Photobucket

Kontruksi epistemologi pendidikan anak dalam Alqur’an

الثلاثاء، ١٨ ربيع الآخر ١٤٣٠ هـ

Kontruksi epistemologi pendidikan anak dalam Alqur’an
oleh : Miftahul Huda


Konstruksi epistemologi pendidikan anak ini menggambarkan sumber pendidikan dan cara mendidikannya. Berdasarkan uraian di muka, konstruksi epistemologi pendidikan anak dalam Al-Qur’a>n digolongkan dalam dua tipe, yaitu: intuitif-normatif (Luqma>n) dan intuitif-dialogis dengan perincian dialogis-rasional (Nu>h}), dialogis-demokratis (Ibra>hi>m), dialogis-psikis (Ya’qu>b) dan dialogis-idiologis (Maryam).

Pengetahuan pendidikan diperoleh para pendidik (Luqma>n, Nu>h}, Ibra>hi>m, Ya’qu>b, Maryam) dari sumber pertama yaitu Allah melalui jalan intuisi/wahyu. Allah sebagai pendidik alam (rabb al-‘alami>n) secara langsung telah menentukan aturan kehidupan melalui kitab suci yang diajarkan dengan cara intuisi/wahyu. Proses intuisi/wahyu itu sendiri ada yang bersifat normatif (tanpa penawaran/dialog), sehingga mengharuskan penerimanya untuk menerima informasi pendidikan apa adanya. Ada pula bersifat dialogis, yakni terjadi proses dialog imajiner dalam rangka penerimaan pengetahuan pendidikan antara penerima wahyu dengan Allah sehingga memungkinkan terjadinya interfensi pengetahuan.

Intuitif-normatif menggambarkan proses terbentuknya pengetahuan pendidikan dari otoritas tuhan diperuntukkan bagi manusia. Pengetahuan pendidikan yang diperoleh dengan cara ini pada umumnya mencakup aspek iman dan shari’ah. Konsep iman dan shari’ah secara langsung diajarkan oleh Allah kepada manusia melalui para rasul. Hal ini terjadi karena Allah berkepentingan untuk menjaga harmoni kehidupan melalui aturan agama yang mana esensinya adalah iman ('aqi>dah) dan shari’ah (al-Isla>m ‘qi>dah wa al-Shari’ah).

Kebenaran konsep iman dan shari’ah ada pada wilayah otoritas Allah yang mana manusia tidak mungkin untuk memformulasikan berdasarkan kekuatan rasionalnya. Konsep iman bukan pada tatara empirik yang dapat dikonstruksikan dengan akal. Akan tetapi lebih merupakan persoalan supra rasional yang berada di luar wilayah pengalaman indrawi manusia, sehingga tidak diperlukan pendekatan ilmiah, karena hanya bertumpu pada bukti empirik. Pendekatan yang diperlukan adalah pedekatan emosi (rasa/hati) yang mana ada potensi untuk menerima keimanan. Sehingga dapat dikatakan bahwa tektualisasi konsep iman dalam wahyu ilahi tidak menerima interfensi dari manusia (alam).

Jika tektualitas konsep iman tersebut mutlak dari Allah, maka tidak demikian dengan tektualitas shari’ah yang justru mempertimbangkan kontek. Relefansinya, ada interfensi kontek sosial (asba>b al-Nuzu>l) dan kondisi sosial (sha’n al-Nuzu>l) serta kontribusi akal dalam pembentukan shari’ah. Interaksi kontek dan kondisi sosial secara alami menjadi latar belakang munculnya tektualitas shari’ah. Sedangkan kontribusi akal dalam interaksi pembentukan shari’ah ini terlihat dari dialektika wahyu yang menggambarkan interfensi akal (jadali>) terhadap pengetahuan tuhan. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh proses dialogis yang ditujukan langsung kepada Allah sebagai pembuat teks (seperti kasus Nu>h} membela anakknya dihadapn Allah) ataupun secara tidak langgsung ditujukan kepada Allah, namun melalui malaikat (kasus Maryam akan mengandung Isa).

Pada tahap berikutnya, interfensi akal dalam penentuan shari’ah terjadi pada proses sosialisasi pengetahuan pendidikan yang diperoleh para penerima intuisi/wahyu kepada anak didik. Reaksi interaktif-dialogis tidak ditujukan kepada Allah sebagai pembuat shari’at ataupun Malaikan sebagai pembawa pesan teks, akan tetapi terhadap anak didik sebagai obyek penerima shari’ah (teks). Interaksi dialogis ini menggambarkan proses demokratisasi dalam rangka sosialisasi pengetahuan dengan mempertimbangkan kejiwaan anak didik (kasus Ibra>him meminta pendapat Isma’il dan Ya’qu>b membimbing Yu>suf).


TEKTUALISASI KONTEK PENDIDIKAN

Intuisi tampak sebagai saluran pengetahuan pendidikan dari Allah kepada manusia. Hanya saja, sebelum pengetahuan tersebut sampai kepada manusia dan diberlakukan secara universal, memerlukan jasa perantara para rasul seperti Nu>h}, Ibra>hi>m, Ya’qu>b, ataupun melalui orang shaleh seperti Luqma>n dan Maryam. Dalam kasus ini, mereka para rasul dan orang shaleh yang telah menerima pengetahuan pendidikan dari sumber pertama Allah melalui intuisi berkewajiban untuk mengajarkan pada manusia.

Dalam rangka mengajarkan pengetahuan dari Allah kepada manusia (dalam kasus buku ini kepada anaknya), para rasul dan orang shaleh tersebut menggunakan cara berbeda-beda yang pada intinya dibagi menjadi dua yaitu; normatif-dogmatis dan normatif-dialogis dengan pendekatan rasional, psikis dan ideologis.

Pendekatan normatif-dogmatis (seperti dilakukan Luqma>n) yaitu pengetahauan pendidikan yang diperoleh dari Allah melelui intuisi itu dalam realisasi pendidikan yang disampaikan kepada anaknya, materi-meteri tersebut bersifat intruksional dan harus diterima oleh anak didik. Otoritas kebenaran pengetahuan pendidikan sepenuhnya dari pendidik yang diperoleh melalui otoritas ilahi. Posisi anak didik seperti tempat kosong yang tidak memiliki pengetahuan sebelumnya. Oleh karena itu, dominasi pendidikan berjalan searah dan terjadi interfensi pengetahuan terhadap anak didik, karena tanpa melibatkan pertimbangan rasio, psikis, maupun psikologi anak didik.

Pendekatan normatif-dialogis terjadi sebaliknya, yaitu sosialisasi pengetahuan yang diterima dari otoritas wahyu melalui pendidikan dipandang perlu mempertimbangkan dunia anak didik secara fisik maupun psikis. Kebenaran informasi pendidikan tidak menjadi hak paten pendidik. Sehingga dalam rangka mendialogkan -sekalipun norma agama yang sakral- terjadi proses dialogis-argumentatif. Hal ini sebagaimana terlihat dalam pendidikan Nu>h}, Ibra>hi>m, Ya’qu>b dan Maryam.

Lebih lanjut, mengenai tipologi intuitif-normatif-dogmatis dipahami dari praktek pendidikan Luqma>n H{aki>m kepada anaknya. Gelar al-h}aki>m menunjukkan pribadi yang sangat bijak. Sumber pendidikan Luqma>n diperoleh dari Allah melalui intuisi dimana Allah telah menganugrahkan h}ikmah kepadanya. H{ikmah sebagai bagian dari bentuk pengetahuan tertinggi bukanlah hasil rekayasa manusia. Melainkan lebih pada katagori ah}wa>l (prestasi teranugrahkan) bukan maqa>ma>t (prestasi hasil usaha mandiri).

Atas pengetahuan pendidikan yang telah dimiliki, Luqma>n bersukur dan mengajarkannya kepada anaknya. Pada tataran praktis, pengetahuan pendidikan Luqma>n diajarkan dengan pendektan dogmatis-doktriner. Nuansa otoritatif melalui dogma dan doktrin nampak dalam pengajaran pengetahuan yang teranugrahkan itu. Hal ini terjadi karena masalah yang diajarkan menyangkut keimanan dimana lebih mengedepankan daya penerimaan melalui hati dari pada rasional. Dengan demikian, metode pendidikan iman tidak menggunakan pendekatan rasional, karena wilayah iman bukan wilayah empirik.

Pendidikan keimanan berfungsi sebagai dasar bagi kehidupan. Penguatan keimanan itu dilakukan dengan menanamkan keyakinan Allah sebagai tuhan yang mutlak disembah. Totalitas pengabdian (ibadah) yang diimplementasikan dengan taqwa kepada Allah dilakukan dimana saja dan kapan saja sebagai bukti internalisasi keimanan. Realisasi taqwa tidak mengenal diskriminasi situasi dan kondisi. Oleh karenanya, upaya internalisasi dan realisasi keimanan dalam bentuk ketaqwaan masih disertai dengan doktrin bahaya syirik (menyekutukan Allah). Karena syirik dapat menjebak pada prilaku tidak konsisten dalam keimanan dan ketaqwaan. Setelah tercapai kekokohan keimanan melalui doktrin seperti itu, giliran berikutnya Luqma>n mengajarkan ibadah shalat (syarai’ah) dan moralitas (akhla>q) kepada anaknya.

Kebenaran wahyu tidak dapat ditolak sebagai sumber pendidikan keimanan, ibadah dan moralitas. Hal ini terjadi karena masalah keimanan (konsep tuhan) dan ibadah shalat (konsep syariat) dan moralitas (konsep moral) lebih bersifat perintah dogmatis dari tuhan kepada manusia melalui kitab suci yang berlaku secara universal. Wilayah otoritas agama tersebut bukan hasil rekayasa pemikiran subyektif manusia. Hanya saja dialektika teks tersebut masih menyertakan uraian-uraian yang menggunakan pendekatan rasional.

Pendekatan rasional diperlukan untuk menguraikan konsep keimanan agar diyakini dan diterima secara logis, sebagaimana dilakukan Luqma>n melarang syirik kepada anaknya disertai alasan karena syirik merupakan perbuatan zalim yang amat besar. Dari sini terlihat bahwa rasio tidak mampu membuat konsep tentang tuhan, sehingga tuhan sendiri yang memperkenalkannya. Posisi rasio dipergunakan untuk mengawal kebenaran konsep ketuhanan, dan bukan dalam kapasitasnya untuk mengkonsep tuhan. Demikian pula dalam hal ibadah. Tidak ada ruang gerak bagi rasio untuk memperdebatkan keabsahan ibadah, kecuali hanya menerimanya. Hal ini disebabkan karena ibadah dan iman tidak dalam jangkauan wilayah rasional-empirik, melainkan dalam wilayah abstrak-suprarasional.

Selain pendidikan keimanan dan ibadah yang mengatur hubungan manusia dengan tuhan, dalam kapasitas mu’amalah (hubungan sesama manusia) secara empirik-rasional Luqma>n juga mengajarkan materi-materi pendidikan yang memiliki bobot horizontal lebih tinggi daripada vertikal, yaitu ajaran moralitas sosial. Moralitas (akhla>q) yang diajarkan ini memiliki keterkaitan langsung dengan sesama manusia. Logika rasional dapat menerima kebenaran dan manfaat pendidikan tersebut secara kongkrit. Dalam hal ini, Luqma>n mengajarkan akhla>q kepada kedua orang tua (terutama kepada ibu), budaya amar ma’ruf nahi munkar, sabar atas musibah, budaya sopan dalam pergaulan, dan perkataan.

Ajaran etika/ moral tersebut lebih menekankan kesalehan personal secara horizontal sebagai realisasi dari kesalehan vertikal. Secara manusiawi, ukuran kebaikan dilihat pada aspek moralitas yang ditunjukkan dengan hubungan baik kepada sesama manusia. Standar kualitas keimanan memerlukan realisasi kualitas kesalehan dalam interaksi dengan sesama manusia. Dengan kata lain, kesalehan moral sosial wujud dari kesalehan spiritual personal.

Tipologi berikutnya, intuitif-dialogis-rasional sebagaimana terlihat dalam pendidikan Nu>h}. Nu>h} dalam kapasitas sebagai nabi dan rasul memiliki strata lebih tinggi- dibanding posisi Luqman- yaitu sebagai penyebar risa>lah ila>hiyah. Oleh karenanya, pemahaman keilmuan pendidikan Nu>h} diperoleh dari Allah melalui wahyu.

Sosialisasi keilmuan pendidikan yang dilakukan Nu>h} kepada Kan’a>n menitik beratkan pada masalah keimanan. Dialektika yang terjadi adalah baik pendidik maupun anak didik sama-sama mengunakan rasio untuk saling mempengaruhi dalam perdebatan pendidikan keimanan.

Dialektika pendidikan yang terdata dalam Al-Qur’a>n menunjukkan perjuangan gigih Nu>h} untuk menanamkan keimanan terhadap anaknya. Karena problem krusial yang dihadapi Kan’a>n adalah pergaulannya dengan komunitas kafir. Seruan Nu>h} agar Kan’a>n segera bergabung dengan keimanannya sangat gencar dilakukan, terutama ketika datang angin topan dan banjir bandang yang siap menenggelamkan semua kehidupan. Nu>h} menjadikan logika-fakta lingkungan yang siap menenggelamkan itu sebagai sarana pendidikan keimanan.

Namun demikian, Kan’a>n menolak ajakan ayahnya yang didukung dengan logika-faktual tersebut. Penolakan sang anakpun juga menggunakan logika rasional, yaitu ingin menyelamatkan diri dari gelombang banjir dengan naik ke atas gunung. Dalam keyakinan Nu>h}, keimanan diyakini dapat menyelamatkan dari kekacauan dunia berupa banjir bandang. Namun, Kan’a>n menolak kebenaran itu dengan berlindung pada daya nalarnya sendiri. Pada akhirnya, daya nalar tidak selamanya mampu menggapai kebenaran, apalagi mematahkan kebenaran normatif.

Tipologi intuitif-dialogis-demokrtatis terlihat pada dialektika pendidikan berkurban yang dilakukan ibra>hi>m terhadap Isma>’i>l. Syariat berkurban itu diperoleh melalui mimpi dan Ibra>him sendiri pada mulanya ragu atas kebenarannya, sehingga menceritakan kepada Isma’i>l (yaum tarwiyah). Pada mimpi yang ketiga kalinya, akhirnya Ibra>hi>m meyakini kebenaran intuisi itu (yaum ‘arafah).

Meskipun mimpi itu menurut Qutb hanya merupakan isyarat dan bukan perintah secara langsung, namun Ibra>hi>m menerimanya dengan penuh kerelaan dan sepenuh hati.[1] Pada dasarnya tidak ada perbedaan validitas wahyu, apakah diterima waktu terjaga ataupun tidur. Karena para rasul meskipun tidur pada dasarnya hatinya tidak tidur.[2] Validitas intuisi sebagai saluran pengetahuan langsung dari Allah kepada rasul menjadi sebuah keniscayaan yang tidak terbantahkan menurut logika edeologi muslim. Hanya saja dalam rangka proses sosialisasi kepada Isma’i>l, Ibra>hi>m meberikan penawaran agar mempertimbangkannya.

Syariat korban ini tidak bersifat dogmatis-doktriner sebagaimana ajaran iman yang dilakukan Luqman kepada anaknya. Hal ini bisa jadi karena masalah korban menyangkut hak hidup pribadi Isma’i>l, sehingga perlu didengarkan pendapatnya dalam mensikapi problem kehidupan yang dihadapinya. Di sinilah Ibra>hi>m menunjukkan sikap demokrat yang berarti memberikan peluang rasio untuk ikut menentukan konsep kebenaran syari’at korban. Seandainya Isma’i>l memilih untuk menolak perintah tersebut, berarti gagalah misi pembentukan syariat kurban, meskipun sudah diperintahkan oleh Allah kepada Ibra>hi>m. Akan tetapi seakan naluri kemanusiaan Isma’i>l lebih dominan untuk menerima perintah tersebut daripada mengikuti pertimbangan rasionya. Demikian pula Ibra>hi>m, meskipun perintah pengorbanan tersebut seakan tidak masuk akal, namun keyakinannya mengalahkan fikirannya.

Pendidikan Yu>suf lebih bersifat intuitif-dialogis-psikis. Pengetahuan pendidikan diperoleh Yu>suf secara problematis, bermula dari peristiwa mimpi melihat sebelas bintang, bulan dan matahari bersujud kepadanya. Pendidikan dipandang sebagai antisipasi terhadap permasalahan psikis dan disharmoni pada keluarga Ya’qu>b. Yu>suf sepertinya sangat terganggu dengan makna dan validitas mimpinya. Namun demikian menurut satu pendapat meyakini bahwa pada dasarnya mimpi adalah pengetahuan tentang hakekat (idra>k haqi>qah), sehingga tidak ada alasan untuk tidak menerimanya.[3]

Pengetahuan Yu>suf melalui intuisi seperti ini memiliki kesamaan pola dengan mimpi Ibra>hi>m. Mimpi tersebut tidak segera diyakini datang dari sang ilahi yang mana kebenarannya atau ta’wi>l-nya masih “misteri”, sehingga perlu didialogkan dengan orang lain. Dalam hal ini Yu>suf perlu berkeluh kesah terhadap Ya’qu>b atas mimpinya (demikian pula Ibra>hi>m terhadap Isma’i>l). Atas kasus psikis Yu>suf ini, maka pendikan Ya’qu>b mengarah pada problem solving.

Tampaknya Ya’qu>b sangat perhatian kepada Yu>suf melebihi saudara-saudara lainya. Hal ini sebagaimana diraskan oleh saudara-saudara Yu>suf, sehingga mereka sepakat untuk mencelakai Yu>suf. Mereka menyusun siasat (makar) yang pada akhirnya Yu>sufpun terperdaya dengan dimasukkan ke dalam sumur, namun selamat dan nantinya malah menjadi raja. Jauh hari sebelum kejadian itu, Ya’qu>b mendidik Yu>suf agar memiliki keyakinan perihal ta’wi>l mimpinya. Cara itu dilakukan dengan menanamkan konsep keimanan, bahwa Allah telah melebihkan Yu>suf atas saudara lainya dengan memberi pelajaran melalui mimpi.

Pendidikan yang dilakukan Maryam kepada I>sa pada dasarnya berjalan sewajarnya secara manusiawi. Yakni, pada usianya yang masih bayi, pendidikan lebih terlihat secara fisik, yaitu mengasuh dan membesarkannya. Namun pendidikan yang dilakukan Maryam kepada I
Peristiwa tersebut menggambarkan bahwa terjadi proses dialogis –argumentatif dalam memperoleh pengetahuan. Dengan kata lain, kontek pendidikan mempengaruhi ketentuan pengetahuan teks. Demikian halnya, Isa> sedang menyusu kepada Maryam, ia mendengar perkataan kaumnya yang menuduh ibunya berzina. Seraya I>sa menghadap kepada mereka dengan menunjukan jarinya dan berkata “sesungguhnya Aku ini hamba Allah”.[4]

Validitas pembicara Isa> hanya berbicara pada saat itu,[5] dan bukan atas pertimbangan akalnya sendiri yang mana pada saat itu masih bayi. Bahkan setelah peristiwa tersebut, I>sa> kembali lagi ke masa bayinya sebagaimana layaknya manusia.[6] Kemudian berbicara lagi pada saat mencapai usia anak-anak (ghilma>n).[7] Konstruksi epistemologi pendidikan anak dalam Al-Qur’a>n ini dirangkum dalam skema berikut:


0 komentar:

إرسال تعليق

Comment here

My Famly

About This Blog

My Activity

Blog Archive

  © Blogger template The Professional Template II by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP