Photobucket

Kebebasan, hak asasi manusia dan budaya Arab

الاثنين، ١٧ ربيع الآخر ١٤٣٠ هـ

oleh: Miftahul Huda

Isu kebebasan (freedom) dan Hak Asasi Manusia (HAM) seakan menjadi euforia dipenghunjung abat 20. Hal itu sekaligus menjadi ciri khas era globalisasi dan modernisasi yang ditunjang dengan upaya gencar westernisasi. Seakan benar terjadi gesekan budaya barat dan timur (clash culture) yang didukung beberapa fakta politik-keagamaan yang muncul dari budaya barat atas budaya timur khususnya timur tengah. Isu-isu penindasan, kebebasan bertindak dan terorisme diusung untuk membongkar budaya dan bahkan sistem perpolitikan di timur tengah; sebagaimana kasus penumbangan rezim Saddam Husein di Irak yang digalang oleh Amarika, kasus Palestina, Afganistan dll.
Dunia barat memetakan diri sebagai kawasan yang identik dengan kebebasan bahkan dalam segala hal termasuk beragama. Ekpresi kebebasan sosial muncul dalam pergaulan bebas free sex, guy, lesbi, homo, transseksual yang memberikan kebebasan seluas-luasnya sehingga masyarakat itulah yang mengatur sendiri kehidupannya. Dalam kontek keagamaan; agama muncul sebagai kelengkapan jati diri manusiawi dalam percaturan kehidupan global universal. Kebebasan memilih agama merupakan bagian asasi tetapi ekpresi beragama tidak boleh muncul dalam ruang publik. Penerapan keberagamaan menjadi otoritas kawasan pusat-pusat agama seperti gereja dan tempat sembahyang lainnya.
Satu dimensi sosial keberagaamaan secara umum terlihat paradok bila menengok kekawasan timur tengah dimana ekpresi kehidupan sosial kebanyakan berangkat dari simbol agama. Namun secara khusus juga ada kebebasan pada kawasan-kawasan yang pernah dijajah oleh dunia barat ataupun kawasan perbatasan dengan dunia barat; seperti Turki, Lebanon, Mesir, Yordan dll. Saudi Arabia sebagai “penguasa” legalitas agama Islam memiliki karakter, tradisi dan budaya yang rigid (kaku). Seakan sentuhan seni tidak menjamah pada aspek sosio-kultural dan keagamaannya. Bahkan dominasi lelaki dalam segala sektor riil kehidupan memiliki makna bias gender dan mengokohkan sebagai “negeri” para lelaki.
Sistem budaya patrilinial menjadi salah satu ciri khas yang mana mendasarkan garis kehidupan dan keturunan pada genetika laki-laki. Meskipun ini maklum aka tetapi pada sisi lain keberadaan wanita hanya dalam dunia yang sempit dan terbatas pada linkup rumah tangga. Nyaris kehidupan perempuan hanya bisa menikmati dunia luar rumah dengan agak bebas jika pada masa kanak-kanak dan masa belajar saja. Yaitu pada waktu masa sekolah tingkat dasar sampai menengah, bahkan sampai perguruan tinggi. Itupun sudah di pisahkan antara laki-laki dan perempuan mulai sekolah tingkat ibtidaiyah sampai jamiah. Sektor kehidupan lainya secara dikotomis telah memisahkan pelayanan laki-laki dan perempuan; misalnya penjahit khusus baju laki-laki atau perempuan, toko baju, sepatu bahkan masjid dan majlis taklim yang semuanya juga telah dipisahkan antara laki dan perempuan.
Selepas kehidupan fase belajar itu selanjutnya perempuan pada umumnya memasuki duni berumahtangga. Bayak permasalah disini muncul dalam masalah berumahtangga bagi perempuan; yaitu mulai dari mahalnya mahar perempuan sampai terlambatnya menikah. Perempuan pada umumnya menunggu saja calon laki-laki yang datang melamarnya dan keputusan untuk menerima lamaran itupun lagi-lagi harus seizin walinya. Ukuran setara (sekufu) dalam menerima jodoh menjadi prioritas. Maka tidak jarang permasalahan sentimen kesukuan dan bahkan kenegaraan menjadi penghalang atas jalinan cinta kasih kedua insan tersebut. Menjadi pantangan jika wanita Arab menikah dengan laki-laki non Arab dan tetapi tidak sebaliknya; yakni bisa terjadi laki-laki Arab menikah dengan non Arab.
Perempuan jika sudah menikah habislah dunianya tinggal seluas lingkup rumah tangga; yaitu arena kasur, dapur dan sumur. Untuk kepentingan rumahtangga mereka juga banyak menggunakan jasa pembantu rumahtangga yang siap melayani segala kebutuhan. Mulai mencuci pakaian, menyetrika, memasak, membersihkan rumah dan sebagainya. Dengan demikian kehadiran para TKW ini telah mengambil alih tugas ibu rumahtangga dalam hal urusan dapur dana sumur. Lalu yang tersisa tugas istri hanyalah arena kasur, itu saja yang tidak bisa diwakili. Dengan kata lain perempuan akan mengakhiri separo kehidupannya dalam masa reproduksi dalam lingkup keluarga beserta membesarkan anak-anaknya. Untuk urusan terakhir inipula para pembantu mengambil alih tugasnya.
Identifikasi permasalahan di ata sebenarnya berkisar pada status identitas perempuan di tengah kehidupan. Diskriminasi yang sistematis terhadap perempuan Saudi menyangkal perempuan atas akses yang setara atas pekerjaan, perawatan kesehatan, partisipasi publik, persamaan kedudukan di muka hukum, dan sejumlah hak lainnya. Perserikatan Bangsa-bangsa menempatkan Arab Saudi sebagai negara ke 92 dari 93 negara yang dievaluasi dalam hal pemberdayaan jender-sebuah indikator yang ditentukan dengan partisipasi perempuan dalam kehidupan ekonomi dan politik. Status perempuan Saudi yang rendah dan tidak setara mempengaruhi hak perempuan migran dan perlakuan terhadap pekerja rumah tangga. Pemisahan jender yang tegas memperburuk pengisolasian dan pengurungan mereka di tempat kerja (http://www.hrw.org/ar/node/80940/section/4).
Kebijakan pemerintah Saudi dan praktik sosial sangat membatasi hak perempuan dengan mewajibkan perempuan dewasa memperoleh ijin dari pendamping laki-laki untuk bekerja, melakukan perjalanan, belajar, menikah, memperoleh perawatan kesehatan, atau akses atas layanan publik lainnya. Pemerintah, lembaga keagamaan, dan masyarakat memperlakukan perempuan sebagai anak-anak di mata hukum dan memberlakukan banyak sekali kontrol atas kehidupan dan aktifitas sehari-hari perempuan. Pemerintah menerapkan pemisahan jender yang ketat, termasuk melalui mutawwa' (polisi agama). Sebagian besar kantor, restoran, pusat belanja, dan rumah pribadi mempertahankan adanya ruang terpisah untuk laki-laki dan perempuan.
Perempuan Saudi menghadapi hambatan untuk memperoleh penanganan melalui sistem hukum pidana. Dengan pemberlakuan aturan pemisahan berdasarkan jenis kelamin, perempuan Saudi sering merasa ragu untuk pergi ke kantor polisi karena semua polisi adalah laki-laki. Arab Saudi mengkriminalkan kontak antara individu berjenis kelamin yang berbeda yang belum menikah, meletakkan korban perkosaan pada resiko diadili karena "berkumpul secara tidak sah" atau hubungan seksual di luar perkawinan yang terlarang jika mereka tidak dapat memenuhi standar bukti yang kaku sebagai pembuktian perkosaan.
Permasalahan lainya tidak akan ditemui apa yang disebut dengan wanita karir. Tidak ada wanita menyopir kendaraan, menjadi pilot ataupun bekerja di kantor maupun sektor lainya. Di jalan, di pasar, di pelayanan umum hampir semuanya didominasi oleh laki-laki. Kalaupun dijumpai ada peremupuan itupun bisa dipastikan orang ajam yang sedang beraktifitas ataupun orang Saudi tapi dengan mahram ataupun keluarganya. Dalam skala kerajaan sekalipun tidak dikenal ada istilah ibu suri ataupun ibu ratu. Sampai tingkat inilah akar budaya patriarki menjadi sebuah simbul kekuatan budaya dan agama. Entah sampai kapan ideologi seperti ini mengkristal dalam kesejukan ditengah panasnya isu kebebasan dan HAM yang sedang bergulir di tengah perubahan dunia.
Menurut Abdullah Almutairi (dalam majalah Alwathan 20-07-2008) di seluruh dunia, termasuk negara-negara Arab, banyak berbicara tentang hak asasi manusia dan kebebasan, konsep warga sipil (swasta), konsep kewarganegaraan dan konsep negara. Munculah berbagai pakar kebebasan termasuk organisasinya, lembaga advokasi untuk masalah-masalah HAM dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berusaha untuk mengkawal freedom of human righ.
Untuk fenomena Saudi Arabia lembaga-lembaga tersebut bekerja dalam suasana “gerah” dan lebih terlihat formalitas. Hal ini terlihat di banyak negara-negara Arab tampak mencurigai pemahaman kebebasan dan HAM yang mana jika diterapakan dapat mengancam keamanan nasional dan persatuan nasional. Oleh karena itu justru memperketat keamanan dari tindakan subversi dan tidak segan-segan melakukan penangkapan dan tekanan kepada siapa saja yang bernada menyuarakan kebebasan dan HAM. Dari perspektif politik dan budaya justru kebebasan dan HAM difahami sebagai agen propaganda Amerika dan Barat pada umumnya serta proyek dari Zionist.
Para ulama menanggapi masalah kebabasan dan HAM itu sebagai proyek besar dunia Barat untuk mendapatkan pekerjaan dalam rangka transformasi budaya mereka ke negara Islam; mereka akan berupaya menggugat hegemoni dan dominasi agama dalam praktek peradaban manusia. Dengan kata lain inilah cara mereka untuk memisahkan manusia baragama dari agama dan kepercayaan mereka. Oleh karenanya para ulama selalu mengingatkan bahaya gerakan tersebut dengan mengidentikkan dari gerakan orang kafir dan zindiq. Selain upaya profan seperti itu mereka juga mempengaruhi para wakil rakyat yang duduk dalam parlemen dan majlis syuro untuk mendukung gerakan mereka temasuk membela hak-hak perempuan dalam kancah sosial dan politik.
Fenomena di atas inilah yang sedang gencar dipropagandakan keseluruh penjuru dunia. Realisasi kebebasan dan HAM di Saudi Arabia masih sangat minim dalam segala tingkatannya; baik itu dalam pendidikan, kesehatan, kesetaraan gender, keadilan, partisipasi politik, ekperesi publik dll. Justru hal seperti ini merupakan fenomena sangat alami dan normal. Sejauh manakah jurang pemisah antara pemaknaan kebabasan dan HAM yang sedang gencar disuarakan Barat dengan realitas kehidupan ini?
Kerajaan Saudi Arabia (KSA) dalam segala urusan kehidupan mengambil petunjuk dari manhaj yang lurus yang telah ditentukan oleh Al-Qur`an Al-Karim dan Sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Dan sesuai dengan hal itu Kerajaan melindungi hak-hak setiap warga negara dan penduduk baik muslim maupun non-muslim, laki-laki maupun wanita, serta menjamin bagi mereka kehidupan yang mulia. KSA telah mengikuti berbagai macam sarana untuk mewujudkan kemuliaan manusia, yang paling utama dalam hal ini ialah berhukumnya KSA kepada syari’at Allah. Dalam berbagai pidato serta pertemuan resmi dan kerakyatan, Raja menegaskan tentang perhatiannya terhadap perlindungan atas hak-hak warga negara dan penduduk.
Selain hal di atas, Raja dan Putera Mahkota serta para Gubernur setiap minggu menerima rombongan tamu dari warga negara dan penduduk dalam suasana penuh keterbukaan, mereka pun dapat menyampaikan pengaduan dan perlakuan sewenang-wenang atas diri mereka. Sementara lembaga pemerintah yang berkompeten melakukan perlindungan atas hak-hak ini. Juga terdapat "Komisi Nasional untuk Hak-hak Asasi Manusia" yang didirikan dan bergabung dalam keanggotaannya sekelompok aktivis Saudi dalam bidang hak asasi manusia. Negara juga mendirikan “Lembaga Hak-hak Asasi Manusia” yang diketuai oleh seorang pejabat setingkat menteri, dan dibawahi langsung oleh Raja (hak asasi manusia: http://www.mofa.gov.sa)
Penerapan dan pemaknaan kebebasan serta HAM di Saudi tampaknya berbeda dengan perspektif Barat yang sedang bergulir. Meskipun ada lembaga HAM namun penerapannya di Saudi tampaknya hanya sebatas formalitas dan lebih pada usaha memonetor kesenjangan sosial di negara tersebut. Dengan sistem monarki Saudi mewajibkan warga negaranya mengedepankan kepatuhan dan militansi yang tinggi kepada raja sebagai simbul penguasa negara. Militansi yang dituntut kepada warganya memang sebanding dengan pelayanan jasa yang diberikan negara. Dalam hal ini negara sangat memperhatikan kesejahteraan warganya. Misalnya dibangunlah untuk kepentingan warganya sarana tranportasi, kebutuhan bahan pokok relatif murah, bahkan warga yang tidak memiliki kendaran bisa mendapatkannya dengan subsidi, demikian pula yang belum punya rumah dibuatkan rumah oleh negara, janda-janda mendapat santunan dan sebagainya. Dengan kata lain bahwa negara telah berlaku adil dan berupaya memeberikan nilai kehidupan warganya secara layak dan terhormat.
Pembelaan negara terhadap warganya itu tidak saja dalam aspek kesejahteraan ekonomi saja, tetapi juga pada tataran harga diri di mata hukum. Negara akan membela setiap warganya yang kebetulan tersankut masalah pidana. Kasus-kasus penganiayaan ataupun persengketaan lainya terhadap TKW/ TKI oleh sponsor/kafil/majikannya merupakan hal riil yang penyelesainya memuat bias kepentingan. Seolah membenarkan siapapun ahlulbalad yang kebetulan melakukan kesalahan dinegerinya sendiri dia akan mendapat proteksi hukum dan cenderung tetap menjadi ”tuan” dalam meja persidangan. Inilah yang disinyalir dalam sebuah artikel ”prioritas hak-hak warganegara” yang ditulis oleh Kholid Alfaram (majalah Ukadh 08-07-2008). Disini pula peran penting kantor pengadilan (diwanulmadhalim/ office of the ombudsman) untuk menangani sengketa pidana. Meskipun juga masih banyak warga yang belum mengetahui hak-haknya dimata hukum akibat minimnya sosialisasi negara kepada warganegaranya (Abduh Khol di majalah Ukadh 07-07-2008).
Perhatian negera terhadap warganya sedemikian tinggi, bahkan sampai perlindungan terhadap tanaman atau tumbuhan. Kalaulah dalam waktu haji dan umroh ada istilah haram mencabut tumbuhan atau menebangnya karena berada dilingkungan tanah haram, maka mirip seperti itulah aturannya. Telah diatur dalam undang-undang barang siapa menabrak pohon kurma atau pembatas jalan raya maka dikenakan denda ribuan riyal. Banyaknya denda itu masih juga tergantung pada jenis kurma yang ditabrak beserta usianya, demikian pula tergantung seberapa panjang marka jalan yang ditabrak (Amr Abdulaziz Almadhi: majalah Ukadh, 30-10-2008).
Pers dan kebebasan menyuarakan pendapat serta hak mendapatkan informasi juga sudah mengarah kepada reformasi radikal. Setidaknya mentri komunikasi dan informasi sudah menyetujui kebebasan mengekpresikan pendapat/ hurriyah atta’bir ( majalah Ukadh, 31-03-2009). Hal ini terjadi karena dibentuknya kementrian ini adalah dalam rangka memberi saluran ekpresi ide dan pendapat tentunya dengan kadar toleransi dan kontrol tidak seperti kebebasan yang diterapkan didunia lain. Beberapa tahun lalu ketika muncul globalisasi komunikasi, kepemilikan pArabola dan sejenisnya yang dapat mengakses informasi belahan dunia manapun mendapat kontrol yang ketat dari pihak negara. Pada gilirannya kebebasan warga untuk mengakses layanan internet juga merupakan sebuah kebebasan baru. Meskipun demikian tidak lepas dari sensor dan blokir terhadap situs-situs yang membahayakan peradaban, negara dan akidah Islam dibawah kawalan kementrian menkominfo.
Paparan di atas menggiring pada poin-poin pemahaman sebagai berikut; pertama: isu kebebasan dan HAM yang dimotori oleh Amerika telah merambah ke Timur Tengah termasuk di Kerajaan Saudi Arabia, kedua: penerapan kebabasan dan HAM di KSA setapak demi setapak mengarah pada keterbukaan meskipun dengan kawalan yang ketat dari negara, ketiga: kuatnya sistem kerajaan dan kokohnya pemberlakuan syariat Islam memposisikan KSA pada stereo type sebagai negara yang ”rigid” dan proletar, keempat: kejumudan penerapan HAM di KSA menjadi sorotan dunia yang menyuarakan kebabasan dan HAM itu sendiri (Amerika dan kroninya), meskipun masih ”sungkan” untuk mendobraknya karena faktor jalinan faktor politis.

0 komentar:

إرسال تعليق

Comment here

My Famly

About This Blog

My Activity

Blog Archive

  © Blogger template The Professional Template II by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP