulisan, artikel dan informasi bernilai tambah lainnya.

Berjihad di myQURAN

Sebagai komunitas yang kolaboratif dan terbuka, myQURAN.COM membuka kesempatan bagi Umat Islam untuk turut serta berjihad lisan dengan tulisan dengan cara menyumbangkan gagasan, saran, kritik, karya Anda maupun menjadi sponsor komersial untuk secara bersama-sama membangun myQURAN.COM menjadi komunitas virtual yang bermanfaat. Kita harus yakin bahwa dengan partisipasi Umat secara bersama-sama akan dapat diciptakan sarana Ukhuwah Islamiyah dan pergaulan di Mayantara (cyberspace) yang lebih positif untuk kepentingan Umat Islam. Kita pun harus menyadari bahwa teknologi Internet mempunyai potensi yang sangat dahsyat untuk meningkatkan kompetitifitas Umat Islam baik untuk kehidupannya maupun untuk agamanya. Oleh karena itu, Umat Islam harus dapat sesegera mungkin memanfaatkan teknologi Internet disegala aspek kehidupan dan peradabannya.

Untuk berpartisipasi secara aktif membangun myQURAN.COM kami membuka kesempatan kepada Anda untuk berjihad dengan menjadi volunteer. Sebagai volunteer myQURAN Anda dapat berpartisipasi sebagai kontributor isi, programmer, desain grafis maupun sebagai moderator atau administrator rubrik-rubrik yang ada di situs myQURAN.COM.

Volunteer adalah anggota situs komunitas myQURAN yang bersedia menyumbangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk perkembangan situs myQURAN dengan sukarela secara online ataupun offline jika diperlukan. Jika diperlukan atau diinginkan para volunteer dapat mengadakan pertemuan informal secara tatap muka baik dengan pengelola situs maupun dengan volunteer myQURAN lainnya.

myQURAN membuka peluang bagi siapa saja untuk menjadi volunteer dengan persyaratan:

§ Beragama Islam

§ Memiliki pengetahuan yang cukup tentang keagamaan Islam baik secara teknis maupun non teknis.

§ Mempunyai kemampuan dan bakat untuk mengungkapkan ide atau gagasan untuk bisa memperkaya isi myQURAN.COM

§ Terdaftar sebagai Anggota myQURAN.COM dengan melakukan registrasi keanggotaan dan mengisi form keanggotaan dengan informasi yang benar di kanal atau masing-masing rubrik.

§ Aktif di situs myQURAN.COM dengan melakukan kunjungan yang teratur dan memiliki kewajiban untuk mengelola, mengisi situs myQURAN dan mempromosikannya sebagai upaya kolaborasi di Internet.

myQURAN merupakan situs yang terbuka. Dalam arti, Anda dapat berperan secara aktif untuk menyumbangkan tulisan, memperkaya isi myQURAN atau menjadi moderator dan administrator untuk suatu rubrik tertentu di dalam situs myQURAN. Dengan catatan bahwa Anda memahami visi dan misi myQURAN.COM sebagai suatu komunitas virtual Umat Islam.

Kontributor Penulis :

Memberikan tulisan yang berbobot, ringan namun sarat makna bagi pengunjung komunitas myQuran. Isi tulisan tidak mencerminkan hal-hal yang bertentangan dengan visi dan misi myQURAN.COM serta tidak mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan agama Islam seperti kekerasan, pornografi, kebencian, menghasut, memfitnah dll. Inti dari tulisan-tulisan di situs myQURAN hendaknya diarahkan sebagai suatu karya tulis yang penuh hikmah dan makna sehingga visi myQURAN yang tercermin didalam motonya "Refresh Your Life!" bisa terpenuhi. Karya tulis yang disumbangkan untuk myQURAN dan anggota komunitasnya diberikan sebagai karya Error! Reference source not found. dalam arti karya tulis Anda akan bebas didistribusikan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu> Meskipun demikian hak cipta intelektual tetap berada ditangan si pembuat karya tulisan. bagi Anda yang ingin mendistribusikannya diwajibkan untuk mencantumkan nama penulis dan sumbernya (dalam hal ini adalah myQURAN.COM).

Kontributor Admin/Moderator :

Moderator/Adminsitrator akan diberikan kepada anggota yang sudah senior dan sangat aktif membangun myQURAN. Tugas moderator atau administrator situs dan rubrik adalah menjaga kualitas isi dan menjaga aktivitas kanal atau rubrik yang dikelolanya dengan penuh tanggung jawab sebagai Umat Islam. Moderator/Administrator berhak untuk menegur anggota maupun pengunjung situs non anggota jika tidak sejalan dengan konteks topik, melanggar peraturan atau tidak sesuai dengan Error! Reference source not found..

Kontributor Programmer :

Kontributor Programmer terbuka untuk anggota yang mempunyai kemampuan pemrograman komputer. Saat ini myQURAN.COM dikembangkan berdasarkan perangkat lunakError! Reference source not found. dengan sumber dari Hotscripts.Com, komunitas X-Null, Source Forge dan LA news Factory dengan menggunakan bahasa pemrograman PHP, XML, ASP, Perls, JavaScript, Java dan MIVAScripts dengan database Flat Text, DBF dan mySQL. Untuk waktu mendatang bahasa yang digunakan adalah PHP dengan database mySQL. Kontributor programmer berperan dalam membangun dan memberikan ide-ide baru untuk fitur-fitur yang ada di myQURAN serta mengembangkan perangkat lunak yang dibutuhkan untuk modul-modul komunitas. Kontributor programmer myQURAN bersama-sama dengan pengelola situs berkolaborasi untuk menciptakan sistem berbasis Open Source bagi pengembangan dunia Islam di Internet.

Kontributor Desain Grafis :

Kontributor desain grafis bertugas menyumbangkan ide dan desain-desain grafis yang menarik untuk meningkatkan penampilan situs myQURAN.COM maupu untuk melengkapi fitur-fitur situs. Karya desain yang disumbangkan untuk myQURAN dan anggota komunitasnya diberikan sebagai karya Open Content dalam arti bebas didistribusikan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu dan tidak menghilangkan hak cipta intelektual dari si pembuat karya desain.

myQURAN Situs Independen

Sampai saat ini, myQURAN.COM merupakan situs independen. Artinya myQURAN.COM tidak berafiliasi atau berada dibawah naungan organisasi , perusahaan atau lembaga/departemen pemerintah. myQURAN.COM tidak merupakan suatu organisasi politik atau keagamaan dan tidak terikat kepada aliran atau mazhab Islam tertentu. Jadi, myQURAN.COM 100 % independen.

Kerjasama-kerjasama yang dilakukan oleh myQURAN.COM dengan situs-situs Internet lainnya, organisasi, perusahaan atau perorangan sifatnya tidak mengikat (non ekslusif) kecuali dinyatakan secara terikat oleh suatu perjanjian online, perjanjian tertulis dan disahkan secara hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia baik komersial maupun non komersial.

HUBUNGAN AGAMA DAN FILSAFAT DI BARAT

(Sebuah Survei Sejarah Lintas Periode)

Pendahuluan

Menurut catatan sejarah, filsafat Barat bermula di Yunani. Bangsa Yunani mulai mempergunakan akal ketika mempertanyakan mitos yang berkembang di masyarakat sekitar abad VI SM. Perkembangan pemikiran ini menandai usaha manusia untuk mempergunakan akal dalam memahami segala sesuatu. Pemikiran Yunani sebagai embrio filsafat Barat berkembang menjadi titik tolak pemikiran Barat abad pertengahan, modern dan masa berikutnya.

Disamping menempatkan filsafat sebagai sumber pengetahuan, Barat juga menjadikan agama sebagai pedoman hidup, meskipun memang harus diakui bahwa hubungan filsafat dan agama mengalami pasang surut. Pada abad pertengahan misalnya dunia Barat didominasi oleh dogmatisme gereja (agama), tetapi abad modern seakan terjadi pembalasan terhadap agama. Peran agama di masa modern digantikan ilmu-ilmu positif. Akibatnya, Barat mengalami kekeringan spiritualisme. Namun selanjutnya, Barat kembali melirik kepada peranan agama agar kehidupan mereka kembali memiliki makna.

Makalah ini akan mendiskripsikan hubungan filsafat dan agama di Barat sebagai sebuah survei sejarah lintas periode.

1. Pengertian Agama

Agama memang tidak mudah diberi definisi, karena agama mengambil berbagai bentuk sesuai dengan pengalaman pribadi masing-masing. Meskipun tidak terdapat definisi yang universal, namun dapat disimpulkan bahwa sepanjang sejarah manusia telah menunjukkan rasa "suci", dan agama termasuk dalam kategori "hal yang suci". Kemajuan spiritual manusia dapat diukur dengan tingginya nilai yang tidak terbatas yang diberikan kepada obyek yang disembah. Hubungan manusia dengan "yang suci" menimbulkan kewajiban, baik untuk melaksanakan maupun meninggalkan sesuatu.

Di dalam setiap agama, paling tidak ditemukan empat ciri khas. Pertama, adanya sikap percaya kepada Yang Suci. Kedua, adanya ritualitas yang menunjukkan hubungan dengan Yang Suci. Ketiga, adanya doktrin tentang Yang Suci dan tentang hubungan tersebut. Keempat, adanya sikap yang ditimbulkan oleh ketiga hal tersebut.

Agama-agama yang tumbuh dan berkembang di muka bumi, sesuai dengan asalnya, dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, agama samawi (agama langit), yaitu agama yang dibangun berdasarkan wahyu Allah. Kedua, agama ardli (agama bumi), yaitu agama yang dibangun berdasarkan kreasi manusia.

2. Agama Universal di Barat

Sebelum dijelaskan tentang agama universal di Barat, perlu diketahui agama bangsa Yunani secara garis besar. Bangsa Yunani sebelum mengenal dewa-dewa, mereka memuja dan menyembah daya-daya alam, roh nenek moyang dan pimpinan tertinggi dari anggota keturunan. Kemudian, mereka melakukan pemujaan terhadap para dewa yang dipusatkan di gunung Olympia, sebagaimana diceritakan Homerus dan Hesiodes dalam syair-syair mereka. Hal ini terjadi berabad-abad lamanya hingga datangnya agama Yahudi dan Nashara.

Sementara itu, agama universal adalah agama yang kepercayaannya disajikan untuk semua umat manusia. Agama ini menganggap dirinya punya kebenaran penuh tentang realitas, pengetahuan, dan nilai, sehingga pemeluknya merasa berkewajiban menyampaikan kepada semua umat manusia. Agama universal yang dimaksud di sini adalah agama Yahudi, Kristen, dan Islam.

Agama dan Filsafat Barat Klasik

1. Masa Pra-Sokrates

Bangsa Yunani merupakan bangsa yang pertama kali berusaha menggunakan akal untuk berpikir. Kegemaran bangsa Yunani merantau secara tidak langsung menjadi sebab meluasnya tradisi berpikir bebas yang dimiliki bangsa Yunani.

Menurut Barthelemy, kebebasan berpikir bangsa Yunani disebabkan di Yunani sebelumnya tidak pernah ada agama yang didasarkan pada kitab suci. Keadaan tersebut jelas berbeda dengan Mesir, Persia, dan India. Sedangkan Livingstone berpendapat bahwa adanya kebebasan berpikir bangsa Yunani dikarenakan kebebasan mereka dari agama dan politik secara bersamaan.

Pada masa Yunani kuno, filsafat secara umum sangat dominan, meski harus diakui bahwa agama masih kelihatan memainkan peran. Hal ini terjadi pada tahap permulaan, yaitu pada masa Thales (640-545 SM), yang menyatakan bahwa esensi segala sesuatu adalah air, belum murni bersifat rasional. Argumen Thales masih dipengaruhi kepercayaan pada mitos Yunani. Demikian juga Phitagoras (572-500 SM) belum murni rasional. Ordonya yang mengharamkan makan biji kacang menunjukkan bahwa ia masih dipengaruhi mitos. Jadi, dapat dikatakan bahwa agama alam bangsa Yunani masih dipengaruhi misteri yang membujuk pengikutnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa mitos bangsa Yunani bukanlah agama yang berkualitas tinggi.

Secara umum dapat dikatakan, para filosof pra-Socrates berusaha membebaskan diri dari belenggu mitos dan agama asalnya. Mereka mampu melebur nilai-nilai agama dan moral tradisional tanpa menggantikannya dengan sesuatu yang substansial.

2. Periode Athena

Hampir bersamaan dengan filsafat atomis, muncul para filosof yang mengalihkan obyek pemikiran manusia dari alam ke arah pemikiran tentang manusia sendiri. Filosof-filosof ini disebut dengan kaum sophis yang dipelopori oleh Protagoras (485-420 SM). Menurutnya, segala fenomena menjadi relatif bagi subyektifitas manusia. Ia mengklaim manusia sebagai ukuran kebenaran dengan istilah "homo mensura". Kaum sophis berpendapat bahwa manusia menjadi ukuran kebenaran. Tidak ada kebenaran yang berlaku secara universal, kebenaran hanya berlaku secara individual. Mereka menggunakan retorika sebagai alat utama untuk mempertahankan kebenaran. Tidak adanya ukuran kebenaran yang bersifat umum berdampak negatif, yaitu terciptanya kekacauan tentang kebenaran, semua teori pengetahuan diragukan, serta kepercayaan dan doktrin agama diabaikan.

Kaum sophis mendapat imbangannya dalam diri seorang alim yang merupakan guru teladan sepanjang jaman (the greatest teacher of all time) yang bernama Socrates (470-399 SM). Ia tidak menerima kepercayaan yang diabdikan pada sejumlah berhala, sebab baginya Tuhan adalah tunggal. Menurutnya, kebenaran umum itu ada, yaitu kebenaran yang diterima setiap orang. Pemikiran tersebut dilanjutkan oleh Plato (429-348 SM). Bagi Plato, kebenaran umum itu memang ada; namanya adalah ide. Idealisme metafisiknya, Tuhan adalah realitas yang tertinggi dan paling sempurna. Tuhan tidak mencipta sesuatu dari yang tidak ada, tetapi dari sesuatu yang disebut "Dzat Primordial" yang berisikan seluruh unsur asli alam. Selanjutnya, muncul Aristoteles (384-322 SM) yang meyakini Tuhan yang monoteistik dan kekekalan jiwa manusia. Sampai periode ini, agama dan filsafat sama-sama dominan.

Sebelum perjalanan survei tentang agama dan filsafat Barat klasik diakhiri, perlu dikemukakan pemikiran seorang filosof yang merumuskan kembali pemikiran Plato, terutama dalam menjawab persoalan agama. Aliran ini dikenal dengan Neo-Platonisme yang dirintis oleh Plotinus (205-70 SM).

Doktrin pokok Plotinus adalah tiga realitas, yaitu jiwa (soul), akal (nous), dan Yang baik (The Good). Hubungan ketiga unsur tersebut dikenal dengan Plotinus Trinity. Menurut Plotinus, Tuhan bukan untuk dipahami, tetapi untuk dirasakan. Tujuan berfilsafat (tujuan hidup secara umum) adalah bersatu dengan Tuhan. Rasa inilah satu-satunya yang dituntun kitab suci. Filsafat rasional dan sains tidak penting, bahkan salah seorang murid Plotinus, Simplicus, menutup sama sekali ruang gerak filsafat rasional. Filsafat Plotinus tumbuh bersamaan dengan munculnya agama Kristen, dan dijadikan dasar oleh para pemuka agama Kristen untuk mempertahankan ajaran-ajaran mereka.

Akibatnya, orang-orang yang menghidupkan filsafat dimusuhi dan dibunuh. Di antara korban kefanatikan agama Kristen adalah Hypatia (370-415). Pada saat itu, gereja sedang mengadakan konsolidasi diri dan mencoba untuk mengikis habis paganisme, dan filsafat dianggap sama dengan paganisme. Tidak lama kemudian, gereja membakar habis perpustakaan Iskandaria bersama seluruh isinya. Puncaknya pada tahun 529 M, Kaisar Justianus mengeluarkan undang-undang yang melarang filsafat di Athena.

Yang menarik dari pemikiran Plotinus dan Neo-Platonisme adalah pengalihan arah pemikiran dari alam (kosmo sentris) dan manusia (antroposentris) kepada pemikiran tentang Tuhan (theosentris), sehingga Tuhan dijadikan dasar segala sesuatu.

Agama dan Filsafat Barat Skolastik

Puncak terakhir filsafat Yunani adalah ajaran yang disebut Neo-Platonisme, yang ajarannya banyak bernuansa nilai-nilai spiritual yang transenden. Pemikiran Neo-Platonisme sangat berpengaruh terhadap perkembangan filsafat Kristen pada masa berikutnya.

Sejak gereja (agama) mendominasi, peranan akal (filsafat) menjadi sangat kecil. Karena, gereja telah membelokkan kreatifitas akal dan mengurangi kemampuannya. Pada saat itu, pendidikan diserahkan pada tokoh-tokoh gereja yang dikenal dengan "The Scholastics", sehingga periode ini disebut dengan masa skolastik. Para filosof aliran skolastik menerima doktrin gereja sebagai dasar pandangan filosofisnya. Mereka berupaya memberikan pembenaran apa yang telah diterima dari gereja secara rasional.

Diantara filosof skolastik yang terkenal adalah Augustinus (354-430). Menurutnya, dibalik keteraturan dan ketertiban alam semesta ini pasti ada yang mengendalikan, yaitu Tuhan. Kebenaran mutlak ada pada ajaran agama. Kebenaran berpangkal pada aksioma bahwa segala sesuatu diciptakan oleh Allah dari yang tidak ada (creatio ex nihilo). Kehidupan yang terbaik adalah kehidupan bertapa, dan yang terpenting adalah cinta pada Tuhan.

Ciri khas filsafat abad pertengahan ini terletak pada rumusan Santo Anselmus (1033-1109), yaitu credo ut intelligam (saya percaya agar saya paham). Filsafat ini jelas berbeda dengan sifat filsafat rasional yang lebih mendahulukan pengertian dari pada iman.

Menghadapi abad XII, Eropa membuka kembali kebebasan berpikir yang dipelopori oleh Peter Abelardus (1079-1142). Ia menginginkan kebebasan berpikir dengan membalik diktum Augustinus-Anselmus credo ut intelligam dan merumuskan pandangannya sendiri menjadi intelligo ut credom (saya paham supaya saya percaya). Peter Abelardus memberikan status yang lebih tinggi kepada penalaran dari pada iman.

Puncak kejayaan masa skolastik dicapai melalui pemikiran Thomas Aquinas (1225-1274). Ia mendapat gelar "The Angelic Doctor", karena banyak pikirannya, terutama dalam "Summa Theologia" menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gereja. Menurutnya, pengetahuan berbeda dengan kepercayaan. Pengetahuan didapat melalui indera dan diolah akal. Namun, akal tidak mampu mencapai realitas tertinggi yang ada pada daerah adikodrati. Ini merupakan masalah keagamaan yang harus diselesaikan dengan kepercayaan. Dalil-dalil akal atau filsafat harus dikembangkan dalam upaya memperkuat dalil-dali agama dan mengabdi kepada Tuhan.

Pada tahap akhir masa skolastik terdapat filosof yang berbeda pandangan dengan Thomas Aquinas, yaitu William Occam (1285-1349). Tulisan-tulisannya menyerang kekuasaan gereja dan teologi Kristen. Karenanya, ia tidak begitu disukai dan kemudian dipenjarakan oleh Paus. Namun, ia berhasil meloloskan diri dan meminta suaka politik kepada Kaisar Louis IV, sehingga ia terlibat konflik berkepanjangan dengan gereja dan negara. William Occam merasa membela agama dengan menceraikan ilmu dari teologi. Tuhan harus diterima atas dasar keimanan, bukan dengan pembuktian, karena kepercayaan teologis tidak dapat didemonstrasikan.

Pada abad pertengahan, perkembangan alam pikiran di Barat amat terkekang oleh keharusan untuk disesuaikan dengan ajaran agama (doktrin gereja). Perkembangan penalaran tidak dilarang, tetapi harus disesuaikan dan diabdikan pada keyakinan agama.

Agama dan Filsafat Barat Modern

Di abad pertengahan, filsafat mencurahkan perhatian terhadap masalah metafisik. Saat itu sulit membedakan mana yang filsafat dan mana yang gereja. Sedangkan periode sejarah yang umumnya disebut modern memiliki sudut pandang mental yang berbeda dalam banyak hal, terutama kewibawaan gereja semakin memudar, sementara otoritas ilmu pengetahuan semakin kuat.

Masa filsafat modern diawali dengan munculnya renaissance sekitar abad XV dan XVI M, yang bermaksud melahirkan kembali kebudayaan klasik Yunani-Romawi. Problem utama masa renaissance, sebagaimana periode skolastik, adalah sintesa agama dan filsafat dengan arah yang berbeda. Era renaissance ditandai dengan tercurahnya perhatian pada berbagai bidang kemanusiaan, baik sebagai individu maupun sosial.

Di antara filosof masa renaissance adalah Francis Bacon (1561-1626). Ia berpendapat bahwa filsafat harus dipisahkan dari teologi. Meskipun ia meyakini bahwa penalaran dapat menunjukkan Tuhan, tetapi ia menganggap bahwa segala sesuatu yang bercirikan lain dalam teologi hanya dapat diketahui dengan wahyu, sedangkan wahyu sepenuhnya bergantung pada penalaran. Hal ini menunjukkan bahwa Bacon termasuk orang yang membenarkan konsep kebenaran ganda (double truth), yaitu kebenaran akal dan wahyu. Puncak masa renaissance muncul pada era Rene Descartes (1596-1650) yang dianggap sebagai Bapak Filsafat Modern dan pelopor aliran Rasionalisme. Argumentasi yang dimajukan bertujuan untuk melepaskan diri dari kungkungan gereja. Hal ini tampak dalam semboyannya "cogito ergo sum" (saya berpikir maka saya ada). Pernyataan ini sangat terkenal dalam perkembangan pemikiran modern, karena mengangkat kembali derajat rasio dan pemikiran sebagai indikasi eksistensi setiap individu. Dalam hal ini, filsafat kembali mendapatkan kejayaannya dan mengalahkan peran agama, karena dengan rasio manusia dapat memperoleh kebenaran.

Kemudian muncul aliran Empirisme, dengan pelopor utamanya, Thomas Hobbes (1588-1679) dan John Locke (1632-1704). Aliran Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan dan pengenalan berasal dari pengalaman, baik pengalaman batiniah maupun lahiriah. Aliran ini juga menekankan pengenalan inderawi sebagai bentuk pengenalan yang sempurna.

Di tengah gegap gempitanya pemikiran rasionalisme dan empirisme, muncul gagasan baru di Inggris, yang kemudian berkembang ke Perancis dan akhirnya ke Jerman. Masa ini dikenal dengan Aufklarung atau Enlightenment atau masa pencerahan sekitar abad XVIII M.

Pada abad ini dirumuskan adanya keterpisahan rasio dari agama, akal terlepas dari kungkungan gereja, sehingga Voltaire (1694-1778) menyebutnya sebagai the age of reason (zaman penalaran). Sebagai salah satu konsekwensinya adalah supremasi rasio berkembang pesat yang pada gilirannya mendorong berkembangnya filsafat dan sains.

Meskipun demikian, di antara pemikir zaman aufklarung ada yang memperhatikan masalah agama, yaitu David Hume (1711-1776). Menurutnya, agama lahir dari hopes and fears (harapan dan penderitaan manusia). Agama berkembang melalui proses dari yang asli, yang bersifat politeis, kepada agama yang bersifat monoteis. Kemudian Jean Jacques Rousseau (1712-1778) berjuang melawan dominasi abad pencerahan yang materialistis dan atheis. Ia menentang rasionalisme yang membuat kehidupan menjadi gersang. Ia dikenal dengan semboyannya retournous a la nature (kembali ke keadaan asal), yakni kembali menjalin keakraban dengan alam.

Tokoh lainnya adalah Imanuel Kant (1724-1804). Filsafatnya dikenal dengan Idealisme Transendental atau Filsafat Kritisisme. Menurutnya, pengetahuan manusia merupakan sintesa antara apa yang secara apriori sudah ada dalam kesadaran dan pikiran dengan impresi yang diperoleh dari pengalaman (aposteriori). Ia berusaha meneliti kemampuan dan batas-batas rasio. Ia memposisikan akal dan rasa pada tempatnya, menyelamatkan sains dan agama dari gangguan skeptisisme.

Tokoh idealisme lainnya adalah George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831). Filsafatnya dikenal dengan idealisme absolut yang bersifat monistik, yaitu seluruh yang ada merupakan bentuk dari akal yang satu, yakni akal yang absolut (absolut mind). Ia memandang agama Kristen yang dipahaminya secara panteistik sebagai bentuk terindah dan tertinggi dari segala agama.

Sementara di Inggris, Jeremy Benthem (1748-1832) dengan pemikiran-pemikirannya mengawali tumbuhnya aliran Utilitarianisme. Utility dalam bahasa Inggris berarti kegunaan dan manfaat. Makna semacam inilah yang menjadi dasar aliran Utilitarianisme. Tokoh lain aliran ini adalah John Stuart Mill (1806-1873) dan Henry Sidgwick (1838-1900). Menurut aliran utilitarianis bahwa pilihan terbaik dari berbagai kemungkinan tindakan perorangan maupun kolektif adalah yang paling banyak memberikan kebahagiaan pada banyak orang. Kebahagiaan diartikan sebagai terwujudnya rasa senang dan selamat atau hilangnya rasa sakit dan was-was. Hal ini bukan saja menjadi ukuran moral dan kebenaran, tetapi juga menjadi tujuan individu, masyarakat, dan negara.

Aliran filsafat yang lain adalah Positivisme. Dasar-dasar filsafat ini dibangun oleh Saint Simon dan dikembangkan oleh Auguste Comte (1798-1857). Ia menyatakan bahwa pengetahuan manusia berkembang secara evolusi dalam tiga tahap, yaitu teologis, metafisik, dan positif. Pengetahuan positif merupakan puncak pengetahuan manusia yang disebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. Sesuai dengan pandangan tersebut kebenaran metafisik yang diperoleh dalam metafisika ditolak, karena kebenarannya sulit dibuktikan dalam kenyataan.

Auguste Comte mencoba mengembangkan Positivisme ke dalam agama atau sebagai pengganti agama. Hal ini terbukti dengan didirikannya Positive Societies di berbagai tempat yang memuja kemanusiaan sebagai ganti memuja Tuhan. Perkembangan selanjutnya dari aliran ini melahirkan aliran yang bertumpu kepada isi dan fakta-fakta yang bersifat materi, yang dikenal dengan Materialisme.

Tokoh aliran Materialisme adalah Feurbach (1804-1872). Ia menyatakan bahwa kepercayaan manusia kepada Allah sebenarnya berasal dari keinginan manusia yang merasa tidak bahagia. Lalu, manusia mencipta Wujud yang dapat dijadikan tumpuan harapan yaitu Tuhan, sehingga Feurbach menyatakan teologi harus diganti dengan antropologi. Tokoh lain aliran Materialisme adalah Karl Marx (1820-1883) yang menentang segala bentuk spiritualisme. Ia bersama Friederich Engels (1820-1895) membangun pemikiran komunisme pada tahun 1848 dengan manifesto komunisme. Karl Marx memandang bahwa manusia itu bebas, tidak terikat dengan yang transendental. Kehidupan manusia ditentukan oleh materi. Agama sebagai proyeksi kehendak manusia, bukan berasal dari dunia ghaib.

Periode filsafat modern di Barat menunjukkan adanya pergeseran, segala bentuk dominasi gereja, kependetaan dan anggapan bahwa kitab suci sebagai satu-satunya sumber pengetahuan diporak-porandakan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa abad modern merupakan era pembalasan terhadap zaman skolastik yang didominasi gereja.

Agama dan Filsafat Barat Kontemporer

Pada awal abad XX, di Inggris dan Amerika muncul aliran Pragmatisme yang dipelopori oleh William James (1842-1910). Sebenarnya, Pragmatisme awalnya diperkenalkan oleh C.S. Pierce (1839-1914). Menurutnya, kepercayaan menghasilkan kebiasaan, dan berbagai kepercayaan dapat dibedakan dengan membandingkan kebiasaan yang dihasilkan. Oleh karena itu, kepercayaan adalah aturan bertindak.

William James berpendapat bahwa teori adalah alat untuk memecahkan masalah dalam pengalaman hidup manusia. Karena itu, teori dianggap benar, jika teori berfungsi bagi kehidupan manusia. Sedangkan agama, menurutnya, mempunyai arti sebagai perasaan (feelings), tindakan (acts) dan pengalaman individu manusia ketika mencoba memahami hubungan dan posisinya di hadapan apa yang mereka anggap suci. Dengan demikian, keagamaan bersifat unik dan membuat individu menyadari bahwa dunia merupakan bagian dari sistem spiritual yang dengan sendirinya memberi nilai bagi atau kepadanya.

Agak berbeda dengan William James, tokoh Pragmatisme lainnya, John Dewey (1859-1952) menyatakan bahwa tugas filsafat yang terpenting adalah memberikan pengarahan pada perbuatan manusia dalam praktek hidup yang harus berpijak pada pengalaman.

Pada saat yang bersamaan, juga berkembang aliran Fenomenologi di Jerman yang dipelopori oleh Edmund Husserl (1859-1938). Menurutnya, untuk mendapatkan pengetahuan yang benar ialah dengan menggunakan intuisi langsung, karena dapat dijadikan kriteria terakhir dalam filsafat. Baginya, Fenomenologi sebenarnya merupakan teori tentang fenomena; ia mempelajari apa yang tampak atau yang menampakkan diri.

Pada abad tersebut juga lahir aliran Eksistensialisme yang dirintis oleh Soren Kierkegaard (1813-1855). Tokoh terpenting dalam aliran ini adalah Jean Paul Sartre (1905-1980) yang berpandangan atheistik. Menurutnya, Tuhan tidak ada, atau sekurang-kurangnya manusia bukan ciptaan Tuhan. Eksistensi manusia mendahului esensinya; manusia bebas menentukan semuanya untuk dirinya dan untuk seluruh manusia.

Walaupun rasionalisme Eropa memperoleh kemenangan, ternyata menyimpan beberapa keretakan yang pada gilirannya menimbulkan reaksi, seperti lahirnya anti rasionalisme, humanisme, dan lain-lain. Periode kontemporer di Barat juga ditandai dengan adanya keinginan yang demikian kuat untuk kembali kepada ajaran agama. Filosof di Barat mulai menyadari bahwa era modern telah melahirkan kehidupan yang kering spiritual dan tidak bermakna.

Kesimpulan

Dari uraian terdahulu, maka dapat ditarik dua kesimpulan. Pertama, hubungan filsafat dan agama di Barat telah terjadi sejak periode Yunani Klasik, pertengahan, modern, dan kontemporer, meskipun harus diakui bahwa hubungan keduanya mengalami pasang surut.

Kedua, dewasa ini di Barat terdapat kecenderungan yang demikian kuat terhadap peranan agama. Masyarakat modern yang rasionalistik, vitalistik, dan materialistik, ternyata hampa spiritual, sehingga mulai menengok

Di masa sekarang, orang memang bisa tak peduli pada agama lagi, dan hidup dari filsafatnya, ilmu pengetahuannya dan pengabdian seninya. Orang-orang semacam itu dapat mengatakan bahwa hidupnya dapat bahagia dan penuh. Kedamaian hidupnya dapat dipenuhi oleh kepercayaan ilmiahnya, filsafatnya. Ilmu, filsafat, dan seninya dapat menuntun hidup moralitasnya. Meskipun gejala itu ada, pada umumnya para filsuf, seniman, dan ilmuwan lebih banyak menganut satu agama.

Dalam agama, seluruh totalitas pribadi manusia terlibat dalam mekanismenya. Akal budinya, perasaannya, pengalamannya, kerohaniannya, menyatu dalam apa yang diimaninya. Untuk apa? Untuk "keselamatan", baik selama hidup di dunia ini maupun sesudah kematiannya. Semua agama mempercayai bahwa manusia akan tetap hidup setelah kematiannya.

Mengapa dapat demikian? Karena agama bukan ilmu, bukan filsafat, dan bukan seni yang dapat dibuktikan secara faktual. Jadi, inti agama berfokus kepada "dunia nanti" itu dan tidak ada manusia hidup yang dapat membuktikan hal itu, kecuali mempercayainya

TITIK BALIK PENGALAMAN EKSISTENSIAL FARID ESACK:

RAISON D’ETRE HERMENEUTIKA PEMBEBASAN AL-QUR’AN

Burhanuddin

A. Potret Seorang Intelektual Organik

1. Latar Belakang Sosial-Politik Afrika Selatan (Afsel)

Dalam diskursus dan khazanah intelektual Islam, Afsel boleh dikatakan sebagai kawasan yang kurang—untuk mengatakan tidak sama sekali—dipertimbangkan dalam peta pemikiran Islam. Sebagaimana Islam di Asia Tenggara, atau kawasan-kawasan di luar jazirah Arab dan Afrika bagian utara, Afsel seringkali ditempatkan sebagai periferi dalam studi-studi keislaman. Wilayah Timur Tengah adalah core-nya yang pada taraf tertentu mensimplifikasi keragaman wajah Islam —dan oleh karenanya— mengeklusi konvisinitas pemikiran keislaman yang muncul di kawasan lain. Dengan kata lain, pemikiran keislaman yang timbul di luar Arab selalu dianggap subordinat dari koordinat keilmuan Islam (the centre of Islam).[1] Justru di negeri yang tersohor dengan sistem apartheid inilah muncul suatu pemikiran keagamaan yang sangat tipikal dengan munculnya Maulana Farid Esack dengan organisasi The Call of Islam-nya yang berambisi mewujudkan “Islam Afsel.”[2] Struktur penindasan yang nyaris sempurna seperti digambarkan Esack ketika

melukiskan penderitaan ibunya yang tertindih tiga lapis penindasan (triple oppression): apartheid, patriarkhi dan kapitalisme,[3] memang menjadi krisis kemanusiaan yang khas Afsel, terutama hegemoni sistem apartheid yang telah sekian lama berurat akar. Konteks lokal inilah dijadikan Esack—dengan meminjam perspektif Aloysius Pieris— sebagai “tempat berteologi” (locus theologicus) dengan menerjemahkan teologi sebagai wacana-praksis pembebasan kaum tertindas.

Sulit dipungkiri, peran Esack dengan perangkat organisasi pendukungnya dalam mensosialisasikan pemikiran keagamaan yang tipikal Afsel. Uniknya, pemikiran keagamaan yang digagas beliau langsung merujuk pada sumber pokok ajaran Islam, yakni al-Quran, yang makin menemukan relevansinya dengan latar belakang disiplin keilmuan Esack. Bila dirunut lebih jauh, pemikiran beliau masih beririsan dengan konteks besar gagasan teologi pembebasan yang dalam konteks Islam dipromotori oleh Asghar dengan kritik sejarah dan sosialnya.[4] Ia sendiri lebih suka menamainya Islam progaresif daripada teologi pembebasan.[5] Apa yang dirumuskan Esack sebagai hermeneutika pembebasan al-Quran adalah merupakan catatan kaki dari produk refleksi pemikiran teologis dan pergumulan praksis dengan hegemoni, dominasi dan represi rezim apartheid yang menggencet rakyat Afsel pada umumnya.

Keterlibatan Esack dan komunitas muslim secara intens dalam gerakan pembebasan di Afsel menjadi anotasi penting dalam perjuangan meruntuhkan rezim apartheid. Sebagaimana diketahui, pada umumnya masyarakat muslim di negeri itu adalah masyarakat urban. Kebangkitan masyarakat urban, terutama kelompok muslim, di Afsel sendiri dimulai sekitar tahun 1986. Embrionya bahkan telah tampak saat organisasi politik yang besar, Organisasi Rakyat Afrika (APO), yang mewadahi aspirasi politik masyarakat Afsel dari pelbagai kalangan, pada tahun 1910-1944 terus dipimpin muslim: Dr. Abdullah Abdurrahman yang kebetulan cucu seorang budak.[6] Peran signifikan komunitas muslim semakin kentara bila dilihat dari jumlah nominalnya yang tidak terlalu seberapa, namun mengambil posisi proaktif dalam gerakan pembebasan. Kaum Muslim menduduki posisi-posisi kelas menengah yang menguasai sektor publik sehingga turut mewarnai arah perkembangan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Saat ini, kaum Muslim yang hanya berjumlah 2% dari total populasi rakyat Afsel menduduki 12% kursi di kabinet (empat menteri beragama Islam dari 28 menteri yang ada).[7] Ketua Mahkamah Nasional juga seorang muslim. Begitu juga di parlemen terdapat 12% anggotanya yang beragama Islam. Menurut Esack, konstatasi politik di atas menguntungkan sekaligus merugikan. Secara politis memang daya tawar komunitas muslim meningkat, tapi dilihat dari diskursus Islam progresif pasca-apartheid justru terlihat menurun frekuensinya karena semakin banyak pemikir Islam progresif yang terlalu sibuk menjalankan pemerintahan.[8]

Menurut pengakuan Esack, peran kelompok muslim terutama dalam perjuangan anti-apartheid bersama kelompok lain tidaklah memancing reaksi negatif karena mereka tidak memburu agenda muslim semata, tapi agenda pembebasan masyarakat Afsel.[9] Sebagai masyarakat yang terbilang minoritas di negeri yang sebagian besar penduduknya memeluk agama Kristen, kelompok muslim memang tidak bisa bertindak gegabah meskipun perjuangan anti-aparteid yang mereka kumandangkan ditujukan untuk agenda kemanusiaan yang bersifat universal serta melampaui batas-batas dan sekat-sekat teologis dan etnis. Mereka harus pandai merangkul komunitas lainnya, terutama dari agama Kristen yang mayoritas, untuk bersama-sama menegakkan aras perjuangan yang didasarkan pada kesadaran teologis bahwa agama apa pun mengecam penindasan atas dasar rasialisme dan sejenisnya.

Realitas menunjukkan bahwa hingga tahun 1970-an, hampir semua gereja di Afsel mendukung apartheid.[10] Gereja hanya melayani kepentingan orang kulit putih saja, terlebih lagi bila gereja tersebut berada di wilayah orang kulit putih. Masyarakat berkulit hitam dan berkulit berwarna —dalam struktur apartheid yang mendekati kesempurnaan—diharuskan membangun gereja sendiri dan terpisah. Sebuah ironi di mana agama dipaksa berperan dalam memelihara sistem rasialis. Paulo Freire pernah mengatakan bahwa kelompok yang menikmati status quo dan kepentingannya akan terganggu dengan perubahan akan cenderung menolak perubahan. Demikian juga dengan kenyataan yang terjadi di sana sebelumnya di mana banyak orang kulit putih yang didukung oleh agamawan-kolaborator justru menjadi lawan pertama dari gerakan anti-apartheid selain aparatus ideologi negara yang dijaga militer dan polisi. Kemunculan Kongres Nasional Afrika (ANC) membawa nuansa baru dalam perjuangan anti-apartheid yang kemudian mengantarkan Nelson Mandela menjadi Presiden Afsel pada tahun 1992.

2. Liku-liku Kehidupan yang Pahit

Esack termasuk seorang intelektual yang mengalami masa kecil yang sulit dan pahit. Esack lahir pada tahun 1959 di pinggiran kota Cape Town, tepatnya di Wymberg, dari seorang ibu yang ditinggal suaminya bersama lima orang anaknya lainnya di Wynberg. Sepeninggal sang ayah yang raib entah kemana itulah, Esack bersama saudara kandung dan saudara seibu hidup terlunta-lunta di Bonteheuwel, kawasan pekerja miskin untuk orang hitam dan kulit berwarna. Ibu Esack kemudian memerankan posisi ibu sekaligus ayah yang harus mencari nafkah hidup bagi enam orang anak yang masih kecil-kecil. Dalam buku Quran Liberation and Pluralism, Esack banyak mengulas kisah pahit keluarganya yang pada akhirnya sangat mewarnai cara pandang pemikiran Esack di kemudian hari. Penghasilan sang ibu sebagai buruh kecil tak cukup menghidupi sebuah keluarga besar yang kemudian memaksa Esack dan saudara-saudaranya mengais tempat-tempat sampah untuk mencari sisa-sisa makanan.[11] Tak jarang pula, mereka mengemis meminta belas kasihan orang. Meskipun demikian, Esack tak menghentikan aktivitas menuntut ilmu. Di tengah keterhimpitan hidup, Esack tetap rajin bersekolah meski tanpa alas sepatu dan buku-buku yang memadai. Namun, di atas segalanya, tiada pengalaman traumatik yang menggores luka keluarga Esack, kecuali tatkala ia menyaksikan ibunya menjadi korban pemerkosaan.[12]

Sebuah kenyataan pahit yang dialami keluarganya itu menjadi salah satu inspirasi penting dalam perkembangan pemikiran Esack yang meyakini bahwa berteologi bukan berarti mengurusi “urusan” Tuhan semata: neraka, surga dan lain-lain.[13] Bagi Esack, teologi yang terlalu mengurusi Tuhan, sementara Tuhan adalah zat yang tidak perlu diurus, adalah teologi mubazir yang terlalu banyak menyedot energi umat. Esack meyakini bahwa teologi harus dipraksiskan, bukannya digenggam erat-erat untuk tujuan kesalehan personal (individual piety). Dengan mendekati dan mengasihi makh-luk-Nya, demikian Esack, maka kita sama saja telah mengabdi kepada Tuhan.[14]

Satu pengalaman eksistensial lainnya yang berkaitan dengan berteologi praksis di atas, yang melampaui batas demarkasi ideologis sempat dialami Esack dan keluarganya. Tatkala kesulitan hidup makin mendera, keluarga Esack sangat bergantung kepada para tetangga Kristen yang selalu rutin memberi makanan ala kadarnya. Esack secara khusus juga tak pernah melupakan jasa Tuan Frankl, seorang Yahudi, yang sering memperpanjang batas pengembalian pinjaman barang dan uang untuk waktu yang tak terbatas.[15] Hubungan sosial yang begitu harmonis yang bahkan mengatasi sekat agama itulah yang mendorong Esack lebih supel dalam bergaul. Selanjutnya, ketika Esack merintis perjuangan anti-apartheid, Esack tidak lagi mempersoalkan prasangka-prasangka sempit karena problem klaim kebenaran dan klaim keselamatan (claim of truth and salvation) di benak Esack telah usai.

Penderitaan hidup yang dialami keluarga Esack adalah gambaran mikro dari derita rakyat Afsel pada umumnya akibat perlakuan diskriminatif rezim apartheid. Orang kulit putih yang secara nominal hanya berjumlah 1/6% dari total populasi rakyat Afsel menguasai dua pertiga pendapatan nasional, sementara bangsa kulit hitam yang hampir berjumlah ¾% total penduduk hanya memperoleh ¼ saja. Banyak orang kulit hitam yang menjadi “budak”, sementara kulit putih menguasai sektor publik dan kelas menengah.[16] Perlakuan istimewa terhadap orang kulit hitam tersebut ditambah lagi dengan dua kebijakan rezim apartheid yang makin menyingkirkan orang kulit hitam yang mayoritas dari akses-akses ekonomi dan politik serta hukum.

Dua kebijakan tersebut adalah pemberlakuan sistem trikameralisme yang menempatkan kulit putih sebagai penentu kebijakan (decision maker). Trikameralisme adalah sebuah produk konstitusi yang dibuat Dewan Kepresidenan rezim apartheid yang membagi tiga parlemen berdasarkan warna kulit warga Afsel, yakni kulit putih, kulit berwarna dan kulit hitam. Ketiga majelis ini mengatur urusan mereka sendiri. Setiap ada perbedaan dan pertentangan pendapat di antara tiga majelis ini diselesaikan oleh dewan kepresidenan dengan komposisi yang timpang: 4: 2: 1.[17]

Kebijakan lainnya adalah penerapan akta wilayah (groups area act) yang membuat orang-orang kulit hitam tergusur dan terpinggirkan di daerah-daerah paling tandus di Afsel. Mereka akhirnya menjadi “pengemis” di kampungnya sendiri, untuk meminjam istilah Emha Ainun Najib yang terkenal itu. Inilah realitas menggelikan sekaligus mengerikan yang terjadi ketika rezim apartheid masih berkuasa di Afsel. Embargo dan pemboikotan dunia serta ekslusi dari negara-negara internasional terhadap rezim apartheid tak sedikitpun menggoyahkan.

Di antara tokoh-tokoh awal Islam yang terkemuka, Esack malah mengagumi dan mengidolakan Abu Dharr al-Ghifari, bapak sosialisme Islam.[18] Barangkali pengalaman hidupnya yang pahit mengilhami gaya hidup Esack selanjutnya yang bersahaja. Tatkala tampil di Auditorium Utama IAN Jakarta tanggal 23 Maret 2001, Farid cuma mengenakan kaus berkancing dengan motif sederhana. “This is not my picture,” kata Esack sambil tertawa ketika melihat pamflet dirinya bergambar “George Washington” yang berjubah parlente.

3. Pendidikan dan Pergumulan dalam Aktivisme Politik

Sebagai seorang intelektual muslim yang telah menelurkan beberapa karya monumental, nama Esack belumlah setenar nama Fazlurrahman, Mohammed Arkoun, Syed Naquib al-Attas dan lain-lain. Sebelum ia menelurkan karya Qur’an Liberation and Pluralism, nama Maulana Farid Esack belum banyak dikenal oleh masyarakat akademisi. Literatur yang membicarakan buah karyanya belumlah banyak, apalagi informasi mengenai jatidiri dan kiprahnya dalam dunia keilmuan dan aktivitas lainnya juga terhitung tidak melimpah.

Dalam perkembangan berikutnya, beberapa jurnal terkemuka di dunia mulai memuat tulisannya. Esack juga tak segan-segan mengisahkan pengalaman pribadinya sebagai anotasi penting yang diakuinya turut mempengaruhi kiprah perjalanan intelektualnya.[19] Esack berargumen bahwa kisah nyata yang ia alami bersama keluarganya adalah sebuah pijakan yang tidak terlepas dengan realitas serta membentuk struktur epistemologis tafsir hermeneutika pembebasan.

Akan tetapi ada juga penilaian yang muncul yang mengatakan bahwa pernyataan Esack terlalu hiperbolik. Tak jarang keluar penilaian sinikal, yang menyatakan bahwa Esack terlalu berlebihan mengangkat kisah hidup dan perjuangannya dalam usaha melepaskan diri dari sistem apartheid. Terlepas dari itu, Esack sendiri lebih suka menyebut dirinya sebagai seorang aktivis ketimbang pemikir. Seperti diakuinya ketika ia berbicara dalam Orasi Al-Qur’an dan Pembebasan di Auditorium IAIN Syarif Hidaya-tullah yang diselenggarakan BEM IAIN Jakarta tanggal 23/3/ 2001. Pengakuannya tersebut tak terlalu berlebihan. Ia dikenal sebagai sedikit tokoh muslimin di Afsel yang berjasa dalam membebaskan rakyat Afsel dari belenggu apartheid.

Bila dilihat dari karya-karyanya, ia juga tak berpretensi terlalu ilmiah dalam mengungkapkan gagasan-gagasan besarnya. Para pengkaji yang relatif baru berkenalan dengan pemikiran Esack, tidak akan menemui banyak kesulitan bila berlatar belakang Quranic studies. Ia sadar bahwa ilmu bukan semata-mata untuk ilmu sendiri, namun punya agenda liberatif untuk masyarakat umumnya. Esack juga bukan tipikal intelektual menara gading yang beruzlah di ruang-ruang perpustakaan, namun kehilangan sentuhan dengan realitas di sekelilingnya. Esack adalah model intelektual organik —untuk memakai kategori Antonio Gramsci— yang berani berhadapan dengan realitas. Dengan meminjam istilah Karl Marx, Esack adalah tipe intelektual yang memahami dunia untuk mengubahnya. Sebagaimana telah dinyatakan di muka, di tengah kesulitan yang mendera hebat, Esack masih sempat mengecap dan menyelesaikan pendidikan pendidikan dasar dan menengahnya di Bonteheuwel Afsel. Pada waktu itu, ia memperoleh pendidikan berdasarkan pendidikan nasional Kristen.[20] Dari berbagai informasi diperoleh data menarik di mana Esack sejak usia 9 tahun telah menceburkan diri dalam aktivitas keagamaan secara intens. Ia aktif di Jamaah Tabligh, sebuah organisasi keagamaan yang memiliki jaringan internasional dan berpusat di Pakistan. Di dalam organisasi yang menekankan imitasi ke masa awal Islam (salaf) inilah, Esack memahami makna persaudaraan (brotherhood).[21] Ia mengakui bahwa figur sang ayah yang tak ketahuan rimbanya tergantikan dengan rekatnya hubungan persaudaraan antar-anggota Jamaah Tabligh. Yang menarik adalah kesempatan menuntut ilmu menuju Pakistan untuk meneruskan studinya di Jami’ah Ulum al-Islamiyah. Di sini Esack muda mendapat gelar Bachelor of Art (BA) dalam bidang hukum Islam. Dalam literatur yang penulis peroleh, tidak didapat informasi yang meyakinkan soal keberangkatan ke Pakistan untuk menekuni studi lanjut, sementara secara finansial, Esack sangat kekurangan. Penulis hanya bisa menduga kemungkinan beasiswa dari Jamaah Tabligh atau simpatisannya karena Jamaah Tabligh itu sendiri berpusat di negeri sang penyair Mohammad Iqbal. Bisa juga ada bantuan beasiswa dari orang atau lembaga yang berempati dengan kepandaian Esack dan ia memilih Pakistan karena ia merasa telah mendapat informasi yang memadai tentang situasi akademis di negeri itu berkat aktivitasnya di Jamaah Tabligh. Intinya, tempat Esack menuntut ilmu di Pakistan ada kaitannya dengan Jamaah Tabligh, meskipun dalam buku Qur’an Liberation & Pluralism, ia tak menyebutkan beasiswa yang ia dapatkan dari lembaga mana. Kisah Derrick Dean, kawan Esack yang beragama Kristen, yang diminta mengucapkan dua kalimah syahadat oleh pemimpin Jamaah Tabligh Afsel,[22] Haji Bhai Padia, juga menunjukkan bukti keterkaitan tersebut. Kita tahu, kejadian tersebut terjadi di Pakistan, tempat Esack menuntut ilmu. Pengakuan Esack bahwa institut yang ia tuju sangatlah konservatif bisa jadi mengukuhkan dugaan di atas bahwa jamiah tempat ia kuliah adalah milik atau ada kaitannya dengan Jamaah Tabligh. Ini terutama bila dikaitkan dengan reaksi Bhai Padia. Kasus Abdul Khaliq Ali yang dirawat di rumah sakit juga makin menambah diskrepansi pemahaman teologis Esack dengan konservatisme Jamaah Tabligh.[23] Namun, di atas segalanya, kuliah adalah peluang berharga untuk seorang anak miskin seperti Esack. Ia yang beruntung mendapat kesempatan berharga menuntut ilmu di negeri Pakistan lantas tak menyia-nyiakan peluang ketika ada celah untuk mendalami teologi di Jamiah Alimiyyah al-Islamiah, Karachi. Di sinilah ia memperoleh gelar maulana yang makin menambah “gagah” namanya. Semakin lama persentuhan emosional dan teologis Esack dengan Jamaah Tabligh makin meluntur seiring dengan makin melebarnya jurang pemisah dalam banyak pemahaman agama. Latar belakangnya yang berasal dari keluarga muslim yang menjadi minoritas menyadarkan Esack betapa tidak enaknya menjadi minoritas: sering dilecehkan dan ditindas. Pada titik inilah, ia bisa merasakan kecemasan kaum Hindhu dan Kristen yang minoritas di negeri Pakistan dan sering mendapatkan diskriminasi sosial dan pelecehan agama. Pengalaman eksistensial sewaktu kecil banyak berhutang budi kepada tetangga Kristen dan “tukang kredit” berdarah Yahudi, membuatnya sadar bahwa persaudaraan universal lintas agama dapat digalang untuk membebaskan kaum yang tertindas. Akhirnya, jurang antara teologi konservatif yang masih melekat di dalam dirinya dengan teologi praksis progresif semakin terang benderang. Esack lantas menetapkan pilihan menanggalkan konservatisme. Ia makin sering mangkir dari pertemuan-pertemuan rutin Jamaah Tabligh dan kerap mengikuti diskusi yang diadakan Gerakan Pelajar Kristen (yang kemudian dinamai Breakthrough).[24] Tokoh kelompok tersebut yang paling inspirasional adalah Norman Wray yang mentaji mitra Esack untuk memulai proyek kemanusiaan universal lintas agama. Esack mulai mengajar studi Islam di sekolah yang dipimpin Wray. Tugas-tugas paramedis di Penjara Pusat Karachi juga dikerjakan bersama serta terjun sebagai pengajar di perkampungan kumuh Hindhu dan Kristen.[25] Pengalaman eksistensial itulah yang mengubah pandangan teologis Esack dan ia tanpa putus asa berusaha mengawinkan iman dan praksis di Afsel. Pengalaman di Pakistan menunjukkan adanya titik temu pandangan seksis dan rasialis di mana Pakistan ia sering menemui penindasan terhadap wanita, sementara Afsel sarat dengan sistem apartheid. Esack menempuh studi di Pakistan tatkala Pakistan berada di bawah masa pemerintahan Ayub Khan dan Zulfikar Ali Butto (1956-1977). Pada tanggal 5 Juli 1977,[26] Jenderal Zia ul-Haq yang berpandangan konservatif dalam pemikiran keagamaannya melakukan kudeta tak berdarah. Zia ul Haq yang disokong oleh Pemerintah Amerika Serikat dan CIA —meskipun pada akhirnya ia diduga dibunuh oleh CIA setelah pesawat yang ditumpanginya meledak— karena dianggap sebagai patner utama untuk membantu mujahidin Afghanistan menggulingkan pemerintahan boneka Uni Soviet di Kabul. Zia ul-Haq dikenal dekat dengan kalangan konservatif karena melalui merekalah pemerintah Zia mendapatkan sumberdaya politik utama selain dari militer. Pada masa pemerintahannya, marginalisasi terhadap kaum minoritas dan perempuan dalam kehidupan sosial politik mencapai puncaknya. Segregasi laki-laki dengan perempuan di sektor publik terjadi secara kasat mata, perempuan juga dilarang tampil di televisi serta kewajiban mengenakan duppata yang kemudian memancing reaksi balik dari kaum perempuan.[27] Seperti biasa pemerintahan Amerika menerapkan standar ganda. Mereka tak berani mengusik kebijakan Zia yang non-demokratik tersebut karena saat itu Amerika Serikat masih membutuhkan peran dan jasa pemerintahan Zia untuk mempermalukan Uni Soviet dalam perang Afghanistan. Di tengah situasi yang penuh dengan kebijakan diskriminatif ini, Farid justru merasa betah dengan iklim akademis di Pakistan —dan oleh karenanya— ia melanjutkan pendidikannya di Jami’ah Abi Bakar Karachi dalam bidang ulum al-Quran.[28] Farid malah merasa mendapatkan pengalaman berharga serta dapat menarik pelajaran tidak hanya di bangku kuliah saja, tapi juga secara langsung dari dua negeri yang menerapkan kebijakan diskriminatif. Hal-hal inilah yang nantinya berguna bagi pematangan konstruksi epistemologis pemikiran Esack yang mampu menubuhkan semangat teologis dan praksis melawan penindasan. Sembilan tahun Esack menghabiskan waktunya belajar teologi dan ulum al-Qur’an di Pakistan. Ia kembali ke Afsel pada tahun 1982. Bersama tiga sahabat karibnya, ‘Adli Jacobs, Ebrahim Rasool dan Shamiel Manie dari University of Western Cape, Esack membentuk organisasi The Call of Islam pada tahun 1984[29]. Ia menjadi koordinator nasionalnya.[30] Organisasi ini berafiliasi kepada Front Demokrasi Bersatu (UDF), didirikan masyarakat lintas-agama tahun 1983 untuk menentang rezim apartheid. Perlawanan terhadap rezim apartheid mencapai puncaknya pada dekade 1980-an. Sebagai komponen inti dari UDF, The Call of Islam memainkan peran penting dalam menggalang solidaritas interreligius dan lintas agama untuk mendobrak status quo. Di bawah naungan UDF, kaum Yahudi, Kristen dan Islam mentahbiskan perlawanan kaum beriman terhadap penindasan dalam bentuk apapun.[31] Meskipun demikian, gerakan The Call Of Islam bukannya sepi dari hambatan. Kelompok-kelompok Islam konservatif seperti al-Qibla, MYM, MSA[32] melalui tabloid Majlis mengumandangkan kebencian dan penentangan terhadap mereka yang bekerja sama dengan kaum Yahudi dan Kristen atas nama pluralisme. Atas dasar penafsiran sempit terhadap al-Quran, tabloid tersebut tak henti-hentinya mengecam The Call of Islam yang disebutnya telah melakukan kolaborasi dengan kaum kafir. Namun demikian, The Call of Islam terus berkiprah untuk menelurkan ambisi mewujudkan Islam Afsel yang tidak menafikan pluralitas masyarakat serta berdasar pada “a search for an outside model of Islam.”[33] Farid Esack ternyata masih menyimpan semangat untuk belajar lagi. Di tengah kecaman kaum konservatif Islam yang menuding Esack dan The Call of Islam sebagai kolaborator kafir, Esack seringkali bersedih mengapa mereka selalu mendasarkan diri pada al-Quran untuk menilai dengan prasangka negatif terhadap non-Islam. Lebih ironis lagi, mereka mengecap kafir orang yang bekerjasama dengan Yahudi dan Nasrani meskipun untuk mencapai tujuan mulia. Ayat-ayat yang sering dipakai sebagai justifikasi adalah: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk yang benar.” Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong kamu”[34] (Q.s: al-Baqarah: ayat 120): “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin di antara kamu” (al-Ma’idah (5): 51). Hal inilah yang mendorong Esack untuk mempelajari al-Quran dan Injil. Ia sangat penasaran mengapa kitab suci seringkali digunakan untuk melegitimasi penindasan dan ekslusivisme dengan adanya penafsiran-penafsiran sempit. Pada tahun 1989, ia meninggalkan negerinya lagi untuk belajar hermeneutika al-Qur’an di Inggris dan hermeneutika Injil di Jerman. Di Universitas Theologische Hochschule, Frankfrut Am Main Jerman, Esack menekuni studi Bibel selama satu tahun. Adapun di University of Birmingham di Inggris, Esack memperoleh geral doktoralnya dalam kajian tafsir. Saat ini, aktivitas Esack sangatlah padat. Ia tak pernah membuang waktunya secara cuma-cuma kecuali untuk mengajar secara aktif di University of Wetern Cape serta menulis karya-karya ilmiah dan menghadiri seminar-seminar di dalam maupun luar negeri. Ia juga mengajar sebagai dosen tamu di beberapa perguruan tinggi papan atas seperti Oxford, Harvard, Temple, Cairo, Moscow, Karachi, Cambridge, Birmingham, Amsterdam dan CSUN (California State University Nortridge).[35] Tak sekadar itu, Esack juga masih aktif di Comission on Gender Equality dan World Conference for Religion and Peace (WCRP). Sebuah gabungan apik antara intelektualisme dan aktivisme. B. Perkembangan Pemikiran Farid Esack dan Anotasi Karya Intelektual Untuk mengetahui pemikiran Esack, menurut hemat penulis, perlu dijelaskan perkembangan pemikirannya yang didasarkan pada karya-karya yang telah ditulisnya. Sebagai seorang intelektual-organik dan seorang aktivis cemerlang, Esack lebih dari cukup produktif dalam menulis banyak artikel ilmiah. Oleh karena itu, penulis akan melakukan ulasan sederhana terhadap beberapa bukunya yang telah diterbitkan, yakni:

1. But Musa Went to Fir’aun!

Buku ini, secara lengkap, berjudul But Musa Went to Fir’aun!: A Compilation of Questions and Answers about The Role of Muslims in the South African Struggle for Liberation. Buku yang berukuran kecil ini diterbitkan oleh Clyson Printers, Maitland tahun 1989. Jumlah halaman buku ini hanya 84 halaman, memang tak terlalu tebal untuk ukuran buku pada umumnya. Buku ini berisi tanya jawab.

Buku ini tidak dilengkapi daftar isi, tapi secara umum terdiri dari 6 bab dilengkapi pengantar, pendahuluan, catatan penjelas dan glosari. Bab pertama berisi identitas muslim, kepentingan dan urgensi keterlibatan kaum muslim dengan realitas sosial di sekitarnya. Bab kedua berisi partisipasi, negosiasi dan konfrontasi. Dalam bab ini, Esack banyak mengutip kisah perlawanan Nabi Musa terhadap penguasa tiran saat itu, Fir’aun. Adapun bab ketiga berisi tentang Islam, Iman dan Politik. Esack menekankan pentingnya politik sebagai medium untuk menyampaikan aspirasi serta mengubah struktur eksploitatif melalui prosedur-prosedur demokratis.

Pada bab empat, Esack menulis pentingnya kerjasama kaum muslim secara lintas agama (inter-faith) untuk melawan tirani atas nama apapun. Sedangkan bab lima, masa depan serta tujuan yang hendak dicapai diulasnya secara detail. Setelah menulis masa depan serta tujuan yang hendak dituju, Esack menandaskan tugas penting serta kewajiban yang harus dilakukan dalam bab enam. Esack sebenarnya menulis buku ini untuk keperluan organisasi The Call of Islam yang waktu itu sedang gencar-gencarnya mengkampanyekan ide-ide perlawanan terhadap rezim apartheid dengan mengutip kisah-kisah nabi masa lalu yang telah dihidangkan al-Quran dan disirahkan Nabi Saw.

Sebagaimana dinyatakan dalam kata pengantar, buku ini dimaksudkan untuk mencari ruh pembebasan untuk melepaskan diri dari penjajahan para tiran. Fatima Meer, aktivis perempuan yang memberi pengantar buku ini, mengidolakan revolusi damai di Iran yang dipelopori oleh para ulama.[36] Fatima sangat percaya bahwa Islam sebagai esensinya adalah teologi yang sarat dengan nilai-nilai pembebasan. Dalihnya adalah Islam di dalam dirinya adalah seperangkat gugusan norma yang anti-penindasan atas nama apapun.

2. Qur’an Liberation and Pluralism

Buku yang diterbitkan oleh Oneworld Publication England pada tahun 1997 berjudul asli Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression ini telah diterjemahkan dalam pelbagai bahasa. Dalam edisi bahasa Indonesia, para pencinta ilmu kita dapat memperolehnya berkat jerih payah Penerbit Mizan yang telah menerbitkan buku tersebut dengan judul Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas (2000).

Dalam edisi bahasa Indonesia, buku tersebut dilengkapi surat Nelson Mandela dari penjara tentang kunjungannya ke makam Syaikh Madura.[37] Diterjemahkan oleh Watung Budiman, buku yang disunting Samsurrizal Panggabean dan Yuliani Liputo ini tidak jadi diberi pengantar oleh Samsurrizal Panggabean yang dikenal sebagai pemikir muda dari CSPS UGM Yogyakarta yang aktif mengamati Afsel. Sewaktu mengisi diskusi tentang buku Qur’an Liberation and Pluralism sebelum edisi bahasa Indonesia terbit di FORMACI, Ihsan Ali-Fauzi menyatakan bahwa Rizal sedang menulis pengantarnya. Dengan demikian, para pembaca agak kesulitan menangkap konteks dan relevansinya dengan situasi di tanah air.

Dalam edisi bahasa Inggris, buku tersebut berisi pendahuluan, tujuh bab, dan kesimpulan serta dilengkapi apendiks, glosari, bibliografi dan indeks. Buku ini tidak sekadar merumuskan perspektif baru dalam hubungan antaragama, tapi juga meletakkan dasar bagi sikap yang obyektif dan kritis terhadap peganut agama yang sama. “Pemahaman agama yang lebih signifikan selalu datang dari pengalaman baru, “ungkap Jonh Hick seolah ingin mengafirmasi titik balik pengalaman eksistensial Esack dari seorang minoritas yang tertindas menjadi seorang pemikir liberatif-progresif.[38]

Buku tersebut sampai saat ini diyakini sebagai magnum opus Esack. Dengan tawaran kunci-kunci hermeneutika bagi hadirnya al-Quran yang inklusif, toleran dan pluralis —yang menjadi pokok-pokok “ajaran” Islam Liberal yang ditawarkan Charles Kurzman— Esack berupaya mendobrak klaim kebenaran ekslusif suatu agama. “Teologi pembebasan Islam yang ditawarkan Esack, “kata Paul Knitter, “sama mempesona dan menantangnya dengan teologi pembebasan Kristen dari Gutierrez.”

3. On Being A Muslim

Buku yang ditulis Esack ini juga diterbitkan oleh Oneworld Publication Oxford tahun 1999 dengan judul asli On Being A Muslim: Finding a Religious Path in the world Today. Penerbit yang berpusat di Inggris ini terkenal dengan terbitan buku-buku yang ditulis oleh sarjana kelas dunia. Selain menerbitkan karya-karya Esack, Oneworld juga mempublikasikan buku-buku tentang studi Islam yang ditulis Montgomerry Watt, Mark R. Woodward, Richard Martin, Reynold Nicholson, Majid Fakhry dan lain-lain.

Buku ini terdiri dari pendahuluan, tujuh bab, kesimpulan dan dilengkapi catatan, bibliografi terpilih dan indeks. Ketika ia meluncurkan buku tersebut, sempat muncul tudingan dari sebagian akademisi yang menganggapnya terlalu hiperbolikal dan melodramatis dalam mengangkat kisah-kisah hidupnya. Memang benar bahwa Esack banyak mengisahkan pengalaman hidupnya dalam buku yang berjumlah 212 halaman.

Bagi Esack, setiap karya adalah cerminan dari otobiografi sang penulis. Dan buku yang ditulis setelah ia menerbitkan Quran Liberation and Pluralism ini memotret rangkaian perjalanan dan pengalaman hidupnya sebagai seorang muslim berhadapan dengan realitas sosial. Di sinilah titik balik pengalaman eksistensial Esack yang hidup di tengah struktur eksploitatif dan dominasi serta hegemoni rezim penindasan dieksplorasi secara mendetail dan lugas.

Buku ini memang mirip otobiografi intelektual yang merekam perjalanan panjang Esack yang lahir di masa pemerintahan apartheid, belajar di Pakistan yang sarat dengan penindasan terhadap kaum minoritas dan perempuan serta pengalaman melanglang buana di Eropa dan Timur Tengah. Pada awal buku, Esack menulis bahwa buku ini lahir dari sejarah yang panjang (a long history),[39] sepanjang sejarah hidup pengarangnya sendiri. Jadi, ia tak ditulis ketika Esack menurunkan buah pemikirannya melalui sebuah pena di atas kertas atau ketika jari-jemarinya mengetik tuts demi tuts di atas keyboard komputernya, namun telah terjalin dalam rangkaian hidupnya.

C. Solidaritas Lintas Agama: Manifesto Pluralisme Al-Quran

Pada bab I buku Qur’an Liberation and Pluralism, Esack menjelaskan wacana pluralisme agama yang bertemu dengan praksis pembebasan yang konkret. Ia memahami pluralisme tak sekadar mengakui dan menghormati perbedaan. Esack mencontohkan bila orang Jawa berdagang obat terlarang, orang Ambon juga berdagang obat terlarang, kemudian mereka membentuk kartel di Jakarta yang diperdagangkan ke Malaysia itu juga termasuk pluralisme. Nilai pluralisme dalam al-Quran ditujukan pada tujuan tertentu yang berujung pada humanisme universal.

Pluralitas agama, suku dan golongan adalah sunnatullah bila kita kembalikan pada al-Quran surat al-Hujurat: 13.[40] Pengertian pluralisme Esack mirip dengan Nurcholish Madjid yang membedakan pluralitas dengan pluralisme. Menurut Cak Nur, demikian beliau disapa, pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru mengesankan fragmentasi. Ia juga tidak dipahami sebagai “kebaikan negatif” (negative good) sekadar untuk merontokkan fanatisme buta. Pluralisme adalah “pertalian sejati kebhinnekaan dalam ikatan-ikatan keadaban” (genuine engagement of diversities within the bonds of civility).[41]

Pada wilayah yang rawan konflik, pluralitas memang dimaknai sebagai sumbu perpecahan karena hilangnya faktor kepercayaan (trust) akibat pengelompokan segregatif atas dasar simbol agama dan kesukuan. Di Maluku, pasien Kristen misalnya, enggan berobat kepada dokter muslim karena takut bukan diberi obat, tapi justru racun mematikan. Sebaliknya, sang dokter juga tak sudi mengobati pasien tersebut karena bila terjadi hal-hal yang tak diinginkan, ia dituduh sengaja membunuh.

Padahal dalam al-Qur’an surat al-Ma’idah ayat 48 ditegaskan

“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami tetapkan syariah dan jalan yang terang. Kalau seandainya Allah menghendaki, kamu dijadikan sebagai satu umat saja. Namun Allah ingin menguji kamu mengenai hal-hal yang dianugerahkan kepadamu itu. Berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan. Hanya kepada Allah-lah kembali semuanya, lalu Allah akan menerangkan mengapa dulu kamu berbeda-beda.”

Inilah yang menguatkan pluralisme sebagai fakta teologis, dimana barangsiapa menentang pluralisme berarti ia menentang kehendak Tuhan dan menyangkut soal agama sama sekali tidak ada paksaan di sana (la ikraha fi al-diin).[42]

Hal inilah yang sedari awal ditegaskan oleh Esack akan pentingnya menjalin solidaritas antaragama untuk pembebasan. Pluralisme dimaknainya sebagai modal awal bagi tumbuhnya gerakan interreligius yang meneriakkan semangat pembebasan bagi kaum yang tertindas. Sejarah para nabi ialah lembaran sejarah orang-orang tertindas. Kata Esack, semua nabi datang dari kalangan tertindas, kecuali Nabi Musa yang dibesarkan di istana Fir’aun tapi kemudian berjuang bersama kaum tertindas melawan tiranisme Fir’aun. Pada umumnya, tantangan yang pertama kali muncul ketika utusan Tuhan menyampaikan dakwah, selalu datang dari para penguasa yang menari di atas penderitaan rakyat yang papa dan tertindas.

Uniknya, Esack mengartikan konsep mustad’afun (kaum tertindas) secara elastis. Rakyat Palestina yang diusir dan diperlakukan semena-mena oleh Israel adalah tertindas. Namun Esack pernah duduk di hotel bintang lima di Paris. Di sana ada tiga orang Palestina yang duduk kemudian mengamuk pada seorang pelayan kulit hitam. Maka yang menjadi penindas adalah tiga orang Palestina itu.[43] Penindasan inilah yang menjadi “musuh bersama” kemanusiaan, yang oleh Esack harus dilawan dengan praksis pembebasan yang berbasis pada pluralisme dan solidaritas antaragama (the basis of pluralism being postulated in the Qur’an is, one may say, liberative praxis). Inilah yang dimaksud Esack dengan proyek hermeneutika pembebasan al-Quran.[]


[1]Perspektif yang dipakai disini memang sangat kental nuansa postmodernismenya dengan pemilahan narasi besar (grand narasi) dan narasi kecil. Cara pandang oposisi biner semacam ini menjadi kritik postomodernis terhadap kreasi modernitas yang menegasi satu pihak untuk mengangkat pihak lain. Namun pemikiran Theodore Adorno mengritik kecenderungan periferi yang ingin membalik keadaan. Core-nya tetap ada, hanya ganti posisi. Bagi Adorno, kecenderungan posisional itulah yang harus ditiadakan karena cenderung tidak adil.

[2]Penulis sengaja memakai konteks lokal Afrika Selatan sebagai relasi penanda dan petanda (siginifiant dan signifier). Banyak pemikir Islam yang melakukan proses perkawinan antara ortodoksi dengan tradisi lokal di mana ia mengembangkan gagasannya. Thariq Ramadhan, cucu Hasan al-Banna, yang sedang menekuni filsafat Nietze di sebuah universitas di Jerman, juga berambisi menegakkan pemikiran “Islam Eropa. “ Abdurrahman Wahid juga terkenal dengan pemikiran pribumisasi Islam yang meniscayakan akulturasi Islam yang dibawa dari Timur tengah dengan konteks lokal Indonesia yang sebelumnya telah dihuni budaya Hindhu Budha. Inilah yang oleh Cak Nur disebut sebagai budaya hibrida. Cak Nur bahkan mengatakan bahwa al-Quran sendiri banyak mengandung unsur non Arab dilihat dari kosakata yang ditampilkan. Lihat Orasi Ilmiah Nurcholish Madjid dalam Islamic Culrural Center, dimuat di Jawa Pos, “Islam Agama Hibrida,” 11-12 Desember 2001.

[3]Farid Esack, Qur’an Liberation, Op.Cit, dalam acknowlegement. Dalam makalah yang disajikan pada seminar tentang HAM dan Aplikasi Hukum Islam di Dunia Modern yang diselenggarakan Norwegian Institute of Human Rights (NIHR), Oslo, 14-15/2/1992, Esack juga mengawali tulisannya dengan perkataan ini. Setelah direvisi, kumpulan makalah dalam pertemuan tersebut dibukukan dengan judul “Islamic Law Reform and Human Rights Chalenges and Rejoinders.” Lihat Farid Esack, “Spektrum Teologi Progresif di Afrika Selatan,” dalam Dekonstruksi Syariah II, terj. Farid Wajidi, (Yogyakarta: LKiS, 1996), h. 189.

[4]Lihat buku Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), terutama bab I, II dan III.

[5]Farid Esack, “Negeri Ini Perlu Komisi Rekonsiliasi dan Kebenaran,” dalam Tabloid Detak No. 132 tahun ke-3 April 2001, h. 26-27.

[6]“Wawancara dengan Farid Esack.” dalam http//www.tempo.co.id

[7]Farid Esack, Tabloid Detak, Op.Cit., h. 27.

[8]Ibid.

[9]“Wawancara dengan Farid Esack,” Op.Cit.

[10]Inilah kritik utama Karl Marx terhadap agama. Agama yang didukung agen agama (pastur, romo, kiai dan lain-lain) seringkali dijadikan alat kaum borjuasi untuk melanggengkan penindasan. Agama adalah candu karena merekomendasikan kesadaran palsu (false consciousness). Kritik Marx terhadap agama ini sebenarnya berdasar pada pemikiran Ludwig Feurbach tentang teori proyeksi ilutif.

[11]“Aduk-aduk Tempat Sampah agar Bisa Makan,” dalam Tabloid Detak, Op.Cit.

[12]Irwandi, “Membaca Reception Hermeneutik Maulana Farid Esack,” dalam Skripsi (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, tidak diterbitkan).

[13]Pernyataan Esack yang dimuat dalam wawancara dengan Tempo tersebut menarik disimak karena pandangan semacam ini jelas bertentangan dengan arus umum (mainstream) di kalangan umat Islam. Teologi dalam Islam lebih didominasi paham Asyariyah yang menekankan konsep tanzih (kemahakuasaan Tuhan), dan kurang menaruh perhatian pada konsep teologi keadilan dan cinta kasih Tuhan sebagaimana dipraktikkan kaum Mu’tazilah dan sufi. Karena dominasi konsep tanzih inilah yang kemudian mendorong umat Islam untuk melakukan sesuatu demi semata-mata melayani Tuhan. Padahal, seperti dikatakan Gus Dur, Tuhan tidak perlu diurus dan dibela. Lihat Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Yogyakarta, LkiS, 2001).

[14]“Wawancara dengan Farid Esack,” Op.Cit.

[15]Farid Esack, Qur’an Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression, (London: One World Oxford, 1997), h. 2.

[16]Ibid., h. 36 dan 47.

[17]Ibid.

[18]“Wawancara dengan Farid Esack,” Op.Cit.

[19]Lihat buku-bukunya, On Being Moslem, Quran Liberation and Pluralism atau bahkan makalahnya dalam seminar HAM Internasional di Oslo dalam Dekonstruksi Syariah II, Op.Cit.

[20]Helen Suzman Foundation, “Profile of Farid Esack,” dalam hsfound@iafrica.com.

[21]Irwandi, Op.Cit.

[22]Farid Esack, Quran Liberation, Op.Cit., h. 5

[23]Ibid., 4-5.

[24]Ibid., 5.

[25]Ibid.

[26]Irwandi, Op.Cit.

[27]John L. Esposito dan John O. Voll, dalam Demokrasi di negara-negara Muslim, terj. Rahman Astuti (Bandung: Mizan, 1995), h. 149 mencatat perkembangan menarik ini di mana kaum perempuan Pakistan bersatu padu menentang kebijakan diskriminatif Zia ul-Haq terhadap perempuan. Pada masa itu, muncul partai-partai dan asosiasi kaum perempuan seperti Perhimpunan Perempuan seluruh Pakistan (APWA), Perhimpunan Perempuan pengacara Nasional dan Forum Aksi Perempuan (WAF) dan lain-lain.

[28]Farid Esack, “Spektrum Teologi Progresif,” Op.Cit., h. 311.

[29]Selain The Call of Islam, sebelumnya di Afsel telah muncul organisasi Islam seperti Gerakan Pemuda Muslim (MYM) tahun 1957, Asosiasi Pemuda Muslim Claremont (CMYM) tahun 1958 dan lain-lain. Pada tahun 1970-an, muncul pula Asosiasi Mahasiswa Muslim (MSA) yang mendukung lahirnya al-Qibla. Sayangnya, kelompok dan gerakan Islam ini lebih terlihat didominasi kepemimpinan yang ekslusif dan konservatif.

[30]Farid Esack, “Contemporary Religious Thought in South Africa and the Emergence of Quranic Hermeneutical Notion,” Op.Cit., h. 214-223.

[31]Sebenarnya UDF bukanlah satu-satunya organisasi rakyat yang melakukan perlawanan terhadap rezim apartheid. Setelah Kongres Rakyat Afrika (ANC) yang didirikan pada tahun 1912 dibubarkan pada tahun 1962, gerakan anti apartheid mengalami lesu darah. Apalagi setelah para pimpinannya ditankap dan dihukum seumur hidup pada tanggal 11 Juli 1963 (Nelson Mandela dan Walter Sisula), gerakan anti apartheid mengalami demoralisasi hebat. Pasca-melemahnya ANC, muncul organisasi Black Consciousness yang meneruskan perlawanan terhadap rezim apartheid di Arika Selatan, meskipun pada ujung-ujungnya menghadapi represi dan pembung-kaman yang sama dari pemerintah.

[32]Gerakan-gerakan Islam ini sebenarnya memiliki semangat yang sama untuk melawan rezim apartheid. Hanya saja, mereka relatif ekslusif dan enggan bekerjasama dengan elemen di luar agama Islam. Padahal, kita tahu, komunitas Muslim menjadi minoritas di Afsel sehingga sulit menggalang perlawanan yang masif jika melupakan komunitas lainnya di luar Islam.

[33]Louis Brenner, “Introdution,” dalam Louis Brenner (ed.), Moslem Identity and Social Change in Sub-Saharian Africa (London: Hurst and Company, 1993), h. 5-6.

[34]Al-Quran dan Terjemahnya, Khadim al-Haramaian Raja Fadh. Diterjemahkan oleh Yayasan Penyeleng-gara Penterjema/Pentafsir al-Quran yang ditunjuk Menag dengan SK N. 26 tahun 1967. Yayasan ini diketuai Prof. Dr. RHA Soenarjo, SH. Anggota-anggotanya adalah Prof. Hasbi Asshiddiqi, Prof. Bustami Ghani , Muhtar Yahya, Toha Jahya Omar, Prof. Mukti Ali, KH Musaddad, KH Ali Maksum dan lain-lain.

[35]Farid Esack, “Aduk-aduk Tempat Sampah,” Tabloid Detak, Op.Cit.

[36]Fatima Merr, Foreword, dalam Farid Esack, But Musa Went to Fir’aun, (Maitland, The Call of Islam, 1989), halaman formalitas.

[37]Farid Esack, Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas, terj. Watung Budiman, (Bandung: Mizan, 2000), h. 325-327.

[38]Ibid., pada kulit buku bagian belakang.

[39]Farid Esack, On Being A Muslim: Finding a Religious Path in the world Today, (Oxford, Onerworld Publication, 1999), h. ix.

[40] Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal” (Q.s al-Hujurat (49): 13).

[41] Nurcholish Madjid, “Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi: tantangan dan Kemungkinan,” Republika, 10 Agustus 1999. Budhy Munawar-Rahman, dalam bukunya Islam Pluralis: wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta: Paramadina, 2001) h, 31, Cak Nur juga mengatakan hal yang sama.

[42]Rangkaian ayat di atas berawal dari sebuah kisah keluarga Yahudi di Madinah yang telah memeluk agama Islam. Di antara anak keluarga tersebut ada yang enggan masuk Islam sehingga memicu orang tuanya untuk melapor kepada Nabi Saw. Menurut Cak Nur, Nabi Saw sempat tergiur untuk menyarankan agar orang tuanya “memaksa” anaknya masuk Islam. Kemudian turunlah ayat tersebut. Lihat Nurcholish Madjid, “Dalam Hal Toleransi, Eropa Jauh Terbelakang,” Kajian Islam Utan Kayu, Jawa Pos, Minggu, 19 Agustus 2001.

[43]Farid Esack, Tabloid Detak. Op.Cit.

CARA MEMBACA AL-QUR’AN MOHAMMED ARKOUN

Oleh: Cecep Romli Bihar Anwar

A. Potret Seorang Sejarawan-Pemikir

1. Latar Belakang sosial dan Intelektual

Mohammded Arkoun lahir pada 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, kabilia, Aljazair. Kabilia merupakan daerah pegunungan berpenduduk Berber, terletak di sebelah timur Aljir. Berber adalah penduduk yang tersebar di Afrika bagian utara. Bahasa yang dipakai adalah bahasa non-Arab (‘ajamiyah).

Setelah Aljazair ditaklukan bangsa Arab pada tahun 682, pada masa kekhalifahan Yazid bin Muawiyah, dinasti Umayah, banyak penduduknya yang memeluk Islam. Bahkan di antara mereka banyak yang ikut dalam berbagai pembebasan Islam, seperti pembebasan Spanyol bersama Toriq Bin Ziyad.

Gerakan islamisasi di daerah bekas jajahan Perancis ini juga diwarnai oleh nuansa sufisme. Mahdi Bin Tumart dari dinasti Almohad pada abad 12 menggabungkan ortodoksi Asy’arisme dengan sufisme. Ibn Arabi, tokoh sufisme yang terkenal itu, sempat berguru kepada seorang sufi terkemuka di daerah ini, Abu Madyan. Di antara aliran tarekat yang berkembang adalah Syaziliyah, Aljazuliyah, Darqowiyah, Tijaniyyah dan lain-lain.

Melalui berbagai kegiatan dan ritualisme sufisme populer, berbagai unsur kepercayaan animistik Afrika Utara merasuk ke dalam Islam di Afrika. Misalnya, konsep “manusia-suci atau pemimpin keagamaan (alfa) merupakan serapan budaya pemujaan orang-suci sebelum Islam datang. Menurut Suadi Putro, dalam lingkungan hidup yang sarat dengan sufisme dan nuansa spiritual inilah Arkoun dibesarkan._ftn1

Kehidupan Arkoun yang mengenal berbagai tradisi dan kebudayaan merupakan faktor penting bagi perkembangan pemikirannya. Sejak mudanya Arkoun secara intens akrab dengan tiga bahasa: Kabilia, Perancis dan Arab. Bahasa kabilia biasa dipakai dalam bahasa keseharian, bahasa Perancis digunakan dalam bahasa sekolah dan urusan administratif, sementara bahasa Arab digunakan dalam kegiatan-kegiatan komunikasi di mesjid. Sampai tingkat tertentu, ketiga bahasa tersebut mewakili tiga tradisi dan orientasi budaya yang berbeda. Bahkan ketiga bahasa tersebut juga mewakili cara berpikir dan memahami. Bahasa Kabilia, yang tidak mengenal bahasa tulisan, merupakan wadah penyampaian sehimpunan tradisi dan nilai pengarah mengenai kehidupan sosial dan ekonomi yang sudah berusia beribu-ribu tahun. Bahasa Arab merupakan alat pengungkapan tertulis mengenai ajaran keagamaan yang mengaitkan negeri Aljazair ini dengan Timur Tengah. Bahasa Perancis merupakan bahasa pemerintahan dan menjadi sarana akses terhadap nilai dan tradisi ilmiah barat. Karena itu, tidak mengherankan kemudian kalau masalah bahasa mendapatkan perhatian besar dalam bangunan pemikiran Arkoun._ftn2

2. Pendidikan dan Pengalaman

Setelah tamat sekolah dasar, Arkoun melanjutkan ke sekolah menengah di kota pelabuhan Oran, kota utama Aljazair bagian barat. Sejak 1950 sampai 1954 ia belajar bahasa dan sastra Arab di universitas Aljir, sambil mengajar di sebuah sekolah menengah atas di al-Harrach, di daerah pinggiran ibu kota Aljazair. Tahun 1954 sampai 1962 ia menjadi mahasiswa di Paris. Tahun 1961 Arkoun diangkat menjadi dosen di Universitas Sorbonne Paris.Ia menggondol gelar doktor Sastra pada 1969. Sejak 1970 sampai 1972 Arkoun mengajar di Universitas Lyon. Kemudian ia kembali sebagai guru besar dalam bidang sejarah pemikiran Islam._ftn3

Ia menjabat direktur ilmiah jurnal studi Islam terkenal, Arabica. Ia juga memangku jabatan resmi sebagai anggota panitia nasional (Perancis) untuk Etika dan Ilmu Pengetahuan Kehidupan dan Kedokteran. Ia juga anggota majelis nasional untuk AIDS, dan anggota Legium Kehormatan Perancis. Belakangan, ia menjabat sebagai direktur Lembaga Kajian Islam dan Timur Tengah pada Universitas Sorbonne Nouvelle (Paris III)._ftn4

Arkoun sering diundang dan menjadi dosen tamu di sejumlah universitas di luar Perancis, seperti Iniversity of California di Los Angeles, Princeton University, Temple University di Philadelphia, Lembagai Kepausan untuk studi Arab dan Islam di Roma, dan Universitas Katolik Louvain-La-Neuve di Belgia. Ia juga sempat menjadi Guru Besar tamu di Universitas Amsterdam._ftn5

Konteks Pemikiran Pasca-Modernisme dan Karya-karyanya

Pemikiran Arkoun sangat kentara dipengaruhi oleh gerakan (post) strukturalis Perancis. Metode historisisme yang dipakai Arkoun adalah formulasi ilmu-ilmu sosial Barat modern hasil ciptaan para pemikir (post) strukturalis Perancis._ftn6 Referensi utamanya adalah De Sausure (linguistic), Levi straus (antropologi), Lacan (psikologi), Barthes (smiologi), Foucault (epistemologi), Derrida (grammatologi)., filosof Perancis Paul Ricour, antropolog seperti Jack Goody dan Pierre Bourdieu._ftn7 Arkoun banyak meminjam konsep-konsep kaum (post) strukturalisme untuk kemudian diterapkannya ke dalam wilayah kajian Islam. Konsep-konsep seperti korpus, epistema, wacana, dekontruksi, mitos, logosentrisme, yang ter, tak dan dipikirkan, parole, aktant dan lain-lain, adalah bukti bahwa Arkoun memang dimatangkan dalam kancah pergulatannya dengan (post) strukturalisme. Arkoun memperlihatkan kepiawaiannya ketika secara eklektik bisa “menari-nari” di atas panggung post strukturalisme itu, dan bila perlu sekali-kali bisa mengenyahkan panggungnya. Ia, misalnya, bisa menerapkan analisis semiotika ke dalam teks-teks suci dengan cara melampaui batas kemampuan semiotika itu sendiri. Menurutnya, ini dilakukan karena selama ini semiotika belum mengembangkan peralatan analitis khusus untuk teks-teks suci. Padahal, teks-teks keagamaan berbeda dengan teks lainnya karena berpretensi mengacu pada petanda terakhir, petanda transendental (signifie dernier). Arkoun juga bisa mencomot konsep-konsep dari Derrida tanpa

harus terjebak pada titik paling ekstrim dari implikasi pemikiran Derrida: tidak ada petanda terakhir. Bahkan dalam bangunan pemikirannya, Derrida yang berpendapat bahwa bahasa tulisan lebih awal ketimbang lisan (dalam bidang filsafat bahasa) bisa disajikan, tanpa berbenturan dengan Frye yang memandang bahwa bahasa lisan tentunya lebih awal ketimbang bahasa tulisan (dalam bidang antropologi, perkembangan kebudayaan atau peradaban).

Secara cemerlang, Arkoun mengaku dirinya sebagai sejarawan-pemikir dan bukan sebagai sejarawan-pemikiran. Sejarawan pemikiran bertugas hanya untuk menggali asal-usul dan perkembangan pemikiran (sejarawan murni), sementara sejarawan-pemikir dimaksudkan sebagai sejarawan yang setelah mendapatkan data-data obyektif, ia bisa juga mengolah data tersebut dengan memakai analisis filosofis. Dengan kata lain, seorang sejarawan-pemikir bukan hanya bertutur tentang sejarah pemikiran belaka secara pasif, melainkan juga secara aktif bisa bertutur dalam sejarah._ftn8

Sementara itu, karya-karya Arkoun meliputi berbagai bidang. Di sini hanya disebutkan karya-karya yang berkaitan dengan kajian Islam pada umumnya dan metodologi “cara membaca Qur’an”nya pada khususnya: traduction francaise avec introduction et notes du Tahdib Al-Akhlaq (tulisan tentang etika/terjemahan Perancis dari kitab Tahdib al-Akhlaq Ibnu Miskawaih), La pensee arabe (Pemikiran Arab), Essais sur La pensee islamique (esei-esei tentang pemikiran Islam, Lecture du Coran (pembacaan-pembacaan Al-Qur’an, pour une critique de la raison islamique (demi kritik nalar islami), Discours coranique et pensee scintifique (Wacana Al-Qur’an dan pemikiran ilmiah). Kebanyakan karya Arkoun ditulis dalam bahasa Perancis._ftn9

B. Kerangka Proyek Kritik Akal Islam Arkoun

Mohammed Arkoun memiliki “proyek kritik atas akal Islam” dimana metode historis modern menempati peran sentralnya. Proyek ini terkandung dalam bukunya yang paling fundamental, Pour de la raison islamique, (Menuju Kritik Akal Islam). Buku ini, yang semula akan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan judul “naqdu al-‘aqli al-Islmiy”, kemudian diterjemahkan dengan judul “tarikhiyyatu al-Fikri al-Arabiy al-Islamiy” (Historitas Pemikiran Arab Islam). Menurut Luthfi Assyaukany, karya tersebut bisa mewakili pemikiran Arkoun secara keseluruhan, meskipun ia masih mempunyai banyak karya lain. _ftn10

Metode yang ditempuh Arkoun dalam buku ini adalah metode historisisme. Historisisme berperan sebagai metode rekonstruksi makna melalui cara penghapusan relevensi antara teks dengan konteks. Melalui metode historisisme, yang mewujud dalam bentuk “kritik nalar islami”, teks-teks klasik didekonstruksi menuju rekonstruksi (konteks). Bila metode ini diterapkan pada teks-teks agama, apa yang diburu Arkoun adalah makna-makna baru yang secara potensial bersemayam dalam teks-teks tersebut._ftn11

Luthfi Asysaukanie menggolongkan Arkoun ke dalam tipologi pemikir Arab kontemporer yang “reformistik-dekonstruktif”. Tipologi wacana pemikiran ini masih percaya pada tradisi sejauh disesuaikan dengan tuntutan modernitas. Arkoun, misalnya, membedakan dua tradisi: 1) Tradisi dengan T besar yang berarti tradisi transendental, abadi dan tak berubah; 2) tradisi dengan t kecil yang adalah produk sejarah dan budaya manusia, baik yang merupakan warisan turun menurun maupun hasil penafsiran atas wahyu tuhan lewat teks-teks suci._ftn12 Bagi Arkoun, hanya tradisi kedualah yang dapat diuji lewat kritisisme, dan karenanya ia mengabaikan tradisi yang pertama. Kelak, sebagaimana akan dibahas, pembedaan Arkoun atas tradisi ini, juga terlihat dalam bangunan metodologi “cara membaca Qur’an”nya.

Arkoun menganggap proyek kritik akal Islamnya sebagai tak lain dari perluasan terhadap makna ijtihad klasik. Perpindahan dari ijtihad klasik ke kritik akal Islam adalah usaha mematangkan dan memantapkan posisi ijtihad itu sendiri._ftn13 Karena begitu sentralnya “proyek kritik akal Islam” ini dalam bangunan pemikiran Arkoun, berikut ini disajikan penjelasan Arkoun mengenai maksud dari kata “kritik” dan “akal”, dengan eksplorasi penerapannya.

Menurut pengakuannya, istilah “kritik akal” dalam bukunya itu tidaklah mengacu pada pengertian filsafat, melainkan pada kritik sejarah. Ketika mendengar kata kritik akal, orang memang tidak gampang melupakan karya filosof besar Immanuel Kant, Critique of pure Reason dan Critique of Practical Reason, dan karya

Sartre, Critique of Dialectical Reason. Tetapi, kata Arkoun, belakangan Francois Furet menggunakan istilah tersebut untuk tujuan penelitian sejarah. Berbeda dengan Kant dan Sartre, Furet adalah seorang sejarawan. Ia berusaha memikirkan (ulang secara kritis tentunya) seluruh tumpukan literatur sejarah mengenai revolusi perancis. Revolusi Perancis adalah peristiwa sejarah yang amat kompleks serta mempunyai pengaruh yang begitu besar, sebegitu rupa sehingga darinya lahir banjir bandang literatur komentar, interpretasi yang beragam dan bahkan bertentangan. Menurut Arkoun keadaan ini bisa dibandingkan dengan peristiwa turunnya wayhu Al-Qur’an yang telah melahirkan sekian banyak literatur, yang selain beragam juga kadang saling bertentangan satu sama lain. Ia menegaskan:

Peristiwa itu (Revolusi Perancis) telah merangsang lahirnya komentar serta teori yang begitu luas serta teori yang begitu luas sejak dua ratus tahun lampau hingga sekarang (1789-1989). Keadaan ini dapat kita bandingkan dengan apa yang terjadi pada kita dengan teks Al-Qur’an._ftn14

Adapun kata akal merujuk pada akal sebagai fakultas dalam diri manusia untuk berpikir. Manusia berpikir dengan menggunakan alat-alat, yakni berupa kata-kata dari suatu bahasa, kategori-kategori dari logika, postulat atau hipotesa tentang realitas. Akal bisa berubah, seiring dengan perkembangan alat-alat berpikir yang ditemukan akal itu sendiri, seperti dari penemuan-penemuan ilmiah yang revolusioner. Karena itu, Arkoun menegaskan bahwa akal bukanlah konsep abstrak yang melayang-layang di udara, ia adalah konsep konkret yang bisa berubah-rubah. Ia mempunyai sejarahnya dan memang terus meyejarah.

Arkoun membedakan bahan dan postulat antara akal religius (religius reason) dan akal filosofis (philosophical reason). Dalam diskursus religius misalnya, ada metafor-metafor, simbol dan kisah-kisah mitis. Akal religius digunakan oleh kaum semitis: yahudi, kristen dan islam, sementara akal filosofis digunakan oleh filosof Yunani. Menurutnya, penemuan revolusioner Galileo dibidang astronomi (bahwa bumi mengitari matahari) pada abad 16, revolusi Lutherian pada abad 18 yang menegakkan pendirian (otonomi) akal--dan menempatkannya dalam posisi rasional—terhadap kitab suci, dan revolusi politik di Inggris dan Perancis pada abad 18, telah merubah akal secara radikal dengan menghasilkan akal “modern”. Tetapi, apa yang terjadi di Italia, Inggris, Perancis, spanyol itu tidak terjadi dalam masyarakat-masyarakat Islam. _ftn15Akibatnya, akal (atau alam pikiran) umat Islam belum bisa lepas dari mental abad pertengahan yang kental dengan ortodoksisme dan dogmatisme.

Untuk menelusuri sejarah pemikiran Islam, layaknya seorang arkeolog, Arkoun menggali seluruh lapisan geologis pemikiran (akal) Arab-Islam dengan memakai “pisau” epistema Michael Foucault. Arkoun membagi tiga tingkatan sejarah terbentuknya akal Arab-Islam: klasik, skolastik dan modern. Yang dimaksud dengan tingkatan klasik adalah sistem pemikiran yang diwakili oleh para pemula dan pembentuk peradaban Islam. Skolastik adalah jenjang kedua yang merupakan

medan taklid sistem berpikir umat. Sedangkan tingkatan modern adalah apa yang dikenal dengan kebangkitan dan revolusi. Dengan membagi sejarah ke dalam tiga penggalan (ruputure) epistema ini, tampaknya Arkoun bermaksud untuk menjelaskan term “yang terpikirkan” (le pensable/ thinkable), “yang tak terpikirkan” (l’impinse/unthikable) dan “yang belum terpikirkan” (l’impensable/not yet thought),_ftn16 untuk kemudian diterapkan dalam rangka membedah sejarah sistem pemikiran Arab-Islam.

Yang dimaksud dengan “yang terpikirkan adalah hal-hal yang mungkin umat Islam memikirkannya, karena jelas dan boleh dipikirkan. Sementara “yang tak terpikirkan adalah hal-hal seputar tidak ada kaitannya antara ajaran agama dengan praktek kehidupan._ftn17

Demi menembus lapisan terdalam dari geologi pemikiran Islam, Arkoun pun menjamah jantung eksistensialnya: Al-Qur’an, sunnah dan Ushul. Bagi Arkoun, Al-Qur’an tunduk pada sejarah (the Qur’an is subject to historicity)._ftn18 Baginya, lantaran Assyafi’i berhasil membuat sistematika konsep sunnah dan pembakuan ushul kepada standar tertentu serta pembakuan Qur’an kepada sebuah mushaf resmi (kopus resmi tertutup/mushaf Utsman), banyak ranah pemikiran yang tadinya “yang terpikirkan”, berubah menjadi hal-hal yang tak terpikirkan. Sampai sekarang, di tengah tantangan barat modern, menurutnya, daerah tak terpikirkan masih terus melebar.

Demikianlah, Arkoun melihat ortodoksisme (paham yang selalu menekankan pada penafsiran nash-nash yang pasti benar, sehingga penafsiran orang lain salah, bid’ah) dan dogmatisme abad skolastik (dogmatisme ditandai dengan pencampuradukkan antara wahyu dengan non wahyu, atau masuknya non-wahyu ke dalam wilayah wahyu), masih tetap bercokol dalam akal Arab-Islam dewasa ini.

Dengan kritik historisnya, Arkoun menemukan karakteristik umum akal-akal islam. Pertama, ketundukan akal-akal kepada wahyu yang “terberi” (diturunkan dari langit). Wahyu mempunyai kedudukan dan posisi yang lebih tinggi, sebab dihadapan akal-akal itu ia memiliki watak transendentalitas (al-ta’ali, La trancendance) yang mengatasi manusia, sejarah dan masyarakat. Kedua, penghormatan dan ketaatan kepada otoritas agung. Imam mujtihid dalam setiap madzhab tidak boleh dibantah atau didebat, walaupun di antara para mujtahid sendiri terdapat banyak perbedaan bahkan perselisihan. Para imam mujtahid ini telah mematok kaidah-kaidah menafsirkan Al-Quran secara benar, termasuk istimbath hukum. Otoritas ini menjelma dalam sosok para imam madzhab. Ketiga, akal beroperasi dengan cara pandang tertentu terhadap alam semesta, yang khas abad pertengahan, sebelum lahirnya ilmu astronomi modern._ftn19

Maka, bagi Arkoun, syarat utama untuk mencapai keterbukaan (pencerahan) pemikiran Islam di tengah kancah dunia modern adalah dekontruksi terhadap epistema ortodoksi dan dogmatisme abad pertengahan.

Dari kritik historisnya, Arkoun juga mendapati bahwa tumpukan literature tafsir Al-Qur’an tak ubahnya seperti endapan lapisan-lapisan geologis bumi. Dalam konteks ini, secara radikal Arkoun menganggap sejarah tafsir sebagai sajarah penggunaan Al-Qur’an sebagai dalih:

Jika kita lihat khazanah tafsir dengan seluruh macam madzhabnya, kita akan tahu bahwa sesungguhnya Al-Qur’an hanyalah “alat” saja untuk membangun teks-teks lain yang dapat memenuhi kebutuhan dan selera suatu masa tertentu setelah masa turunnya Al-Qur’an itu sendiri. Seluruh tafsir itu ada dengan sendirinya dan untuk dirinya sendiri. Dia merupakan karya intelektual serta produk budaya yang lebih terikat dengan konteks kultural yang melatarinya, dengan lingkungan sosial atau teologi yang menjadi “payungnya” nya daripada dengan konteks Al-Qur’an itu sendiri._ftn20

Menurutnya, pola hubungan yang terus-menerus antara teks pertama dan ekploitasi teologis dan ideologis yang begitu beragam terhadapnya yang dilakukan oleh berbagai latar kultural dan sosial yang berbeda itu, membuat teks kedua memiliki sejarahnya sendiri. Sejarah tafsir adalah sejarah pernyataan yang diulang-ulang, secara lebih kurang atau lebih bersemangat, mengenai sifat kebenaran, keabadian dan kesempurnaan dari risalah yang diterima dan disampaikan Nabi Muhammad. Dengan begitu, tafsir lebih bersifat “apologi defensif” daripada pencarian suatu cara memahami. Padahal, kata Arkoun, Al-Qur’an tidak membutuhkan suatu apologi guna menunjukkan kekayaan yang terkandung didalamnya._ftn21 Karena itu, berbagai literatur tafsir, di satu sisi, memang membantu mengantarkan kita untuk memahami Al-Qur’an; namun, di sisi lain, kadang malahan merintangi pemandangan kita dari Al-Qur’an. Lantaran sejarah tafsir yang “menggeologis” itulah, barangkali, Arkoun memandang Al-Qur’an sekarang lebih banyak menyebabkan kemandegan ketimbang pencerahan dan kemajuan:

Jadinya sekarang, Kalam Allah ditentang dan digagalkan oleh praktek masyarakat kita di masa kini; dihormati, namun pada kenyataannya dihalangi oleh kaum muslim, dan direduksi oleh pengetahunan ilmiah kaum orientalis menjadi kejadian budaya semata._ftn22

Dalam konteks di atas, perlu segera dicatat bahwa yang dianggap tidak relevan atau memandegkan bukanlah Al-Qur’an, melainkan pemikiran yang dipakai oleh para teolog dan fuqaha dalam menafsirkan Al-Qur’an:

Saya tidak mengatakan bahwa al-Qur’an tidak relevan. Saya tidak berkata demikian. Harap berhati-hati. Yang saya katakan adalah bahwa pemikiran yang dipakai oleh para teolog dan fuqoha untuk menafsirkan Al-Qur’an tidak relevan. Sebab, sekarang kita ilmu baru seperti antropologi, yang tidak mereka kuasai. Kita juga memiliki linguistik baru, metode sejarah, biologi—semuanya tidak mereka kuasai._ftn23

Demikian komplek dan peliknya sejarah tafsir, sehingga upaya restrukturisasi (I’adat tarkib) dengan cara penulisan sejarahnya secara jernih dan kritis adalah sangat mendesak. Berangkat dari persoalan ini, Arkoun merumuskan permasalahan:

Bagaimanakah kita dapat melakukan klarifikasi (al-idhahah at-tarikhiyyah) seperti terlihat di atas? Bagaimana kita dapat membaca Al-Qur’an secara “baru”? Bagaimanakah kita dapat memikirkan ulang pengalaman kesejarahan Islam sepanjang empat belas abad?

Untuk menelusuri alur pikiran metodologi Arkoun dalam memahami Al-Qur’an (bagaimana), terlebih dahulu di sini akan diajukan dua pertanyaan: (1) apa itu teks Al-Qur’an; dan (2) apa tujuan membaca Al-Qur’an. Sebab, secara metodologis, cara membaca Al-Qur’an sedikit banyak ditentukan oleh antara lain pandangan mengenai Al-Qur’an itu sendiri (postulat ontologis) dan tujuan pembacaannya (postulat Aksiologis)._ftn24

C. Apa Itu Al-Qur’an dan Apa Tujuan Membaca (Qira’ah) nya?

Di antara teks-teks keagamaan, tentunya teks kitab suci menduduki posisi paling sentral karena di dalamnya terkandung pewahyuan ilahi kepada manusia. Lagi pula, proses pewahyuan ini besifat unik, dalam pengertian sekali untuk selamanya dan tak tergantikan. Nama-nama lain Al-Qur’an sendiri seperti al-Furqon, (al-Furqon:1), al-Kitab (al-Dukhon:1-2), Kalam (al-Taubah:6), Nur (al-Nisa:174), Mau’idzah (Yunus:57), al-Shirat al-Mustaqim (al-An’am:153)_ftn25 dan lain-lain, mencerminkan pandangan kaum muslim mengenai status kitab sucinya yang sangat dimuliakan dan disucikan.

Mengikuti analisis semiotik, Arkoun menekankan bahwa teks yang ada di

tengah-tengah kita adalah hasil tindakan pengujaran (enonciation). Dengan kata lain, teks ini berasal dari bahasa lisan yang kemudian ditranskripsi ke dalam bentuk teks. Tidak terkecuali teks-teks kitab suci, termasuk Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diterima dan disampaikan nabi Muhammad kepada umat manusia selama tidak kurang dari dua dasawarsa. Terhadap keyakinannya ini, dalam berbagai kesempatan Arkoun selalu menegaskannya: baik yang bersifat spontan dari keimanannya sebagai muslim maupun dari pernyataan-pernyataannya yang ingin “membuktikan” keniscayaan petanda terakhir (signifie dernier).

Akan tetapi, wahyu dalam bentuk bahasa lisan ini baru kemudian dibukukan setelah memasuki masa Utsman, sekitar satu setengah periode setelah nabi Muhammad saw. wafat. Jauh sebelum Arkoun, buku-buku pegangan (teksbook) sebenarnya telah banyak memberikan informas mengenai penulisan dan pembakuan wahyu menjadi mushaf Utmsni ini. Hanya saja, Arkoun melihat bahwa informasi-informasi tersebut belum dipertimbangkan secara serius bagi penjelajahan makna Al-Qur’an. Untuk mempertimbangkan data historis ini semaksimal mungkin, Arkoun kembali pada rujukan linguistik mengenai: (1) peralihan dari bahasa lisan ke bahasa tulisan; dan (2) perubahan dari kalam kenabian yang bersifat terbuka pada konteks yang beraneka ragam, yang membicarakan situasi akhir batas eksistensial manusia: cinta, hidup, dan mati; menjadi wacana pengajaran yang memerikan menurut anggitan kaku dan karenanya cenderung tertutup._ftn26 Tampaknya, bagi Arkoun, proses yang kedua (perubahan kalam kenabian) dengan yang pertama (peralihan bahasa lisan ke tulisan) berlangsung seiring dan berjalan secara simultan.

Menerapkan proses linguistis di atas kepada proses gerakan tanzil (turunnya) wahyu, Arkoun memilah-milah tahap-tahap kalam Allah (KL), Wacana Qur’ani (WQ), Korpus Resmi Tertutup (KRT) dan Korpus Tertafsir (KT). Anggitan Kalam Allah atau merujuk pada Logos atau sabda Allah yang tak terbatas dalam pengertian yang dipakai al-Qur’an (31:27):

Seandainya semua pohon yang ada di atas bumi diubah menjadi pena dan lautan yang diperluas dengan tujuh lautan lain dengan tinta, kata-kata Allah tidak akan habis (oleh usaha mentranskripsinya)”. Demikian juga dalam pengertian orang-orang kristen yang mengatakan, “ Isa adalah Sabda Allah”.

Maka, wahyu-wahyu yang disampaikan kepada manusia dengan perantaraan para rasul hanyalah penggalan dari Kalam Allah yang tak terbatas, suatu Kalam yang tak tertulis yang didefinisikan dalam teologi klasik sebagai bersamaan dengan Allah dalam keabadian-Nya.

Penggal-penggal dari kalam Allah secara linguistis telah diartikulasikan dalam bahasa Ibrani (Al-kitab), bahasa Aramea (Isa, meski demikian ajarannya dilaporkan dalam bahasa Yunani), dan bahasa Arab (Qur’an). Tahap pengujaran lisan sejajar dengan atau sesuai dengan tahap wacana (yakni wacana dalam pengertian linguistik yang diartikan sebagai pengujaran yang mengandaikan adanya seorang pembicara dan pendengar dengan niat dari yang pertama untuk menyampaikan kepada yang kedua suatu pesan dan kemungkinan bagi yang kedua untuk bereaksi secara langsung) Alkitab, Injil dan Qur’an. Hubungan komunikasi antara Tuhan dan Nabi selalu terkait dengan situasi wacana atau lingkuangan semiologis ketika pelepasan dan penangkapan pesan berlangsung, yang terjadi sekali untuk selamanya dan tidak bisa diulang. Inilah tahap semio-linguis yang pertama.

Tahap semio-linguis kedua adalah proses pencatatannya secara tertulis dalam mushaf Utsmani (Korpus Resmi Tertutup)._ftn27 Dengan ungkapan Corpus officiel clos, Korpus resmi tertutup, Arkoun ingin menekankan aspek historisis dari mushaf, yang, suka atau tidak, tidak bisa diabaikan. Arkoun mengatakan:

This is extremely important: it refer to many historical fact depending on social and political agent, not on God. Let us elaborate it more clearly._ftn28

Tahap semio-linguis ketiga adalah penafsiran dari Korpus Resmi Tertutup itu. Secara linguistis adalah mutlak sehubungan dengan penjelajahan makna-makna al-Qur’an itu, pemahaman bahwa selalu teks tertulislah yang ditafsirkan dan bukan lagi wacana pertama. Arkoun mengajukan argumentasi:

Sesungguhnya kita tahu bahwa suatu teks tidak ditulis selama saya belum membacanya: artinya setiap pembaca menulis teks itu lagi sesuai dengan kisi-kisi persepsinya dan prinsip-prinsip penafsirannya. Kisi-kisi dan prinsip-prinsip sendiri tidak hanya berkaitan dengan tradisi kebudayaan yangdipakiai setiap pembaca sebagai sandaran, namun juga dengan paksaan ideologis dari keolompok dan masanya._ftn29

Dengan demikian, dapat dilihat secara mencolok bahwa Arkoun mengaitkan (menarik korelasi positif) proses pembekuan tafsir al-Quran tersebut yang tercermin dari berbagai tumpukan literatur, dengan proses penetapan al-Qur’an secara tertulis dan dengan perubahan dari wacana kenabian menjadi wacana pengajaran, sebagaimana disinggung di atas. Pendirian Arkoun ini bukannya melenggang tanpa kritik. Van Koningsveld, dalam kritiknya terhadap Arkoun, mengatakan bahwa Arkoun melebih-lebihkan pentingnya pencatatan teks Qur’an secara tertulis sebagai faktor pembakuan penafsirannya. _ftn30

Merujuk pada Hjemselv, bahwa pendekatan semiotis yang memandang suatu teks sebagai keseluruhan dan sebagai sesuatu sistem dari hubungan-hubungan interen, dan mendekati suatu teks tanpa interpretasi tertentu sebelumnya atau praanggapan lain, tampaknya Arkoun melihat Al-Qur’an sebagai suatu keseluruhan teks yang terkait secara koheren dan utuh satu sama lain. Karena itu juga, Arkoun ingin memandang Al-Qur’an sebagaimana Al-Qur’an itu sendiri berbicara dan memandang dirinya sendiri._ftn31

Dari semua proses historis di atas, Arkoun tampaknya ingin menegaskan bahwa telah terjadi pemiskinan kemungkinan untuk memahami wahyu dari segala dimensinya. Firman kenabian (prophetique) di reduksi menjadi firman yang berorientasi pada pengajaran (professoral), yakni berorientasi pada abstraksi tanpa memperhitungkan secara serius pihak yang mula-mula dituju oleh firman itu. Dalam ungkapan bahasa semiotika, teks Qur’an sebagai parole di desak oleh teks langue._ftn32 Mengenai langue bahasa arab sebagai lokus turunnya Al-Qur’an ini, Arkoun mengatakan:

Pada kenyataannya, wacana Qur’an adalah suatu orkestrasi musikal sekaligus simantis dari anggitan-anggitan kunci yang ditimba dari kosa kata arab biasa yang telah mengalami transformasi radikal selama berabad-abad.

Di atas segalanya, Arkoun berpendapat bahwa meskipun Qur’an sekarang lebih berfungsi sebagai teks tertulis, Qur’an kini tetap merupakan parole bagi para mukmin.

Adapun tujuan membaca al-Qur’an (qira’at) bagi Arkoun adalah untuk mengerti (comprendre) komunikasi kenabian yang disampaikan lewat teks tertulis. Dengan kata lain, qira’at dimaksudkan untuk melakukan semacam “napak tilas” proses pengujaran (enonciation) Al-Qur’an dari berbagai segi dan dimensinya, sebagaimana waktu pertama kali di ungkapkan dalam suasana semiologis yang masih kaya dan segar. Artinya, tujuan qira’at bukan semata-mata untuk mengerti teks, melainkan untuk mendapatkan teks. Secara metodologis, “napak tilas” ini sebenarnya tidak mungkin karena proses pengujaran hanya terjadi satu kali, unik, dan karenanya tak akan pernah terulang lagi. Yang paling mungkin dilakukan hanyalah menjulurkan tangan secara asimtotis_ftn33 kepada suatu pendekatan yang makin lama makin akrab dengan wacana itu, dengan cara mengembalikan (dengan segala keterbatasannya) teks Qur’an sebagai langue menjadi parole bagi orang-orang yang hidup pada zaman sekarang ini.

Bagi Arkoun, Qira’at juga dimaksudkan untuk memproduksi makna-makna yang berada di balik teks harfiah, dengan cara mengungkap struktur bahasa mitis Al-Qur’an dan melepaskannya dari jebakan bahasa logis dan logosentris.

Tampaknya, bagi Arkoun, qira’at juga berarti menangkap pesan universal dan asas paling primordial yang berada di balik semua Al-Kitab (selauruh kitab suci yang diturunkan Allah kepada umat manusia lewat perantaraan para rasul-Nya), dengan melakukan semacam ziarah spiritual vertikal melalui gerak-balik menaiki tangga gerakan linear tanzil Al-Qur’an yang dikemukakannya, sampai pada Sabda atau Kalam Allah yang tak terhingga, guna mendamaikan perang teologis yang terjadi di antara masyarakat kitab. Karena itu, Arkoun menginginkan tafsirnya mampu mengatasi masalah ketegangan klaim teologis ini:

Keinginan kami adalah membuat mungkin suatu penanganan yang solider terhadap kitab-kitab suci oleh orang-orang “ahlu kitab” Untuk itu kami mengajak pembaca untuk membaca Al-Qur’an menurut aturan-aturan suatu metode yang dapat diterapkan kepada semua teks doktrinal besar._ftn34

D. Cara Membaca Al-Qur’an Mohammed Arkoun

Aturan-aturan metode Arkoun yang hendak diterapkannya kepada Al-Quran (termasuk kitab suci yang lainnya) terdiri dari dua kerangka raksasa:

1. mengangkat makna dari apa yang dapat disebut dengan sacra doctrina dalam Islam dengan menundukkan teks al-Qur’an dan semua teks yang sepanjang sejarah pemikiran Islam telah berusaha menjelaskannya (tafsir dan semua litaeratur yang ada kaitannya dengan Al-Qur’an baik langsung maupun tidak), kepada suatu ujian kritis yang tepat untuk menghilangkan kerancuan-kerancuan, untuk memperlihatkan dengan jelas kesalahan-kesalahan, penyimpangan-penyimpangan dan ketakcukupan-ketakcukupan, dan untuk mengarah kepada pelajaran-pelajaran yang selalu berlaku;

2. Menetapkan suatu kriteriologi _ftn35yang didalamnya akan dianalisis motif-motif yang dapat dikemukakan oleh kecerdasan masa kini, baik untuk menolak maupun untuk mempertahankan konsepsi-konsepsi yang dipelajari.

Dalam mengangkat makna dari Al-Qur’an, hal yang paling pertama dijauhi oleh Arkoun adalah pretensi untuk menetapkan “makna sebenarnya dari Al-Qur’an. Sebab, Arkoun tidak ingin membakukan makna Al-Qur’an dengan cara tertentu, kecuali menghadirkan—sebisa mungkin—aneka ragam maknanya. Untuk itu, pembacaan mencakup tiga saat (moment):

1. suatu saat linguistis yang memungkinkan kita untuk menemukan keteraturan dasar di bawah keteraturan yang tampak.

2. Suatu saat antropologi, mengenali dalam Al-Qur’an bahasanya yang bersusunan mitis.

3. Suatu saat historis yang di dalamnya akan akan ditetapkan jangkauan dan batas-batas tafsir logiko-leksikografis dan tafsir-tafsir imajinatif yang sampai hari ini dicoba oleh kaum muslim._ftn36

1. Moment Linguistis Kritis

Pembacaan linguistik dimulai dengan pengumpulan data-data linguistis dari Al-Qur’an sebagaimana tertulis. Dalam tahap ini, misalnya, Arkoun memeriksa tanda-tanda bahasa (modalisateur du dicours). Karena “kanon resmi tertutup” ditulis dalam bahasa arab, maka tanda-tanda bahasa yang harus diperhatikan adalah tanda-tanda (bahasa) bahasa arab. Menurut Arkoun, semakin kita menegaskan modalisateur du discours, kita semakin memahami maksud (intention) dari locuteur (qo’il atau penutur).

Untuk memasuki proses pengujaran, di antara unsur-unsur linguistik yang diperiksa biasanya adalah determinan (ism ma’rifah), kata ganti orang (pronomina, dlomir), kata kerja (fi’il), sistem kata benda (ism dan musamma), struktur sintaksis dan lain-lain. Pemeriksaan terhadap unsur-unsur linguistis ini dimaksudkan untuk menganalisis aktan-aktan (actants), yaitu pelaku yang melakukan tindakan yang berada dalam teks atau narasi. Dengan kategori aktan, ujaran (Perancis enonce/Inggris utterance) dipandang sebagai suatu hubungan antara berbagai aktan yang membentuknya. Atau,dalam kaca mata linguistik, ujaran mau tidak mau harus dilihat dari dari kategori hubungan antar aktan. Dilihat dari kategori ini, ada tiga poros hubungan antar-aktan. Poros Pertama dan yang terpenting adalah poros subyek-obyek di mana orang dapat memeriksa “siapa” melakukan “apa”. Poros kedua adalah poros pengirim-penerima yang menjawab persoalan siapa melakukan dan untuk siapa dilakukan. Sedengkan poros ketiga dimaksudkan untuk mecari aktan yang mendukung dan menentang subyek, yang berada dalam poros “pendukung-penerima”. Ketiga pasangan aktan ini dapat membantu pembaca untuk mengidentifikasi aktan dan kedudukannya. Aktan tidak selalu harus berupa orang atau pribadi, tapi juga bisa berupa nilai. _ftn37

Dengan kategori poros aktan pengirim-penerima, misalnya, Arkoun mengatakan bahwa Allah adalah aktan pengirim-penerima; manusia sebagai pengujar adalah aktan penerima-pengirim. Dalam kebanyakan surat Al-Qur’an, Allah adalah aktan pengirim (destinateur) pesan, sementara manusia adalah aktan penerima (destinaire) pesan. Akan tetapi hal sebaliknya juga bisa berlaku: manusia juga menjadi “pengirim” dan Allah menjadi “penerima”. Analisis aktansial ini tidak saja diterapkan pada tingkat sintaksis tapi juga terhadap seluruh teks sebagai suatu kesatuan atau seluruh narasi.

Hasil dari kritik linguistik di atas sebenarnya sudah banyak dipikirkan oleh para mufassir klasik. Mereka mementingkan—dan sudah terbiasa dengan analisis sintaksis. Tetapi bagi Arkoun lebih dari itu: pentingnya analisis linguistis kritis ini terletak pada kemungkinan “mengungkapkan tatanan yang mendalam” yang berada di balik penampakan teks yang seolah-olah tidak teratur.

2. Moment Antropologis: Analisis Mitis

Professor linguistik dari Swis, J. Starobinski, mengartikan hubungan kritis sebagai “a transcoding, a free transcription of various data presented in the ‘interior’ of the ‘text’”. Keberhasilan suatu kritik teks bukan terletak pada kemampuannya untuk mengupas. Keberhasilannya harus diarahkan kepada hubungan-hubungan yang ada pada teks yang tidak lain adalah “the driving force behind the text”

Asumsi Starobinski ini terutama berlaku bagi penafsiran teks-teks keagamaan. Karena analisis linguistis memberikan kesan yang determisnistis dan tidak mempunyai piranti khusus bagi teks keagamaan. Arkoun telah berusaha melampaui keterbatasan linguistik tersebut. Dalam hal ini, Starobinski telah memberikan andil besar dalam usaha Arkoun untuk memberikan pertanggungjawaban metodologis. Arkoun meninggalkan aras kritis dan analitis menuju aras relasional. Pada aras ini, qira’at diarahbidikkan kepada signifie dernier, petanda terakhir. Dalam rangka mencari petanda terakhir inilah Arkoun beranjak pada tahap (moment) antropologis di mana ia memakai analisis mitis. Bila pada tahap linguistis-kritis data linguistis pertama-tama dianggap sebagai “kata sebagai tanda” (mot-signe), maka pada tahap antropologis data linguistik kemudian dianggap sebagai “kata sebagai simbol” (mot-symbole). _ftn38

Menurut Arkoun, semua ciri yang telah dikenal sebagai gaya bahasa mitis dalam Alkitab dan Perjanjian Baru terdapat juga dalam Al-Qur’an. Gaya bahasa Al-Qur’an itu adalah:

1. benar, karena gaya bahasa itu efektif mengenai kesadaran manusia yang belum digalakkan oleh gaya bahasa mitis lain yang membuka berbagai perspektif yang sebanding;

2. efektif, karena gaya bahasa itu menghubungkan dengan waktu purba penciptaan dan karena gaya itu sendiri memulai suatu waktu yang istimewa: waktu pewahyuan, kenabian Muhammad dan para sahabat yang solih (as-salaf as-solih);

3. sepontan, karena gaya bahasa itu merupakan pancaran terus menerus dari kepastian-kepastian yang tidak bersandarkan pada pembuktian, melainkan pada keseuaian yang mendasar dengan semangat-semangat yang permanen dalam kepekaan manusia;

4. simbolis, bisa dilihat dari simbol surga sebagai “surga tuhan yang penuh dengan bidadari-bidadari yang merangsang birahi dan di situ mengalir sungai-sungai anggur dan madu.

Dengan suatu bangunan simbolis luas di atas, Al-Qur’an membanjiri hati nurani manusia. Hingga hari ini bangunan simbolis luas itu tak henti-hentinya memberikan ilham kepada orang-orang beriman untuk berpikir dan bertindak. Dalam Al-Qur’an unsur-unsur bangunan simbolis itu adalah: a) “simbolisme kesadaran akan kesalahan” yang oleh refleksi teologi, yuridis dan moral akan disederhanakan dalam peraturan formal dan kaku; b) “simbolisme cakrawala eskatologis” yang menugasi sejarah dengan satu makna, yakni pengarahan dan pemaknaan. Orang-orang masuk Islam, dengan demikian, mendapatkan dirinya termasuk dalam Sejarah Sakral dari umat Tuhan; sebagai agen-agen ungkapan terakhir Kehendak Sakral—Muhammad telah menutup dengan pasti rangkaian para Rasul—mereka menjadi umat terpilih yang mesti menunjukkan cakrawala keselamatan kepada orang-orang lain; c)”simbolisme umat” yang menerjemahkan apa yang telah lalu dan menerima proyeksi sejarah konkret di Madinah pada tahun 1H/622 M.;d)”simbolisme hidup dan mati”.

Simbolisme-simbolisme yang berbeda-beda di atas ini saling mengisi,saling memperkuat untuk membangun suatu visi dari dunia yang benar, yakni suatu visi fungsional yang disesuaikan secara sempurna dengan pencarian keselamatan kita. Untuk sekadar mengambil contoh, simbolisme menyangkut kesadaran akan kejahatan tampak misalnya pada surat Al-Fatihah dalam ungkapan iyyaka na’budu..., sirat mustaqim, magdlubi alaihim, dlaallin dan lain-lain. Maka, dalam Islam khususnya, visi imajinatif transhistoris akan mengalahkan visi metavisis yang merasionalkan._ftn39

Analisis simbolis ini memungkinkan bahasa keagamaan dapat menjadi bahasa performatif atau bahasa yang mempunyai kekuatan kreatif (force effectuante). Ciri performatif ini, yang memang merupakan ciri yang paling mencolok dalam bahasa keagamaan, juga berlaku pada Al-Qur’an. Baginya, “wacana” performatif” adalah “parole yang ‘mengatakan’ apa yang saya buat dan pada waktu yang bersamaan merupakan parole yang membuat saya menyempurnakan atau menyelesaikan tindakan saya”. Dengan demikian, wacana performatif bukanlah wacana tentang “tindakan”, melainkan wacana yang diucapkan bersamaan dengan dilakukannya “tindakan”. Segi performatif inilah yang memungkin Al-Qur’an menjadi parole bagi siapa saja yang mengujarkannya sebagaimana ia dulu menjadi parole nabi Muhammad SAW. Ketika kita membaca “ar rahman ar rahim, misalnya, kita tidak hanya mengatakan-- atau membuat konstatasi tentang--suatu tindakan, melainkan juga sedang menciptakan tindakan, entah itu pengharapan (mohon pengampunan dari ar rahman ar rahim), pengakuan, penyerahan diri, permintaan kepada-Nya dan seterusnya._ftn40

PENTINGNYA LANDASAN FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN

BAGI PENDIDIKAN

(Suatu Tinjauan Filsafat Sains)

Oleh

Nunu Heryanto

NRP. P016010051

Pengantar

Terdapat cukup alasan yang baik untuk belajar filsafat, khususnya apabila ada pertanyaan-pertanyaan rasional yang tidak dapat atau seyogyanya tidak dijawab oleh ilmu atau cabang ilmu-ilmu. Misalnya: apakah yang dimaksud dengan pengetahuan, dan/atau ilmu? Dapatkah kita bergerak ke kiri dan kanan di dalam ruang tetapi tidak terikat oleh waktu? Masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah sekitar pendidikan dan ilmu pendidikan. Kiranya kegiatan pendidikan bukanlah sekedar gejala sosial yang bersifat rasional semata mengingat kita mengharapkan pendidikan yang terbaik untuk bangsa Indonesia, lebih-lebih untuk anak-anak kita masing-masing; ilmu pendidikan secara umum tidak begitu maju ketimbang ilmu-ilmu sosial dan biologi tetapi tidak berarti bahwa ilmu pendidikan itu sekedar ilmu atau suatu studi terapan berdasarkan hasil-hasil yang dicapai oleh ilmu-ilmu sosial dan atau ilmu perilaku.

Pertanyaan yang timbul yaitu: apakah teori-teori pendidikan dapat atau telah tumbuh sebagai ilmu ataukah hanya sebagian dari cabang filsafat dalam arti filsafat sosial ataupun filsafat kemanusiaan?

A. Pendidikan Sebagai Kegiatan Ilmu dan Seni

Masalah pendidikan mikro yang menjadi focus disini khususnya ialah dasar dan landasan pendidikan serta landasan ilmu pendidikan yaitu manusia atau sekelompok kecil manusia dalam fenomena pendidikan.

1. 1. Pendidikan dalam Praktek Memerlukan teori

Alangkah pentingnya kita berteori dalam praktek di lapangan pendidikan karena pendidikan dalam praktek harus dipertanggungjawabkan. Tanpa teori dalam arti seperangkat alasan dan rasional yang konsisten dan saling berhubungan maka tindakan-tindakan dalam pendidikan hanya didasarkan atas alasan-alasan yang kebetulan, seketika dan aji mumpung. Hal itu tidak boleh terjadi karena setiap tindakan pendidikan bertujuan menunaikan nilai yang terbaik bagi peserta didik dan pendidik. Bahkan pengajaran yang baik sebagai bagian dari pendidikan selain memerlukan proses dan alasan rasional serta intelektual juga terjalin oleh alasan yang bersifat moral. Sebabnya ialah karena unsur manusia yang dididik dan memerlukan pendidikan adalah makhluk manusia yang harus menghayati nilai-nilai agar mampu mendalami nilai-nilai dan menata perilaku serta pribadi sesuai dengan harkat nilai-nilai yang dihayati itu.

Kita baru saja menyaksikan pendidikan di Indonesia gagal dalam praktek berskala makro dan mikro yaitu dalam upaya bersama mendalami, mengamalkan dan menghayati Pancasila. Lihatlah bagaimana usaha nasional besar-besaran selama 20 tahun (1978-1998) dalam P-7 (Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) berakhir kita nilai gagal menyatukan bangsa untuk memecahkan masalah nasional suksesi kepresidenan secara damai tahun 1998, setelah krisis multidimensional melanda dan memporakporandakan hukum dan perekonomian negara mulai pertengahan tahun 1997, bahkan sejak 27 Juli 1996 sebelum kampanye Pemilu berdarah tahun 1997. itu adalah contoh pendidikan dalam skala makro yang dalam teorinya tidak pas dengan Pancasila dalam praktek diluar ruang penataran. Mungkin penatar dan petatar dalam teorinya ber-Pancasila tetapi didalam praktek, sebagian besar telah cenderung menerapkan Pancasila Plus atau Pancasila Minus atau kedua-duanya. Itu sebabnya harus kita putuskan bahwa P-7 dan P-4 tidak dapat dipertanggungjawabkan, setidak-tidaknya secara moral dan sosial. Mari kita kembali berprihatin sesuai ucapan Dr. Gunning yang dikutip Langeveld (1955).

“Praktek tanpa teori adalah untuk orang idiot dan gila, sedangkan teori praktek hanya untuk orang-orang jenius”.

Ini berarti bahwa sebaiknya pendidikan tidak dilakukan kecuali oleh orang-orang yang mampu bertanggung jawab secara rasional, sosial dan moral. Sebaliknya apabila pendidikan dalam praktek dipaksakan tanpa teori dan alasan yang memadai maka hasilnya adalah bahwa semua pendidik dan peserta didik akan merugi. Kita merugi karena tidak mampu bertanggung jawab atas esensi perbutan masing-masing dan bersama-sama dalam pengamalan Pancasila. Pancasila yang baik dan memadai, konsisten antara pengamalan (lahiriah) dan penghayatan (psikologis) dan penataan nilai secara internal. Dalam hal ini kita bukan menyaksikan kegiatan (praktek) pendidikan tanpa dasar teorinya tetapi suatu praktek pendidikan nasional tanpa suatu teori yang baik.

2. 2. Landasan Sosial dan Individual Pendidikan

Pendidikan sebagai gejala sosial dalm kehidupan mempunyai landasan individual, sosial dan cultural. Pada skala mikro pendidikan bagi individu dan kelompok kecil beralngsung dalam skala relatif tebatas seperti antara sesama sahabat, antara seorang guru dengan satu atau sekelompok kecil siswanya, serta dalam keluarga antara suami dan isteri, antara orang tua dan anak serta anak lainnya. Pendidikan dalam skala mikro diperlukan agar manusia sebagai individu berkembang semua potensinya dalam arti perangkat pembawaanya yang baik dengan lengkap. Manusia berkembang sebagai individu menjadi pribadi yang unik yang bukan duplikat pribadi lain. Tidak ada manusia yang diharap mempunyai kepribadian yang sama sekalipun keterampilannya hampir serupa. Dengan adanya individu dan kelompok yang berbeda-beda diharapkan akan mendorong terjadinya perubahan masyarakat dengan kebudayaannya secara progresif. Pada tingkat dan skala mikro pendidikan merupakan gejala sosial yang mengandalkan interaksi manusia sebagai sesama (subyek) yang masing-masing bernilai setara. Tidak ada perbedaan hakiki dalam nilai orang perorang karena interaksi antar pribadi (interpersonal) itu merupakan perluasan dari interaksi internal dari seseorang dengan dirinya sebagai orang lain, atau antara saya sebagai orang kesatu (yaitu aku) dan saya sebagai orang kedua atau ketiga (yaitu daku atau-ku; harap bandingkan dengan pandangan orang Inggris antara I dan me).

Pada skala makro pendidikan berlangsung dalam ruang lingkup yang besar seperti dalam masyarakat antar desa, antar sekolah, antar kecamatan, antar kota, masyarakat antar suku dan masyarakat antar bangsa. Dalam skala makro masyarakat melaksanakan pendidikan bagi regenerasi sosial yaitu pelimpahan harta budaya dan pelestarian nilai-nilai luhur dari suatu generasi kepada generasi muda dalam kehidupan masyarakat. Diharapkan dengan adanya pendidikan dalam arti luas dan skala makro maka perubahan sosial dan kestabilan masyarakat berangsung dengan baik dan bersama-sama. Pada skala makro ini pendidikan sebagai gejala sosial sering terwujud dalam bentuk komunikasi terutama komunikasi dua arah. Dilihat dari sisi makro, pendidikan meliputi kesamaan arah dalam pikiran dan perasaan yang berakhir dengan tercapainya kemandirian oleh peserta didik. Maka pendidikan dalam skala makro cenderung dinilai bersifat konservatif dan tradisional karena sering terbatas pada penyampaian bahan ajar kepada peserta didik dan bisa kehilangan ciri interaksi yang afektif.

3. 3. Teori Pendidikan Memadu Jalinan Antara Ilmu dan Seni

Adanya aspek-aspek lahiriah, psikologis dan rohaniah seperti disebut tadi mengisyaratkan bahwa manusia dalam fenomena (situasi) pendidikan adalah paduan antara manusia sebagai sebagai fakta dan manusia sebaai nilai. Tiap manusia bernilai tertentu yuang bersifat luhur sehingga situasi pendidikan memiliki bobot nilai individual, sosial dan bobot moral. Itu sebabnya pendidikn dalam praktek adalah fakta empiris yang syarat nilai berhubung interaksi manusia dalam pendidikan tidak hanya timbal balik dalam arti komunikasi dua arah melainkan harus lebih tinggi mencapai tingkat maniusiawi seperti saya atau siswa mendidik diri sendiri atas dasar hubungan pribadi dengan pribadi (higher order interactions) antar individu dan hubungan intrapersonal secara afektif antara saya (yaitu I) dan diriku (diri sendiri yaitu my self atau the self).

Adapun manusia sebagai fakta empriris tentu meliputi berbagai variabel dan hubungan variabel yang terbatas jumlahnya dalam telaah deskriptif ilmu-ilmu. Sedangkan jumlah variabelnya amat banyak dan hubungan-hubungan antara variabel amat kompleks sifatnya apabila pendidik memelihara kualitas interaksinya dengan peserta didik secra orang perorang (personal).

Sepeti dikatakan tentang siswa belajar aktif oleh Phenix (1958:40), yaitu :

“It possible to conceive of teacher and student as one and same person and the self taught person as one who direct his own development through an internal interaction between the self as I and the self as me on the other hand, it is usual for one teacher to teach many students simultaneously. In that even the quality oef the interaction may become generalized and impersonal, or it may, by appropriate means, retain its person to person character.

Artinya sift manusiawi dari pendidikan (manusia dalam pendidikan) harus terpelihara demi kualitas proses dan hasil pendidikan. Pemeliharaan itulah yang menuntut agar pendidik siap untuk bertindak sewaktu-waktu secara kreatif (berkiat menciptakan situasi yang pas, apabila perlu. Misalnya atas dasar diagnostik klinis) sekalipun tanpa prognosis yang lengkap namun utamanya berdasarkan sikap afektif bersahabat terhadap terdidik. Kreativitas itu didasarkan kecintaan pendidik terhadap tugas mendidik dan mengajar, itu sebabnya gejala atau fenomena pendidikan tidak dapat direduksi sebagai gejala sosial atau gejala komunikasi timbal balik belaka. Apabila ilmu-ilmu sosial atau behavioral mampu menerapkan pendekatan dan metode ilmiah (Pearson, 1900) secara termodifikasi dalam telaah manusia melalui gejala-gejala sosial, apakah ilmu pendidikan harus bertindak serupa untuk mengatasi ketertinggalan- nya khususnya ditanah air kita ?

Atau seperti dikatakan secara ilmiah oleh NL. Gage (1978:20),

“Scientific method can contribute relationships between variaboles, taken two at a time and even in the form of interactions, three or perhaps four or more at a time. Beyond say four, the usefulness of what science can give the teacher begins to weaken, because teacher cannot apply, at least not without help and not on the run, the more complex interactions. At this point, the teacher as an artist must step in and make clinical, or artistic, judgement about the best ways to teach.”

Pendidik memang harus bertindak pada latar mikro termasuk dalam kelas atau di sekolah kecil, mempengaruhi peserta didik dan itu diapresiasi oleh telaah pendidikan berskala mikro, yaitu oleh paedagogik (teoritis) dan andragogi (suatu pedagogic praktis). Itu sebabnya ilmu pendidikan harus lebih inklusif daripada pengajaran (yang makro) lebih utama daripada mengajar dan mendidik. Bahkan kegiatan pengajaran disekolah memerlukan perencanaan dalam arti penyusunan persiapan mengajar. Dalam pandangan ilmu pendidikan yang otonom, ruang lingkup pengajaran tidak dengan sendirinya mencakup kegiatan mendidik dan mengajar.

Atas dasar pokok-pokok pikiran tentang aspek lahiriah, psikologis dan rohaniah dari manusia dalam fenomena pendidikan maka pendidikan dalam praktek haruslah secara lengkap mencakup bimbingan, mendidik, mengajar dan pengajaran. Dalam fenomena yang normal peserta didik dapat didorong aga belajar aktif melalui bimbingan dan mengajar. Tetapi adakalanya dalam situasi kritis siswa perlu meniru cara guru yang aktif belajar sendiri. Itu sebabnya perundang-undangan pendidikan kita sebenarnya perlu diluruskan, pada satu sisi agar upaya mendidik terjadi dalam keluarga secara wajar, disisi lain agar pengajaran disekolah meliputi dimensi mendidik dan mengajar. Lagi pula bahwa diferensisasi dan fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan perlu ditentukan utamanya harus melakukan pengajaran dan mengelola kurikulum formal sebagai aspek spesialisasinya agar beroperasi efisien. Sedangkan konsep pendidikan yang juga mencakup program latihan (UU. No. 2/1989 Pasal 1 butir ke-1) adalah suatu konstruk yang amat luas dilihat dari perspektif sekolah sebagai lembaga pendidikan formal.

Maka konsep pendidikan yang memerlukan ilmu fdan seni ialah proses atau upaya sadar antar manusia dengan sesama secara beradab, dimana pihak kesatu secara terarah membimbing perkembangan kemampuan dan kepribadian pihak kedua secara manusiawi yaitu orang perorang. Atau bisa diperluas menjadi makro sebagai upaya sadar manusia dimana warga maysrakat yang lebih dewasa dan berbudaya membantu pihak-pihak yangkurang mampu dan kurang dewasa agar bersama-sama mencapai taraf kemampuan dan kedewasaan yang lebih baik (Phenix, 1958:13), Buller, 1968:10). Dalam arti ini juga sekolah laboratorium akan memerlukan jalinan praktek ilmu dan praktek seni. Sebaliknya butir 1 pasal 1, UU No. 2 /1989 kiranya kurang tepat sehingga tentu sulit menuntut siswa ber CBSA padahal guru belum tentu aktif belajar, mengingat definisi pendidikan yang makro, yaitu :

“Pendidikan ialah usaha sadar untuk mempersiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi peranannya dimasa yang akan dating”.

Kiranya konsep pendidikan yang demikian yang demikian kurang mampu memberi isi kepada tujuan dan semangat Bab XIII UUD 1945 yang merujuk bidang pendidikan sebagai amanah untuk mewujudkan keterkaitan erat antara sistem pengajaran nasional dengan kebudayaan kebangsaan. Karena itu dalam lingkup pendidikan menurut skala mikro dan abstark yang lebih makro, pendidik harus juga peduli dengan aspek etis (moral) dan estetis dari pengalamannya berinteraksi dengan peserta didik selain aspek pengetahuan, kebenaran dan perilaku yang disisyaratkan oleh konsep pendidikan menurut undang-undang tadi. Hal ini sesuai dengan pandangan Ki Hajar Dewantara (1950) sebagai berikut :

“Taman Siswa mengembangkan suatu cara pendidikan yang tersebut didalam Among dan bersemboyan ‘Tut Wuri Handayani’ (mengikuti sambil mempengaruhi). Arti Tut Wuri aialah mengikuti, namun maknanya ialah mengikuti perkembangan sang anak dengan penuh perhatian berdasarkan cinta kasih dan tanpa pamrih, tanpa keinginan menguasai dan memaksa, dan makna Handayani ialah mempengaruhi dalam arti merangsang, memupuk, membimbing, memberi teladan gar sang anak mengembngkan pribadi masing-masing melalui disiplin pribadi”.

Demikian bagi Ki Hajar Dewantara pendidikan pada skala mikro tidak terlepas dari pendidikan dalam arti makro, bahkan disipilin pribadi adalah tujuan dan cara dalam mencapai disiplin yang lebih luas. Ini berarti bahwa landasan pendidikan terdapat dalam pendidikan itu sendiri, yaitu factor manusianya. Dengan demikian landasan-landasan pendidikan tidak mesti dicari diluar fenomena (gejala) pendidikan termasuk ilmu-ilmu lain dan atau filsafat tertentu dari budaya barat. Oleh karena itu data ilmu pendidikan tidak tergantung dari studi ilmu psikologi., fisiologi, sosiologi, antropologi ataupun filsafat. Lagi pula konsep pengajaran (yang makro) berdasarkan kurikulum formal tidak dengan sendirinya bersifat inklusif dan atau sama dengan mengajar. Bahkan dalam banyak hal pengajaran itu tergantung hasilnya dari kualitas guru mengajar dalam kelas masing-masing. Sudah barang tentu asas Tut Wuri Handayani tidak akan menjadikan pengajaran identik dengan sekedar upaya sadar menyampaikan bahan ajar dikelas kepada rombongan siswa mengingat guru harus berhamba kepada kepentingan siswanya.

B. B. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan

Uraian diatas mengisyaratkan terhadap dasar-dasar pendidikan bahwa praktek pendidikan sebagai ilmu yang sekedar rangkaian fakta empiris dan eksperimental akan tidak lengkap dan tidak memadai. Fakta pendidikan sebagai gejala sosial tentu sebatas sosialisasi dan itu sering beraspirasi daya serap kognitif dibawah 100 % (bahkan 60 %). Sedangkan pendidikan nilai-nilai akan menuntut siswa menyerap dan meresapi penghayatan 100 % melampaui tujuan-tujuan sosialisasi, mencapai internaliasasi (mikro) dan hendaknya juga enkulturasi (makro). Itulah perbedaan esensial antara pendidikan (yang menjalin aspek kognitif dengan aspek afektif) dan kegiatan mengajar yang paling-paling menjalin aspek kognitif dan psikomotor. Dalam praktek evaluasinya kegiatan pengajaran sering terbatas targetnya pada aspek kognitif. Itu sebabnya diperlukan perbedaan ruang lingkup dalam teori antara pengajaran dengan mengajar dan mendidik.

Adapun ketercapaian untuk daya serap internal mencapai 100 % diperlukn tolong menolong antara sesama manusia. Dalam hal ini tidak ada orang yang selalu sempurna melainkan bisa terjadi kemerosotan yang harus diimbangi dengan penyegaran dan kontrol sosial. Itulh segi interdependensi manusia dalam fenomena pendidikan yang memerlukan kontrol sosial apabila hendak mencegah penurunan pengamalan nlai dan norma dibawah 100%.

1. 1. Pedagogik sebagai ilmu murni menelaah fenomena pendidikan

Jelaslah bahwa telaah lengkap atas tindakan manusia dalam fenomena pendidikan melampaui kawasan ilmiah dan memerlukan analisis yang mandiri atas data pedagogic (pendidikan anak) dan data andragogi (Pendidikan orang dewasa). Adapun data itu mencakup fakta (das sein) dan nilai (das sollen) serta jalinan antara keduanya. Data factual tidak berasal dari ilmu lain tetapi dari objek yang dihadapi (fenomena) yang ditelaah Ilmuwan itu (pedagogi dan andragogi) secara empiris. Begitu pula data nilai (yang normative) tidak berasal dari filsafat tertentu melainkan dari pengalaman atas manusia secara hakiki. Itu sebabnya pedagogi dan andragogi memerlukan jalinan antara telaah ilmiah dan telaah filsafah. Tetapi tidak berarti bahwa filsafat menjadi ilmu dasar karena ilmu pendidikan tidak menganut aliran atau suatu filsafat tertentu.

Sebaliknya ilmu pendidikan khususnya pedagogic (teoritis) adalah ilmu yang menysusun teori dan konsep yang praktis serta positif sebab setiap pendidik tidak boleh ragu-ragu atau menyerah kepada keragu-raguan prinsipil. Hal ini serupa dengan ilmu praktis lainnya yang mikro dan makro. Seperti kedokteran, ekonomi, politik dan hukum. Oleh karena itu pedagogic (dan telaah pendidikan mikro) serta pedagogic praktis dan andragogi (dan telaah pendidikan makro) bukanlah filsafat pendidikan yang terbatas menggunakan atau menerapkan telaah aliran filsafat normative yang bersumber dari filsafat tertentu. Yang lebih diperlukan ialah penerapan metode filsafah yang radikal dalam menelaah hakikat peserta didik sebagai manusia seutuhnya.

Implikasinya jelas bahwa batang tubuh (body of knowledge) ilmu pendidikan haruslah sekurang-kurangnya secara mikro mencakup :

- - Relasi sesama manusia sebagai pendidik dengan terdidik (person to person relationship)

- - Pentingnya ilmu pendidikan memepergunakan metode fenomenologi secara kualitatif.

- - Orang dewasa yang berpran sebagai pendidik (educator)

- - Keberadaan anak manusia sebagai terdidik (learner, student)

- - Tujaun pendidikan (educational aims and objectives)

- - Tindakan dan proses pendidikan (educative process), dan

- - Lingkungan dan lembaga pendidikan (educational institution)

Itulah lingkup pendidikan yang mikroskopis sebagai hasil telaah ilmu murni ilmu pendidikan dalam arti pedagogic (teoritis dan sistematis). Mengingat pendidikan juga dilakukan dalam arti luas dan makroskopis di berbagai lembaga pendidikan formal dan non-formal, tentu petugas tenaga pendidik di lapangan memerlukan masukan yang berlaku umum berupa rencana pelajaran atau konsep program kurikulum untuk lembaga yang sejenis. Oleh karena itu selain pedagogic praktis yang menelaah ragam pendidikan diberbagai lingkungan dan lembaga formal, informal dan non-formal (pendidikan luar sekolah dalam arti terbatas, dengan begitu, batang tubuh diatas tadi diperlukn lingkupnnya sehingga meliputi:

- - Konteks sosial budaya (socio cultural contexs and education)

- - Filsafat pendidikan (preskriptif) dan sejarah pendidikan (deskriptif)

- - Teori, pengembangan dan pembinaan kurikulum, serta cabang ilmu pendidikan lainnya yang bersifat preskriptif.

- - Berbagai studi empirik tentang fenomena pendidikan

- - Berbagai studi pendidikan aplikatif (terapan) khususnya mengenai pengajaran termasuk pengembangan specific content pedagogy.

Sedangkan telaah lingkup yang makro dan meso dari pendidikan, merupakan bidang telaah utama yang memperbedakan antara objek formal dari pedagogic dari ilmu pendidikan lainnya. Karena pedagogic tidak langsung membicarakan perbedaan antara pendidikan informal dalam keluarga dan dalam kelompok kecil lainnya., dengan pendidikan formal (dan non formal) dalam masyarakt dan negara, maka hal itu menjadi tugas dari andragogi dan cabang-cabang lain yang relevan dari ilmu pendidikan. Itu sebabnya dalam pedagogic terdapat pembicaraan tentang factor pendidikan yang meliputi : (a) tujuan hidup, (b) landasan falsafah dan yuridis pendidikan, (c) pengelolaan pendidikan, (d) teori dan pengembangan kurikulum, (e) pengajaran dalam arti pembelajaran (instruction) yaitu pelaksanaan kurikulum dalam arti luas di lembaga formal dan non formal terkait.




Gambar I. Hubungan Ilmu Pendidikan dan Ilmu-ilmu Bantu

2. Telaah ilmiah dan kontribusi ilmu bantu

Bidang masalah yang ditelaah oleh teori pendidikan sebagai ilmu ialah sekitarmanuasia dan sesamanya yang memiliki kesamaan dan keragaman di dalam fenomena pendidikan. Yang menjadi inti ilmu pendidikan teoritis ialah Pedagogik sebagai ilmu mendidik yaitu mengenai tealaah (atau studi) pendidikan anak oleh orang dewasa. Pedagogik teoritis selalu bersifat sistematis karena harus lengkap problematic dan pembahasannya. Tetapi pendidikan (atau pedagogi) diperlukan juga oleh semua orang termasuk orang dewasa danb lanjut usia. Karena itu selain cabang pedagogic teoritis sistematis juga terdapat cabvang-cabang pedagogic praktis, diantaranya pendidikan formal di sekolah, pendidikan informal dalam keluarga, andragogi (pendidikan orang dewasa) dan gerogogi (pendidikan orang lansia), serta pendidikan non-formal sebagai pelengkap pendidikan jenjang sekolah dan pendidikan orang dewasa.

Di dalam menelaah manusia yang berinteraksi di dalam fenomena pendidikan, ilmu pendidikan khususnya pedagogic merupan satu-satunya bidang ilmu yang menelaah interaksi itu secara utuh yang bersifat antar dan inter-pribadi. Untunglah ada ilmu lain yang melakukan telaah atas perilaku manusia sebagai individu. Begitu juga halnya atas telaah interaksi sosial, telaah perilaku kelompok dalam masyarakat, telaah nilai dan norma sebagai isi kebudayaaan, dan seterusnya. Ilmu-ilmu yang melakukan telaah demikian dijadikan berfungsi sebagai ilmu bantu bagi ilmu pendidikan. Diantara ilmu bantu yang penting bagi pedagogic dan androgogi ialah : biologi, psikologi, sosiologi, antropologi budaya, sejarah dan fenomenologi (filsafah).

a. a. Pendekatan fenomenologi dalam menelaah gejala pendidikan

Pedagogik tidak menggunakan metode deduktif spekulatif dalam investigasinya berdasrkan penjabaran pendirian dasar-dasar filosofis. Pedagogik adalah ilmu pendidikan yang bersifat teoritis dan bukan pedagogic yang filosofis. Pedagogik melakukan telaah fenomenologis aatas fenomen yang bersifat empiris sekalipun bernuansa normative. Seperti dikatakan Langeveld (1955) Pedagogik mempergunakan pendekatan fenomenologis secara kualitatif dalam metode penelitiannya :

Pedagogik bersifat filosofis dan empiris. Berfikir filosofis pada satu siti dan di pihak lain pengalaman dan penyelidikan empiris berjalan bersama-sama. Hubungan-hubungan dan gejala yang menunjukkan cirri-ciri pokok dari objeknya ada yang memaksa menunjuk ke konsekunsi yang filosofis, adapula yang memaksakaan konsekunsi yang empiris karena data yang factual. Pedagogik mewujudkan teori tindakan yang didahului dan diikuti oleh berfikir filosofis. Dalam berfikir filosofis tentang data normative pedagogic didahului dan diikuti oleh oleh pengalaman dan penyelesaikan empiris atas fenomena pendidikan.

Itulah fenomena atau gejala pendidikan secraa mikro yang menurut Langevald mengandung keenam komponen yng menjadi inti daari batang tubuh pedagogic.

b. b. Kontribusi ilmu-ilmu bantu terhadap pedagogic

Ilmu pendidikan khususnya pedagogic dan androgogi tidak menggunakn metoda deskriptif-eksperimental karena manfaatnya terbtas pada pemahaman atas perubahan perilaku siswa. Sedangkan prediksi dan kontrol yang eksperimental diterapakan dan itupun manfaatnya terbatas sekali.

Seperti ditulis oleh Deese, 1963 :

“Prediction and control, then are excellent criteria of understnding aang they also provide us with some of the uses of understanding. They are not always easy to apply, however, and I think little is gained by pretending that they are. It is futile to issue promissory notes about the future applications of the scientific study of education.”

Jadi kurang bermanfaat apabila ilmu pendidikan mempergunakan metode deskriptif-eksperimental terhadap perubahan-perubahan didalam pendidikan secarakuntitatif. Sebaliknya pedagogic dan androgogi harus menjadi ilmu otonom yang menerapkan metode fenomenologi secara kualitatif. Maksudnya ialah agar dapat memperoleh data yang tidak normative (data factual) dalam jumlah seperlunya dari ilmu biologi, psikologi dan ilmu-ilmu sosial. Tetapi ilmu pendidikan harus sedapat mungkin melakukan pengumpulan datanya sendiri langsung dari fenomena pendidikan, baik oleh partisipan-pengamat (ilmuwan) ataupun oleh pendidik sendiri yang juga biasa melakukan analisis apabila situasi itu memaksanya harus bertindak kreatif. Tentu saja untuk itu diperlukan prasyarat penguasaan atas sekurang-kurangnya satu ilmu Bantu dan/atau filsafat umum.

C . Dasar-dasar Filsafat Ilmu Pendidikan

Baiklah sekarang kita lihat dasar-dasaar filsafah keilmuan terkait dalam arti dasar ontologis, dasar epistemologis, dan aksiologis, dan dasar antropolgis ilmu pendidikan.

1. Dasar ontologis ilmu pendidikan

Pertama-tama pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari ilmu pendidikan. Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan ilmu pendidikan melalui pengalaman pancaindra ialah dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek materil ilmu pendidikan ialah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya, yaitu manusia yang berakhlak mulia dalam situasi pendidikan atau diharapokan melampaui manusia sebagai makhluk sosial mengingat sebagai warga masyarakat ia mempunyai ciri warga yang baik (good citizenship atau kewarganegaraan yang sebaik-baiknya).

Agar pendidikan dalam praktek terbebas dari keragu-raguan, maka objek formal ilmu pendidikan dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan. Didalam situiasi sosial manusia itu sering berperilaku tidak utuh, hanya menjadi makhluk berperilaku individual dan/atau makhluk sosial yang berperilaku kolektif. Hal itu boleh-boleh saja dan dapat diterima terbatas pada ruang lingkup pendidikan makro yang berskala besar mengingat adanya konteks sosio-budaya yang terstruktur oleh sistem nilai tertentu. Akan tetapipada latar mikro, sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya mendidik dan mengajar, yaitu kegiatan pendidikan yang berskala mikro. Hal itu terjadi mengingat pihak pendidik yang berkepribadiaan sendiri secara utuh memperlakukan peserta didiknya secara terhormat sebagai pribai pula, terlpas dari factor umum, jenis kelamin ataupun pembawaanya. Jika pendidik tidak bersikap afektif utuh demikian maka menurut Gordon (1975: Ch. I) akan terjadi mata rantai yang hilang (the missing link) atas factor hubungan serta didik-pendidik atau antara siswa-guru. Dengan egitu pendidikan hanya akan terjadi secar kuantitatif sekalipun bersifat optimal, misalnya hasil THB summatif, NEM atau pemerataan pendidikan yang kurang mengajarkan demokrasi jadi kurang berdemokrasi. Sedangkan kualitas manusianya belum tentu utuh.

2. Dasar epistemologis ilmu pendidikan

Dasar epistemologis diperlukan oleh pendidikan atau pakar ilmu pendidikan demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Sekalaipun pengumpulan data di lapangan sebagaian dapat dilakukan oleh tenaga pemula namuntelaah atas objek formil ilmu pendidikan memerlukaan pendekatan fenomenologis yang akan menjalin studi empirik dengan studi kualitatif-fenomenologis. Pendekaatan fenomenologis itu bersifat kualitaatif, artinya melibatkan pribadi dan diri peneliti sabagai instrumen pengumpul data secara pasca positivisme. Karena itu penelaaah dan pengumpulan data diarahkan oleh pendidik atau ilmuwan sebagaai pakar yang jujur dan menyatu dengan objeknya. Karena penelitian tertuju tidak hanya pemahaman dan pengertian (verstehen, Bodgan & Biklen, 1982) melainkan untuk mencapai kearifan (kebijaksanaan atau wisdom) tentang fenomen pendidikan maka validitas internal harus dijaga betul dalam berbagai bentuk penelitian dan penyelidikan seperti penelitian koasi eksperimental, penelitian tindakan, penelitian etnografis dan penelitian ex post facto. Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahawa dalam menjelaskaan objek formalnya, telaah ilmu pendidikan tidak hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan ilmu pendidikan sebgaai ilmu otonom yang mempunyi objek formil sendiri atau problematika sendiri sekalipun tidak dapat hanya menggunkaan pendekatan kuantitatif atau pun eksperimental (Campbell & Stanley, 1963). Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespondensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis (Randall &Buchler,1942).

3. Dasar aksiologis ilmu pendidikan

Kemanfaatan teori pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai ilmu pendidikan tidak hanya bersifat intrinsic sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek melalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan. Dengan demikian ilmu pendidikan tidak bebas nilai mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis antar pekerjaan ilmu pendidikan dan tugas pendidik sebagi pedagok. Dalam hal ini relevan sekali untuk memperhatikan pendidikan sebagai bidang yang sarat nilai seperti dijelaskan oleh Phenix (1966). Itu sebabnya pendidikan memerlukan teknologi pula tetapi pendidikan bukanlah bagian dari iptek. Namun harus diakui bahwa ilmu pendidikan belum jauh pertumbuhannya dibandingkan dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu prilaku. Lebih-lebih di Indonesia.

Implikasinya ialah bahwa ilmu pendidikan lebih dekat kepada ilmu prilaku kepada ilmu-ilmu sosial, dan harus menolak pendirian lain bahwa di dalam kesatuan ilmu-ilmu terdapat unifikasi satu-sayunyaa metode ilmiah (Kalr Perason,1990).

4. Dasar antropologis ilmu pendidikan

Pendidikan yang intinya mendidik dan mengajar ialah pertemuan antara pendidik sebagai subjek dan peserta didik sebagai subjek pula dimana terjadi pemberian bantuan kepada pihak yang belakangan dalaam upaayanya belajr mencapai kemandirian dalam batas-batas yang diberikan oleh dunia disekitarnya. Atas dasar pandangan filsafah yang bersifat dialogis ini maka 3 dasar antropologis berlaku universal tidak hanya (1) sosialitas dan (2) individualitas, melainkan juga (3) moralitas. Kiranya khusus untuk Indonesia apabila dunia pendidikan nasional didasarkan atas kebudayaan nasional yang menjadi konteks dari sistem pengajaran nasional disekolah, tentu akan diperlukan juga dasar antropologis pelengkap yaitu (4) religiusitas, yaaitu pendidik dalam situasi pendidikan sekurangkurangnya secara mikro berhamba kepada kepentingan terdidik sebagai bagian dari pengabdian lebih besar kepada Tuhan Yang Maha Esa.

D. Perangkat Asumsi Filosofis Pendidikan Guru

Program Pendidikan Guru Berdasarkan Kompetensi (PGBK) dikembangakan bertolak dari perangkat kompetensi yang diperkirakan dipersyaratkan bagi pelaksanaan tugas-tugas keguruan dan kependidikan yang telah ditetapkan dan bermuara pada pendemonstrasian perangkat kompetensi tersebut oleh siswa calon guru setelah mengikuti sejumlah pengalaman belajar.

Perangkat kompetensi yang dimaksud, termasuk proses pencapaiannya, dilandasi oleh asumsi-asumsi filosofis, yaitu pertanyaan-pertanyaan yang dianggap benar, baik atas dasar bukti-bukti empirik, dugaan-dugaan maupun nilai-nilai masyarakat berdasarkan Pancasila. Asumsi-asumsi tersebut merupakan batu ujian di dalam menilai perancangan dan implementasi program dari penyimpangan-penyimpangan pragmatis ataupun dari serangan-serangan konseptual.

Asumsi-asumsi yang dimaksud mencakup 7 bidang yaitu yang berkenaan dengan hakekat-hakekat manusia, masyarakat, pendidikan, subjek didik, guru, belajar-mengajar dan kelembagaan. Tentu saja hasil kerja tersebut diatas perlu dimantapkan dan diverifikasi lebih jauh melalui forum-forum yang sesuai seperti Komisi Kurikulum, Konsorsium Ilmu Kependidikan, LPTK bahkan kalangan yang lebih luas lagi. Hasil rumusan tim pembaharuan pendidikan (1984) dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. 1. Hakekat Manusia

a. a. Manusia sebagai makhluk Tuhan mempunyai kebutuhan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

b. b. Manusia membutuhkan lingkungan hidup berkelompok untuk mengembangkan dirinya.

c. c. Manusia mempunyai potensi-potensi yang dapat dikembangkan dan kebutuhan-kebutuhan materi serta spiritual yangharus dipenuhi.

d. d. Manusia itu pada dasarnya dapat dan harus dididik serta dapat mendidik diri sendiri.

2. 2. Hakekat Masyarakat

a. a. Kehidupan masyarakat berlandaskan sistem nilai-nilai keagamaan, sosial dan budaya yang dianut warga masyarakat ; sebagian daripada nilai-nilai tersebut bersifat lestari dan sebagian lagi terus berubah sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi.

b. b. Masyarakat merupakan sumber nilai-nilai yang memberikan arah normative kepada pendidikan.

c. c. Kehidupan bermasyarakat ditingkatkan kualitasnya oleh insane-insan yang berhasil mengembangkan dirinya melalui pendidikan.

3. 3. Hakekat Pendidikan

a. Pendidikan merupakan proses interaksi manusiawi yang ditandai keseimbangan antara kedaulatan subjek didik dengan kewibawaan pendidik.

b. Pendidikan merupakan usaha penyiapan subjek didik menghadapi lingkungan yang mengalami perubahan yang semakin pesat.

c. Pendidikan meningkatkan kualitas kehidupoan pribadi dan masyarakat.

d. Pendidikan berlangsung seumur hidup.

e. Pendidikan merupakan kiat dalam menerapkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan teknologi bagi pembentukan manusia seutuhnya.

4. 4. Hakekat Subjek Didik

a. Subjek didik betanggungjawab atas pendidikannya sendiri sesuai dengan wawasan pendidikan seumur hidup.

b. Subjek didik memiliki potensi, baik fisik maupun psikologis yang berbeda-beda sehingga masing-masing subjek didik merupakan insane yang unik.

c. Subjek didik merupakan pembinaan individual serta perlakuan yang manusiawi.

d. Subjek didik pada dasarnya merupakan insane yang aktif menghadapi lingkungan hidupnya.

5. 5. Hakekat Guru dan Tenadga Kependidikan

a. Guru dan tenaga kependidikan merupakan agen pembaharuan.

b. Guru dan tenaga kependidikan berperan sebagai pemimpin dan pendukung nilai-nilai masyarakat.

c. Guru dan tenaga kependidikan sebagai fasilitator memungkinkan terciptanya kondisi yang baik bagi subjek didik untuk belajar.

d. Guru dan tenga kependidikan bertanggungjawab atas tercapainya hasil belajar subjek didik.

e. Guru dan tenaga kependidikan dituntut untuk menjadi conoh dalam pengelolaan proses belajar-mengajar bagi calon guru yang menjadi subjek didiknya.

f. Guru dan tenaga kependidikan bertanggungjawab secara professional untuk terus-menerus meningkatkatkan kemampuannya.

g. Guru dan tenaga kependidikan menjunjung tinggi kode etik profesional.

6. 6. Hakekat Belajar Mengajar

a. Peristiwa belajar mengajar terjadi apabila subjek didik secara aktif berinteraksi dengan lingkungan belajar yang diatur oleh guru.

b. Proses belajar mengajar yang efektif memerlukan strategi dan media/teknologi pendidikan yang tepat.

c. Program belajar mengajar dirancang dan diimplikasikan sebagai suatu sistem.

d. Proses dan produk belajar perlu memperoleh perhatian seimbang didalam pelaksanaan kegiata belajar-mengajar.

e. Pembentukan kompetensi profesional memerlukan pengintegrasian fungsional antara teori dan praktek serta materi dan metodelogi penyampaian.

f. Pembentukan kompetensi professional memerlukan pengalaman lapangan yang bertahap, mulai dari pengenalan medan, latihan keterampilan terbatas sampai dengan pelaksanaan penghayatan tugas-tugas kependidikan secara lengkap aktual.

g. Kriteria keberhasilan yang utama dalam pendidikan profesional adalah pendemonstrasian penguasaan kompetensi.

h. Materi pengajaran dan sistem penyampaiannya selalu berkembang.

7. 7. Hakekat Kelembagaan

a. LPTK merupakan lembaga pendidikan profesional yang melaksanakan pendidikan tenaga kependidikan dan pengembangan ilmu teknologi kependidikan bagi peningkatan kualitas kehidupan.

b. LPTK menyelenggarakan program-program yang relevan dengan kebutuhan masyarakat baik kualitatif maupun kuantitatif.

c. LPTK dikelola dalam suatu sistem pembinaan yang terpadu dalam rangka pengadaan tenaga kependidikan.

d. LPTK memiliki mekanisme balikan yang efektif untuk meningkatkan kualitas layanannya kepada masyarakat secara terus-menerus.

e. Pendidikan pra-jabatan guru merupakan tanggungjawab bersamaantara LPTK dan sekolah-sekolah pemakai (calon) lulusan.

Catatan : Pendidikan berdasarkan kompetensi bagi tenaga kependidikan lainnya memerlukan perangkat asumsi yang berbeda.

Secara visual beberapa asumsi tersebut diatas dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2. Perangkat Asumsi Filosofis Pendidikan Guru

E. Implikasi Landasan Filsafat Pendidikan

1. Implikasi Bagi Guru

Apabila kita konsekuen terhadap upaya memprofesionalkan pekerjaan guru maka filsafat pendidikan merupakan landasan berpijak yang mutlak. Artinya, sebagai pekerja professional, tidaklah cukup bila seorang guru hanya menguasai apa yang harus dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya. Kedua penguasaan ini baru tercermin kompetensi seorang tukang.

Disamping penguasaan terhadap apa dan bagaimana tentang tugasnya, seorang guru juga harus menguasai mengapa ia melakukan setiap bagian serta tahap tugasnya itu dengan cara tertentu dan bukan dengan cara yang lain. Jawaban terhadap pertanyaan mengapa itu menunjuk kepada setiap tindakan seorang guru didalam menunaikan tugasnya, yang pada gilirannya harus dapat dipulangkan kepada tujuan-tujuan pendidikan yang mau dicapai, baik tujuan-tujuan yang lebih operasional maupun tujuan-tujuan yang lebih abstrak. Oleh karena itu maka semua keputusan serta perbuatan instruksional serta non-instruksional dalam rangka penunaian tugas-tugas seorang guru dan tenaga kependidikan harus selalu dapat dipertanggungjawabkan secara pendidikan (tugas professional, pemanusiaan dan civic) yang dengan sendirinya melihatnya dalm perspektif yang lebih luas dari pada sekedar pencapaian tujuan-tujuan instruksional khusus, lebih-lebih yang dicekik dengan batasan-batasan behavioral secara berlebihan.

Dimuka juga telah dikemukakan bahwa pendidik dan subjek didik melakukan pemanusiaan diri ketika mereka terlihat di dalam masyarakat profesional yang dinamakan pendidikan itu; hanyalah tahap proses pemanusiaan itu yang berbeda, apabila diantara keduanya, yaitu pendidik dan subjek didik, dilakukan perbandingan. Ini berarti kelebihan pengalaman, keterampilan dan wawasan yang dimiliki guru semata-mata bersifat kebetulan dan sementara, bukan hakiki. Oleh karena itu maka kedua belah pihak terutama harus melihat transaksi personal itu sebagai kesempatan belajar dan khusus untuk guru dan tenaga kependidikan, tertumpang juga tanggungjawab tambahan menyediakan serta mengatur kondisi untuk membelajarkan subjek didik, mengoptimalkan kesempatamn bagi subjek didik untuk menemukan dirinya sendiri, untuk menjadi dirinya sendiri (Learning to Be, Faure dkk, 1982). Hanya individu-individu yang demikianlah yang mampu membentuk masyarakat belajar, yaitu masyarakat yang siap menghadapi perubahan-perubahan yang semakin lama semakin laju tanpa kehilangan dirinya.

Apabila demikianlah keadaannya maka sekolah sebagai lembaga pendidikan formal hanya akan mampu menunaikan fungsinya serta tidak kehilangan hak hidupnya didalam masyarakat, kalau ia dapat menjadikan dirinya sebagai pusat pembudayaan, yaitu sebagai tempat bagi manusia untuk meningkatkan martabatnya. Dengan perkataan lain, sekolah harus menjadi pusat pendidikan. Menghasilkan tenaga kerja, melaksanakan sosialisasi, membentuk penguasaan ilmu dan teknologi, mengasah otak dan mengerjakan tugas-tugas persekolahan, tetapi yang paling hakiki adalah pembentukan kemampuan dan kemauan untuk meningkatkan martabat kemanusiaan seperti telah diutarakan di muka dengan menggunakan cipta, rasa, karsa dan karya yang dikembangkan dan dibina.

Perlu digarisbawahi di sini adalah tidak dikacaukannya antara bentu dan hakekat. Segala ketentuan prasarana dan sarana sekolah pada hakekatnya adalah bentuk yang diharapkan mewadahi hakekat proses pembudayaan subjek didik. Oleh karena itu maka gerakan ini hanya berhenti pada “penerbitan” prasarana dan sarana sedangkan transaksi personal antara subjek didik dan pendidik, antara subjek didik yang satu dengan subjek didik yang lain dan antara warga sekolah dengan masyarakat di luarnya masih belum dilandasinya, maka tentu saja proses pembudayaan tidak terjadi. Seperti telah diisyaratkan dimuka, pemberian bobot yang berlebihan kepada kedaulatan subjek didikakan melahirkan anarki sedangkan pemberian bobot yang berlebihan kepada otoritas pendidik akan melahirkan penjajahan dan penjinakan. Kedua orientasi yang ekstrim itu tidak akan menghasilkan pembudayaan manusia.

2. Implikasi bagi Pendidikan Guru dan Tenaga Kependidikan

Tidaklah berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa di Indonesia kita belum punya teori tentang pendidikan guru dan tenaga kependidikan. Hal ini tidak mengherankan karena kita masih belum saja menyempatkan diri untuk menyusunnya. Bahkan salahsatu prasaratnya yaitu teori tentang pendidikan sebagimaana diisyaratkan pada bagian-bagian sebelumnya, kita masih belum berhasil memantapkannya. Kalau kita terlibat dalam berbagi kegiatan pembaharuan pendidikan selama ini maka yang diperbaharui adalah pearalatan luarnya bukan bangunan dasarnya.

Hal diatas itu dikemukakan tanpa samasekali didasari oleh anggapan bahwa belum ada diantara kita yang memikirkan masalah pendidikan guru itu. Pikiran-pikiran yang dimaksud memang ada diketengahkan orang tetapi praktis tanpa kecuali dapat dinyatakan sebagi bersifat fragmentaris, tidak menyeluruh. Misalnya, ada yang menyarankan masa belajar yang panjang (atau, lebih cepat, menolak program-program pendidikan guru yang lebih pendek terutama yang diperkenalkan didalam beberapa tahun terakhir ini) ; ada yang menyarankan perlunya ditingkatkan mekanisme seleksi calon guru dan tenaga kependidikan; ada yang menyoroti pentingnya prasarana dan sarana pendidikan guru; dan ada pula yang memusatkan perhatian kepada perbaikan sistem imbalan bagi guru sehingga bisa bersaing dengan jabtan-jabatan lain dimasyarakat. Tentu saja semua saran-saran tersebut diatas memiliki kesahihan, sekurang-kurangnya secara partial, akan tetapi apabila di implementasikan, sebagian atau seluruhnya, belum tentu dapat dihasilkan sistem pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang efektif.

Sebaiknya teori pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang produktif adalah yang memberi rambu-rambu yang memadai didalam merancang serta mengimplementasikan program pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang lulusannya mampu melaksanakan tugas-tugas keguruan didalam konteks pendidikan (tugas professional, kemanusiaan dan civic). Rambu-rambu yang dimaksud disusun dengan mempergunakan bahan-bahan yang diperoleh dari tiga sumber yaitu: pendapat ahli, termasuk yang disangga oleh hasil penelitian ilmiah, analisis tugas kelulusan serta pilihan nilai yang dianut masyarakat. Rambu-rambu yang dimaksud yang mencerminkan hasil telaahan interpretif, normative dan kritis itu, seperti telah diutarakan didalam bagian uraian dimuka, dirumuskan kedalam perangkat asumsi filosofis yaitu asumsi-asumsi yang memberi rambu-rambu bagi perancang serta implementasi program yang dimaksud. Dengan demikian, perangkat rambu-rambu yang dimaksud merupakan batu ujian didalam menilai perancang dan implementasi program, maupun didalam “mempertahankan” program dari penyimpngan-penyimpangan pelaksanaan ataupun dari serangan-serangan konseptual.

Penutup

Landasan filsafat pendidikan memberi perspektif filosofis yang seyogyanya merupakan “kacamata” yang dikenakan dalam memandang menyikapi serta melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu maka ia harus dibentuk bukan hanya mempelajari tentang filsafat, sejarah dan teori pendidikan, psikologi, sosiologi, antropologi atau disiplin ilmu lainnya, akan tetapi dengan memadukan konsep-konsep, prinsip-prinsip serta pendekatan-pendekatannya kepada kerangka konseptual kependidikan.

Dengan demikian maka landasan filsafat pendidikan harus tercermin didalam semua, keputusan serta perbuatan pelaksanaan tugas- tugas keguruan, baik instruksional maupun non-instruksional, atau dengan pendekatan lain, semua keputusan serta perbuatan guru yang dimaksud harus bersifat pendidikan.

Akhirnya, sebagai pekerja professional guru dfan tenaga kependidikan harus memperoleh persiapan pra-jabatan guru dfan tenaga kependidikan harus dilandasi oleh seperangkat asumsi filosofis yang pada hakekatnya merupakan penjabaran dari konsep yang lebih tepat daripada landasan ilmiah pendidikan dan ilmu pendidikan.

© 2002 Nunu Heryanto Posted: 2 March 2002

Makalah Falsafah Sains (PPs 702)

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

Maret 2002

Dosen:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

DAFTAR REFERENSI

Bogdan & Biklen (1982) Qualitative Research For Education. Boston MA: Allyn Bacon

Campbell & Stanley (1963) Experimental & Quasi-Experimental Design for Research. Chicago : Rand McNelly

Deese, J (1978) The Scientific Basis of the Art of Teaching. New York : Colombia University-Teachers College Press

Gordon, Thomas (1974) Teacher Effectiveness Training. NY: Peter h. Wydenpub

Henderson, SVP (1954) Introduction to Philosophy of Education.Chicago : Univ. of Chicago Press

Hidayat Syarief (1997) Tantangan PGRI dalam Pendidikan Nasional. Makalah pada Semiloka Nasional Unicef-PGRI. Jakarta: Maret,1997

Highet, G (l954), Seni Mendidik (terjemahan Jilid I dan II), PT.Pembangunan

Kemeny,JG, (l959), A Philosopher Looks at Science, New Hersey, NJ: Yale Univ.Press

Ki Hajar Dewantara, (l950), Dasar-dasar Perguruan Taman Siswa, DIY:Majelis Luhur

Ki Suratman, (l982), Sistem Among Sebagai Sarana Pendidikam Moral Pancasila, Jakarta:Depdikbud

Kuhn, Ts, (l969), The Structure of Scientific Revolution, Chicago:Chicago Univ.

Langeveld, MJ, (l955), Pedagogik Teoritis Sistematis (terjemahan), Bandung, Jemmars

Liem Tjong Tiat, (l968), Fisafat Pendidikan dan Pedagogik, Bandung, Jurusan FSP FIP IKIP Bandung

RakaJoniT.(l977),PermbaharauanProfesionalTenagaKependidikan:Permasalahan dan Kemungkinan Pendekatan, Jakarta, Depdikbud

Islam dan Pembebasan

oleh: Asghar Ali Engineer

Asal Usul Islam

Suatu agama, baik yang mengaku sebagai agama wahyu maupun tidak, tidak bisa lepas dari pengaruh situasi asal-usulnya yang kompleks. Adanya campur tangan Tuhan sekalipun, tidak bisa terlepas dari pengaruh-pengaruh ini. Teologi Islam, sebagaimana dinyatakan oleh Al-Qur'an, tidak mengenal konsep campur tangan Tuhan yang semena-mena, bahkan dalam teologi Asy'ariah sekalipun. Pernyataan Al-Qur'an dalam masalah ini sangat jelas.

"Kamu tidak akan pernah menemukan perubahan apa pun pada sunnah Allah".[1]

Bahkan pahala dan siksa Tuhan, berbeda dengan teologi Calvinis, bukan atas dasar tindakan Tuhan yang semena-mena. Al-Qur'an menyatakan,

"Tidak ada sesuatu pun bagi manusia, kecuali apa yang diupayakan".[2]

Tentu saja, petunjuk Allah (taufiq min Allah) tidak ditolak, tetapi petunjuk Allah itu, sepanjang perhatian teologi Al-Qur'an, tidaklah bersifat semena-mena. Taufiq (petunjuk Allah) dalam teologi Islam sesungguhnya merupakan potensi untuk bertindak yang diciptakan Tuhan, yang masih mempunyai kemungkinan dapat atau tidak dapat diaktualisasikan, karena manusia adalah "agen" yang bebas.

Proses historis juga sangat diperlukan dalam Islam. Sejarah bukanlah mitos, bukan pula suatu proyek arbitrer yang sama sekali tidak mempunyai kausalitas sosial. Al-Qur'an memang mempunyai pendekatan teleologis sebagaimana kisah nabi-nabi Israel yang diceritakan dengan penggambaran yang jelas, tetapi kausalitas tidaklah diabaikan begitu saja. Kemurkaan Allah kepada suatu bangsa atau seseorang diberlakukan ketika mereka mengabaikan proses kausalitas sosial dan berbuat menyimpang dari sunnah-Nya, baik secara fisik (hukum alam) maupun moral (hukum-hukum etik yang mengacu pada hudud Allah dalam Al-Qur'an). Al-Qur'an menyatakan:

"Telah banyak negeri yang Kuhancurkan ketika warganya melakukan kezaliman. Maka reruntuhannya menimpa atap-atapnya, dan bagaimana telaga dan gedung-gedung (mereka tinggalkan)."[3]

Dan lagi,

"Dan banyak negeri yang aku biarkan, sementara warganya berbuat zalim, lalu setelah sampai waktunya, Aku kenakan siksa bagi mereka..."[4]

Dengan demikian kita melihat bahwa teologi Islam, sebagaimana dinyatakan Al-Qur'an, sama sekali tidak mengabaikan determinisme sejarah,[5] tetapi sebaliknya, secara serius memperhatikan peristiwa sejarah serta pengaruh-pengaruhnya yang menentukan. Islam juga mencoba menanmkan kesadaran sejarah pada umatnya. Al-Qur'an berkata:

"Apakah mereka tidak pernah melakukan penjelajahan di muka bumi? Mereka mempunyai hati yang dengannya mereka dapat memahami, dan mempunyai telinga yang dengannya mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah mata-hati yang ada di dalam dada."[6]

Apa yang dinyatakan secara jelas adalah bahwa kesadaran yang tepat diperlukan untuk memahami sesuatu dan mengambil hikmah dari peristiwa-peristiwa sejarah, dan bukan semata-mata persepsi inderawi yang dimiliki setiap orang.

Sebelum kita membahas lebih lanjut asal-usul Islam, kiranya kita perlu memahami istilah "determinisme sejarah" dengan tepat. Hal ini tidak lain untuk menghindari kesalahpahaman. Istilah ini tidak menafikan lingkup yang sah bagi inisiatif manusia yang bagaimanapun sesuai dengan persepsi manusia tentang tujuan ilahiyah.[7]

Menjelang dewasa, Nabi menemukan situasi yang sangat kacau di Mekkah, tempat Islam dilahirkan. Seorang yang berperilaku jujur, yang memperoleh gelar Al-Amin, tentulah sangat gelisah melihat situasi yang ada di hadapannya, dan mencari jalan keluarnya. Seorang yang sangat rendah hati tapi berhati dan berotak luar biasa cerdas, mulai mencari jalan keluar yang kemudian menuntunnya untuk menyendiri di gua Hira, di sebuah pegunungan berbatu di luar kota Mekkah. Muhammad, Nabi Islam itu, setelah melewati hari-hari meditasi dalam kesendiriannya di gua, akhirnya memperoleh cahaya wahyu Tuhan. Wahyu, secara essensial, berwatak religius, namun tetap menaruh perhatian pada situasi yang ada serta memiliki kesadaran sejarah. Ayat-ayat pertama Al-Qur'an yang diwahyukan kepada Nabi, sebagaimana nanti akan kita lihat, mengungkapkan keprihatinan yang mendalam terhadap situasi yang terjadi di Mekkah.

Lalu, bagaimana situasi Mekkah ketika itu? Mekkah sejak akhir abad kelima telah berkembang menjadi pusat perdagangan yang penting. "Mekkah menjadi makmur, karena lokasinya berada pada rute strategis dan menguntungkan dari Arabia Utara ke Arabia Selatan; Mekkah menjadi jalur utama perdagangan dan menjadi pusat pertemuan para pedagang dari kawasan Laut Tengah, Teluk Parsi, Laut Merah melalui Jeddah, bahkan dari Afrika.[8] Dengan demikian Mekkah berkembang menjadi pusat keuangan dari kepentingan internasional yang besar. Karena itu, bersamaan dengan berkembangnya perdagangan dan peredaran uang, suatu pandangan hidup dan cara pandang baru pun muncul, meskipun belum dinyatakan secara sadar dan tepat. Kerja komersial tentu mempunyai logikanya sendiri dan mengarahkan masyarakat pada suatu cara hidup tertentu. Dinamika sosial dalam masyarakat Mekkah yang seperti itu mengarahkan pada suatu kehidupan yang tidak selaras dengan kehidupan masyarakat yang beralaskan norma-norma kesukuan.

Pada pasir di sekitar Mekkah yang tak bersahabat membuat beberapa suku merasa tenang hidup di Mekkah. Namun, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi perdagangan yang sangat cepat, biaya kehidupan di Mekkah menjadi masalah baru bagi suku-suku itu. Orang-orang Baduy itu mempunyai cara pandang dan etika kesukuan tertentu, misalnya watak egalitarian. Mereka terbiasa bebas dari semua bentuk tanggungjawab kecuali sebatas apa yang menyangkut suku mereka. Suku-suku padang pasir itu hidup nomadik, karena itu tidak banyak mengembangkan tradisi pemilikan pribadi kecuali sebatas hewan peliharaan dan persenjataan ringan. Kebutuhan-kebutuhan mereka pun sangat sederhana sekedar untuk melangsungkan kehidupan dan ditandai tidak adanya ekonomi uang (cash economy). Oleh karena itu, masalah akumulasi dan pemusatan kekayaan, tidak muncul.

Di satu sisi, masyarakat pedagang (yang berdasar pada sirkulasi produk, bukan pada produksinya), tergantung pada perluasan ekonomi uang. Masyarakat ini mengembangkan lembaga-lembaga pemilikan pribadi, memperbanyak keuntungan, menumuhkan disparitas ekonomi dan pemusatan kekayaan. Etika masyarakat perdagangan itu tentu saja bertabrakan dengan etika masyarakat kesukuan. Kebangkrutan sosial di Mekkah, sesungguhnya berakar pada konflik-konflik ini. Karena cepatnya perkembangan operasi perdagangan, beberapa pedagang yang memiliki keahlian yang berasal dari berbagai klan dan suku, terus menerus memperbanyak kekayaan pribadinya. Bahkan mereka membentuk korporasi bisnis antar-suku dan menerapkan monopoli pada kawasan bisnis tertentu di tempat asal mereka. Orang-orang lemah dan tersingkir dari persaingan bebas ini mencoba membentuk asosiasi yang mereka sebut Hilf al-Fudul (Liga Orang-orang Tulus).

Nabi tergabung dalam Liga ini dan selalu merasa bangga dengan persekutuannya dengan Liga tersebut. Berbagai penjelasan telah ditawarkan untuk pembentukan Liga ini.[9]

Demikian pula orang-orang miskin, lemah, terlantar dan tak terlindungi yang terjebak dalam proses sosial yang tak terelakkan itu merebak di pinggiran kota perdagangan Mekkah. Dalam struktur masyarakat kesukuan, hancurnya struktur masyarakat kesukuan di Mekkah bertanggungjawab terhadap terbukanya pintu ketegangan sosial.[10] Sementara itu, monopoli perdagangan sedang muncul di Mekkah.[11]

Agama apapun, sebagaimana telah dinyatakan di muka, membawa ciri-ciri asal-usul kelahirannya, sekalipun agama itu agama wahyu. Ajaran Islam sebagaimana dinyatakan di dalam Al-Qur'an, tanpa pengecualian juga terkena hukum ini. Tuhan menjanjikan dalam Al-Qur'an untuk mengutus seorang pembimbing atau seorang pemberi peringatan ketika suatu masyarakat menghadapi krisis sosial dan krisis moral. Muhammad dipilih sebagai instrumen kemahabijaksanaan Tuhan untuk membimbing dan membebaskan rakyat Arabia dari krisis moral dan sosial yang lahir dari penumpukkan kekayaan yang berlebih-lebihan sehingga menyebabkan kebangkrutan sosial. Islam bangkit dalam setting sosial Mekkah, sebagai sebuah gerakan keagamaan, namun lebh dari itu, ia sesungguhnya sebuah gerakan transformasi dengan implikasi sosial ekonomi yang sangat mendalam. Islam, dengan kata lain, menjadi tantangan serius bagi kaum monopolis Mekkah.

Harus dicatat, kaum hartawan Mekkah, bukan tidak mau menerima ajaran-ajaran keagamaan Nabi--sebatas ajaran-ajaran tentang penyembahan kepada satu Tuhan (Tauhid). Hal itu bukanlah sesuatu yang merisaukan mereka. Yang merisaukan mereka justru implikasi-implikasi sosial-ekonomi dari risalah Nabi itu. Seperti diketahui, di sana telah berkembang kepentingan ekonomi perdagangan yang sangat kuat. Mereka semuanya merasakan bahwa di dalam risalah Nabi terdapat suatu yang mengancam kepentingan mereka, yakni kepentingan akumulasi kekayaan yang selama ini berjalan tanpa rintangan. Namun sekarang ayat-ayat Al-Qur'an mencela penumpukan kekayaan itu. Salah satu ayat yang diturunkan di Mekkah pada awal-awal Islam mengatakan:

"Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira bahwa harta itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthomah. Dan tahukan kamu Huthomah itu? (yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan, yang (membakar) sampai ke ulu hati."[12]

Fakta bahwa Islam lebih dari sekedar sebuah agama formal, tetapi juga risalah yang agung bagi transformasi sosial dan tantangan bagi kepentingan-kepentingan pribadi, dibuktikan oleh penekanannya pada shalat dan zakat. Dalam kebanyakan ayat Al-Qur'an, shalat tidak pernah disebut tanpa diiringi dengan zakat. Zakat, seperti digariskan Al-Qur'an, dimaksudkan untuk distribusi kekayaan kepada fakir dan miskin, untuk membebaskan budak-budak, membayar hutang mereka yang berhutang dan memberikan kemudahan bagi ibnu as-sabil (yang secara harfiah diartikan sebagai infrastruktur bagi orang-orang yang berpergian). Di Arab ketika itu, langkah-langkah seperti itu dirasakan sebagai hal baru yang sangat revolusioner, karena itu masyarakat bisnis Mekkah, yang merasa kepentingannya terancam melakukan perlawanan terhadap Nabi.

Signifikansi transformatif dari ajaran Islam, lebih lanjut dibuktikan oleh kenyataan bahwa ajaran-ajaran itu lahir di dalam polarisasi kekuatan-kekuatan sosial. Budak-budak dan orang-orang yang tidak pandai berdagang di satu pihak, dan pemuda-pemuda radikal di pihak lain, bersatu mendukung Nabi. Orang-orang kafir yang menentang risalah Nabi merasakan hal itu sebagai pukulan keras bagi kepentingan mereka. Masalah ini diisyaratkan dalam Al-Qur'an ketika ia mengatakan:

"Dan kami tidak mengutus pada suatu negeri seorang pemberi peringatan, melainkan orang-orang yang hidup mewah dinegeri itu berkata: "Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya."[13]

Tapi Al-Qur'an memperingatkan orang-orang kaya ini:

"Dan sekali-kali bukanlah harta dan (bukan) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepadaKu sedikitpun; tetapi orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh."[14]

Dengan demikian sangat jelas bahwa orang-orang kafir dalam arti yang sesungguhnya adalah orang-orang yang menumpuk kekayaan dan menghidupkan terus menerus ketidakadilan serta merintangi upaya-upaya menegakkan keadilan dalam masyarakat. Keadilan, sebagaimana nanti akan kita lihat, merupakan salah satu aspek penting dalam ajaran Islam di bidang ekonomi.

Karena memperluas jaringan perdagangan di tingkat internasional, Mekkah siap berada di puncak revolusi sosial. Namun, hingga munculnya Islam, tidak ada pemimpin terkemuka yang mampu mengartikulasikan teori yang sistematis dan masuk akal untuk memajukan masyarakat Mekkah, baik pada dataran spiritual maupun pada dataran fisik. Muhammad, adalah orang pertama yang memikirkan proses perubahan yang terjadi dalam masyarakat Mekkah secara serius. Tetapi, visi dan pemikiran Nabi dalam mengembangkan ajaran-ajarannya itu tidak semata-mata ditentukan oleh situasi Mekkah saja. Ajaran-ajarannya, yang diekspresikan dalam idiom-idiom religio-spiritual, sangatlah universal dalam pelaksanaannya dan menimbulkan restrukturisasi masyarakat secara radikal. Kita akan membahas masalah ini secara detail, agar kita mampu memahami kekacauan dunia Islam saat ini.

Sebagaimana yang dikemukakan dengan tepat oleh Muhammad Ahmad Khalfallah, pada dasarnya Nabi Muhammad adalah seorang revolusioner dalam ucapan maupun dalam perbuatannya. Ia bekerja demi perubahan radikal pada struktur masyarakat sosial pada masanya.[15] Ia mengabaikan

kemapanan di kotanya, yang telah dikuasai oleh orang-orang kaya dan penguasa Mekkah. Rumusan yang didakwahkan, La ilaha illa Allah, dengan sendirinya sangat revolusioner dalam implikasi sosial-ekonominya. Kekuatan revolusioner manapun, pertama-tama haruslah merombak status-quo, sebelum alternatif lainnya bisa berfungsi. Dengan mendakwahkan La ilaha illa Allah, Nabi Muhammad tidak hanya menolak berhala-hala yang dipasang di Ka'bah, tetapi juga menolak untuk mengakui otoritas kelompok kepentingan yang berkuasa dan struktur sosial yang ada pada masanya.

Orang-orang kafir Mekkah lebih merasa terusik oleh implikasi-implikasi revolusioner teolog Muhammad ketimbang dakwahnya yang menantang penyembahan berhala. Semua tokoh penentangnya berasal dari kelas pedagang kaya yang merasa terancam otoritas dan dominasi mereka. Ancaman itu dirasakan begitu serius sehingga mereka memutuskan untuk menyiksa para pengikut Muhammad kapan dan di manapun. Karena alasan tersebutlah, Nabi memerintahkan para pengikutnya untuk hijrah ke Medinah, tempat di mana dia memperoleh dukungan dan jaminan tertentu. Bahkan sekelompok pengikutnya ada yang sudah lebih dulu hijrah ke Ethiopia.

Nabi Muhammad, dengan inspirasi wahyu ilahiyah menurut formulasi teologis, mengajukan sebuah alternatif tatanan sosial yang adil dan tidak eksploitatif serta menentang penumpukkan kekayaan di tangan segelintir orang (oligarki). Memang rumusan Al-Qur'an lebih bersifat teologis, tidak sosiologis, seperti pada umumnya sistem berpikir yang dirumuskan pada masa kenabian, tetapi semua orang akan melihat betapa rumusan-rumusan itu mempunyai implikasi-implikasi sosial yang sangat besar. Distribusi kekayaan yang berlebih kepada kelompok masyarakat yang lemah diistilahkan dengan infaq fi sabilillah. Al-Qur'an mengutuk orang-orang yang menimbun emas dan perak, tidak menafkahkannya di jalan Allah serta meminta Nabi untuk memperingatkan mereka, bahwa hukuman yang berat menunggu mereka.[16] Dengan struktur ekonomi yang berlaku dalam masyarakat ketika itu, maka satu-satunya jalan untuk memberikan perlindungan bagi orang-orang yang lemah adalah memberi tanggung jawab kepada orang-orang kaya untuk membagikan kelebihan kekayaan di jalan Allah.

Haruslah diingat, bahwa ketika revolusi sosial didakwahkan melalui konsep-konsep religius, maka terma yang demikian itu pasti digunakan. Namun untuk mempertahankan keutuhan ruh dari ajaran-ajaran teologis ini, maka diskursus teologis ini harus ditafsirkan kembali dalam terma sosial, politik dan ekonomi modern. Ajakan teologis untuk membagikan kelebihan kekayaan di jalan Allah, dalam terma sosial modern, ditransformasikan menjadi penciptaan institusi-institusi yang tepat misalnya pemilikan alat-alat produksi oleh masyarakat, penarikan pajak melalui negara untuk pembiayaan berbagai proyek kesejahteraan rakyat, dan institusi-institusi lain yang mampu memeratakan kekayaan di dalam masyarakat.

Nabi tidak pernah berkeinginan untuk memutarbalik roda sejarah. Ia sangat keras mengecam praktek riba yang eksploitatif, namun sama sekali tidak mengharamkan laba yang diperlukan dalam masyarakat perdagangan. Hanya saja ia memberi batasan-batasan tertentu untuk menghilangkan praktek-praktek pemerasan dan penghisapan yang dilakukan oleh para pedagang yang serakah dan tidak jujur. Menghilangkan sama sekali laba akan membuat surut masyarakat komersial yang sedang berkembang. Tentu saja, semua praktek licik yang dianggap curang atau mengambil keuntungan yang tak semestinya dari seseorang sangat dikutuk. Ibnu Hazm, seorang ahli hukum terkenal menyatakan prinsip transaksi terbuka:

"Penjualan suatu barang yang fakta-faktanya tidak diketahui oleh penjual tidak dibenarkan, sekalipun diketahui oleh pembeli; demikian pula untuk komoditas yang tidak jelas bagi pembeli meskipun penjual mengetahuinya. Transaksi barang-barang yang kedua belah pihak (penjual dan pembeli) tidak mengetahui fakta-faktanya, juga tidak diperbolehkan (tidak sah)."[17]

Dalam situasi tertentu, bahkan di negara-negara sosialis sekali pun, perdagangan swasta, perusahaan bahkan produksi tetap diperbolehkan pada skala yang terbatas, selama tidak menimbulkan eksploitasi-eksploitasi terhadap orang lain. Seseorang tidak bisa kaku dalam masalah-masalah seperti ini. Sangat bergantung pada situasi tempat kita berurusan. Nabi sadar benar akan situasi dan idealismenya selalu mempunyai dimensi historis. Karena untuk berhasil, suatu revolusi sosial harus memiliki kesadaran sejarah dan harus merespon kebutuhan-kebutuhan yang secara sosial dirasakan oleh orang-orang yang terkena revolusi sosial tersebut. Konsep riba tersebut (biasanya diterjemahkan sebagai bunga) juga harus dipahami dalam konteks sejarah yang tepat. Motif nyata untuk melarang riba (persoalan ini akan dibicarakan secara rinci di bab lain) adalah untuk mengakhiri eksploitasi terhadap orang-orang yang tidak berdaya, dan bukan merupakan larangan total terhadap semua bentuk bunga. Konsep riba, menurut saya, juga harus termasuk keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari 'eksploitasi' tenaga kerja, atau keuntungan dari penanaman modal yang mengabaikan kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat.

Al-Qur'an, di samping mendakwahkan cita-cita Islam, tidak pernah mengabaikan konteks situasinya dan, sebenarnya hal inilah yang menjadi rahasia keberhasilannya. Misalnya ia tidak mengambil pendekatan kelas dengan jelas, karena pendekatan itu hampir-hampir tidak akan berfungsi dalam situasi sejarah berikutnya. Al-Qur'an membenci perbudakan, tapi tidak segera menghapusnya begitu saja. Perbudakan bukan merupakan bagian integral dari sistem ekonomi di Mekkah. Meskipun begitu, perbudakan tetap menjadi masalah yang sangat penting. Terlepas dari dukungan biaya yang bisa diperoleh Nabi dari tokoh-tokoh penting di Mekkah dan Medinah, penghapusan perbudakan bisa menimbulkan masalah baru yang tak terpecahkan pada masa permulaan Islam.[18] Nabi menempuh cara-cara gradual untuk menghapuskan perbudakan. Nabi juga memberikan hak-hak budak yang sebelumnya terabaikan. Namun, sayangnya konteks sejarah belum matang untuk pembebasan budak secara total, dan karenanya, alih-alih melemah, lembaga perbudakan malah semakin menguat setelah Nabi wafat. Setelah imperium Byzantium dan Persia berhasil ditaklukkan, Islam berubah menjadi feodal (feudalised) dan menjadi kekuatan yang eksploitatif yang terlembaga selama tiga dekade serta telah kehilangan elan pembebasannya. Para ahli hukum Islam berhadapan dengan situasi kesejarahan yang konkrit, melakukan kodifikasi hukum syari'ah di bawah pengaruh atmosfir tersebut, dan dengan demikian mereka juga kehilangan elan pembebasan Islam-awal. "Kerusakan berat" pada elan pembebasan dan progresivitas Islam ini telah ditimbulkan oleh para ahli teologi dan ahli hukum Islam dengan cara mengaburkan apa yang diperintah oleh batasan-batasan situasional. Generasi berikutnya mengikuti mereka secara tidak kritis dan dengan demikian terciptalah suatu tatanan syari'ah yang kaku dan tidak dapat diubah. Sementara itu, ulama masa kini--dengan semangat tidak kritis yang sama--menganggap hukum-hukum yang dirumuskan oleh ulama terdahulu sama dengan kebijaksanaan Ilahi dan mempunyai validitas abadi. Mereka juga mengabaikan fakta bahwa kebijaksanaan Ilahiyah bersifat transendental, melampaui batas-batas ruang dan waktu. Salah satu fungsi Tuhan yang essensial adalah rububiyyah yang didefinisikan oleh Imam Raghib Asfahani sebagai membimbing ciptaan-Nya melalui tahap-tahap evolusi yang berbeda ke arah kesempurnaan.[19] Jika kebijaksanaan ilahiyah harus tetap berlaku, para ulama mestinya berupaya terus menerus untuk memecahkan ketegangan antara yang aktual dan yang mungkin, yang nyata dan yang ideal, yang sementara dan yang abadi.

Masalah lain yang juga selalu disalahpahami adalah makna jihad dalam Islam. Selama ini jihad diartikan sebagai persetujuan Islam untuk menggunakan cara kekerasan. Kesan, bahwa Islam mengabsahkan cara kekerasan dalam mencapai tujuannya terus berlangsung. Agama tidak dapat disebarkan dengan pedang. Ia tersebar karena kesadaran. Orang harus kembali pada asal-usul Islam jika masalah ini ingin dipahami dalam konteks yang tepat.

Pada periode permulaan Islam di Mekkah, kaum muslimin merupakan minoritas kecil yang berhadapan dengan pedagang-pedagang kaya Mekkah yang mapan dan kuat. Mereka hampir-hampir tidak bisa mengangkat senjata menghadapi penantang-penantangnya yang kuat itu. Dalam menghadapi penindasan seperti itu, satu-satunya jalan yang mereka tempuh adalah pindah ke suatu negeri yang lebih aman dan hal ini dilakukan oleh kaum Muslimin setelah mendapat perintah Nabi. Mula-mula serombongan kaum Muslimin hijrah ke Ethiopia dan rombongan berikutnya hijrah ke Medinah. Kemudian Nabi juga ikut bergabung. Beberapa orang dari suku Aus dan Khazraj bergabung dengan Nabi dan di sana nabi menyusun kekuatan. Di Medinah juga terdapat beberapa suku Yahudi yang cukup berpengaruh. Nabi membuat suatu kesepakatan dengan berbagai suku, termasuk kaum Yahudi, dalam upayanya membentuk sebuah masyarakat yang kohesif.

Di sini, kita harus membedakan antara perang untuk menyebarkan agama dan perang sebagai sekedar cara untuk mempertahankan diri ketika berhadapan dengan musuh yang militan. Sejauh dikaitkan dengan kategori yang pertama, Islam justru tidak percaya pada penggunaan kekerasan. Sikap Al-Qur'an jelas:

La Ikraha fi al-Din (tidak ada paksaan dalam agama),[20]

dan selanjutnya ia menyatakan:

"Katakanlah hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah dan engkau tidak akan menyembah apa yang aku sembah. Bagimu agamamu dan bagiku agamaku".[21]

Tidak perlu orang dipaksa untuk menerima suatu agama. Konversi agama mestilah dibebaskan dari ancaman dan pengaruh. Menurut Al-Qur'an, Tuhan telah membuat jelas jalan yang lurus dan membedakannya dengan jalan yang salah. Adalah hak seseorang untuk mengikuti jalan yang benar atau mengikuti jalan yang salah.

"Seseorang boleh melanjutkan mengikuti thagut, atau percaya kepada Tuhan".[22]

Tidak ada paksaan sama sekali.

Masalahnya menjadi lain, bila seseorang disiksa, disakiti atau diserang. Islam memperbolehkan penggunaan kekerasan atau perang hanya dalam kasus-kasus seperti itu. Dr. Khalfallah tetap berpendapat bahwa orang Islam tidak pernah memaksa untuk membangun kekuasaan atas orang lain atau untuk merampas kemerdekaannya, atau untuk menganiaya orang lain, untuk menumpahkan darah orang lain, atau merebut hak orang lain, atau mengeksploitasi kekayaan orang lain, atau menindas orang lain. Ia selanjutnya mengatakan, dengan mengutip Muhammad Abduh, bahwa memaksa orang lain untuk memeluk suatu agama tidak diperbolehkan, begitu pula orang lain tidak boleh memaksa seseorang untuk meninggalkan agama yang telah dipeluknya.[23] Ketika seseorang dianiaya atau diusir dari rumahnya sendiri, maka ia harus melawan tirani itu. Menurut etik Al-Qur'an, melindungi orang-orang yang tertindas adalah suatu keharusan. Al-Qur'an berkata:

"Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, perempuan dan anak-anak yang semuanya berdo'a: Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekkah) yang zalim penduduknya dan berilah kami perlindungan dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong di sisi-Mu".[24]

Juga dikatakan:

"Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah lagi, dan supaya agama itu semata-mata bagi Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah maha melihat atas apa yang mereka kerjakan.[25]

Dengan demikian jelas, bahwa berjuang (berperang) diizinkan dalam Al-Qur'an tidak untuk memaksa seseorang untuk memeluk Islam, tapi untuk mengakhiri penganiayaan dan untuk melindungi orang-orang lemah dari penindasan orang-orang kuat.

Kajian yang seksama atas Al-Qur'an juga menunjukkan, bahwa Al-Qur'an berpihak pada posisi orang-orang yang lemah dalam menghadapi orang-orang yang kuat. Term yang digunakan Al-Qur'an bagi mereka adalah mustadh'afin (orang-orang yang dilemahkan) dan mustakbirin (orang-orang yang sombong). Semua Nabi Israel digambarkan di dalam Al-Qur'an sebagai pembela mustadh'afin menghadapi mustakbirin, yakni orang-orang kaya dan penguasa suatu negeri. Karena itu, nabi Israel terkemuka, Musa, digambarkan sebagai pembebas orang-orang yang tertindas (bangsa Israel) dari penindasan Fir'aun (mustakbirin). Simpati Tuhan pun ditujukan kepada orang-orang yang tertindas itu. Tuhan berfirman dalam Al-Qur'an:

"Dan Kami hendak memberi karunia bagi orang-orang yang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi."[26]

Inilah konsep Al-Qur'an tentang kepemimpinan bagi orang tertindas.

Pertarungan antara mustadh'afin dan mustakbirin itu akan terus berlangsung, hingga Din Allah yang berbasis pada Tauhid menyatukan semua rakyat (tanpa perbedaan lagi antara mustadh'afin dan mustakbirin, orang-orang yang menindas dan orang-orang yang tertindas, kaya-miskin) sehingga menjadi suatu masyarakat "tanpa kelas". Dari perspektif ini jelaslah bahwa Al-Qur'an menghadirkan suatu teologi pembebas dan dengan demikian membuat teologi yang sebelumnya mengabdi kepada kelompok penguasa yang eksploitatif menjadi teologi pembebasan. Sayangnya, Islam dalam fase-fase berikutnya, justru mendukung kemapanan itu. Tugas generasi baru Islamlah untuk merekonstruksi lagi teologi Islam revolusioner-transformatif dan membebaskan itu.

Catatan

1 Al-Qur'an (33:62)

2 Al-Qur'an (53:40)

3 Al-Qur'an (21:45)

4 Al-Qur'an (21:48)

5 Konsep determinisme sejarah digunakan dalam maknanya yang lebih luas dalam buku ini, berbeda dengan kategori Marxis, tidak mengesampingkan faktor-faktor tujuan ketuhanan. Konsep ini tidak dengan pengertian mekanis yang sempit.

6 Al-Qur'an (21:46)

7 Saya setuju dengan Paul Tillich yang mengatakan bahwa "Manusia, sejauh ia membangun dan mengejar tujuannya, pada dasarnya bebas. Ia mentransendensikan situasi yang ada sambil meninggalkan kenyataan itu untuk mencari kemungkinan-kemungkinan. Ia tidak terikat pada situasi tempat ia menemukan dirinya, dan itulah yang disebut sebagai transendensi diri yang menjadi kualitas dasar kebebasan. Karena itu tidak ada situasi historis apapun yang bisa membatasi situasi historis lain secara total. Transisi dari suatu situasi ke situasi lain adalah sebagian dibatasi oleh reaksi-reaksi kemanusiaan dengan kebebasannya. Sesuai dengan polaritas kebebasan dan keterbatasan, transendensi itu tidaklah absolut: ia berasal dari totalitas elemen-elemen masa lampau dan masa keuangan, perdagangan dan peredaran uang itu, suatu pandangan hidup dan cara pandang baru sedang berkembang, meskipun belum dinyatakan secara sadar dan jelas. Kerja komersial tentu mempunyai logikanya sendiri dan mengarahkan masyarakat kepada suatu cara hidup tertentu. Dinamika sosial dalam masyarakat Mekkah yang seperti itu mengarahkan pada suatu kehidupan yang tidak selaras dengan kehidupan masyarakat yang beralaskan norma-norma kesukuan.

8 Asghar Ali Engineer, The Origin and Development of Islam, Orient and Longman, 1980, hal. 41.

9 Watt mencatat, "Mereka membentuk suatu aliansi antar klan, yang dapat kita sebut sebagai Liga orang-orang Tulus--nama-nama lain juga sering kita temukan. Muhammad menghadiri pertemuan yang pembentukan Liga itu, bahkan ia menyetujui pembentukan liga itu. Tujuan liga itu adalah untuk menjaga integritas perdagangan, tapi di balik itu, liga berkepentingan untuk mencegah keluarnya pedagang Yaman dari pasar Mekkah, karena liga merasakan kesulitan jika harus mengirimkan sendiri kafilah mereka ke Yaman yang selama ini sangat profesional dalam perdagangan antar kota terutama Mekkah dan Syria. (M. Montgomery Watt, Muhammad, Prophet and Statesman, London, 1961), hal. 9.

10 HAR. Gibb berkomentar, Mekkah ketika itu menyimpan sisi gelap. Kejahatan dalam masyarakat pedagang kaya adalah hal yang biasa, begitu juga kesenjangan yang amat jauh antara kaya dan miskin, perbudakan dan persewaan manusia dan tajamnya pertentangan kelas-kelas sosial. Hal ini jelas dari keluhan Nabi Muhammad atas ketidakadilan sosial dan inilah yang menyebabkan guncangan keras dalam dirinya. (HAR. Gibb, Mohammadanism, Oxford, 1969), hal. 11 Pada permulaan tahun Masehi, salah satu dari suku-suku Arab bernama Quraisy menduduki Mekkah. Kota ini terdiri dari wilayah-wilayah, dan setiap wilayah terdapat klan yang termasuk suku Quraisy. Penduduk Mekkah ikut serta dalam perdagangan baik ke dalam maupun ke luar, dan inilah yang menyebabkan kemakmuran kota ini sekaligus menyebabkan kesenjangan oendapatan yang besar. Dalam suku Quraisy sendiri, terdapat keluarga-keluarga kaya terlibat dalam perdagangan dan praktik riba. (A.P. Petrovsky, Islam da Iran, Persian, diterjemahkan oleh Karim Kashawarz, Teheran, 1950) hal. 16.

12 Al-Qur'an (104

13 Al-Qur'an (34:34)

14 Al-Qur'an (34:37)

15 Muhammad Ahmad Khalfallah, Muhammad wa Quwwa al-Muwadadah (Kairo, 1973) hal. 113-4.

16 Al-Qur'an (9:34)

17 Ibn Hazm, Al-Mahalli, vol. 8 hal. 439, lihat juga Dr. Muhammad Nijatullah Shiddiqi, Economic Enterprise in Islam (Delhi, 1979) hal. 55.

18 Untuk uraian lengkap mengenai masalah perbudakan, lihat Asghar Ali Engineer, The Origin and Development of Islam, op. cit., 19 Lihat Mufradat Imam Raghib; lihat Maulvi Muhammad Taqi Amini, Islam ka Zar'I Nizam (Delhi, 1981) hal. 13

20 Al-Qur'an (2:256)

21 Al-Qur'an 109

22 Al-Qur'an (2:256)

23 Dr. Muhammad Ahmad Khalfallah, op. cit., hal. 244.

24 Al-Qur'an (4:75)

25 Al-Qur'an (8:39)

26 Al-Qur'an (28:5)

  
Date: Wed, 31 May 2000 14:15:50 +0700
From: Mohamad Zaki Hussein 
To: is-lam@isnet.org


MENJELAJAH KELUASAN LANGIT
MENEMBUS KEDALAMAN AL-QUR'AN

T. Djamaluddin
(Staf Peneliti Bidang Matahari dan Lingkungan Antariksa, LAPAN, Bandung)

Memikirkan perihal pembentukan, susunan, dan evolusi alam semesta merupakan cara mengenal kekuasaan Allah yang pada gilirannya akan memperkuat aqidah. Di dalam surat Ali Imran 190-191 Allah menunjukkan setidaknya empat ciri yang harus dipunyai seorang Muslim untuk mencapai tingkat ulil albab:

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi (:segala fenomena di alam) , dan pergantian malam dan siang (:segala prosesnya), terdapat tanda-tanda bagi para cendekia ('ulil albab'); (yaitu:)

  1. mereka yang senantiasa mengingat Allah sambil berdiri, duduk, maupun berbaring (:dalam segala aktivitasnya);
  2. dan selalu memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (:tak henti menelaah fenomena alam);
  3. (bila dijumpainya suatu kekaguman mereka berkata:) "Tuhan kami, tiadalah Engkau ciptakan semua ini sia-sia. Maha Suci Engkau."
  4. (dandengan kesadaran bahwapengembaraan intelektualnya mungkin sesat, mereka senantiasa memohon kepada Allah:) "Dan jauhkanlah kami dari siksa neraka".

Dengan mengacu ayat-ayat tersebut saya mencoba mengajak menjelajah sekilas lintas keluasan langit sambil menembus kedalaman Al-Qur'an. Namun hal penting yang tersirat dari ayat tersebut mengingatkan kita bahwa kemungkinan salah dan sesat dalam pengembaraan ilmiah bisa saja terjadi. Ini juga mengingatkan bahwa kebenaran ilmu relatif. Hingga dalam memahami kebenaran mutlak dalam Al-Qur'an dengan perangkat sains harus kita sadari pula relativitas penafsiran kita. Apalagi dengan mengingat bahwa laju kedaluwarsaan sains saat ini semakin cepat.

Saya mulai dengan mengenali bahasa universal dan menggali hakikat langit. Kemudian menerawang penciptaan alam semesta dan model teoritiknya. Posisi kita di alam raya dan kemungkinan ada tidaknya kehidupan di luar bumi juga akan kita telusuri. Akhirnya tinjauan tentang hari kehancuran semesta.

Hakikat Cahaya

Cahaya adalah satu bagian dari gelombang elektromagnetik (EM). Dalam mekanika quantum modern, cahaya dan semua spektrum dalam radiasi gelombang elektromagnetik lainnya (radio, infra merah, ultra violet, sinar-X, dan sinar gamma), dapat bersifat sebagai partikel dan dalam hal lain bersifat sebagai gelombang.Sifat dualisme ini sebelumnya di luar anggapan umum. Namun itulah yang teramati dalam eksperimen-eksperimen yang dilakukan. Ini adalah hakikat fisik cahaya. Pengetahuan tentang hakikatnya tersebut digunakan untuk mendeteksi, merekam dan menafsirkan pesan-pesan yang dibawanya, terutama pesan-pesan dari benda-benda langit yang jauh di sana. Hakikat fisik cahaya hanya melihat proses fisika sebagai sebab timbulnya atau terpancarkannya cahaya itu. Namun ada hakikat lainnya yang kadang-kadang terlupakan, bahwa cahaya adalah pemberian Allah. Proses fisika hanyalah caranya.

Para fisikawan pra-Newton menelaah bagaimana kita bisa melihat sesuatu benda. Tetapi kini telah difahami bahwa karena adanya cahaya terpancarlah kita bisa melihat sesuatu. Dari mana cahaya itu? Dalam Al-Qur'an surat An-Nur : 35 Allah menjelaskan bahwa Allah pemberi cahaya bagi langit dan bumi. Cahaya-Nya berlapis-lapis, cahaya di atas cahaya. Kemudian ketika Allah memberikan perumpamaan tentang kegelapan yang amat sangat hingga tak ada cahaya sedikit pun dinyatakan-Nya,

"...Bila dijulurkannya tangannya ke luar tak akan terlihatlah ia...."

Lanjutan ayat tersebut menegaskan,

"Siapa yang tak diberi cahaya oleh Allah tak akan bercahayalah ia." (Q.S. An-Nur:40).

"Cahaya" dalam ayat ini sering ditafsirkan sebagai "cahaya agama" atau hidayah. Namun ini bisa difahami dari segi harfiahnya secara umum bahwa Allah pemberi cahaya bagi langit dan bumi (Q.S. An-Nur 35) yang bisa berarti cahaya fisik bagi alam semesta dan "cahaya agama" atau hidayah bagi manusia. Kalau ini kita fahami, ini mengandung makna ketauhidan dalam memahami hakikat cahaya. Secara umum, itu menyatakan bahwa Allah yang memberikan cahaya kepada alam semesta hingga ia terlihat oleh mata kita atau oleh detektor yang kita buat. Bukan sekedar proses fisika yang berlaku.

Bahasa Universal

Sebenarnya cahaya dan gelombang EM lainnya merupakan bahasa universal yang kita gunakan berkomunikasi dengan makhluk yang jauh di alam semesta. Walaupun baru sebatas komunikasi satu arah. 'Kisah' tentang keadaan fisik objek langit itu (strukturnya, komposisi kimia, temperatur, dsb.) serta proses fisik yang terjadi (reaksi fusi nuklir, aliran materi, dsb.) diterima oleh para astrofisikawan dalam 'bahasa' gelombang EM tersebut. Tentu saja untuk memahami 'kisah' dalam 'bahasa' gelombang EM itu para astrofisikawan masih memerlukan 'juru bahasa' berupa ilmu fisika, kimia, dan matematika.

Tafakkur tentang alam semesta sungguh mengasikkan bila kita menguasai fisika, kimia dan matematika sebagai 'juru bahasa' dalam memahami cerita makhluk Allah yang amat jauh berupa bintang-bintang dan benda-benda langit lainnya. Banyak kisah yang bisa kita dengar dari benda-benda langit itu. Siapa bilang bintang-bintang itu bisu. Mereka bercerita dengan bahasa universal, dengan gelombang EM. Embrio-embrio bintang yang masih sangat dingin bercerita dengan gelombang radio. Benda-benda yang sangat panas berkisah dengan sinar-X. Galaksi-galaksi yang berlari menjauh memberi tahu kita dengan pergeseran spektrumnya ke arah merah. Dan banyak kisah lagi bisa kita dengar. Rabbanaa maa kholaqta haadza baathila subhanak --Tuhan kami, tidak Engkau ciptakan semua ini sia-sia, Maha Suci Engkau dari segala cela.

Sayangnya, sebagian besar (mungkin 90% atau lebih) materi di alam semesta tak memancarkan gelombang EM tersebut. Itulah yang dinamakan "dark matter" (materi gelap). Allah tak memberikan cahaya kepada mereka. 'Materi gelap' itu mencakup objek raksasa yang runtuh ke dalam intinya (misalnya Black Hole atau Lubang Hitam yang menyerap semua cahaya), objek seperti bintang namun bermassa kecil hingga tak mampu memantik reaksi nuklir di dalamnya (yaitu objek katai coklat), atau partikel-partikel subelementer.

'Materi gelap' ini ibarat orang bisu. Kita tak dapat mendengar kisah mereka tetapi kita yakin mereka ada dihadapan kita. Kita hanya bisa menangkap isyarat-isyarat yang diberikannya. Isyarat-isyarat tak langsung itulah yang ditangkap oleh para astrofisikawan untuk mendengar kisah "meteri gelap". Isyarat-isyarat itu bisa berupa pancaran sinar-X dari bintang yang berpasangan dengan Black Hole atau dari efek gravitasi pada objek di dekatnya.

Sekedar contoh, inilah cara Black Hole bercerita bahwa dirinya ada. Pancaran sinar-X yang kuat bisa bercerita bahwa di sana ada obyek yang sangat panas. Dengan telaah fisika kemudian diketahui bahwa panas itu terjadi karena ada materi dari suatu bintang yang sedang disedot oleh benda yang kecil bermassa sangat besar yang menjadi pasangannya. Materi yang jatuh pada bidang yang sempit di sekitar benda penyedot itulah menimbulkan panas yang sangat tinggi yang akhirnya memancarkan sinar-X. Dari isyarat-isyarat lainnya disimpulkan bahwa penyebab perpindahan materi itu adalah sebuah Black Hole yang sedang menyedot materi dari bintang pasangannya, seperti teramati pada objek Cygnus X-1.

Hakikat Langit

Di dalam Al-Qur'an dan hadits sering kita jumpai tentang ungkapan langit, khususnya dalam ungkapan 'tujuh langit'. Apakah hakikat langit? Apakah langit biru di atas sana?

Pengetahuan saat ini menunjukkan bahwa langit biru hanyalah disebabkan oleh hamburan cahaya matahari oleh partikel-partikel atmosfer. Di luar atmosfer bumi warna biru tak ada lagi, yang ada hanya titik-titik cahaya bintang, galaksi, dan benda-benda langit lainnya. Jadi, langit bukan hanya kubah biru yang di atas sana.

Di dalam Q.S. Al-Baqarah:29 Allah berfirman:

"...Kemudian Dia menuju langit, maka disempurnakannya tujuh langit...."

Ada dua hal yang menarik dalam ayat ini; (1) 'maka disempurnakannya' (fasawaahunna) (2) 'tujuh langit' (sab'a samawaati). Pertama akan dibahas masalah 'tujuh langit'.Pemahaman bilangan 'tujuh' dalam beberapa hal di dalam Al-Qur'an tidak selalu menyatakan hitungan eksak dalam sistem desimal. Hingga ungkapan 'tujuh langit' yang sering digambarkan sebagai 'tujuh lapis langit' oleh para mufassirin lama (apalagi dalam kisah Isra' Mi'raj) mesti dikaji ulang. Konsep 'tujuh lapis langit' sering mengacu pada konsep geosentrik yang menganggap bumi sebagai pusat alam semesta yang dilingkupi oleh lapisan-lapisan langit. Misalnya dalam salah satu tafsir disebutkan bahwa bulan berada di langit pertama dan matahari berada di langit ke empat.Di dalam Al-Qur'an ungkapan 'tujuh' atau 'tujuh puluh' sering mengacu pada jumlah yang tak terhitung. Misalnya, di dalam Q.S. Al-Baqarah:261 Allah menjanjikan:

"Siapa yang menafkahkan hartanya di jalan Allah ibarat menanam sebiji benih yang menumbuhkan tujuh tangkai yang masing-masingnya berbuah seratus butir. Allah melipatgandakan pahala orang-orang yang dikehendakinya...."

Juga di dalam Q.S. Luqman:27:

"Jika seandainya semua pohon di bumi dijadikan sebagai pena dan lautan menjadi tintanya dan ditambahkan tujuh lautan lagi, maka tak akan habis Kalimat Allah...."

Jadi 'tujuh langit' lebih mengena bila difahamkan sebagai tatanan benda-benda langit yang tak terhitung banyaknya. Langit itu sendiri bermakna sesuatu yang di atas kita, hingga semua benda di luar bumi, yang kita pandang berada di atas kita, merupakan bagian dari langit.

Kemudian 'penyempurnaan langit', mengandung kesan bahwa langit memang 'belum sempurna', dalam arti proses pembentukkannya belum berakhir. Saya sengaja memilih kata 'menyempurnakan' untuk 'fasawaahunna' yang sering diartikan 'menjadikan' yang berkesan langsung jadi. Ini mudah difahami bila kita membandingkan Q.S.79:27-30 ("...dan bumi itu -- sesudah penciptaan langit -- dihamparkan-Nya") dan Q.S.41:9-11 ("...kemudian menuju penciptaan langit dan langit itu masih berupa kabut...."). Ayat yang pertama mengandung kesan bumi diciptakan sesudah langit. Sedangkan pada yang kedua diungkapkan bahwa langit diciptakan sesudah bumi. Keduanya tidaklah bertentangan kalau difahami bahwa penciptaan langit merupakan proses yang berlanjut. Langit (galaksi-galaksi beserta bintang-bintangnya dan segala komponennya) memang lahir lebih dahulu dari pada bumi. Tetapi sesudahnya, 'penyempurnaannya' terus berlangsung dengan kelahiran bintang-bintang baru. Pengamatan astronomi memang mengungkapkan bahwa kelahiran dan kematian bintang-bintang terus terjadi.

Pengamatan dan telaah teoritik mengukuhkan bahwa bintang-bintang lahir di dalam awan molekul raksasa, yang dalam Q.S.41:11 disebut 'dukhan' (kabut). Ukuran awan antar bintang tersebut sekitar 100 tahun cahaya (1 tahun cahaya adalah jarak tempuh cahaya dalam waktu satu tahun = 9,46 trilyun kilometer; bandingkan dengan jarak bumi-matahari yang hanya sekitar 8 menit cahaya) dengan massa totalnya sekitar sejuta kali massa matahari (massa matahari sendiri sekitar 300.000 kali massa bumi).

Dengan penjelasan di atas, kita fahami bahwa 'tujuh langit' yang berulang kali diungkapkan di dalam Al-Qur'an mengacu pada tatanan benda-benda langit (galaksi, bintang, planet, komet, batuan dan gas) yang tak terhitung banyaknya yang terus berevolusi: lahir, menjadi tua dan akhirnya mati.

Evolusi Bintang

Menarik bila kita mengkaji sekilas lintas tentang evolusi atau "kehidupan" bintang, sejak lahirnya sampai matinya.

Di dalam Al-Qur'an Allah telah mengisyaratkan bahwa langit tercipta dari dukhan (kabut).

"....Kemudian menuju penciptaan langit dan langit itu masih berupa kabut. Lalu Dia berfirman kepadanya dan kepada bumi: 'Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan sukarela atau terpaksa.' Keduanya menjawab:'kami datang dengan suka rela.'" (Q.S.41:11).

Kini sudah diyakini kebenaran ayat itu berdasarkan banyak pengamatan secara visual, infra merah, maupun radio. Bintang-bintang lahir dari awan molekul. Teori saat ini menyatakan kelahiran bintang dimulai dari penggumpalan awan molekul yang. Partikel-partikel oleh gaya gravitasi runtuh ke intinya membentuk inti yang akan menjadi bintang. Akibat rotasi gumpalan awan molekul itu sebagian materi tidak jatuh ke intinya, tetapi ke sekitar inti membentuk piringan. Inti bintang itu mulai memanas tetapi masih diselimuti debu dan gas yang tebal dan amat dingin, di bawah minus 200 derajat C. Ibarat kepompong, inti bintang itu tak terlihat dari luar. Yang teramati hanya selimut debunya. Itu pun hanya pancaran infra merah dan radio yang bisa terdeteksi.

Embusan angin bintang lambat laun akan menyingkirkan selimut debu dan gas di sekitar bintang itu. Mulanya semburan dari arah kedua kutub bintang itu lalu pancaran angin bintang lambat laun akan menyingkirkan debu dan gas yang menyelimutinya. Yang tersisa adalah piringan debu dan gas di sekitar ekuatornya. Piringan debu dan gas di sekitar bintang itu diyakini sebagai cikal bakal planet.Dengan tersibaknya selimut debu inti bintang mulai tampak secara visual, walau masih amat redup dan hanya bisa teramati dengan teleskop besar. Kini diketahui banyak bintang yang masih mempunyai piringan debu dan gas yang umurnya masih beberapa juta tahun. Matahari kita tergolong bintang "remaja" yang baru berumur 4,5 milyar tahun.

Inti yang makin panas itu akhirnya akan memantik reaksi fusi nuklir. Reaksi fusi nuklir inilah yang menjadi sumber energi bintang --termasuk matahari-- hingga bersinar. Angin bintang dan tekanan radiasi akhirnya juga akan menyingkirkan debu-debu di piringan. Kalau di piringan itu terbentuk planet-planet, yang tersisa adalah planet-planet dan sedikit materi debu-debu antar planet.

Hasil reaksi fusi nuklir di inti bintang adalah unsur-unsur yang lebih berat. Akhirnya bintang pun akan mati. Akhir kehidupannya tergantung massa dan keadaan fisik bintang. Ada bintang yang mengembang lalu akhirnya melepaskan materi-materinnya ke angkasa. Ada pula yang meledak yang disebut supernova. Nah, materi-materi yang terlepas ke angkasa itu nantinya akan menjadi bahan dasar pembentukan bintang baru. Begitulah Allah mendaur-ulangkan materi di alam ini.

Penciptaan Alam Semesta

Di bagian 2 telah dibahas masalah penciptaan bintang-bintang dari awan antar bintang. Kini akan dibahas tentang penciptaan seluruh alam dengan membandingkan tinjauan astronomi dan Al-Qur'an.

Teori yang kini banyak pendukungnya menyatakan bahwa alam semesta ini bermula dari ledakan besar (Big Bang) sekitar 10-20 milyar tahun yang lalu. Semua materi dan energi yang kini ada di alam terkumpul dalam satu titik tak berdimensi yang berkerapatan tak berhingga. Tetapi ini jangan dibayangkan seolah-olah titik itu berada di suatu tempat di alam yang kita kenal sekarang ini. Yang benar, materi,energi, dan ruang yang ditempatinya seluruhnya bervolume amat kecil, hanya satu titik tak berdimensi.

Tidak ada suatu titik pun di alam semesta yang dapat dianggap sebagai pusat ledakan. Dengan kata lain ledakan besar alam semesta tidak seperti ledakan bom yang meledak dari satu titik ke segenap penjuru. Hal ini karena pada hakekatnya seluruh alam turut serta dalam ledakan itu. Lebih tepatnya, seluruh alam semesta mengembang tiba-tiba secara serentak. Ketika itulah mulainya terbentuk ruang dan waktu.

Radiasi yang terpancar pada saat awal pembentukan itu masih berupa cahaya. Namun karena alam semesta terus mengembang, panjang gelombang radiasi itu pun makin panjang, sesuai dengan efek Doppler, menjadi gelombang radio. Kini radiasi awal itu yang dikenal sebagai radiasi latar belakang kosmik (cosmic background radiation) dapat dideteksi dengan dengan teleskop radio.

Peristiwa serupa diisyaratkan juga di dalam Al-Qur'an bahwa seluruh materi dan energi di langit dan bumi berasal dari satu kesatuan pada awal penciptaannya.

"Tidakkah tahu orang-orang kafir itu bahwa sesungguhnya langit dan bumi berasal dari satu kesatuan kemudian Kami pisahkan." (Q.S.21:20)

Seperti telah di bahas terdahulu, langit yang dimaksud di sini adalah seluruh benda-benda luar angkasa. Semuanya berasal dari satu materi dasar yang berupa hidrogen. Dari reaksi nuklir (fusi) di dalam bintang terbentuklah unsur-unsur berat seperti karbon, sampai besi. Kandungan unsur- unsur berat dalam komposisi materi bintang merupakan salah satu "akte" lahir bintang. Bintang-bintang yang mengandung banyak unsur berat berarti bintang itu "generasi muda" yang memanfaatkan materi-materi sisa ledakan bintang-bintang tua. Materi pembentuk bumi pun diyakini berasal dari debu dan gas antar bintang yang berasal dari ledakan bintang di masa lalu.

Jadi, seisi alam ini memang berasal dari satu kesatuan.

Pengembangan Alam Semesta

Allah menjelaskan bahwa benda-benda langit tidaklah statis, tetapi terus mengembang sejak pembentukannya.

"Dan langit Kami bangun dengan kekuasaan Kami. Sungguh Kami kuasa meluaskannya." (Q.S. 51:47)

Memang demikianlah yang kini teramati. Spektrum galaksi-galaksi yang jauh sebagian besar menunjukkan bergeser ke arah merah yang dikenal sebagai red shift (panjang gelombangnya bertambah sesuai dengan efek Doppler). Ini merupakan petunjuk bahwa galaksi-galaksi itu saling menjauh. Dengan kata lain, alam semesta ini sedang mengembang.

Sebenarnya yang terjadi adalah pengembangan ruang. Galaksi-galaksi itu (dalam ukuran alam semesta hanya dianggap seperti partikel-partikel) dapat dikatakan menempati kedudukan yang tetap dalam ruang, dan ruang itu sendiri yang sedang berekspansi. Kita tidak mengenal adanya ruang di luar alam ini. Oleh karenanya kita tidak bisa menanyakan ada apa di luar semesta ini.

Secara sederhana, keadaan awal alam semesta dan pengembangannya itu dapat diilustrasikan dengan pembuatan roti. Materi pembentuk roti itu semula terkumpul dalam gumpalan kecil. Kemudian mulai mengembang. Dengan kata lain ruang roti sedang mengembang. Butir-butir partikel di dalam roti itu (analog dengan galaksi di alam semesta) saling menjauh sejalan dengan pengembangan roti itu (analog dengan alam).

Dalam ilustrasi tersebut, kita berada di salah satu partikel di dalam roti itu. Di luar roti, kita tidak mengenal adanya ruang lain, karena pengetahuan kita, yang berada di dalam roti itu, terbatas hanya pada ruang roti itu sendiri. Demikian pulalah, kita tidak mengenal alam fisik lain di luar dimensi "ruang-waktu" yang kita kenal. Sedangkan informasi alam ghaib sangat terbatas.

Alam Tidak Berawal?

Walaupun tidak terlalu banyak pendukungnya, beberapa pakar kosmologi dan fisikawan teoritis "menggugat" bahwa alam ada awalnya. Beberapa teori lain menyatakan bahwa tidak ada batas dalam waktu, tidak ada singularitas Big Bang. Ini misalnya dikemukakan oleh Maddox (1989) dan Levy-Leblond(1989) serta dalam buku populer Hawking (1989). Mereka berpendapat bahwa tidak ada batas waktu yang dapat disebut sebagai awal penciptaan alam semesta. Hawking dalam buku "A Brief History of Time" menyebutnya "No-boundary conditions". Model matematis itu menyatakan bahwa alam semesta berhingga ukurannya tetapi tanpa batas dalam ruang dan waktu.

Dengan menggunakan keadaan tak berbatas (no-boundary conditions) ini, Hawking menyatakan bahwa alam semesta mulai hanya dengan keacakan minimum yang memenuhi Prinsip Ketidakpastian. Kemudian alam semesta mulai mengembang dengan pesat. Dengan Prinsip Ketidakpastian ini, dinyatakan bahwa alam semesta tak mungkin sepenuhnya seragam, karena di sana sini pasti didapati ketidakpastian posisi dan kecepatan partikel-partikel. Dalam alam semesta yang sedang mengembang ini kerapatan (density) suatu tempat akan berbeda dengan tempat lainnya. Gravitasi menyebabkan daerah yang berkerapatan tinggi makin lambat mengembang dan mulai memampat (berkontraksi). Pemampatan inilah yang akhirnya membentuk galaksi-galaksi, bintang-bintang, dan semua benda-benda langit.

Berdasarkan model tersebut Hawking menyatakan, "Sejauh anggapan bahwa alam semesta bermula, kita mengganggap ada Sang Pencipta. Tetapi jika alam semesta sesungguhnya ada dengan sendirinya, tak berbatas tak bertepi, tanpa awal dan akhir, lalu di manakah peran Sang Pencipta."

Tentunya bagi ilmuwan Muslim yang penalarannya berdasarkan iman tak mungkin mempertanyakan peran Allah Rabbul'alamin. Kita meyakini bahwa Dia adalah Pencipta semesta ini. Tetapi cara Allah menciptakan alam semesta ini tak mungkin sama dengan apa yang manusia gambarkan sebagai pencipta.

"Tak ada suatu pun yang menyamai-Nya."(Q.S.Al-Ikhlas:4)

Kalau kita cermati penalaran Hawking, dikatakannya bahwa alam mulai hanya dengan "keacakan minimum". Sebenarnya adanya syarat 'keacakan' itu dan berbagai hukum dalam sains (termasuk "Prinsip Ketidakpastian" yang menjadi asal 'keacakan') cukup menjadi bukti bahwa semua itu ada penciptanya, Allah Rabbul'alamin. Allah "bekerja" dengan caranya, yang mungkin tak bisa ditelusur dengan sains.

Model Alam Semesta

Dengan hanya mengandalkan pengamatan, kita tidak mungkin menggambarkan bagaimana ujud alam semesta ini. Maka diperlukanlah suatu model matematis yang dapat menjelaskan "bentuk" alam semesta ini termasuk evolusinya. Di bagian terdahulu telah dibahas sekilas tentang model alam semesta, khususnya tentang penciptaanya dan pengembangannya. Kini akan dibahas tentang "geometri" alam semesta.

Dengan menggunakan solusi kosmologis persamaan Einstein dan Prinsip Kosmologis yang menganggap bahwa alam semesta homogen di mana pun dan isotropik di setiap titik di alam, didapatkan dua model alam semesta:

  1. "terbuka" atau tak berhingga;
  2. "tertutup" atau berhingga tak berbatas.

Prinsip Kosmologis tersebut didasarkan hasil pengamatan bahwa alam semesta nampaknya homogen dan isotropik (galaksi-galaksi nampak tersebar seragam ke segala arah).

Untuk menentukan model mana yang benar diperlukan informasi tentang massa total alam semesta ini. Seandainya seluruh materi di alam ini tidak cukup banyak untuk mengerem pengembangan maka alam semesta akan terus mengembang dan berarti alam semesta ini "terbuka" atau tak berhingga. Tetapi jika massanya cukup besar, maka pengembangan alam semesta akan direm, akhirnya berhenti dan mulai mengerut lagi. Kalau ini yang terbukti berarti alam semesta "tertutup" atau bersifat "berhingga tak berbatas".

Sifat alam semesta "berhingga tak berbatas" itu dapat diilustrasikan dalam dua dimensi pada bola bumi (sesungguhnya alam berdimensi empat, tiga dimensi ruang dan satu dimensi waktu). Bola itu berhingga ukurannya namun tak berbatas, tak bertepi. Garis-garis lintang analog dengan "ruang" alam semesta ini dan garis-garis bujur analog dengan "waktu". Perjalanan "ruang-waktu" alam ini bermula dari kutub utara menuju kutub selatan. Kita menelusuri garis bujur. Dengan bertambah jauh kita menelusurinya (atau bertambah "waktu"-nya) kita akan jumpai lingkaran-lingkaran lintang yang bertambah besar (atau "ruang" alam semesta mengembang). Setelah mencapai maksimum di khatulistiwa, kemudian lingkaran lintang pun mulai mengecil lagi. Seperti itu pula alam semesta mulai mengerut. Bila kita berjalan sepanjang garis lintang, kita akan kembali ke titik semula. Sama halnya dengan sifat "ruang" alam semesta yang tak berbatas itu. Cahaya yang kita pancarkan ke arah mana pun, pada prinsipnya, akan kembali lagi dari arah belakang kita. Bila model ini benar, pada prinsipnya, kita akan bisa melihat galaksi Bima Sakti (galaksi kita) berada di antara galaksi-galaksi yang jauh (galaksi luar).

Sampai saat ini belum dapat diputuskan model mana yang benar karena belum adanya bukti observasi yang betul-betul meyakinkan. Pengamatan Deuterium yang dilakukan satelit Copernicus pada tahun 1973 menghasilkan jumlah Deuterium 0.00002 kali jumlah Hidrogen. Sebenarnya ini merupakan alasan terkuat yang mendukung model alam "tak berhingga". Tetapi banyak yang meragukan kecermatan pengukurannya. Maka sampai saat ini kedua kemungkinan itu masih terbuka. Kita masih menantikan observasi yang lebih cermat dan teori yang lebih baik untuk menafsirkannya.

Bagaimanakah konsep Al-Qur'an dalam model alam semesta ini? Nampaknya sangat mirip dengan model alam semesta "tertutup". Alam semesta akan berhenti mengembang dan mulai mengerut. Hal ini akan dibahas dalam bagian mendatang dalam bahasan hari kehancuran alam.

Posisi Kita di Alam Semesta

Kita mulai meninjau posisi kita di alam semesta bukan dari diri manusia yang kadang merasa besar dengan kesombongannya, tetapi dari bumi kita. Kita akan menyadari kekecilan planet kita ini bila kita membandingkannya dengan keluasan alam semesta. Dan pada gilirannya kita akan menyadari kelemahan manusia di hadapan Allah Yang Maha Kuasa.

Kini telah diyakini bahwa bumi kita bukanlah pusat alam semesta yang di kelilingi oleh lapisan-lapisan langit. Bumi kita hanyalah satu planet kecil di tata surya. Empat planet (Jupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus) berukuran jauh lebih besar dari pada planet kita. Jupiter bermassa sekitar 300 kali massa bumi. Tetapi matahari yang merupakan bintang terdekat dan induk tata surya bermassa jauh lebih besar lagi, sekitar 300.000 kali massa bumi, dan berukuran lebih dari sejuta kali besar bumi. Gaya gravitasinya mampu menahan semua anggota tata surya yang terdiri dari sedikitnya 9 planet, sekitar 42 satelit, ratusan ribu asteroid (planet kecil), milyaran komet, dan tak berhingga bongkahan batuan, logam, atau es yang di sebut meteoroid yang bertebaran di ruang antar planet.

Sedangkan matahari sendiri hanyalah bintang kuning berukuran sedang. Ribuan bintang lagi bisa kita lihat di langit dan jutaan lagi yang bisa kita lihat dengan teleskop. Di antaranya bintang-bintang raksasa yang besarnya ratusan kali besar matahari. Semuanya merupakan anggota dari ratusan milyar bintang yang menghuni galaksi kita, Bima Sakti.

Galaksi kita digolongkan sebagai galaksi spiral, berbentuk seperti huruf S dengan lengan tunggal atau majemuk. Diameternya sekitar 100.000 tahun cahaya, artinya dari ujung ke ujung akan ditempuh oleh cahaya dalam waktu sekitar 100.000 tahun. Tata surya kita berjarak sekitar 30.000 tahun cahaya dari pusatnya dan mengorbit dengan kecepatan sekitar 200-300 km per detik sekali dalam 200 juta tahun.

Mungkin sekali di antara ratusan milyar bintang anggota Bima Sakti ada bintang yang mempunyai tata planet. Namun karena jaraknya yang amat jauh, sulit untuk menemukan tata planet tersebut. Dengan teropong besar pun bintang-bintang itu hanya tampak sebagai titik-titik cahaya. Namun akhir-akhir ini telah dijumpai bintang-bintang yang dikelilingi oleh piringan debu yang diduga mempunyai tata planet atau setidaknya dalam evolusi membentuk tata planet. Dengan teleskop optik yang dilengkapi alat khusus, piringan materi di sekitar bintang Beta Pictoris dapat di amati. Piringan materi itu di duga dalam masa awal pembentukan tata planet, seperti keadaan tata surya kita sekitar 4,5 milyar tahun yang lalu atau merupakan awan komet seperti yang ada di tepi tata surya kita.

Kalau kita menembus kedalaman langit lebih jauh lagi, kita akan jumpai jutaan, mungkin milyaran, galaksi-galaksi lain. Galaksi-galaksi itu bagaikan pulau-pulau yang saling berjauhan yang berpenghuni milyaran bintang pula. Beberapa galaksi membentuk gugusan galaksi. Kemudian gugusan-gugusan itu dan galaksi-galaksi mandiri lainnya mengelompok dalam gugusan besar yang disebut super cluster.

Bima Sakti merupakan anggota dari gugusan galaksi yang disebut Local Group yang beranggota sekitar dua puluh galaksi dan berdiameter sekitar 3 juta tahun cahaya. Di luar Local Group yang terpisah sejauh puluhan atau ratusan juta tahun cahaya dijumpai pula banyak super cluster yang terdiri ratusan atau ribuan galaksi.Keluasan langit yang baru saja dijelaskan diungkapkan di dalam Al-Qu'an:

"Allah yang menciptakan tujuh langit dan bumi sebanyak itu pula. Dia turunkan perintah-Nya pada keduanya agar kamu tahu bahwa Allah berkuasa atas segala sesuatu dan sungguh pengetahuan Allah mencakup segalanya."(Q.S.Ath-Thalaq:12)

'Tujuh langit' bermakna benda-benda langit yang tak terhitung banyaknya (lihat bagian 2), mencakup awan antar bintang, meteoroid, asteroid, komet, planet, bintang, galaksi sampai super cluster yang menghimpun banyak galaksi. Sedangkan 'tujuh bumi' mengisyaratkan banyaknya planet lain di luar tata surya kita yang mirip dengan planet bumi. Mungkin pula di sana ada kehidupan.

Adakah Kehidupan di Luar Bumi?

Mengacu pada Q.S. Ath-Thalaq:12 pada bagian yang lalu terkandung isyarat adanya banyak planet yang mirip dengan bumi yang mungkin pula dihuni oleh makhluk hidup. Isyarat lebih nyata dapat kita jumpai dalam Q.S. Asy-Syura:29:

"Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah penciptaan langit dan bumi dan makhluk hidup yang ditebarkan di antara keduanya. Dan Dia berkuasa mengumpulkannya bila dikehendaki."

Usaha pencarian makhluk hidup di luar bumi pernah dilakukan, khususnya mencari makhluk-makhluk cerdas. Maka muncullah SETI (Search for Extra Terrestrial Intelligence) dan lahirlah cabang ilmu baru, Bioastronomi, hasil perkawinan Astronomi dan Biologi. International Astronomical Union pun kini mempunyai komisi khusus yang menangani Bioastronomi ini.

Sebenarnya kemungkinan adanya kehidupan di luar bumi, baik kehidupan primitif secara biologi maupun kehidupan tingkat tinggi, sudah banyak difikirkan oleh para ilmuwan dan juga orang awam sejak berabad-abad yang lalu. Baru dalam tiga dasawarsa belakangan ini para ilmuwan mulai memasuki tahap eksperimental dalam usaha mencari kehidupan di luar bumi.

Beberapa pesawat antariksa, seperti Apollo, Viking, dan Venera, dikirimkan untuk mengidentifikasi kemungkinan ada tidaknya kehidupan primitif di bulan dan planet lain di tata surya. Namun sejauh ini belum dijumpai adanya tanda-tanda kehidupan itu. Walaupun demikian, data-data yang terkumpul, antara lain senyawa-senyawa organik bagian unsur kehidupan, amat berharga dalam memahami evolusi tata surya serta kondisi yang memungkinkannya layak bagi kehidupan.

Beberapa pesawat diantaranya, Voyager dan Pioneer, dilepas ke luar tata surya memasuki ruang antar bintang setelah menjenguk beberapa planet. Mereka dibekali pesan bumi, berisi informasi tentang posisi bumi, kehidupan di bumi, serta rekaman suara alamnya. Diharapkan di suatu tempat di luar bumi pesawat itu bertemu dengan makhluk cerdas yang mampu menafsirkan pesan itu. Mungkin nantinya akan ada hubungan antar peradaban, bukan lagi antar bangsa.

Di samping pengiriman pesawat antariksa, pencarian juga dilakukan dengan menggunakan teleskop radio. Seperti dibicarakan di bagian pertama, gelombang radio juga merupakan bahasa universal yang diharapkan membawa pesan dari peradaban lain di galaksi kita. Pada prinsipnya, kalau memang ada peradaban lain di luar bumi, kita bisa berkomunikasi dengan mereka dengan bahasa universal itu, gelombang radio. Walau tidak harus berarti komunikasi dua arah.

Akhir Alam Semesta

Pengetahuan tentang hari kiamat hanya Allah yang mengetahuinya. Manusia hanya diberi ilmu yang sedikit. Al-Qur'an hanya memberikan beberapa isyarat tentang hari kehancuran alam semesta ini. Bagian ini akan membahas beberapa mekanisme hari kehancuran yang digambarkan oleh Al-Qur'an dan tinjauan astronomisnya, sebatas perkembangan pengetahuan sampai saat ini.

Ketika menggambarkan Hari Qiyamat Allah menyatakan:

"Ketika lautan bergolak mendidih...."(Q.S.81:6)

Kata 'sujjirat' pada ayat itu berarti bergolak, (mendidih) terbakar, dan kering. Bisa jadi hal ini terjadi ketika matahari kita membengkak menjadi bintang raksasa merah. Menurut teori evolusi bintang, matahari kita akan membesar menjadi bintang raksasa merah menjelang kematiannya. Pada saat itu matahari bersinar sedemikian terangnya hingga lautan akan mendidih dan kering, batuan akan meleleh, dan kehidupan pun akan punah. Kemudian matahari akan terus bertambah besar hingga planet-planet disekitarnya, Merkurius, Venus, Bumi dan Bulan, serta Mars, masuk ke dalam bola gas matahari. Barangkali kejadian inilah yang diisyaratkan di dalam Al-Qur'an sebagai bersatunya matahari dan bulan.

"Ketika pemandangan telah kacau balau, dan bulan hilang cahayanya; matahari dan bulan disatukan...."(Q.S.75:7-9)

Kita tidak bisa bicara tentang rentang waktu tibanya peristiwa ini sampai akhirnya kehancuran total alam semesta. Karena, walaupun secara teoritik dapat diperkirakan kapan matahari akan menjadi bintang raksasa merah, terlalu besar ketidakpastiannya. Dan memang ilmu tentang saat kiamat hanya Allah yang tahu.

Kehancuran total nampaknya bermula dari mulai berkontraksinya alam semesta. Kontraksi atau pengerutan alam semesta yang digambarkan dalam model alam semesta "tertutup" (Bagian 4) mirip dengan gambaran Al-Qur'an tentang hari kehancuran semesta.

"Ketikamataharidigulung danbintang-bintang berjatuhan....(Q.S.81:1-2)

Mungkin ini menggambarkan ketika alam semesta mulai mengerut. Ketika itulah galaksi-galaksi mulai saling mendekat dan bintang-bintang, termasuk tata surya, saling bertumbukan atau dengan kata lain 'jatuh' satu terhadap yang lain. Alam semesta makin mengecil ukurannya. Dan akhirnya semua materi di alam semesta akan runtuh kembali menjadi satu kesatuan seperti pada awal penciptaannya. Inilah yang disebut Big Crunch (keruntuhan besar) sebagai kebalikan dari Big Bang, ledakan besar saat penciptaan alam semesta. Kejadian inilah yang nampaknya digambarkan di dalam surat Al-Anbiyya:104 dengan mengumpamakan pengerutan alam semesta seperti makin mampatnya lembaran kertas yang digulung.

"Pada hari Kami gulung langit seperti menggulung lembaran buku, sebagaimana Kami mulai awal penciptaannya akan Kami ulangi seperti itu." (Q.S.21:104)

Penutup

Satu hal yang kita tunggu pembuktiannya adalah tentang model alam semesta. Dari dua alternatif model, "terbuka" (alam akan terus mengembang selamanya) dan "tertutup" (alam mengembang sampai waktu tertentu kemudian mengembang), sementara ini belum dapat dipastikan mana yang paling kuat bukti-bukti observasinya. Bahkan sampai kini ini merupakan salah satu masalah tak terpecahkan dalam astronomi, karena sulitnya mendapatkan bukti observasional. Sementara itu nampaknya Al-Qur'an mengisyaratkan bahwa alam semesta mengembang kemudian akan runtuh seperti digambarkan dalam model "tertutup". Kita tunggu bukti-bukti itu.

Apa yang sudah saya bahas di atas menunjukkan bagaimana sains membantu kita memahami ayat-ayat Al-Qur'an. Namun sebagaimana disinggung pada pendahuluan, penafsiran Al-Qur'an yang kebenarannya mutlak dengan perangkat sains yang kebenarannya relatif perlu kehati-hatian. Saya beristighfar kepada Allah atas kemungkinan keliru dalam pembahasan ini.

T. Djamaluddin adalah peneliti bidang matahari & lingkungan antariksa, Lapan, Bandung

0 komentar:

إرسال تعليق

Comment here

  © Blogger template The Professional Template II by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP