Photobucket

Pesantren perguruan tinggi berbasis Kultural: studi kasus ISID Gontor dan Ma’had Ali UIN Malang (LEMLIT UIN Malang 2006).

الأربعاء، ١٩ ربيع الآخر ١٤٣٠ هـ

Pesantren perguruan tinggi berbasis Kultural: studi kasus ISID Gontor dan Ma’had Ali UIN Malang (LEMLIT UIN Malang 2006).
Oleh : Miftahul Huda


DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar belakang masalah
2. Pembatasan dan rumusan masalah
3. Tujuan penelitian dan manfaat penelitian
4. Landasan teori
5. Metode penelitian
6. Sistematika pembahasan.

BAB II LANDASAN TEORI
1. Dinamika pesantren
2. Pengertian dan Ciri-ciri Islam Kultural
3. Pengalaman Islam Kultural
4. Membangun Kultur Pesantren di Perguruan Tinggi

BAB III METODE
1. Metode dan pendekatan
2. Subyek penelitian
3. Obyek penelitian
4. Data dan sumber data
5. Teknik pengumpulan data
6. Teknik analisis data.


BAB IV DISKRIPSI OBYEK PENELITIAN
1. ISID Gontor Ponorogo.
a. Latar belakang pendirian
b. Visi-misi pesantren
c. Keorganisasian
d. Kegiatan akademik – keagamaan
e. Kegiatan akademik – profesi
f. Sarana dan prasarana
g. Tata tertib
2. Ma’had Ali UIN Malang
a. Latar belakang pendirian
b. Visi-misi pesantren
c. Keorganisasian
d. Kegiatan akademik-keagamaan
e. Kegiatan akademik-profesi
f. Sarana dan prasarana
g. Tata tertib


BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Bentuk hubungan antara kampus dan pesantren dalam kerangka pengembangan Perguruan Tinggi Agama Islam berbasis cultural
2. Model kegiatan pendidikan keagamaan
3. Model kegiatan profesi di Perguruan Tinggi Islam yang berbasis cultural
4. Manfaat bagi pengelola atas Perguruan Tinggi Islam yang berbasis cultural
5. Manfaat bagi mahasiswa Perguruan Tinggi Islam yang berbasis cultural
6. Kendala pengembangan pesantren dan perguruan tinggi yang berbasis cultural

BAB VI PENUTUP.
1. Kesimpulan
2. Saran.

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

MODEL PENGEMBANGAN PERGURUAN TINGGI ISLAM
BERBASIS KULTURAL DI JAWA TIMUR
(Studi Pengembangan Perguruan Tinggi Islam dan Pesantren di UIN Malang dan ISID Gontor Ponorogo)

Abstrak: Banyak kalangan menilai bahwa akhir-akhir ini, Perguruan Tinggi Agama Islam, baik negeri maupun swasta, telah gagal dalam mengembangkan visi dan misinya, untuk menjadikan manusia intelek yang ulama' dan ulama yang intelek. Bahkan PTAI telah dianggap kehilangan watak dasar dan watak kulturalnya hingga berubah menjadi agen untuk "membaratkan" pemikiran para mahasiswanya, sehingga keagamaan mereka dirasa kering dan tidak membumi. Namun di balik semua itu, ada beberapa PTAI yang berani mengubah arah pengembangan, dengan bertajuk "cultural" sebagai trade marknya. Penelitian ini betujuan untuk menjelaskan model pengembangan PTAI yang berbasil kultaral ini dari sisi integrasi, manajerial, kurikulum dan kegiatan-kegiatannya secara umum. Obyek penelitian ini adalah UIN Malang dan ISID Gontor, yang dianggap peneliti, mampu mewakili model Pendidikan Tinggi yang bercorak cultural. Penelitian ini dirasa penting dilakukan untuk mengetahui perkembangan dunia pesantren di Indonesia di satu sisi dan di sisi lain, sebagai salah satu alternative untuk mengembangkan Perguruan Tinggi Agama Islam yang ideal di masa mendatang.


BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Akhir-akhir ini, Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia, baik negeri maupun swasta, sedang menggeliat. Banyak rumor yang muncul belakangan bahwa Perguruan Tinggi Agama Islam tidak lagi mampu memenuhi tuntutan masyarakat Indonesia, untuk menciptakan lulusan yang intelek tetapi memiliki wawasan keagamaan yang luas atau sebaliknya lulusan yang ulama tetapi juga intelek, atau yang sering disebut dengan jargon "ulama yang intelek dan intelek yang ulama', sebagaimana yang dicita-citakan oleh para pendiri PTAIN. Tuduhan semacam itu, dapat kita saksikan dan kita baca dari buku-buku dan mass media-mass media lainnya yang terbit belakangan ini. Munculnya buku yang berjudul "Ada Pemurtadan di IAIN" yang ditulis oleh Hartono Jaiz dan diterbitkan oleh Pustaka Al-Kautsar Jakarta pada tahun 2005, sempat menggegerkan PTAIN di Indonesia, utamanya di Jakarta dan Yogyakarta. Karena berdasarkan pemaparan buku tersebut bahwa IAIN dan kawan-kawannya, yang dulu menjadi tumpuan harapan bagi masyarakat Indonesia untuk melakukan dakwah agama dan sekaligus menjadi ting-tangnya segala permasalahan keagamaan di Indonesia, telah berubah Arah, yaitu dari dakwah keislaman kepada pemurtadan. Demikian itu menurut mereka, karena PTAIN di Indonesia, tidak lagi menjadikan kampus sebagai sarana untuk mendidik akhlak dan prilaku yang baik, tetapi hanya dijadikan sebagai sarana untuk mengasah otak belaka. Sebagai akibatnya, masalah-masalah keagamaan hanya dijadikan sebagai wacana yang selalu didiskusikan dan dibicarakan, tetapi tidak diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan lebih dari itu, banyak di antara mahasiswa dan lulusan PTAIN yang tidak mau shalat dan enggan menjalankan syariat Islam. Di samping itu, pemikiran Islam liberal yang belakangan ini sedang naik daun itu, dijadikan sebagai "trend pemikiran" utama di kampus-kampus itu, sehingga banyak kalangan menilai bahwa PTAIN telah kehilangan "sifat dasar"nya dan berubah menjadi agen Barat untuk "membaratkan" pemikiran para lulusannya. Karena itu pula, banyak pengamat menilai bahwa PTAIN di Indonesia, telah kehilangan watak kulturalnya, yang di samping memperhatikan aspek-aspek kognitif-intelektual, juga memperhatikan aspek-aspek afektif, psikomotorik dan spiritual. Karena itu, kelompok garis keras dan aliran kanan menilai, bahwa sebagian PTAI di Indonesia telah gagal dalam mengembangkan visi dan misi Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia.
Berbeda dari "trend pemikiran modern" yang menggejala di PTAI itu, ada beberapa perguruan tinggi Islam, yang berani menawarkan warna lain sebagai "trade mark"nya. Mereka tidak mau ikut-ikutan dalam "trend global" di PTAI itu, tetapi memilih jalan lain yang dulunya dianggap tidak lazim dalam pengembangan perguruan tinggi di Indonesia. Mereka menilai bahwa lulusan PTAI adalah calon-calon pemimpin masyarakat Indonesia ke depan dan menjadi panutan masyarakat secara luas, utamanya di bidang keagamaan. Masyarakat tidak akan bertanya "dia lulusan apa", tetapi yang mereka tahu bahwa dia adalah lulusan PTAI, yang notabennya ahli dalam bidang keagamaan, meskipun sebenarnya dia sarjana biologi, matematika bahasa dan sebagainya. Mengingat masalah ini, maka mereka menilai bahwa lulusan PTAI harus memiliki dua kemampuan yang seimbang, yaitu keagamaan dan keilmuan professional. Untuk mematangkan aspek keilmuan dan profesionalitas, biasanya perguruan tinggi menggodoknya lewat jalur perkuliahan di fakultas masing-masing. Sedangkan untuk menggodok aspek keagamaan dan spriritualitas, mereka tidak cukup waktu untuk melakukannya di bangku kuliah. Karena itu menurut mereka, perlu ada sarana lain di luar perkuliahan regular yang harus ditangani oleh PTAI untuk menggodok aspek keagamaan dan spiritualitas mahasiswa itu, sehingga mereka membangun Pondok Pesantren Mahasiswa sebagai jalan keluarnya. Menurut mereka kegagalan PTAI di Indonesia dalam mendidik spiritualitas mahasiswa adalah karena mereka tidak memiliki sarana yang memadai untuk belajar, mengkaji dan mengamalkan aspek-aspek keagamaan tersebut, sehingga wawasan keagamaan mereka kering dan rentan untuk diombang-ambingkan oleh gelombang pemikiran yang lebih besar. Menurut mereka, pondok pesantren adalah laboratorium yang berbasis cultural bagi mahasiswa, sehingga keberadaannya adalah sesuatu yang niscaya, karena belajar agama tanpa dibarengi dengan basis cultural itu, seperti belajar ilmu eksak tanpa laboratorium, sehingga bagi PTAI, adanya pondok pesantren adalah sebuah keharusan.
Di antara Perguruan Tinggi Agama Islam yang menyelenggarakan model pengembangan kampus yang berbasis cultural ini adalah Universitas Islam Negeri Malang dan Institut Studi Islam Darussalam Gontor Ponorogo. UIN Malang membuka Pondok Pesantren Mahasiswa sejak tahun 1998, yang mana seluruh mahasiswa baru, dari jurusan apapun, diwajibkan untuk masuk pondok minimal satu tahun penuh untuk belajar agama, ibadah dan bahasa Arab. Sedangkan ISID Gontor Pononogo telah membuka Pesantren Mahasiswa sejak tahun 1995, yang mana seluruh mahasiswa wajib tinggal di asrama pondok selama masa perkuliahan. Yang menjadi pertanyaan lebih lanjut adalah bagaimanakah model pengembangan kampus berbasis cultural ini dilaksanakan? Menurut hemat peneliti, masalah ini sangat urgen untuk diteliti, mengingat PTAI di Indonesia saat ini, sedang giat-giatnya melakukan pengembangan kampus ke depan, sementara itu, banyak di antara mereka yang tidak tahu ke arah mana layar kampus harus dikibarkan. Dengan penelitian ini diharapkan bisa memberikan alternative bagi pengembang perguruan tinggi, sebagai salah satu model pengembangan PTAI di Indonesia di masa mendatang.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah bentuk hubungan antara kampus dan pesantren dalam kerangka pengembangan Perguruan Tinggi Agama Islam berbasis cultural?
2. Bagaimanakah model kegiatan pendidikan keagamaan dan profesi yang dilaksanakan di Perguruan Tinggi Islam yang berbasis cultural tersebut?
3. Manfaat apa yang dirasakan oleh para pengelola dan mahasiswa dengan adanya model perguruan tinggi berbasis cultural itu?
4. Kendala-kendala apa yang dihadapi oleh pesantren dan perguruan tinggi yang berbasis cultural ini?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk hubungan antara kampus dan pesantren dalam kerangka pengembangan Perguruan Tinggi Agama Islam berbasis cultural secara umum. Di samping itu juga untuk mengetahui model kegiatan pendidikan keagamaan dan profesi yang dilaksanakan di dalamnya. Mengetahui manfaat yang dirasakan oleh para pengelola dan mahasiswa dengan adanya model kegiatan tersebut, serta mengetahui kendala-kendala yang dihadapi oleh pesantren dan kampus dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan kepada masyarakat, baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis diharapkan, hasil penelitian ini dapat menyumbangkan temuan baru tentang model pengembangan Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia dan memperluas wawasan kita tentang dunia perguruan tinggi dan pesantren. Sedangkan secara praktis diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan bagi para aktivis, ilmuwan, para pejabat kampus dan berbagai pihak lain yang berwenang dalam mengembangkan perguruan tinggi Islam di Indonesia. Diharapkan pula, temuan penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu masukan untuk menentukan kebijakan bagi pengembangan PTAIN di masa mendatang.

E. Sistematika Pembahasan
BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab ini dijelaskan latar belakang masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
BAB II DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN. Dalam bab ini akan dijelaskan tentang latar belakang pendirian pesantren-kampus, keorganisasian, pendiri, vivi-misi pesantren, kegiatan-kegiatannya dan sebagainya yang ada di UIN Malang dan ISID Gontor Ponorogo.
BAB III METODE PENELITIAN. Dalam bab ini dikemukakan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini. Metode tersebut terdiri dari pendekatan, subyek penelitian, obyek penelitian, data dan sumber data, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Dalam bab ini dipaparkan hasil-hasil temuan yang meliputi (1) Bagaimanakah bentuk hubungan antara kampus dan pesantren dalam kerangka pengembangan Perguruan Tinggi Agama Islam berbasis cultural (2) Bagaimanakah model kegiatan pendidikan keagamaan dan profesi yang dilaksanakan di Perguruan Tinggi Islam yang berbasis cultural tersebut (3) Manfaat apa yang dirasakan oleh para pengelola dan mahasiswa dengan adanya model perguruan tinggi berbasis cultural itu (4) Kendala-kendala apa yang dihadapi oleh pesantren dan perguruan tinggi yang berbasis cultural ini.
BAB V PENUTUP. Dalam bab penutup dikemukakan kesimpulan akhir penelitian ini dan diajukan beberapa saran.


BAB II LANDASAN TEORI
1. Dinamika pesantren
Zamakhsyari Dhofir (1982) dalam penelitiannya tentang tradisi pesantren menemukan bahwa pesantren memiliki tradisi yang khas yang tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan di luar pesantren. Tradisi-tradisi itu diwariskan dari generasi ke generasi untuk menjaga kelangsungan hidup pesantren itu dari waktu ke waktu. Dalam tradisi pesantren bahwa santri dating ke pesantren dengan niat menuntut ilmu kepada kyai. Setelah itu kyai dengan sukarela menerima santri itu untuk belajar kepadanya. Karena jumlah santri semakin banyak, akhirnya mereka membuat bilik-bilik sendiri sebagai tempat tinggal mereka, hingga muncullah banyak bilik-bilik yang mengelilingi rumah kyai. Menurut Dhofir, karena tradisi itulah pesantren memiliki langkah-langkah positif dan progresif dalam melakukan transformasi social di tingkat dasar.
Sementara itu, Nurcholish Madjid (1997) menemukan bahwa lembaga pendidikan tertua yang memiliki konstentrasi dalam bidang pengajaran ilmu keislaman klasik seperti nahwu, shorof, fikih, aqidah, akhlak, tasawuf dan sebagainya. Pesantren memiliki ciri tersendiri yang spesifik, baik dari kyai sebagai sentral figurnya, santri sebgai muridnya, kurikulum, tradisi maupun masjid sebagai pusat kegiatannya. Berbagai cirri khas inilah yang menjadikannya mampu bertahan hinga kini, walaupun banyak pendidikan formal dengan berbagai polanya tumbuh berkembang di negeri ini. Hal ini karena pesantren didukung oleh metode-metode pendidikan yang tidak semata-mata bertujuan untuk transformasi ilmu pengetahuan, tetapi juga meningkatkan dan meninggikan moral, melatih dan mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, serta menyiapkan anak didik untuk hidup sederhana dan bersih hati.
Di sisi lain, Djubaidi (1999) juga melakukan penelitian tentang madrasah dan pesantren. Dalam hal ini dia menemukan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang inklusif sehingga memungkinkan dirinya untuk membuka madrasah atau sekolah-sekolah lainnya. Dengan demikian dunia pesantren sudah tidak lagi ekslusif dan dianggap pinggiran, tetapi justru dianggap sebagai salah satu alternative bagi pengembangan perguruan tinggi di masa mendatang.
Setelah itu muncullah sebuah istilah tentang "pesantren masuk kampus" dan "kampus masuk pesantren". Walaupun sebenarnya fenomena "pesantren masuk kampus" ini sudah mulai ada sejak tahun 90-an, akan tetapi, masih sangat jarang orang yang melihat secara serius tentang fenomena ini. Jarang sekali atau bahkan belum ada penelitian yang secara serius menjadikan fenomena "pesantren masuk kampus" atau "kampus masuk pesantren" ini sebagai obyek kajiannya. Karena itulah, penelitia melihat bahwa belum terlambat kiranya, jika peneliti tertarik untuk meneliti secara detail tentang pengelolaan kampus yang berbasis cultural pesantren ini, untuk memperluas wawasan kita tentang perkembangan pesantren dan kampus secara bersamaan.

2. Pengertian dan Ciri-ciri Islam Kultural
Kata cultural berasal dari bahasa Inggris, culture, yang berarti kesopanan, kebudayaan dan pemeliharaan (John M. Echols, 1979; 159). Teori lain mengatakan bahwa kata kultur berasal dari bahasa Latin "cultura" yang artinya memelihara, mengerjakan atau mengolah (Takdir Ali Syahbana, 1986; 205)
Sementara itu Koentjaraningrat membagi kebudayaan menjadi tiga wujud: (1) wujud ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai sesuatu yang komplek yang beruda ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. (2) wujud kelakuan, yaitu wujud kebudayaan sebagai aktivitas kelakukan berpola dari manusia dalam masyarakat dan (3) wujud benda, yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya (Koentjaraningrat, 1985; 5)
Dari beberapa teori definisi kebudayaan di atas dapat diketahui bahwa kebudayaan adalah segal bentuk hasil kreativitas manusia dengan menggunakan segala daya dan kemampuan yang dimilikinya dalam rangka mewujudkan kehidupannya yang sejahtera. Dengan demikian dilihat dari segi bentuknya, kebudayaan dapat mengambil bentuk halus seprti ilmu pengetahuan, kesenian dan filsafat, dan dapat pula mengambil bentuk yang kasar seperti gedung-gedung, istana benteng pertahanan, persenjataan atau peralatan perang dan sebagainya. Berbagai produk kebudayaan yang demikian selanjutnya mengambil bentuk pranata, yaitu aturan-aturan atau konsep-konsep tentang berbagai asepk kehidupan manusia yang dipilih dan digunakan sebagai alat untuk melakukan interaksi social.
Berbagai produk kebudayaan sebagaimana tersebut di atas selanjutnya digunakan untuk memahami agama Islam, sehingga pemahaman keislaman tersebut dipengaruhi oleh paham atau konsep kebudayaan tersebut. Pemahaman keislaman yang didasarkan atau dipengaruhi oleh pandangan kebudayaan yang demikian itulah yang selanjutnya dapat dikatakan sebagai Islam cultural.
Dalam agama Islam, antara agama dan kebudayaan, sungguhpun sumbernya berbeda, tetapi saling mempengaruhi. Islam bersumber dari wahyu, yaitu Al-Qur'an yang turun dari langint dan al-Hadits yang merupakan penjabaran dari Al-Qur'an (Harun Nasution, 1979; 141). Sebagai agama, Islam adalah sesuatu yang dating dari Tuhan untuk menjadi pedoman manusia dalam mencapai kesejahteraan duniawi dan kebahagiaan ukhrawi. Sedangkan kebudayaan adalah semua produk aktivitas intelektual manusia untuk memperoleh kesejahteraan kehidupan duniawi (Nouruzzaman, 1996; 258)
Namun demikian, walaupun antara agama (Islam) dan kebudayaan memiliki identitas sendiri-sendiri, namun antara keduanya bertaut berkelit-kelindan dan saling mempengaruhi. Corak dan warna kebudayaan dipengaruhi oleh agama dan sebaliknya, pemahaman agama dipengaruhi pula oleh tingkat kebudayaan. Hal ini sejalan dengan pendapat Erich Fromm (1956; 132) yang mengatakan bahwa tidak ada kebudayaan yang tidak berakar pada agama. Keterkaitan agama dan kebudayaan (batiniyah) ini, pada gilirannya akan melahirkan peradaban. Jika dilukiskan dalam sebuah gambar, maka akan terlihat gambar sebagai berikut:

Dengan memperhatikan hubungan antara agama dan kebudayaan di atas, maka munculnya Islam cultural dalam arti Islam yang dipahami melalui pendekatan kebudayaan atau Islam yang dipengaruhi oleh paham atau konsep kebudayaan sangat dimungkinkan . Dengan kata lain, secara teoritis, munculnya Islam cultural memiliki landasan yang jelas dan kuat.
Munculnya Islam cultural akan mudah dimengerti jika kita memperhatikan ruang lingkup ajaran yang tidak hanya mencakup masalah keagamaan seperti teologi, ibadah dan akhlak, melainkan juga mencakup masalah keduniaan, seperti masalah ekonomi, pertahanan keamanan, ilmu pengetahuan, teknologi, politik, keluarga, mode pakaian, arsitektur dan masalah-masalah social lainnya. Jika pada asepk keagaman peran Allah dan Tasul-Nya sangat dominant, maka pada aspek keduniaan, Allah dan Rasul-Nya hanya meletakkan prinsip-prinsip dasar etiknya saja, sedangkan tata cara dan ekspresinya terserah kepada manusia. Dalam situasi yang demikian itulah, maka kebudayaan mengambil peran dan memberi pengaruh yang besar terhadap agama. Yaitu, jika agama hanya menentukan prinsip-prinsip etikanya terhadap hal-hal yang bersifat duniawi, maka kebudayaan memebrikan bentuk dan ekspresi tentang model keduniawian yang sejalan dengan nilai-nilai Islami. Berbagai produk kebudayaan yang didasarkan pada nilai-nilai Islami inilah yang selanjutnya disebut peradaban.
Terjalin dan berakarnya agama dengan kebudayaan di Indonesia, terlihat dari hasil penelitian Geertz (1956) di salah satu kota kecil di Jawa Tengah. Dia menemukan bahwa Islam telah menjadi kebudayaan yang ideal dalam masyarakat Indonesia, khususnya di pedesaan. Penemuan Geertz ini, didukung oleh pengamatan Van der Kroef (1959). Penglihatan Geertz dan Kroef ini, diperkuat oleh S. Soebardi dan Woodcraff-Lee (1982) yang berpendapat bahwa setiap upaya memahami watak masyarakat Indonesia masa kini dan warisan kebudayaannya, tidak bisa meninggalkan penelaahan peran Islam, baik sebagai agama maupun sebagai kekuatan social.

3. Pengalaman Islam Kultural
Dalam pengalamannya di lapangan, Islam cultural mengalami pengembangan pengertian dari apa yang dikemukakan di atas. Islam Kultural muncul dalam bentuk sikap yang lebih menunjukkan inklusifistis, yaitu sikap yang tidak mempermasalahkan bentuk atau symbol dari suatu pengalaman agama, tetapi yang lebih penting adalah tujuan dan misi dari pengalaman tersebut. Dalam hubungan ini kita jumpai ajaran tentanr zikir atau mengingat kepada Allah. Bentuk dari zikir ini terkadap mewujud dalam menyebut nama Allah sekian ratus kali dengan menggunakan alat semacam tasbih. Ada yang menggunakan batu, ada yang memasang tulisan kaligrafi pada didinding rumah dan sebagainya. Demikian pula ajaran Islam tentang doa, ada yang mengambil bentuk doa sendiri-sendiri, berdoa bersama-sama, dilakukan di tempat yang berda-beda atau, dan sebagainya.
Selanjutnya, Islam kulturan tampil sebagai Islam yang lebih dapat beradaptasi dengan lingkungan sosialnya, di mana Islam tersebut dipraktekkan. Dalam hubungan ini, Islam cultural menghargai adanya keanekaragaman (pluralisme) prilaku keagamaan. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa sumber ajaran Islam yang dianut oleh setiap orang Islam adalah sama, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah, sedangkan bentuk pemahaman, penghayatan dan pengamalannya berbeda-beda. Hal demikian itu mudah dimengerti, karena pada saat ajaran Islam tersebut dipahami, dihayati dan diamalkan oleh seseorang sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, kecenderungan, bakat, lingkungan keluarga, kebudayaan, pengalaman dan sebagainya dari yang bersangkutan. Dengan cara demikian, hasil pemahaman, penghayatan dan pengalaman tersebut berbeda-beda. Mereka mendapatkan manfaat dari agama sesuai dengan tingkat kesanggupannya sendiri-sendiri (Abudinata, 2001; 178)
Dengan pandangan yang demikian, Islam kulutral mengakui eksistensi dari pemahaman Islam seseorang yang beraneka ragama coraknya, tanpa memandang yang satu lebih hebat dari yang lain. Sikap yang demikian diambil berdasarkan pandangan bahwa berbagai bentuk pemahaman, penghayatan dan pengalaman tentang Islam yang dipengaruhi oleh berbagai faktor tersebut, pada hakikatnya merupakan hasil ijtihad. Oleh karena semua itu adalah hasil ijtihad, maka bisa terjadi kemungkinan salah dan kemungkinan benar. Jika demikian, maka tidak ada yang boleh mengklaim bahwa ijtihadnya sajalah yang paling benar.
Dengan demikian Islam cultural tetap menjunjung tinggi nilai-nilai universal yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits, namun nilai-nilai universal itu, ketika dihayati, dipahami dan diamalkan menjadi tidak universal lagi, karena sudah dipengaruhi oleh pemikiran manusia. Paham yang demikian akan membantu kita untuk membedakan mana yang universal dan mana yang tidak niversal. Yang universal ada dalam Al-Qur'an dan Sunnah yang mutawatir, sedangkan yang tidak universal ada dalam pemahaman umatnya, termasuk yang terdapat dalam paham yang dikemukakan para ulama. Oleh sebab itu, jik ayang universal berlaku sepanjang zaman, mutlak benar dan tidak dapat diubah, maka yang tidak universal tidak dapat berlaku sepanjang zaman, bisa terjadi kekliruan dan dapat dirubah.

4. Membangun Kultur Pesantren di Perguruan Tinggi
Dunia pendidikan selalu menjadi tumpuan awal bagi segenap hasrat akan tercapainya perbaikan kehidupan di masa mendatang. Di sini, realitas institusi pendidikan dianggap sebagai faktor penentu berlangsungnya proses pendidikan, tak terkecuali pesantren sebagai subkultur dan stereotype institusi pendidikan Islam di tanah Jawa.
Pondok Pesantren adalah "kotak ajaib" yang selalu menyimpan dan menghasilkan banyak pertanyaan. Ajaib karena kotak ini bertahan dengan karakter tradisionalnya dan watak kulturalnya di tengah-tengah derasnya modernisasi. Sementara dengan tetap mendekap dalam tempurungnya, justru sebagian pengamat melihat pesantren sebagai pemilik langkah-langkah positif dan progresif dalam melakukan transformasi social di tingkat dasar (Dhofir, 1982; 30)
Dalam diskursus khazanah kelembagaan Islam di Indonesia, pesantren dianggap sebagai lembaga pendidikan tertua yang memiliki konstentrasi dalam bidang pengajaran ilmu keislaman klasik seperti nahwu, shorof, fikih, aqidah, akhlak, tasawuf dan sebagainya. Karena sifatnyayang hanya mengajarkan disiplin keilmuan tertentu, seringkali pesantren dianggap sebagai lembaga pendidikan yang ekslusif di mata orang luar pesantren. Lembaga ini memiliki cirri tersendiri yang spesifik, baik dari kyai sebagai sentral figurnya, santri sebgai muridnya, kurikulum, tradisi maupun masjid sebagai pusat kegiatannya. Berbagai cirri khas inilah yang menjadikannya mampu bertahan hinga kini, walaupun banyak pendidikan formal dengan berbagai polanya tumbuh berkembang di negeri ini. Posisi dominant yang dipegang oleh pesantren dalam mempertahankan eksistensinya tidak lain karena kemmapuannya menghasilkan output yang briliyan dengan melahirkan sejumlah ulama besar dengan kualitas yang tinggi, yang memiliki jiwa keikhlasan yang dalam untuk menyebarkan dan memantapkan keimanan umat Islam. Hal ini karena pesantren didukung oleh metode-metode pendidikan yang tidak semata-mata bertujuan untuk transformasi ilmu pengetahuan, tetapi juga meningkatkan dan meninggikan moral, melatih dan mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, serta menyiapkan anak didik untuk hidup sederhana dan bersih hati (Madjid, 1997; 107) Juga adanya kemungkinan ideal pesantren yang mengambil posisi sebagai pengemban amanat ganda, yaitu amanat keagamaan dan amanat ilmu pengetahuan (Dhofir, 1982; 21)
Dalam decade awal tahun 80-an, kesan eksklusifitas pesantren mulai hilang, arus globalisasi yang kuat telah melahirkan keterbukaan di beberapa pesantren di Indonesia. Walaupun tetap menjaga identitasnya sebagai lembaga pendidikan Islam klasik, namun sudah terdapat pembaharuan baik dalam system pendidikan maupun pola pengembangannya.
Saat ini, ada semacam pendidikan luar pesantren bagi para santri baik yang bercirikan agama, seperti MI, MTsN, dan Aliyah, maupun yang umum seperti SD, SMP, dan SMA, bahkan Peguruan Tinggi. Suatu bentuk integrasi antarfa sekolah formal dan non formal yang dikenal dengan nama "Pesantren masuk sekolah" dan "sekolah masuk pesantren". Kemudian belakangan ini muncul istilah "pesantren masuk kampus", yang menggambarkan bahwa dunia pesantren sudah tidak lagi ekslusif dan dianggap pinggiran, tetapi justru dianggap sebagai salah satu alternative bagi pengembangan perguruan tinggi di masa mendatang. (Djubaidi, 1999; 181)


BAB III METODE PENELITIAN
1. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif-kualitatif, artinya peneliti akan mendeskripsikan hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang telah ditetapkan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Karena itu, dalam penelitian ini, peneliti akan menyelesaikan penelitian ini dengan cara menempuh prosesur-prosedur yang ditetapkan dalam penelitian kualitiatif. Dikatakan demikian karena penelitian ini memiliki karakteristik penelitian kualitatif sesuai dengan pendapat Bogdan dan Biklen (1982) yang mengatakan bahwa penelitian kulalitatif memiliki ciri-ciri: (1) menggunakan setting alamiah sebagai sumber data dan peneliti sebagai instrument inti (2) bersifat deskriptif, (3) lebih mementingkan proses daripada hasil, (4) menganalisis data secara induktif, dan (5) makna menjadi perhatian utama.
2. Obyek Penelitian.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan. Obyek penelitian ini adalah UIN Malang dan Institut Studi Islam Darussalam Gontor Pononogo yang dianggap peneliti bisa mewakili Perguruan Tinggi Agama Islam yang sedang mengembangkan Perguruan Tinggi berbasis cultural.
3. Data dan Sumber Data
Data penelitian ini adalah jawaban para pengelola kedua perguruan tinggi tersebut dan mahasiswa terhadap wawancara yang dilakukan peneliti. Data penelitian ini berasal dari hasil observasi berpartisipasi (participant observation) dengan mengadakan catatan lapangan (field note) dan wawancara dengan pengelola, dosen, dan mahasiswa. Data juga berupa dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pengelolaan kampus dan pesantren seperti program tahunan, semesteran, bulanan, mungguan dan sebagainya.
4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa teknik, yakni observasi, interview dan dokumentasi.
a. Interview
Dalam hal ini, interview sebagai metode untuk mencari data yang argumentatif dan menjelaskan tentang pengelolaan dan penyelenggaraan aktivitas kampus dan pesantren di UIN Malang dan ISID Gontor. Interview ini dilakukan terhadap para pimpinan Perguruan Tinggi, para kyai, ketua lembaga, dosen, dan mahasiswa. Dalam proses ini, peneliti menerima kenyataan apa adanya dan seobjektif mungkin.
b. Observasi.
Observasi yang dilakukan adalah pengamatan secara terlibat (participant observation). Teknik observasi ini dilakukan untuk mendapatkan catatan lapangan (field note) tentang fenomena-fenomena yang terjadi secara nyata di lapangan. Peneliti menerima pernyataan seobyektif mungkin.
c. Metode dokumentasi.
Metode dokumentasi merupakan alat pengumpulan data dengan sumber data berupa catatan, transkrip, buku, majalah, jurnal dan sebagainya. Dalam penelitian ini, teknik dokumentasi diakukan dengan cara mengumpulkan dokumen-domumen yang berkaitan dengan pengelolaan pesantren dan perguruan tinggi berbasis cultural ini, seperti kurikulum, program tahunan, program semesteran, program mingguan, satuan pelajaran, rancangan pengajaran dan sebagainya.

5. Teknik Analisis Data.
Setelah data terkumpul, peneliti memulai melaksanakan analisis data. Analisis data penelitian ini dilakukan dengan model alir yang diadaptasi dari model alir analisis data kualitiatif miles dan Huberman (1992: 12-21). Alir analisis yang dimaksud terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, verivikasi dan penarikan simpulan akhir.
Analisis data dimulai sejak data diperoleh dan setelah data dikumpulkan. Oleh karena itu, bersamaan dengan pengumpulan data dan segera setelah diperoleh data, dilakukan reduksi data. Kegiatan reduksi data meliputi identifikasi data, klasifikasi data, dan kodifikasi data. Identifikasi data dilakukan dengan cara mengecek dan menyeleksi data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Klasifikasi data dilakukan dengan cara mengelompokkan data ke dalam jenis masing-masing data, sesuai dengan kebutuhan penelitian. Akhirnya data yang telah diklasifikasikan diberi kode sesuai degnan jenis data untuk mempermudah analisis data dan pengecekan ulang.
Setelah melakukan reduksi data, peneliti menyajikan data sesuai dengan jenis masing-masing. Terakhir, dilakukan pemeriksaan ulang hasil analisis dan penyempurnaannya. Untuk menjaga validitas data yang diperoleh, peneliti melakukan triangulasi data dengan menidiskusikan hasil analisis data dengan para pakar di bidang kurikulum atau teman sejawat.


BAB IV DISKRIPSI OBYEK PENELITIAN

A. Dasar Pemikiran
Dalam pandangan Islam, mahasiswa merupakan komunitas yang terhormat dan terpuji (QS. al-Mujadalah:11), karena ia merupakan komunitas yang menjadi cikal bakal lahirnya ilmuan (Ulama’) yang diharapkan mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan memberikan penjelasan pada masyarakat dengan pengetahuannya itu (QS. al-Taubah:122). Oleh karenanya, mahasiswa dianggap sebagai komunitas yang penting untuk menggerakkan masyarakat Islam menuju kekhalifahannya yang mampu membaca alam nyata sebagai sebuah keniscayaan ilahiyah (QS. Ali- Imran:191).
Universitas Islam Negeri (UIN) Malang memandang keberhasilan pendidikan mahasiswa apabila mereka memiliki identitas sebagai seseorang yang mempunyai: (1) ilmu pengetahuan yang luas, (2) penglihatan yang tajam, (3) otak yang cerdas, (4) hati yang lembut dan (5) semangat tinggi karena Allah (Tarbiyatu Uli al-Albab: Dzikir, Fikir dan Amal Shaleh, 2000:5).
Untuk mencapai keberhasilan tersebut, kegiatan kependidikan di Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, baik kurikuler, ko-kurikuler maupun ekstra kurikuler, diarahkan pada pemberdayaan potensi dan kegemaran mahasiswa untuk mencapai target profil lulusan yang memiliki ciri-ciri: (1) kemandirian, (2) siap berkompetisi dengan lulusan Perguruan Tinggi lain, (3) berwawasan akademik global, (4) kemampuan memimpin/sebagai penggerak umat, (5) bertanggung jawab dalam mengembangkan agama Islam di tengah-tengah masyarakat, (6) berjiwa besar, selalu peduli pada orang lain/gemar berkorban untuk kemajuan bersama, dan (7) kemampuan menjadi tauladan bagi masyarakat sekelilingnya (Visi, Misi dan Tradisi UIN Malang, 2006:5).
Strategi tersebut mencakup pengembangan kelembagaan yang tercermin dalam : (1) kemampuan tenaga akademik yang handal dalam pemikiran, penelitian, dan berbagai aktivitas ilmiah-religius, (2) kemampuan tradisi akademik yang mendorong lahirnya kewibawaan akademik bagi seluruh civitas akademika, (3) kemampuan manajemen yang kokoh dan mampu menggerakkan seluruh potensi untuk mengembangkan kreativitas warga kampus, (4) kemampuan antisipatif masa depan dan bersifat proaktif, (5) kemampuan pimpinan mengakomodasikan seluruh potensi yang dimiliki menjadi kekuatan penggerak lembaga secara menyeluruh, dan (6) kemampuan membangun bi’ah Islamiyah yang mampu menumbuhsuburkan akhlakul karimah bagi setiap civitas akademika.
Untuk mewujudkan harapan terakhir, salah satunya adalah dibutuhkan keberadaan ma’had yang secara intensif mampu memberikan resonansi dalam mewujudkan lembaga pendidikan tinggi Islam yang ilmiah-religius, sekaligus sebagai bentuk penguatan terhadap pembentukan lulusan yang intelek-profesional yang ulama’ atau ulama’ yang intelek-profesional. Hal ini benar karena tidak sedikit keberadaan ma’had telah mampu memberikan sumbangan besar bagi bangsa ini melalui alumninya dalam mengisi pembangunan manusia seutuhnya. Dengan demikian, keberadaan ma’had dalam komunitas perguruan tinggi Islam merupakan keniscayaan yang akan menjadi pilar penting dari bangunan akademik.
Saat ini, dilihat dari keberadaannnya, asrama mahasiswa di Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi tiga model. Pertama, asrama mahasiswa sebagai tempat tinggal sebagian mahasiswa aktif dan berprestasi dengan indikasi nilai Indeks Prestasi (IP) tinggi. Kegiatan yang ada di asrama model ini ialah kegiatan yang diprogramkan oleh para penghuninya, sehingga melahirkan kesan terpisah dari cita-cita perguruan tinggi. Kedua, asrama mahasiswa sebagai tempat tinggal pengurus atau aktivis intra dan ekstra kampus. Kegiatan yang ada di asrama model kedua ini banyak terkait dengan kegiatan rutinitas intra dan ekstra kampus tanpa ada kontrol dari perguruan tinggi. Ketiga, asrama mahasiswa sebagai tempat tinggal sebagian mahasiswa yang memang berkeinginan berdomisili di asrama kampus, tanpa ada persyaratan tertentu. Oleh sebab itu, kegiatan yang ada di asrama model ketiga inipun tidak terprogram secara baik dan terkadang kurang mendukung terhadap visi dan misi perguruan tinggi-nya.
Berdasarkan dari filosofi ini dan misi diatas, sekaligus dari hasil pembacaan terhadap model asrama mahasiswa yang ada selama ini, Universitas Islam Negeri (UIN) Malang memandang bahwa pendirian ma’had dirasa sangat urgen bagi upaya merealisasikan semua program kerjanya secara integral dan sistematis, sejalan dan sinergis dengan visi dan misi UIN Malang.

B. Pendirian Ma’had Sunan Ampel Al-Ali
Ide pendirian ma’had Al-Ali yang diperuntukkan bagi mahasiswa UIN Malang sudah lama dipikirkan, yaitu sejak kepemimpinan K.H. Usman Manshur, tetapi hal tersebut belum dapat terealisasikan. Ide tersebut baru dapat direalisasikan pada masa kepemimpinan Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, ketika itu masih menjabat sebagai Ketua STAIN Malang. Peletakan batu pertama ma’had tersebut dimulai pada Ahad Wage, 4 April 1999, oleh 9 kyai Jawa Timur dan disaksikan oleh sejumlah kyai dari Kota dan Kabupaten Malang. Dalam jangka waktu setahun UIN Malang telah berhasil menyelesaikan 4 unit gedung yang terdiri dari 189 kamar (3 unit masing-masing 50 kamar dan 1 unit 39 kamar) dan 5 rumah pengasuh dan 1 rumah mudir ma’had. Dengan selesainya pembangunan ma'had yang direncanakan sebanyak 10 unit, kini sudah terselesaikan 5 unit. Sejak 26 Agustus 2000 ma'had tersebut mulai dihuni oleh 1041 santri, 483 santri putra dan 558 santri putri.
Melengkapi nuansa religius dan kultur religiusitas muslim Jawa Timur, maka dibangunlah monumen (prasasti) yang sekaligus menggambarkan visi dan misi ma’had yang tertulis dalam bahasa Arab. Prasasti tersebut berbunyi:
كونوااولى العلم (jadilah kamu orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan);
كونوااولى الأبصار (jadilah kamu orang-orang yang memiliki mata hati),
كونوااولى النهى (jadilah kamu orang-orang yang memiliki kecerdasan);
كونوااولى الألباب (jadilah kamu orang-orang yang memiliki akal );
وجاهدوا فى الله حق جهاده (dan berjuanglah untuk membela agama Allah dengan kesungguhan ).
Selanjutnya, untuk mengenang jasa dan historisitas ulama pejuang Islam di Pulau Jawa, maka ditanam tanah yang diambil dari Wali Songo (Wali Sembilan: simbol perjuangan para ulama di Jawa) di sekeliling prasasti tersebut. Di samping itu dimaksudkan untuk menanamkan nilai historis perjuangan para ulama, sehingga para santri selalu mengingat urgensi perjuangan atau jihad li i‘laai kalimatillah.
C. Visi, Misi, Tujuan dan Fungsi Ma’had
1.Visi
“ Terwujudnya pusat pemantapan Akidah, pengembangan Ilmu keislaman, amal sholeh, akhlak mulia, pusat Informasi Pesantren dan sebagai sendi terciptanya masyarakat muslim Indonesia yang cerdas, dinamis, kreatif, damai dan sejahtera. "
2. Misi
a. Mengantarkan mahasiswa memiliki kemantapan akidah dan kedalaman spiritual, keluhuran akhlak, keluasan ilmu dan kemantapan profesional.
b. Memberikan keterampilan berbahasa Arab dan Inggris.
c. Memperdalam bacaan dan makna Al-Qur'an dengan benar dan baik.
3. Tujuan
a. Terciptanya suasana kondusif bagi pengembangan kepribadian mahasiswa yang memiliki kemantapan akidah dan spiritual, keagungan akhlak atau moral, keluasan ilmu dan kemantapan profesional.
b. Terciptanya suasana yang kondusif bagi pengembangan kegiatan keagamaan.
c. Terciptanya bi'ah lughowiyah yang kondusif bagi pengembangan bahasa Arab dan Inggris.
d. Terciptanya lingkungan yang kondusif bagi pengembangan minat dan bakat .
4. Fungsi
Sebagai:
a. Sebagai wahana pembinaan mahasiswa UIN Malang dalam bidang pengembangan ilmu keagamaan dan kebahasaan serta peningkatan dan pelestarian tradisi spiritualitas keagamaan.
b. Sebagai pusat penelitian dan pengkajian ilmu agama, bahasa dan keberagamaan masyarakat kampus.
c. Sebagai pusat pelayanan informasi pesantren di seluruh Indonesia.
D. Sasaran
1. Mahasiswa UIN Malang semester 1-2
2. Mahasiswa UIN Malang di atas semester 3 yang memenuhi kriteria dan kualifikasi khusus.
E. Struktur Organisasi
Mengacu pada Surat keputusan Rektor No un.3/BA.01.1/815/2006 tentang Pengurus Ma’had Sunan Ampel al Ali, maka struktur Ma’had terdiri atas
a. Pelindung adalah Rektor UIN Malang yang bertugas menetapkan garis-garis besar pengelolaan ma’had sehingga ma’had menjadi bagian yang integral dari sistem akademik universitas.
b. Penanggungjawab adalah para Pembantu Rektor yang bertindak sebagai supervisor dan evaluator terhadap kinerja pengurus ma’had secara keseluruhan.
c. Dewan Kyai adalah beberapa orang dosen yang secara spesifik memiliki senioritas dan kompetensi keilmuan keagamaan. Dewan ini ditetapkan oleh Rektor untuk memberikan konstribusi terkait dengan pelaksanaan kegiatan yang ditradisikan di Ma’had, baik yang bersifat ritual maupun akademik.
d. Dewan Pengasuh adalah beberapa orang dosen yang ditetapkan oleh Rektor untuk melakukan fungsi dan tugas kepengasuhan, pendidikan dan pengajaran. Secara administratif untuk operasionalisasi fungsi yang dimaksud, ditetapkanlah struktur kepengurusan yang dipimpin salah seorang pengasuh sebagai direktur dan dibantu oleh dua orang pengasuh yang lain sebagai sekretaris dan bendahara, sementara pengasuh lainnya bertanggung jawab atas realisasi program yang dirangkum dalam beberapa seksi berikut :
1. Seksi Pendidikan dan Ibadah, bertanggung jawab atas penyiapan sistem pendidikan dan pengajaran baik konsep maupun teknis operasionalnya. Kegiatan yang diprogramkan memuat Ta’lim Al-Afkar Al-Islamiyah yang memfokuskan pada kajian kitab kuning (turast) dan Ta’lim al Qur’an yang memfokuskan pada materi tashwit, qira’ah, tarjamah dan tafsir Al-Qur’an.
Kedua ta’lim ini, merupakan kegiatan yang wajib diikuti oleh seluruh santri dan sebagai prasyarat untuk mengikuti beberapa mata kuliah studi keislaman (Studi Al Qur’an/Ulum Al Qur’an I, Studi Hadits/Ulum Al Hadits I & Studi Fiqh/Usul Fiqh I) yang dipasarkan secara reguler di semua Fakultas. Seksi ini juga bertanggungjawab pada penciptaan tradisi ibadah bagi semua unsur di ma’had.
2. Seksi Pengembangan Bahasa, bertanggungjawab pada penciptaan lingkungan berbahasa asing (Arab dan Inggris) dengan fasilitas media dan kegiatan-kegiatan kebahasaan serta pelayanan konsultasi bahasa
3. Seksi Kerumah tanggaan, bertanggungjawab pada kesediaan fasilitas fisik (sarana dan prasarana) yang dibutuhkan dan pemeliharaannya serta penyediaan kebutuhan sehari-hari santri, seperti, wartel, rental komputer, kantin, dan lainnya, serta upaya-upaya lain yang dapat menambah debet keuangan ma’had.
4. Seksi Kesantrian, bertanggung jawab pada terwujudnya kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada pengayaan keilmuan, baik mengenai materi kitab-kitab turast, menejemen dan organisasi, psikologi, maupun keilmuan lainnya serta mengupayakan kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada pengembangan akademik, minat dan bakat di bidang seni, olah raga, dan keterampilan lainnya. Secara teknis, seksi ini dibantu oleh staf kesantrian
5. Seksi Keamanan, Kebersihan & Kesehatan bertanggungjawab atas keamanan dan kebersihan ma’had secara umum dan mengkoordinir petugas teknis bidang keamanan, kebersihan dan kesehatan.
Masing-masing seksi tersebut memiliki jalur koordinatif dan di bawah instruksi serta koordinasi Mudir secara langsung. Untuk membantu fungsi dan tugas dewan pengasuh, secara administratif dibantu staf kesekretariatan dan beberapa dosen muda yang ditetapkan sebagai murabbi (person yang bertanggung jawab secara teknis pada kegiatan-kegiatan kema’hadan yang diselenggarakan di masing-masing unit hunian), serta beberapa mahasiswa semester III sampai VIII yang telah memenuhi kualifikasi sebagai musyrif (person yang secara aktif bertanggung jawab dan mendampingi santri dalam berbagai kegiatan kema’hadan serta sebagai tutor sebaya, petugas keamanan dan kesehatan).
F. Program Ma'had
1. Pengembangan SDM, Kurikulum, Silabi, dan kelembagaan meliputi :
a) Seleksi Penerimaan Musyrif dan Murabbi Baru
Dalam rangka mengendalikan mutu pembinaan, pembimbingan dan pendampingan langsung oleh para murabbi dan musyrif terhadap santri sesuai tugas dan tanggung jawab yang diamanatkan, maka dilakukan evaluasi dan selanjutnya dibuka seleksi penerimaan kembali untuk menjaring yang masih memiliki kelayakan dan yang memiliki kompetensi lebih baik sesuai yang dibutuhkan. Seleksi ini dilakukan pada setiap akhir semester genap.
b) Rapat Kerja Ma’had
Agenda kerja ini diselenggarakan pada setiap awal semester gasal, rapat ini diharapkan untuk mengevaluasi, memetakan program yang telah terealisir dan program yang belum terealisir, membaca faktor-faktor pendukung dan penghambat serta menentukan program ma’had untuk satu tahun ke depan.
c) Penerbitan Buku Panduan
Buku Panduan Ma’had ini berisi sekilas tentang ma’had, visi, misi, tujuan, program kerja, struktur pengurus, tata tertib dan bacaan-bacaan yang ditradisikan, sehingga semua unsur di dalam ma’had mengetahui orientasi yang hendak dicapai, hak dan kewajibannya, karena capaian program meniscayakan keterlibatan semua unsur.
d) Workshop Pemberdayaan Sumber Daya Musyrif
Kegiatan ini dimaksudkan untuk menyatukan visi dan misi para musyrif sebagai pendamping santri, mempertegas tugas, tanggung jawab, hak dan kewajibannya serta membangun kekerabatan bersama unsur ma’had lainnya atas nama keluarga besar ma’had, sehingga peran dan partisipasi aktif yang diharapkan didasarkan pada asas kekeluargaan. Kegiatan ini diselenggarakan sebelum masa penempatan dan penerimaan santri baru di unit-unit hunian Ma’had.
e) Ta’aruf Ma’hady
Kegiatan ini dimaksudkan sebagai media untuk memperkenalkan Ma’had sebagai salah satu institusi penting di Universitas Islam Negeri Malang mulai dari struktur kepengurusan, visi dan misi, tujuan, program kegiatan ta’lim al Qur’an, ta’lim al Afkar al Islami, Arabic Day, English Day dan capaian program yang diharapkan dimana keberadaan program tersebut menjadi prasyarat untuk mengikuti beberapa mata kuliah studi keislaman dan mata kuliah Bahasa Inggris pada masing-masing Fakultas. Tradisi yang dikembangkan antara lain seperti pelaksanaan shalat lima waktu dengan berjamaah dan shalat-shalat sunnah yang lain, puasa-puasa sunnah, pembacaan al Qur’an secara bersama, shalawat, wirid serta doa-doa yang ma’tsur. Kegiatan ini diselenggarakan selama santri berada di Ma’had.
f) Penerbitan Jurnal al Ribath
Jurnal penelitian ilmiah tentang kepesantrenan ini diharapkan akan menjadi media berkomunikasi secara ilmiah di kalangan pondok pesantren yang ada di Indonesia. Melalui jurnal ini diharapkan muncul gagasan-gagasan dari Ma’had Ali serta tren pemikiran tokoh-tokoh pesantren. Jurnal yang direncanakan terbit setiap semester ini juga dimaksudkan sebagai media informasi dan silaturrahim ilmiah antar pengelola lintas ma’had dan pesantren, para santri/mahasantri serta para pemerhati pesantren.
g) Evaluasi Bulanan
Agenda silaturrahim antar semua pengurus pada setiap akhir bulan ini dimaksudkan untuk saling melaporkan realisasi program masing-masing seksi, faktor pendukung dan penghambat serta keberadaan santri dan aktifitasnya, sehingga program yang sama di bulan berikutnya diharapkan sesuai dengan capaiannya, demikian pula program yang lainnya.
h) Dokumentasi & Inventarisasi Kegiatan Ma’had
Semua hal yang menyangkut data dan aktifitas selama masa persiapan dan pelaksanaan program didokumentasikan berikut hal-hal yang berkenaan dengan sarana dan prasarana penunjang program kegiatan dilakukan inventarisasi dengan baik.
2. Peningkatan kompetensi Akademik meliputi :
a) Ta’lim al Afkar al Islami
Ta’lim sebagai media proses belajar mengajar ini diselenggarakan dua kali dalam satu pekan selama dua semester, diikuti oleh semua santri di masing-masing unit hunian dan diasuh langsung oleh para pengasuhnya. Pada setiap akhir semester diselenggarakan tes/evaluasi. Kitab panduan yang dikaji adalah “al Tadzhib” karya Dr. Musthafa Dieb al Bigha. Kitab ini berisi persoalan fiqh dengan cantuman anotasi al Qur’an, al Hadist sebagai dasar normatifnya dan pendapat para ulama sebagai elobarasi dan komparasinya. Capaian ta’lim ini adalah masing-masing santri mampu menyebutkan hukum aktifitas / kewajiban tertentu dengan menyertakan dalil (dasar normatifnya), baik al Qur’an maupun al Hadist beserta rawinya. Kitab lain yang dikaji adalah ”Qami’ al Thughyan” karya Shiekh Muhammad Nawawi b. Umar al Bantani yang berisi tentang pokok-pokok keimanan dan interpretasinya dalam ranah implementatif. Capaian ta’lim ini adalah masing-masing santri mampu menyebutkan pokok-pokok keimanan secara komprehensip dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
b)Ta’lim al Qur’an
Ta’lim ini diselenggarakan tiga kali dalam sepekan selama dua semester, diikuti oleh semua santri dengan materi yang meliputi Tashwit, Qira’ah, Tarjamah dan Tafsir dan dibina oleh para musyrif, murabbi, komunitas JQH dan pengasuh. Capaian ta’lim ini adalah di akhir semester genap semua santri telah mampu membaca al Qur’an dengan baik dan benar, hafal surat-surat tertentu, bagi santri yang memiliki kemampuan lebih akan diikutkan kelas tarjamah dan tafsir, sehingga memiliki kemampuan teknik-teknik menerjemah dan menafsirkan.
c) Khatm al Qur’an
Program ini diselenggarakan secara bersama setiap selesai shalat shubuh pada hari Jum’at, melalui program ini diharapkan masing-masing santri mendapatkan kesempatan praktik membaca al Qur’an dengan baik dan benar dan diharapkan dapat memperhalus budi, memperkaya pengalaman releguitasnya serta memperdalam spiritualitasnya.
3. Peningkatan Kompetensi Kebahasaan meliputi :
a) Penciptaan Lingkungan Kebahasaan
Upaya ini dilakukan dengan mengkondisikan lingkungan di ma’had sehingga kondusif untuk belajar dan praktik berbahasa melalui pemberian statemen tertulis di beberapa tempat yang strategis, baik berupa ayat al Qur’an, al Hadits, peribahasa, pendapat pakar dan lain-lain yang dapat memotivasi penggunaaan bahasa Arab maupun Inggris, layanan kebahasaan, labelisasi benda-benda yang ada di unit-unit hunian dan sekitar ma’had dengan memberinya nama dalam bahasa Arab maupun Inggrisnya, pemberian materi dan kosakata kedua bahasa asing tersebut, memberlakukan wajib berbahasa Arab maupun Inggris bagi semua penghuni Ma’had serta membentuk mahkamah bahasa yang bertugas memberikan sangsi terhadap pelanggaran berbahasa.
b) Pelayanan Konsultasi Bahasa
Pelayanan ini dipandu oleh para musyrif/ah di setiap unit masing-masing. Pelayanan ini dimaksudkan untuk membantu santri yang mendapatkan kesulitan merangkai kalimat yang benar, melacak arti kata yang benar dan umum digunakan serta bentuk layanan kebahasaan yang lainnya. Layanan ini dapat diakses di ruang yang telah disiapkan oleh musyrif/ah dengan jadwal layanan tiga kali dalam sepekan. Diharapkan dengan disiapkannya pelayanan konsultasi bahasa ini, santri bisa bersikap terbuka dengan para musyrif /ah, sehingga mereka bisa memanfaatkannya secara maksimal
c) al Yaum al Araby
Adalah hari yang dipersiapkan untuk pemberian materi bahasa Arab, pelatihan membuat kalimat yang baik dan benar, permainan kebahasaan, latihan percakapan dua orang atau lebih dan diskusi berbahasa Arab dengan tema-tema tertentu, kegiatan ini dipandu oleh seorang dosen bahasa Arab yang ditunjuk.
d) al Musabaqah al Arabiyah
Kegiatan ini dimaksudkan untuk memacu kreatifitas kebahasaan dengan cara mengkompetisikan ketrampilan dan kecakapan santri dalam berbahasa Arab melalui berbagai lomba kebahasaan. Kegiatan ini diaksanakan setahun sekali di akhir program akhir al Yaum al Araby.
e) English Day
Adalah hari yang dipersiapkan untuk pemberian materi bahasa Inggris, pelatihan membuat kalimat yang baik dan benar, permainan kebahasaan, latihan percakapan dua orang atau lebih dan diskusi berbahasa Inggris dengan tema tema tertentu. Kegiatan ini dipandu oleh seorang dosen bahasa Inggris yang ditunjuk.
f) English Contest
Kegiatan ini dimaksudkan untuk memacu kreatifitas kebahasaan dengan cara mengkompetisikan ketrampilan dan kecakapan santri dalam berbahasa Inggris melalui berbagai lomba kebahasaan. Kegiatan ini diaksanakan setahun sekali di akhir program akhir English Day.
g) Shabah al Lughah
Bentuk kegiatan yang diformat untuk membekali kosa kata, baik Arab maupun Inggris, contoh kalimat yang baik dan benar, pembuatan contoh-contoh kalimat yang lain. Kegiatan ini dilakukan setiap pagi setelah shalat shubuh di masing-masing unit hunian.
4. Peningkatan Kompetensi Ketrampilan meliputi :
a) Penerbitan Bulletin al Ma’rifah
Bulletin dwi pekan yang dikelola oleh para musyrif ini diterbitkan sebagai fasilitas bagi punghuni ma’had khususnya untuk menuangkan ide / gagasan dalam bentuk tulisan, baik tulisan tentang keislaman, kebahasaan, kependidikan, kepesantrenan maupun kemasyarakatan dalam bahasa Indonesia, Arab dan Inggris.
b) Latihan Seni Religius & Olahraga
Untuk mengembangkan minat dan bakat santri, maka ma’had memfasilitasi santri melalui Jam’iyah al Da’wah wa al Fann al Islamy dengan berbagai latihan seni seperti shalawat, gambus, latihan muhadharah (ceramah) dan MC serta memfasilitasi latihan olah raga seperti sepak bola, bola volley, sepak takraw dan tenis meja, masing-masing sekali dalam sepekan.
c) Halaqah Ilmiah
Di sela-sela tugas dan tanggung jawabnya sebagai pendamping santri, para musyrif mengagendakan kegiatan dalam forum yang dapat meningkatkan daya kritis dan intelektualnya serta memberdayakan potensi akademik yang dimiliki dalam berbagai tema yang disepakati dan sesekali menghadirkan pakar yang memiliki kompentensi keilmuan tertentu. Kegiatan yang diselenggarakan setiap dua pekan sekali juga dimaksudkan sebagai media pengayaan materi yang mendukung kecakapannya di lapangan, berkaitan dengan materi yang dikaji di unit hunian, baik al Qur’an maupun kebahasaan, manajemen, organisasi dan hal-hal yang berkaitan dengan aspek psikologis para santri..
d) Silaturrahim Ilmiah
Untuk meningkatkan dan memperkaya wawasan akademik tentang keislaman, kemasyarakatan, kepesantrenan dan ketrampilan, maka diprogramkan untuk menyelanggarakan silaturahim ke tokoh-tokoh agama dan masyarakat, lembaga kepesantrenan, sosial keislaman, penerbitan, instansi pemerintah dan lain sebagainya sesuai dengan kebutuhan sekali dalam setahun dan diikuti oleh pengasuh, murabbi, musyrif dan santri.
f) Diklat Jurnalistik
Diklat ini dimaksudkan untuk membekali teori-teori dalam ketrampilan menulis, sehingga santri mampu mempraktikkan, menuangkan ide gagasannya melalui tulisan.Peserta diklat ini adalah para musyrif dan santri.
g) Diklat Khitabah & MC
Diklat ini dimaksudkan untuk membekali teori-teori yang berkenaan dengan ketrampilan menyampaikan ide secara verbal dalam berbagai forum, sehingga santri mampu mempraktikkan menuangkan ide dan gagasannya dengan baik, benar serta tepat sasaran. Kegiatan ini diselenggarakan setahun sekali. Peserta diklat ini adalah para musyrif dan santri.
h) Peringatan Hari Besar Islam dan Nasional
Kegiatan ini dimaksudkan agar tidak melupakan sejarah Islam dan nasional dengan membaca kembali secara kritis sejarah yang telah tertoreh, hikmah yang dapat ditangkap serta menapaki kembali dengan mengimplementasikan nilai-nilai yang dikandungnya dalam kehidupan sehari-hari melalui berbagai kegiatan. Dengan menyesuaikan kalender akademik, maka hari besar yang diperingati adalah tanggal 1 Muharram, Maulid al Nabi (Rabi’ul Awal), Isro’ & Mi’raj (Rajab), Nuzul al Qur’an (Ramadhan), Hari Pendidikan Nasional (Mei), Hari Kebangkitan Nasional (Mei), Hari Kemerdekaan RI (Agustus). Kegiatan yang diagendakan bersifat, ritual-spiritual, intelektual, dan rekreatif.
5. Peningkatan Kualitas & Kuantitas Ibadah meliputi :
a) Kuliah Umum Shalat dalam Perspektif Medis & Psikologi
Kuliah yang diikuti semua unsur di Ma’had ini dimaksudkan untuk memberikan orientasi dan pembekalan materi tentang shalat, baik dasar normatifnya, hikmah al tasyri’nya (filosofi legislasinya), perspektif medis maupun psikologisnya, sehingga ada kesadaran dan penghayatan masing-masing dalam menunaikan shalat.
b) Pentradisian Shalat Maktubah Berjamaah
Tradisi ini dikembangkan tidak saja dimaksudkan untuk meneladani Sunnah Rasulillah, tetapi juga upaya untuk menangkap hikmahnya dan sebagai bentuk implementatif, memperdalam spiritual dan keagungan akhlak. Tradisi ini secara bersama dilakukan oleh semua civitas akademika.
c)Pentradisian Shalat-Shalat Sunnah Muaqaddah
Tradisi ini dikembangkan tidak saja dimaksudkan untuk meneladani Sunnah Rasulillah, tetapi juga upaya untuk menangkap hikmahnya dan sebagai bentuk implementatif memperdalam spiritual dan keagungan akhlak. Tradisi ini secara bersama dilakukan oleh semua civitas akademika.
d) Kuliah Umum Puasa dalam Perspektif Medis & Psikologi
Kuliah yang diikuti semua unsur di Ma’had ini dimaksudkan untuk memberikan orientasi dan pembekalan materi tentang puasa, baik dasar normatifnya, hikmah al tasyri’nya (filosofi legislasinya), perspektif medis maupun psikologisnya, sehingga ada kesadaran dan penghayatan masing-masing dalam menunaikan puasa.
e)Pentradisian Puasa-Puasa Sunnah
Tradisi ini dikembangkan tidak saja dimaksudkan untuk meneladani Sunnah Rasulillah, tetapi juga upaya untuk menangkap hikmahnya dan sebagai bentuk implementatif memperdalam spiritual dan keagungan akhlak. Tradisi ini secara bersama dilakukan oleh semua civitas akademika.
f) Kuliah Umum Dzikir dalam Perspektif Psikologi
Kuliah yang diikuti semua unsur di Ma’had ini dimaksudkan untuk memberikan orientasi dan pembekalan materi tentang dzikir, baik dasar normatifnya, hikmah al tasyri’nya (filosofi legislasinya), perspektif medis maupun psikologisnya, sehingga ada kesadaran dan penghayatan masing-masing dalam mengamalkan dzikir.
g) Pentradisian Pembacaan al Adzkar al Ma’tsurah
Tradisi ini dikembangkan tidak saja dimaksudkan untuk meneladani Sunnah Rasulillah, tetapi juga upaya untuk menangkap hikmahnya dan sebagai bentuk implementatif memperdalam spiritual dan keagungan akhlak. Tradisi ini secara bersama dilakukan oleh semua civitas akademika.
6. Pengabdian Masyarakat :
Sebagai bentuk pengejawentahan dari tri darma perguruan tinggi, maka ma’had memprogramkan beberapa pendidikan dan latihan (diklat) yang dapat diakses oleh lembaga-lembaga pendidikan, sosial kemasyarakatan, keislaman dalam rangka ikut membantu kebutuhan hukum dan pemberdayaan masyarakat, diklat ini diagendakan penyelenggaraannya satu kali dalam satu tahun. Diklat yang dimaksud adalah :
a) Diklat Manasik Haji
b) Diklat Life Skill
G. FASILITAS DAN LAYANAN
Lokasi Ma`had Sunan Ampel Al-`Aly berada di dalam kampus UIN Malang. Ma’had ini terdiri dari lima unit gedung, masing-masing berlantai tiga sebagai tempat hunian. Satu unit gedung terdiri dari 1 (satu) kamar yang dihuni oleh seorang dosen sebagai murabbi, 3 (tiga) kamar (masing-masing lantai 1 kamar) dihuni beberapa orang musyrif, 1 (satu) kamar untuk rental komputer dan 45 kamar untuk 4 unit (unit hunian putri : Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina, unit hunian putra : Ibnu Khaldun, dan Al-Faraby), serta 34 kamar untuk satu unit hunian putri (Al-Ghazaly). Masing-masing kamar untuk kapasitas 6 orang, setiap kamar berisi fasilitas 3 ranjang susun berkasur, 3 almari 6 pintu, 1 kaca cermin, 1 meja belajar, 3 gantungan baju, 1 meja rias, 1 rak tempat sepatu/ sandal. Setiap lantai dari masing-masing unit memiliki ruang yang cukup untuk kegiatan proses belajar mengajar (PBM), 4 kamar mandi, dan disediakan ruang jemur pakaian di lantai 3.
Selain unit hunian, di lokasi ma’had terdapat 8 unit rumah untuk dewan pengasuh dan satu unit gedung untuk kantor ma’had, ruang halaqah, ruang tamu, ruang latihan seni relegius, ruang ), informasi, keamanan, konsultasi kebahasaan, konsultasi psikologi, serta dua unit bangunan kamar mandi untuk 75 kamar mandi putrid dan 50 kamar mandi putra, lantai jemuran dan sarana lain seperti bangunan untuk ruang koperasi ma`had, rental komputer, warung telekomunikasi (wartel) dan 3 unit lapangan olah raga, 6 unit kantin (3 putra dan 3 putri),
Dalam rangka penciptaan lingkungan berbahasa, maka santri dibekali dengan program Arabic Day, English Day dan media-media kebahasaaan, seperti labelisasi benda-benda, serta layanan konsultasi kebahasaan yang diharapkan dapat membantu kesulitan dalam praktik kebahasaan.
Untuk menangani keluhan-keluhan psikis, maka disediakan layanan konsultasi yang dipandu oleh dosen Fakultas Psikologi yang ditunjuk. Kebersihan Taman, kamar mandi, lantai dan halaman unit dibersihkan oleh petugas kebersihan sementara kebersihan kamar dibebankan pada masing-masing penghuni.
Kantin yang disediakan ditentukan menu dengan harga yang sesuai. Hal ini diharapkan untuk memudahkan santri agar tidak disibukkan oleh pemenuhan kebutuhan konsumtif, sehingga mereka dapat belajar dan mengikuti kegiatan ma`had secara optimal.
Sarana kesehatan, untuk membantu para santri yang mengeluhkan kesehatannya, maka disiapkan musyrif yang bertugas untuk menangani kesehatan dan disediakan klinik di kampus.
Sarana keamanan, tenaga keamanan wilayah ma`had diamanatkan kepada tenaga khusus SATPAM dan musyrif yang bertugas untuk keamanan serta piket santri.
Sarana informasi, untuk mempermudah layanan informasi, maka dibentuk petugas isti`lamat (informasi) yang bertugas memberikan layanan informasi yang berupa: pemanggilan, pengumuman dan lain-lain.
Sarana lain dalam hal tertentu, khususnya pengembangan potensi minat bakat santri, maka disediakan beberapa unit kegiatan penunjang baik bersifat akademik, seni dan olah raga serta ketrampilan-ketrampilan lainnya.

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB VI PENUTUP.


Daftar Pustaka
Dhofir, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, Jakarta, LP3ES, 1982.
Djubaedi, D, Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Bandung, Pustaka Hidayah, 1999.
Echols, John M dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta, Gramedia, 1979.
From Erich, Psichoanalysis of Religion, Cambridge, 1956.
Geertz, Clifford, Religious Belief and Economic Behaior in a Central Javaness Town: Some Preliminary Consideration, Economic Devolopment and Culteure Change, Jilid IV, N. 2, (Januari, 1956)
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta, Gramedia, 1985.
Kroef, Justus M. Van der, Indonesia in the Modern World, Bandung 1959.
Lee-Woodcraff dan Soebardi, Islam in Indonesia, London, Curzon Press, 1982.
Madjid, Nurcholis, Bilik-bilik Pesntren, Jakarta, Paramadina, 1997.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta, UI Press, 1979.
Rahardjo, Dawam, Pesantren dan Pembaharuan, Jakarta, LP3ES, 1995.
Shiddiqi, Nouruzzaman, Jeram-jeram Peradaban Muslim, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996.

0 komentar:

إرسال تعليق

Comment here

My Famly

About This Blog

My Activity

Blog Archive

  © Blogger template The Professional Template II by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP