Photobucket

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semangat “ilmiah” merupakan salah satu misi pokok nabi Muhammad saw sebagaimana tertera dalam QS. aL-‘Alaq

الاثنين، ١٧ ربيع الآخر ١٤٣٠ هـ

oleh : Miftahul Huda
A. Latar Belakang

Semangat “ilmiah” merupakan salah satu misi pokok nabi Muhammad saw sebagaimana tertera dalam QS. aL-‘Alaq ayat 1-5. Wahyu yang pertama kali turun ini memberi porsi pada gerakan ilmiah yang lebih diutamakan untuk dilakukan terlebih dahulu dibanding dengan pemantapan akidah maupun ibadah. Gerakan ilmiah yang tertuang dalam perintah ”iqra’” secara general meliputi makna: membaca, meneliti, mengamati, dan lain-lain yang mengarah pada obyek bacaan ilmiah. Katageri ilmu mengambil semua fakta empiric yang tergelar di jagad raya. Hanya saja pada umumnya kawasan ilmu telah dipahamai secara “dikotomis” bahwa dengan memisahakan antara ayat qauliyah (ilmu yang terfirmankan) dan kauniyah (ilmu yang tergelar di jagar raya).

Ilmu yang diperoleh melalui ayat-ayat qauliyah merupakan representasi dari otoritas keilmuan Allah dalam bentuk saluran pengetahuan melalui scriptural texs (teks suci). Ilmu ini pada gilirannya dikokohkan sebagai sumber ilmu agama. Sedangkan ayat kauniyah merupakan representasi dari otoritas tanda kekuasaan Allah yang tergelar melalui fenomena jagad raya. Pada gilirannya, ayat kauniyah ini dipahami sebagai sumber ilmu pengetahuan dengan katagori eksakta (kealaman). Akibatnya, ilmu agama ada pada wilayah normative-tectual yang menjadi otoritas para ulama untuk menguraikan, dan otoritas ilmu alam menjadi prerogratif para ilmuan (scientist).

Realitas dikotomi ilmu tersebut masih diperpanjang pada tataran prakatis, dengan adanya klasifikasi hukum mempelajari ilmu. Misalnya klasifikasi yang mengarah pada hukum mencari ilmu menjadi kewajiban personal (fardhu ‘ain) dan kewajiban komunal (fardhu kifayah). Ilmu agama diposisikan pada kewajiban personal dan ilmu umum pada posisi kewajiban komunal. Munculnya institusi pendidikan agama dan umum juga merupakan implikasi praktis dari sikap dikotomis tersebut.

Demikian halnya ilmu dilihat dari klasifikasi sumbernya terbelah dalam sumber ilahi (naqli) dan basyari (aqli). Hal ini tampaknya asumsi ini terispirasi oleh validitas sabda nabi yang menyatakan: “barang siapa yang ingin mencari dunia, maka harus dengan ilmu (duniawi), dan barang siapa ingin mencari akherat, maka harus dengan ilmunya (ukhrawi). Pemahaman hadis ini secara sempit biasanya telah mangakumulasikan pemahaman bahwa ilmu naqli hanya bertujuan untuk menggapai akhreat, dan ilmu diniawi bermaksud untuk menatap kesuksesan hidup di dunia.

Kalangan sufi memandang ilmu sebagai sesuatu yang suci, sebab pada akhirnya menyangkut semua pengetahuan dari aspek manifestasi tuhan kepada manusia. Pandangan yang suci tentang ilmu ini mewarnai sistem pendidikan Islam sampai hari ini, sehingga secara kelembagaan pendidikan Islam tidak terpisah dari organisasi dan lembaga khas agama meliputi masjid, madarasah dan ma’had. Akibat pandangan ini, ilmu-ilmu Islam kapan saja akan berhadapan dengan ilmu-ilmu yang dikembangkan oleh peradaban dan otoritas intelektual. Pada gilirannya semakin menambah eksistensi dikotomi ilmu kepada ilmu-ilmu naql dan ilmu aqli tersebut

Secara ekstrim diakui ada dua jalan yang terbuka bagi manusia untuk memperoleh pengetahuan formal; pertama yaitu melalui kebenaran yang diwahyukan yang sesudah diwahyukan dipindahkan dari generasi ke generasi berikutnya. Ilmu-ilmu pindahan ini dalam istilah Hasan Langgulung disebut al-‘ulum al-Naqliyah. Dan yang kedua adalah pengetahuan yang diperoleh melalui kecerdasan atau akal yang diberikan tuhan yang kemudian disebut dengan istilah al-‘ulum al-aqliyah atau ilmu-ilmu intelektual. Kedua jenis ilmu formal ini dapat diperoleh sehingga disebut ilmu husuli, dan ditambahkan lagi adanya ilmu hikmah yang disebut dengan ilmu huduri atau ilmu hadir (Hasan Langgulung, 1992: 106).

Mochtar Buchori dengan tegas mempertanyakan keabsahan dikotomi yang memisahkan pendidikan agama dari pendidikan umum. Menurut pandangannya bahwa dikotomi terse­but hanya merupakan dikotomi illusif, yakni dikotomi yang lahir dari kedangkalan persepsi kita mengenai hakekat proses pendidikan agama dan pendidikan umum sebagai dua kegiatan yang konvergen, yang sama-sama bermuara pada pengembangan diri siswa, pada penanaman suatu tata nilai, yaitu tata nilai Islam pada diri para siswa (Mochtar Buchori, 1989: 189).

Dalam antologi kecil berjudul "Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta", sebagian besar penulis menyoroti persoalan dikotomi tersebut. Masalah dikotomi itu antara lain disoroti oleh Muslich Usa dengan tema "Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta", Amrullah Achmad dengan tema "Kerangka Dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam", Achmad Syafi’i Ma’arif dengan tema "Pemikiran tentang Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia" (A. Syafi’i Maarif, 1991: 1).

Dari uraian di atas jelaslah bahwa dikotomi ilmu telah menyebabkan dishramoni dalam kehidupan manusia. Pada satu sisi, peradaban yang dibangun atas otoritas sakralitas wahyu lebih mendominasi pada tertib sosial, meskipun tidak diimbangi dengan kemajuan yang signifikan dalam bidang sanis dan teknologi. Disisi lain, peradaban yang dihasilakn oleh otoritas rasionalitas manusia dalam bentuk kemajuan sains dan teknologi serta informasi memanjakan kehidupan duniawi manusia, meskipun disisi lain tidak terlalu melihat nilai atau moralitas agama dan sosial.

Jalinan dan paduan ilmu agama dan umum itu sudah semestinya diupayakan sedemikan rupa, sehingga diharapkan dapat tercipta tertib sosial kehidupan manusia yang berperadaban luhur melalui kesadaran beragama dan berteknologi maju melalui kesadaran ilmiah. Untuk itu, mempertemukan antara dua pusaran ilmu agama dengan ilmu umum melalui pintu Islamisasi ilmu adalah merupakan idealitas alterlatif yang tidak terelakkan.

Fakta dikotomi ilmu ini telah melahirkan kesadaran baru, khususnya bagi pakar yang memiliki perhatian terhadap pendidikan Islam. Kesadaran tersebut terbentuk dalam sebuah gagasan integrasi dan Islamisasi ilmu. Integrasi sebagai upaya untuk mensintesakan atau memadukan ilmu yang mana masing-masing terpisah oleh garis demarkasi yang kokoh. Model integrasi ini bisa jadi dalam bentuk mencari persamaan dan perbedaan masing-masing disiplin ilmu untuk ditempatkan pada otoritas keilmuan secara proporsional. Demikian pula dengan menjustifikasi ilmu-ilmu kealaman dengan normative teks (Islamisasi ilmu). Atau bahkan kesadaran yang lebih ekstrim tampil dalam semangat untuk “menggugat” realitas pemahaman dikotomis tersebut dengan meneliti kembali dalil-dali normatif yang memuat tentang diskursus ilmu.



B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana Al-Qur’an dan Al-Hadis menjelaskan tentang klasifikasi ilmu?

2. Bagaimana kontek dikotomi ilmu dalam al-quran dan Al-Hadis?



C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dasar-dasar normative baik dari Al-Qur’an maupun Al-Hadis yang membahas tentang ilmu. Dari pemahaman ini maka ingin diketahui bagaimana klasifikasi ilmu dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis. Disamping itu, juga ingin ditegaskan bagaimana proporsi pemaknaan dikotomi ilmu dalam kontek Al-Qur’an dan Al-Hadis.







D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan kepada para akademisi, baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis diupayakan hasil penelitian ini dapat menyumbangkan temuan baru tentang dalil-dalil normative dari Al-Qur’an dan hadis yang memuat akar-akar pemahaman dikotomi ilmu. Data tektual tentang dikotomi ilmu ini pada gilirannya juga dapat dijadikan sebagai bahan kajian baru untuk upaya sinergi antara ilmu agama dan ilmu umum.

Sedangkan secara praktis diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan bagi para aktivis, ilmuwan, para pejabat dan berbagai pihak lain yang berwenang dalam mengembangkan pendidikan di Indonesia. Diharapkan pula, temuan penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu masukan untuk menentukan kebijakan bagi pengembangan pendidikan Islam maupun pendidikan umum secara integratif di masa mendatang.



E. Perspektif Teori

1) Klasifikasi ilmu

Didalam al-Mu’jam al-Mufahras li-alfaz Al-Qur’an al-Karm yang dinukil oleh Yusuf al-Qardawi, kata ‘ilm (ilmu) baik dalam bentuk definitive (ma’rifah) maupun dalam bentuk indefinitif (nakirah) terdapat 80 kali. Sedangkan kata yang berkait dengan itu seperti kata ‘allama (mengajarkan), ya’lamun (mereka mengetahui), ya’lamu (ia mengetahui), ‘alim (sangat tahu) dan sebagainya disebut beratus ratus kali (Yusuf al-Qardawi, 1989: 1). Hal ini belum termasuk kata al-‘aql, al-Albab dan an-Nuha, al-Fiqh, al-Hikmah dan al-Fikr yang mana semuanya memiliki keterkaitan dengan kegiatan ilmiah.

Selain dalam Al-Qur’an, dalam al-Hadis juga banyak dijumpai tentang diskursus ilmu. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kitab Hadis yang secara spesifik menampilkan bab tentang ilmu. Misalnya dalam kitab Hadis al-Jami’ Al-Sahih karya Imam Muhamad Bin Isma’il al-Bukhari -sebagaimana dinukil oleh al-Qardawi - didapati bab ilmu sesudah hadis-hadis permulaan yang menjelaskan tentang turunnya wahyu dan iman. Demikian pula dikatakan oleh al-Hafiz Ibn Hajar dalam kitabnya al-Fath, hadith-Hadis tersebut dengan katagori marfu’ sejumlah 102 hadith (Yusuf al-Qardawi, 1989: 1). Demikian pula kitab Hadis lainnya seperti Sahih Muslim, sunan al-Turmudhi, sunan Abi Daud, Al-Nasa‘i dan Ibn Majah terdapat pula bab ilmu baik yang mengupas secara luas maupun singkat dengan berbagai tipologi faliditasnya yang sahih, da’if maupun hasan.

Langgulung juga menjelaskan klasifikasi ilmu menurut pandangan Ibn Sina, Al-Farabi, Syamsuddin Muhammad al-‘Amuli dan al-Ghazali ‎(Hasan Langgulung, 1992: 106). Ibn Sina membagi pada dua macam (1) ilmu sementara dan (2) ilmu abadi (hikmah), yang terbagi lagi menjadi dua yaitu; a) sebagai tujuan (teoritis: termasuk ilmu tabi’I, matematika, metafisika dan universal dan praktis; termasuk ilmu akhlak, rumah tangga, politik, syari’ah) dan b) sebagai alat diantaranya logika. Al-Farabi membagi ilmu pada lima katagori; ilmu bahasa, logika, hitung menghitung, tabi’I dan ilmu masyarakat dimana masing-masing dengan cabangnya. Adapun al-‘Amuli membagi pada ilmu filsafat (sama setiap waktu) dan ilmu bukan filsafat (tidak sama setiap waktu). Sedangkan Al-Ghazali ‎lebih membagi pada ilmu shari’ah dan ilmu aqliyah.

Sebenarnya klasisifkasi ilmu jauh sebelum itu sudah ada. Aristoteles misalnya telah mengklasifikasikan ilmu kepada ilmu teoritis dan praktis. Hanya saja menurut Langgulung oleh filosof Islam cara pengelompokan yang dibuat oleh Aristoteles ini ditiru dan dibuat perubahan seperlunya sesuai dengan teori mereka masing-masing. Al-Farabi membuat perubahan sedikit, kemudian Ibn Sina lebih banyak, sedang Al-Ghazali ‎bukan hanya mengadakan perubahan tetapi membentuk pengelompokan yang sama sekali lain dari klasifikasi Aristoteles, terutama klasifikasi yang dibuatnya sesudah mengalami krisis dan memilih jalan tasawuf (Hasan Langgulung, 1991: 143).

Dalam istilah Ahmad Tafsir dengan merujuk pada Ibn Khaldun, klasifikasi pengetahuan dibagi kepada pengetahuan yang diwahyukan (naqliyah) atau dalam istilah konferensi ilmu di Makah disebut dengan Perrenial dan pengetahuan yang diperoleh (aqliyah) atau Acquired dalam istilah konferensi tersebut. Tafsir juga menekankan pengintegrasian kedua pengetahuan itu harus dimulai dengan membangun kembali filsafat pengetahuan dalam Islam, dan juga mengintegrasikan sistem pendidikan. Orang Islam harus segera menyadari bahwa tradisi aslinya telah dikacau oleh tradisi barat yang memang memisahkan pengetahuan yang diwahyukan dari pengetahuan yang diperoleh (Ahmad Tafsir, 1997: 18).

Klasifikasi ilmu juga disandarkan pada perbedaan sumber ilmu. Abd al-Fath Jalal menyebutkan ada dua sumber ilmu; pertama Bashariyyah (sumber manusiawi). Sumber ini dapat dicapai manusia lewat berbagai jalan diantaranya ialah taqlid (meniru) seperti pada peristiwa putra adam setelah membunuh saudaranya, ia tidak mampu menguburnya, kemudian ia meniru prilaku seekor burung gagak. Kedua Ilahiyah (sumber ilahi). Kebanyakan ayat Al-Qur’an menyatakan, bahwa ilmu itu (ilmu shari’at dan agama) bersumber dari Allah swt (Abd Fath Jalal, 1988: 150).



2) Integrasi ilmu

Menurut Suprayogo beberapa tahun terakhir ini sebenarnya telah lahir kesadaran baru dikalangan umat, bahwa tidak layak lagi melakukan klasifikasi terhadap ilmu sebagaimana terjadi sekarang ini. Disadari dengan klasifikasi itu akan melahirkan kesan bahwa lingkup ajaran Islam menjadi sempit dan terbatas, tetapi tampaknya belum ditemukan jalan keluar yang efektif untuk memperoleh wawasan baru (Imam Suprayogo, 1999: 69). Arah tawarannya adalah dengan mempertemukan dua arus besar keilmuan dikotomis tersebut. Lalu bagaimana format ideal sintesa atau integrasi pendi­dikan yang sesuai dengan jiwa Islam?

Pertanyaan mendasar yang perlu dikemukakan menurut Soetandyo Wigjosoebroto adalah bagaimana model integrasi ilmu yang dikehendaki itu? Mengingat ilmu dan atau kajian agama sulit dibilang kedalam kerabat sains. Ilmu agama adalah ilmu normative yang tekstual mengandalkan kerja penalaran yang deduktif dengan premis awal yang diyakini kebenaran subtantifnya. Sementara sains mendasarkan diri pada silogisme dengan premis mayor yang kebenarannya masih harus diragukan dan karena itu harus diuji terlebih dahulu lewat proses eksperimentasi yang mengandalkan cara kerja indukftif (Soetandyo Wignyosoebroto dalam M. Zainuddin, 2004: 46).

Mensikapi klasifikasi ilmu tersebut, maka Wignyosoebroto memberikan beberapa alternatif filosofis kemungkinan model pengintegrasian. Pertama: dengan menyatukan atau mensenyawakan. Menurutnya apakah ini mungkin, karena akan berkonsekuensi pada pemikiran untuk menggantikan paradigma epistemologisnya, dari apa yang disebut metode dualisme ke metode monisme. Kedua: dengan mempersatukan ilmu agama yang normatif-tekstual yang berkenaan dengan segala fenomena dengan ilmu pengetahuan yang saintifik-kontekstual yang hanya berkenaan dengan segala fenomena empirik. Ketiga: menempatkan ilmu agama yang normatif dan ilmu pengetahuan yang bertradisi sains itu tetap dalam ranah masing-masing yang otonom, sebagai dua wujud yang ditempatkan dalam suatu garis progresi secara terpisah, namun dalam hubungan antara keduanya yang fungsional dan komplementer (Soetandyo Wignyosoebroto dalam M. Zainuddin, 2004: 46).

3) Islamisasi ilmu

Bersamaan dengan problem dikotomi tersebut muncul pula perbincangan tentang Islamisasi ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya ilmu pendidikan, sebagai respon terhadap kriris pendidikan dan ilmu pengetahuan yang sedang diderita oleh umat Islam. Berkenaan dengan Islamization of Knowledge menurut A. Qadri Azizi meskipun tidak berangat dari epistemologi Islam, tetapi diadopsi dari ilmu-ilmu skuler yang kemudian dikembangkan diharapan akan dapat menutupi yang kurang atau mengevaluasi yang tidak pas (A. Qadri azizi dalam M. Zainuddin, 2004: 4). Gagasan Islamisasi Pengetahuan ini telah muncul pada saat diselenggarakan sebuah Konferensi Dunia yang pertama tentang Pendidikan Muslim di Mekah pada tahun 1977.

Al-‘Attas menyatakan bahwa tantangan terbesar yang secara diam-diam dihadapi oleh umat Islam pada zaman ini adalah tantan­gan pengetahuan, bukan dalam bentuk sebagai kebodohan, tetapi pengetahuan yang difahamkan dan disebarkan ke seluruh dunia oleh peradaban Barat. Sistem pendidikan Islam telah dicetak di dalam sebuah karikatur Barat, sehingga ia dipandang sebagai inti malaise atau penderitaan yang dialami umat (Sayyid Muhammad Naquib Al-‘Attas, 1981: 195).

Konsekwensi dari gagasan Islamisasi ilmu tersebut menimbulkan permasalah, bagaimana model Islamisasi itu dan dimulai dari mana? Al-Faruqi sebagaimana dikutip Husni Rahim mengusulkan satu kerangka kerja Islamisasi ilmu pengetahuan yang terdiri dari 12 langkah operasional, mulai dari penguasaan disiplin ilmu sampai dengan penyebaran ilmu pengetahuan yang sudah terIslamkan (Husni Rahim dalam M. Zainuddin, 2004: 54). Dengan merujuk pada Muhammad ‘Afif ia juga menguraikan dua model pendekatan Islamisasi yaitu dengan stratificasion: dimulai dari peristiwa kogkrit menuju abstrak, dan Idealization: dimulai dari yang umum dan abstrak menuju yang kongkrit (Husni Rahim dalam M. Zainuddin, 2004: 54).

Rahim sendiri mengusulkan tiga model Islamisasi ilmu, (1) pada tataran yang sederhana dengan mencarikan doktrin-doktrin agama yang relevan dari Al-Qur’an dan al-Hadith, (2) tataran signifikan dengan membangun basis-basis keIslaman yang tangguh untuk semua disiplin ilmu (Islamization of disciplines), (3) tataran fundamental dengan membangun kerangka filosofis ilmu pengetahuan secara Islami, karena filosofis ilmu pengetahuan moderen tidak untuk menampung prinsip kosmologi Islam yang tidak terbatas pada dunia empiric (Husni Rahim dalam M. Zainuddin, 2004: 54).

Namun demikian, di kalangan cendekiawan muslim agaknya masih terdapat sikap pro dan kontra terhadap Islamisasi Pengetahuan, yang masing-masing pihak memiliki alasan-alasan yang cukup mendasar. Pihak yang pro berargumentasi, bahwa: (1) umat Islam membutuhkan sebuah sistem sains untuk memenu­hi kebutuhan-kebutuhan mereka baik materiil maupun spiritual, sedangkan sistem sains yang ada kini belum mampu memenu­hi kebutuhan-kebutuhan tersebut, karena sistem sains ini banyak mengandung nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam; (2) kenyataan membuktikan bahwa sains modern telah menimbulkan ancaman-ancaman bagi kelangsungan dan kehidupan umat manusia dan lingkungannya; dan (3) umat Islam pernah memiliki suatu peradaban Islami, yaitu sains berkembang sesuai dengan nilai-nilai dan kebutuhan umat, sehingga untuk menciptakan kembali sains Islam dalam peradaban yang Islami perlu dilakukan Islamisasi sains.

Sedangkan pihak yang kontra berargumentasi bahwa dilihat dari segi historis, perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di Barat saat ini banyak diilhami oleh para ulama Islam yang ditransformasikan terutama pada "masa keemasan Islam", sehingga mereka banyak berhutang budi terhadap ilmuwan muslim. Karena itu, jika umat Islam hendak meraih kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan tekonologi, maka perlu melakukan transformasi besar-besaran dari Barat tanpa ada rasa curiga, walaupun harus selalu waspada. Iptek adalah netral bergantung kepada pembawa dan pengembangnya. Karena itulah Islamisasi ilmu pengetahuan tidak begitu penting, tetapi yang lebih penting justru Islamisasi subyek atau pembawa dan pengembang iptek itu sendiri.

Adanya dualisme tersebut, menurut Ma'arif, juga tidak bisa dilepaskan dari pengaruh pemikiran pendidikan Islam warisan dari periode klasik. Diterimanya dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum adalah diantara indikasi kerapuhan dasar filosofis pendidikan Islam pada saat itu (A. Syafii Ma'arif, 1993: 144). Karena itu, secara filosofis pendidikan Islam harus melakukan pembaharuan untuk menumbangkan konsep dikotomik tersebut secara mendasar. Sikap dikotomis ini mengkatagorikan ilmu agama menduduki posisi fardu 'ain, dan ilmu-ilmu sekuler paling tinggi berada pada posisi fardu kifayah. Jika dualisme dikotomik tersebut berhasil ditumbangkan, maka sistem pendidikan Islam akan berubah secara keseluruhan mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.



E. Metodologi penelitian

1. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif-kualitatif, artinya peneliti akan mendeskripsikan hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang telah ditetapkan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Karena itu, dalam penelitian ini, peneliti akan menyelesaikan penelitian dengan cara menempuh prosesur-prosedur yang ditetapkan dalam penelitian kualitiatif. Dikatakan demikian karena penelitian ini memiliki karakteristik penelitian kualitatif sesuai dengan pendapat Bogdan dan Biklen (1982) yang mengatakan bahwa penelitian kulalitatif memiliki ciri-ciri: (1) menggunakan setting alamiah sebagai sumber data dan peneliti sebagai instrument inti (2) bersifat deskriptif, (3) lebih mementingkan proses daripada hasil, (4) menganalisis data secara induktif, dan (5) makna menjadi perhatian utama.

2. Obyek Penelitian.

Penelitian ini merupakan penelitian Pustaka (literer). Obyek penelitian mengarah pada data normative dari Al-Qur’an dan Al-Hadis yang memuat pembahasan tentang ilmu.

3. Sumber Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa dokumentasi teks-teks Al-Qur’an dan Al-Hadis yang memuat pembahasan ilmu. Data yang dimaksud dihimpun melalui telaah kepustakaan (library research) yang diklasifikasikan atas sumber data primer dan sumber data skunder. 1) Sumber data primer. Data primer pada penelitian ini diperoleh dari sumber utama dan pertama ialah al-Qur’an dan Al-Hadis.Secara rinci data-data primer yang diperlukan berkaitan dengan pembahasan ilmu. 2) Sumber data skunder. Upaya memahami interpretasi makna pada data primer diperoleh dari sumber data skunder, berupa kitab-kitab tafsir al-Qur’an dan syarah (penjelasan) kitab Al-Hadis. Kitab tafsir yang digunakan meliputi tafsi>r bi al-ma’thu>r, tafsi>r bi al-ra’yi> dan berbagai tafsi>r bi al-‘ilmi>. Hal ini dilakukkan untuk memperoleh integralisasi pemahaman dari berbagai sudut pandang penafsiran. Demikian pula berbagai kitab syarag (penjelas) Al-Hadis.

4. Langkah Pengumpulan Data

Langkah yang ditempuh dalam penelitian ini merupakan adaptasi dari metode tafsir mawd}u’i> (Mus}t}afa Muslim, 1989: 37) dengan tafsir tah}li>li>, serta takhrij hadis. Langkah-langkah tersebut meliputi:

a. Menetapkan masalah yang akan dikaji, yaitu tentang permasalahan ilmu.

b. Menghimpun ayat dan hadis yang berkaitan dengan masalah yang sudah ditetapkan. Ayat dan hadis ini dihimpun dengan cara: Memasukkan entri kata memiliki keterkaitan dengan penjelasan ilmu -seperti: ‘allama (mengajarkan), ya’lamun (mereka mengetahui), ya’lamu (ia mengetahui), ‘alim (sangat tahu), al-‘aql, al-Albab, an-Nuha, al-Fiqh, al-Hikmah dan al-Fikr- kedalam program Maktabah syamilah (sebuah ensiklopedi quran dan hadis). Dari cara melacak ayat al-Qur’an dan Al-Hadis dari akar kata tertentu ini dapat diseleksi ayat-ayat maupun hadis-hadis yang memiliki relefansi dengan kontek interaksi pendidikan ilmu.

c. Menggali interpretasi ayat maupun takhrij hadis. Penafsiran ayat dilihat dari berbagai kitab tafsir dengan karakteristik tafsi>r bi al-ma’thu>r, tafsi>r bi al-ra’yi> dan berbagai tafsi>r bi al-‘ilmi>. Demikian pula penjelasan hadis dilihat dari berbagai syarah takhrij hadis. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh kelengkapan data tektual yang memperjelas historisitas ayat dan hadis tersebut.

d. Mencari sabab nuzu>l (ayat) dan atau sabab wurud (hadis) Langkah ini dilakukan melalui rujukan kitab luba>b al-Nuqu>l fi> asba>b al-nuzu>l karya Abd al-Rah}ma>n bin Abi Bakr bin Muh}ammad al-Sayu>t}i> Abu al-Fad}l dan kitab-kitab takhrij hadis.



5. Teknik Analisis Data

Data yang sudah terkumpul melalui langkah tersebut kemudian dianalisis dengan memasukkan perspektif dikotomi ilmu. Analisa dilakukan melalui teknik berikut:

a. Analisis makna (Mean Analysis). Teknik ini diterapkan untuk menganalisis makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an dan Al-Hadis. Analisis makna digunakan untuk membuat klasifikasi isi ayat-ayat dan hadis-hadis ilmu tersebut.

b. Analisis Bahasa (Linguistic Analysis). Hal ini dimaksudkan untuk mendukung analisis makna. Penggunaan analisis ini untuk mengetahui arti yang mendalam dari sesuatu kata (mufradat) dalam al-Qur’an, smaupun Al-Hadis, ehingga dapat dijadikan dasar untuk analisis lebih lanjut.

c. Analisis Konsep (Concep Analysis). Analisis konsep merupakan tindak lanjut dari analisis makna dan bahasa. Analisis konsep menekankan pada kata-kata kunci yang merepresentasikan main idea (ide/gagasan inti).

6. Teknik kesimpulan

Data yang telah dianalisis dengan teknik di atas, selanjutnya disimpulkan dengan mengunakan metode berfikir berikut:

a) Induksi; adalah cara berfikir dari yang khusus menuju yang umum, biasanya disebut dengan generalisasi (Anton Bakker, Ahmad Charris Zubair, 1992: 43). Metode induksi digunakan untuk generalisasi ayat-ayat yang memuat pendidikan anak, yang mana letaknya terpisah di berbagai surat. Hasilnya, merupakan identifikasi ayat-ayat yang memuat pendidikan anak dalam al-Qur’an. Identifikasi umum ayat-ayat pendidikan anak ini didasarkan atas prinsip induksi yang dibangun berdasarkan premis yang sudah diasumsikan kebenarannya. Premis ini menegaskan bahwa setiap ayat al-Qur’an bernilai pendidikan yang mana pendidikan anak termasuk di dalamnya.

b. Deduksi; ialah metode berfikir bertolak dari yang umum menuju yang khusus. Metode ini dimaksudkan untuk menerapkan perspektif epistemologi pendidikan anak yang secara spesifik ingin ditemukan dalam al-Qur’an. Metode deduksi lebih dominan digunakan karena fokus penelitian ini adalah nilai ajaran al-Qur’an yang sudah diyakini oleh umat Muslim sebagai sumber yang mutlak kebenarannya.



F. Daftar Kepustakaan



Al-‘Attas, Sayyid Muhammad Naquib. Islam dan Sekularisme. Bandung: Pustaka,1981.

al-Qardawi , Yusuf. Metode dan Etika Pengembangan Ilmu Perspektif Sunnah. ter. Hasan Bahri. Bandung: Rosda Karya, 1989.

Anton Bakker, Ahmad Charris Zubair. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisisus, 1992.

Azizi, A. Qadri. “Pengembangan UIN dan Integrasi Ilmu-Agama”. dalam Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam. ed. M. Zainuddin. Malang: UIN Pres, 2004.

Buchori. Mochtar. Pendidikan Islam di Indonesia: Problema Masa Kini dan Perspektif Masa Depan. dalam Islam Indonesia Menatap Masa Depan. Jakar­ta: P3M.. 1989.

Hadi, Samsul, et.al.. Konversi STAIN Malang Menjadi UIN. Yogyakarta: Aditya Media, 2004.

Husni Rahim. “ UIN dan Tantangan Meretas Dikhotomi Keilmuan”. dalam Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam. ed. M. Zainuddin. Malang: UIN Pres. 2004.

Jalal, Abd Fath. Azas-Azas Pendidikan Islam. ter. Herry Noer Ali. Bandung: Diponegoro, 1988.

Langgulung, Hasan. Kreativitas dan Pendidikan Islam Analisis Psikologi dan Falsafah. Jakarta: Pustaka Al-Husna. 1991.

___________. Asas-asas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1992.

Lembaga Penelitian IAIN Jakarta. Islam dan Pendidi­kan Nasional. Jakarta: IAIN. 1983.

Ma’arif, A. Syafi’i et. al.. Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991.

___________ Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1993.

Mastuhu. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS. 1999.

Muslim, Mus}t}afa. Maba>h}ith fi al-Tafsi>r al-Maud}u>’i> . Damaskus: Da>r al-Qalam, 1989.

Rahardjo, M. Dawam. Intelektual Inteligensia Dan Perilaku Politik Bangsa Risalah Cendekiawan Muslim. Bandung: Mizan. 1993. 430-442.

Suprayogo, Imam. . Reformulasi Visi Pendidikan Islam. Malang: STAIN Pres. 1999

Wignyosoebroto, Soetandyo. “ Perspektif Filsofis Integrasi Agama dan Sains”. dalam Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam. ed. M. Zainuddin . Malang: UIN Pres, 2004.

Zainuddin, M. et.al.. Memadu Sains dan Agama: Menuju Universitas Islam Masa Depan. Malang: Bayu Media. 2004.

0 komentar:

إرسال تعليق

Comment here

My Famly

About This Blog

My Activity

Blog Archive

  © Blogger template The Professional Template II by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP